Intubasi Endotrakeal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat



utama yang harus



diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Bahkan, menurut Halliday (2002) penggunaan intubasi endotrakheal juga direkomendasikan untuk neonatus dengan faktor penyulit yang dapat mengganggu jalan napas. Tulisan ini akan menguraikan tentang intubasi endotrakheal, dan hanya akan dibatasi pada permasalahan tersebut. Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard " untuk penanganan jalan nafas. Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami penyumbatan jalan nafas, kehilangan reflek proteksi, menjaga paru-paru dari sekret agar tidak terjadi aspirasi dan pada segala jenis gagal nafas. Intubasi endotrakeal dapat dilakukan melalui hidung ataupun mulut. Masing- masing cara memberikan keuntungan tersendiri sebagai contoh bahwa melalui nasal lebih baik dilakukan pada pasien yang masih sadar dan kooperatif, sedangkan melalui oral dilakukan pada pasien yang mengalami koma, tidak kooperatif dan ketika kegawatan intubasi dibutuhkan pada pasien yang mengalami cardiac arrest.



1



Tindakan intubasi endotrakheal selama anestesi umum berfungsi sebagai sarana untuk menyediakan oksigen (O2) ke paru-paru dan sebagai saluran untuk obat-obat anestesi



yang



mudah



menguap.



Tindakan



ini



seringkali



menyebabkan trauma terhadap mukosa saluran nafas atas, yang bermanifestasi sebagai gejala-gejala yang muncul



pasca operasi.



Beberapa



gejala yang



dikeluhkan pasien antara lain adalah nyeri tenggorok (sore throat), batuk (cough), dan suara serak (hoarseness). Dilaporkan gejala yang dikeluhkan pasien ini memiliki insidens sebesar 21-65%. Meskipun tidak sampai menyebabkan kecacatan, namun komplikasi ini dapat dirasakan



sangat



tidak



nyaman dan bahkan bisa menimbulkan



keluhan dari pasien terutama pasien yang one day care. Gejala-gejala



tersebut,



terjadi akibat iritasi lokal dan proses inflamasi pada mukosa saluran nafas atas.1



2



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Saluran Nafas Atas Saluran



Pernapasan



Bagian



Atas



(Upper



Respiratory



Airway)



dengan fungsi utama sebagai berikut: a. Air conduction (penyalur udara), sebagai saluran yang meneruskan udara menuju saluran napas bagian bawah untuk pertukaran gas. b. Protection (perlindungan), sebagai pelindung saluran napas bagian bawah agar terhindar dari masuknya benda asing. c. Warming, filtrasi, dan humudifikasi yakni sebagai bagian yang menghangatkan, menyaring, dan memberi kelembaban udara yang diinspirasi.



3



1. Cavum Nasalis Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago). Hidung dibentuk oleh sebagian kecil tulang sejati, sisanya terdiri atas kartilago dan jaringan ikat (connective suatu lubang yang dipisahkan (septum). sebagai



Rongga penyaring



tissue). Bagian



dalam



menjadi lubang



hidung



merupakan



kiri dan kanan oleh sekat



hidung mengandung rambut (fimbriae ) yang berfungsi (filter) kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada



permukaan (mukosa) hidung terdapat epitel bersilia



yang



mengandung sel



goblet. Sel tersebut mengeluarkan lendir sehingga dapat menangkap benda asing yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Kita dapat mencium karena di dalam lubang hidung



terdapat reseptor. Reseptor



pada cribriform plate, di dalamnya (Nervous Olfactorius). Hidung



aroma



bau terletak



terdapat ujung dari saraf kranial I



berfungsi



sebagai



jalan



napas,



pengatur



udara, pengatur kelembaban udara (humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring udara, indra pencium, dan resonator suara. 2



2. Faring Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong yang letaknya bermula dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esofagus pada ketinggian tulang rawan (kartilago)



krikoid. Faring digunakan



pada saat ‘digestion ’



(menelan) seperti pada saat bernapas. Berdasarkan letaknya faring dibagi



4



menjadi tiga yaitu di belakang hidung (naso-faring), belakang mulut (orofaring ), dan belakang laring (laringo- faring ). Naso-faring terdapat pada superior (pseudo stratified ) dan



di area yang terdapat epitel bersilia



tonsil (adenoid), serta merupakan



muara



tube



eustachius. Tenggorokan dikelilingi oleh tonsil, adenoid, dan jaringan limfoid lainnya. Struktur tersebut



penting



sebagai



mata rantai nodus



limfatikus



untuk menjaga tubuh dari invasi organisme yang masuk ke dalam hidung dan tenggorokan. Oro-faring berfungsi untuk menampung udara dari naso-faring dan makanan dari mulut. Pada bagian ini terdapat tonsil palatina (posterior) dan tonsililingualis (dasar lidah). 3. Laring Laring sering disebut dengan ‘voice box’ dibentuk oleh struktur epiteliumlined yang berhubungan dengan faring (di atas) dan bawah). Laring



trakhea (di



terletak di anterior tulang belakang (vertebrae) ke-4 dan ke-6.



Bagian atas dari esofagus berada



di posterior laring. Fungsi utama laring



adalah untuk pembentukan suara, sebagai proteksi napas bawah dari benda asing dan untuk memfasilitasi proses terjadinya batuk. Laring terdiri atas: • Epiglotis; katup kartilago yang menutup dan membuka selama menelan. • Glotis; lubang antara pita suara dan laring. • Kartilago tiroid; kartilago yang terbesar pada trakhea, terdapat bagian yang membentuk jakun.



5



• Kartilago krikoid; cincin kartilago yang utuh di laring (terletak di bawah kartilago tiroid). • Kartilago aritenoid; digunakan pada pergerakan pita suara bersama dengan kartilago tiroid. • Pita suara; sebuah



ligamen



yang dikontrol



oleh pergerakan



otot



yang menghasilkan suara dan menempel pada lumen laring.2



2.2 Anatomi Saluran Nafas Bawah Saluran pernapasan bagian bawah (tracheobronchial tree) terdiri atas: a. Trakhea Trakhea merupakan



perpanjangan laring pada ketinggian tulang



vertebre torakal ke-7 yang bercabang menjadi dua bronkhus. Ujung cabang trakhea disebut carina. Trakhea bersifat sangat fleksibel, berotot, dan memiliki panjang 12 cm dengan cincin kartilago berbentuk huruf C. 6



b. Bronkhus dan Bronkhiolus Cabang bronkhus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan cenderung lebih vertikal daripada cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing lebih mudah masuk ke dalam cabang sebelah kanan daripada bronkhus sebelah kiri. Segmen dan seperti ranting



subsegmen bronkhus bercabang lagi dan



masuk



ke paru-paru. Bronkhus



berbentuk



disusun oleh



jaringan



kartilago sedangkan bronkhiolus, yang berakhir di alveoli, tidak mengandung kartilago. Tidak adanya menangkap udara,



namun



kartilago



menyebabkan



juga dapat



bronkhiolus



mengalami kolaps.



mampu



Agar



tidak



kolaps alveoli dilengkapi dengan poros/lubang kecil yang terletak antar alveoli yang berfungsi untuk mencegah kolaps alveoli. Saluran pernapasan mulai dari trakhea sampai bronkhus tidak mengalami



pertukaran gas



dan merupakan area



terminalis



yang dinamakan



Anatomical Dead Space. Awal dari proses pertukaran gas terjadi di bronkhiolus respiratorius. Parenkim paru-paru merupakan area yang aktif bekerja dari jaringan paru-paru. Parenkim tersebut mengandung berjuta-juta unit alveolus. Alveoli merupakan kantong udara yang berukuran sangat kecil, dan merupakan akhir dari bronkhiolus respiratorus sehingga memungkinkan pertukaran O2 dan CO2. Seluruh dari unit alveoli (zona respirasi) terdiri atas bronkhiolus respiratorius, duktus alveolus, dan alveolar saccus (kantong alveolus). Fungsi utama



7



dari



unit



alveolus



adalah



pertukaran



O2



dan



CO2 diantara kapiler



pulmoner dan alveoli.2 2.3 Intubasi Endotrakeal 2.3.1. Pengertian Intubasi Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing sebelum laryngoscopy. 1,3 2.3.2 Tujuan Intubasi Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea. Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut : a. Mempermudah pemberian anesthesia. b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernapasan. c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk). d. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial. e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama. f. Mengatasi obstruksi laring akut



8



2.3.3 Indikasi dan kontraindikasi Intubasi Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang, meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas, Perawatan kritis : mempertahankan saluran napas yang adekuat, melindungi



terhadap



aspirasi



paru,



kebutuhan



untuk



mengontrol



dan



mengeluarkan sekret pulmonal. Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi. Intubasi



nasotrakeal



dapat



dilakukan



pada



pasien-pasien



yang



akanmenjalani operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway



9



tidak memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin dalam penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis. Indikasi intubasi fiber optik yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit dilakukan intubasi, adanya bukti pemeriksaan fisik sulit untuk dilakukan intubasi), diduga adanya kelainan pada saluran napas atas, trakea stenosis dan kompresi, menghindari ekstensi leher (insufisiensi arteri vertebra, leher yang tidak stabil), resiko tinggi kerusakan gigi (gigi goyang atau gigi rapuh), dan intubasi pada keadaan sadar. 3,4 2.3.4 Kesulitan Intubasi Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi akses jalan napas. Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama ompong, gigi seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan menjulurkan lidah.4,10,11 Klasifikasi Mallampati : Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil



10



Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula Mallampati 4 : Palatum durum saja Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.



Selain sistem klasifikasi Mallampati, temuan fisik lainnya telah terbukti menjadi prediktor yang baik dari kesulitan saluran nafas. Wilson dkk 11



menggunakan analisis diskriminan linier, dimasukkan lima variable : Berat badan, kepala dan gerakan leher, gerakan rahang, sudut mandibula, dan gigi ke dalam sistem penilaian yang diperkirakan 75% dari intubasi sulit pada kriteria risiko = 2. Faktor lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi : • Lidah besar • Gerak sendi temporo-mandibular terbatas • Mandibula menonjol • Maksila atau gigi depan menonjol • Mobilitas leher terbatas • Pertumbuhan gigi tidak lengkap • Langit-langit mulut sempit • Pembukaan mulut kecil • Anafilaksis saluran napas • Arthritis dan ankilosis cervical • Sindrom kongenital (Klippel-Feil (leher pendek, leher menyatu), Pierre Robin (micrognathia, belahanlangit-langit, glossoptosis),Treacher Collins (mandibulofacialdysostosis) • Endokrinopati (Kegemukan, Acromegali, Hipotiroid macroglossia,Gondok) • Infeksi (Ludwig angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar abses, retropharyngeal abses,epiglottitis) • Massa pada mediastinum • Myopati menunjukkan myotoniaatau trismus



12



• Jaringan parut luka bakar atau radiasi • Trauma dan hematoma • Tumor dan kista • Benda asing pada jalan napas • Kebocoran di sekitar masker wajah (edentulous, hidung datar, besar wajah dan kepala, Kumis, jenggot • Nasogastrik tube • Kurangnya keterampilan, pengalaman, atau terburu-buru. 2.3.5 Persiapan intubasi Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat-alat dan memposisikan pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT. Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien harus sejajar dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah ketegangan pinggang selama laringoskopi. Persiapan untuk induksi dan intubasi juga melibatkan preoksigenasi rutin. 3,4,5 Persiapan alat untuk intubasi antara lain : STATICS



13







Scope Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop



untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop: a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa. b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa. Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.



14







Tube



15



Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup. Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii. Ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini.



Usia



Diameter (mm)



Skala french



Jarak



sampai



bibir Prematur



2,0-2,5



10



10 cm



Neonatus



2,5-3,5



12



11cm



1-6 bulan



3,0-4,0



14



11 cm



½ - 1 tahun



3,0-3,5



16



12 cm



16



1-4 tahun



4,0-4,5



18



13 cm



4-6 tahun



4,5-,50



20



14 cm



6-8 tahun



5,0-5,5*



22



15-16 cm



8-10 tahun



5,5-6,0*



24



16-17 cm



10-12 tahun



6,0-6,5*



26



17-18 cm



12-14 tahun



6,5-7,0



28-30



18-22 cm



Dewasa wanita



6,5-8,5



28-30



20-24 cm



Dewasa pria



7,5-10



32-34



20-24 cm



Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas, mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi, oksigenasi dan pengisapan. Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride) yang bebas lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan mukosa dan memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang memungkinkan perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman pipa. Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak, 17



terutama adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optic. Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai



karena dapat



menyebabkan nekrosis mukosa trakea.



Pengembangan balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai



balon tekanan terbatas. Pipa



hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif. Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis subglotis. Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya perbaikan balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien sadar tertentu



memerlukan



ventilasi



intratrakea



jangka



panjang



18



mungkin merasa lebih nyaman dan diberi kemungkinan untuk mampu berbicara jika trakeotomi dilakukan lebih dini. 



Airway



Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (nasotracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat mpasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.



19







Tape



Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.







Introducer



Introducer



yang dimaksud adalah mandrin atau stilet



dari kawat



yang



dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.



20







Connector



Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask ataupun peralatan anesthesia. 



Suction



Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.



2.4 Cara Intubasi Intubasi Endotrakeal



21



Sebelum dilakukan intubasi terlebih dahulu dilakukan oksigenasi dengan menggunakan orotracheal tube atau nasotracheal tube dan bag valve kurang lebih selama 30 detik. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. 22



Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V. Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.6



23



Langkah-langkah intubasi:



24



Obat-obatan yang dipakai :



Berikut ini adalah obat-obat yang biasa dipakai dalam tindakan intubasi endotrakheal (Anonim, 1986), antara lain : a. Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxant merupakan obat yang paling populer untuk intubasi yang cepat, mudah dan otomatis bila dikombinasikan dengan barbiturat I.V. dengan dosis 20 –100 mg, diberikan setelah pasien dianestesi, bekerja kurang dari 1 menit dan efek berlangsung dalam beberapa menit. Barbiturat Suxamethonium baik juga untuk blind nasal intubation, Suxamethonium bisa diberikan I.M. bila I.V. sukar misalnya pada bayi. b. Thiophentone non depolarizing relaxant : metode yang bagus untuk direct vision intubation. Setelah pemberian nondepolarizing / thiophentone, kemudian pemberian O2 dengan tekanan positif (2-3 menit) setelah ini laringoskopi dapat dilakukan. Metode ini tidak cocok bagi mereka yang belajar intubasi, dimana mungkin dihadapkan dengan pasien yang apneu dengan vocal cord yang tidak tampak. c. Cyclopropane : mendepresi pernafasan dan membuat blind vision intubation sukar. d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi. Iritabilitas laringeal meninggi, sedang relaksasi otot-otot tidak ada dan dalam dosis besar dapat mendepresi pernafasan.



25



e. N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zat-zat lain. penambahan triklor etilen mempermudah blind intubation, tetapi tidak memberikan relaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi. f. Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan laring dan dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi. g. Analgesi lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut : - Menghisap lozenges anagesik. - Spray mulut, faring, cord. - Blokade bilateral syaraf-syaraf laringeal superior. - Suntikan trans tracheal. 2.5 Ekstubasi perioperatif Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan. Sesaat setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai penilaian apakan pemulihan nafas spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan nafas yang mungkin menjadi komplikasi. Bila dijumpai hambatan nafas, tentukaan apakah hambatan pada central atau perifer. Teknik ekstubasi pasien dengan membuat pasien sadar betul atau pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur dalam), jangan lakukan dalam keadaan setengah sadar ditakutkan adanya vagal refleks. Bila ekstubasi pasien sadar, segera hentikan obat-obat anastesi hipnotik maka pasien berangsu-angsur akan sadar. Evaluasi tanda-tanda kesadaran pasien mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai kemampuan membuka mata spontan. Yakinkan pasien sudah bernafas spontan



26



dengan jalan nafas yang lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien tidak sadar diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup banyak, dan setelahnya pasien menggunakan alat untuk memastikan jalan nafas tetap lapang berupa pipa orofaring atau nasofaring dan disertai pula dengan triple airway manuver standar.8,9 Syarat-syarat ekstubasi : 1. Vital capacity 6 – 8 ml/kg BB. 2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O. 3. PaO2 diatas 80 mm Hg. 4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil. 5. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot. 6. Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh. 2.6 Komplikasi Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik anestesi dan perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang cepat, sederhana, aman dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari tatalaksana jalan napas yang diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap paten, menjaga paru-paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang cukup selama dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya. Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal dapat dibagi menjadi : Faktor pasien



27



1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan napas. 2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma. 3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung mendapatkan trauma fisik atau fisiologis selama intubasi. 4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi. Faktor yang berhubungan dengan anestesia: 1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi krisis yang dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya komplikasi selama tatalaksana jalan napas. 2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan pasien dan peralatan yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam intubasi. Faktor yang berhubungan dengan peralatan: 1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube tersebut. 9,10 2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma. 3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan. 4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.



28



5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan dibagian yang tidak tepat. Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan ventilasi dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan melakukan intubasi dan kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak dapat dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada pasien apnoe karena proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan kematian atau hipoksia otak. Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika dalam keadaan emergensi seperti pada kasus



cannot-ventilation-



cannotintubation (CVCI). 10,11 Komplikasi Intubasi Endotrakheal. A. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi (Anonim, 1989) a. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal cuff. b. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal. c. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring. d. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff. B. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.



29



a. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan malposisi laringeal cuff. b. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit hidung c. Malfungsi tuba berupa obstruksi. C. Komplikasi setelah ekstubasi. a. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring. b. Gangguan refleks berupa spasme laring.



30



BAB 3 KESIMPULAN Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea. Tujuannya adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask, pemberian nafas buatan secara mekanik (respirator) memungkinkan pengisapan secret secara adekuat, mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi. Airway merupakan komponen terpenting dalam menjaga keadaan vital pasien, sehingga dalam keadaaan gawat darurat komponen inilah yang pertama kali dipertahankan. Salah satu cara menjaga patensi saluran napas (airway) tersebut adalah dengan intubasi. Sehingga teknik intubasi harus dikuasai dengan benar dari mulai indikasi sampai dengan komplikasi-komplikasinya.



31



DAFTAR PUSTAKA



1. Desai,Arjun M.2010. Anesthesiology . Stanford University School of Medicine. Diakses dari: http://emedicine.medcape.com. Accessed on April 12 2014 Th



2. Adams L George, boies L, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6 . Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta 1997 3.



Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI: Jakarta. Universitas Indonesia. 2007; 2.p:3-45.



4.



Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Airway Management. In : Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology 4th ed. USA, McGraw-Hill Companies, Inc.2006, p. 98-06.



5. Gisele de Azevedo Prazeres,MD., (2002), Orotracheal Intubation, available athttp://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.h tml. accessed on April, 12th 2014. 6. Greenberg MS, Glick M. Burket’s oral medicine diagnosis and treatment. 10 th ed. Ontario: BC Decker Inc, 2003: 94,126, 612 7. Kociszewski C, Thomas SH, Harrison T, et al. Etomidate versus succinylcholine for intubation in the air medical setting. Am J Emerg Med. 2000;18:757-763. 8. Schmitt H, Buchfelder M, Radespiel-Troger M, et al. Difficult intubation in acromegalic patients: incidence and probability. Anesthesiology. 2000;93:110114 9. Friedland DR, et all. Bacterial Colonization of Endotracheal Tubes in Intubated Neonatal in Arch Otolaringol Head and Neck Surg 2001;127:525528. Available at: http://www.archoto.com. Accessed on April 12 th 2014. 10. Gregory GA, Riazi J. Classification and assessment of the difficult pediatric airway. Anesth Clin North Am. 1998;16:729-741. 11. Gamawati, Dian Natalia dan Sri Herawati. 2002. Trauma Laring Akibat Intubasi Endotrakeal. Available at http://ojs.lib.unair.ac.id. Accessed on April 12th 2014. 32