j1 Sejarah Timbulnya Ilmu Kalam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



Teologi islam atau ilmu kalam sebagai disiplin ilmu pengetahuan, baru muncul sekitar abad ke-3 Hijriyah. Hal ini sama sekali bukan berarti aspek aqidah atau teologi tidak mendapatkan perhatian dalam Ajara Islam atau ilmu – ilmu keislaman, bahkan sebaliknya dalam agama Islam aspek aqidah merupakan inti ajarannya. Pada waktu itu umat islam masih bersatu dalam segala persoalan aqidah, bersatu dalam memahaminya. Umat islam pada waktu itu tidak pernah berkeinginan untuk mengungkit persoalan aqidah yang sudah tertanam dan berakar dalam hati umat islam. Kepercayaan sesuatu agama merupakan pokok dasarnya. Islam sebagai agama yang mengingkari agama-agama Yahudi dan Nasrani serta agama-agama Berhala merasa perlu untuk menjelaskan pokok dasar ajarannya dan segi-segi dakwah yang menjadi tujuannya, al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad saw banyak berisi pembicaraan tentang Wujud Tuhan, Keagungan, dan ke Esaan-Nya. Qur’an terutama menyebutkan untuk sifat-sifat Tuhan yang banyak sekali dan sebagian lagi menyatakan macam-macam hubungan dengan makhluknya seperti mendengar, melihat, Maha adil, menciptakan, memberi rijki, menghidupkan, mematikan dan sebagainya. Ilmu tauhid belum dikenal pada masa Nabi Muhammad saw dan sahabatsahabatnya melainkan baru dikenal pada masa kemudiannya, setelah ilmu-ilmu keislaman satu persatu muncul dan setelah orang banyak suka membicarakan alam ghaib atau metafisika



1



BAB II PEMBAHASAN Latar Belakang Timbulnya Ilmu Kalam A. Latar belakang persoalan Idiologi Pada dasarnya setiap manusia mempunyai fitrah berupa kepercayaan terhadap adanya zat yang Maha Kuasa,yang dalam istilah agama disebut Tuhan. Para ahli tafsir mengatakan,fitrah artinya ciptaan atau kejadian yang asli, karena naluri beragama tauhid merupakan fitrah maka ketauhidan dalam diri seseorang telah ada sejak ia dilahirkan. Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu,kepercayaan adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al- Akkad mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul kepercayaan adanya agama dikalangan orang-orang primintif.1 Tylor justru mengatakan bahwa animisme-anggapan adanya kehidupan pada benda-benda mati merupakan asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan. Adapun Spencer mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk ibadah yang paling tua. Keduanya menganggap bahwa animisme dan pemujaan terhadap nenek moyang sebagai asalusul kepercayaan dan ibadah tertua terhadap Tuhan Yang Maha Esa, lebih dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman setiap manusia yang mengalami mimpi.2 Di dalam mimpi, seseorang dapat bertemu, bercakap-cakap, bercengkrama, dan sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan orang yang telah mati sekalipun. Ketika seorang yang mimpi itu bangun, dirinya tetap berada ditempat semula. Kondisi ini telah membentuk intuisi bagi setiap orang yang telah bermimpi untuk meyakini bahwa apa yang telah dilakukannya dalam mimpi adalah perbuatan roh lain, yang pada masanya roh itu akan kembali. Dari pemujaan terhadap roh berkembang ke pemujaan matahari, lalu lebih berkembang lagi pada pemujaan benda-benda langit atau alam lainnya. 1 2



Abbas Mahmoud Al-Akkad,Ketuhanan ,hlm.14 Ibid., hlm .15



2



Abbas Mahmoud Al- Akkad, pada bagian lain, mengetakan bahwa sejak pemikiran pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang, di wilayah-wilayah tertentu pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang secara beragam. Di Mesir, masyarakatnya memuja Totemisme. Mereka menganggap suci terhadap burung elang, burung nasr, ibn awa (semacam anjing hutan), buaya, dan lain-lain. Anggapan itu lalu berkembang menjadi pemujaan terhadap matahari. Dari sini berkembang lagi menjadi percaya adanya keabadian dan balasan bagi amal perbuatan yang baik.3 Dari sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan Tuhan, secara instingtif, telah berkembang sejak keberadaan manusia pertama. Oleh sebab itu, sangat wajar kalau William L.Resee mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan, yang dikenal dengan istilah theologia, telah berkembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul dari sebuah mitos (theologia was originally viewed as concerned with myth). Selanjutnya teologi itu berkembang menjadi “theology natural” (teologi alam) dan “revealed theology”(teologi wahyu).4 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa secara historis, ilmu kalam bersumber pada Al-Qur’an, hadist, pemikiran manusia, dan instink. Ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang mempunyai objek tersendiri, tersistematiskan, dan mempunyai metodologi tersendiri. Dikatakan oleh Musthafa Abd Ar-Raziq bahwa ilmu bermula di tangan pemikir Mu’taziiah, Abu Hasyim, dan kawannya Imam AlHasan



bin



Muhammad



bin



Hanafiyah.5



Adapun



orang



yang



pertama



membentangkan pemikiran kalam secara lebih baik dengan logikanya adalah Imam Al-Asy’ari, tokoh ahli sunnah wa al-jamaah, melalui tulisan-tulisannya yang terkenal, yaitu Al-Muqalat,6dan Al-Ibnah An-Ushul Ad-Diyanah. B. Latar belakang persoalan Politik.



3



Ibid., hlm.50-51 William L Resse, Dictionary of Philosophy and Religion, hlm. 450 5 Rosihon Anwar dan Taufiq Rahman, Prinsip-prinsip Dasar Aliran-aliran Teologi ISLAM,hlm.27 6 Harun Nasution, Teologi Islam, hlm.6 4



3



Menurut Harun Nasution, Kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan poiltik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Usman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi Perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Al-Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagaian tentaranya.mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali pada hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau la hukma illa Allah (tidak ada perantara selain Allah) menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam, mereka terkenal dengan nama Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau seceders.7 Diluar pasukan yang membelot Ali, sebagaian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syi’ah. Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali disebut syi’ah dan dan kelompok lain menolak sikap Ali disebut Khawarij. 8 C. Latar belakang persoalan perbuatan manusia dalam kaitannya dengan



perbuatan tuhan Daalam teologis juga muncul persoalan mengenai perbuatan manusia dalam kaitannya dengan perbuatan tuhan. Yaitu apakah manusia melakukan perbuatannya sendiri atau tidak? Apakah perbuatan yang dilakukan manusia ada campur tangan (intervensi) dari tuhan yang mengatur alam raya ini beserta seluruh isinya? Kalau 7



W.Mongomery Watt, Pemikiran Teologi Dan Filsafat Islam, terj,Umar Basalim.Penerbit P3M,Jakarta, 1987, hlm.10 8 Ibid..hlm 6-7



4



tuhan ikut campur sejauh mana intervensi tuhan tersebut? Pertanyaan – pertanyaan tersebut mengusik para ulama kalam (mutakallimin) untuk membahasnya. 9



Sehingga muuncullah aliran aliran teologi yang berangkat dari latar belakan



persoalan tersebut sebagaimana uraian berikut: 1. Aliran Jabariyah, yang dalam persoalan tersebut memahami bahwa manusia tidak berkuasa atas perbuatannya. Hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua amalan manusia itu atas qudrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mencampuri sama sekali. Paham jabariyah ini dikemukakan oleh Jaham bin Shafwan. Aliran inipun kadang kadang disebut dengan aliran Jahamiyah. 2. Aliran Qadariyah sering juga diidentikkan dengan aliran Mu’tazilah. Aliran



ini memahami bahwa manusia bebas memilih atas perbuatannya(khaliqul af-al). mereka berpendapat bahwa kemauan manusia itu bebas, dan itu berarti bahwa manusia bebas untuk berbuat atau tidak berbuat, sehingga manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas pebuatannya, manusi berhak mendapatkan pujian dan pahala atas perbuatannya yang baik dan menerima celaan atau hukuman atas perbuatannya yang salah atau dosa. 3. Aliran Asy’ariyah, Yang dalam persoalan ini lebih dekat dengan paham jabariyah daripada paham mu’tazilah. Untuk menggambarkan pahamnya mengenai perbuatan manusia dalam kaitannya dengan perbuatan Tuhan. Asy’ary menggunakan teori Al kasb. D. Latar Belakang Persoalan Sifat Sifat Tuhan10



Persoalan lain yan muncul dalam telogi islam atau ilmu kalam selain yang diatas adalah persoalan tentang sifat-sifat tuhan.



9



Drs.H.Muhammad ahmad, Tauhid ilmu kalam, , Penerbit pustaka setia,Bandung.2009 ,hlm.145-146 10 Drs.H.Muhammad ahmad, Tauhid ilmu kalam, , Penerbit pustaka setia,Bandung.2009 ,hlm.146



5



Para mutakallimin dalam membahas tentan sifat tuhan secara garis besar dibagi menjadi tiga golongan pendapat yang berlawanan, yaitu : 1. Aliran mu’tazilah yang memahami dan membahas persoalan ini dengan berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai sifat. Mereka berargumen jika Tuhan mempunyai sifat , sifat itu mesti kekal seperti halnya zat tuhan. Namun jika demikian maka yang bersifat kekal bukan satu lagi, tetapi banyak. 2. Aliran Asy’ariyah yang membahas persoalan sifat-sifat tuhan dengan dengan mengambil sikapyang berlawanan dengan pendapat golonan pertamama atau mu’tazilah. 3. Aliran Maturidiyah yang dalam hal ini berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat. Sifat –sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi tuhan dan bukan melaui sifat-sifat itu sendiri. E. Latar belakang persoalan filosofis Bermula dari timbulnya persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah ke luar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-As, kafir, karenaAlQur’an mengatakan : Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.11



Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan la hukma illa lillah. Karena ke empat pemuka Islam diatas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka mereka telah ke luar dari Islam.



11



QS. Almaidah : 44



6



12



Kemudian arti kafir, semakin berkembang tidak hanya pada orang yang tidak



menetukan hukum berdasarkan Alquran tetapi juga kepada orang yang berbuat dosa besar. Persoalan dosa besar mempunyai pengaruh besar dalai pertumbuhan teologi selanjutnya. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran dalam islam, yaitu : 1. Khawarij , berpendapat bahwa orang yang berdosa adalah kafir. Artinya keluar dari islam (murtad) karena itu ia wajib dibunuh. 2. Murji’ah, Menegaskan orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin, bukan Kafir. Adapun dosa yang dilakukannya terserah pada Allah untuk diampuni atau tidak. 3. Mu’tazilah, kaum ini tidak setuju dengan pendapat diatas. Baginya oraaang



yang melakukan dosa besar bukan kafir tetapi juga bukan mukmin. Orang yang melakukan dosa besar mengambil posisi antara mukmin Dan kafir. Tekenal dengan paham/istilah Manzilah baina Almanzilataini. Al Hasan Al-Bisri menetapkan yang menjadi anutan umum ummat Islam,yaitu orang yang mengerjakan dosa besar dipandang fasiq, tidak keluar dari gelanggang mu’min. Pendapat Al-Hasan ini dibantah keras oleh muridnya Washil Ibn Atha’. Dia mengatakan bahwa orang yang mengerjakan dosa bsar berada diantara dua martabat. Pendapatnya diikuti oleh Ibn Ubaid. Karna mereka ini mengasingkan diri dari majlis gurunya Al Hasan atau dari pendapat umum, dinamakanlah mereka dengan Mu’tazilah. Oleh karena golongan Qadariyah dan Jabariyah tidak dapat berdiri sebagai golongan, tetapi lebur dalam kelompok-kelompok lain, maka nama Qadariyah dan Jabariyah menjadi nama faham sahaja, tidak menjadi nama golongan. Maka Qadariyah berpindah kepada nama Mu’tazilah. Mereka dinamakan juga Qudriyah, 12



Drs.H.Muhammad ahmad, Tauhid ilmu kalam, , Penerbit pustaka setia,Bandung.2009 ,hlm.143



7



lantaran mereka menetapkan bahwa hamba mempunyai qudrat yang bebas aktif. Mereka sendiri tidak menerima nama-nama itu. Mereka menanamkan dirinya dengan Ahlul ‘ad-li wat Tauhid. Dikatakan mereka dengan ahlul’li, adalah karena mereka menetapkan : bahwasannya hamba ini mempunyai qudrat, bebas aktif dalam segala tindakannya, yang karenanya mereka dipahalai dan disiksa. Mereka menindak adakan kezaliman bagi Allah. Dan mereka menamakan dirinya dengan ahlut Tauhid adalah karena mereka menindak adakan sifat diri pada Allah, agar zat Allah benar-benar tidak tersusun dari zat dan sifat dan supaya benar-benar Allah Esa. Di akhir masa ini washil bin atha’ telahdapat menyusun dasar-dasar Ilmiyah bagi madzab Mu’tazilah dan jalan-jalan masyarakat kepadanya. Dia melepaskan pembantu-pembantunya (pendukung-pendukung fahamnya) ke pelosok untuk mengembangkan fahamnya dengan segenap tenaga dan kecakapannya, hingga samapilah da’wahnya ke Khurasan sebelah timur dan ke Marokosebelah barat, ke Armiya sebelah utara dan ke Yaman sebelah selatan. Menurut uraian Al-Maqrizi, Washil Ibn Atha’ telah menyusun sebuah kitab lagi yang dinamakan Kitabut Tauhid, sebuah kitab lagi yang dinamakan Kitabul Manzilati Bainal Manzilataini dan kitab Al-Futuya. Dengan demikian dapatlah kita katakan, bahwa dalam masa inilah mulai timbul usaha menyusun ilmu (kitab) dalam Ilmu Kalam.



8



BAB III KESIMPULAN Adanya perbedaan-perbedaan paham antara golongan atau paham khowarij, murji’ah dan muktajilah dalam menyikapi masalah seperti yang terjadi diatas. Akhirnya para Ulama ahli kalam (tauhid) merasa khawatir golongan-golongan tersebut didalam menentukan hukum dan menyikapi masalah-masalah yang terjadi, keluar dari nash yang sudah digariskan oleh al-qur’an dan hadits, terutama yang berkaitan



dengan



aqidah



atau



kepercayaan



umat



islam.



Maka lahirlah ilmu kalam sebagai landasan dan acuan didalam menyikapi masalahmasalah yang berkaitan dengan masalah-masalah aqidah (kepercayaan), sehingga tidak keluar dari ajaran dan ketentuan-ketentuan yang telah dinashkan oleh hukumhukum islam baik al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah saw. Keyakinan yang wajib kita pegang ialah, bahwa agama islam adalah agama (kepercayaan) “Tauhid” (monotheisme), bukan agama yang berpecah-pecah dalam keprcayaan-kepercayaan itu. Akal adalah pembantunya yang paling utama dan naql (al-Qur’an dan Sunnah) adalah merupakan sendi-sendi yang paling kukuh. Dibalik itu hanyalah godaan-godaan setan belaka dan nafsu-nafsu orang yang haus kekuasaan.



9



DAFTAR PUSTAKA



Ahmad, Muhammad.2009. Tauhid ilmu kalam. Bandung: Pustaka Setia Hanafi, Pengantar Theology Islam, Al Husna Zikra, Jakarta, 1995 Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah, Analisa perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986 Muhlis.2008.”PerananKaumKhawarijdanMu'tazilah”. (http://muhlis.fileswordpress.com/2008/03/sejarah-ilmu-kalam.pdf



diakses



maret 2012) Rozak, Abdul, Rosihon Anwar. 2011. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia,



10



18