INTUISI [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

INTUISI (Intuition)



Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Matematika



NURHAEDA (181052701004)



PRODI MATEMATIKA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2018



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D.



Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Batasan Masalah



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Intuisi Menurut Beberapa Kamus B. Pengertian Intuisi Menurut Pandangan Beberapa Ahli Filsafat dan Ahli Psikologi C. Pengertian Intuisi Menurut Intuitionis Klasik dan Intuitionis Inferensial D. Pengertian Intuisi dalam Pandangan Islam E. Peran Intuisi Sebagai Sumber Kebenaran F. Jenis-jenis Intuisi BAB III PENUTUP DAFTAR PUSTAKA



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat petunjuk dan kehendakNya sehingga makalah ini yang diberi nama INTUISI (INTUITION) dapat terwujud sebagai mana adanya. Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada para Nabi, para Rasul, dan keluarganya dan secara khusus kepada Nabi Muhammad SAW.



Kami mendapat banyak dukungan dari teman-teman dan mahasiswa lainnya untuk memberikan kritikan baik berupa saran maupun komentar untuk menyelesaikan makalah ini. Makalah ini diperuntukkan bagi mahasisswa yang akan melulusi mata kuliah filsafat matematika yang harus membangun dasar berpikir. Untuk mengerti dan memahami isi makalah ini pembaca cukup memiliki pemikiran berfilsafat. Kami mengharapkan makalah ini juga bermanfaat untuk adik-adik angkatan berikutnya.



Penulis menyadari sepenuhnya bahwa ada kelemahan dan kekurangan dalam makalah ini, baik dalam sistematika, pola penyampaian, bahasa, materi, dan beberapa hal yang ada di luar kemanpuan penulis. Karena itu kami yakin bahwa makalah ini tidak akan pernah mencapai kesempurnaan. Dari pembaca, penulis mengahapkan kritik dan saran untuk meningkatkan mutu. Terima kasih kepada teman-teman yang turut membantu menyelesaikan makalah ini, semoga makalah ini ada manfaatnya dan menjadi media pengabdian kami. Wassalam, terima kasih Makassar,



Desember 2018



Penulis



BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intuisi adalah sebuah kata yang hampir semua orang pernah mengatakannya. Dalam kehidupan sehari-hari, orang sering mengatakan intuisi. Ada yang menggunakan intuisi sebagai angan-angan atau imajinasi, ada yang mengartikan intuisi sebagai perasaan, ada yang menyatakan bahwa intuisi serupa dengan feeling, dan banyak lagi pengertian intuisi yang dapat ditelusuri dalam percakapan sehari –hari, intuisi dipahami secara beragam dan tidak ada kesepakan umum terhadap pengertian intuisi tersebut. Sejak dahulu, para ahli memandang istilah intuisi dengan pandangan berbeda. Dalam literatur yang ditelusuri penulis, terlihat bahwa para filosof dan para psikolog juga memiliki pandangan yang berbeda terhadap intuisi. Para ahli filsafat memandang intuisi sebagai rasional dan superior terhadap berpikir analitik, beberapa ahli filsafat memandang intuisi bersifat tidak pernah salah (infallible). Ahli filsafat; Bergson (Henden.G, 2004) membedakan antara intuisi dengan penalaran analitik. Menurutnya, kedua istilah tersebut tidak memiliki sistem kognitif yang berbeda, tapi merupakan dua sisi dalam aktivitas berpikir. Dalam bidang psikologi, psikolog Jung menyatakan bahwa intuisi adalah salah satu fungsi kognitif diantara tiga fungsi lainnya, yaitu: thinking, feeling, dan sensation (Henden.G, 2004). Beberapa ahli psikologi memandang intuisi berfungsi paralel dengan berpikir analitik dan hasil intuisi bisa saja salah. Demikian pula diantara para ahli terdapat perbedaan pandangan terhadap intuisi; ada yang memandang intuisi sebagai produk dari pengalaman dan penalaran, sedangkan ahli-ahli lainnya berpendapat bahwa intuisi bukan produk dari pengalaman dan/atau dipandang sebagai penalaran yang sifatnya implisit (berfungsi tanpa disadari oleh orang yang melakukannya). Dalam Zeev dan Star (2002), ahli matematika, Hadamard, menyatakan bahwa intuisi merupakan cara untuk memahami bukti dan konseptualisasi. Westcott (Zeev dan Star, 2002) menyatakan bahwa “The question of what exactly intuition is, in general, is relevant to a variety of domains, including philosophy, mathematics, psychology, and education.” Ini menunjukkan bahwa istilah intuisi dapat ditemukan



pembahasannya pada masing-masing bidang kajian tersebut. Masing-masing bidang memberikan pandangan yang sesuai dengan perspektif bidang masing-masing. Apakah intuisi itu? Pengertian intuisi dapat diperoleh dengan sangat melimpah, baik dari kamus, dari makalah-makalah hasil penelitian yang memuat istilah intuisi yang dirujuk dari pandangan-pandangan ahli, dan dari buku-buku yang khusus membahas intuisi.



B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan sebelumnya, maka rumusan masalahnya yaitu: 1. Bagaimana pengertian intuisi menurut beberapa kamus? 2. Bagaimana pengertian intuisi menurut pandangan beberapa ahli filsafat dan ahli psikologi? 3. Bagaiman Pengertian ntuisi menurut intuitionis klasik dan intuitionis inferensial? 4. Bagaimana pengertian intuisi dalam pandangan islam? 5. Bagaimana peran intuisi sebagai sumber kebenaran? 6. Apa saja jenis-jenis intuisi?



C. Tujuan Adapun tujuan dari makalah ini yaitu: 1. Untuk mengetahui pengertian intuisi menurut beberapa kamus. 2. Untuk mengetahui pengertian intuisi menurut pandangan beberapa ahli filsafat dan ahli psikologi. 3. Untuk mengetahui Pengertian ntuisi menurut intuitionis klasik dan intuitionis inferensial. 4. Untuk mengetahui pengertian intuisi dalam pandangan islam. 5. Untuk mengetahui peran intuisi sebagai sumber kebenaran. 6. Untuk mengetahui jenis-jenis intuisi



D. Batasan Masalah Agar tidak terjaadi perluasan masalah dalam makalah ini, maka penulis memberikan batasan masalah, yakni menjelasakan pengertian intuisi menurut beberapa kamus, menjelaskan pengertian intuisi menurut pandangan beberapa ahli filsafat dan ahli psikologi, menjelasakan Pengertian ntuisi menurut intuitionis klasik dan intuitionis inferensial, menjelasakan pengertian



intuisi dalam pandangan islam, menjelaskan jenis-jenis intuisi.



menjelasakan peran intuisi sebagai sumber kebenaran dan



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Intuisi Menurut Beberapa Kamus Di dalam kamus on-line Wikipedia, (http://en.wikipedia.org/wiki/Intuition)



intuisi



didefinisikan sebagai kemampuan nyata untuk memperoleh pengetahuan tanpa menggunakan inferensi atau penalaran (apparent ability to acquire knowledge without inference or the use of reason). Dalam kamus ini juga dinyatakan bahwa kata intuisi (intuition) berasal dari bahasa latin intueri, yang dimaknai sebagai melihat ke dalam atau merenungkan. Intuisi memberikan kepercayaan bahwa kita tidak perlu memberi jastifikasi/pembenaran atas suatu hasil intuisi. Kita percaya bahwa hasil intuisi senantiasa benar. Di dalam kamus on-line lainnya, disajikan cukup berlimpah definisi intuisi, misalnya, Hiponoetics Glossary (http:// www. hyponoesis. org/ html/ glossary/ intuit. html) menyediakan definisi-definisi intuisi yang merujuk kepada kamus-kamus lainnya seperti, Merriam Webster's Collegiate Dictionary, Tenth Edition, The Encyclopedia of Philosophy, Volume IV (Paul Edward, ed), A Dictionary of Philosophy dan beberapa kamus lainnya. Di dalam Merriam Webster's Collegiate Dictionary, Tenth Edition intuisi didefinisikan sebagai pemahaman atau kognisi segera (immediate apprehension or cognition). Di dalam The Encyclopedia of Philosopy, intuisi didefinisikan sebagai pemahaman segera (immediate apprehension). Makna kata “segera (immediate)” adalah tidak membutuhkan inferensi, tidak membutuhkan/memikirkan penyebab, tidak membutuhkan kemampuan (ability) mendefinisikan istilah yang digunakan, tidak membutuhkan pembenaran/jastifikasi, tidak membutuhkan penyimbolan, dan tidak memerlukan pemikiran kembali. Di dalam Dictionary of Psychology (by Arthur S. Reber), intuisi didefinisikan sebagai sebuah cara memahami atau mengetahui yang bersifat langsung dan segera dan terjadi tanpa kesadaran pemikiran atau pertimbangan (a mode of understanding or knowing characterized as direct and immediate and occurring without conscious thought or judgment). Definisi intuisi yang disajikan dalam kamus on-line di atas menunjukkan bahwa pandangan terhadap intuisi cukup beragam; ada yang memandang intuisi sebagai sebuah



kemampuan memperoleh pengetahuan, namun demikian, ada yang memandang intuisi sebagai proses pemahaman atau proses kognisi yang tidak membutuhkan kemampuan mendefinisikan istilah-istilah yang terkait dengan pemahaman terhadap sesuatu. Pada sisi lain, terdapat kecenderungan bahwa intuisi bersifat segera, tidak menggunakan inferensi dan hasilnya dianggap/diyakini benar sehingga orang yang mengguunakan intuisi merasa tidak perlu melakukan pembuktian atau jastifikasi. Dari beberapa definisi intuisi yang dirujuk dari kamus tersebut, terlihat bahwa intuisi merupakan kognisi atau proses mental dalam memahami sesuatu, atau dalam menerima pengetahuan. Proses mental ini bersifat langsung, segera, dan tidak membutuhkan pembenaran atau jastifikasi. B. Pengertian Intuisi Menurut Pandangan Beberapa Ahli Filsafat dan Ahli Psikolog Penelusuran definisi intuisi dapat pula dilakukan pada beberapa pandangan ahli filsafat dan ahli psikologi. Kedua bentuk perbedaan pandangan mengenai intuisi akan diuraikan berikut ini. Beberapa filosof dan psikolog memberikan pandangan mengenai pengertian intuisi didasarkan kepada perbedaan antara intuisi dengan proses mental lainnya. Berikut ini akan disajikan beberapa pengertian dan karakteristik intuisi menurut pandangan ahli-ahli filsafat dan ahli-ahli psikologi. Dalam penelusuran literature, penulis menemukan beberapa pandangan ahli filsafat mengenai pengertian intuisi. Beberapa pandangan ahli filsafat seperti Plato dan Aristoteles, Kant, serta Bergson akan disajikan berikut. Menurut Pandangan Beberapa Ahli Filsafat Filosof Plato dan Aristoteles (Henden.G., 2004) membedakan antara jenis berpikir inferensial yang prosesnya berlangsung selangkah demi selangkah (discursive thought) dan jenis berpikir yang prosesnya tidak berlangsung secara langkah demi langkah (non-discursive). Jenis berpikir yang terakhir disebut Plato dan Aristoteles sebagai intuisi. Keduanya merumuskan perbedaan proses berpikir tersebut dengan menganggap bahwa intuisi merupakan proses berpikir yang serupa dengan proses berpikir Tuhan (God’s thought). Intuisi dicirikan sebagai hasil berpikir



yang: (1) tidak temporal (a-temporal) yaitu memiliki keputusan yang sulit berubah, (2) memandang keseluruhan objek dari pada bagian-bagian objek (grasps all at once), (3) tidak bersifat proposisional (non-propositional), (4) tidak bersifat representasional (non – representational), dan (5) karena ia dipandang serupa dengan proses berpikir Tuhan (God’s thought)



maka



intuisi



dianggap



tidak



pernah



salah



(infallible).



Pada



sisi



lain,



berpikir discursive dicirikan sebagai hasil berpikir yang (1) bersifat temporal, (2) memandang bagian-bagian objek daripada keseluruhan objek, (3) bersifat proposisional, (4) bersifat representasional, dan (5) dapat menghasilkan kesimpulan salah (fallible). Filosof Immanuel Kant (Henden.G., 2004) membangun pengertian intuisi dengan membedakan antara pertimbangan analitik dan pertimbangan sintetik. Pertimbangan analitik membutuhkan konfirmasi logis serta bersifat a priori (tidak membutuhkan konfirmasi empiris) untuk menjelaskan mengapa sesuatu hal benar. Dapat dikatakan bahwa pertimbangan analitik relevan dengan discursive thinking yang dikarakterisasikan oleh Plato dan Aristoteles, yaitu: inferential, temporal, grasps object piecemeal, propositional, representational, dan fallible.. Kant juga menyatakan bahwa pertimbangan sintetik relevan dengan intuisi, dan dikatakan bahwa, hasil pertimbangan sintetik dikarakterisasikan oleh tidak adanya kontradiksi dalam diri orang yang menyatakannya. Filosof Bergson (Henden.G, 2004) menyatakan bahwa berpikir memiliki dua sisi yang berlawanan arah. Jika berpikir bersifat discursive dan analitik quantitative perspective, maka jenis berpikir ini disebut intelek. Tetapi jika berpikir bersifat non-discursive atau qualitative perspective, maka jenis berpikir ini disebut intuisi. Menurut Bergson, karena intuisi bersifat non-discursive maka penalaran tidak memainkan perananan dalam intuisi. Menurut Pandangan Beberapa Ahli Psikolog Hah Roh (2005) melakukan penelitian disertasi dengan judul “Intuitive Understanding Limit Concept” mendefinisikan pemahaman intuitif sebagai kognisi segera suatu konsep tanpa bukti secara ketat (rigorous proof). Fujita, Jones dan Yamamoto (2004) yang memfokuskan penelitiannya pada peranan intuisi dalam pendidikan geometri, mendefinisikan intuisi secara khusus sesuai dengan konteks penelitiannya. Dikatakan, “It might be difficult to define ‘intuition’ precisely, but for the purposes



of this paper we regard it as a skill to ‘see’ geometrical figures and solids, creating and manipulating them in the mind to solve problems in geometry.” Mario Bunge (Zeev dan Star, 2002) menyatakan bahwa intuisi merupakan penalaran (reason), yang memiliki karakteristik: catalytic inference, power of synthesis dan common sense. Catalytic inference adalah jalan pintas dari suatu proposisi ke proposisi lainnya, yaitu dengan suatu loncatan ke suatu konklusi secara cepat tanpa mempertimbangkan premis dan perantaranya. Power of synthesis merupakan kemampuan mengkombinasikan keheterogenan atau elemen-elemen yang terpencar ke dalam suatu keseluruhan keseragaman atau keharmonisan. Common sense adalah pertimbangan yang ditopang oleh pengetahuan umum (ordinary knowledge). Westcott (Zeev dan Star, 2002) menyatakan bahwa konklusi yang berbasis kepada intuisi, secara khas dikarakterisasikan oleh informasi eksplisit yang sedikit/kurang dibanding informasi yang umumnya dibutuhkan untuk meraih konklusi tersebut (a conclusion based on intuition typically is characterized by less explicit information than is ordinarily required to reach that conclusion ). Sebagai contoh seseorang mengatakan “satu dan dua,” selanjutnya mengatakan “tiga dan berapa?” Orang lain yang mendengarkan mungkin mengatakan “empat” atau mungkin yang lainnya mengatakan “enam.” Namun demikian Westcott menyatakan bahwa subjek sebenarnya menggunakan informasi eksplisit yang ada dan dibutuhkan sebelum mencoba menyelesaikan suatu masalah; dan kemungkinan mereka dapat meraih penyelesaian yang akurat. Menurut Westcott, para pemikir intuitif yang sukses cenderung memiliki kecerdasan matematika yang tinggi pula dibanding lainnya. Menurut Fischbein (1982, 1983, 1999) intuisi merupakan proses mental (kognisi) yang memiliki ciri-ciri tertentu. Fischbein menggunakan istilah intuisi ekivalen dengan pemerolehan pengetahuan intuitif; Intuisi dipandang sebagai suatu tipe kognisi. Pengetahuan yang dibangun melalui proses mental ini disebut pengetahuan intuitif. Intuisi didefinisikan sebagai kognisi segera (immediate



cognition)



dan



berkarakteristik



(1)



direct,



self-evident,



(2)



intrinsic



certainty, (3) perseverance dan coerciveness, (4) extrapolativeness, (5) global (globality) dan implisit (implicitness).



Makna karakteristik intuisi yang diungkapkan oleh Fischbein (1982, 1983, 1999) tersebut diuraikan sebagai berikut: Sifat self-evidence menunjukkan bahwa konklusi intuitif dianggap benar dengan sendirinya. Ini menunjukkan bahwa kebenaran suatu konklusi intuitif tidak memerlukan jastifikasi. Sebagai contoh, seseorang menyimpulkan secara intuitif bahwa keseluruhan selalu lebih besar dari bagian-bagiannya, bahwa setiap bilangan asli memiliki suksesor, bahwa dua titik selalu menentukan sebuah garis, ia merasa bahwa pernyataan-pernyataan ini benar dengan sendirinya



tanpa



perlu



suatu



jastifikasi.



Karakeristik



intuisi



berikutnya



adalah perseverance dan coerciveness. Menurut Fischbein, sekali intuisi dibangun, ia sangat kokoh atau stabil. Sebagai contoh, jika seorang anak menyimpulkan bahwa bilangan 0,999... lebih kecil dari 1, maka ia sangat sulit menerima prinsip bahwa kedua bilangan tersebut sama. Karakteristik intuisi; extrapolativeness bermakna bahwa melalui intuisi, orang menangkap secara umum sifat universal suatu prinsip, suatu relasi, suatu aturan melalui realitas khusus. Sebagai contoh jika seseorang membaca “Januari, Februari” maka ia dapat menebak secara benar bahwa berikutnya adalah kata “Maret,” meskipun aturan urutan kata-kata tersebut tidak diberikan. Karakteristik intuisi yang terakhir menurut Fischbein; globality dan implicitness. Fischbein menekankan bahwa intuisi merupakan pandangan global dan berlawanan kutub dengan berpikir analitik yang sifatnya discursive. Sifat global intuisi menunjukkan bahwa orang yang berpikir intuitif lebih memandang keseluruhan objek dari pada bagian-bagian detailnya. Selanjutnya, meskipun intuisi merupakan hasil seleksi, globalisasi dan inferensi, intuisi ditampilkan secara implisit, yaitu langkah-langkah inferensi tidak dinyatakan melalui langkah demi langkah (step by step). Jones (1998) mendefinisikan intuisi dalam tulisannya yang berjudul Deductive and Intuitive Approaches to Solving Geometrical Problems, merujuk kepada definisi intuisi yang ditulis oleh Fischbein, yaitu intuition as a special type of cognition, characterised by self-evidence and immediacy, and with the following properties: intrinsic certainty, perseverance, coerciveness, theory status, extrapolativeness, globality, and implicitness.



C. Pengertian intuisi menurut intuitionis Klasik dan Intuitionis Inferensial Dalam penelusuran literatur, terkait dengan pandangan mengenai intuisi dan belajar matematika, ditemukan bahwa pengertian intuisi matematika bergantung kepada dua pandangan, yaitu pengertian intuisi matematika dalam pandangan intuitionis klasik dan dalam pandangan intuitionis inferensial. Pertanyaan yang mendasari munculnya dua kelompok dalam pandangan berbeda terhadap intuisi, yaitu intuitionis klasik dan intuitionis inferensial, adalah bagaimana intuisi matematika itu? Apakah intuisi matematika adalah hasil penalaran atau bukan? Berikut diuraikan pandangan masing-masing kelompok pandangan tersebut. Pandangan intuitionis klasik. Ide utama yang mendasari pandangan intuitionis klasik adalah bahwa intuisi matematika terpisah dari penalaran formal; yaitu, siswa merepresentasikan masalah matematika dalam cara bahwa jawaban menjadi jelas dengan sendirinya dan seketika, tanpa perlu jastifikasi atau analisis formal. Pandangan ini dapat ditelusuri dalam perkembangan filsafat tentang “intuitisme klasikal” di mana filosof seperti Spinoza dan Bergson berargumentasi bahwa penalaran tidak memainkan peranan dalam intuisi (Zeev dan Star, 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa, intutionis klasik memandang intuisi sebagai “a special contact with prime reality, producing a sense of ultimate unity, true beauty, perfect certainty, and blessedness.” Menurut pandangan ini intuisi bersifat antithetical to reason. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat diverifikasi, diacu, atau benar-benar dipahami secara intelektual. Pengetahuan intuitif tidak praktikal atau tidak dapat diaplikasikan. Ia dipandang a priori dan tidak bergantung kepada pengetahuan sebelumnya. Beberapa konseptualisasi yang lebih modern dalam psikologi dan pendidikan juga mencakup pandangan yang serupa tentang intuisi. Sebagai contoh, Resnick (1986) memandang intuisi matematika sebagai cognitive primitives that can function without formal mathematical analysis. Serupa dengan itu, Dixon dan Moore (1996) mendefinisikan pemahaman intuitif terhadap suatu masalah (masalah matematika) sebagai representasi berbeda dari representasi suatu prosedur formal dalam penyelesaian masalah. Dreyfus dan Eisenberg (1982) mendefinisikan intuisi matematika sebagai mental representations of facts that appear to be self evident. Mereka



mengoperasionalkan penggunaan intuisi matematika sebagai kemampuan menyelesaikan masalah meskipun tidak dilakukan melalui pengajaran matematika formal dalam suatu topik. Selanjutnya, Fischbein dan koleganya (Fischbein, Tirosh, & Melamed, 1981) mendefinisikan intuitive acceptance sebagai the act of accepting a certain solution or interpretation directly without explicit or detailed justification. Bagaimana intuisi berawal? Kita dapat menduga bahwa intuisi berawal tidak diperoleh melalui sekolah atau tutorial tetapi merupakan bawaan. Sebagai contoh, Rochel Gelman dan koleganya (Zeev dan Star, 2002) menggambarkan bahwa intuisi merupakan sekumpulan tentang apa yang mereka percaya, salah satunya adalah prinsip menghitung yang merupakan bawaan sejak manusia lahir. Peneliti lain, seperti Wynn (1995) berpendapat bahwa bayi memiliki kemampuan merepresentasikan bilangan secara mental. Lebih jauh studi yang dilakukan Wynn menunjukkan bahwa bayi cenderung memandang kesalahan secara numerik dari pada mengoreksi hasil perhitungan aritmetika sederhana. Wynn berpendapat bahwa temuan ini menunjukkan bahwa bayi dapat melakukan komputasi sederhana bilangan bulat positip dan merupakan fondasi komputasi numerik yang dimiliki bayi. Pandangan intuitionis inferensial. Pandangan intuitionist inferensial berbeda secara radikal dengan pandangan intuitionist klasik. Ide utama yang mendasari pendekatan intuitionist inferensial adalah bahwa intuisi bukan suatu mekanisme khusus tetapi bentuk penalaran yang dipandu oleh interaksi orang dengan lingkungan. Pandangan ini sesuai dengan pandangan filosof seperti Ewing dan Bunge (Zeev dan Star, 2002) yang menyatakan intuisi merupakan produk penalaran dan pengalaman belajar sebelumnya. Selanjutnya, Bunge menyatakan bahwa intuisi adalah hipotesis yang diuji orang dengan melakukan pertimbangan probabilistik. Contoh dari pandangan seperti ini dalam literatur pendidikan dapat dilihat dalam Fischbein (1982). Fischbein berpendapat bahwa feeling yang tiba-tiba, keterpaduan, dan kepercayaan tentang penyelesaian matematika mungkin sebagai hasil dari mini-theory atau model yang mendukung inferensi yang berbasis pada pengetahuan implisit. Dalam hal ini, proses yang memunculkan intuisi beroperasi secara diam-diam dan tanpa kesadaran, tetapi ia dipandang menjadi proses yang sama dengan proses yang mendukung penalaran matematika yang lebih



eksplisit. Fischbein menyatakan bahwa melalui proses pelatihan dan familiarisasi, individu dapat mengembangkan intuisi baru. Jadi, dari perspektif ini, dapat dikatakan bahwa intuisi dapat dipelajari, diperoleh, dan dikembangkan. Dari kedua pandangan terhadap intuisi (pandangan intuitionis klasik dan pandangan intuitionis inferensial) ditemukan perbedaan, bagaimana intuisi terkait dengan pengetahuan seseorang. Menurut pandangan intuitionis klasik, intuisi dibangun dari pengetahuan informal sehari-hari, misalnya intuisi anak pra-sekolah dalam melakukan perhitungan aritmetika sederhana seperti menghitung dan menjumlah. Pada sisi lain, dalam pandangan intuitionis inferensial, intuisi dibangun sebagai hasil dari pembelajaran atau pelatihan formal. Hal-hal yang diungkap di atas mencerminkan adanya perbedaan dan kesamaan pandangan mengenai karakteristik dan pengertian intuisi. Plato misalnya, menyatakan bahwa intuisi merupakan hasil dari suatu proses berpikir yang serupa dengan proses berpikir “Tuhan” (God’s thought) sehingga bersifat tidak pernah salah (infallible). Pada sisi lain, beberapa pandangan menunjukkan bahwa konklusi yang berbasis kepada intuisi bisa tidak benar (fallible). Hal ini dapat dilihat dalam pandangan bahwa intuisi bersifat Catalytic inference (Bunge dalam Zeev dan Star, 2002), intuisi dikarakterisasikan oleh informasi eksplisit yang sedikit/kurang dibanding informasi yang umumnya dibutuhkan untuk meraih konklusi (Westcott dalam Zeev dan Star, 2002), dan intuisi sering melewati atau tidak memperhatikan data dalam merumuskan konklusi (Fischbein, 1982). Seorang ahli psikologi, Katherine Wild (Henden.G., 2004) telah menulis sejumlah paper mengenai intuisi, termasuk intuisi menurut pandangan para ahli filsafat dan ahli psikologi Katherin Wild menyatakan bahwa definisi intuisi yang umumnya digunakan para ahli-ahli tersebut adalah suatu ide untuk meraih suatu konklusi, suatu proses sintesis, suatu proses memformulasi, atau penyelesaian masalah tanpa kesadaran dari proses tersebut sehingga konklusi atau sintesis dicapai. Disamping perbedaan pandangan tentang karakteristik intuisi, umumnya para ahli psikologi sepakat bahwa pernyataan, interpretasi atau konklusi yang berbasis kepada intuisi merupakan keputusan “segera” (immediate) terhadap suatu situasi atau masalah, atau dengan kata lain, intuisi merupakan kognisi segera (immediate cognition).



Perlu



diperhatikan



bahwa



tidak



semua



kognisi



segera



merupakan



intuisi. Persepsi merupakan aktivitas mental yang juga berlangsung segera. Sebagai contoh, seseorang dengan segera dapat menyimpulkan bahwa meja-meja didepannya berbeda ukurannya, berbeda warnanya, atau berbeda bentuknya. Ini adalah persepsi seseorang terhadap meja-meja tersebut. Contoh lainnya, bilamana diberikan dua garis berpotongan, seseorang dengan segera menyimpulkan bahwa sudut-sudut yang bertolak belakang pada garis yang berpotongan tersebut sama besar. Ini adalah persepsi orang tersebut terhadap besar sudut bertolak belakang pada garis berpotongan yang disajikan padanya. Persepsi adalah aktivitas mental untuk menghasilkan representasi atau interpretasi yang didasarkan pada penggunaan alat indera. Pada sisi lain, meskipun sifat “segera” (immediacy) merupakan artribut untuk menunjukkan berlangsungnya intuisi seseorang, beberapa ahli psikologi seperti Babay, Levyadun, Stavy dan Tirosh (2006) menyatakan bahwa dalam konteks sains dan matematika, sejauh ini belum ada alat ukur empiris untuk mengukur sifat “segera” respon intuitif (so far no empirical measurement of the immediacy of intuitive responses has been carried out in the context of science and mathematics). Oleh karena itu, sangat sulit membuktikan bahwa seseorang menggunakan intuisi bilamana artribut ini (sifat immediacy dari intuisi) harus diukur untuk dijadikan salah satu dasar atau kriteria berlangsungnya intuisi seseorang.



D. Pengertian Intuisi Dalam Pandangan Islam Intuisi (intuition) adalah daya atau kemampuan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari. intuisi juga di sebut sebagai bisikan hari (khatrah) atau gerak hati (idrakul qolbi). Khatrah adalah keinginan yang tiba-tiba muncul untuk melakukan atau memilih sesuatu (Rida, 1960, vol. 2, hlm. 298). Dengan kata lain, bisikan hati tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang sebelumnya dipikirkan. Bisikan hati muncul begitu saja dan tidak bisa tetap dalam waktu lama, yakni ia akan hilang ketika ada bisikan hati yang laoin. Terkait hal ini, sebagian para pendahulu berpandangan bahwa bisikan hati yang benar adalah yang keluar pertama kali (As-Saraj, 1914, hlm. 342) Sedangakan idraqul qolbi adalah menyikap makna tersembunyi dengan mengikuti petunjuk Allah yang ia jelaskan melalui tanda, symbol, atau sandi yang hanya dipahami oleh hati



(Al-Asfahani, 1988, vol, 10, hal. 67; Ar-Razi, 2002, hlm.178). pengertian ini hamper mirip dengan pengertian isyarat, yakni sesuatu yang sulit diungkapkan oleh sesorang dengan bahasa lisan karena maknanya sangat lembut (As-Saraj, 1914, hlm. 337; Asy-Syarkawi, 1987, hlm. 45).



E. Peran Intuisi Sebagai Sumber Kebenaran Agatha Christie, seorang penulis novel kriminal yang popular, mengatakan dalam tulisannya, The Moving Finger bahwa “Seberapa banyak kita mengetahui pada satu waktu tertentu? Jauh lebih banyak dari pada yang benar-benar kita ketahui, atau begitulah yang saya percayai, begitulah yang saya percayai!” Christie menegaskan akan kelemahan manusia dalam menguasai pengetahuan yang ada di ala mini. Ternyata, pengetahuan yang kita miliki hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak pengetahuan yang ada yang dijadikan sebagai salah satu sumber kebenaran. Kebenaran merupakan suatu topik pembahasan dalam kehidupan manusia yang senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia. Kebenaran yang dipahami oleh manusia mengalami evolusi berawal dari pemahaman secara mitis, namun secara berangsur-angsur manusia dipengaruhi oleh pengetahuan yang diterimanya. Pengetahuan merupakan hasil dari proses pencarian tahu tentang sesuatu, sementara itu proses aktivitas manusia untuk memperoleh pengetahuan sendiri akan melahirkan ilmu. Dalam Filsafat Ilmu dikenal ada tiga sumber kebenaran. Pertama, kebenaran koherensi, yaitu kebenaran yang dapat diketahui jika ada satu pernyataan [premis] kemudian terdapat premis lain yang mendukungnya yang selanjutnya dari dua premis tersebut ditarik sebuah kesimpulan [conclusion] dan kebenaran kesimpulan itu selaras dengan logika yang dipahami oleh manusia, maka itulah kebenaran yang koheren. Kedua, kebenaran korespondensi, yaitu kebenaran yang diperoleh dengan cara melakukan suatu cross check antara pernyataan dalam ide atau gagasan dengan realitas fakta yang ada. Sebagai contoh bila ada pernyataan bahwa garam itu rasanya asin kemudian kita buktikan dalam realitas faktanya ternyata asin maka itulah yang dimaksud dengan kebenaran yang koresponden. Ketiga, kebenaran pragmatisme, yaitu teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang berfungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Bila suatu teori keilmuan secara fungsional mampu menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu gejala alam tertentu maka secara pragmatis teori itu adalah



benar. Sekiranya, dalam kurun waktu yang berlainan, muncul teori lain yang lebih fungsional, maka kebenaran kita alihkan kepada teori baru tersebut. Memang, dalam teori-teori Filsafat Ilmu di kalangan intelektual Barat hanya dikenal ada tiga sumber kebenaran. Hal ini dapat dipahami karena dalam tradisi scientist Barat, kemajuan mereka di bidang ilmu diawali dari sikap menjauhkan diri dari sikap dogmatis agama. Karena pada masa awal kebangkitan keilmuan di Barat, para scientist mendapatkan tantangan yang cukup sengit dari otoritas gereja. Diyakini oleh kalangan gereja bahwa kebenaran mutlak itu ada dalam al-Kitab, tidak terkecuali masalah ilmu-ilmu kealaman [seperti fisika, kimia, dan biologi di dalamnya]. Sehingga ketika ada teori-teori baru yang tidak selaras dengan dogma agama maka dipandang bertentangan dengan kebenaran gereja yang selama ini diperpegangi. Oleh karenanya, si pembawa teori baru itu tidak sedikit yang harus berhadapan dengan hukuman mati dari pihak otoritas gereja. Dari sini dapat dipahami pula munculnya sebuah ungkapan bahwa “Semakin maju pemikiran ilmuwan [scientist] Barat maka mereka semakin menjauh dari agama [Kristen].” Implikasinya memang dapat dirasakan hingga sekarang ini di kalangan ilmuwan Barat belum menerima bahwa kebenaran wahyu merupakan bagian dari kebenaran yang ada, atau dianggap sebagai salah satu sumber kebenaran. Namun tampaknya, dalam tradisi intelektual Muslim, khususnya di masa pembaharuan ini, berusaha memasukkan wahyu sebagai salah satu sumber kebenaran. Kendatipun diterima dengan catatan bahwa kebenaran wahyu ini merupakan kebenaran yang bersifat given [pemberian] dari Yang Maha Tinggi, namun beberapa ilmuwan Muslim berusaha mencarikan argumentasi yang dapat diterima oleh nalar yang sehat. Semisal Prof. Isma’il Raji al-Faruqi, guru besar Islamic studies di Harvard University Amerika Serikat, dengan menawarkan islamisasi sains, ia berusaha memberikan argumen-argumen logis akan diterimanya wahyu sebagai sumber kebenaran abadi. Alasan al-Faruqi perlunya umat Muslim melakukan islamisasi karena adanya kelemahan metode Barat yang selama ini digunakan oleh komunitas akademik di dunia ini. Pertama, semenjak awal formulasinya dalam karya-karya Francis Bacon dan Rene Descartes, metode modern Barat mengalami bias empirisis yang pada masa kontemporer mencapai puncaknya pada pendekatan positivistik logis yang dijelmakan dalam behaviouralisme Barat. Benar, bahwa beberapa ilmuwan Barat telah meninggalkan behaviouralisme di bawah tekanan para pengeritik yang menunjukkan ketidakmungkinan memisahkan fakta dari nilai dalam ilmu-ilmu sosial. Namun, post-



behaviouralisme tidak menandakan suatu perubahan yang sejati dalam bentuk penelitian ilmiahnya, tetapi sekadar sebagai strategi gerakan yang dimaksudkan untuk membungkam para pengeritiknya. Kedua, pada tiga abad terakhir, sarjana Barat secara sempurna dapat menyingkirkan wahyu sebagai suatu sumber pengetahuan, dan dengan demikian mereduksi wahyu pada tingkat sematamata khayalan dan dongeng. Meskipun penyingkiran ini sebagai akibat dari konflik sarjana Barat dengan wahyu dalam Injil, ilmuwan Muslim berpendapat bahwa tidak mungkin menggabungkan wahyu dalam penelitian sosial dengan mendasarkan pada metodologi Barat modern. Ilmuwanilmuwan Muslim terpaksa mengadopsi metode-metode Barat, dan karenanya tidak menjadikan wahyu sebagai sumber pengetahuan, atau menerima wahyu dengan secara sempurna mengorbankan metode-metode modern dan membatasi diri pada metode-metode klasik semata. Intuisi sumber Kebenaran Intuisi, berdasarkan Webster Dictionary, adalah kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan langsung atau wawasan langsung tanpa melalui observasi atau penalaran terlebih dulu. Menurut David G. Myers, penulis buku Intuition: Its Power and Perils [2002], pemikiran intuitif itu laiknya persepsi, sekelebat, dan tanpa usaha. Memang, psikolog sosial peraih Gordon Allport Prize ini secara jujur mengikuti pandangan Prof. Daniel Kahneman, Guru Besar Psikologi Princeton University. Pengalaman Kahneman, Pemenang Nobel Ekonomi 2002, dapat ditelusuri dari pernyataannya, “Kami mempelajari pelbagai macam intuisi, beragam pemikiran, dan preferensi yang mendatangi pikiran secara cepat tanpa banyak refleksi.” Gambaran diperolehnya kebenaran intuisi ini dapat diilusterasikan pada penjelasan berikut. Saat memilih pasangan seumur hidup, memilih jurusan kuliah atau bidang pekerjaan, menentukan partner bisnis, memutuskan sebuah kebijakan atau sikap politik, bahkan ketika memasang taruhan dalam sebuah permainan, di hadapan Anda tersedia paling tidak dua pilihan. Sayang, tidak tersedia cukup waktu untuk melakukan analisis, berpikir logis apalagi kritis, sebab permainan harus segera dilanjutkan dan dadu sesaat lagi akan dilemparkan. Satu keputusan harus segera Anda tentukan. Tiba-tiba, Anda merasa memperoleh bisikan, ilham, wangsit, informasi laduni, atau apalah Anda menyebutnya. Kemudian, dengan begitu yakin dan penuh percaya diri, Anda segera menentukan satu pilihan. Dan, Anda berhasil menjadi pemenang.



Itulah salah satu cara kerja intuisi. Pelbagai data dan temuan dari beratus riset mutakhir di bidang psikologi dan riset otak telah menegaskan bahwa kecerdasan intuitif sesungguhnya bisa dimiliki oleh setiap orang dari berbagai kalangan. Melalui serangkaian argumen yang amat bernas disertai contoh-contoh lugas, tulisan David G. Myers di atas juga menunjukkan kekuatan, kelemahan, dan penerapan intuisi secara praktis untuk mencapai kesuksesan dalam beragam profesi: pejabat, pelaku ekonomi, psikiater, pendidik, pewawancara, bahkan penjudi dan paranormal sekalipun. Kekuatan Intuisi Menurut Niels Bohr, seorang fisikawan, “Ada kebenaran sepele, ada kebenaran agung. Kebalikan dari kebenaran yang sepele adalah keliru. Kebalikan dari kebenaran yang agung adalah benar”. Demikian juga halnya dengan intuisi manusia. Ia memiliki kekuatan-kekuatan, juga bahaya-bahaya yang mengejutkan. Di satu sisi, sains kognitif saat ini telah berhasil mengungkapkan pikiran tak sadar yang mempesonakan—pikiran lain yang tersembunyi—yang tidak pernah dikatakan Freud kepada kita. Lebih dari pada yang kita sadari selama lebih dari satu dasawarsa lalu, proses berpikir terjadi bukan on stage, tetapi off stage, tidak tampak. Dalam diri manusia terdapat beberapa gejala yang dapat dijelaskan, semisal “pemrosesan otomatis”, “pendasaran subliminal [subliminal priming]”, “memori implisit”, “heuristik”, “inferensi sifat bawaan spontan”, pemrosesan otak kanan, emosi-emosi sesaat, komunikasi non-verbal, dan kreativitas telah membuka selubung kapasitas-kapasitas intuitif kita. Berpikir, memori, dan sikapsikap seluruhnya berjalan pada dua tingkatan (sadar dan sengaja, tak sadar dan otomatis). Pemrosesan ganda [dual processing], demikianlah para peneliti sekarang menyebutnya. Impuls-impuls syaraf berjalan lebih lambat satu juta kali dibandingkan pesan-pesan internal computer, meskipun otak kita melebihi computer dengan pengenalannya yang sangat cepat. “Anda bisa membeli sebuah mesin catur yang bisa mengalahkan seorang master”, ungkap seorang peneliti visi Donald Hoffman, “tetapi Anda tidak bisa membeli sebuah mesin visi yang sanggup mengalahkan visi seorang anak yang baru belajar berjalan”. Jika intuisi adalah pengenalan langsung, tanpa analisis ternalar, maka pencerapan adalah intuisi par excellence. Dengan demikian, apakah intelegensia manusia lebih dari sekadar logika? Apakah berpikir lebih dari sekadar menata kata-kata? Apakah pemahaman lebih dari sekadar pengenalan yang sadar? Psikolog kognitif George Miller menjelaskan kebenaran ini dengan kisah mengenai dua orang



penumpang yang bersandar pada jeruji kapal sambil memandang lautan. “Tentu saja ada banyak sekali air di lautan”, ujar salah seorang di antara mereka. ‘Ya’, temannya menjawab, ‘dan kita hanya melihat permukaannya saja”. Persoalan yang dihadapi oleh manusia sangat kompleks. Tidak semua persoalan itu dapat diukur dengan penilaian secara matematik, dengan hitungan angka-angka atau parametrik. Albert Einstein, penemu bom atom pertama kali dalam dunia fisika, menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa, “Tidak semua hal yang bisa dihitung berjumlah, dan tidak semua hal berjumlah bisa dihitung.” Dari pernyataan Einstein ini tersirat adanya suatu kebenaran yang datangnya tidak dapat diprediksikan secara matematis, yaitu dengan hitungan secara pasti. Ini menunjukkan adanya alternatif sebuah sumber kebenaran yang dapat dilacak dari potensi-potensi yang ada dari kekuatan manusia sebagai anugerah Tuhan. Kekuatan ini lebih mengarah kepada bagaimana manusia mampu mengoptimalkan kekuatan potensial menjadi kekuatan aktual. Kekuatan aktual yang dapat diandalkan itu adalah intuisi. Dalam Reith Lecture di BBC pada tahun 2000, Pangeran Charles mengangkat tema, Kearifan dari Hati. “Jauh di dalam lubuk hati kita masing-masing, berdiam sebuah kesadaran instingtif, kesadaran yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang menyediakan—jika kita mengizinkannya—bimbingan yang paling bisa diandalkan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan “Apakah tindakan-tindakan kita (atau bukan tindakan-tindakan kita) telah benar-benar sesuai dengan kepentingan jangka panjang planet bumi yang kini sama-sama kita huni dan seluruh kehidupan yang menopangnya?” Kearifan, empati dan kasih sayang tidak memiliki tempat di dunia empirik. Tetapi, kearifan-kearifan tradisional akan mendesakkan pertanyaan kepada kita, “Tanpa semua itu apakah kita benar-benar bisa menjadi manusia yang sesungguhnya?” Kita seharusnya, ujar sang raja masa depan itu, “lebih banyak mendengarkan akal sehat [common sense] yang memancar dari hati nurani kita”. Dengan mengandalkan intuisinya [pandangan khas seorang pascamodernis New Age] Pangeran Charles berhasil memiliki banyak perusahaan. Para sarjana, penulis populer dan para guru workshop dengan semangat terus melatih orang-orang untuk belajar mempercayai hati nurani mereka sekaligus mempercayai kepala [baca: otak] mereka.



Bahaya Intuisi Intuisi bukan hanya panas, tetapi ia juga merupakan bagian besar dari pembuatan keputusan manusia. Akan tetapi, kebenaran komplementernya adalah bahwa intuisi seringkali keliru. Kesampingkanlah, untuk sesaat, pikiran rasional Anda dan alat-alat analitik yang melayaninya. Letakkanlah tongkat pengukur itu dan ambillah napas dalam-dalam, santaikanlah tubuh Anda, diamkanlah pikiran Anda yang kecanduan berbicara, dan dengarkanlah indera keenam Anda. Dengarkanlah nyanyian lembut yang ia tuturkan kepada Anda, secara langsung dan seketika. Anda mungkin pernah menyaksikan sebagian efek-efek penglihatan, yang merupakan sebagian di antara lusinan ilusterasi mengenai bagaimana kebiasaan-kebiasaan otak dalam mencerap dunia—kebiasaan-kebiasaan yang pada umumnya memampukan intuisi yang tepat— kadang-kadang menuntut kita, sebagaimana bisa disaksikan oleh para pengemudi dan pilot yang terluka [tidak bisa disaksikan oleh mereka yang mati]. Banyak hal yang mungkin dengan cara tertentu tampak benar-benar berbeda. Apakah kesalahan-kesalahan intuisi ini hanya terbatas pada tipuan-tipuan penglihatan semata? Pertimbangkanlah beberapa pernyataan sederhana ini. Lagilagi, ikutilah nasehat kaum intuitif untuk mendiamkan pikiran otak kiri Anda yang linier dan logis, kemudian bukakanlah diri Anda untuk menerima bisikan-bisikan dan kearifan batin Anda. Intuisi-intuisi kita bisa keliru. Karena secarik kertas memiliki ketebalan 0,1 milimeter, maka ketebalannya setelah dilipat 100, dengan masing-masing penggandaan dari ketebalan sebelumnya, menjadi 800 trilyun kali jarak antara bumi dan matahari. Sepanjang seluruh sejarah umat manusia, nenek moyang kita setiap hari melihat matahari melintasi langit. Ini setidaknya memiliki dua penjelasan yang masuk akal: a) matahari memutari bumi, atau b) bumi berputar sementara matahari tetap berada di tempatnya. Intuisi lebih menyukai yang pertama. Sementara observasi-observasi ilmiah Galileo menghendaki yang kedua. Menurut David G. Myers [2002], psikologi yang dipelajarinya terkadang meneguhkan intuisi masyarakat. Sebuah pernikahan yang langgeng dan committed adalah kondusif bagi kebahagiaan orang tua dan perkembangan anak. Sementara itu, kemerdekaan dan perasaanperasaan terkendali [feelings of control] yang dicerap adalah kondusif bagi kebahagiaan dan pencapaian. Tetapi, pada saat yang sama, intuisi-intuisi kita yang tanpa bantuan mungkin mengatakan kepada kita bahwa keakraban menumbuhsuburkan rasa jijik, bahwa mimpi-mimpi



memprediksikan masa depan, dan bahwa swa-penghargaan yang tinggi selalu bermanfaat bagi gagasan-gagasan yang tidak didukung oleh bukti yang ada. Bahkan California Task Force to Promote Self-Esteem mengakui dalam laporannya bahwa anggapan yang “tepat secara intuitif”— bahwa swa-penghargaan yang tinggi mengarah pada perilaku-perilaku yang dikehendaki—selama ini hanya sedikit mendapatkan dukungan. Adalah benar bahwa mereka yang memiliki harga diri tinggi lebih sedikit terkena risiko depresi, tetapi harga diri tinggi juga memiliki sisi gelapnya sendiri. Banyak kekerasan justeru berasal dari kebocoran ego-ego yang dilambungkan. Berdasarkan paparan di atas, intuisi dapat dijadikan sebagai sumber salah satu kebenaran yang sifatnya emergence. Hal ini karena intuisi dapat muncul di saat manusia dalam kondisi terpepet karena waktu sementara itu, ia harus memutuskan sesuatu yang sedang dipikirkan. Tentunya, kebenaran intuisi adalah kebenaran yang bersifat tentatif dan relatif, bukan sebagai kebenaran absolute seperti wahyu yang diyakini oleh orang yang beragama. Dalam realitasnya, intuisi memiliki kekuatan sekaligus kelemahan yang secara praktis dapat dilihat dan diamati dalam kehidupan empiris. F. Jenis-jenis Intuisi Adapun jenis-jenis intuisi yaitu sebagai berikut: 1. Khatir Khâtir ialah bisikan yang menghunjam ke dalam hati seseorang tanpa diduga olehnya. Bisikan pada khâtir lebih terarah pada perintah untuk melakukan sesuatu.Khatir juga disebut bekas-bekas yang timbul di dalam hati seseorang, yang mendorongnya dan mengajaknya untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. karena berubah-ubahnya hati. Semua khatir yang timbul di hati seseorang itu sebenarnya dari Allah Ta’ala. 2. Ilham Potensi intuitif manusia yang mengajak pada kebaikan. Intuisi ini bisa bersifat Rabbani atau intuisi Ilahi dan bisa dari bisikan malaikat atas ijin Allah. Fenomena ilham dalam masyrakat islam khususnya dan dalam hati seorang muslim merupakan fenomena yang bisa terjadi menurut syara’. Ilham ini sering terjadi di lingkungan ummat, bahkan sering dialami oleh setiap orang itu sendiri atau disaksikan dari orang-orang di sekitar mereka, jika mereka melakukan sesuatu hal yang termasuk kategori perjalanan menuju Tuhan.



Di sini, cakrawala dan perasaan qalbiyah bisa dirasakan seseorang apabila memiliki nash-nash yang qath’i atau pasti yang dengannya dia merasa tenang sehingga apa yang dirasakannya adalah benar, karena nash-nash Rabbanimemberikan penjelasan kepadanya tentang hakikat dunia jiwa, hati dan akal dan apa yang mungkin terjadi atau dialami oleh ketiganya. 3. Ilmu laduni Dalam ilmu tasawuf, ilmu laduni dianggap ilmu yang paling tinggi dibandingkan ilmuilmu lainnya. Ilmu laduni merupakan ilmu yang dikaruniakan Allah SWT kepada seorang secara tiba-tiba tanpa diketahui bagaimana proses awalnya, sehingga orang menerimanya dapat langsung menguasai ilmu tersebut tanpa belajar. Secara etimologi atau bahasa ilmu laduni terdiri atas dua kata bahasa arab, “ilmu” dan “laduni”, kata ilmu diartikan dengan pengetahuan (knowledge), sedangkan laduni adalah hidayah dari Allah. Jadi ilmu laduni adalah pengetahuan yang datang dari sisi Allah yang diberikan kepada manusia. Menurut pandangan psikologi, ilmu laduni disebut dengan pengetahuan diam-diam (Tacit knowledge) atau pengetahuan implicit, yang dipelajari melalui pengalaman tetapi tanpa intense. Dan pengetahuan diam-diam ini tidak bisa diakses secara biasa oleh kesadaran. 4. Waswas Wawas merupakan bisikan dari setan dan hawa nafsu yang mengajak negative berprilaku menyimpang. Disebut juga gerak hati yang datang dari setan dan hawa nafsu tetapi sebenarnya ini timbul sesudah adanya ajakan dari setan dan hawa nafsu. Seperti yang dijelaskan di surat al-An’am ayat 112 yang artinya. “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki , niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” 5. Firasat Firasat adalah kekuatan yang diberikan Allah tersebut, tidak hanya terbatas kepada cara memandang, melihat, memutuskan suatu perkara ataupun mencarikan jalan keluar. Akan tetapi, kekuatan tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan ini. Orang yang beriman



mempunyai kelebihan kekuatan dalam bersabar menghadapi ujian dan cobaan, karena dia yakin bahwa hanya Allah-lah yang mampu menyelamatkan dan memberikan jalan keluar dari ujian tersebut, sekaligus berharap dari ujian tersebut, bahwa dia akan mendapatkan pahala di sisi-Nya dan akan menambah ketinggian derajatnya di akherat kelak. Tanda- tanda firasat yang digunakan oleh seorang yang alim untuk mengetahui sebuah peristiwa, bukan hanya berupa “fahisah“ (kemaksiatan seperti zina dan sejenisnya) saja, akan tetapi tanda-tanda itu bisa juga berupa penyelewengan dari manhaj Al Quran secara umum dan penyelewengan dari disiplin ilmu yang benar, walaupun kadang, penyelewengan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, seperti : tidak adanya amar ma’ruf dan nahi mungkar didalam suatu masyarakat, atau bahkan ada perbuatan amar ma’ruf dan nahi mungkar, tetapi tidak dilandasi dengan ilmu syar’i yang benar. 6. Wahyu Dalam syariat Islam, wahyu adalah qalam atau pengetahuan dari Allah, yang diturunkan kepada seluruh makhluk-Nya dengan perantara malaikat ataupun secara langsung. Kata "wahyu" adalah kata benda, dan bentuk kata kerjanya adalah awha-yuhi, arti kata wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat. Selanjutnya dijelaskan lebih dalam bahwa pengertian makna wahyu meluas menjadi beberapa makna, di antaranya adalah sebagai: 



Perintah







Isyarat, seperti yang terjadi pada kisah Zakaria “Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda." Tuhan berfirman: "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat." Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang." (Maryam 10-11)



DAFTAR PUSTAKA



Mufid, Ahmad, AR.2018. Mengasah Intuisi (Pada Perenungan Tasawuf). Yokyakarta. Muezza. Rida, Ahmad, asy-Syekh. 1960. Mukjam Matnul Lughah; Mausaah Lughawiah Hadisah. Beirut: Darul Maktabah al-Hayah https://rumahmakalalah.blogspot.com/2016/01/intuisi-dalam-islam.html file:///D:/P%20A%20S%20C%20A/S%20E%20M%20E%20S%20T%20E%20R%20%20(I)/FIL SAFAT%20ILMU/INTUISI/PENGERTIAN%20DAN%20KARAKTERISTIK%20INT UISI%20_%20Teknologi%20Pendidikan.html