IPC Sediaan Steril Kelompok 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS FARMASI INDUSTRI IN PROCESS CONTROL (IPC) SEDIAAN STERIL



Dosen : apt. Lindy Ridyawati, M. Farm



Kelompok 1 :



Nurapni Hidayanti



41211097000003



Ari Dewiyanti



41211097000007



Nimas Cahya Sukma Utari



41211097000011



Adilla Suci Ananda



41211097000017



Esa Fathiya Mumtaz



41211097000019



Nadilla Sofa Rahmah



41211097000026



Siti Ramdhiyah



41211097000029



Jovan Karnova



41211097000032



Robiah Al Adawiyah



41211097000035



PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA NOVEMBER /2021



DAFTAR ISI DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. 2 BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………. 3 1.1 Latar Belakang ………………………………………………...…………3 1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………..........4 1.3 Tujuan ……………………………………………………….……….…...4 BAB II IN PROCESS CONTROL SEDIAAN STERIL ………………..….……. 5 2.1 Penetapan Volume Injeksi Dalam Wadah ……………………….…........ 5 2.2 Uji Endotoksin Bakteri……………………………………………..……. 6 2.3 Uji Osmolalitas ………..………………….…………………………… 13 2.4 Uji Visual ……….……...…………………….…………………...……. 15 2.5 Uji Kadar (Infus, Ampul, Vial) ……………….…………………………16 2.6 Uji Bioburden ……………………………………………………...…… 20 2.7 Penetapan pH………………………………………………….………... 25 2.8 Uji Impurity/Pengotor …………………………………………….….… 26 2.9 Uji Sterilitas ……………………………………………………….…… 27 2.10 Coding …………………………………………………………….…... 28 2.11 Uji Kebocoran …………………………………………………….…... 28 BAB III PENUTUP ……………………………………………………………. 30 DAFTAR PUSTAKA.……………………………………..………………….... 31



2



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sediaan steril merupakan sediaan yang bebas dari cemaran mikroba baik patogen maupun non patogen. Proses produksi sediaan steril berbeda dengan sediaan farmasi pada umumnya, produk steril haruslah dibuat dengan persyaratan khusus, bertujuan untuk meniadakan (memperkecil) resiko kontaminasi mikroba, partikel partikulat, pirogen dan produk interaksi lainnya (Agoes, 2009). Formulasi sediaan steril merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi yang banyak digunakan khususnya pada pasien rawat inap di Rumah sakit. Sediaan farmasi yang termasuk ke dalam sediaan steril yaitu sediaan obat suntik bervolume kecil atau besar, cairan irigasi untuk meredam luka atau lubang operasi, larutan dialisa dan sediaan biologis seperti vaksin, toksoid dan antitoksin. Sterilitas obat sangat penting karena sediaan tersebut langsung berhubungan dengan cairan dan jaringan tubuh yang dapat dengan mudah terjadi infeksi apabila sediaan tersebut tidak steril (Ansel, 1989). Dalam produksi sediaan steril, industri farmasi memiliki persyaratan khusus dalam manajemen mutu produknya yaitu harus memenuhi aturan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) atau dikenal dengan Current Good Manufacturing Practice (cGMP). Penerapan sistem manajemen mutu ini bertujuan agar menghasilkan obat yang berkualitas dan bermutu baik. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menkes No. 43/Menkes/SK/11/1988 tentang pedoman CPOB yang mengatur terkait penjaminan mutu obat yang dihasilkan sediaan industri farmasi di seluruh aspek melalui serangkaian kegiatan produksi. Sehingga nantinya obat yang dihasilkan dapat memenuhi persyaratan mutu dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Berdasarkan CPOB tahun 2006, aspek yang berkaitan dengan mutu produk yaitu manajemen mutu, pengawasan mutu dan pengkajian pemastian mutu produk (BPOM RI, 2006). Pemastian mutu adalah totalitas semua pengaturan yang dibuat dengan tujuan untuk memastikan bahwa obat yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu dan tujuan pemakaiannya. Oleh karena itu pengawasan selama



3



proses (in process control) produksi sangat perlu dilakukan untuk menjaga kualitas dari sediaan farmasi yang dibuat. Pengawasan selama proses produksi meliputi proses manufacture, processing, pengemasan dan lainnya harus dilakukan dan dipastikan bahwa setiap proses tersebut sesuai dengan prosedur tertulis yang telah ditetapkan dan setiap tahapannya tercatat. Dengan dilakukannya IPC (In Process Control), diharapkan sediaan obat yang diproduksi dari segi identitas, kekuatan sediaan, kemurnian dapat memenuhi kualitas obat yang baik sesuai standar dan terjamin mutu serta keamanannya. Pengawasan tersebut juga dimaksudkan untuk memantau hasil dan memvalidasi kinerja dari proses produksi yang mungkin menjadi penyebab variasi karakteristik produk selama proses berjalan. Prosedur tertulis untuk pengawasan selama proses hendaklah dipatuhi. Prosedur tersebut hendaklah menjelaskan titik pengambilan sampel, frekuensi pengambilan sampel, jumlah sampel yang diambil, spesifikasi yang harus diperiksa dan batas penerimaan untuk tiap spesifikasi.



1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Apa saja In Process Control (IPC) pada sediaan steril? 1.2.2 Apa perbedaan In Process Control (IPC) pada tiap jenis sediaan steril?



1.3 Tujuan 1.3.1



Mengetahui In Process Control (IPC) pada sediaan steril.



1.3.2



Mengetahui perbedaan In Process Control (IPC) pada tiap jenis sediaan steril.



4



BAB II IN PROCESS CONTROL SEDIAAN STERIL



2.1 Penetapan Volume Injeksi Dalam Wadah 2.1.1 Prosedur a. Pengambilan wadah: 1) Pilih salah satu atau lebih wadah, volume 10 mL atau lebih 2) 3 wadah atau lebih volume lebih dari 3 mL dan kurang dari 10 mL, atau 3) 5 wadah atau lebih bila volume 3 mL atau kurang. b. Pengambilan Sampel 1) Ambil isi tiap wadah dengan alat suntik hipodermik kering berukuran tidak lebih dari 3 kali volume yang akan diukur dan dilengkapi dengan jarum suntik nomor 21, panjang tidak kurang dari 2,5 cm. 2) Keluarkan gelembung udara dari dalam jarum dan alat suntik dan pindahkan isi dalam alat suntik, tanpa mengosongkan bagian jarum, ke dalam gelas ukur kering volume tertentu yang telah dibakukan sehingga volume yang diukur memenuhi sekurang-kurangnya 40% volume dari kapasitas tertera (garis-garis penunjuk volume gelas ukur menunjuk volume yang ditampung, bukan yang dituang). 3) Cara lain, isi alat suntik dapat dipindahkan ke dalam gelas piala kering yang telah ditara, volume dalam mL diperoleh dari hasil perhitungan berat dalam g dibagi bobot jenis cairan. Untuk sediaan dengan volume 2 mL atau kurang, dapat digabungkan untuk pengukuran dengan menggunakan jarum suntik kering terpisah untuk mengambil isi tiap wadah. Isi dari wadah 10 mL atau lebih dapat ditentukan dengan membuka wadah, memindahkan isi secara langsung ke dalam gelas ukur atau gelas piala yang telah ditara.



c. Volume tidak kurang dari volume yang tertera pada wadah bila diuji satu per satu, atau bila wadah volume 1 mL dan 2 mL, tidak kurang dari jumlah volume wadah yang tertera pada etiket bila isi digabung.



5



Tabel 1. Kelebihan Volume yang Dianjurkan Volume tertera dalam penandaan Untuk Cairan Encer Untuk Cairan Kental 0,5 mL



0,10 mL



0,12 mL



1,0 mL



0,10 mL



0,15 mL



2,0 mL



0,15 mL



0,25 mL



5,0 mL



0,30 mL



0,50 mL



10,0 mL



0,50 mL



0,70 mL



20,0 mL



0,60 mL



0,90 mL



30,0 mL



0,80 mL



1,20 mL



50,0 mL atau lebih



2%



3%



d. Bila dalam wadah dosis ganda berisi beberapa dosis volume tertera, lakukan penentuan seperti di atas dengan sejumlah alat suntik terpisah sejumlah dosis tertera. Volume tiap alat suntik yang diambil tidak kurang dari dosis yang tertera. Untuk injeksi mengandung minyak, bila perlu hangatkan wadah dan segera kocok baik-baik sebelum memisahkan isi. Dinginkan hingga suhu 25° C sebelum pengukuran volume (Depkes RI, 2020).



2.2 Uji Endotoksin Bakteri 2.2.1



Tujuan Mendeteksi atau kuantisasi endotoksin bakteri yang mungkin terdapat



dalam suatu sediaan 2.2.2



Prinsip Uji endotoksin bakteri adalah uji untuk mendeteksi atau mengkuantitasi



endotoksin bakteri yang mungkin terdapat dalam sampel yang diuji. Pengujian dilakukan menggunakan Pengujian dilakukan menggunakan Limulus Amebocyte Lysate (LAL) yang diperoleh dari ekstrak air amebosit dalam kepiting ladam kuda



6



(Limulus polyphemus atau Tachypleus tridentatus) dan dibuat khusus sebagai pereaksi LAL. Terdapat dua tipe teknik uji, teknik pembentukan jendal gel dan teknik fotometrik. Teknik fotometrik mencakup metode turbidimetri, yang didasarkan pada pembentukan kekeruhan setelah penguraian substrat endogen, dan metode kromogenik yang didasarkan pada pembentukan warna setelah terjadi penguraian kompleks kromogen-peptida sintetik. Lakukan salah satu dari teknik tersebut, kecuali jika dinyatakan lain dalam monografi. Jika terjadi keraguan, maka keputusan akhir didasarkan pada hasil Teknik Pembentukan Jendal Gel, kecuali dinyatakan lain dalam monografi. Pada Teknik Pembentukan Jendal Gel, penetapan titik akhir reaksi dilakukan dengan membandingkan langsung enceran dari zat uji dengan enceran endotoksin baku, dan jumlah endotoksin dinyatakan dalam unit Endotoksin (UE) (Depkes RI, 2020). a. Alat dan Alat Gelas Depirogenasi seluruh peralatan gelas dan bahan tahan panas lainnya dalam oven udara panas menggunakan proses yang telah divalidasi. Umumnya waktu dan suhu minimum yang digunakan adalah 30 menit pada 250°C. Jika menggunakan peralatan plastik, misalnya microplate dan pipet tips untuk pipet otomatis, gunakan hanya yang sudah dibuktikan bebas endotoksin dan tidak akan mengganggu pengujian (Depkes RI, 2020). b. Penyiapan Larutan Induk Baku Pembanding dan Larutan Baku Pembanding Endotoksin Baku pembanding endotoksin (BPE) adalah Endotoksin BPFI yang telah diketahui potensinya dalam UE per vial. Konstitusi seluruh isi vial BPE dengan 5,0 mL air pereaksi LAL. Campur dengan pengocok vorteks secara intermiten selama 30 menit. Gunakan larutan pekat ini untuk membuat seri pengenceran yang sesuai. Simpan larutan pekat dalam lemari pendingin, selama tidak lebih dari 14 hari untuk membuat pengenceran berikutnya. Sebelum digunakan kocok kuat dengan pengocok vorteks selama tidak kurang dari 3 menit. Campur setiap enceran tidak kurang dari 30 detik sebelum membuat pengenceran berikutnya. Enceran tidak



7



boleh disimpan karena menyebabkan hilangnya aktivitas oleh penyerapan, kecuali ada data penunjang tentang hal ini (Depkes RI, 2020). c. Penetapan Batas Endotoksin Batas endotoksin obat parenteral, ditetapkan berdasarkan dosis, sama dengan K/M. Catatan: K adalah 5 UE per kg untuk semua cara pemberian selain dari intratekal (K adalah 0,2 UE per kg berat badan). Untuk sediaan radiofarmaka yang tidak diberikan secara intratekal, batas endotoksin dihitung sebagai 175/V, V adalah dosis maksimum dalam mL yang direkomendasikan. Untuk sediaan radiofarmaka yang diberikan secara intratekal. Batas endotoksin ditetapkan dengan rumus 14/V. Untuk formulasi (biasanya produk antikanker) diberikan berdasarkan pada m2 luas permukaan tubuh, dengan rumus K/M, K= 5 UE per kg dan M adalah (dosis maksimum/m2/jam x 1,80 m2)/ 70 kg.] K adalah dosis ambang pirogenik endotoksin pada manusia per kg berat badan, dan M sama dengan dosis maksimum produk pada manusia per kg berat badan dalam periode satu jam. Dalam masingmasing monografi, batas endotoksin obat parenteral dinyatakan dalam unit, misalnya UE/mL, UE/mg atau UE/unit aktivitas biologi (Depkes RI, 2020). d. Cara Jendal Gel Cara jendal gel mendeteksi atau mengkuantitasi endotoksin berdasarkan pembentukan jendal dari pereaksi LAL dengan adanya endotoksin. Konsentrasi endotoksin yang dibutuhkan untuk menyebabkan lysate menjendal pada kondisi standar dinyatakan sebagai kepekaan pereaksi LAL yang tertera pada etiket. Untuk menjamin presisi dan keabsahan pengujian, lakukan uji konfirmasi kepekaan pereaksi LAL yang tercantum dalam etiket dan uji factor pengganggu seperti tertera dalam Uji Persiapan untuk Cara Jendal Gel (Depkes RI, 2020). 2.2.3



Uji Persiapan untuk Cara Jendal Gel



a. Uji Konfirmasi Kepekaan Pereaksi LAL Lakukan konfirmasi kepekaan pereaksi yang tertera pada etiket menggunakan tidak kurang dari 1 vial untuk setiap lot pereaksi LAL. Buat pengenceran seri kelipatan 2 dari BPE dalam Air Pereaksi LAL hingga konsentrasi 2λ; λ; 0,5 λ; dan 0,25 λ. λ adalah kepekaan pereaksi LAL yang tertera pada etiket (UE/mL). Lakukan uji pada 4 konsentrasi larutan baku, dalam 4 replikasi termasuk kontrol negatif. Uji 8



konfirmasi kepekaan lysate dilakukan bila menggunakan pereaksi LAL bets baru atau bila ada perubahan dalam kondisi uji yang dapat mempengaruhi hasil uji. 1) Campur pereaksi LAL dengan larutan baku dari masing-masing konsentrasi dalam tabung uji dengan volume yang sama (0,1 mL). Jika digunakan vial atau ampul uji tunggal berisi pereaksi LAL kering beku, tambahkan larutan langsung ke dalam vial atau ampul. 2) Inkubasi campuran reaksi dalam waktu yang tetap sesuai dengan petunjuk produsen pereaksi LAL (biasanya 37 ±1o, selama 60 ± 2 menit), hindari getaran. 3) Untuk menguji integritas gel, ambil setiap tabung langsung dari inkubator dan balikkan 180o secara perlahan-lahan. Jika telah terbentuk gel yang kuat, yang tetap di tempatnya walaupun telah dibalik, catat sebagai hasil positif. Jika gel tidak terbentuk atau gel yang terbentuk jatuh ketika dibalik, maka hasil dinyatakan negatif. Uji dinyatakan absah, jika larutan baku konsentrasi terendah memberikan hasil negatif pada semua replikasi uji. Titik akhir adalah konsentrasi terendah yang masih memberikan hasil positif dari satu pengenceran seri. Hitung nilai rata-rata dari logaritma konsentrasi titik akhir, e, dan hitung antilogaritma dari nilai ratarata menggunakan rumus berikut: Rata-rata geometrik konsentrasi titik akhir = antilog (⅀e/f) f) ⅀e adalah jumlah logaritma konsentrasi titik akhir dari pengenceran seri yang digunakan; dan f adalah jumlah replikasi. Rata-rata geometri konsentrasi titik akhir adalah hasil pengukuran kepekaan pereaksi LAL (UE/mL). Jika hasil pengukuran kepekaan tidak kurang dari 0,5 λ dan tidak lebih dari 2 λ, maka kepekaan yang tercantum di etiket sesuai dan dapat digunakan dalam pelaksanaan pengujian dengan lysate. b. Uji Batas Jendal Gel 1) Prosedur Siapkan larutan A, B, C dan D seperti tertera pada Gambar 1 dan lakukan pengujian larutan ini mengikuti prosedur Uji Konfirmasi Kepekaan Pereaksi LAL, yang dijelaskan dalam Uji Persiapan Cara Jendal Gel.



9



2) Interpretasi Uji Uji absah jika kedua replikasi control positif larutan B dan C memberikan hasil positif dan kedua kontrol negatif larutan D adalah negatif. Sediaan uji memenuhi syarat jika diperoleh hasil negatif pada kedua tabung reaksi yang berisi larutan A, dan tidak memenuhi syarat jika diperoleh hasil positif pada dua tabung. Ulangi pengujian jika diperoleh hasil positif pada satu tabung reaksi berisi larutan A dan hasil negatif pada tabung lainnya. Sediaan uji memenuhi syarat jika diperoleh hasil negatif pada kedua tabung reaksi pada pengujian ulang. Jika pengujian positif untuk sediaan uji dengan pengenceran lebih kecil dari PMA, pengujian dapat diulang dengan pengenceran tidak melebihi PMA.



Gambar 1. Penyiapan Larutan untuk Pengujian Batas Pembentukan Jendal Gel c. Penetapan Kadar Endotoksin Bakteri 1) Prosedur Siapkan larutan A, B, C dan D seperti tertera pada Gambar 2 dan uji larutan ini mengikuti prosedur Uji Konfirmasi Kepekaan Pereaksi LAL, tertera dalam Uji Persiapan untuk Cara Jendal Gel. 2) Perhitungan dan Interpretasi Uji absah jika kondisi berikut dipenuhi: (1) Kedua replikasi dari kontrol negatif larutan D adalah negatif



10



(2) Kedua replikasi dari kontrol positif larutan B adalah positif (3) Rata-rata geometrik kadar titik akhir larutan C berada dalam rentang 0,5 λ 2 λ. (Depkes RI, 2020)



Gambar 2. Penyiapan Larutan untuk Penentuan Kadar Pembentukan Jendal Gel 2.2.4



Cara Fotometrik



a. Verifikasi Kriteria Kurva Baku Dengan menggunakan larutan endotoksin baku, siapkan minimal 3 kadar endotoksin untuk membuat kurva baku. Lakukan pengujian menggunakan minimal 3 replikasi untuk masing-masing kadar endotoksin baku, sesuai instruksi produsen pereaksi LAL (perbandingan volume, waktu inkubasi, suhu, pH, dan lain-lain). Nilai absolut dari koefisien korelasi, │r│, harus lebih besar atau sama dengan 0,980 untuk rentang kadar endotoksin sebagaimana ditetapkan oleh produsen pereaksi LAL. b. Uji Faktor Pengganggu untuk Cara Fotometrik Pilih satu kadar endotoksin pada atau di sekitar pertengahan kurva baku endotoksin. Siapkan larutan A, B, C dan D seperti yang tertera pada Gambar 3. Lakukan uji terhadap larutan A, B, C dan D minimal duplo sesuai instruksi untuk Pereaksi LAL yang digunakan. Rata-rata perolehan kembali endotoksin yang ditambahkan adalah kadar endotoksin total dalam larutan dikurangi kadar



11



endotoksin dalam larutan semula (jika ada). Agar dapat dinyatakan bebas dari faktor pengganggu pada kondisi pengujian, hasil pengukuran kadar endotoksin yang ditambahkan pada sampel harus berada diantara 50%-200% dari kadar endotoksin yang ditambahkan.



Gambar 3. Penyiapan Larutan untuk Uji Penghambatan/Pemacuan Cara Fotometrik c. Prosedur Cara Fotometrik Lakukan prosedur seperti yang tertera pada uji faktor pengganggu untuk cara fotometrik dalam uji persiapan cara fotometrik. d. Perhitungan Untuk Cara Fotometrik Hitung kadar endotoksin dari tiap-tiap replikasi larutan uji A, menggunakan kurva baku yang dibuat dengan kontrol positif larutan C. Uji dinyatakan absahjika kondisi berikut dipenuhi: (1) Hasil kontrol positif larutan C memenuhi persyaratan validasi yang ditetapkan pada Verifikasi Kriteria Kurva Baku dalam Uji Persiapan Cara Fotometrik.



12



(2) Perolehan kembali endotoksin, dihitung dari konsentrasi endotoksin larutan B setelah dikurangi konsentrasi endotoksin larutan A, berada pada rentang 50% – 200%. (3) Hasil kontrol negatif larutan D tidak melebihi batas nilai blangko yang dipersyaratkan dalam uraian pereaksi LAL yang digunakan.



e. Penafsiran Hasil Cara Fotometrik Pada penetapan kadar secara fotometrik, sediaan uji memenuhi syarat jika ratarata kadar endotoksin dari replikasi larutan A, setelah koreksi pengenceran dan kadar, lebih kecil dari batas endotoksin produk (Depkes RI, 2020). 2.3



Uji Osmolalitas (Farmakope Indonesia Edisi VI) Osmolalitas larutan nyata berkaitan dengan molalitas larutan ideal yang



mengandung zat terlarut yang tidak terdiosiasi dan dinyatakan dalam osmol atau miliosmol per kg pelarut (Osmol per kg atau m Osmol per kg). Suatu satuan yang mirip dengan molalitas larutan osmolalitas merupakan satuan dari molalitas larutan. Jadi, osmolalitas adalah ukuran tekanan osmotik yang disebabkan oleh suatu larutan nyata yang melewati membran semi permeabel. Seperti halnya tekanan osmotik, sifat koligatif lain dari suatu larutan seperti pen urunan tekanan uap, peningkatan titik didih dan penurun tekanan uap, peningkatan titik didih dan penurunan titik beku berkaitan langsung dengan osmolalitas larutan. Osmolalitas adalah larutan secara umum ditentukan dengan cara mengukur penurunan ttik beku larutan. Alat Osmometer digunakan untuk pengukuran titik beku, terdiri dari : wadah pendingin yang digunakan untuk penguuran, tahanan yang sensitif terhadap perubahan suhu (termistor), alat pengukur perbedaan arus atau potensial yang ditunjukan dalam perubahan suhu atau osmolalitas dan alat pengaduk sampel. Dibuat larutan baku seperti yang tertera pada tabel berikut : Tabel 2. Larutan Baku untuk Kalibrasi Osmometer Larutab (bobot



Baku Osmolalitas dalam (mOsmol/kg) (ξm)



13



Koefisien



Penurunan Titik



Osmotik Molal



Beku (0K)



NaCl (Φm NaCl)



(ΔTb)



gram NaCl per kg air) 3,087



100



0,9463



0,186



6,260



200



0,9337



0,372



9,463



300



0,9264



0,558



12,684



400



0,9215



0,744



15,916



500



0,9180



0,930



19,147



600



0,9157



1,116



22,380



700



0,9140



1,302



a. Larutan uji Untuk padatan pro injeksi, dilarutkan dengan pelarut yang sesuai dengan instruksi seperti tertera pada etiket. Untuk larutan, digunakan sampel sebagai berikut b. Prosedur Diawali dengan kalibrasi alat sesuai dengan petunjuk pabrik. Konfirmasikan hasil kalibrasi alat sekurang-kurangnya dua larutan dari Tabel 2 sehingga osmolalitas Larutan baku menjangkau rentang osmolalitas Larutan uji yang dapat diterima. Pembacaan alat sebaiknya dalam ± 2 mOsmol/kg dari Larutan baku (pada rentang baku 100 – 700 mOsmol/kg). Masukkan sejumlah volume masing-masing Larutan baku ke dalam sel pengukuran sesuai petunjuk pabrik dan jalankan sistem pendinginan. Biasanya alat pencampur deprogram di bawah suhu terendah yang diharapkan dari penurunan titik beku. Alat akan memberikan hasil ketika keseimbangan dicapai. Sebelum pengukuran, bilas sel pengukuran sekurang-kurangnya dua kali dengan larutan yang akan diuji. Ulangi prosedur dengan masing-masing Larutan uji. Baca osmolalitas



Larutan uji



secara



langsung, atau hitung dari pengukuran



penurunan titik beku. c. Dengan asumsi nilai koefisien osmotik sama, baik dinyatakan dalam molalitas maupun dalam molaritas, osmolalitas suatu larutan yang ditetapkan secara eksperimen dapat dikonversikan ke dalam osmolaritas dengan cara yang sama seperti konversi molalitas ke molaritas. Kecuali dinyatakan lain, jika



14



konsentrasi larutan sangat pekat, osmolaritas suatu larutan (ξc) dapat dihitung dari hasil penetapan osmolalitas (ξm) secara eksperimen : ξc=



1000ξm 100 ( )+∑wi.vi 𝜌



Keterangan : wi = Bobot (g) vi = Volume spesifik parsial dari zat terlarut yang ke-i (ml/g) ρ = kerapatan larutan



2.4



Uji Visual Uji Visual atau Inspeksi Visual merupakan suatu metode untuk mendeteksi



adanya ukuran partikel asing dalam sediaan. Tahap proses quality control, tahap inspeksi visual merupakan proses yang riskan untuk dilakukan. Partikulat yang terdapat dalam sediaan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dalam proses produksi, bahan baku yang tidak terlarut sempurna, peralatan yang digunakan, ataupun didalam kemasanyang digunakan terdapat zat



pengotor.



Partikulat yang terdapat disalah satu sediaan steril seperti didalam sediaan injeksi dapat menimbulkan bahaya diantaranya yaitu menyebabkan luka yang dapat memicu terjadinya infeksi dan inflamasi, menstimulasi respon imun tubuh seperti terjadinya reaksi alergi atau anafilaksis, tromboemboli hingga timbulnya granuloma paru dan emboli (Dewantisari & Musfiroh, 2020). Pelaksanaan inspeksi visual di industry farmasi umumnya masih mengandalkan penglihatan manual dari seorang operator, sehingga keakuratan dari hasil inspeksi sangat bergantung pada ukuran partikel dan pengalaman operator. 2.4.1



Tujuan Didasarkan pada pemeriksaan visual pada larutan injeksi dan tetes mata



terhadap partikel asing yang dapat terlihat dengan mata telanjang dan atau menggunakan bantuan kaca pembesar. 2.4.2



Metode Uji Visual



a. Uji Kejernihan dan Warna (Agoes, 2009)



15



Wadah-wadah kemasan primer diperiksa satu persatu dengan cara menyinari wadah dari samping dengan latar belakang hitam untuk menyelidiki pengotor berwarna putih dan latar belakang putih untuk menyelidiki pengotor berwarna hitam. Dengan hasil yang dipersyaratkan adalah tidak ditemukan pengotor dalam larutan. b. Evaluasi Kejernihan (FI edisi VI, 2020 ) Membandingkan kejernihan larutan uji dengan suspensi padanan, dilakukan dibawah cahaya yang terdifusi tegak lurus kea rah bawah tabung dengan latar belakang hitam. Dengan hasil yang dipersyaratkan adalah suatu cairan dikatakan jernih jika kejernihan sama dengan air atau pelarut yang digunakan bila diamati di bawah kondisi seperti diatas atau jika opalesensinya tidak lebih nyata dari suspensi padanan I. persyaratan untuk derajat oplesensis dinyatakan dalam suspensi padanan I, II, dan III. c. Pemeriksaan Larutan Steril (CPOB 2018) (1) Ambil sediaan ampul / vial dengan klem ±20 buah (yang belum diberi label dan permukaannya telah dibersihkan) dari tray nya, dengan cara menjepit lehernya dengan balikkan perlahan-lahan untuk mencegah gelembung uudara terjadi, setelah itu putar sedikit untuk memutar isi larutan di dalamnya. (2) Posisikan vial / ampul secara horizontal kira-kira 10 cm dibawah bagian depan sumber cahaya (dibelakang kaca pembesar dengan jarak focus kira-kira 9 cm). Pemeriksaan larutan dalam wadah terhadap latar belakang hitam dan putih dengan selang-seling dalam waktu 5 detik tiap latar belakang. (3) Amati apakah terdapat: partikel dan serat dalam vial, Kesesuaian organoleptis dengan standar (warna) dan, Kerusakan vial/ampul (misal : pecah atau retak). Kumpulkan vial / ampul yang ditolak dalam wadah terpisah dan beri label reject. Sedangkan yang lulus uji disimpan delam wadah yang telah diberi label diterima.



2.5 Uji kadar (Infus, Ampul, Vial)



16



Prosedur penetapan kadar bertujuan untuk menentukan kadar analit dalam sampel. Dalam hal ini penetapan kadar menunjukkan pengukuran komponen utama yang terkandung dalam bahan aktif obat. Untuk obat, karakteristik validasi yang serupa juga berlaku untuk penetapan kadar zat aktif atau komponen tertentu. Karakteristik validasi yang sama juga dapat dilakukan untuk penetapan kadar yang berkaitan dengan metode analisis lain (misal uji disolusi) (BPOM RI, 2012). Penetapan kadar (sesuai dengan monografi sediaan masing-masing). Metode penetapan kadar yaitu menggunakan : a. Metode kromatografi cair kinerja tinggi dengan fase gerak asam asetat glasial dan air (Anonim, 1995) dan aplikasi metode ini pada sediaan farmasetika dengan sistem kromatografi kolom silika C18 dan fase gerak SDS dan 1propanol memiliki kelebihan yaitu cepat, dapat dipercaya dan bebas dari gangguan namunmenghasilkan resolusi yang kurang baik (Gilabert dkk., 2006). b. Metode kromatografi gas merupakan salah satu metode yang lain untuk penetapan kadar Lidokain HCl. Aplikasi dari metode ini adalah analisis pada cairan tubuh yaitu dengan Solid Phase Extraction yang diikuti dengan Capillary Gas Chromatographic (Baniceru dkk., 2004). Metode ini memberikan nilai akurasi yang cukup baik namun memberikan nilai presisi yang kurang baik. c. Metode Spektrofotometri juga dapat digunakan untuk menganalisis terutama dalam bentuk basanya yaitu spektrofotometri UV (Gilabert dkk., 2006), kelebihan dari metode ini adalah memiliki akurasi yang baik dan mudah untuk dilakukan namun kurang selektif untuk menganalisis sediaan multikomponen (zat aktif maupun impurities). d. Spektrofotometri serapan atom (SSA) didasarkan pada penyerapan energi sinar tampak atau ultraviolet (Rohman, 2007). Metode spektrofotometri serapan atom (SSA) berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Pada metode ini, atomatom akan menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung sifat unsurnya. Kobalt menyerap pada λ 240,7 nm. Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai cukup energi untuk menguraikan tingkat elektronik suatu atom. Transisi elektronik suatu unsur bersifat spesifik. Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh energi lebih banyak,sehingga suatu atom pada keadaan dasar akan dinaikkan energinya ke tingkat eksitasi. Dengan



17



peristiwa ini, dapat memilih diantara panjang gelombang unsur yang menghasilkan garis spektrum yang tajam dan dengan intensitas maksimum. Garis inilah yang dikenal dengan garis resonansi (Khopkar, 1990).



2.5.1



Penetapan Kadar Infus



Uji kadar natrium dan kalium pada sediaan infus elektrolit menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA). 1) Pembuatan larutan standar Natrium ditimbang NaCl 584,4 mg + 5 ml HCL 6N dalam labu takar 100 ml. Lalu dipipet dengan konsentrasi standar 80%, 100%, dan 120% dalam labu ukur yang berbeda dengan volume 0,24; 0,30; dan 0,36 ml dan dilarutkan dengan aquadestilata sampai tanda batas. 2) Pembuatan larutan standar kalium Ditimbang KCl 134,2 mg + 5 ml HCL 6N dalam labu takar 100 ml. Lalu dipipet dengan konsentrasi standar 80%, 100%, dan 120% dalam labu ukur yang berbeda dengan volume 0,8; 1,0; dan 1,2 ml dan dilarutkan dengan aquadestilata sampai tanda batas. 3) Penentuan deret standar Dalam penentuan deret standar dilakukan dengan pengujian larutan standar natrium dan kalium menggunakan instrumen SSA yang sudah tervalidasi perhitungannya. Dalam penentuan deret standar, dinyalakan blower pada instrumen lalu atur panjang gelombang yang digunakan untuk logam natrium ialah 589 nm dan kalium 766,5 nm. Selanjutnya set condition pada instrumen menggunakan larutan pembanding dengan konsentrasi tertinggi untuk pengujian kadar natrium dan kalium, jika sudah terkondisikan maka lakukan analisa larutan pembanding dari konsentrasi terendah hingga konsentrasi tertinggi, dan akan muncul berupa kurva hasil deret standar atau nilai regresi linier pada deret standar dengan limit minimum 0.9950 agar mendapatkan ketepatan pada pengukuran standar. 4) Preparasi sampel Dipipet tiap sampel dari tiga nomor bets yang berbeda untuk analisa kadar natrium dan kalium dalam labu ukur 100 ml yang berbeda dengan konsentrasi



18



100%. Dimana untuk natrium pipet sampel sebanyak 0,30 ml atau 300 ppm dan dilarutkan dengan aquadest dalam labu ukur 100 ml, sedangkan untuk kalium pipet sampel sebanyak 1,0 atau 1000 ppm lalu dilarutkan dengan aquadest dalam labu ukur 100 ml sampai tanda batas. 2.3.6 Penentuan Kadar Natrium dan Kalium Penentuan kadar Natrium dan Kalium menggunakan instrumen SSA dimana terlebih dahulu di ukur absorbansi sampel. Absorbansi sampel adalah nilai hasil dari konsentrasi sampel yang di uji pada instrumen SSA. Absorbansi yang ditentukan berdasarkan hasil dari alat pembaca pada instrumen yang sudah tervalidasi perhitungannya. Setelah absorbansi diketehui maka dapat ditentukan kadar natrium dan kalium sampel berdasarkan hasil yang muncul dari SSA.



2.5.2



Penetapan Kadar Sediaan Injeksi (Ampul dan Vial) Fentanil Sitrat



Lakukan penetapan dengan cara kromatografi cair kinerja tinggi seperti tertera pada kromatografi . 1) Fase gerak buat campuran 4 bagian enceran amonium asetat P (1 dalam 100) dan 6 bagian campuran metanol P-asetonitril P-asam asetat glasial P (400:200:0,6). Atur pH hingga 6,60,1 dengan penambahan asam asetat glasial P, saring dan awaudarakan. Jika perlu lakukan penyesuaian menurut Kesesuaian sistem seperti tertera pada kromatografi untuk memperoleh waktu retensi puncak fentanil lebih kurang 5 menit. 2) Larutan baku timbang saksama sejumlah Fentanil Sitrat BPFI, larutkan dalam air, hingga kadar lebih kurang 80 g per ml. Larutan uji jika perlu, encerkan sejumlah volume injeksi dengan air hingga kadar fentanil lebih kurang 50 g per ml. 3) Sistem kromatografi lakukan seperti tertera pada kromatografi. Kromatograf cair kinerja tinggi dilengkapi dengan detektor 230 nm dan kolom 4,6 mm x 25 cm berisi bahan pengisi L1. Laju alir lebih kurang 2 ml per menit. 4) Lakukan kromatografi terhadap larutan baku, rekam kromatogram dan ukur respons puncak seperti tertera pada Prosedur: faktor ikutan puncak tidak lebih dari 2,0 dan simpangan baku relatif pada penyutikan ulang tidak lebih dari 2,0%. 19



5) Prosedur suntikkan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih kurang 25 l) larutan baku dan larutan uji ke dalam kromatograf. Rekam kromatogram dan ukur respons puncak utama. Hitung jumlah dalam g fentanil, C22H28N2O, tiap ml injeksi yang digunakan dengan rumus:



C adalah kadar Fentanil Sitrat BPFI dalam g per ml larutan baku; D adalah faktor pengenceran yang digunakan untuk memperoleh larutan uji; rU dan rS berturut-turut adalah respons puncak larutan uji dan larutan baku; 336,48 dan 528,59 berturut-turut adalah bobot molekul fentanil dan fentanil sitrat.



2.6 Uji Bioburden 2.6.1



Pengertian Bioburden adalah kontaminan yang berada dalam awal sediaan sebelum



dilakukannya sterilisasi. Untuk menjamin bahwa semua persyaratan produk parenteral telah sesuai dengan spesifikasi, maka perlu dilakukan pengujian fisik, kimia, dan mikrobiologi. Uji bioburden merupakan salah satu dari uji mikrobiologi tersebut (Ayuhastuti, A., 2016). Pengujian bioburden merupakan pengujian yang melihat ukuran jumlah total mikroorganisme yang hidup. Pengujian ini dapat bersifat kualitatif dan kuantitatif yang bertujuan untuk memastikan apakah jenis dan jumlah mikroorganisme yang ada dapat diterima atau tidak dapat diterima dengan membandingkan dengan ketentuan penerimaannya. Uji bioburden ini dapat disebut juga sebagai uji batas mikroba (Sandle, T., 2016). Dikutip dari Moondra, et al (2018), kemampuan penghilangan bioburden tergantung pada ukuran dan kuantitas dari mikroorganisme bioburden, ukuran pori filter, sifat cairan yang disaring, dan parameter proses filtrasi. Setiap proses sterilisasi (termasuk yang menggunakan overkill) harus didukung oleh program monitoring bioburden. Monitoring dilakukan seperti pada gambar dibawah ini.



20



Gambar 4. Skema langkah monitoring bioburden (Moondra, et al., 2018) Bioburden dapat bersumber dari beberapa faktor, yaitu: lingkungan, alat, dan produk itu sendiri. Dari lingkungan misalnya efek area yang berdekatan, desain fasilitas, efek musiman, desinfeksi, HVAC, dan kebersihan personil. Kemudian contoh factor alat ialah desain alat, area alat, pembersihan alat, perawatan alat, sterilitas alat, dan praktik personilnya. Sedangkan contoh factor bioburden dari produk itu sendiri ialah alur produk, alur material, sterilitas bahan, kondisi penyimpanan, praktik dan pelatihan personil (Moondra, et al., 2018).



2.6.2



Tujuan



a. Dilakukan untuk memperkirakan mikroba aerob viable di dalam semua jenis perbekalan farmasi, mulai dari bahan baku hingga sediaan jadi b. Untuk menyatakan bahwa perbekalan farmasi tersebut bebas dari spesies mikroba tertentu



2.6.3



Prosedur



21



Dalam Farmakope Indonesia edisi VI, uji batas mikroba terdapat dalam lampiran halaman 1815 – 1826. Uji batas mikroba dibedakan menjadi 2 jenis uji, yaitu uji enumerasi mikroba dan uji mikroba spesifik. Uji enumerasi mikroba merupakan uji kuantitatif untuk bakteri mesofil dan kapang yang tumbuh pada kondisi aerob. Metode ini tidak dapat diaplikasikan untuk produk yang mengandung mikroba viable sebagai bahan aktif. Sedangkan uji mikroba spesifik adalah metode uji yang dirancang untuk menetapkan suatu produk memenuhi kriteria mutu secara mikrobiologi. Prosedur umum kedua pengujian ini ialah jika produk mempunyai aktivitas antimikroba maka sebelum diuji dilakukan netralisasi menggunakan inaktivator yang telah terbukti tidak toksik terhadap mikroba yang diuji. Daftar inaktivator telah disediakan dalam FI edisi VI halaman 1817. Untuk metode penghitungan dapat dilakukan dengan metode Penyaringan Membrane atau salah satu Metode Angka Lempeng yang sesuai. Metode lain adalah Angka Paling Mungkin yang umum digunakan untuk produk dengan tingkat kontaminasi rendah. Pemilihan metode pengujian berdasarkan beberapa faktor antara lain jenis produk yang diuji, persyaratan yang ditentukan dan ukuran sampel yang memadai untuk memperkirakan kesesuaian secara spesifik. Berikut ini prosedur metode uji bioburden. a. Filtrasi membran Gunakan penyaring membran dengan ukuran partikel 0,22 μm. Saring segera sampel dan pindahkan satu penyaring membran ke permukaan lempeng media Soybean-Casein Digest Agar (SCDA) untuk menentukan bakteri aerob dan ke permukaan lempeng media Sabouraud Dextrose Agar untuk menentukan kapang dan khamir. b. Metode tuang Gunakan cawan petri berdiameter 9 cm, inokulasikan 1 mL suspensi sampel, kemudian tambahkan 15 - 20 mL Soybean-Casein Digest Agar atau Sabouraud Dextrose Agar pada suhu tidak lebih dari 45°C. Jika digunakan cawan petri yang lebih besar, sesuaikan jumlah media c. Metode sebar



22



Untuk lempeng media agar gunakan cawan petri diameter 9 cm, diisi 15-10 mL Soybean-Casein Digest Agar atau Sabouraud Dextrose Agar pada suhu lebih kurang 45°C pada tiap cawan petri, dan biarkan memadat. Jika digunakan cawan Petri yang lebih besar, sesuaikan jumlah media. Keringkan permukaan lempeng media dalam lemari laminar-airflow atau dalam inkubator. Inokulasikan 0,1 mL suspensi sampel dengan menyebarkan pada permukaan lempeng media. d. Inkubasi Inkubasi cawan Soybean-Casein Digest Agar pada suhu 30° - 35° selama 3 - 5 hari dan cawan Sabouraud Dextrose Agar pada suhu 20° - 25° selama 5-7 hari. e. Perhitungan koloni. Hitung jumlah rata-rata koloni dalam media biakan dan jumlah koloni per g atau per mL sediaan (Depkes RI, 2020).



Gambar 5. Penyiapan dan Penggunaan Mikroba Uji (Depkes, 2020)



23



Metode penyiapan sampel disesuaikan dengan sifat fisik sediaan yang diuji. Jika dengan prosedur yang diuraikan di FI edisi VI halaman 1816 – 1817 tidak ada yang memuaskan maka harus dikembangkan prosedur lain yang sesuai. Dalam FI tersedia cara penyiapan sampel berupa: sediaan larut air, sediaan bukan lemak yang tidak larut dalam air, sediaan berlemak, cairan atau padatan dalam bentuk aerosol dan transdermal patches. Volume suspensi yang diinokulumkan tidak boleh lebih dari 1% dari volume sediaan yang diencerkan. Cara pembacaan hasil ialah jika ada kesesuaian antara Metode Penyaringan Membran atau Metode Angka Lempeng, hitung jumlah rata-rata mikroba uji dengan nilai keberterimaan tidak lebih dari faktor 2 suspensi kontrol tanpa sediaan seperti yang tertera pada Inokulasi dan Pengenceran (FI edisi VI halaman 1817). Jika ada kesesuaian dengan Metode APM nilai inokulum yang dihitung harus dalam batas kepercayaan 95% dari nilai suspensi kontrol. Jika kriteria tersebut di atas tidak dapat dipenuhi untuk satu atau lebih mikroba yang diuji dengan metode tersebut di atas, maka metode dan kondisi uji harus mendekati kriteria yang digunakan untuk menguji sediaan. Untuk uji mikroba spesifik, penyiapan galur uji secara lengkap tersedia dalam FI edisi VI halaman 1820 – 1826. Berikut ini tabel uji fertilitas, penghambatan dan “test for indivative properties” untuk tiap mikroba spesifik. Tabel 3. Uji Fertilitas, Penghambatan dan “Test for Indivative Properties” untuk Setiap Mikroba Spesifik Uji/Media



Sifat



Mikroba Uji



Uji Toleransi Empedu Bakteri Gram Negatif Media Cair Pengkaya



Fertilitas



Enterobacteriaceae Mossel



Violet Red Bile Glucose Agar



E. coli P. aeruginosa



Daya hambat



S. aureus



Fertilitas + indikatif



E.coli P. aeruginosa



Uji Escherichia coli MacConkey Broth



Fertilitas



E. coli



Daya hambat



S. aureus



24



MacConkey Agar



Fertilitas + indikatif



E. coli



Fertilitas



Salmonella enterica



Uji Salmonella Rappaport Vassiliadis Salmonella Enrichment Broth



subsp. Enterica serovar Thyphimurium atau Salmonella enterica subsp enterica serovar Abony



Xylose Lysine Deoxycholate



Daya hambat



S. aureus



Fertilitas + indikatif



Salmonella enterica



Agar



subsp. Tenterica serovar Thyphimurium atau Salmonella enterica subsp. Entericaserovar Abony



Uji Pseudomonas aeruginosa Cetrimide Agar



Fertilitas



P. aeruginosa



Daya hambat



E. coli



Fertilitas + indikatif



S. aureus



Daya hambat



E. coli



Fertilitas



Cl. sporogenes



Fertilitas



Cl. Sporogenes



Sabouraud Dextrose Broth



Fertilitas



C. albicans



Sabouraud Dextrose Agar



Fertilitas + indikatif



C. albicans



Uji Staphylococcus aureus Mannitol Salt Agar



Uji Clostridia Reinforced Medium for Clostridia Columbia Agar Uji Candida albicans



2.7 Penetapan pH (Farmakoterapi VI Halaman 2066-2067)



25



Penetapan pH pada sediaan steril agar memastikan sediaan berada pada pH yang sesuai dalam mempertahankan stabilitas, sehingga obat-obat tersebut mempunyai efikasi dan mutu yang terjaga (Sugiharta dan Jubaedah, 2019). 2.7.1



Alat Alat yang digunakan dalam penetapan pH yaitu pH meter.



2.7.2



Tujuan Penetapan pH bertujuan untuk mengetahui pH sediaan sesuai dengan



persyaratan yang telah ditentukan. 2.7.3



Prinsip penetapan pH dengan alat potensiometrik (pH meter) yang sesuai, yang



mampu mengukur nilai pH sampai 0,02 unit pH menggunakan elektroda indikator yang peka, elektroda kaca, dan elektrida pembanding yang sesuai. 2.7.4



Prosedur Sebelum digunakan, periksa elektroda dan jembatan garam. Kalibrasi pH



meter. pH meter dibakukan dengan memilih 2 larutan dapar untuk pembakuan yang memiliki perbedaan pH tidak lebih dari 4 unit sehingga pH larutan uji diharapkan terletak diantara pH 2 larutan dapar tersebut. Jika sistem telah berfungsi dengan baik, bilas eletroda dan sel beberapa kali dengan larutan uji dan isi sel dengan sedikit larutan uji, kemudian baca harga pH. 2.7.5



Penafsiran Hasil pH sediaan steril sesuai dengan spesifikasi formula sediaan yang



ditargetkan.



2.8



Uji Impurity/Pengotor (PerBPOM 13 Tahun 2018, Farmakope VI



Halaman 2041) Pengujian impuritas dapat dilakukan melalui uji kuantitatif atau uji batas impuritas dalam sampel. 2.8.1



Tujuan Uji impurity/pengotor dilakukan untuk merefleksikan karakteristik



kemurnian sampel.



26



2.8.2



Alat Alat yang digunakan dalam uji impurity/pengotor adalah Kromatografi Cair



Kinerja Tinggi (KCKT). 2.8.3



Prinsip



Selama kuantitasi, abaikan puncak yang disebabkan oleh pelarut dan pereaksi atau yang muncul karena adanya fase gerak ataupun matriks sampel. Luas puncak dan tinggi puncak sebanding dengan kuantitasi elusi senyawa ketika dalam rentang linier. Luas puncak dan tinggi puncak diukur dengan cara integrator elektronik atau dengan pendekatan manual. Luas puncak ummnya kurang akurat jika terdapat puncak pengganggu. Komponen yang diukur dipisahkan dari beberapa komponen pengganggu. Uji Impurity didasarkan pada pengukuran respon puncak cemaran dan dinyatakan sebagai persentase area dari seluruh puncak. Uji Impurity dapat berupa obat itu sendiri pada kadar yang setara dengan misalnya 0,5% cemaran dengan asumsi memberikan respon puncak serupa. Pada sediaan steril yang telah ditentukan cemarannya, maka dapat menggunakan baku cemaran itu sendiri atau melakukan faktor koreksi berdasarkan respon relatif cemaran terhadap komponen utama.



2.9 Uji Sterilitas 2.9.1



Tujuan Menetapkan apakah sediaan yang harus steril memenuhi syarat berkenaan



dengan uji sterilitas seperti tertera pada masing-masing monografi. 2.9.2



Prinsip Menguji sterilitas suatu bahan dengan melihat ada tidaknya pertumbuhan



mikroba pada inkubasi bahan uji menggunakan cara inokulasi langsung atau filtrasi secara aseptik. Media yang digunakan adalah Tioglikonat cair dan Soybean Casein Digest. 2.9.3



Hasil Memenuhi syarat jika tidak terjadi pertumbuhan mikroba setelah inkubasi



selama 14 hari. Jika dapat dipertimbangkan tidak absah maka dapat dilakukan uji ulang dengan jumlah bahan yang sama dengan uji aslinya. 27



a. Tahap Pertama Memenuhi syarat uji jika pada interval waktu tertentu dan pada akhir periode inkubasi, diamati tidak terdapat kekeruhan atau pertumbuhan mikroba pada permukaan, kecuali teknik pengujian dinyatakan tidak absah. Jika ternyata uji tidak absah, maka dilakukan pengujian Tahap Kedua. b. Tahap Kedua Memenuhi syarat uji jika tidak ditemukan pertumbuhan mikroba pada pengujian terhadap minimal 2 kali jumlah sampel uji tahap I.



2.10 Coding Coding adalah proses pemberian kode produksi atau nomer batch yang biasanya terdapat di setiap kemasan primer pada proses produksi akhir, pada kemasan sekunder, pada brosur dan juga pada kardus kemasan terluar. Nomor batch adalah Suatu nomor dan/atau huruf atau kombinasi keduanya yang mengidentifikasi riwayat pembuatan batch secara lengkap, termasuk pengawasan mutu dan distribusi. Setiap produk jadi diberi nomor identitas produksi atau nomor batch yang memungkinkan untuk dapat dilakukan penelusuran riwayat produk. Tujuan pemberian nomor batch adalah untuk menandai saat pembuatan suatu produk. Pemberian nomor batch menjadi kewajiban setiap perusahaan untuk merancangnya dengan tujuan memudahkan dalam penelusuran kembali. (Peraturan BPOM Nomor 25 Tahun 2019). Sistem penomoran batch dibuat spesifik dan tidak berulang pada produk yang sama, untuk menghindari kesalahan/kekeliruan. Nomor batch dapat menjelaskan kode produk, tahun pembuatan, urutan pembuatan pada tahun berjalan, dan lainlain sesuai dengan kebutuhan identitasnya. Bila memungkinkan, nomor batch dicetak pada label kemasan primer dan kemasan sekunder. Nomer batch dicantumkan pada label kemasan primer dan kemasan sekunder mudah dibaca dan tidak mudah terhapus. Catatan pemberian nomor batch harus disimpan baik dan mudah ditelusuri. (Peraturan BPOM Nomor 25 Tahun 2019)



2.11 Uji Kebocoran 2.11.1 Uji Kebocoran Ampul (CPOB, 2013)



28



a. Tujuan : untuk menjaga sterilitas dan volume serta kestabilan sediaan. b. Prosedur (1) Pemeriksaan kebocoran ampul dilakukan pada seluruh ampul dari satu bets (2) Ampul diletakkan pada posisi terbalik dalam otoklaf, ampul yang tidak tertutup rapat (bocor) akan kosong dan akan terdeteksi pada saat pemeriksaan visual ampul (3) Pemeriksaan dapat dilakukan dalam otoklaf dengan menggunakan fase vakum tanpa pemanasan. Untuk otoklaf yang belum dilengkapi sistem vakum, uji kebocoran dapat dilakukan terpisah (4) Uji kebocoran memenuhi syarat jika tidak ada satupun kebocoran diamati.



2.11.2 Uji Kebocoran Tube pada Salep Mata (Depkes RI, 2020) a. Tujuan : untuk menjaga sterilitas dan volume serta kestabilan sediaan b. Prosedur: (1) Pilih 10 tube salep mata, dengan segel khusus jika disebutkan. (2) Bersihkan dan keringkan baik-baik permukaan luar tiap tube dengan kain penyerap. (3) Letakkan tube pada posisi horizontal di atas lembaran kertas penyerap dalam oven dengan suhu yang di atur pada 60 º ± 3º selama 8 jam. (4) Jika terdapat bocoran pada satu tube tetapi tidak lebih dari satu tube; ulangi pengujian dengan tambahan 20 tube salep. Tidak boleh terjadi kebocoran yang berarti selama atau setelah pengujian selesai (Abaikan bekas salep yang diperkirakan berasal bagian luar dimana terdapat lipatan dari tube atau dari bagian ulir tutup tube). Pengujian memenuhi syarat jika tidak ada satupun kebocoran diamati dari 10 tube uji pertama, atau kebocoran yang diamati tidak lebih dari satu dari 30 tube yang diuji.



29



BAB III KESIMPULAN



Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa : 1. In Proccess Control (IPC) dilakukan agar sediaan steril yang diproduksi dari segi identitas, kekuatan sediaan, kemurnian dapat memenuhi kualitas obat yang baik sesuai standar dan terjamin mutu serta keamanannya. IPC juga dimaksudkan untuk memantau hasil dan memvalidasi kinerja dari proses produksi yang mungkin menjadi penyebab variasi karakteristik produk selama proses berjalan. 2. In Proccess Control (IPC) pada produksi sediaan steril meliputi penetapan volume injeksi dalam wadah, uji endotoksin bakteri, uji osmolalitas. uji visual, uji



kadar



(infus,



ampul,



vial),



uji



bioburden,



penetapan



impurity/pengotor, uji sterilitas, coding, dan uji kebocoran.



30



ph,



uji



DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2014, Farmakope Indonesia Edisi V. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Badan POM, (2006). Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta: BPOM. Ayu Hastuti, Anggreni. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi: Praktikum Teknologi Sediaan Steril. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. BPOM RI. 2013. Petunjuk Operasional Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik Aneks 1 Pembuatan Produk Steril Edisi 2013. Jakarta: BPOM RI. BPOM RI. 2012. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan. BPOM. BPOM RI. 2018. Peraturan BPOM Nomor 13 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala



Badan



Pengawas



Obat



Dan



Makanan



Nomor



Hk.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 Tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik, Jakarta. Farida Ibrahim, Asmanizar, Iis Aisyah, Edisi keempat. UI Press: Jakarta. Goeswin, Agoes. 2009. Sediaan Farmasi Steril. Penerbit ITB: Bandung. Keputusan Menteri kesehatan No. 43/Menkes/SK/11/1988 tentang pedoman CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) Kemenkes RI. 2020. Farmakope Indonesia Edisi VI. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Moondra, S., Raval, N., Kuche, K., Maheshwari, R., Tekade, M., & Tekade, R. K. (2018). Sterilization of Pharmaceuticals. Dosage Form Design Parameters, 467–519. doi:10.1016/b978-0-12-814421-3.00014-2 Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 25 Tahun 2019 Tentang Cara Pembuatan Kosmetika Yang Baik Sugiharta S, 2019. Analisis Kadar Natrium dan Kalium pada Sediaan Infus



31



Elektrolit Menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Jurnal Inkofar



Vol



1



No.



2.



Tersedia



secara



online



di:



http://www.politeknikmeta.ac.id/meta/ojs/ Sandle, T. (2016). Bioburden determination. Pharmaceutical Microbiology, 81– 91. doi:10.1016/b978-0-08-100022-9.00007-4



32