Islamisasi Integrasi  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Integrasi Ilmu: Konsep dan Metode (Sebuah Kajian Kritis) Oleh: Yongki Sutoyo1



Abstrak Sampai hari ini, di dunia Islam, masih banyak kalangan yang beranggapan bahwa agama dan ilmu pengetahuan adalah entitas yang berbeda bahkan tidak bisa disatukan. Padahal secara konseptual ilmu pengetahuan bagi ummat Islam bukan hal baru, melainkan bagian paling penting dan asas dari peradabannya. Di tengah pergumulan dikotomi agama dan ilmu pengetahuan yang diakibatkan dari pengaruh sains Barat modern, muncul kesadaran akan keunggulan sistem ilmu Islam atas sistem ilmu Barat. Dari kesadaran baru ini muncul beberapa ahli yang menawarkan konsep pengetahuan alternatif yang digali dari ajaran Islam. Konsep tersebut adalah integrasi ilmu. Meskipun dalam perkembangannya konsep integrasi ilmu ini memiliki banyak corak dan masih diperdebatkan, namun dalam dunia pendidikan konsep ini telah diusahakan untuk dipakai dan diaplikasikan dalam aktivitas akademis. Dalam tulisan ini akan dilacak akar konsep dan metode integrasi ilmu yang dikembangkan di Indonesia, untuk kemudian akan diuji secara kritis sejauh mana konsep dan metode integrasi tersebut mampu menjawab persoalan dikotomi keilmuan. Kata kunci: Integrasi Ilmu, Agama, Dikotomi, Konsep, Metode.



Pendahuluan Kemunculan gagasan integrasi ilmu lahir dari fakta adanya dikotomi2 ilmu akibat adanya sekularisasi3 di Barat. Di mana antara ilmu dan agama menjadi terpisah satu 1



Peserta Program Kaderisasi Ulama Universitas Darussalam Gontor Angkatan ke 10. Secara bahasa dikotomi berasal dari bahasa Inggris yaitu “dichotomy” yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “dikotomi” yang arti harfiahnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan. Departemen Pedidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Gramedia, 2012) hal. 264. Sementara Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry mengartikan bahwa dikotomi sebagai pembagian dalam dua bagian yang saling bertentangan. Lihat Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994) hal. 110. 3 Sekularisasi oleh Harvey Cox didefinisikan sebagai pembebasan manusia ‘pertama dari kungkungan agama dan kemudian dari kungkungan metafisika yang mengatur akal dan bahasanya, 2



1



sama lain dan tidak ada keterkaitan antara keduanya. Maka berkembangalah ilmu atau sains yang tidak punya kaitannya sama sekali dengan agama. Dalam konteks dunia Islam, perceraian sains dari nilai-nilai agama memiliki dampak negatif.4 Salah satu dampak negatif tersebut adalah ilmu-ilmu Barat yang sekular akhirnya menggantikan posisi ilmu-ilmu agama dalam kurikulum sekolah Islam.5 Selain karena adanya fakta dikotomi ilmu, gagasan integrasi ilmu merupakan respon beberapa intelektual Muslim atas hegemoni paradigma6 sains Barat modern.7 Terlebih setelah menyadari bahwa ilmu pengetahuan tidaklah netral tapi sarat nilai.8 Ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di Barat hingga saat ini sesungguhnya dibangun di atas landasan filsafat, nilai-nilai dan kebudayaan khas



mengalihkan perhatiannya dari alam lain dan menuju ke alam ini dan masa ini.’ We have defined secularization as the liberation of man from relegious and metaphysical tutelage, the turning of his attention from other world and toward this one. Lihat Harvey Cox, The Secular City, (Princeton: Princeton University Press, 2013) p. 25. 4 Dari aspek ontologis, sains melihat alam beserta hukum dan polanya, termasuk manusia sendiri hanya sebagai wujud material yang eksis tanpa intervensi Tuhan. Dalam aspek epistemologis, sains mengesampingkan teks wahyu sebagai sumber pengetahuan, sehingga tidak sesuai dengan pandangan masyarakat muslim yang justru bersikap sebaliknya. Sedangkan aspek aksiologis, Barat tidak mengaitkan pengembangan ilmu pengetahuan dengan tata nilai, moralitas, spiritualitas dan religiusitas. Lihat Mulyadi Kartanegara, MengIslamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, (Jakarta: Erlangga, 2007) bab 1 dan 3. 5 Telah banyak Universitas Islam yang didirikan. Namun, institusi-institusi tersebut hanyalah Islam dalam namanya, sedangkan filsafat, isi dan tujuan pendidikannya sama sekali tidak mencerminkan pandangan dunia Islam. Lihat Ismail Fajeri al-Attas, Sungai Tak Bermuara: Risalah Konsep Ilmu dalam Islam, (Jakarta: Diwan Publishing, 2006) hal. 73. 6 Menurut Kuhn paradigma memiliki dua makna. Pertama, dalam sains normal, paradigma adalah seperangkat model eksperimen yang bisa ditiru atau diulangi. Kedua, sebagai seperangkat asumsi dasar sebelum melakukan penelitian atau pengumpulan bukti. Keduanya mewujud sebagai asumsi dan unsur tersembunyi yang disebut quasi-metafisik. Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure Of Scientific Revolutions, (Chicago: The University of Chicago Press, 1970) p. 43-51. 7 Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud bahkan menyatakan: lewat proyek globalisasinya, terutama melalui konsep modernisasi dan pembangunan, demokrasi, kebebasan, dan Hak Asasi Manusia, Barat telah memantapkan diri sebagai kebudayaan dan peradaban paling unggul dan menghegemoni kebudayaan dan peradaban yang lain. Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Islamisasi Ilmu-Ilmu Kontemporer dan Peran Universitas Islam dalam Konteks Dewesternisasi dan Dekolonisasi, terj. Tim INSISTS, (Bogor: UIKA dan CASIS UTM, 2013) hal. 13-14. 8 Untuk penjelasan megenai masalah ini, silahkan rujuk Karl R. Popper, Logika Penemuan Ilmiah, terj. Armstrong Sompotan dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008); Jurgen Habermas, Knowledge and Human Interest, trans. Jeremy J. Shapiro, (Cambridge: Polity Press, 1968); F. Budi Hadirman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, (Yogyakarta: Kanisius, 1993); Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Penerbit Ledalero, 2009); A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001)



2



Barat yang memiliki banyak pertentangan dengan Islam,9 sehingga sangat perlu untuk diIslamkan dan dicarikan model alternatifnya.10 Dewasa ini, khususnya di Indonesia, wacana integrasi ilmu telah didengungkan tidak hanya oleh intelektual dan akademisi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) semacam Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ataupun UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, namun juga oleh Perguruan Tinggi Umum (PTU) seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Institut Teknologi Bandung (ITB) ataupun Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya.11 Namun dalam perkembangannya, wacana integrasi keilmuan yang dikembangkan di PTU maupun PTAI, tampaknya masih berada pada tataran filosofis dan belum menyentuh ke wilayah implementatif. Salah satu yang terabaikan dalam integrasi keilmuan ini adalah menerjemahkannya ke dalam metode yang sistematik dalam penelitian ataupun kegiatan pengembangan keilmuan.12 Kajian ini berusaha menelurusi ragam konsep integrasi ilmu yang ditawarkan oleh PTAI maupun PTU dan metode apa yang ditawarkan guna “membumikan” wacana integrasi keilmuan.



9



Misalnya Barat merumuskan pandangannya terhadap realitas dan kebenaran bukan berdasarkan wahyu dan dasar-dasar keyakinan agama, tetapi berdasarkan pada tradisi kebudayaan yang diperkuat oleh dasat-dasar filofis. Di mana daar-dasar filosofis ini yang berangkat dari spekulasi (dugaan) yang berkaitan hanya dengan kehidupan sekular yang berpusat pada manusia sebagai diri jasmani dan kekuatan rasional sebagai satu-satunya kekuatan yang akan menyingkap seluruh rahasia alam dan hubungannya dengan eksistensi. Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Dr. Khalif Muammar, M.A dkk (Bandung: PIMPIN, 2010) hal. 171. 10 Beberapa intelektual Muslim yang mengusung gagasan model ilmu pengetahuan alternatif tersebut antara lain: Syed Muhammad Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, Seyyed Hossein Nasr, Ziauddin Sardar, dan Mehdi Gholsani. Lihat Husni, “Model-Model Integrasi Ilmu dalam Pemikiran Islam Kontemporer”, dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin Tajdid, Vol. 17, No. 1, Maret 2010 (Jambi: Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2010); Budi Handrianto, Islamisasi Sains: Sebuah Upaya MengIslamkan Sains Barat Modern, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010). 11 Abu Darda, “Integrasi Ilmu dan Agama: Perkembangan Konseptual di Indonesia”, dalam Jurnal Kependidikan Islam At-Ta’dib Vol. 10, No. 1 Juni 2015 (Ponorogo: Fakultas Tarbiyah Universitas Darussalam Gontor, 2015); 12 Nurlena Rifai, Fauzan, Wahdi Sayuti dan Bahrissalim, “Integrasi Keilmuan Dalam Pengembangan Kurikulum Di Uin Se-Indonesia: Evaluasi Penerapan Integrasi Keilmuan Uin Dalam Kurikulum Dan Proses Pembelajaran”, dalam Journal Of Education In Muslim Society Tarbiya, Vol. 1, No. 1, Juni 2014 (Jakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, 2014) hal. 13.



3



Integrasi Ilmu: Tinjauan Etimologi dan Terminologi Secara etiomologi, integrasi ilmu berasal dari dua kata yaitu integrasi dan ilmu. Integrasi berasal dari bahasa Inggris integrate yang bermakna membuat menyeluruh dengan menyatukan dan integration yang bermakna membuat utuh dengan kombinasi.13 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata integral dan integrasi merujuk pada keseluruhan, bulat, utuh, tidak terpisahkan dan sempurna.14 Sedangkan ilmu yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris science yang berasal dari bahasa Latin scientia bermakna pengetahuan dan scire bermakna mengetahui.15 Sedangkan secara terminologi integrasi bermakna pembauran hingga menjadi sesuatu yang utuh, satu dan bulat16 dengan menggabungkan bagian atau komponen dalam kerangka yang sistematis.17 Sementara ilmu bermakna pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu.18 Dari tinjuan etimologi dan terminologi yang tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa integrasi ilmu merupakan pemaduan antara ilmuilmu19 yang terpisah menjadi satu kepaduan ilmu yang utuh dalam suatu kerangka yang sistematis. Ragam Konsep dan Metode Integrasi Ilmu Untuk melihat integrasi keilmuan dalam ranah konsep dan metode, tentu saja sangat bergantung kepada pemaknaan masing-masing tokoh dan institusi keilmuan (baik PTAI maupun PTU) terhadap konsep integrasi tersebut. Apakah integrasi merupakan perpaduan ilmu agama dan ilmu umum yang melebur menjadi satu ilmu



The New International Webster’s Comprehensive Dictionary of The English Language, (Florida: Triden Press International, 1996) p. 660. 14 Departemen Pedidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 541 15 Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005) hal. 307 16 Happy Elrais, Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) hal. 269 17 The New International Webster’s Comprehensive Dictionary, p. 660 18 Happy Elrais, Kamus Ilmiah Populer, hal. 259 19 Pemaduan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pemaduan antara ilmu-ilmu yang bercorak agama dengan ilmu-ilmu yang bersifat umum. 13



4



yang tidak terpisahkan atau integrasi dimaknai sebagai Islamisasi ilmu pengetahuan atau bahkan integrasi keilmuan dimaknai secara simbolik saja, yakni hanya dengan membuka progam studi umum di bawah payung manajemen PTAI atau membuka program studi Islam dibawah manajemen PTU tetapi antara ilmu umum dan ilmu Islam keduanya berjalan dan diterapkan sendiri-sendiri. Di sini akan dibahas ragam konsep integrasi ilmu. A. Integrasi-Interkoneksi Gagasan integrasi ilmu model integrasi-interkoneksi pertama kali dimunculkan oleh M. Amin Abdullah.20 Gagasan ini diilhami oleh kegelisahan ilmuwan Muslim khususnya di PTAI dengan rancang bangun akademik ilmu-ilmu keislaman yang dikotomis-atomistik: bayani, ‘irfani, burhani,21 di mana antara satu corak dengan corak yang lain menutup diri dan tidak mau saling (membuka ruang) dialog.22 Menurut Amin Abdullah, corak epistemologi bayani didukung pola pikir fikih dan kalam23 yang lebih mendahulukan dan mengutamakan qiyas dan bukannya mantiq lewat silogisme dan premis-premis logika sebagaimana burhani24 atau intuisi dalam ‘irfani.25 Tolak ukur validitas keilmuan antara bayani, burhani, dan irfani berbedabeda. Jika nalar bayani tergantung pada kedekatan dan keserupaan teks atau nash dan realitas, sedangkan nalar irfani lebih kepada kematangan social skill (simpati, empati, verstehen26), maka dalam nalar burhani yang ditekankan adalah korespondensi yakni kesesuaian antara ide dan realitas. Selain 20



Muhammad Amin Abdullah adalah Rektor IAIN/UIN Sunan Kalijaga periode 2001-2010 yang lahir di Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953. 21 Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN: Dari Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Integrasi-Interkonektif”, dalam Fahrudin Faiz (Ed.), Islamic studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi: Sebuah Antologi, (Yogyakarta: SUKA press, 2007) hal. 11. Pemahaman akan pola dikotomis-atomistik ini terinspirasi dari karya-karya Muhammad Abed AlJabiri. Untuk pembahasan konsep al-Jabiri tentang nalar bayani, burhani dan ‘irfani silahkan rujuk misalnya Muhammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khohiri, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2014) dan Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, terj. Moch Nur Ichwan, (Yogyakarta: Islamika, 2003). 22 Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN....” hal. 11-24 23 Ibid, hal. 9. 24 Ibid, hal. 15. 25 Ibid, hal. 16. 26 Verstehen adalah suatu metode pendekatan yang berusaha mengerti dan memahami makna yang mendasari dan mengitari peristiwa atau fenomena sosial dan historis.



5



korespondensi dalam nalar burhani juga ditekankan aspek koherensi (keruntutan dan ketraturan berfikir) dan upaya yang terus-menerus dilakukan untuk memeprbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan atau teori-teori yang telah dibangun dan disusun oleh jerih payah akal.27 a. Konsep Akar integrasi-interkoneksi berasal dari pemikiran Ian G. Barbour28 dan Rolston III.29 Dari Ian G. Barbour diambil konsep integrasi ilmu, intersubjective, testability dan creative imagination. Sedangkan dari pemikiran Holmes Rolston III diambil konsep semipermeable (saling tembus).30 Ide pokok dari integrasi menurut Amin Abdullah adalah meleburkan satu hal dengan hal yang lainnya menjadi satu, meleburkan sisi normativitas-sakralitas



masuk



ke



wilayah



historitas-profanitas.31



Sedangkan interkoneksitas mengasumsikan bahwa untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun termasuk ilmu agama, sosial, humaniora,



27



Ibid, hal. 23. Khususnya dalam buku Ian G. Barbour, When Science Meets Religion: Enemies, Strangers, or Partners? (New York: HarperCollins, 2000) diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh penerbit Mizan, Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama, terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002). Barbour dalam bukunya ini menggunakan empat term dalam menjelaskan hubungan sains dan agama, yaitu konflik, independensi, dialog dan integrasi. Bandingkan dengan karya John F. Haught, Perjumpaan Sans dan Agama: Dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004) yang juga menggunakan empat term dalam menjelaskan hubungan sains dan agama, yaitu konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi. 29 Khususnya dalam buku Holmes Rolston III, Science and Relegion: A Critical Survey, (Philadelphia and London: Templeton Foundation Press, 2006) 30 Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Biografi Keilmuan M. Amin Abdullah, Buku Kedua, (Yogyakarta: UIN SUKA Press, 2013) hal. xlix. 31 Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratifinterkonektif, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), hal. vii. Dalam konteks studi Islam, aspek normativitas dan historisitas dalam agama ingin membedakan (dikotomisasi) mana wilayah agama yang “sebenarnya” dan mana pula wilayah “kepentingan” historis-kultural yang melekat di dalamnya. Baginya ilmu-ilmu agama termasuk Islam termasuk juga menjadi bagian dari ilmu pengetahuan yang sarat dengan muatan kepentingan historis, sosiologis, kultural, dan bahkan politis. Lihat Amin Abdullah, et. al., Rekonstruksi Metodologi Studi Ilmu-Ilmu KeIslaman, (Yogyakarta: Suka Press, 2003) hal. 7. Bandingkan dengan Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Suka Press, 2003). Maka studi Islam menurutnya harus keluar dan bergeser dari wilayah metafisis-transendental-normatif dengan memasuki dan melibatkan pendekatan dan metodologi filsafat kontemporer sebagaimana yang digagas oleh pemikir-pemikir kontemporer Islam semacam Fazlur Rahman, M. Arkoun, Hassan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd dsb. Lihat Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995) hal. 124. 28



6



maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri.32 Intinya, integrasi bermakna “tidak bisa dipisahkan” dan interkoneksi “tetapi bisa dibedakan”. Jadi hubungan antara dua kata dalam “integrasi-interkoneksi” seperti sebuah koin uang, yang tidak bisa dipisahkan, namun bisa dibedakan.33 Dalam proyek integrasi-interkoneksi keilmuan, Amin Abdullah menawarkan



konsep



“Horizon



Jaring



Laba-Laba



Keilmuan



Teoantroposentik-Integralistik”.34 Proyek ini dikembangkan dalam PTAI khususnya di UIN Yogyakarta di mana pada lapis pertama jaring-jaring tersebut adalah Al-Qur’ān dan Hadits yang dipakai sebagai landasan etika moral keagamaan obyektif dan dimaknai secara hermeneutis35 yang disesuaikan dengan diskusi-diskusi ilmu sosial-humaniora kontemporer, seperti hukum internasional, pluralisme agama, isu lingkungan, isu gender, cultural studies, HAM, sosial dan politik serta ekonomi.36 Pengembangan keilmuan berbasis Teoantroposentik-Integralistik ini menggunakan pendekatan interdisipliner37 dan interkonektifitas dengan model triadik



32 Konsep interkoneksitas secara epitemologis menolak dikotomi pendidikan umum dan agama. Interkoneksitas menurutnya merupakan usaha saling bertegur sapa antar basis epistemologi ilmu agama dan umum. Secara aksiologis, Amin Abdullah menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuwan baru yang terbuka, mampu berdialog dan bekerjasama, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan dipublik. Sedangkan secara ontologis, hubungan antara berbagai disiplin ilmu menjadi semakin terbuka dan cair antara haḍārah nash (ilmu agama bersumber dari teks), haḍārah ‘ilm (keilmuan faktual-historis-empiris yakni ilmu-ilmu sosial dan kealaman) dan haḍārah al-falasafah. Lihat Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratifinterkonektif, hal. viii-ix 33 Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Biografi Keilmuan M. Amin Abdullah..hal. xlix. 34 Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratifinterkonektif, hal. 106 35 Hermeneutis yang dimaksud oleh Amin Abdullah di sini bukan tafsir atau takwil dalam pengertian yang dimengerti di perguruan Tinggi Islam pada umumnya, namun Qiro’ah Muntijah atau pembacaan produktif persis seperti konsep yang dikembangkan oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Yaitu setiap teks tidak pernah lepas dari historitasnya dan dalam teks selalu mengandung konteks sosial, politik, budaya, epistemologi keilmuan dan ekonomi dan lainnya. Dengan metode ini, studi Islam dikaitkan dengan isu-isu global seperti HAM, Gender, Pluralisme dll. Lihat Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN....” hal. 29-30. Term hermeunetis ini diilhami dari pemikiran Jurgen Habermas, yaitu paradigma masyarakat komunikatif yang terdiri dari tiga elemen dasar, yakni pekerjaan (work), komunikasi (communication), Etika (Transfomation and Liberation). Ibid, hal. 25. 36 Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratifinterkonektif, hal. 106-107 37 Interdisipliner yang dimaksud adalah pendekatan kritis dan comparative (perbadningan). Lihat Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan, hal. 1213.



7



Haḍārah an-Nash, Haḍārah al-‘Ilm, dan Haḍārah al-Falsafah.38 Dengan pendekatan ini, maka tiga wilayah pokok dalam pengembangan ilmu di PTAI, yakni Islamic Science, Natural Science, dan Social-Humanity Science tidak lagi berdiri sendiri, namun terkait satu sama lain.39 Konsep integrasi keilmuan model integrasi-interkoneksi selain diterapkan di UIN Yogyakarta juga diterapkan—meskipun tidak sama persis—di UIN Jakarta dan UIN Surabaya. UIN Jakarta mengunakan konsep reintegrasi ilmu dengan model integrasi dialogis40 antara Islamic Relegious Science dan Secular Science41 dengan tiga tageline: Knowledge, Piety dan Integrity.42 Sedangkan UIN Surabaya menggunakan konsep menara kembar tersambung atau Integrated Twin Tower43 dengan studi Islam sebagai main core.44 Konsep integrasi keilmuan menara kembar ini pertama kali di gagas oleh Prof. Nur Syam saat ia mencalonkan diri sebagai rektor pada Agustus 2008.45 Secara epistemologis, konsep “Integrated Twin



Towers”



berusaha



membangun



struktur



keilmuan



yang



Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN..” hal. 38 Anshori, Integrasi Keilmuan Atas UIN Jakarta, UIN Yogyakarta dan UIN Malang 20072013, desertasi Doktor dalam Ilmu Agama, (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2014) hal. 44. 40 Model integrasi dialogis ini mirip dengan model dialog hubungan sains dan agama Ian G. Barbour dan pendekatan kontak John F. Haught. Dalam model dialogis dan kontak, posisi antara sains dan agama adalah sejajar pada tataran konseptual dan metodologis. Lihat Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, hal. 74-82 dan John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama, hal. 17-24. 41 Ide ini dikemukakan oleh Rektor UIN Jakarta periode 2002-2006 Azyumardi Azra. Lihat Anshori, Integrasi Keilmuan Atas UIN Jakarta, UIN Yogyakarta dan UIN Malang, hal. 162-163. Lihat juga Azyumardi Azra, “Reintegrasi Ilmu-Ilmu dalam Islam”, dalam Zainal Abidin Bagir (Ed.), Integrasi Ilmu dan Agama: Intepretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) hal. 220-221. 42 Knowledge, yakni membaca, mengarungi samudra IPTEK, termasuk membaca simbol kultural yang berkembang dimasyarakat. Piety, yakni inner quality, berbasis rukun iman, rukun Islam “parennial” dalam upaya menghasilkan insan berkarakter, saleh dan terukur dalam behavior, guna menyongsong tujuan hidup di dunia dan di akhirat. Integrity, yakni leadership, tabligh, amanah, sidiq, dan cerdas menangkap perubahan zaman guna membangun peradaban. Lihat Anshori, Integrasi Keilmuan Atas UIN Jakarta, UIN Yogyakarta dan UIN Malang, hal. 165; atau silahkan akses http://www.uinjkt.ac.id/id/moto/ diakses pada 9 November 2016. 43 Silahkan akses Tim Redaksi, "Paradigma Keilmuan", http://www.uinsby.ac.id/id/251/paradigma-keilmuan.html diakses pada 09 November 2016 44 Abu Darda, “Integrasi Ilmu dan Agama: Perkembangan Konseptual di Indonesia”, hal. 43 45 Silahkan Akses Nur Syam, “Model Twin Towers untuk Islamic Studies”, http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=762 diakses pada 9 November 2016. 38 39



8



memungkinkan ilmu keagamaan dan ilmu sosial/humaniora serta ilmu alam berkembang secara memadai dan wajar. Keduanya memiliki kewibawaan yang sama, sehingga antara satu dengan lainnya tidak saling merasa superior atau inferior.46 b. Metode Metode yang dimaksud di sini adalah cara-cara yang digunakan dalam mengimplementasikan dan mengembangkan keilmuan sesuai dengan konsep yang telah ada—dalam hal ini konsep integrasi-interkoneksi, integrasi dialogis, dan integrasi menara kembar. Namun dalam pembahasan metode, hanya akan dibahasan metode dari konsep integrasi-interkoneksi teoantroposentris-integralistik yang dikembangkan oleh Amin Abdullah.47 Secara metodologis, studi Islam dapat dilakukan dengan memakai metodologi dan cara pandang ilmu-ilmu sosial. Karena Islam sebagai sasaran studi yang dianggap sama dengan science, dalam hal ini studi Islam, bukanlah disiplin ilmu yang tertutup, tetapi bangunan keilmuan biasa yang harus diuji ulang validitasnya, melalui perangkat konsistensi, koherensi dan korepondensi oleh kelompok ilmu sejenis.48 Oleh karenanya mempertemukan teori-teori dan metodologi ilmiah dengan bangunan keilmuan Islam adalah sebuah langkah yang valid.49 46 Lihat Tim UIN Sunan Ampel Surabaya, Desain Akademik UIN Sunan Ampel Surabaya: Buiding Character Qualities for the Smart, Pious and Honourable Nation, cet. II, (Surabaya: UINSA Press, 2015), hal. 34-35; lihat juga Toto Suharto, “The Paradigm Of Theo-AnthropoCosmocentrism: Reposition of the Cluster of Non-Islamic Studies in Indonesian State Islamic Universities”, dalam Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Walisongo Vol. 23, No. 2 November 2015 (Semarang: LP2M UIN Walisongo, 2015) hal. 267-268. 47 Ada dua alasan mengapa hanya metode dari konsep integrasi-interkoneksi saja yang dipaparkan dalam tulisan ini. Pertama, untuk UIN Surabaya, penulis kekurangan refrensi terkait tema-tema yang dibahas. Kedua, untuk UIN Jakarta, dalam desertasi doktor Ansori yang meneliti integrasi keilmuan tiga UIN (UIN Jakarta, UIN Yogyakarta dan UIN Malang) tidak dijelaskan metode apa yang digunakan oleh UIN Jakarta dalam mengimplementasikan model integrasinya. 48 Rancang bangun metodologi studi Islam integrasi-interkoneksi ini digagas melalui pandangan Jurgen Habermas, yaitu paradigma masyarakat komunikatif yang terdiri dari tiga elemen dasar, yakni pekerjaan (work), komunikasi (communication), Etika (Transfomation and Liberation). Tiga elemen ini digunakan dalam tiga kluster disiplin penelitian dan pendekatan, yaitu pertama, pendekatan ilmu-ilmu kealaman (naturalistic). Kedua, pendekatan hermeneutik dan ketiga, pendekatan keilmuan sosial-kritis sebagai basis etik. Yang masing-masing menwarkan cara pandang dan orientasi berbeda namun didesain secara utuh dan interkoneksi. 49 Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratifinterkonektif, hal. 37.



9



Setidaknya ada empat metode dalam mengimplementasikan konsep integrasi-interkoneksi khususnya dalam kegiatan penelitian. Pertama, “Triple Haḍārah”: haḍārah an-nash, haḍārah al-‘ilm dan haḍārah alfalsafah dalam segi ontologi.50 Metode triple haḍārah bertujuan untuk mempertemukan kembali ilmu-ilmu (post)modern dengan ilmu-ilmu keislaman. Di mana secara aksiologis hendak menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan secara publik dan berpandangan kedepan. Secara ontologis metode triple haḍārah bertujuan agar hubungan antar berbagai disiplin ilmu menjadi terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antar budaya pendukung keilmuan agama yang bersumber pada teks-teks (haḍārah an-nas), dan budaya pendukung keilmuan faktualhistoris-empiris, yakni ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman (haḍārah al-‘ilm), serta budaya pendukung keilmuan etis-filosofi (haḍārah alfalsafah) masih tetap saja ada.51 Intinya dalam penerapan metode triple haḍārah, pemahaman haḍārah an-nash yang baik, meniscayakan pengetahuan yang baik tentang Islamic Studies, sedangkan untuk memahami haḍārah al-falsafah dengan baik meniscayakan pengetahuan yang baik tentang Philosophy of Science, dan untuk memahami haḍārah al-‘ilm dengan baik meniscayakan pengetahuan yang baik tentang Relegious Studies.52 Kedua, “Spider Web” dalam segi epistemologi.53 “Spider Web” memiliki lima lapisan. Lapisan pertama atau core dasarnya adalah AlQur’ān dan As-Sunnah dengan dilandasi semangat tauhid. Lapisan kedua adalah “methods and approaches” yaitu mentalitas keilmuan yang meliputi metode, pendekatan, perpektif dan teori dari berbagai disiplin 50



Waryani Fajar Riyanto, Implementasi Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Penelitian Tiga Desertasi Dosen UIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: LEMLIT UIN Sunan Kalijaga, 2012) hal. 48. 51 Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan, hal. 1059. 52 Waryani Fajar Riyanto, Implementasi Paradigma Integrasi-Interkoneksi, hal. 48. 53 Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan, hal. 1190-1215.



10



ilmu. Lapisan ketiga adalah ‘Ulum ad-Din atau Religious Knowledge yang meliputi kalam, fiqh, tafsir, hadits, tasawuf, falsafah, tarikh, dan lughah. Lapisan keempat adalah studi Islam kontemporer atau contemporary Islamic studies yang meliputi studi Al-Qur’ān dan As-Sunnah, pemikiran hukum (legal thought), pemikiran kalamiyyah (theological thought), pemikiran mistik (mystical thought atau sufism), pemikiran filsafat (philosophical thought), pemikiran politik (political thought) dan pemikiran modern dalam Islam. Lapisan kelima adalah isu-isu global atau global issues yang meliputi civil society, cultural studies, gender issues, enviromental issues, international law, relegious pluralism, economics, technology, dan human right. Ketiga, “Spheres dan Models” dalam segi aksiologi.54 Untuk metode spheres ada empat ranah metode: ranah filosofis, ranah materi, ranah metodologi, dan ranah strategi. Ranah filosofis dimaksudkan bahwa setiap penelitian harus diberi nilai fundamental eksistensial dalam kaitannya dengan disiplin ilmu lainnya dan dalam hubungannya dengan nilai-nilai humanistiknya. Sebagai contoh dalam penelitian fiqh misalnya, disamping makna fundamentalnya sebagai filosofi membangun hubungan antara manusia, alam dan Tuhan dalam ajaran Islam, penelitian fiqh harus juga ditanamkan pada setiap peneliti bahwa ekistensi fiqh tidaklah berdiri sendiri, melainkan berkembang bersama disiplin keilmuan lainnya seperti filsafat, sosiologi, psikologi dan lain sebaginya.55 Ranah materi merupakan suatu proses bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai kebenaran universal umumnya dan keislaman khususnya ke dalam penelitian umum, seperti filsafat, antropologi, sosiologi, hukum, politik, pikologi dan lain sebagainya, kemudian sebaliknya, memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam penelitian-penelitian keagamaan dan keIslaman. Dalam penelitian ilmu falak misalnya, tentu harus mengaitkannya dengan ilmu-ilmu astronomi



54 55



Waryani Fajar Riyanto, Implementasi Paradigma Integrasi-Interkoneksi, hal. 54. Ibid, hal. 56.



11



modern.56 Ranah metodologi dimaksudkan bahwa dalam penilitian, peneliti harus mampu menggunakan metode yang aman dalam mengembangkan penelitian intgratif-interkonektif. Misalnya psikologi dengan nilai-nilai Islam, maka secara metodologi ilmu interkonektif harus menggunakan pendekatan yang aman misalnya pendekatan fenomenologis, bukan pendekatan lain yang mengandung bias anti-agama seperti psikoanalisis.57 Ranah strategi dalam konteks penelitian adalah bagaimana seorang peneliti mampu membuat model dan pendekatan berbasis integrasi-interkonseksi. Dalam contoh ini, seorang peneliti fiqh, yang awam dalam sosiologi dan antropologi akan mengalami hambatan dalam merealiasikan penelitian interkonektif. Oleh karena itu, untuk menutupi kelemahan ini, peneliti dapat membuat model penelitian team researching.58 Sedangkan untuk metode model ada dua tingkatan metode.59 Tingkatan pertama adalah kelas pemula yaitu untuk mahasiswa strata satu (S1) yang memiliki tiga model yakni informatif, konfirmatif dan kolektif. (1) Informatif berarti bahwa suatu disiplin ilmu perlu diperkaya dengan informasi yang dimiliki oleh disiplin ilmu lain sehingga wawasan civitas akademika semakin luas. Misalnya ilmu agama yang bersifat normatif diperkaya dengan teori ilmu sosial dan ilmu alam yang bersifat historis, demikian sebaliknya.60 (2) Konfirmatif (Klarifikatif) mengandung arti bahwa suatu disiplin ilmu tertentu untuk dapat membangun teori yang kokoh perlu memperoleh penegasan dari disiplin ilmu yang lain. Misalnya teori binnary opposition dalam antropologi, akan semakin jelas jika mendapat konfirmasi atau klarifikasi dari sejarah sosial dan politik.61 (3) Korektif mengandung arti suatu teori ilmu tertentu perlu dikonfrontir



56



Ibid, hal. 57. Ibid, hal. 59. 58 Ibid, hal. 60. 59 Ibid, hal. 61. 60 Ibid, hal. 62. 61 Ibid. 57



12



dengan ilmu agama atau sebaliknya, sehingga yang satu dapat mengoreksi yang lain.62 Tingkatan kedua adalah kelas lanjutan untuk mahasiswa magister (S2) dan doktoral (S3) yang memiliki enam model: similarisasi, paralelisasi, komplementasi, komparasi, induktifikasi dan klarifikasi. (1) Similarisasi, yaitu menyamakan begitu saja konsep-konsep sains dengan konsep-konsep yang berasal dari agama, meskipun belum tentu sama. Misalnya, menganggap bahwa ruh sama dengan jiwa—similarisasi antara Tasawuf dan Psikologi.63 (2) Paralelisasi, yaitu menganggap paralel konsep yang berasal dari sains karena kemiripan konotasinya tanpa menyamakan keduanya. Misalnya peristiwa Isra’ Mi’raj diparalelkan dengan perjalanan ke ruang angkasa dengan menggunakan rumus ilmu fisika S = v.t (Jarak = kecepatan x waktu).64 (3) Komplementasi, yaitu antara sains dan agama saling mengisi dan saling memperkuat satu sama lain, dapat saling menembus, tetapi tetap mempertahankan eksistensi masing-masing. Misalnya manfaat puasa ramadhan untuk kesehatan dijelaskan dengan prinsip-prinsip dietary dari ilmu kedokteran.65 (4) Komparasi, yaitu membandingkan konsep/teori sains dengan konsep agama mengenai gejala-gejala yang sama. Misalnya, teori motivasi dari Psikologi dibandingkan dengan konsep motivasi yang dijabarkan dari ayatayat Al-Qur’ān .66 (5) Induktifikasi, yaitu asumsi-asumsi dasar dari teoriteori ilmiah yang didukung oleh temuan-temuan empirik dilanjutkan pemikirannya secara teroritis abstrak ke arah pemikiran metafisik, kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip agama dan Al-Qur’ān mengenai hal terebut. Sebagai contoh, adanya keteraturan dan keseimbangan yang sangat menajubkan di dalam alam semesta ini, menyimpulkan adanya Hukum Maha Besar yang mengatur.67 (6) 62



Ibid. Ibid, hal. 63. 64 Ibid. 65 Ibid, hal. 64. 66 Ibid. 67 Ibid. 63



13



Verifikasi, yaitu mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menunjang dan membuktikan kebenaran ayat-ayat Al-Qur’ān . Misalnya, penelitian mengenai potensi madu sebagai obat yang dihubungkan dengan Q.S. an-Nahl ayat 69.68 Keempat, delapan kacamata poin dalam metodologi.69 Delapan kacamata point ini digunakan sebagai panduan dalam praktik membaca buku, meneliti, dan menulis artikel atau karya tulis yang lain. Delapan kacamata point dalam metode integrasi-interkoneksi yaitu: summary, sense of academic crisis, importance of topic, prior research on topic, approach and methodology, limitation and key assumtions, contribution to knowledge, dan logical sequence. (1) Summary, yaitu bahwa dalam melakukan penelitian peneliti harus membuat proposal yang memiliki alur, pola urutan pemikiran dan logika penulisan yang sistematis.70 (2) Sense of academic crisis, yaitu proposal penelitian merupakan puncak akumulasi permasalahan dan kegelisahan akademik yang ingin dicari pemecahannya oleh peneliti. Tanpa adanya kegelisahan akademik yang mendalam, proposal penelitian yang sesuai dengan model integrai-interkoneksi sulit tersusun.71 (3) Important of topic, yaitu dalam melakukan penelitian peneliti harus menggali persoalan dan menemukan sebuah topik yang penting untuk diteliti dan topik tersebut relevan dengan persoalan kontemporer. Untuk dapat menemukan suatu topik yang penting dan relevan, peneliti harus merujuk terlebih dahulu pada penelitian penelitian terdahulu atau (4) Prior research on topic.72 Setelah melihat relevansi penelitian dengan merujuk penelitian terdahulu, kemudian peneliti menentukan metode dan pendekatan penelitian atau (5) Approacah and research methodology. Agar tidak terjadi pengulangan penelitian atau



68



Ibid, hal. 64-65. Delapan kacamata poin ini ternyata dikutip oleh Amin Abdullah dari buku Gordon B. Davis dan Clyde A. Parker yang berjudul Writing the Doctoral Dissertation: A Systematic Approach, (New York: Borrows, 1979) Ibid, hal. 73. 69 Ibid, hlm 69. 70 Ibid, hal. 70. 71 Ibid, hal. 71. 72 Ibid.



14



melakukan penelitian yang “sia-sia”, peneliti mesti memahami prioritas bidang kajian yang akan diteliti dengan membuat (6) Limitation and key assumptions atau batasan masalah dan membuat penekanan konsepkonsep tertentu yang akan dikaji lebih dalam pada penelitian. Dengan batasan masalah dan penekanan konsep, maka penelitian akan menghasilkan kajian keilmuan yang mendalam. Kajian yang mendalam ini bertujuan agar penelitian yang dilakukan mampu memberikan (7) Contribution to knowledge, yakni kontribusi keilmuan yang sesuai dengan bidang kajian masing-masing.73 Penelitian yang mampu memberikan kontribusi terhadap keilmuan dapat dilihat dari framework, metode, pemaparan data, sistematika penelitian dan sebagainya, intinya memiliki (8) Logical sequence yang baik dalam pemaparan hasil penelitiannya.74 Dari pemaparan konsep dan metode di atas, secara konseptual integrasi ilmu model integrasi-interkoneksi, integrasi dialogis dan integrasi menara kembar tersambung memiliki beberapa persoalan epistemologi. Pada integrasiinterkoneksi, integrasi ilmu—khususnya dalam studi Islam—yang dilakukan dengan meleburkan sisi normativitas-sakraitas masuk kewilayah historisitasprofanitas dengan maksud ingin membedakan (dikotomisasi) mana wilayah agama yang “sebenarnya” dan mana pula wilayah “kepentingan” historiskultural yang melekat di dalamnya, jelas bermasalah.75 Dari pernyataan tersebut Amin Abdullah seolah berasumsi bahwa dalam setiap batang tubuh ilmu keagamaan yang dikembangkan selalu tertempel kepentingankepentingan. Ada dua persoalan dalam asumsi tersebut. Pertama, Amin Abdullah tidak memberikan definisi dan deskripsi yang jelas, mana ilmu agama yang bermuatan kepentingan dan mana yang tidak. Kedua, cara pandang semacam ini sangat rentan memunculkan pemahaman yang keliru tentang ‘Ulumuddin dan khususnya ulama-ulama Islam. Seolah Amin Abdullah ingin menyatakan bahwa ulama dan ilmuwan keagamaan, apa pun agamanya, adalah 73



Ibid, hal. 72. Ibid. 75 Silahkan rujuk pembahasan dalam tulisan ini pada hal. 6 dan catatan kaki no. 30. 74



15



manusia biasa, dan karena itu, mereka pasti punya kepentingan dengan ilmuilmu yang disusunya. Dalam hal ini Amin Abdullah telah membuat generelisasi serampangan dalam menyamakan antara tradisi keilmuan Islam dengan tradisi keilmuan Barat. Jika ia menyatakan, agama—termasuk Islam—adalah sarat dengan berbagai kepentingan yang menempel pada ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan, maka ia harus menjelaskan, apa kepentingan Kalifah Usman menghimpun mushaf Al-Qur’ān; apa kepentingan Imam Buhari mengumpulkan dan menyeleksi hadist-hadist Nabi; apa kepentingan Imam Syafi’i menulis kitab ar-Risalah?76 Selain meleburkan sisi normativitas-sakraitas dan historisitasprofanitas, dalam integrasi-interkoneksi Al-Qur’ān dan Hadits yang dipakai sebagai landasan etika moral keagamaan obyektif dimaknai secara hermeneutis77 yang disesuaikan dengan diskusi-diskusi ilmu sosial-humaniora kontemporer, seperti hukum internasional, pluralisme agama, isu lingkungan, isu gender, cultural studies, HAM, sosial dan politik serta ekonomi.78 Dengan peleburan dan pemaknaan secara hermeneutis, studi Islam di PTAIN tidak berbeda dengan apa yang ada di Barat, yaitu melihat Islam bukan sebagai agama transenden yang diyakini sebagaimana kaum Muslimin melihatnya, sehingga Islam diletakkan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah, di mana Islam diperlakukan sama sebagaimana obek-obyek studi ilmiah lainnya. Ia dapat dikritik secara bebas dan terbuka. Penempatan Islam sebagai obyek studi semacam ini, memungkinkan lahirnya pemahaman yang murni "ilmiah" tanpa komitmen apa pun terhdap Islam. Penggunaan berbagai metode ilmiah mutakhir yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, memungkinkan lahirnya karya-karya studi Islam yang dari segi



Untuk uraian menarik tentang masalah ini, silahkan rujuk Amin Nasir, “Sintesis Pemikiran M. Amin Abdullah dan Adian Husaini: Pendekatan dalam Pengkajian Islam”, dalam Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Fikrah Vol. 2, No. 1, Juni 2014 (Kudus: Program Studi Ilmu Aqidah STAIN Kudus, 2014) hal. 147-151. 77 Model hermeunetis yang dimaksud adalah model yang digunakan dan dikembangkan oleh M. Arkoun, Hasan Hanafi dan Nasr Hamid Abu Zayd. 78 Silahkan rujuk pembahasan dalam tulisan ini pada hal. 7 dan catatan kaki no. 35. 76



16



ilmiah terlihat mengagumkan, namun menghilangkan sakralitas Islam sebagai sebuah agama.79 Lebih khusus lagi paradigma studi Islam yang digagas oleh Amin Abdullah tentang normativitas dan historisitas sebuah ajaran, meskipun motivasinya menghapus dikotomi dalam studi Islam, justru melalui paradigma tersebut ajaran Islam telah berhasil terdikotomisasikan, karena membedakan aspek-kaspek normatif ajaran dan bentuk-bentuknya.80 Pada level ini yang dijadikan cara pandang dalam studi Islam adalah perkembangan keilmuan Barat Modern dan postmodern serta isu-isu kontemporer seperti HAM, kesetaraan gender, teologi pembebasan, lingkungan, sebagai paradigma dalam memahami realitas ajaran dan ilmu-ilmu Islam semisal tafsir, ushul fiqih, hadits, filsafat, pendidikan,



yang



teraplikasikan dalam seluruh fakultas agama di PTAIN. Cara pandang semacam ini jelas akan berakhir pada relativisme, nihilisme, liberalisme dan anti otoritas ulama’ Salaf as-Shalih.81 Dalam proyek integrasi-interkoneksi keilmuan, Amin Abdullah menawarkan konsep “Horizon Jaring Laba-Laba Keilmuan TeoantroposentikIntegralistik”. Konsep ini menggunakan model triadik Haḍārah an-Nash, Haḍārah al-‘Ilm, dan Haḍārah al-Falsafah yang bertujuan mengintegraikan Islamic Science, Natural Science, dan Social-Humanity Science—di mana studi Islam masuk dalam kategori Social-Humanity Science.82 Jika dilihat dari sisi epistemologis, konsep yang ditawarkan oleh Amin Abdullah ini memiliki dua persoalan serius. Pertama, Amin Abdullah tidak memberikan batasan yang jelas mana disiplin keilmuan yang masuk Haḍārah an-Nash, Haḍārah al-‘Ilm, dan Haḍārah al-Falsafah. Batasan ini diperlukan guna melihat bahwa setiap 79



Pengkajian ini telah dilakukan secara mendalam oleh Muhammad Kholid Tohiri yang meneliti paradigma dan metode yang berkembang di PTAIN sejak orde baru hingga era reformasi. Dari kajian yang ia lakukan, Muhammad Kholid Tohiri menyatakan, paradigma dan metode yang dikembangkan di PTAIN jelas terhegemoni keilmuan Barat modern dan postmodern. Lihat Muhammad Kholid Tohiri, “Paradigma dan Metodologi Studi Islam di PTAIN: Studi AnalitisKritis”, Makalah Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor angkatan ke-V, (Gontor: PKU UNIDA, 2011) 80 Muhammad Kholid Tohiri, “Paradigma dan Metodologi Studi Islam di PTAIN”, hal. 28. 81 Ibid, hal. 24. 82 Silahkan rujuk pembahasan dalam tulisan ini pada hal. 7 dan catatan kaki no. 33 dan 37.



17



disiplin ilmu memiliki ke khasannya masing-masing. Tanpa memahami batas antar disiplin ilmu, mustahil dapat dilakukan dialog keilmuan. Kedua, dalam mengintegrasikan tiga wilayah pengembangan keilmuan yaitu Islamic Science, Natural Science dan Social-Humanity Science, Amin Abdullah melakukannya tanpa proses kritis dan selektif, terutama terhadap ilmu-ilmu yang berasal dan berkembang dalam peradaban Barat—dalam hal ini ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan.



Amin Abdulah berasumsi bahwa semua



konsep keilmuan yang ada dalam tiga wilayah keilmuan tersebut tidak memiliki persoalan dan perbedaan secara epistimologis terutama jika dibandingkan dengan sistem epistemologi Islam. Asumsi ini tentu merupakan sebuah kekeliruan. Sebab ilmu-ilmu keislaman memiliki sistem epistemologi yang khas dan berbeda dengan ilmu-ilmu kealaman dan atau ilmu-ilmu sosialkemanusiaan yang tidak bisa begitu saja diintegrasikan.83 Sebab perbedaan epistemologi akan menghasilkan sifat, karakter, konsep dan metode keilmuan yang berbeda. Perbedaan yang paling penting dan harus diperhatikan adalah perbedaan dalam memandang kebenaran.84 Pada integrasi dialogis dan integrasi menara kembar tersambung, secara epistemologis persoalannya terletak pada konsep dialog antara ilmu agama dan ilmu umum. Kedua model integrasi ini tidak memberikan definisi dan deskripsi yang jelas tentang apa yang dimakud dengan dialog dan bagaimana proses dialog itu dilakukan. Dalam integrasi menara kembar apa yang dimaksud



83



Untuk melihat perbedaan ini, sebagai contoh misalnya dalam epistemologi Islam selain meyakini wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tertinggi, juga meyakini akal, intuisi, otoritas, dan panca indera. Sementara dalam epistemologi Barat, hanya diterima dua sumber ilmu, yaitu rasio atau akal dan panca indera, sedangkan wahyu dan intuisi di tendang dalam diskursus sumber ilmu. Hal ini jelas bahwa Epistemologi Barat dan Islam memiliki perbedaan mendasar. Untuk uraian lengkap tentang persoalan ini silahkan rujuk Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, (Bandung: Mizan, 1995) bab 2. 84 Di dalam epistemologi Islam, khususnya yang membahas konsep kebenaran, kebenaran itu ada dan manusia diyakini mampu memperoleh serta mencapainya. Hal ini berbanding terbalik dengan epistemologi Barat, khususnya epistemologi Barat postmodern, yang berkeyakinan bahwa kebenaran itu tidak ada dan kalaupun ia ada manusia diyakini tidak mampu memperoleh serta mencapainya. Untuk pemaran menarik tentang tema epistemologi ini silahkan rujuk Syamsuddin Arif, Ilmu, Kebenaran, dan Keraguan: Refleksi Filosofis-Historis, Makalah orasi ilmiah yang disampaikan dalam rangka memperingati ulang tahun ke-13 INSISTS di Gedung Joang'45 Selasa, 1 Maret 2016, (Jakarta: INSISTS, 2016)



18



dialog antara antara ilmu agama dan ilmu umum adalah berusaha membangun struktur keilmuan yang memungkinkan ilmu keagamaan dan ilmu sosial/humaniora serta ilmu alam berkembang secara memadai dan wajar, di mana keduanya memiliki kewibawaan yang sama, sehingga antara satu dengan lainnya tidak saling merasa superior atau inferior. Konsep dialog seperti ini jelas problematis. Pertama—sebagaimana dalam integrasi-interkoneksi— menganggap bahwa ilmu keagamaan dan ilmu umum (ilmu sosial/humaniora dan ilmu alam) tidak memiliki perbedaan dan persoalan secara epistemologis adalah anggapan keliru, karena—sebagaimana telah dijelaskan di atas—ilmu umum dengan basis epistemologi Barat dan ilmu agama dengan basis epistemologi Islam jelas memiliki perbedaan mendasar bahkan beberapa bertentangan satu sama lain. Kedua, proses dialog yang tidak saling mengintervensi dalam arti antara ilmu agama dan ilmu umum tidak merasa superior satu sama lain adalah kerancuan. Integrasi ilmu bertujuan menghilangkan dikotomisasi ilmu dengan berusaha mendamaikan antara ilmu dan agama, antara kebenaran wahyu dan akal, antara ilmu dunia dan ilmu akhirat dan seterusnya. Selain itu, jika masingmasing corak keilmuan—antara corak keilmuan agama dan corak keilmuan umum—dibiarkan tidak saling mengintervensi, maka ada semacam dikotomi baru dalam diskursus keilmuan yang dikembangkan. Jika keilmuan agama tidak boleh mengintervensi keilmuan umum, maka apa perbedaan keilmuan yang dikembangkan di Barat dan yang dikembangkan dalam dunia Islam? Apalagi dasar dari argumen “tidak boleh saling mengintervensi” adalah asumsi bahwa kondisi keilmuan umum telah mapan dan ilmu pada hakikatnya netral.85



85



H. Syaifuddin (Dosen FITK UIN Sunan Ampel Surabaya) dalam penelitiannya bahkan menyatakan, bahwa hubungan keilmuan agama dan umum dalam Integrated Twin Towers tidak saling mengintervensi, tetapi saling melengkapi. Hal ini didasarkan pada kondisi keilmuan umum yang sudah mapan. Disamping itu, segala ilmu itu pada hakikatnya netral dan Islami. Baik buruknya ilmu tergantung pada penggunaannya. Lihat Syaifuddin, Studi Komparasi Integrasi Keilmuan Berbasis Islamisasi Ilmu dengan Integrated Twin Towers.pdf hal. 13 di akses dari http://digilib.uinsby.ac.id/7180/ tanggal 09 November 2016.



19



Ini merupakan sebuah kekeliruan berfikir, sebab telah banyak pengkajian dari para ahli yang menyatakan bahwa ilmu tidaklah netral, tetapi sarat nilai.86 Dari



segi



metode,



mengimplementasikan



empat



metode87



integrasi-interkoneksi



yang



digunakan



memiliki



empat



dalam corak



pendekatan, di mana empat corak tersebut terhegemoni pendekatan keilmuan Barat modern bahkan post modern. Di antara pendekatan itu antara lain: pertama, pendekatan fungsional-budaya dalam kajian Islam. Pendekatan ini mengandaikan studi Islam termasuk tentang ketuhanan tidak bersifat mistis, apriori dan metafisis, namun menghadirkan kajian Islam yang mempersipsikan bahwa Tuhan yang beimplikasi dinamis-sosiologis. Dalam pendekatan ini, teori-teori sosial-kultur yang bercorak neo-marxis88 sebagai alat bantu dalam memahami studi Islam. Kedua, pendekatan filsafat kritis. Pendekatan ini memiliki ciri berpikir menolak suatu pandangan untuk dijadikan doktrin. Tetapi hasil pemikiran diposisikan dalam dialektika-diskursif pada tingkat filosofis-teoritis dan metodologis. Dalam praktiknya, pendekatan filsafat kritis ini digunakan untuk membongkar atau mendekonstruksi wacana keagamaan yang mapan (ortodoksi) dan formalistik. Karena bagi pendekatan ini, pemikiran termasuk studi Islam merupakan bagian yang tidak bisa lepas dari historisitas sebuah kajian yang di sana terdapat kepentingan-kepentingan yang terselubung baik



86



Literatur seputar masalah ini terlau banyak untuk disebutkan. Lihat, misalnya: Jurgen Habermas, Knowledge and Human Interest, trans. Jeremy J. Shapiro, (Cambridge: Polity Press, 1968); Thomas S. Kuhn, The Structure Of Scientific Revolutions, (Chicago: The University of Chicago Press, 1970); Robert Proctor, Value-free Science? Purity and Power in Modern Knowledge, (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1991); Harold Kincaid (Ed.), Value-Free Science: Ideals and Illusions? (Oxford: Oxford University Press, 2007); Robert Audi, Reasons, Rights, and Values, (Cambridge: Cambridge University Press, 2015) chapter 10; John M. Ziman, An Introduction to Science Studies: The Philosophical and Social Aspects of Science and Technology, (Cambridge: Cambridge University Press, 1995); Chin-Tai Kim, “Science as Ideologi”, dalam Robert S. Cohen (Ed.), Realism and Anti-Realism in the Philosophy of Science, (Beijing: SpringerScience and Business Media, B.V., 1992) Vol. 19, hal. 202; Ziauddin Sardar, Thomas Kuhn and The Science War, (London: Icon Book, 2000); Jacob Bronowski, Science and Human Values, (London: Faber & Faber, 2008). 87 Silahkan rujuk pembahasan dalam tulisan ini pada hal. 10-15. 88 Teori-teori neo-marxis adalah teori yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh semisal Max Horkheimer, Theodor Adorno, Jurgem Habermas, dan Friedrich Pollock.



20



budaya, sosial, politik, ekonomi dan lainnya.89 Sehingga orientasi studi Islam di PTAIN mengarah kepada liberasi dan transformasi yang mendekonstruksi ajaran agama yang dianggap mapan dan doktrinal. Ketiga, pendekatan ilmu-ilmu sosial. Pendekatan ini digunakan sebagai upaya meninggalkan pola pikir kajian atau studi Islam yang bersifat deduktifnormatif melalui pendekatan psikologis, sosiologis, antropologis dan sebagainya, yang merupakan ilmu-ilmu yang berbasis pada sekular-Barat. Hal ini dilakukan karena dianggap keilmuan Islam tidak berkembang disebabkan kering atau tidak melibatkan ilmu-ilmu sekular Barat dalam kajian Islam.90 Keempat,



pendekatan



hermeneutik.



Pendekatan



hermeneutik



diterapkan dalam ilmu-ilmu humaniora seperti sejarah, agama, filsafat, maupun linguistik. Termasuk di sini adalah kitab suci Al-Qur’ān dan Hadits dan teksteks keagamaan Islam lainnya seperti tafsir, fiqih, kalam, dan lainnya. Dari sini banyak kajian-kajian tentang penafsiran Al-Qur’ān mempunyai corak yang berbeda dengan hasil penafsiran para ulama’ klasik. Pendekatan studi AlQur’ān yang dilakukan dengan menggunakan metodologi hermeneutik akan menghasilkan produk tafsir bersifat relatif, temporer, dan dekonstruktif. Dari empat pendekatan di atas dapat disimpulkan bahwa ada transfer paradigma sekaligus metodologi keilmuan Barat dalam studi Islam, yang dalam penerapannya tanpa ada proses filtering dan catatan kritis oleh para pengkaji Islam di PTAIN91 sehingga ada kesan latah dan membebek secara membabi buta kepada cara pandang keilmuan Barat. Pembebekan membabi buta ini menandakan bahwa integrasi ilmu model integrasi-interkoneksi sejatinya bukan melakukan dialog keilmuan antara Islam dan Barat secara kreatif, selektif, dan inovatif yang menghasilkan sistem epistemologi baru dalam Islam, tetapi jutru melakukan wesrternisasi atau pem-Barat-an Islam.



89 Lihat, Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Fisafat, Sosiologi dan Sejarah, (Yogyakarta: Qirtas, 2004), hal. 138. 90 Ibid, hal. 140. 91 Khususnya di UIN Yogyakarta



21



B. Integrasi Pohon Ilmu Integrasi keilmuan model pohon ilmu didasari dari keyakinan Imam Suprayogo92 bahwa ilmu dan agama memiliki satu fungsi yang sama, yaitu untuk memahami alam dan kehidupan.93 Atas dasar ini keduanya (ilmu dan agama) dapat dipadukan—namun bukan dalam makna “dicampurkan”.94 Ilmu dan agama berbeda dalam hal sumber pengetahuan. Agama hanya diperoleh melalui wahyu, sedangkan ilmu hanya diperoleh melalui kegiatan penelitian.95 Perbedaan sumber tersebut berimplikasi pada jenis atau tingkat kebenaran. Agama yang bersumber pada wahyu memiliki kebenaran universal yang abadi, sedangkan ilmu memiliki kebenaran yang relatif bergantung pada dukungan data dan rasio yang menopangnya.96 a. Konsep Melalui rekonstruksi konsep keilmuan dengan meletakkan agama sebagai basis ilmu pengetahuan, Imam Suprayogo menawarkan integrasi keilmuan melalui metafor “Pohon Ilmu”.97 Metafora yang digunakan adalah sebuah pohon yang kokoh, bercabang rindang, berdaun subur, dan berbuah lebat karena ditopang oleh akar yang kuat. Akar pohon yang kukuh menghujam ke bumi menggambarkan ilmu alat yang harus dikuasai yaitu Bahasa Arab dan Inggris, Logika, pengantar Ilmu-ilmu Alam dan Ilmu-ilmu Sosial. Batang pohon yang kuat menggambarkan kajian dari sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’ān dan Hadits, pemikiran Islam, sirah nabawiyah, dan sejarah Islam. Sedangkan dahan yang jumlahnya cukup banyak menggambarkan



92 Imam Suprayogo adalah Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang sekaligus Guru Besar Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang. Lahir di Trenggalek 2 Januari 1951. Silahkan akses http://www.imamsuprayogo.com/link.php?mn=view_profil diakses 9 November 2016. 93 Imam Suprayogo, “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN Malang”, dalam Zainal Abidin Bagir (Ed.), Integrasi Ilmu dan Agama: Intepretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) hal. 219. 94 Ibid. 95 Ibid, hal. 220. 96 Ibid. 97 Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang, (Malang:UIN-Malang Press, 2006), hal. 57.



22



sejumlah ilmu pada umumnya dengan berbagai cabangnya, seperti ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora.98 b. Metode Untuk mengimplementasi konsep integrasi antara ilmu dan agama, Imam Suprayogo membuat langkah-langkah sebagai berikut:99 1. Menjadikan Al-Qur’ān dan Hadits sebagai sumber dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pengembangan ilmu pengetahuan harus bersumber pada ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat-ayat kauniyah sekaligus. Yaitu cara berpikir yang memposisikan Al-Qur’ān dan Hadits sebagai salah satu sumber pengembangan ilmu pengetahuan di lingkungan universitas Islam.100 2. Keterpaduan konsep Perguruan Tinggi dan Ma’had. Ma’had



digunakan



sebagai



fasilitas



mengembangkan



kultur



keberagamaan, seperti shalat berjama’ah pada setiap waktu sholat fardlu, shalat malam, membaca Al-Qur’ān bersama-sama, pelatihan kepemimpinan mahasiswa dan lain-lain. 3. Iklim dan Budaya Kampus. Tenaga dosen yang berkompeten dalam bidangnya sekaligus juga menguasai ilmu agama. Membangun kultur kebersamaan seperti shalat berjamaah di kampus yang diikuti oleh seluruh pimpinan, dosen, karyawan dan juga mahasiswa, dan lain-lain. Langkah-langkah dan pembangunan kultur sebagaimana tersebut di atas diperlukan agar seluruh elemen dalam institusi memiliki etos kerja dan budaya Islami, sesuai dengan nama “Universitas Islam”.101 Konsep integrasi pohon ilmu yang digagas oleh Imam Suprayogo dengan memadukan ilmu dan agama didasari pada keyakinan bahwa ilmu dan agama



98



Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul, (Malang: UIN-Malang Press, 2009) hal.



166 99



Ibid, hal. 49-55 Imam Suprayogo, “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama..”, hal. 225. 101 Imam Suprayogo, Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN, (Malang: UIN-Malang Press, 2008) hal. 94. 100



23



memiliki satu fungsi yang sama, yaitu untuk memahami alam dan kehidupan.102 Meski bisa dipadukan, ilmu dan agama tidak bisa dicampurbaurkan. Karena ilmu dan agama memiliki perbedaan sumber pengetahuan. Agama hanya diperoleh melalui wahyu sedangkan ilmu hanya diperoleh melalui kegiatan penelitian. Agama yang diperoleh melalui wahyu memiliki kebenaran universal yang abadi, sedangkan ilmu memiliki kebenaran yang relatif bergantung pada dukungan data dan rasio ang menopangnya.103 Dari penjelasan di atas ada empat kelemahan asumsi dasar dalam konsep



integrasi



pohon



ilmu.



Pertama,



Imam



Suprayogo



tidak



mendeskripsikan dengan jelas apa dan bagaimana memadukan ilmu dan agama. Kedua, landasan pemaduan bahwa fungsi ilmu dan agama adalah untuk memahami alam dan kehidupan merupakan kerancuan. Tentu sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam memahami alam dan kehiduapan agama dan ilmu memiliki cara pandang yang berbeda. Ilmu—dalam hal ini adalah sains modern—selalu menggunakan kacamata rasionalisme dan empirisme dalam usahanya memahami alam dan kehidupan. Sedangkan dalam memahami alam dan kehidupan, agama—dalam hal ini Islam—menggunakan kacamata iman, akal, dan intuisi. Dalam pengertian Barat modern, ilmu merujuk kepada pengenalan dan atau presepsi yang jelas tentang fakta (knowledge denotes acquaintance with, or clear preseption of fact). Sedangkan fakta merujuk kepada hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera, yakni bersifat empiris. Sesuatu yang tidak dapat ditanggap oleh indera di anggap bukan fakta, dan tidak dimasukan kedalam kategori ilmu. Dalam hal ini, agama dianggap secara mutlak keluar dari defenisi dan ruang lingkup ilmu, sebab menurut pandangan mereka, agama adalah kepercayaan atau dugaan (beliefs or opinions) sematamata.104 Berangkat dari pengertian ilmu di atas, argumen bahwa ilmu dan



102



Silahkan rujuk pembahasan dalam tulisan ini pada hal. 22. Ibid. 104 Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu: Satu Penjelasan, (Singapura: Pustaka Nasional Singapura, 2007) hal. 30. 103



24



agama memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk memahami alam dan kehidupan merupakan argumen yang rancu dan tidak bisa diterima. Ketiga, argumen bahwa agama hanya diperoleh melalui wahyu sedangkan ilmu hanya diperoleh melalui kegiatan penelitian merupakan argumen yang lemah. Dalam konsep Islam, agama, dalam hal ini wahyu, merupakan sumber utama pengetahuan, bahkan merupakan sumber tertinggi dan otoritatif. Begitu juga ilmu, dalam Islam hasil-hasil keilmuan baik yang berupa hasil pemikiran ataupun eksperimental dapat dijadikan landasan hukum dalam menyelesaikan persoalan agama.105 Artinya hubungan ilmu dan agama dalam Islam sebetulnya saling berdialog satu sama lain, tidak terpisah sama sekali. Selain argumen yang lemah, pemahaman bahwa bahwa agama hanya diperoleh melalui wahyu sedangkan ilmu hanya diperoleh melalui kegiatan penelitian merupakan sikap yang dikotomis, yaitu antara ilmu dan agama memiliki sumber ilmu dengan jalur yang berbeda dan tidak bisa disatukan. Ini jelas bertentangan dengan ide dasar integrasi ilmu. Keempat, perbedaan sumber antara ilmu dan agama berimplikasi pada konsep kebenaran. Kebenaran agama yang bersumber wahyu bersifat universal dan abadi, sedangkan kebenaran ilmu yang bersumber pada penelitian bersifat relatif. Argumen ini juga merupakan kerancuan. Letak kerancuan argumen ini adalah Imam Suprayogo tidak medefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud agama dan ilmu, serta tidak memberikan batasan mana wilayah agama dan mana wilayah ilmu dalam tulisan-tulisannya. Pendiefinisian dan pemetaan wilayah ilmu dan agama ini menjadi penting sebab tidak semua yang dihasilkan ilmu atau sains itu bersifat relatif. Misalkan dalam ilmu matematika, bahwa 1 + 1 = 2 adalah benar dan kebenaran itu mutlak, tidak relatif. Begitu juga dalam persolan agama, tidak semuanya mutlak, yaitu persoalan-persoalan yang landasan dalilnya dzani, di mana para ulama tidak semuanya sepakat terhadap hukum suatu persoalan. Misanya ketidaksepakatan ulama tentang apakah



105



Dalam kasus ini diambil contoh misalnya kasus bayi tabung, cangkok jantung, bank sperma, bank ASI (Air Susu Ibu), transplantasi jantung, dan lain sebagainya.



25



Rasulullah ketika melakukan Isra’ Mi’raj106 dengan ruhnya saja atau dengan ruh dan jasad sekaligus. Juga ketidaksepakatan ulama tentang azab kubur, yaitu apakah azab yang diberikan kepada mayit adalah azab jasad atau azab ruhnya saja.107 Pertanyaanya apakah persoalan Isra’ Mi’raj dan azab kubur dalam pandangan Imam Suprayogo masuk dalam kategori agama atau tidak? Jika tidak, maka manakah yang termauk persoalan agama? Di sinilah letak persoalan utamanya. Secara metodologis, integrasi pohon ilmu tidak menawarkan metode yang menyentuh aspek epitemologis. Meskpun dalam metodenya menawarkan Al-Qur’ān dan Hadits sebagai sumber pengembangan ilmu pengetahuan, namun Imam Suprayogo tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana cara menjadikan Al-Qur’ān dan Hadits sebagai sumber ilmu pengetahuan. Apakah sekedar menjadi landsan etik-moral atau sebagai seminal konsep yang membangun konsep-konsep baru dalam pengembangan keilmuan? Tidak ada penjabaran sistematis tentang hal ini. Metode yang diterapkan dalam integrasi pohon ilmu juga lebih bersifat manajerial-struktural. Yaitu bagaimana memanfaatkan fasilitas kampus yang mendukung suasana



Islami seperti



masjid kampus dioptimalkan secara maksimal. Juga bagaimana mengatur agar para tenaga pendidik selain menguasai disiplin ilmu masing-masing juga menguasai ilmu agama. Penguasaan tenaga pengajar terhadap disiplin ilmu yang ditekuninya dengan ilmu agama juga bukan bertujuan agar tenaga pengajar mampu melakukan dialog keilmuan secara epistemologis, namun agar tenaga pengajar mampu memasukkan nilai-nilai ke Islaman dalam mata kuliah yang diajarkan. Artinya dalam integrasi pohon ilmu ada kesenjangan antara konsep dan metode yang ditawarkan. Yakni tidak ada hubungan yang jelas antar keduanya.



Namun dalam peristiwa Isra’ Mi’rajnya semua ulama sepakat bahwa Rosulullah telah melakukan Isra’ Mi’raj. Untuk pembahasan masalah ini silahkan rujuk misalnya Hafidz Ahmad alHakami, Ma’arijul Qabul Syarh Sullah al Wusul, (Kairo: Darul Aqidah) Vol. 1. Bab Mi’raj an-Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam Ila Sidratul Muntaha wa Ila Haisu Sha Allah Aja Wajal. 107 Ibid, Jilid 2, Bab Isbat al-Sunnah fi Adzabil Qabli. 106



26



C. Integrasi Pentadik Integrasi keilmuan model integrasi pentadik108 ini digagas oleh Armahedi Mahzar.109 Model integrasi ini ingin merevolusi model integralisme universal110 Ken Wilber yang dikembangkan pada tahun 1990-an.111 Kemudian Ia menamai model integrasinya sebagai Integralisme Islam.112 Integralisme Islam Armahedi Mahzar dimulai dari penjajakan metode strukturalis antropolog Prancis Claude Levi Strauss113 dan holisme114 yang belum lengkap. Hasil dari penjajakannya, Armahedi Mahzar menemukan susunan geometris konsep-konsep Barat yang berturut-turut: diri-manusia, manusia-lingkungan, dan alam-Tuhan, yang kesemuanya merupakan sistem terpadu.115 a. Konsep Integrasi ilmu yang dikembangkan oleh Armahedi Mahzar disebut sebagai integralisme pentadik karena integralisme ini berusaha mengoreksi integralisme tetradik yang dikembangkan Ken Wilber. Kelemahan integrasi tetradik Wilber adalah karena ia meletakan semua jenis ilmu



108



Disebut pentadik karena jumlah konsep dasar yang menjadi komponen utama model ini adalah lima buah konsep, yaitu: sumber, nilai, informasi, energi dan materi. Lihat Armahedi Mahzar, “Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi”, dalam Zainal Abidin Bagir (Ed.), Integrasi Ilmu dan Agama: Intepretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) hal. 94-105. 109 Armahedi Mahzar adalah fisikawan lulusan ITB. Pernah mengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB), Islamic College for Advanced Studiesc (ICAS), Jakarta dan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Lahir di Genteng, Jawa Timur, tahun 1943. 110 Disebut integral karena memasukan semua aspek kemanusiaan dan semua tingkatan kesadaran manusia. Disebut universal karena memadukan kearifan agama tradisional Timur dan pengetahuan sains modern Barat. Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami: Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004) hal. 215. 111 Ibid, hal. xl. 112 Kata Islam dalam “Integralisme Islam” ditambahkan oleh Armahedi Mahzar karena ia menambahkan dimensi-dimensi keIslaman pada integralisme universal Wilber. Ibid, hal. xliv. 113 Yakni ketika ia menganalisis fenomena perpindahan pemuda-pemuda Barat ke dunia Timur untuk mencari filsafat pegangan hidup dan pemuda Timur yang mencari hal sama di Barat. Silahkan rujuk Armahedi Mahzar, Integralisme: Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka, 1983) hal. 1. 114 Holisme adalah adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa sistem alam semesta, baik yang bersifat fisik, kimiawi, hayati, sosial, ekonomi, mental-psikis, dan kebahasaan, serta segala kelengkapannya harus dipandang sebagai sesuatu yang utuh dan bukan merupakan kesatuan dari bagian-bagian yang terpisah. Namun dalam perkembangannya di Barat, holisme tidak memasukkan dimensi transedental mutlak dalam wawasan keslingpaduannya. Lihat Armahedi Mahzar, Islam Masa Depan, (Bandung: Pustaka, 1993) hal. 124-127 115 Armahedi Mahzar, Integralisme: Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, hal. 2.



27



setara satu sama lain.116 Menurut Armahedi Mahzar, ilmu tidaklah sejajar, namun memiliki herarki atau tingkatan.117 Ada perbedaan kategori antara Integralisme Wilber dan Armehedi Mahzar. Jika dalam integralisme universal Wilber memiliki kategori objektivitas, interobjektifitas, intersubjektifitas, dan subjektifitas, maka integralisme Islam Armahedi Mahzar memiliki kategori materi, energi, informasi dan niali-nilai. Dalam integrasi Islam dikenal kategori kelima, yaitu sumber yang merupakan sumber esensial bagi nilai-nilai.118 Perumusan kontempore lima kategori herarkis119 dalam Integralisme Islam sebetulnya mirip dengan struktur tradisi pemikiran Islam. Struktur tersebut yaitu: tasawuf, fiqh, kalam dan hikmat.120 Keempat intisari ilmuilmu Islam tersebut dapat dijadikan sebagai paradigma epistemologi, aksiologi, teologi dan kosmologi bagi sains serta dapat digunakan menggantikan tiga paradigma sains modern.121 Selain itu kelima kategori herarkis dapat meletakan klasifikasi keilmuan Islam.122 b. Metode Implementasi integrasi pentadik atau integralisme Islam dapat dipilah menjadi empat tataran sebagi berikut:123



Armahedi Mahzar, “Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi”, dalam Zainal Abidin Bagir (Ed.), Intgrasi Ilmu dan Agama: Intepretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) hal. 100. 117 Ibid. 118 Selain berbeda dalam ketegori, integralisme Wilber dan Armahedi Mahzar juga memiliki perbedaan dalam hal herarki. Dalam integralisme Wilber, kategori tersebut tersusun secara sejajar. Sedangkan dalam integralisme Armahedi Mahzar kategori-kategori tersusun sebagai suatu perjenjangan menegak atau herarki. Herarki itu berjenjang dari materi ke sumber melalui energi, informasi dan nilai-nilai. Ibid. 119 Materi, energi, informasi, niali-nilai dan sumber. 120 Dalam tradisi tasawuf, lima kategori herharkis bersesuaian dengan jism, nafs, ‘aql, qalb, dan ruh. Dalam tradisi fiqh bersesuaian dengan sumber hukum ‘urf, ijma’, ijtihad, Sunnah, dan Qur’an. Dalam tradisi ilmu kalam bersesuaian dengan khalqilah, sunnatullah, amrullah, shifatullah, dan dzatullah. Dan dalam tradisi hikmat atau filsafat bersesuaian dengan ilad maddiyyah, ilad fa’iliyyah. Ilad shuriyyah, ilat ghaiyyah, dan ilad tammah. Ibid, hal. 100-101. 121 Tiga paradigma sains modern tersebut antara lain: rasionalisme sebagai epistemologi, humanisme sebagai aksiologi, dan materialisme sebagai ontologi. Ibid, hal. 101. 122 Klasifikasi tersebut antara lain: ilmu-ilmu Al-Qur’ān sebagai sumber, ilmu-ilmu keagamaan sebagai nilai-nilai, ilmu-ilmu kebudayaan sebagai informasi, ilmu-ilmu terapan sebagai energi, dan ilmu-ilmu kealaman sebagai materi. Ibid. 123 Ibid, hal. 108-109. 116



28



1. Konseptual Secara konseptual, ketiga tujuan perguruan tinggi harus dirumuskan kembali dalam konteks Islam. Pertama, sebagai lembaga pendidikan, perguruan tinggi harus mendidik sarjana Muslim untuk menjadi insan kamil yang memahami Din Al-Islām secara kaffah. Kedua, penelitian harus dilihat dari prespektif untuk mengenal sifat-sifat Allah secara lebih mendalam. Ketiga, pengabdian masyarakat harus dilihat sebagai pengamalan ilmu untuk kepentingan seluruh umat manusia sebagai ekpresi mensyukuri nikmat Allah. 2. Institusional Pada tataran institusional, fakultas-fakultas ilmu kealaman, kemanusian dan keagamaan semuanya harus diintegrasikan dalam satu kampus universitas secara terpadu. 3. Operasional Dalam tataran operasional, kurikulum pendidikan semua fakultas harus memasukkan konsep-konsep fundamental ilmu-ilmu kalam, fiqh, tasawuf, dan hikmat sebagai pelajaran wajib ditingkat pertama bersama. 4. Arsitektural Pada tataran arsitektural, untuk implementasi integrasi sains dan Islam, setiap kampus harus mempunyai masjid—dan jurusan punya satu mushola—sebagai pusat kehidupan bermasyarakat, berbudaya dan beragama. Kemudian perpustakaan harus meliputi semua pustaka ilmuilmu kealaman, kemanusiaan dan keagamaan. Secara konseptual ada satu kelemahan utama dalam integrasi pentadik. Kelemahan tersebut ialah integrasi pentadik hanya sekedar menambahkan dimensi-dimensi keislaman pada integralisme universal Wilber. Dalam menggagas model integrasinya, Armahedi Mahzar tidak berusaha melacak konsep-konsep yang dikembangkan oleh Wilber kemudian menilai secara kritis, apakah konsep-konsep itu dapat dimbahkan begitu dengan dimensi-



29



dimensi keislaman ataukah dapat ditambahkan dengan dimensi keislaman tetapi dibutuhkan usaha filterisasi terlebih dahulu. Sama seperti model integrasi-interkoneksi, dalam integrasi pentadik sains dianggap tidak memiliki persoalan serius pada aspek paradigma secara keseluruhan, tetapi hanya dipandang bermasalah dalam segi mengingkaran sains modern terhadap nilai-nilai transendental dan dalam aspek aplikasinya. Dengan asumsi ini, Armahedi Mahzar kemudian menambahkan dimensidimensi keisalam dalam paradigma sains modern yang telah kering dan kehilangan spiritualitas relegius. Namun perlu dipertanyakan, apakah dengan menambahkan begitu saja dimensi-dimensi Islam yang bersifat spiritualrelegius terhadap konsep sains modern lantas menjadikan sains modern terebut menjadi Islami? Jawabannya jelas tidak. Sebab antara konsep-konsep Islam dan sains modern memiliki perbedaan mendasar, apalagi dalam dimenasidimensi ke Islaman yang bercorak spiritual-relegius. Maka menambahkan dimensi-dimensi keislaman ke dalam sains modern seperti halnya menambahkan susu pada segelas racun. Seberapa pun banyak susu yang ditambahkan tidak akan mengubah sifat unsur dalam gelas tersebut. Secara metodologis, integrasi pentadik mirip dengan integrasi pohon ilmu, yakni berisifat manajerial-struktural ditambah penanaman nilai-nilai Islam124 dan belum menyentuh aspek epistemologis. Hanya dalam metode operasional saja, disinggung aspek epistemologis, itu pun tidak memiliki penjelasan memadai. Dalam metode operasional, kurikulum pendidikan semua fakultas mesti memasukkan konsep-konsep fundamental ilmu-ilmu kalam, fiqh, tasawuf dan hikmat atau filsafat Islam. Persoalannya adalah Armahedi Mahzar tidak memberikan batasan dan penejelasan apa saja konsep-konsep fundamental tersebut. Sebab tanpa ada penjelasan dan batasan, ilmu-ilmu kalam, fiqh, tasawuf dan hikmat memiliki cukup banyak konsep fundamental disetiap aliran dan tokoh-tokohnya, dan bisa saja antara satu pengajar dengan



124



Secara manajerial dapat dilihat dari metode institusional dan arsitektural. Sedangkan penanaman nilai-nilai Islam dapat dilihat dari metode konseptual.



30



pengajar lain memiliki perbedaan pandangan mengenai mana konsep yang fundamental dan tidak fundamental dari keempat keilmuan Islam tersebut. Selain itu, Armahedi Mahzar juga tidak memberikan tahap-tahap yang mesti dilalui oleh pengajar dalam mengajarkan konsep-konsep fundamental tersebut. Sebab dalam kasus ilmu kalam dan filsafat Islam atau hikmat, ada beberapa konsep yang hanya boleh diajarkan kepada mahasiswa tingkat lanjut yang memiliki cukup pengetahuan dasar dalam ilmu kalam dan filsfat serta menguasai dasar-dasar ilmu matiq atau logika. Ini disebabkan karena tingkat kerumitan dan kedalaman konsep dalam ilmu tersebut. Tanpa adanya perjenjangan, dikhawatirkan mahasiswa yang tidak memiliki pengetahuan dasar tentang ilmu ilmu kalam, fiqh, tasawuf dan hikmat, akan kebingungan dalam memahami konsep yang diajarkan. Kebingungan ini bisa menghasilkan kerancuan dan kesalahan berfikir dalam memahami mana yang benar dan mana yang tidak. Artinya metode operasional yang ditawarkan oleh Armahedi Mahzar memerlukan tinjauan kritis dan pematangan untuk keperluan aplikatif di masa yang akan datang.



D. Integrasi Kesatuan Wujud/Realitas Ada dua tesis dasar yang melandasi integrasi keilmuan model kesatuan wujud. Pertama, adanya dikotomi ilmu kedalam ilmu agama dan ilmu non-agama.125 Kedua adanya dominasi positivisme126 dalam sains modern. Dikotomi ilmu mengakibatkan pengingkaran terhadap validitas dan status ilmiah yang satu atas yang lain,127 kesenjangan sumber ilmu antara ilmu agama dan ilmu umum,128 problem objek-objek ilmu yang dianggap “sah” untuk sebuah 125



Dikotomi ilmu kedalam ilmu agama dan non-agama ini terjadi ketika sistem pendidikan Barat diperkenalkan di dunia Islam. Lihat Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Arasyi, 2005) hal. 19-20. 126 Posotivisme adalah sebuah aliran filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal atau yang dapat dicerap oleh indera lahir manusia. Lihat Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Lentara Hati, 2008) hal. 132; juga Mulyadi Kartanegara, Nalar Relegius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia, (Jakarta: Erlangga, 2007) hal. 38. 127 Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu, hal. 20. 128 Ibid, hal. 22.



31



disiplin ilmu,129 dan disintegrasi pada tataran klasifikasi ilmu.130 Sementara dominasi positivisme mengakibatkan satu-satunya realitas yang riil yang bisa diobservasi melalui indera dan segala wujud yang berada dibalik dunia fisik (metafisik) hanyalah hasil spekulasi manusia yang tidak memiliki realitas ontologis di luar kesadaran manusia.131 a. Konsep Integrasi diperlukan karena dikotomi dan dominasi positivisme melahirkan beberapa problem keilmuan. Pertama problem sumber ilmu, kedua problem klasifikasi ilmu, ketiga problem metode ilmu, dan keempat problem kedudukan ragam pengalaman manusia.132 Atas dasar problem ini integrasi keilmuan antara ilmu umum (sains Barat modern) dengan ilmu agama tidak bisa dicapai hanya dengan menyatukan dua kelompok ilmu133—sebab, keduanya memiliki perbedaan basis teori—namun, integrasi harus berurusan dengan beberapa aspek atau tingkatan: ontologis, epistemologis, dan metodologis.134 Untuk mengintegrasikan seluruh tingkatan (ontologi, epistemologi dan metodoogi), diperlukan konsep kesatuan realitas/wujud.135 Dalam



129



Ibid, hal. 24 Ibid, hal. 26 131 Mulayadi Kartanegara, MengIslamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, hal. 21. Pandangan kaum positivis ini sama dengan pandangan kamum materialis, mereka mempercayai bahwa yang fundamental atau prinsipin adalah yang fisik bukan yang non-fisik atau metafisik. Lihat juga Mulayadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002) hal. 145. 132 Mulyadi Kartanegara, “Integrasi Ilmu Pengetahuan: Itulah Islam”, dalam Laode M. Kamaluddin, On Islamic Civilization: Menyalakan Kembali Lentera Peradaban yang Sempat Padam, (Semarang: UNISSULA Press, 2010) hal. 242-246. 133 Seperti model ayatisasi atau justifikasi. Untuk melihat integrasi model ayatisasi atau justifikasi silahkan rujuk antara lain: Maurice Bucaille, Bible, Qur’ān dan Sains Modern, terj. Prof. H. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2010); juga dalam karya penulis yang sama Darimana Manusia Berasal?, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizania, 2008); Dr. Muhammad Thohir, Ayatayat Tauhid, (Surabaya: Bina Ilmu, 2013); Wisni Arya Wardana, Al-Qur’ān dan Energi Nuklir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). 134 Integrasi ontologi dengan mengintegrasikaan objek-objek ilmu. Integrasi epistemologi dengan mengintegrasikaan bidang dan sumber ilmu serta pengalaman manusia. Integrasi metodologis dengan mengintegrasikan metode dan penjelasan ilmiah. Lihat Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003) hal. khususnya Bab 4, 5, dan 6. 135 Konsep tentang kesatuan wujud diambil dari konsep tauhid dari formulasi “La Ilaha Illallah” yang ditafsirkan dan dikonseptualisasi oleh para filosof Muslim. Lihat Dr. Humaidi, 130



32



konsep kesatuan wujud,136 segala wujud yang ada—dengan segala bentuk dan karakternya—pada hakikatnya adalah satu dan sama. Yang membedakan yang satu dari yang lainnya hanyalah gradasi (tasykik alwujud) yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya. Oleh karena semua wujud pada dasarnya satu dan sama, maka wujud apa pun yang kita ketahui—baik yang spiritual atau yang material—tentu memiliki status ontologis yang sama-sama kuatnya dan sama-sama riilnya. Oleh karena itu, segala tingkatan wujud boleh menjadi objek yang valid bagi ilmu karena realitas ontologis mereka telah ditetapkan.137 a. Metode Dalam pandangan dunia Islam, objek ilmu berpadanan dengan seluruh rangkaian wujud/ realitas, baik wujud yang ghaib (metafisik) mapun wujud yang nyata (fisik).138 Oleh sebab itu, untuk melakukan integrasi seluruh rangkaian wujud tersebut diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Integrasi objek ilmu139 Yaitu menintegrasikan dan memperluas cakupan objek kajian ilmu, tidak hanya yang fisik tetapi juga yang metafisik. Ilmuwan Muslim telah menyusun objek-objek ilmu baik fisik maupun metafisik. Dalam penyusunan objek fisik, ilmuwan Muslim telah menyusun mulai dari substansi elementer, seperti tanah, air, api, dan udara, hingga benda-



Paradigma Sains Integratif Al-Farabi, (Jakarta: Sadra Press, 2015) hal. 126-135; Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Prespektif Islam Tentang Agama dan Sains, terj. Yuliani Liputo dan M.S. Nasrulloh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008) hal. 68-71. 136 Konsep tentang kesatuan wujud ini terinspirasi dari pemikran wahdah al-wujud Mulla Sadra. Untuk kajian tentang pemikiran Mulla Sadra, silahkan rujuk Murtadha Muthahhari, Pengantar Filsafat Sadra: Filsafat Hikmah, (Bandung: Mizan, 2002); Dr. Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002); Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, (New York: SUNY Press, 1975); Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy From Its Origin to The Present, (Lahore: Suhail Academy, 2007) khususnya bab 12; Seyyed Hossein Nasr, Sadr AlDin Shirazi and His Transcendent Theosophy, (Lahore: Suhail Academy, 2004); Seyyed Hossein Nasr, “Mulla Sadra: Ajaran-Ajarannya”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliever Leaman (Ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, Buku Kedua, (Bandung: Mizan, 2003) Bab. 36. 137 Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu, hal. 35. 138 Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000) hal. 117. 139 Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu, hal. 58-71.



33



benda mineral seperti batuan, dan logam-logaman, kemudian tumbuhtumbuhan dan hewan, termasuk di dalamnya manuia. Demikian juga mereka telah mempelajari objek-objek langit seperti bintang-bintang, planet, dan galaksi, dan objek-objek yang ada di antara langit dan bumi, yang dikaji dalam meteorologi, seperti cuaca, musim, dan iklim, serta studi bumi sendiri dan struktur alamiah, dalam apa yang disebut geologi dan geografi. Intinya, semua objek yang sekarang menjadi objek penelitian sains modern, adalah juga objek yang sah dalam epistemologi Islam, sebagai bagian integral dari objek-objek lainnya, yang membentang antara dunia fisik dan Tuhan yang berada pada puncak herarki wujud. 2. Integrasi bidang ilmu140 Yaitu mengintegrasikan bidang kajian metafisika, matematika dan fisika. Dalam keilmuan Islam objek ilmu setidaknya dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: (1) objek yang secara niscaya tidak berkaitan dengan materi dan gerak; (2) objek-objek yang senantiasa berkaitan dengan materi dan gerak; dan (3) objek-objek yang pada dirinya immateril, tetapi kadang melakukan kontak dengan materi dan gerak. Kelompok pertama masuk dalam bidang kajian metafisika, kelompok kedua masuk dalam bidang kajian fisika, dan kelompok ketiga masuk dalam bidang kajian matematika. Ketiga kelompok bidang ilmu tersebut telah membentuk kesatuan bidang-bidang ilmu yang koheren dan solid dalam sistem keilmuan Islam. 3. Integrasi sumber ilmu141 Yaitu mengintegrasikan antara wahyu, indera, akal, dan hati (intuisi). Dalam mengkaji berbagai objek ilmu—baik yang fisik atau non-fisik— para ilmuwan Muslim mengakui empat sumber ilmu yang terpadu dan saling melengkapi, yaitu wahyu, indera, akal, dan hati. Keempat sumber



140 141



Ibid, hal. 72-99. Ibid, hal. 100-115.



34



ini telah membentuk suatu kesatuan sumber ilmu yang diakui manfaat dan keabsahannya. 4. Integrasi pengalaman manusia142 Yaitu mengintegrasikan pengalaman inderawi, intelektual dan spiritual. Dengan pengamatan inderawi manusia mampu mengenali lima macam dimensi fisik, yaitu bentuk, rasa, bau, bunyi dan raba. Namun, secanggih apapun metode pengamatan inderawi tidak akan mampu menembus objek-objek non-fisik. Oleh karena itu keilmuan yang integral menuntut metode selain pengamat inderawi dalam memahami realitas non-fiik. Metode tersebut ialah metode intelektual melalui penyelidikan akal dan spiritual melalui pengalaman mimpi dan pengalaan mistik atau intuisi. 5. Integrasi metode ilmiah143 Yaitu mengintegrasikan antara metode: tajribi, bayani, burhani dan ‘irfani. Integrasi ini didasari atas pembatasan objek ilmu oleh sains modern hanya pada benda-benda fisik mengakibatkan metode utama yang dianggap valid adalah observai inderawi. Namun dalam tradisi keilmuan Islam, objek ilmu tidak terbatas hanya pada dunia inderawi semata, tetapi juga yang non-inderawi. Oleh karena itu, metode ilmiah harus dikembangkan pada metode-metode yang bisa digunakan untuk mengamati dan mempelajari entitas-entitas non-inderawi. Para ilmuwan Muslim kemudian membuat metode ilmiah laiannya dalam mempelajari entitas-entitas non-inderawi. Untuk dapat menangkap objek-objek nonfisik seperti jiwa, Tuhan, dan malaikat serta konsep-konsep universal yang pada dirinya berifat immateriil, digunakanlah metode demonstratif atau mentode rasional. Kemudian, untuk dapat memahami objek-objek non-fisik yang tidak dapat dijangkau oleh akal ilmuwan Muslim juga menambahkan metode ‘irfani, yaitu metode pengalaman langsung tanpa melalui perantara inderawi ataupun akal.



142 143



Ibid, hal. 116-131. Ibid, hal. 132-147.



35



6. Integrasi penjelasan ilmiah144 Yaitu dengan mengintegasikan empat prinsip penjelasan: sebab efisien, sebab final, sebab materil dan sebab formal. Hal ini didasari bahwa dalam pemikiran modern, sebab efisien dan sebab final sudah tidak diperlukan dan dianggap kuno. Karena sains modern tidak ingin membahas persoalan penciptaan dan tujuan penciptaan alam. Dalam sistem keilmuan, empat sebab tersebut berkaitan erat dengan pertanyaan “apakah”, “apa”, “yang mana”. dan “mengapa”. “apakah” merupakan investigasi tentang keberadaan, “apa” meneliti jenis dari setiap yang ada yang memiliki sebuah genus, “yang mana” meneliti perbedaanya yang khas, dan “mengapa” merupakan investigai tentang sebab final absolut, atau untuk apa sesuatu itu ada. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa keempat sebab ini merupakan satu kesatuan tunggal dalam penjelasan ilmiah yang tidak akan sempurnya jika dihilangkan salah satunya. 7. Integrasi ilmu teoritis dan ilmu praktis145 Yaitu dengan mengintegrasikan metafisika, fisika, matematika, ekonomi, politik dan etika. Hal ini dilandasi atas pembagian para filosof Muslim yang membagi akal kedalam akal teoritis dan akal praktis di mana akal teoritis dan akal praktis menghasilkan ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis. Berdasarkan objeknya, objek ilmu teoritis berupa benda/entitas (baik fisik atau non-fisik) sedangkan ilmu praktis adalah tindakan bebas manusia. Berdasarkan tugasnya, ilmu teoritis bertugas mendirikan bangunan ilmiah ilmu yang komprehensif, sedangkan ilmu praktis mengelola nafu-nafsu manusia. Maka bidang garapan ilmu teoritis mencakup metafisika, fisika dan matematika, sedagkan ilmu praktis mencakup ekonomi, politik dan etika. Oleh karenanya kedua ilmu ini tidak terpisahkan satu sama lain, sebab keduanya menggarap realitas keilmuan dan pengalaman manusia.



144 145



Ibid, hal. 148-161. Ibid, hal. 162-176.



36



Dari segi konsep, model integrasi kesatuan wujud tidak memiliki kelemahan secara konseptual-epistemologis, sebab dengan tegas menolak sebagian konsep-konsep kunci worldview Barat seperti dualisme, rasionalisme, poitivisme dan empirisme. Namun dari segi metode, integrasi kesatuan wujud memiliki dua kelemahan utama. Pertama, integrasi kesatuan wujud sekedar mengintegrasikan dan menambahkan metode-metode tertentu—yang diingkari dalam sains modern—kedalam metode sains modern. Dalam integrasi objek kajian ilmu misalnya, Mulyadi Kartanegara memperluas cakupan objek ilmu, tidak hanya yang fisik tetapi juga yang metafisik. Ketika cakupan kajian sains diperluas hingga objek metafisik di mana dalam kajian metafisik pendekatan dilakukan dengan metode demonstratif-filosofis, sedangkan kajian objek fisik dilakukan dengan metode empiris-eksperimental, maka di sini belum ada integrasi ilmu yang jelas. Sebab kedua objek ini memiliki metode yang berbeda. Pertanyaannya, bagaimana proses integrasi tersebut dilakukan? Mulyadi Kartanegara tidak menjelaskan secara rinci langkah-langkah integrasi tersebut.146 Maka di sini integrasi bermakna tidak lebih sebagai perluasan dan penambahan objek ilmu yang awalnya diingkari dalam sains modern. Kedua, di dalam mengintegrasikan metode ilmiah, Mulyadi Kartanegara menganggap empat metode147 yang ia tawarkan semuanya telah ‘bersih’ dan tidak memiliki masalah. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Metode rasional dan eksperimental memiliki perbedaan paradigma yang mendasar dengan metode bayani dan ‘irfani dalam konteks keilmuan Islam. Selain memiliki perbedaan dengan bayani dan burhani,



metode rasional dan



eksperimental juga memiliki asumsi dasar yang berbeda dengan metode burhani dan tajribi dalam konsep keilmuan



Islam. Dalam konsep tajribi



penelitian dilakukan dengan asumsi dasar bahwa alam semesta ini dicipta oleh Tuhan dan segala hukum yang terjadi di alam ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Hal ini jelas berbeda dengan metode eksperimental sains modern, di 146 Tidak adanya penejasan secara rinci ini tidak hanya terjadi pada integrasi objek ilmu namun juga metode integrasi lain yang ia tawarkan. 147 Empat metode tersebut yaitu: tajribi, bayani, burhani, dan ‘irfani.



37



mana metode ini dibangun atas asumsi dasar bahwa alam ini tidak dicipta oleh suatu Tuhan, dan jikapun alam dicipta oleh Tuhan, Tuhan sudah tidak lagi berurusan dengan alam, yakni hukum alam bersifat mekanis-deterministik. Dua basis asumsi dasar yang berbeda—bahkan bertolak belakang—ini tentu tidak bisa serta merta diintegrasikan secara utuh. Maka integrasi metode ilmiah dalam hal ini integrasi metode tajribi, burhani, bayani dan ‘irfani harus ditinjau ulang secara kritis.



E. Integrasi Ilmu Berparadigma Profetik Gagasan ilmu profetik148 pertama kali dilontarkan oleh Kuntowijoyo.149 Ide tentang ilmu profetik tersebut150 pernah dituangkan dalam artikel di Republika hari Kamis 7 Agustus 1997.151 Ada tiga unsur yang menjadi pilar ilmu profetik, pertama,



humanisasi,



yaitu



memanusiakan



manusia,



menghilangkan



kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia.152 Kedua, liberalisasi. Yaitu pembebasan yang memiliki tanggung jawab profetik, yaitu membebaskan manusia dari kemiskinan, kezaliman dan lain-lain.153 Ketiga, transendensi. Yaitu menempatkan Tuhan dan agama pada kedudukan sentral guna membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan.154



148 Kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophet yang berarti nabi. Menurut Oxford Dictionary, prophet adalah (1) of pertaining or proper to a proper or prophecy; having the character or function of a prophet; (2) characterized by, containing, or of the nature of prophecy; predictive. Lihat Oxford Dictionary, (Oxford: Oxfor University Press, 2010) hal. 1176. 149 Kuntowijoyo adalah adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia. Lahir Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 dan wafat tanggal 22 Februari 2005. 150 Ide ilmu profetik terilhami dari Q.S. Ali Imron ayat 130. 151 Lihat Arqom Kuswanjoro, “Model Integration of Knowledge di Universitas Gadjah Mada,” Proceeding of International Conference on Integration of Contemporary and Islamic Knowledge in Islamic University, (Ponorogo: University of Darussalam, 2015) hal. 371. 152 Alasan yang melatar belakangi Kuntowijoyo mengkritik Islamisasi pengetahuan adalah ketika istilah Islamisasi pengetahuan diplesetkan kearah Islamisasi non-pri. Kuntowijoyo mendorong supaya gerakan intelektual umat melangkah lebih jauh dari “Islamisasi pengetahuan” ke “pengilmuan Islam”; dari reaktif menjadi proaktif. Lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006) hal. vii-viii. 153 Humanisasi yang dimaksud Kuntowijoyo adalaah humanisme teosentris sebagai pengganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia. Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hal. 100. 154 Ibid, hal. 103.



38



Berangkat dari ilmu profetik, Kuntowijoyo kemudian merumuskan konsep pengilmuan Islam. Konsep pengilmuan Islam merupakan kritik terhadap konsep Islamisasi pengetahuan.155 Konsep ini kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh Ahimsa Putra156 dengan konsep “Paradigma Profetik”.157 a. Konsep Dengan konsep pengilmuan Islam, Kuntowijoyo menginginkan Islam sebagai ilmu dalam arti Islam pada dirinya sendiri merupakan ilmu.158 Dengan Islam sebagai ilmu, Kuntowijoyo meletakkan wahyu sebagai sumber pengetahuan yang penting dan pemilik otoritas tertinggi.159 Menjadikan wahyu sebagai sumber pengetahuan merupakan pengakuan akan adanya struktur transendental dalam menafsirkan realitas.160 Yaitu mengakui bahwa Al-Qur’ān sebagai struktur yang memiliki bangunan ide yang transendental dan memiliki suatu sistem yang otonom dan sempurna.161 Struktur transendental Al-Qur’ān merupakan suatu ide normatif dan filosofis yang dirumuskan menjadi paradigma teoritis162 yang memberikan kerangka163 bagi perkembangan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang sesuai dengan kebutuhan pragmatis masyarakat Islam.164 Sedangkan menurut Ahimsa Putra, dalam paradigma profetik, integrasi dilakukan dengan, pertama-tama meletakan Al-Qur’ān dan Hadits



155



Transendesi memberi kemana arah humanisasi dan liberalisasi dilakukan. Ibid, hal. 105. Heddy Shri Ahimsa Putra adalah guru besar antropologi Universitas Gadjah Mada. Lahir di Yogyakarta 28 Mei 1954. 157 Heddy Shri Ahimsa Putra, Paradigma Profetik Islam: Epistemologi, Etos dan Model, (Gadjah Mada University Press, 2016) 158 Tidak sekedar Islam sebagai sumber ilmu atau etika Islam sebagai panduan penerapan ilmu. 159 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hal. 17. 160 Yaitu pengakuan akan adanya ide murni yang sumbernya ada di luar diri manusia; suatu konstruk tentang struktur nilai yang berdiri sendiri dan bersifat transendental. Ibid, hal. 18. 161 Ibid. 162 Yaitu menganalisis pernyataan-pernyataan Al-Qur’ān kemudian mensintesiskan pernyataan-pernyataan tersebut dan dioperasionalkan menjadi objektif dan empiris. Ibid, hal. 11-17. Juga Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Intepretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008) hal. 548-564. 163 Kerangka tersebut adalah pandangan pokok tengan Tuhan (tauhid), nabi dan ilmu. Lihat Heddy Shri Ahimsa Putra, Paradigma Profetik Islam, hal. 48-61. 164 Ibid, hal. 24. 156



39



sebagai sumber utama pengetahuan dan tauhid sebagai kerangka berfikir atau paradigma,165 kemudian mengintegrasikan sarana pencapaian pengetahuan166 dan integrasi sumber pengetahuan.167 b. Metode Ada dua metode168 yang digunaka dalam paradigma profetik, yaitu:169 1. Integralisasi Yaitu menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) kekayaan keilmuan dan temuan pikiran manusia dengan wahyu tanpa mengucilkan Tuhan atau mengucilkan manusia.170 2. Objektifikasi Yaitu Gagasan normatif Islam ditampilkan sebagai nilai-nilai universal, bersifat publik, dan dijustifikasi secara rasional. Secara konseptual integrasi paradigma profetik yang digagas oleh Kuntowijoyo dan dilanjutkan oleh Ahimsa Putra sama halnya dengan model integrasi yang lain, yaitu tidak memiliki penjelasan memadai dan sistematik tentang apa yang dimaksud integrasi ilmu. Sebagaimana model integrasi yang lain, integrasi paradigma profetik tidak lebih sekedar tambal sulam dari konsep keilmuan Barat yang sekular, dikotomis dan kering akan nilai-nilai relegiustransendental. Kata “profetik” secara tidak langsung mewakili bangunan konsep integrasi paradigma profetik. Yaitu bagaimana keilmuan agama— dalam hal ini Islam—dapat diaplikasikan dalam kehidupan masayarakat secara umum dengan balutan nilai-nilai kenabian, yakni nilai-nilai universal Islam yang tidak bergantung pada tempat dan waktu.171 Meskipun Al-Qur’ān dan



165



Heddy Shri Ahimsa Putra, Paradigma Profetik Islam, hal. 47-50. Ibid, hal. 61-77. 167 Ibid, hal. 77-103. 168 Di sini hanya dipakai metode yang digunakan oleh Kuntowijoyo, karena Ahimsa Putra belum menjelaskan secara jelas metode yang digunakan dalam mengimplemantasikan paradigma profetik Islam. 169 Lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hal. 49-79. 170 Dalam hal ini integralisasi diharapkan mampu menyelesaikan konflik antara sekularimse ekstrim dan agama-agama radikal. Ibid, hal. 55. 171 Hal ini sesuai dengan tujuan diutusnya Nabi Muhammad yang merupakan rahmat bagi seluruh alam. 166



40



Hadits serta tauhid dijadikan kerangka berfikir dalam pengembangan keilmuan, namun apa yang dimaksud sebagai kerangka berfikir Qur’ani ataupun tauhidi belum terdeskripsikan dengan jelas. Selain itu, baik Kuntowijoyo maupun Ahimsa Putra, belum memberikan gambaran yang jelas, apa yang menjadi batasan suatu paradigma itu disebut Qur’āni atau tidak Qur’āni, tauhidi atau tidak tauhidi. Oleh karena itu secara konseptual integrasi paradigma profetik ini belum mampu untuk dijadikan alat uji bagi melihat apakah suatu konsep dapat disebut Islami atau tidak; dan jika ada konsep asing ingin dimasukan ataupun di integrasikan dengan konsep Islam, sejauh mana ia bisa diterapkan. Secara metodologis, dua metode yang ditawarkan dari integrasi paradigma profetik, memiliki beberapa persoalan. Dalam metode integralisasi, sebagaimana metode-metode sebelumnya, Kuntowijoyo tidak menjelaskannya secara sistematis. Ia hanya memberikan keterangan, yang dimaksud ilmu-ilmu integralistik adalah ilmu yang mampu menyutakan wahyu Tuhan dengan keilmuan manusia, tanpa mengucilkan Tuhan ataupun mengucilkan manusia.172 Penjelasan ini jelas terlalu umum dan belum jelas apa yang dimaksud dengan tidak mengucilkan Tuhan ataupun manusia. Intinya, metode integralisasi ini belum memiliki bentuk baku untuk dijadikan sebagai sebuah metode keilmuan. Dalam metode objektifikasi ada pertanyaan penting dan mendasar untuk memahami apa yang dimaksud Kuntowijoyo sebagai objektifikasi, yaitu: ke mana sebenarnya muara dari objektifikasi Islam ini? Apakah objektifikasi tersebut sekadar strategi untuk mewujudkan ‘cita-cita Islam’—dalam arti penerapan sharī’ah dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat—ataukah ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri?173



172



Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hal. 55. Persoalan objektifikasi Islam ini telah di bahas dengan menarik oleh Ayub, ”Mengingat Kembali Objektifikasi-Islam Kuntowijoyo”, yang ditulis pada 12 Desember 2015. Tulisan ini mengambil sebagian dari tulisan saudara Ayub tersebut. Untuk merujuk tulisan tersebut silahkan akses https://santricendekia.com/2015/12/mengingat-kembali-objektifikasi-Islam-kuntowijoyo/ di akes 9 November 2016. 173



41



Jelas ada perbedaan mendasar antara keduanya. Sebagai strategi, objektifikasi Islam adalah pembuka jalan ke arah Islamisasi sedangkan sebagai tujuan, objektifikasi Islam adalah pembuka jalan ke arah sekularisasi. Sebagai strategi, objektifikasi diandaikan sebagai sebuah cara untuk membangun simpati publik yang majemuk sekaligus menepis fobia atas penerapan Islam di ruang publik. Dengan objektifikasi diharapkan masyarakat tidak lagi alergi atau khawatir dengan implementasi ajaran Islam di ruang publik, tetapi sebaliknya akan mengapresiasi dan mendukungnya. Dari situ akan muncul kepercayaan terhadap penerapan ajaran pemberlakuan sharī’ah



Islam yang menjadi modal penting bagi Islam. Secara perlahan-lahan sharī’ah akan



diberlakukan di tengah publik hingga akhirnya sharī’ah diterapkan secara paripurna di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kurang lebih inilah gambaran objektifikasi Islam sebagai strategi ke arah Islamisasi. Adapun objektifikasi sebagai tujuan pada dirinya sendiri berarti bahwa penerapan Islam di ruang publik cukup berhenti pada nilai-nilai yang sifatnya ‘universal’ dan tanpa harus menonjolkan identitas Islam itu sendiri. Dengan kata lain, agama—dalam hal ini Islam—dipandang sebagai salah satu—bukan satu-satunya—sumber etika. Pandangan ini sejalan dengan tesis sekularisasi yang menekankan bahwa agama cukup berada di ruang privat namun tidak menafikan agama sebagai sumber etika dalam kehidupan di ruang publik. Hal ini telah terjadi di Dunia Barat ketika Kristen dengan lembaga gerejanya tidak lagi menguasai kehidupan masyarakat tetapi nilai-nilai etika Kristen seperti cinta kasih kepada sesama manusia tetap hidup dan menjadi pegangan di tengah masyarakat bahkan ketika masyarakat Barat sudah sangat tersekularkan dan banyak yang tidak lagi beragama sekalipun. Kesimpulannya adalah metode objektifikasi yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo memiliki dua makna, sebagai strategi dan sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Namun, dari dua makna ini, manakah yang dimakud oleh Kuntowijoyo sebagai objektifikasi Islam? Sulit untuk menjawabnya.



42



Tinjauan Kritis Integrasi Ilmu Ada satu terma utama yang menjadi titik tolak dalam menganalisis konsep dan metode integrasi ilmu, yaitu worldview. Sebab worldview merupakan visi tentang realitas dan kebenaran, berupa kesatuan pemikiran yang arsitektonik,174 yang berperan sebagai asas yang tidak nampak (non-observable) bagi semua perilaku manusia, termasuk aktifitas ilmiah dan teknologi.175 Pembahasan mengenai sains dan teknologi berarti berbicara suatu bentuk pandangan dunia (worldview) tertentu yang mendasarinya. Sebab setiap aktivitas ilmiah selalu memiliki suatu keyakinan dasar tertentu,176 dan keyakinan dasar ini akan membentuk suatu pandangan dunia.177 Artinya dalam menganalisis konsep dan metode dalam integrasi ilmu dapat dilacak dari pandangan dunia yang melandasi konsep dan metode tersebut. Ada perbedaan mendasar antara worldview Islam dan worldview Barat. Menurut Thomas F. Wall worldview ditentukan oleh pemahaman indvidu terhadap enam bidang pembahasan, yaitu: (1) Tuhan, (2) Ilmu, (3) Realitas, (4) Diri, (5) Etika, dan (6) Masyarakat.178 Di mana kepercayaan terhadap Tuhan berimplikasi terhadap lima bidang yang lain. Sebagaimana dinyatakan oleh Thomas F. Wall sebagai berikut: It (belief in God’s existence) is very important, perhaps the most important element in any worldview. First if we do believe that God exists, then we are more likely to believe that there is a plan and a meaning of life, ....if we are consistent, we will also believe that the



Aristektonik berasal dari Bahasa Yunani architektonikos, dari architektōn artinya terorganisir dan memiliki struktur terpadu. Having an organized and unified structure. Di akses dari http://www.merriam-webster.com/dictionary/architectonic 9 November 2016 175 Alparlan Acigence, Islamic Science: Toward d Definition, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996) p. 29; Hamid Fahmy Zarkasyi, “Islamic Worldview Sebagai Paradigma Sains Islam,” dalam Syamsuddin Arif (Ed.) Islamic Science: Paradigma, Fakta dan Agenda, (Jakarta: INSISTS, 2016) hal. 13; Idem, “Islam Sebagai Worldview,” dalam Laode M. Kamaluddin (Ed.) On Islamic Civilization: Menyalakan Kembali Lentera Peradaban yang Sempat Padam, (Semarang: UNISSULA Press, 2010) hal. 117. 176 Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Islam Asas Peradaban, (Jakarta: INSISTS, 2011) hal. 29. 177 Ibid, hal. 30-31. 178 Thomas S. Wall, Thinking Critically About Philosophical Problems, (Wadsworth: Thomson, 2001) p. 16. 174



43



source of moral value is not just human convention but divine will and that God is the highest value. Moreover, we will have to believe that knowledge can be of more than what is observable and that there is a higher reality – the supernatural world ....if on the other hand, we believe that there is no God and that there is just this one world, what would we then be likely to believe about the meaning of life, the nature of ourselves, and after life, the origin of moral standards, freedom and responsibility and so on.179 Artinya kepercayaan individu terhadap adanya atau tidak adanya Tuhan akan sangat menentukan cara pandang individu terhadap realitas dan pengalamannya—dalam konsepsi Thomas F. Wall kepercayaan terhadap tuhan berkaitan erat secara konseptual dengan ilmu, realita, diri, etika dan masyarakat. Dalam konsep keilmuan, kepercayaan seorang terhadap adanya atau tidak adanya Tuhan akan sangat menentukan produk keilmuan yang dihasilkannya. Bertolak dari konsep worldview Thomas F. Wall, worldview Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Worldview Islam terdiri dari berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, pencipatan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan—konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan—dan dibangun atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama lain.180 Sedangkan worldview Barat tidak bersumber pada wahyu dan tidak berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan. Worldview Barat dibangun atas konsep humanisme dengan elemen cabangnya antara lain: rasionalisme, empirisme, sekularisme, dualisme, liberalisme dan gender equality.181 Dari matriks worldview yang dipaparkan oleh Thomas F.



179



Ibid, p. 532. Lihat uraian komprehensif Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai pandanganhidup Islam dalam Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics Of Islam: An Exposition Of The Fundamental Elements of The Worldview Of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001) p. 1-39; Abdelaziz Berghout (Ed.), Introduction to the Islamic Worldview: Study of Selected Essensials, (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2010) 181 Hamid Fahmy Zarkasyi, “Islam Sebagai Worldview,” hal. 126-131. 180



44



Wall di atas, telah jelas bahwa worldview Islam berbeda secara diametris dan konseptual dengan worldview Barat, baik yang modern maupun postmodern.182 Berangkat dari konsep worldview, dapat dilihat integrasi ilmu model integrasi-interkoneksi terhegemoni worldview keilmuan Barat.183 Bentuk hegemoni tersebut ialah ketika mengasumsikan bahwa konsep dan metode ilmu-ilmu kealaman, sosial-humaniora dapat langsung diintegrasikan dan dikaitkan secara utuh tanpa proses seleksi. Ilmu-ilmu keIslaman sebagai obyek kajian harus mampu ditelaah dan bahkan dikoreksi oleh ilmu-ilmu kontemporer terutama yang memiliki basis ilmu-ilmu sosial-humaniora. Begitu juga dengan integrasi ilmu model pohon ilmu dan integrasi pentadik, konsep integrasi dengan maksud memadukan ilmu dan agama atau sekedar menambahkan nilai-nilai Islam pada sains modern tidak memiliki penjelasan sistematik tentang bagaimana proses pemaduan dan penambahan nilai tersebut. Pemaduan atau integrasi yang dilakukan tanpa adanya proses ‘filtering’ ini mandakan bahwa para pengusung integrasi model ini menganggap bahwa sains Barat modern tidak memiliki persoalan dan dapat langsung diintegrasikan dengan ilmu-ilmu keIslaman. Dari segi worldview integrasi ilmu model kesatuan wujud dan paradigma profetik tidak sepenuhnya terhegemoni worldview Barat,184 namun belum memiliki konsep worldview yang sistematis dalam penjabaran integrasi ilmu. Dalam integrasi kesatuan wujud, integrasi dari tingkatan ontologis, epistemologis, dan metodologis dilakukan dengan melakukan integrasi objek ilmu, integrasi bidang ilmu, integrasi sumber ilmu, integrasi pengalaman manusia, integrasi metode ilmiah, integrasi penjelasan ilmiah, dan integrasi ilmu teoritis dan ilmu praktis. Sementara dalam paradigma profetik integrasi dilakukan dengan, pertama-tama meletakan Al-Qur’ān



182



Ibid, hal. 135 Untuk penjabaran komprehensif tentang invasi dan hegemoni worldview Barat dalam diskursus keilmuan Islam, silahkan rujuk Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta, Gema Insani Press, 2005) bab. 12, 13, dan 14; Idem, Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta, Gema Insani Press, 2006) 184 Sebab kedua model ini dengan tegas menolak sebagian konsep-konsep kunci worldview Barat seperti dualisme, rasionalisme dan empirisme. Hal ini terjadi mungkin dikarenakan pengususng kedua model integrasi ini tidak menggap worldview sebagai elemen penting dan mendasar dalam membentuk corak pengetahuan. 183



45



dan Hadits sebagai sumber utama pengetahuan dan tauhid sebagai kerangka berfikir atau paradigma, kemudian mengintegrasikan sarana pencapaian pengetahuan dan integrasi sumber pengetahuan. Kedua bentuk integrasi ini secara tidak langsung berasumsi bahwa antara objek, sumber dan metodologi keilmuan Barat tidaklah bermasalah, namun hanya menafikan hal-hal yang metafisik dan non-observable. Oleh karena itu integrasi dilakukan dengan menambahkan hal-hal yang dinafikan atau dilewatkan oleh metode keilmuan Barat. Tentu hal ini adalah kerancuan, sebab objek, sumber dan metodologi keilmuan Barat tidak hanya sekedar menafikan halhal yang metafisik dan non-observable, namun ada asumsi-asumsi dasar yang melandasi setiap aktivitas keilmuannya di mana asumsi-asumsi tersebut bisa jadi bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu integrasi yang dilakukan dengan sekedar menambahkan hal-hal yang dinafikan atau dilewatkan oleh metode keilmuan Barat adalah sebuah kerancuan. Problem dikursus integrasi ilmu model integrasi-interkoneksi, pohon ilmu dan integrasi pentadik terletak pada konsep ilmu. Dengan pemaduan, pengaitan dan penambahan nilai-nilai Islam tanpa poses seleksi merupakan bentuk kebingungan dalam memahami konsep ilmu, baik konsep ilmu dalam perspektif Islam ataupun perspektif Barat.185 Kebingungan ini berdampak pada konsep integrasi dan metodologi yang dirumuskan. Sedangkan dalam diskursus integrasi ilmu model kesatuan wujud dan paradigma profetik



problemnya terletak pada kurang



difahaminya konsep worldview khususnya perbedaan fundamental antara worldview keilmuan Islam dan Barat. Di sini dapat disimpulkan bahwa semua problem yang ada dalam konsep dan metode integrasi ilmu terletak pada persoalan worldview. Para pengusung integrasi ilmu kurang memahami dengan baik perbedaan fundamental sistem keilmuan Barat dan sistem keilmuan Islam yang dibentuk dan dibangun oleh



185



Untuk kajian komprehensif tentang konsep Ilmu dalam Islam silahkan rujuk Wan Mohd Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan dalam Islam, terj. Munir, (Bandung: Pustaka, 1997) atau perbandingan antara konsep ilmu dalam perspektif Islam dan Barat, lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, (Bandung: Mizan, 1995); Idem, Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak, (Kuala Lumpur: IBFIM, 2013) hal. 60-75.



46



worldview yang berbeda. Worldview yang berbeda jelas akan menghasilkan sistem keilmuan yang berbeda. Oleh karena itu, kurang difahaminya konsep worldview oleh para pengusung integrasi ilmu, mengakibatkan kerancuan pada model integrasi yang dirumuskan. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Alternatif Integrasi Ilmu Setidaknya ada dua alasan mengapa Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer bisa menjadi alternatif dalam diskursus integrasi ilmu. Pertama, secara konseptual menyentuh akar persoalan sains dan epistemologi modern, yaitu persoalan ilmu.186 Kedua, secara metodologis, menawarkan langkah-langkah yang jelas dan sistematik.187 Tesis dasar dari gagasan Islamisasi adalah bahwa ilmu bukan bebas-nilai (value free), tetapi sarat nilai (value laden),188 dan bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup suatu kebudayaan.189 Oleh karena itu ilmu perlu diislamkan. Yaitu dengan mengeluarkan nilai-nilai yang terkandung190 di dalam suatu ilmu—yang tidak sesuai dengan Islam—kemudian memasukan nilai-nilai Islam191 di dalamnya. Artinya yang diislamkan adalah ilmu 186



Islamisasi ilmu dimulai dengan mengidentifikasi sumber kerusakan ilmu akibat dari sekularisasi dan westernisasi. Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy Zarkasyi dkk, (Bandung: Mizan, 2003) hal. 317. 187 Salah satu langkah strategis dari Islamisasi adalah perubahan kurikulum dan pendirian Perguruan Tinggi sebagai wahana untuk mengembalikan kekuatan dan kemajuan Ummat Islam. Maka al-Attas mendirikan ISTAC kemudian al-Faruqi mendirikan IIIT dengan tawaran 12 metode Islamisasi ilmu kontemporer. Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam... Bab 4. 188 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hal. 169. 189 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001) hal. 49. 190 Nilai-nilai yang mesti diisolir antara lain: (1) Akal sebagai satu-satunya sumber untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan; (2) Pandangan dualistis tentang realitas dan kebenaran; (3) Membenarkan aspek Being yang bersifat temporal yang memproyeksikan suatu pandangan hidup sekular; (4) Pembelaan terhadap doktrin humanism; dan (5) Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual, atau transendental, atau kehidupan batin manusia. Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hal. 170. 191 Konsep-konsep dasar Islam itu di antaranya adalah: (1) Konsep din; (2) Konsep manusia (insan); (3) Konsep ilmu (ilm dan ma’rifah); (4) Konsep keadilan (‘adl); (5) Konsep amal yang benar (amal sebagai adab) dan semua istilah dan konsep yang berhubungan dengan itu semua; dan (6) Konsep tentang universitas (kulliyah, jami’ah) yang berfungsi sebagai bentuk implementasi semua konsep-konsep itu dan menjadi model sistem pendidikan. Lihat Syed Muhammad Naquib alAttas, Islam dan Sekularisme, hal. 201.



47



pengetahuan kontemporer dalam hal ini adalah sains Barat modern dan postmodern, bukan Islamisasi ‘ilm. Tesis ini juga dengan jelas membantah anggapan bahwa Islamisasi adalah ayatisasi atau mazhab tempel ayat, yaitu legitimasi teori tertentu dengan ayat-ayat Al-Qur’ān .192 A. Konsep



Membicarakan Islamisasi ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari pemikiran al-Attas dan al-Faruqi. Sebab dua tokoh inilah yang merupakan pemantik gerakan



Islamisasi ilmu pengetahuan. Bahkan dua jangkar



institusional utama Islamisasi ilmu Pengetahuan, yakni IIIT dan ISTAC, dibangun dan dikepalai pertama kali oleh dua tokoh tersebut.193 Namun, dalam pembahasan konsep



Islamisasi ilmu pengetahuan hanya akan dibahas



pemikiran al-Attas. Hal ini berangkat dari dua alasan. Pertama, gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan bermula dari al-Attas, meski al-Faruqi yang mempopulerkannya. al-Faruqi sendiri banyak terpengaruh oleh al-Attas dalam perumusan agenda Islamisasi ilmu pengetahuan yang ia gagas.194 Kedua, sementara al-Attas merumuskan gagasannya mengenai



Islamisasi ilmu



pengetahuan secara mendasar dengan menjelaskan landasan filosofisnya, alFaruqi langsung melompat ke rumusan operasional berupa rencana kerja dan langkah-langkah untuk meng Islamkan pengetahuan. Karena itulah, gagasan al-Faruqi kerap menjadi sasaran kritik karena banyak hal fundamental yang belum dijelaskannya secara tuntas.195 Dengan demikian, ketika hendak mendiskusikan konsep yang melandasi proyek Islamisasi ilmu pengetahuan maka mesti merujuk pada karya-karya al-Attas, sebab hal demikian tidak dijumpai secara sistematis dalam karya-karya al-Faruqi.



192



Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Biografi Keilmuan M. Amin Abdullah, hal. xlvii. 193 Indi Aunullah, Dewesternisasi dan Islamisasi: Al-Attas dan Filsafat Ilmu Islam.pdf hal. 2. Di akses dari https://id.scribd.com/doc/19222051/Dewesternisasi-Dan-Islamisasi-Al-Attas-DanFilsafat-Ilmu-Islam di akses 2 Desember 2016. 194 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, hal. 392-399. 195 Indi Aunullah, Dewesternisasi dan Islamisasi: Al-Attas dan Filsafat Ilmu Islam.pdf hal. 2.



48



Secara konseptual, Islamisasi dirumuskan pertama kali secara sitemastis oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas.196 Berikut definisi Prof. al-Attas tentang Islamisasi: Islamisasi adalah pembebasan manusia yang diawali pembebasan dari tradisi-tradisi yang berunsurkan ghaib (magic), mitologi, animisme, kebangsaan-kebudayaan yang bertentangan dengan Islam, dan sesudah itu pembebasan dari kungkungan sekular terhadap akal dan bahasanya, manusia Islam adalah orang yang akal dan bahasanya tidak lagi dikungkung oleh kekuatan ghaib, mitologi, animisme, tradisi nasional dan kebudayaan, serta sekularisme. Ia terbebaskan baik dari pandangan alam (worldview) yang berunsurkan kekuatan ghaib maupun pandangan alam yang sekular.197 Sedangkan tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer, Prof. al-Attas menulis: ...untuk perumusan dan penyebaran ilmu di dunia Islam pada masa kini, kita harus melihat bahwa penyusupan konsep-konsep kunci dari dunia Barat telah membawa kekeliruan yang pada akhirnya menimbulkan akibat yang serius jika tidak ditangani. Karena apa yang dirumuskan dan disebarkan dalam dan melalui universitas-universitas dan lembaga-lembaga pendidikan yang lainnya mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi sebenarnya adalah ilmu yang mengandung watak, kepribadian, kebudayaan dan perdaban Barat dan dibentuk dalam cetakan budaya Barat.198 Tugas kita pertama-tama adalah mengasingkan unsur-unsur itu termasuk konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban itu199..... Islamisasi pengetahuan kontemporer tepatnya berarti bahwa, setelah pengasingan itu, ilmu yang telah terbebaskan itu kemudian diisi dengan unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam. Karena sifat asasi unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam ini merupakan sesuatu yang mendefinisikan fitrah, maka sebenarnya Islamisasi akan mengisi ilmu itu dengan fungsi dan tujuan tabii sehingga menjadikannya ilmu sejati.200 Dengan demikian Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan (zann) dan argumentasi kosong (mira’) menuju keyakinan 196



Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah adalah seorang cendekiawan dan filsuf muslim yang lahir di Bogor, 5 September 1931. Ia adalah pendiri sekaligus direktur International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur, Malaysia. 197 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hal. 56. 198 Lihat Pendahuluan dari buku Islam dan Sekularisme, hal. 1-15 199 Ibid, hal. 137-8. 200 Ibid, hal. 204-5.



49



akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan materi.201 Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi, makna dan ungkapan sekular202 serta mewujudkan manusia yang beradab.203 Dari kelima konsep yang ditawarkan dalam integrasi ilmu,



Islamisasi ilmu



pengetahuan yang digagas al-Attas adalah konsep yang paling tepat dan relevan untuk membangun kembali kejayaan umat Islam khusunya dalam konteks ilmu pengetahuan kontemporer. Ada beberapa alasan mengapa konsep Islamisasi ilmu pengetahuan relevan dalam diskursus ilmu pengetahuan kontemporer. Pertama, alAttas telah berhasil mengidentifikasi penyebab kemunduran ummat Islam dan memberikan solusi koneptual secara tepat. Al-Attas menemukan bahwa penyebab kemunduran umat Islam adalah lemah dan rusaknya ilmu pengetahuan (corrupton of knowledge) sehingga tidak mampu membedakan antara kebenaran dan kepalsuan. Dari kajian yang sistematis dan perenungan yang mendalam, al-Attas menawarkan solusi sentralnya, yaitu membenahi ilmu pengetahuan umat Islam secara fundamental.204 Kemudian, untuk mengaplikasikan solusi teoritisnya, alAttas menyediakan landasan teoritis dan langkah praktisnya. Pada tataran teoritis, al-Attas telah membangun kembali konsep metafisika, epistemologi, dan filsafat pendidikan Islam dengan merujuk pada tradisi pemikiran Islam dalam bidang kalam, falsafah, dan tasawuf.205 Pada tataran praktis, al-Attas mendirikan sebuah institut bertaraf internaional yang diberi nama ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) sebagai wahana strategis dalam mengembalikan



201



Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam... hal. 336 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1990) hal. 90. 203 Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatantingkatannya , dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual, dan spiritual. Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam... hal. 177. 204 Hamid Fahmy Zarkasyi, et. al., “Pengantar Penerjemah”, dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003) hal. 34. 205 Ibid, hal. 35. 202



50



kekuatan dan kemajuan umat Islam.206 Karena menurut al-Attas, penyebab utama dari rusaknya ilmu adalah dari pengajaran pada taraf pendidikan tinggi yang keliru. Dengan diperbaikinya sistem pendidikan tinggi maka kekurangan-kekurangan yang lain akan dapat diatasi.207 Kedua, secara konseptual Islamisasi ilmu pengetahuan yang digagas oleh al-Attas berhasil mengkritik bangunan keilmuan Barat secara mendasar. Menurut al-Attas, bangunan keilmuan Islam dibangun di atas landasan pandangan-dunia (worldview), yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi, yang Islami. Karena itu, meski mengakui adanya persamaan antara filsafat ilmu Barat dan filsafat ilmu Islam, al-Attas menyangkal bahwa keduanya dapat disejajarkan. Beberapa persamaan itu hanya di tingkatan permukaan, sedangkan totalitas strukturnya sama sekali berbeda.208 Secara ontologis, menurut al-Attas,



Islam tidak sekedar mengakui



eksistensi realitas material yang terindera, melainkan mengakui adanya berbagai tingkat eksistensi. Secara umum, realitas dibedakan menjadi Tuhan dan selain Tuhan (alam). Alam sebagai realitas terdiri dari alam fenomenal, alam ruhani, dan alam entitas-entitas tetap, di mana al-Attas menekankan bahwa alam fenomenal dan material sama sekali bukan satu-satunya tingkatan realitas.209 Dengan demikian eksistensi Tuhan, menurut al-Attas, diakui sebagai kenyataan sekaligus kebenaran.210 Dengan demikian haqq mengacu pada aspek epistemologis dan ontologis. Dalam aspek epitemologis Tuhan merupakan sumber pengetahuan dan kebenaran sedangkan dalam aspek ontologis, Tuhan merupakan sumber kenyataan—diamana realitas yang lain selain Tuhan mendapatkan eksistensi dariNya melalui penciptaan.



Wan Mohd Nor Wan Daud, “Islam dan Sekularisme: Suatu Karya Agung Kulli”, kata pengantar dalam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Dr. Khalif Muammar, M.A dkk (Bandung: PIMPIN, 2010) hal. xv. 207 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, hal. 204. 208 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, hal. 33. 209 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, hal. 104. 210 Ibid, hal. 107; Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, hal. 47. 206



51



Ketiga, konsep worldview. Salah satu sumbangan al-Attas yang menarik dalam diskursus



Islamisasi ilmu pengetahuan adalah konsepnya tentang



worldview.211 Sebab dalam membedakan peradaban Islam dan Peradaban Barat— di mana produk dari peradaban tersebut salah satunya adalah ilmu, al-Attas mendasarinya dari konsep worldview.212 Berangkat dari konsep worldview kemudian al-Attas mendefinisakan berbagai konsep yang dikembangkannya. Dari pengkajiannya yang sistematis dan mendalam tentang worldview, al-Attas telah membuat semacam alat filter atau alat uji bagi umat Islam. Yaitu alat untuk menilai apakah sesuatu pemikiran, konsep atau budaya itu berasal dari tradisi Islam atau berasal dari tradisi asing; dan apakah pemikiran, konsep atau budaya dari tradisi asing itu dapat diterapkan kedalam Islam atau tidak. Maka bisa disimpulkan dalam diskursus integrasi keilmuan, Islamisai ilmu pengetahuan merupakan konsep paling relevan dalam menjawab tantangan keilmuan kontemporer yang berasal dari Barat dalam bentuk dikotomi dan sekularisasi ilmu. Sebab Islamisasi Ilmu berhasil melakukan kritik secara mendasar persoalan keilmuan kontemporer dan memberikan solusinya, baik dari konsep dan metode secara akurat.213 Selain itu, dalam konsep Islamisasi ilmu sebenarnya terdapat integrasi ilmu.214 Yaitu integrasi ilmu berlandaskan paradigma atau worldview, bukan integrasi ilmu yang sekedar menjadikan ilmu sebagai alat, menggabungkan ilmu sekular dan ilmu Islam, maupun sekedar ayatisasi atau menjustifikasi penemuan ilmiah modern dengan ayat-ayat Al-Qur’ān.



211



Meskipun telah banyak tokoh-tokoh intelektual Islam yang mendefinisikan worldview seperti Sayyid Qutb, Syaikh Atif Zayn, dan al-Maududi, namun konsep worldview al-Attas lah yang cukup signifikan dalam kaitannya dengan era modernisasi dan globalisasi, sebab konsep worldview al-Attas menekankan aspek epistemologis di mana kekuatan worldview Islam memang terletak pada aspek epistemologis bukan ideologis. Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, “Islam Sebagai Worldview”, hal. 116-7. 212 Tidak banyak ilmuwan Islam yang mengakaji pemikiran dan peradaban Barat berangkat dari konsep worldview. Ketidaktahuan dan ketidakmampuan ilmuwan Islam terhadap menelaah konsep worldview ini mengakibatkan munculnya sebagian kalangan ilmuwan Islam yang menganggap ilmu itu netral, tidak ada sains Islam dan sain non-Islam dan sebagainya. 213 Silahkan rujuk pembahasan dalam tulisan ini pada hal. 43-50. 214 Tesis ini menjadi jawaban bahwa penolakan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan oleh para pengusung konsep integrasi ilmu adalah penolakan yang tidak adil dan terburu-buru serta lemah dalam argumen.



52



B. Metode Dalam pembahasan metode ini, hanya pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi saja yang akan dipaparkan. Karena dalam tulisan-tulisan al-Attas, tidak ditemukan bagaimana langkah-langkah detail untuk melakukan



Islamisasi ilmu



pengetahuan. Di sini al-Faruqi menawarkan suatu rancangan kerja sistematis yang menyeluruh untuk program Islamisasi ilmu pengrtahuan yang merupakan hasil dari usahanya selama bertahun-tahun melaksanakan diskusi-diskusi melalui sejumlah seminar internasional yang diselenggarakan.215 Rencana kerja al-Faruqi untuk program Islamisasi ilmu pengetahuan mempunyai lima sasaran yaitu: pertama, menguasai disiplin-disiplin modern. Kedua, menguasai khazanah Islam. Ketiga, menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern. Keempat, mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Kelima, mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.216 Menurut al-Faruqi, sasaran di atas bisa dicapai melalui dua belas langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah pada Islamisasi ilmu pengetahuan,217 yaitu: pertama, penguasaan terhadap disiplin ilmu pengetahuan modern. Kedua, peninjauan disiplin ilmu pengetahuan modern. Ketiga, penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa antologi. Keempat, penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa analisis. Kelima, penentuan relevansi Islam yang spesifik untuk setiap disiplin ilmu pengetahuan. Relevansi ini, kata al-Faruqi, dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan yaitu: a). Apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari AlQur’ān hingga pemikiranpemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup oleh disiplin-disiplin modern; b). Seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin-disiplin tersebut; c) Apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau bahkan sama sekali tidak 215



Ziaudin Sardar, Jihad Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998) hal. 44. Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terj. Andre Wahyu, (Jakarta: Lontar Utama, 2000) hal. 75. 217 Ibid, hal. 75-89. 216



53



diabaikan oleh ilmu warisan



Islam, kearah mana kaum muslim harus



mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut. Keenam, penilaian kritis terhadap disiplin ilmu pengetahuan modern. Ketujuh, penilaian krisis terhadap khazanah Islam dan perkembangannya saat ini. Kedelapan, kajian mengenai persoalan utama umat



Islam. Kesembilan, kajian mengenai



persoalan yang dihadapi umat manusia. Kesepuluh, analisa dan sintesis kreatif. Kesebelas, merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Kedua belas, penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah di Islamkan dalam bentuk tulisan atau buku-buku daras untuk perguruan tinggi. Kemudian, alat-alat bantu lain untuk mempercepat



Islamisasi ilmu



pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibatkan berbagai ahli di bidang-bidang ilmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai antar disiplin. Para pakar yang menghasilkan kerja Islamisai harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar untuk mendiskusikan butir-butir yang tidak tertulis, dampak yang tidak terancang dalam teori, prinsip dan penyelesaian masalah yang termasuk dalam buku-buku daras. Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus meneliti persoalan metode yang diperlukan dalam memahami buku-buku daras sehingga membantu para pengajar dalam usahanya mencapai tujuan akhir yang lebih baik.218



Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pertama, dalam model integrasiinterkoneksi, integrasi dilakukan tanpa proses kritis dan selektif, terutama terhadap ilmu-ilmu yang berasal dan berkembang dalam peradaban Barat. Kedua, integrasi dialogis, integrasi menara kembar tersambung, dan integrasi berparadigma profetik, secara epistemologis tidak memberikan definisi dan deskripsi sistematis tentang apa 218



Ibid, hal. 89-91.



54



yang dimaksud dengan dialog dan integrasi ilmu serta bagaimana proses dialog dan integrasi ilmu itu dilakukan. Ketiga, secara konseptual dan metodologis, integrasi pohon ilmu belum menyentuh aspek epistemologis terutama dalam memahami sumber pengetahuan dan kebenara antara sains modern dan agama. Keempat, integrasi pentadik dan integrasi kesatuan wujud/realitas hanya sekedar menambahkan dimensi-dimensi keislaman dan menambahkan metode-metode tertentu—yang diingkari dalam sains modern—kedalam metode sains modern. Maka terlihat jelas bahwa integrasi ilmu belum mampu menjawab persoalan dikotomi ilmu dan menghasilkan sistem keilmuan baru dari dialog dan pemaduan antara ilmu-ilmu modern dan ilmu-ilmu ke Islaman. Sebab integrasi yang dilakukan hanya sampai pada permukaan, tidak sampai pada perkara asas yang menjadi landasan keilmuan—yakni worldview dan paradigma keilmuan. Dengan demikian, disadari atau tidak, integrasi ilmu yang bertujuan melakukan dialog keilmuan antara Islam dan Barat secara kreatif, selektif, dan inovatif dalam rangka menghasilkan sistem epistemologi baru dalam Islam, ternyata justru melakukan wesrternisasi atau pem-Barat-an Islam. Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan hegemoni westernisasi ilmu dalam bentuk dikotomi ilmu dan pendidikan yang sedang melanda peradaban dunia saat ini, ummat Islam memerlukan sebuah revolusi epistemologis dengan kembali pada tradisi keilmuan Islam yang berasaskan pandangan alam atau worldview Islam dalam pengembangan keilmuannya, bukan mengekalkan sikap inferior dengan terus menerus meniru Barat dan akhirnya terhegemoni worldview Barat modern dan postmodern. Usaha dalam menjawab tantangan tersebut dapat dilakukan melalui Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer.[]



55



Daftar Pustaka Abdullah, Amin, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN: Dari Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Integrasi-Interkonektif”, dalam Fahrudin Faiz, (Ed.). Islamic Studies dalam Paradigma IntegrasiInterkoneksi: Sebuah Antologi, (Yogyakarta: Suka Press, 2007) _______, et. al., Rekonstruksi Metodologi Studi Ilmu-Ilmu KeIslaman, (Yogyakarta: Suka Press, 2003) _______, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) _______, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Suka Press, 2003) _______, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009) al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, (Bandung: Mizan, 1995) _______, Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak, (Kuala Lumpur: IBFIM, 2013) _______, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1990) _______, Prolegomena to The Metaphysics Of Islam: An Exposition Of The Fundamental Elements of The Worldview Of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001) _______, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001) _______, Islam dan Sekularisme, terj. Dr. Khalif Muammar, M.A. dkk (Bandung: PIMPIN, 2010) al-Attas, Ismail Fajeri, Sungai Tak Bermuara: Risalah Konsep Ilmu dalam Islam, (Jakarta: Diwan Publishing, 2006)



56



al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terj. Andre Wahyu, (Jakarta: Lontar Utama, 2000) al-Hakami, Hafidz Ahmad, Ma’arijul Qabul Syarh Sullam al Wusul, 3 Jilid (Kairo: Darul Aqidah) al-Jabiri, Muhammad Abed, Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khohiri, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2014) _______, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, terj. Moch Nur Ichwan, (Yogyakarta: Islamika, 2003) Anshori, Integrasi Keilmuan Atas UIN Jakarta, UIN Yogyakarta dan UIN Malang 2007-2013, desertasi Doktor dalam Ilmu Agama, (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2014) Arif, Syamsuddin, Ilmu, Kebenaran, dan Keraguan: Refleksi Filosofis-Historis, Makalah orasi ilmiah yang disampaikan dalam rangka memperingati ulang tahun ke-13 INSISTS di Gedung Joang'45 Selasa, 1 Maret 2016, (Jakarta: INSISTS, 2016) Audi, Robert, Reasons, Rights, and Values, (Cambridge: Cambridge University Press, 2015) Azra, Azyumardi, “Reintegrasi Ilmu-Ilmu dalam Islam”, dalam Zainal Abidin Bagir (Ed.), Integrasi Ilmu dan Agama: Intepretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) Bakar, Osman, Tauhid dan Sains: Prespektif Islam Tentang Agama dan Sains, terj. Yuliani Liputo dan M.S. Nasrulloh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008) Barbour, Ian G., Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama, terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2000) Berghout, Abdelaziz (Ed.), Introduction to the Islamic Worldview: Study of Selected Essensials, (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2010) Bronowski, Jacob, Science and Human Values, (London: Faber & Faber, 2008) 57



Bucaille, Maurice, Bible, Qur’ān dan Sains Modern, terj. Prof. H. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2010) _______, Darimana Manusia Berasal? terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizania, 2008) Cox, Harvey, The Secular City, (Princeton: Princeton University Press, 2013) Darda, Abu, “Integrasi Ilmu dan Agama: Perkembangan Konseptual di Indonesia”, dalam Jurnal Kependidikan Islam At-Ta’dib Vol. 10, No. 1 Juni 2015 (Ponorogo: Fakultas Tarbiyah Universitas Darussalam Gontor, 2015) Daud, Wan Mohd Nor Wan, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy Zarkasyi dkk, (Bandung: Mizan, 2003) _______, Islamisasi Ilmu-Ilmu Kontemporer dan Peran Universitas Islam dalam Konteks Dewesternisasi dan Dekolonisasi, terj. Tim INSISTS, (Bogor: UIKA dan CASIS UTM, 2013) _______, Konsep Pengetahuan dalam Islam, terj. Munir, (Bandung: Pustaka, 1997) _______, “ Islam dan Sekularisme: Suatu Karya Agung Kulli”, kata pengantar dalam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Dr. Khalif Muammar, M.A dkk (Bandung: PIMPIN, 2010) Departemen Pedidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Gramedia, 2012) Humaidi, Paradigma Sains Integratif Al-Farabi, (Jakarta: Sadra Press, 2015) Dua, Mikhael, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Penerbit Ledalero, 2009) Elrais, Happy Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) Habermas, Jurgen, Knowledge and Human Interest, trans. Jeremy J. Shapiro, (Cambridge: Polity Press, 1968) Hadirman, F. Budi, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, (Yogyakarta: Kanisius, 1993)



58



Handrianto, Budi, Islamisasi Sains: Sebuah Upaya MengIslamkan Sains Barat Modern, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010) Husaini, Adian, Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta, Gema Insani Press, 2006) _______, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi SekularLiberal, (Jakarta, Gema Insani Press, 2005) Husni, “Model-Model Integrasi Ilmu dalam Pemikiran Islam Kontemporer”, dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin Tajdid, Vol. 17, No. 1, Maret 2010 (Jambi: Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, 2010) Kartanegara, Mulyadi, “Integrasi Ilmu Pengetahuan: Itulah Islam”, dalam Laode M. Kamaluddin, On Islamic Civilization: Menyalakan Kembali Lentera Peradaban yang Sempat Padam, (Semarang: UNISSULA Press, 2010) _______, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Lentara Hati, 2008) _______, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Arasyi, 2005) _______, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002) _______, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, (Jakarta: Erlangga, 2007) _______, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003) _______, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000) _______, Nalar Relegius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia, (Jakarta: Erlangga, 2007)



59



Keraf, A. Sonny dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001) Kincaid, Harold (Ed.), Value-Free Science: Ideals and Illusions? (Oxford: Oxford University Press, 2007) Kim, Chin-Tai, “Science as Ideologi”, dalam Robert S. Cohen (Ed.), Realism and Anti-Realism in the Philosophy of Science, (Beijing: Springer-Science and Business Media, B.V., 1992) Vol. 19. Kuhn, Thomas S., The Structure Of Scientific Revolutions, (Chicago: The University of Chicago Press, 1970) Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006) _______, Paradigma Islam: Intepretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008) Kuswanjoro, Arqom, “Model Integration of Knowledge di Universitas Gadjah Mada,” Proceeding of International Conference on Integration of Contemporary and Islamic Knowledge in Islamic University, (Ponorogo: University of Darussalam, 2015) Mahzar, Armahedi, “Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi”, dalam Zainal Abidin Bagir (Ed.), Integrasi Ilmu dan Agama: Intepretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) _______, Integralisme: Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka, 1983) _______, Islam Masa Depan, (Bandung: Pustaka, 1993) _______, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami: Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004) Muthahhari, Murtadha, Pengantar Filsafat Sadra: Filsafat Hikmah, (Bandung: Mizan, 2002)



60



Nasir, Amin, “Sintesis Pemikiran M. Amin Abdullah dan Adian Husaini (Pendekatan dalam Pengkajian Islam)” dalam Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Fikrah Vol. 2, No. 1, Juni 2014 (Kudus: Program Studi Ilmu Aqidah STAIN Kudus, 2014) Nasr, Seyyed Hossein, “Mulla Sadra: Ajaran-Ajarannya”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliever Leaman (Ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, Buku Kedua, (Bandung: Mizan, 2003) _______, Islamic Philosophy From Its Origin to The Present, (Lahore: Suhail Academy, 2007) _______, Sadr Al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, (Lahore: Suhail Academy, 2004) Nur, Syaifan, Filsafat Wujud Mulla Sadra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) Oxford Dictionary (Oxford: Oxfor University Press, 2010) Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994) Popper, Karl R., Logika Penemuan Ilmiah, terj. Armstrong Sompotan dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Proctor, Robert, Value-free Science? Purity and Power in Modern Knowledge, (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1991) Putra, Heddy Shri Ahimsa, Paradigma Profetik Islam: Epistemologi, Etos dan Model, (Gadjah Mada University Press, 2016) Rahman, Fazlur, The Philosophy of Mulla Sadra, (New York: SUNY Press, 1975) Rifai, Nurlena, Fauzan, Wahdi Sayuti dan Bahrissalim, “Integrasi Keilmuan Dalam Pengembangan Kurikulum Di Uin Se-Indonesia: Evaluasi Penerapan Integrasi Keilmuan Uin Dalam Kurikulum Dan Proses Pembelajaran”, dalam Journal Of Education In Muslim Society Tarbiya, Vol. 1, No. 1, Juni



61



2014 (Jakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, 2014) Riyanto, Waryani Fajar, Implementasi Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Penelitian Tiga Desertasi Dosen UIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: LEMLIT UIN Sunan Kalijaga, 2012) _______, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Biografi Keilmuan M. Amin Abdullah, Buku Kedua (Yogyakarta: UIN SUKA Press, 2013) Rolston III, Holmes, Science and Relegion: A Critical Survey, (Philadelphia and London: Templeton Foundation Press, 2006) Suharto, Toto, “The Paradigm Of Theo-Anthropo-Cosmocentrism: Reposition of the Cluster of Non-Islamic Studies in Indonesian State Islamic Universities”, dalam Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Walisongo Vol. 23, No. 2 November 2015 (Semarang: LP2M UIN Walisongo, 2015) Sardar, Ziauddin, Thomas Kuhn and The Science War, (London: Icon Book, 2000) _______, Jihad Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998) Suprayogo, Imam, “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN Malang”, dalam Zainal Abidin Bagir (Ed.), Integrasi Ilmu dan Agama: Intepretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) _______, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang, (Malang:UIN-Malang Press, 2006) _______, Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN, (Malang: UIN-Malang Press, 2008) _______, Universitas Islam Unggul, (Malang: UIN-Malang Press, 2009) Thahir, Lukman S., Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Fisafat, Sosiologi dan Sejarah, (Yogyakarta: Qirtas, 2004)



62



The New International Webster’s Comprehensive Dictionary of The English Language, (Florida: Triden Press International, 1996) Thohir, Muhammad Ayat-ayat Tauhid, (Surabaya: Bina Ilmu, 2013) Tim UIN Sunan Ampel Surabaya, Desain Akademik UIN Sunan Ampel Surabaya: Buiding Character Qualities for the Smart, Pious and Honourable Nation, (Surabaya: UINSA Press, 2015) Tohiri, Muhammad Kholid, “Paradigma dan Metodologi Studi Islam di PTAIN: Studi Analitis-Kritis”, Makalah Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor angkatan ke-V, (Gontor: PKU UNIDA, 2011) Wall, Thomas S., Thinking Critically About Philosophical Problems, (Wadsworth: Thomson, 2001) Wardana, Wisnu Arya Al-Qur’ān dan Energi Nuklir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) Zarkasyi, Hamid Fahmy, “Islam Sebagai Worldview,” dalam Laode M. Kamaluddin (Ed.) On Islamic Civilization: Menyalakan Kembali Lentera Peradaban yang Sempat Padam, (Semarang: UNISSULA Press, 2010) _______,



“Islamic Worldview Sebagai Paradigma Sains Islam,” dalam



Syamsuddin Arif (Ed.) Islamic Science: Paradigma, Fakta dan Agenda, (Jakarta: INSISTS, 2016) _______, Worldview Islam Asas Peradaban, (Jakarta: INSISTS, 2011) _______, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Arnel, “Pengantar Penerjemah”, dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003) Ziman, John M., An Introduction to Science Studies: The Philosophical and Social Aspects of Science and Technology, (Cambridge: Cambridge University Press, 1995)



63



http://www.merriam-webster.com/dictionary/architectonic



diakses 9



November 2016. http://www.imamsuprayogo.com/link.php?mn=view_profil



diakses



9



November 2016. http://www.uinjkt.ac.id/id/moto/ diakses pada 9 November 2016. Nur



Syam,



“Model



Twin



Towers



untuk



Islamic



Studies”,



http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=762 diakses pada 9 November 2016. Syaifuddin, Studi Komparasi Integrasi Keilmuan Berbasis Islamisasi Ilmu



dengan



Integrated



Twin



Towers.pdf



di



akses



dari



http://digilib.uinsby.ac.id/7180/ tanggal 09 November 2016. Tim



Redaksi,



"Paradigma



http://www.uinsby.ac.id/id/251/paradigma-keilmuan.html November 2016.



64



Keilmuan", diakses



pada



09