Jejak Peristiwa Madiun [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

E. JEJAK PERISTIWA MADIUN 1. PATUNG KOLONEL MARHADI Monumen Kolonel Marhadi adalah monumen bersejarah yang merupakan peninggalan dan sebagai saksi atas Peristiwa Madiun.Monumen Kolonel Marhadi terletak di sebelah selatan alun – alun kota Madiun. Monumen Kolonel Marhadi berbentuk patung, dibuat dari perunggu dengan landasan dari beton dan marmer. Monumen ini diresmikan pada tanggal 17 Februari tahun 1973 oleh bapak Mayor Jenderal TNI Soengkono.Nama monumen ini diambil dari nama salah satu prajurit TNI yang berperan dalam peristiwa PKI tahun 1948 yang bernama Kolonel Inf Marhadi. Letkol Marhadi ditunjuk sebagai kepala staf dalam SPDT yang berkedudukan di Kediri itu. Jabatan itu diduduki Marhadi sekitar bulan Juni 1948. Nama Marhadi ternyata diterima oleh para komandan divisi di Jawa Timur. Penerimaan itu tentu tidak lepas dari akar dan peran Marhadi yang cukup dikenal sebagai mantan PETA dan pejuang di palagan Surabaya. SPDT sesungguhnya merupakan embrio dari Divisi Jawa Timur yang nantinya dinamakan Divisi Brawidjaja. Agustus 1948, Brigjen Baay, Komandan Divisi A Pasukan Belanda di Jawa Timur mengeluarkan ultimatum agar TNI tidak menyusup ke daerah yang dikuasai Belanda. Oleh Marhadi, ultimatum itu dimaknai sebagai alasan Belanda untuk menyerang. Diketahui bahwa ada banyak tank baru buatan Amerika ditangkan Belanda. Pada badan tank terdapat tulisan " Naar Jogja ". Militer Belanda sudah menyiapkan diri menuju Jogja yang menjadi ibukota Republik Indonesia. Marhadi melihat bahwa poros utama ke Jogja adalah jalur Mojokerto - Madiun. Jalur penting itu hanya dijaga oleh satu batalion saja. Sebagai komandan gabungan, Marhadi meminta agar beberapa batalion yang bertumpuk di Kediri mau dipindah ke wilayah sekitar Kertosono hingga Madiun. Ternyata yang menyambut usulan Marhadi hanya



batalion



yang



berasal



dari



Pesindo.



Marhadi



kemudian



memindahkan markasnya ke Madiun pula. Kolonel Marhadi merupakan prajurit TNI berpangkat tinggi dari Staf Pertahanan Djawa Timur ( SPDT ) yang menjadi salah satu korban



sekaligus saksi mata bersama Kiai. R. Kartidjo, yang pernah menjabat sebagai ketua DPD RI. Kolonel Marhadi dan rekan - rekannya membela warga yang ada di sekitar Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun kala itu agar tidak ada lagi pembantaian dan pembunuhan yang sadis dan berakhir tragis. Ia juga membela agar tidak ada lagi partai komunis di Indonesia. Semangat yang membara membuat Kolonel Marhadi dan rekan rekannya berjuang mati - matian mengalahkan PKI. Berbagai usaha sudah dirancang dan dibuat sedemikian rupa. Banyak usaha yang berhasil diwujudkan, dan banyak juga yang mengalami kegagalan. Tetapi, meski begitu Kolonel Marhadi dan rekan - rekannya tidak patah semangat. Semua itu dilakukan tanpa rasa pamrih dan berjuang hingga titik darah penghabisan. Di Madiun Marhadi terjebak dalam konflik yang dipicu oleh kedatangan Muso. Pimpinan PKI itu selanjutnya memproklamasikan berdirinya Republik Soviet Indonesia. Pasukan yang mengikuti Marhadi ke Madiun kemudian diketahui menjadi inti kekuatan PKI. Melihat



banyaknya



usaha



yang



dilakukan,



Partai



Komunis



Indonesia ( PKI ) sangat marah dan merasa terganggu dengan aksi yang dilakukan Kolonel Marhadi. Lalu, Kolonel Marhadi dan rekan - rekannya ditangkap dan diculik oleh PKI di sekitar Desa Kresek selama berminggu minggu. Akhirnya Kolonel Marhadi bersama dengan rekan - rekannya berhasil melarikan diri dari tawanan PKI. Saat



ia



bersama



rekan



-



rekannya



bersembunyi



dan



menyelamatkan diri dari tawanan PKI, mereka berhasil ditangkap kembali. Lalu, diasingkan dan disekap di rumah - rumah warga yang berada di sekitar Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun. Akhirnya Kolonel Marhadi bersama rekan - rekannya berhasil dibunuh dan ditembak hingga meninggal dunia. Jasad korban dikuburkan dalam satu liang sebelum ditinggal melarikan diri. Kuburan itu dapat diketahui dan jasad korban diangkat pada tanggal 4 Oktober 1948. Pada tempat kubur mereka di desa Kresek, Dungus, Madiun, kemudian dibuatkan sebuah Monumen mengenang kekejaman PKI



Tanggal 5 Oktober 1948, tepat pada hari peringatan Hari Angkatan Perang, jenazah Letkol Marhadi dimakamkan kembali setelah dikafani. Dari luka yang terliat ditubuhnya, Marhadi meninggal setelah ditembak dari jarak dekat di dadanya. Nama Marhadi kemudian diabadikan sebagai sebutan jalan utama di Madiun. Pada ujung jalan dekat alun - alun kota Madiun tersebut juga didirikan patung dirinya dengan menggenggam sebilah samurai. Sebagai bentuk rasa hormat terhadap jasa - jasa beliau, maka pemerintah kota Madiun membangun patung besar yang ada di area alun alun kota Madiun. Dengan memakai seragam militer lengkap, tangan kanannya menunjuk kearah selatan tepat di Pasar Sleko yang jauhnya kira-kira 2 km. Namun banyak yang menyebut bahwa patung Kolonel Marhadi menunjuk ke arah SMP Negeri 2 Madiun, karena menurut sejarah SMP Negeri 2 Madiun merupakan tempat atau markas dari Mastrip, di SMP 2 Madiun sendiri juga terdapat tugu yang berisi nama nama korban Mastrip. Cerita legendaris yang paling terkenal adalah cerita tentang Mulyadi, pahlawan heroik dari MASTRIP. Patung yang berada di Alun – alun tersebut sering disebut juga monumen Kolonel Marhadi. Pemerintah Madiun juga menjadikan namanya sebagai sebagai salah satu nama jalan di kota Madiun. Sosok Kolonel Marhadi yang patut dicontoh dan dapat dijadikan motivasi hidup untuk terus membela dan berjuang mati - matian demi Bangsa dan Negara Indonesia. Meski banyaknya rintangan dan juga cobaan yang dilalui, tetapi semangat, kerja keras, usaha serta tekad yang bulat akan membuat sesuatu yang tidak mungkin, menjadi sesuatu yang mungkin.



2. MONUMEN MASTRIP Monumen



Mastrip



menggambarkan



patung



Moeljadi



yang



dibangun atas nama teman - teman seperjuangan TRIP Jawa Timur bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan, 10 Nopember 1985. Monumen Mastrip Eks. TNI Brigade 17 Detasemen 1 Tentara Republik Indonesia Pelajar ( TRIP ) Jawa Timur yang terwakili dengan keberadaan patung



Moeljadi ini terletak di Jalan Mastrip, Kelurahan Klegen, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun. TRIP ( Tentara Republik Indonesia Pelajar ) adalah kumpulan pelajar dengan mengorbankan



usia sangat muda ( belasan tahun ) yang berani jiwa



raganya



untuk



mempertahankan



kemerdekaan



Indonesia. Kegagahan dan jiwa patriotisme mereka sudah teruji dalam setiap pertempuran melawan kaum penjajah yang akan merongrong kemerdekaan Indonesia. Bahkan tentara Inggris yang menjadi pemenang perang dunia ke 2 pun dibuat kewalahan menghadapi kiprah para pelajar dalam pertempuran heroik di depan Gedung Internatio. Markas TRIP Komando I bertempat di gedung SMP Negeri 2 Madiun. Sesuai dengan tujuan dari TRIP, disamping bertempur melawan penjajah juga mengutamakan belajar. Untuk itu SMP dan SMA pertahanan yang didirikan oleh TRIP di Mojokerto dilanjutkan lagi di Madiun. Di kota Madiun cita - cita TRIP sebagai pelajar pejuang diteruskan dalam ikatan TRIP Jawa Timur. Semasa perang Kemerdekaan anggota TRIP mendapatkan sebutan “ Mas " dari masyarakat, karena jika dipanggil “ Pak ” masih sangat muda dan belum



pantas, tetapi



jika



dipanggil ” Nak ” mereka sudah berani mengangkat senjata melawan kaum penjajah. Dan itu menunjukan bahwa mereka bukanlah anak - anak lagi, meskipun rata - rata usia mereka antara 12 hingga 20 tahun. Sehingga sesuai budaya Jawa yang menjaga kesopanan dalam pergaulan, maka disebutlah anggota TRIP dengan panggilan “ Mas “.



Sampai



sekarang dikenal dengan sebutan MasTRIP. Setiap daerah memiliki penyebutan tersendiri terhadap kesatuan tentara pelajar yang ada di wilayahnya. Secara umum, di Jawa Barat mereka dikenal dengan Corps Pelajar Siliwangi ( CPS ), di Jawa Tengah dikenal dengan Tentara Pelajar ( TP ), dan di Jawa Timur dikenal dengan Tentara Republik Indonesi Pelajar ( TRIP ). Namun pada skop kesatuan yang lebih kecil di daerah - daerah, mereka memiliki sebutan yang lebih banyak lagi. Misalkan di Jogja dan beberapa wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, terdapat Tentara Genie Pelajar ( TGP ), di Boyolali ada Sturm Abteilung ( SA ), di Banyumas ada Pasukan Pelajar IMAM ( Indonesia Merdeka Atoe Mati) , di Solo dan



Surakarta ada Mastepe, di Pati ada Pasukan T ( Pasukan Tjadangan Ronggolawe ), dan lain sebagainya. Jadi jelaslah bahwa “ Mas ” bukan merupakan singkatan tapi panggilan akrab masyarakat kepada para anggota pasukan TRIP. Monumen MasTRIP tersebut dibangun sebagai bentuk rasa hormat dan untuk mengenang jasa - jasa beberapa pasukan TRIP yang gugur, seperti Moeljadi, Soetopo, Soemadi, Djoewito, Joewono, Soegito, Ngadino. Mereka semua membela bangsa dan Negara dari PKI yang kejam. Mereka berjuang mati - matian agar banyak diantara warga Madiun yang tidak menjadi korban dari keganasan PKI. Jangan kira tokoh - tokoh pahlawan yang gugur dalam melawan PKI ( anggota TRIP ) Jawa Timur tersebut



itu



sebagaimana



gugur banyak



dalam kisah



peperangan



melawan



kepahlawanan



di



tentara



kota



lain.



kolonial Tetapi



kenyataannya mereka tewas dalam konflik internal bangsa yang disebut sebagai pemberontakan keganasan PKI Madiun, September tahun 1948. Dinas Pekerja Umum ( DPU ) Kota Madiun sudah merenovasi infrastruktur bangunan Monumen Mastrip yang dilakukan bersamaan dengan proyek renovasi trotoar jalan Mastrip Madiun. Bangunan patung Moeljadi dahulu tertutup oleh daun - daun dan dahan pepohonan yang berada di sekitar Monumen Mastrip. Sehingga tampak kotor, lingkungan disekitar monumen pun menjadi kumuh, dan tidak terawat. DPU Kota Madiun merenovasi infrastruktur bangunan Monumen Mastrip tanpa mengubah bentuk patung Moeljadi dan batu prasasti. Pemerintah Kota Madiun hanya ingin menata bagian depan patung agar bisa dijadikan ruang terbuka yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan masyarakat. Karena Monumen Mastrip letaknya juga dekat dengan Stadion Wilis yang kerap menjadi pusat kegiatan masyarakat. Monumen Mastrip dicat ulang dan dirapikan kembali agar dapat dikenal sebagai salah satu ikon di Kota Madiun. Sekarang ini, Monumen Mastrip menjadi lebih dikenal oleh banyak



masyarakat



Madiun



sebagai



pengingat



adanya



pemberontakan PKI di Madiun yang banyak memakan korban.



peristiwa



3. MONUMEN KRESEK Monumen Kresek, adalah monumen bersejarah yang merupakan peninggalan dan sebagai saksi atas Peristiwa Madiun. Lokasi peninggalan sejarah dengan luas 2 hektar ini, berada 8 km ke arah timur dari kota Madiun, tepatnya berada di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, dan terdiri dari monumen dan relief peninggalan sejarah tentang keganasan PKI pada tahun 1948 di Madiun. Monument kresek terdiri dari monument dan relief peninggalan sejarah tentang keganasan partai komunis Indonesia tahun 1948 di dalam monumen terdapat pendopo tempat istirahat, tamanan langka dan



lain-lain



monument ini diresmikan pada tanggal 10 Juni 1991 oleh Gubernur Jawa Timur Bapal Soelarso Untuk mengenang peristiwa tersebut, dibangunlah Monumen sejarah yang diresmikan oleh H. Sularso, Gubernur Jawa Timur pada tahun 1991. Monumen ini dibangun sekitar tahun 1987 dengan menghabiskan waktu 4 tahun dan selesai pada tahun 1991. Lokasi ini merupakan saksi bisu di dalam ganasnya para anggota PKI, dimana pada waktu itu para anggota TNI dan Pamong desa dibantai dan disiksa dengan biadab oleh PKI pada tahun 1948. Dulu pendopo hanya satu, tetapi tiga. Di pendopo itu tempat menyekap tawanan yang diculik. Menurut cerita, sebenarnya yang ada di tiga itu akan dibunuh satu- persatu PKI dan memasuki kawasan ini, kita akan melihat sebuah dinding sepanjang 2 Meter yang bertuliskan nama-nama ( lengkap dengan jabatannya kala itu ). Korban keganasan PKI yang berjumlah 17 orang, lengkap dengan patung mayat-mayat bergelimpangan disampingnya. Adapun, tujuan didirikannya monumen ini adalah sebagai penghormatan terhadap para korban kekejaman PKI sejarah tentang keganasan PKI yang terjadi di Madiun pada tahun 1948 serta mengenang korban - korban akibat keganasan PKI pada tahun 1948. Adapun fasilitas wisata yang ada di tempat ini, antara lain, pendopo tempat istirahat, taman tanaman langka dan dilengkapi pula areal parkir. Di dekat monumen ini juga terdapat prasasti batu yang mengukir nama nama prajurit TNI dan pamong desa yang gugur dalam pertempuran melawan PKI di desa kresek maupun karena dibantai oleh PKI. Kolonel Inf



Marhadi adalah prajurit TNI berpangkat tertinggi yang gugur dalam pertempuran desa Kresek, namanya lalu diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Kota Madiun dan didirikan pula patungnya di alun - alun kota Madiun sebagai bentuk penghormatan. Selain itu juga terdapat sumur tempat pembuangan korban keganasan PKI yang telah tertutup dan dibuat relief korban - korban di atasnya. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk menunjukkan kepada masyarakat atau khususnya pengunjung, tentang betapa kejamnya PKI yang telah membantai 17 orang tersebut. Namun kalau pemerintah mau konsisten, pemerintah orde baru sebenarnya juga harus membangun dinding yang mungkin panjangnya akan mencapai ratusan meter untuk menuliskan nama - nama ribuan simpatisan PKI ( banyak dari mereka yang sebenarnya tidak tahu apa – apa ) yang juga menjadi korban keganasan tentara dan rakyat yang anti - komunis, lengkap dengan tanah puluhan meter persegi untuk membangun replika mayat - mayat yang berserakan. Adapun nama - nama tokoh tersebut yaitu Kolonel Marhadi, Letkol Wiyono, Insp. Pol. Suparbak, May Istiklah, R.M Sarojono ( Patih Madiun ), Kyai Husen ( Anggota DPRD Kabupaten Madiun ), Mohamad ( Pegawai dinas kesehatan ), Abdul rohman ( Asisten Wedono ), Sosro Diprodjo ( Staff PG Rejo Agung ), Suharto ( Guru sekolah pertanian Madiun ), Sapirin



( Guru sekolah Budi Utomo Madiun ), Supardi ( Wartawan



Freelance Madiun ), KH Sidiq, Sukadi ( Toko Masyarakat ), R. Charis Bogio ( Wedono Kanigoro ),



KH Barokah Fachrudin ( ulama ), Maidi Marto



Disomo ( Agen Polisi ). Menurut warga setempat area monumen kresek dahulu adalah bekas rumah warga yang dijadikan PKI sebagai ajang pembantaian, warga sekitar dikurung di dalam rumah tersebut lalu rumah tersebut dibakar bersama warga yang ada di dalamnya. Di sebelah utara monumen kresek terdapat monumen kecil yang terbuat dari batu kali yang mengukir namanama prajurit TNI dan para pamong desa yang dibantai oleh PKI. Sebelum ke atas, terdapat anak tangga untuk masuk ke monumen Kresek dimana anak tangga tersebut memiliki filosofi yang menunjukkan tanggal hari Kemerdekaan RI yaitu 17 – 8 – 1994.



Bangunan patung paling atas adalah Patung Muso yang membawa pedang yang ingin memenggal kepala seorang kyai. Patung ini menggambarkan adegan seorang pria bertubuh besar, kumis tebal, dan bermuka bengis sedang mengayunkan pedangnya ke leher seorang kyai yang sedang berlutut. Kyai ini terlihat mengenakan sarung, surban dan kopyah. Kyai ini dikenal dengan nama Husen. Kyai Husen adalah seorang kyai yang arif dan bijaksana, beliau adalah anggota DPRD Kabupaten Madiun pada tahun 1948. Adegan ini berkaitan erat dengan isu Pembunuhan pimpinanpimpinan pondok pesantren oleh kelompok PKI karena tidak mau mendukung ideology komunis yang diusungnya. Walaupun kebenaran isu ini masih menjadi bahan perdebatan, namun provokasi ini terbukti sangat berhasil menanamkan stigma buruk terhadap PKI kepada masyarakat. Bahkan sampai anak cucu seorang PKI yang tidak tahu apa-apa bisa menjadi korban diskriminasi akibat stigma negatif ini. Terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) kepada masyarakat. Bahkan sampai anak cucu seorang Partai Komunis Indonesia (PKI)



yang tidak tahu apa-apa bisa



menjadi korban diskriminasi akibat stigma negative ini. Di belakang patung ini terdapat sebuah relief yang menggambarkan peperangan dan pembunuhan oleh sesama orang Indonesia. Juga di sebelahnya terdapat sebuah prasasti yang isinya mengingatkan para pemuda untuk senantiasa waspada terhadap bahaya komunisme. Patung ini jelas sekali ingin menunjukkan bagaimana seorang pemuka agama Islam yang akan dipancung dengan kejinya oleh seorang gembong PKI berwajah garang. Adegan ini berkaitan erat dengan isu pembunuhan terhadap pimpinan - pimpinan pondok pesantren oleh kelompok PKI karena tidak mau mendukung ideologi komunis yang diusungnya. Selain itu terdapat pemuka agama lainnya, bernama Mbah Ronggo Jati, Ronggo Jati berasal dari Banyuwangi yang digelandang ke Madiun oleh para PKI karena dipaksa untuk menunjukkan seseorang yang konon bersembunyi di Madiun. Namun karena beliau setia terhadap kepada pemerintahan sehingga beliau tidak mau buka mulut karena hal itu



PKI menyiksa beliau dengan menembak, memukul, menendang, di penggal, dan dibacok yang intinya beliau disiksa habis-habisan. Tapi ada keistimewaan pada beliau tidak mengalami cedera sedikitpun karena kecewaannya PKI memilih untuk mengubur hidup-hidup yang makamnya terletak di bawah seberang jalan. Saat ini menjadi taman rekreasi yang tidak jauh dari lokasi monumennya. Selain itu terdapat sebuah relief yang menggambarkan peperangan, dan pembunuhan oleh sesama orang Indonesia, disebelahnya terdapat sebuah prasasti yang isinya mengingatkan para pemuda untuk senantiasa waspada terhadap bahaya komunisme. Di sebelah barat bangunan Patung Muso ada bangunan relief yang menggambarkan proses pemberontakan yang dilakukan oleh PKI sekaligus penumpasannya. Penumpasan terhadap PKI dilakukan oleh Divisi Siliwangi yang dipimpin oleh Kolonel Sadikin dan Divisi Jawa Timur dipimpin oleh Kolonel Sungkono. Di sebelah timur bangunan patung Muso ada bangunan patung anak -anak korban PKI yang menuntut belas kepada Pemerintah Republik Indonesia agar menumpas kegiatan PKI di Madiun. Dibagian bawah terdapat pendapa yang dimana tempat tersebut merupakan bekas rumah penduduk / warga yang dijadikan Markas PKI sebagai ajang pembantaian para korban keganasan PKI. Monumen bersejarah ini merupakan peninggalan dan sebagai saksi atas Peristiwa Madiun. Monumen ini merupakan monumen yang didesain dan dibangun untuk meninggalkan kenangan atas peristiwa berdarah dengan terjadinya penyerbuan Desa Kresek oleh pergerakan dengan paham politik ekstrim untuk memberikan efek politis dan perubahan ideologi politik di tingkat pemerintahan pusat. Namun hal ini berdampak panjang dan menyakitkan bagi penduduk yang mengalami, baik sebagai pelaku maupun korban. Bagi para korban, hilangnya nyawa anggota keluarga mereka menyisakan dendam dan kesedihan yang amat mendalam, sedangkan bagi pelaku menanggung dosa dan anggapan buruk yang parahnya ditanggung juga oleh anak keturunanya.



Monumen Kresek merupakan kenangan pahit yang ditimbulkan oleh PKI yang tidak boleh terlupakan dan harus diingat oleh generasi muda bangsa dalam memperjuangkan tegaknya Pancasila dan UUD 1945. Di samping sebagai pengenalan anak sekolah untuk mengenang kejadian waktu itu, Monumen Kresek sekarang dijadikan objek wisata yang banyak dikunjungi masyarakat sebagai tempat rekreasi yang telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti mainan anak, balai pertemuan / pendapa dan kios masakan kuliner. Dengan mengunjungi monumen ini kita diingatkan untuk tidak melupakan sejarah. Bangsa sudah melewati beragam ujian dan cobaan yang berat. Ujian tersebut bukan berasal dari bangsa lain melainkan bangsa



sendiri.



Makar



dan



pemberontakan



berulang



kali



terjadi,



merongrong pemerintahan yang sah namun rakyat Indonesia selalu mengatasinya karena memegang teguh kesatuan dan persatuan dan ingatlah untuk meneladani jasa dan perilaku pahlawan dalam membela keutuhan Negara Republik Indonesia tercinta ini



4. MONUMEN SOCO Di



Kabupaten



Magetan,



Jawa



Timur,



terdapat



tempat



bekas



pembantaian dan pembuangan ratusan pejuang, ulama, tokoh masyarakat, dan warga yang dibunuh orang-orang Partai Komunis Indonesia ( PKI ) pimpinan Muso tahun 1948. Salah satunya di Desa Soco, Kecamatan Bendo. Di tempat yang kini dibangun monumen itu, terdapat bukti gerbong maut dan sumur yang digunakan untuk mengangkut dan membuang ratusan korban. Salah satu gerbong yang dulunya digunakan untuk mengangkut tebu dan hasil gula itu kini diletakkan sebagai bukti sejarah. Bekas sumur yang dijadikan tempat pembuangan sudah ditutup dan diatasnya dibangun sejenis tugu kecil. Letak Sumur Soco yang strategis dan terletak hanya beberapa ratus meter di sebelah selatan lapangan udara Iswahyudi dan dipenuhi tegalan yang kadang-kadang ditanami tebu. Di desa inilah sebuah sumur tua yang dijadikan tempat pembantaian oleh PKI. Ratusan korban pembunuhan keji yang dilakukan PKI ditimbun jadi satu di lubang sumur yang tak lebih dari satu meter persegi itu.



Menurut warga yang biasa menjaga kawasan monumen setempat, Nyamin, sumur tersebut adalah sumur milik orang tuanya yang bernama Kasan Kimpul



dan



Dinem.



Setelah



diselidiki



dan



diinterogasi,



akhirnya



dia



menunjukkan letak sumur tersebut. Sekalipun letak sumur telah ditemukan, namun penggalian jenazah tidak dilakukan pada saat itu juga. Sekitar awal tahun 1950 - an, barulah sumur tua desa Soco digali. Hal ini disebabkan oleh kesibukan pemerintah RI dalam melawan agresi Belanda yang kedua. Salah



seorang



penggali



sumur



bernama



Pangat



menuturkan,



penggalian sumur dilakukan tidak dari atas, namun dari dua arah samping sumur untuk memudahkan pengangkatan dan tidak merusak jenazah. Penggali sumur dibagi dalam dua kelompok yang masing - masing terdiri dari enam orang. Menurut Pangat, mayat - mayat yang dia gali pada waktu itu sudah dalam keadaan hancur lebur. Daging dan kulit jenazah hanya menempel sedikit diantara tulang - belulang. Di kedalaman sumur yang sekitar dua belas meter, regu pertama menemukan 78 mayat, sementara regu kedua menemukan 30 mayat. Semua jenazah dihitung hanya berdasarkan tengkorak kepala, karena tubuh para korban telah bercampur-aduk sedemikian rupa. Di dekat sumur juga dibangun prasasti nama - nama korban. Dari 108 korban yang diperkirakan, hanya 67 korban yang diketahui namanya. Sedangkan 41 lainnya tidak dikenali. Kawasan bekas sumur maut itu diresmikan pada 15 Oktober 1989 oleh mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat dan Republik Indonesia ( MPR / DPR RI ), M. Kharis Suhud. Ayah Kharis, Kyai Suhud, juga jadi korban saat itu. Kharis adalah tokoh militer dan politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua MPR / DPR pada masa Orde Baru dari tahun 1987 - 1992. Tahun 1982 - 1987 ia memimpin Fraksi ABRI dan tahun 1975 - 1978 ia menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Thailand. Dari keluarga PSM ini, tercatat sejumlah 14 orang menjadi korban. Mereka selengkapnya adalah Kiai Imam Mursyid Imam Muttaqien putra pendiri PSM KH Imam Muttaqien. Kemudian sesepuh pesantren yaitu Kiai Noor, Kiai Achmad Baidlo Wr dan Kiai Muhammad Nurun. Para ustadz diantaranya Ustadz Imam Faham, Ustadz Hadi Addaba, dan Ustadz Moech. Maidjo.



Kemudian



para



keluarga



dekat



dalam



lingkungan



pesantren,



diantaranya Moech Soehoed, Rekso Siswojo, Hartono, Kadimitr, Prijo Oetomo, Rofi’i Tjiptomartono dan Hussein. Desa ini juga dilewati rel kereta lori pengangkut tebu ke Pabrik Gula Glodok, Pabrik Gula Kanigoro dan Pabrik Gula Gorang Gareng. Gerbong kereta lori dari Pabrik Gula Gorang Gareng itulah yang dijadikan kendaraan mengangkut para tawanan untuk dibantai di sumur tua. Setelah sampai di Desa Soco, korban dibawa dan dibuang ke sebuah sumur milik warga. Beberapa orang yang masih hidup ditimbun hidup - hidup dengan batu besar. Korban pembunuhan keji yang dilakukan PKI ditimbun jadi satu di lubang sumur tersebut. Di Soco sendiri terdapat dua buah lubang utama yang dijadikan tempat pembantaian. Kedua sumur tua itu terletak tidak jauh dari rel kereta lori pengangkut tebu. Salah satu gerbong maut yang dinamakan Gerbong Kertapati ( kereta kematian ) juga diletakkan di dekat lokasi sumur. Menurut salah satu pelaku sejarah waktu itu, Ibrahim, para korban ditangkap dari berbagai desa di Kabupaten Madiun dan Magetan. Lalu dibawa ke kawasan Pabrik Gula ( PG ) Rejosari, Kelurahan Rejosari, Kecamatan Kawedanan ( dulu Gorang Gareng), Kabupaten Magetan. Para korban ditempatkan di bangunan pabrik setempat dan ditembak dalam satu ruangan yang berjubel. Lalu para tawanan yang disekap di Pabrik Gula Rejosari diangkut secara bergiliran untuk dibantai di Desa Soco. Selain membantai para tawanan di sumur Soco, PKI juga membawa tawanan dari jalur kereta yang sama ke arah Desa Cigrok. Kini, desa Cigrok dikenal dengan nama Desa Kenongo Mulyo. Selain bekas sumur dan gerbong maut, di kawasan ini juga dibangun sebuah pendopo yang dinamakan Pendopo Loka Pitra Dharma yang diresmikan mantan Bupati Magetan Soedarmono tepat pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 1992. Disitu juga terdapat lapangan yang biasa digunakan untuk upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Di samping sumur Tua Soco, di Madiun juga terdapat sumur tua lainnya sebagai kuburan massal yakni Sumur Tua desa Bangsri, Sumur Tua Desa Cigrok, dan Sumur Tua Desa Kresek yang juga dibangun Monumen diatasnya. Terdapat sebuah tetenger ( penanda ) jika tempat tersebut adalah Monumen Soco yaitu tugu yang tingginya sekitar dua meter dan di puncaknya



ada lambang negara. Di samping kanan tugu tersebut terdapat prasasti yang berisi daftar nama korban keganasan PKI di Soco.