Isi Sinopsis Novel Edenso Mozaik 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Isi Sinopsis Novel Edenso Mozaik 1-4 Laki Laki Zenit dan Nadir Banyak orang yang panjang pengalamanyya tapi tak kunjung belajar, namun tak jarang pengalaman yang pendek mencerahkan sepanjang hidup. Pengalaman semacam itu bak mutiara dan mutiara dalam hidupku adalah lelaki yang mengutuki dirinya sendiri, namanya Weh. Lihatlah perbuatan Weh. Taikong Hamim, penggawa masjid, sampai mengacung acungkan tombak mimbar pada khalayak silang sengketa. Langit, kemudi, dan layar, itulah samar ingatku tentang Weh. Tapi disekolah lama Mollen Bass Technisce School aku pernah melihat fotonya. Tak bohong orang bilang, karena Belanda hanya menerima pribumi yang cerdas di sekolah tehnik kapal keruk timah itu, Weh seorang pemuda yang gagah. Ia bergaya, berdiri condong menumpukan tubuh kekarnya di atas pemukul kasti. Namun, sesuatu yang menyayat tersembunyi dalam matanya. Weh mengawasi lekat siapapun yang mendekati fotonya. Mengapa Weh kesakitan? Ia kena burut. Burut terkutuk yang meniup skrotum dan kelaki lakianyya, bengkak seperti balon sampai jalanyya pengkor. Jampi dan ramuan tak mempan. Ia atau sanak leluhurnya pernah melangkai Qur’an, kualat, tuduh orang kampong tanpa perasaan. Aku masih kecil dan Weh sudah tua ketika kami bertemu. Puluhan tahun ia hidup di perahu. Semula aku ragu mendekati perahunya. Weh keluar, ia tampak miris bertemu manusia. “lemparkan!” Aku terkejut. Itu tidak adil. Ayahku membawa kebaikan untuknya dan ia sama sekali tak punya basa basi. Weh meradang aku bergeming. “keras kepala! Mirp sekali ibumu!” Ia merapatkan perahunya ke pangkalan. Aku melompat dan berdiri tertegun. Esoknya, tak tahu apa yang menggerakkan ku, aku kembali kepangkalan. Aku masih tak tahu mengapa setiap hari aku mengunjungi Weh. Akhir bulan aku memecahkan tabungan pramukaku lalu bersepeda puluhan kilometer ke Manggar demi satu tujuan: membeli radio saku untuk Weh. Weh menerima radio itu, meletakkanya di atas rak, dan tak menyentuhnya selama seminggu. Dua minggu berikutnya aku harus ke Tanjong Pandan mengikuti ujian sekolah. Setiap hari di Tanjong pandang aku merindukan Weh. Kembalinya aku bergegas ke pangkalan. Aku menyelinap pelan pelan. Weh tidur meringkuk sambil memeluk radio pemberianku. Berminggu minggu berikutnya, aku bersusah payah membujuk ayahku agar diizinkan berlayar bersama Weh. Hari pertama bulan September, Weh mengajakku berburu ikan hiu gergaji. Semakin dekat raksasa kelabu itu ternyata lebih besar dari yangkubayangkan. Mereka adalah gajah dilaut. Ku injak pegas tuas, tempuling yang di tambat seutas tali melesat dari larasnya, menikam punggung hiu dan penguasa laut itu menggelinjang berguling guling seperti buaya mematahkan leher lembu. Weh menuding langit utara. Berjuta serpih putih terapung apung. Adalah ekor putting beliung yang sepanjang hari ini menyapi selat Gaspar. Awan awan sisik di tenggara sana mengabarkan sebentar lagi telur” ikan belanak akan menetas. Weh menunjuk berjuta bintang, tak kasat olehku lingkaran itu,, Ia menarik sebatang kayu bakar dan melukis langit. Bara kayu bakar melingkar merah. Aku mengikuti lukisanyya. Ia membagi lingkaran menjadi 12 iris. Dipatrinya symbol symbol aneh di setiap iris lingkaranya,berulang ulang, sehingga dapat kugambar di kepalaku. Mendebarkan! Langit adalah kitab yang terbentang, kata Weh. Laki laki uzur ini memiliki indra keenam untukmembagi lapisan langit menjadi halaman halaman ilmu.



Angin meniup layar, perahu menusuk kabut. Tampak sayup setangkup wujud diselimuti halimun hanyut. Tiga ekor elang gogok melesat diam diam. Aku tahu apredator itu ingin menyerbu kawanan pipit yang baru bangun disabana Genting Apit. Aku yakin, daratan utulah tujuanku, Belitong. Aku telah menjadi navigator alam. Sulit ku gambar perasaanku. Aku pulang dari tengah samudra dengan membaca langit. Weh lah yang pertama kali membuatku menjadi seorng lelaki. Barat sekali kutinggalkan Weh dua minggu untuk ujian sekolah ke Tanjong Pandan. Turun dari bus reyot, tak sempat aku pulang kerumah, langsung ke pangkalan. Namun, kulihat perahu Weh limbung. Layarnya bergulung. Di ujung terjuntai sepasang kakiyang pucat. Berenang menuju perahu, tubuh Weh terbungkus lilitan layar, barayun ayun. Lelaki pembaca langit itu telah mati. Penyakit yang tertanggungkan telah merobohkan benteng terakhir semangatnya, yaitu aku. Tubuhku menggigil waktu membuka jalinan tali rami yang menjerat lehernya. Dikuburan usang, diantara nisan para pendusta agama itu, aku sadar aku telah mencintai hidupku dari orang yang membenci hidupnya. Persyarekatan Bangsa Bangsa Einstein kedua dalam hidupku yang mengenalknku pada diriku sendiri adalah Mak Birah, dukun beranak kampong kami. Nyalo, tak lain ucapan terakhir yang dipakai orang melayu jika kehabisan katauntuk melukiskan dahsyatnya angin, gemuruh hujan, dan gempita petir. Malam itu, ibuku senewen ingin anak perempuan. Ibu sudah bosan setiap kali dikerubuti laki laki. Persalinan ke lima, cerita Mak Birah. “Bahkan ibumu telah menyiapkan nama perempua Nur Tantiana Wassallam. Yang artinya cahaya terakhir yang ditunggu tunggu”. Hari persalinan tiba,, Mak Birah selalu menceritakan hal ini bila aku mengantar tembakau dirumahnya. “Tanggal 23 Oktober waktu itu, pukul setengah 12 malam. Ibumu bersngal sengal sambil melotot, melihat jam weker. Ibumu ternyata menunggu jarum pendek lebih dari angka 12 karena itu tanggal 24 Oktober yang artinya hari berdirinya Persyarikatan Bangsa-Bangsa. Maksudnya ibumu ingin anaknya menjadi seorang juru pedamai seperti PBB. Pukul dua belas lebih sedikit bayi itu lahir.” Mak Birah berteriak “bujang”. Juru Pedamai Bayi nomor lima itu berkening luas, ayahku menamainya Aqil Barraq Badruddin. Makna namaku kurang lebih Anak sholeh berjidat mangilap yang tidak akan melakukan halhal yang tak masuk akal dalam hidupnya. Ternyata, harapan menggelora, hancur berserakan. Aku belum sekolah. Saat itu aku bersekongkol dengan adikku si nomor enam yang juga bujang,. Kejadian itu,menjaji memorandum priemer kejahatanku. Bulan puasa, aku melubangi buku-buku bamboo dg linggis. Kuisi air dan karbit, lalu kuarahkanke jendela masjid saat tarawih. Gas karbit yang mampat dalam lubang yang sempit berdentum saat sumbunya kusulut. Jamaah kocar-kacir. Aku ditangkap. Malamnya aku didamprat ibuku. Ayah yang pendiam hanya menatapku. Lalu memboncengkanku ke PN Timah. Sepanjang jalan, ayah menasehatiku. Pengembara Samia



Kejadian meriam bamboo ituadalah bukti nama Aqil Barraq Badruddin terlalu barat untukku. Ayah memutuskan untuk menggantinya. Demi menemukan nama baru, Ayah berunding dengan orang yang berseragam. “sudah kutemukan nama itu, Bu!”. Nama ini dapat membuat orang menjadi bijak. Ayah : arti nama ini adalah pria lemahlembut dan berjiwa besar! Aku : wah bagus sekali ya! Wadhudh, itulah namanya. Sayang, penggembara samia yang bijak bestari itu menjelma menjelma menjadi garong. Tak lama nama itu dilekatkan padaku, aku memimpin komplotan santri untuk menjarah tambul. “Ketua Wadhudh,” begitu santri santri memanggilku. Dengan sodokan sebungkus kuaci, kuhasut adikku untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan pengeras suara masjid. Aku dan Ayah kena siding. Wajah ayah biru menahan malu. Ak menggerut ketakutan. Majelis menuntut ayah bertindak tegas. Posisinya serbasalah. Berat sekali cobaan ayah. Suasana hening. “akan kuganti namanya!”.