John Austin Positivisme Hukum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

JOHN AUSTIN , POSITIVISME HUKUM (1790-1859) Filsafat Hukum, Positivisme Dilahirkan pada tahun 1790, di Sufflok, dari keluarga kaum pedagang. Austin pernah berdinas di tentara, dan ditugaskan di Sisilia dan Malta. Namun ia juga mempelajari hukum. Pada tahun 1818, ia bekerja sebagai advokat. Tapi ia tidak menjalaninya secara serius. Ia belakangan meninggalkan pekerjaan itu, pindah menjadi seorang ilmuwan hukum. Pada tahun 1826 hingga 1832, ia bekerja sebagai guru besar bidang jurisprudence di London University. Sesaat setelah mengundurkan diri sebagai profesor, ia banyak menjabat jabatan-jabatan penting di lembaga-lembaga kerajaan. Misalnya ia pernah bekerja di Criminal Law Commission dan Royal Commisioner untuk Malta. Walaupun ia seorang jurist Inggris, kuliah-kuliahnya di Bonn Jerman, telah memberikan bukti yang penting tentang pengaruh pemikiran politik dan hukum Eropa Kontinental dalam diri Austin. Kumpulan kuliah ini yang kemudian diterbitkan sebagai buku, berjudul The Province of Jurisprudence Determined (1832). Karyanya yanglain adalah Lectures on Jurisprudence, diterbitkan atas upaya keras dari istrinya, Sarah, pasca Austin tutup usia pada 1859 (Antonius Cahyadi dan E Fernando M. Malullang, 2007: 65). John Austin secara umum diakui sebagai ahli hukum pertama yang memperkenalkan positivisme hukum sebagai sistem. Pemikiran pokoknya tentang hukum dituangkan terutama dalam karyanya berjudul The Province of Jurisprudence Determined (1832). Menurutnya, filsafat hukum memiliki dua tugas penting. Kegagalan membedakan keduanya, demikian keyakinan Austin sebagaimana dikutip oleh Murphy & Coleman, akan menimbulkan kekaburan baik intelektual maupun moral. Kedua tugas ini berkaitan dengan dua dimensi dari hukum yakni yurisprudensi analitis dan yurisprudensi normatif (Murphy & Coleman, 1990: 19-21; Ronald Dworkin, 1977:18-19). Berkaitan dengan dimensi yang pertama, tugas filsafat hukum adalah melakukan analisis tentang konsep dasar dalam hukum dan struktur hukum bagaimana adanya. Pertanyaan tentang apa itu hukum, tanggungjawab hukum, hak dan kewajiban hukum, misalnya adalah contoh pertanyaan-pertanyaan khas yang diajukan filsuf atau pemikir hukum sebagai titik tolak dalam menganalis dan mencoba memahami konsep dasar tersebut. Sementara itu, yurisprudensi normatif berusaha mengevaluasi atau mengkritik hukum dengan berangkat dari konsep hukum sebagaimana seharusnya. Pertanyaanpertanyaan pokok yang diajukan antara lain mengapa hukum disebut hukum, mengapa kita wajib mentaati hukum, manakah basis validitas hukum, dan sebagainya. Dengan demikian, dimensi yang kedua ini berurusan dengan dimensi ideal dari hukum (Andre Ata Ujan, 2009: 67). Dengan distingsi di atas Austin menolak pandangan teori hukum kodrat tentang hukum dan dengan itu menarik garis pembatas yang tegas antara hukum dan moral. Dengan pemisahan ini Austin berusaha menekankan sisi utilitarian dari hukum tanpa mengabaikan pertanyaan tentang konsep dasar hukum yang berpusat pada apa yang ia sebut yurisprudensi analitis. Austin menyebut “hukum sebagaimana adanya” sebagai hukum positif karena hukum dilihatnya sebagai sekumpulan peraturan yang



eksistensi dan kedudukannya tergantung pada otoritas manusia. Dalam arti ini positivisme legal sesungguhnya merupakan reaksi terhadap teori hukum kodrat (natural theory of law), yang mendasarkan eksistensi dan kedudukan hukum pada otoritas yang melampaui otoritas manusia. Karakteristik hukum yang terpenting menurut Austin terletak pada karakter imperatifnya. Hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa. Akan tetapi tidak semua perintah oleh Austin dianggap sebagai sebagai hukum, menurut pandangannya hanya oleh perintah-perintah umum yang mengharuskan seseorang atau orang-orang untuk bertindak atau bersabar dari suatu kelas pantas mendapat atribut hukum (Bodenheimer, 1967:85) Kata kunci dalam hukum menurut Austin adalah perintah – hukum dalam masyarakat adalah perintah umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi (the supreme political authority), yang berfungsi mengatur perilaku anggota masyarakat. Yang memiliki kedaulatan ini mungkin individu atau juga sekelompok individu. Syaratnya : (1) individu atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat; dan (2) individu atau kelompok individu yang berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun juga di atasnya. Jadi sumber hukum menurut Austin, adalah penguasa teringgi yang de facto dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat sementara ia sendiri tidak tunduk pada siapa pun. Dengan demikian,Austin mempertanggungjawabkan validitas hukum dengan merujuk pada asal usul atau sumber yang secara faktual empiris diakui memiliki otoritas untuk menciptakan hukum (Andre Ata Ujan, 2009: 70). Hukum menurut Austin harus dipahami dalam arti perintah karena hukum seharusnya tidak memberi ruang untuk memilih (apakah mematuhi atau tidak mematuhi). Hukum bersifat non optional. Karena itu, mengkritik para penganut teori hukum kodrat Austin menegaskan bahwa hukum bukan setumpuk peraturan atau nasihat moral. Hukum dalam arti terakhir ini tidak punya implikasi hukuman apapun. Ketika hukum tidak lagi dapat dipaksakan , yakni pelanggarannya dikenai hukuman atau sanksi hukum, maka hukum tidak lagi dapat disebut hukum; atau hukum kehilangan esensinya sebagai perintah. Dengan demikian, kepatuhan pada hukum adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar. Menyebut perintah sebagai hukum tetapi dalam praktek tidak dapat ditegakkan melalui penerapan sanksi hukum adalah absurd, karena hukumyang demikian tidak mampu memenuhi fungsi sosialnya sebagai alat kontrol terhadap tingkah laku masyarakat. Padahal, demikian Austin, mengontrol perilaku masyarakat adalah fungsi utama hukum. Dalam arti ini, sebetulnya Austin sepakat dengan Aquinas yang juga melihat hukum sebagai alat kontrol sosial. Akan tetapi, berbeda dengan Aquinas yang melihat hukum tertuma sebagai hasil kerja rasio, Austin justru menekankan watak perintah hukum yang bersumber pada kedaulatan penguasa. Dalam arti ini, pandangan hukum Aquinas lebih lunak dibandingkan dengan pandangan Austin (Thomas Aquinas, Summa Theologica, dalam W.Ebenstein & A. Ebenstein, 1992: 151-158).



Hukum sebagai perintah, menurut Austin, memuat dua elemen dasar. PertamaI, hukum sebagai perintah mengandung pentingnya keinginan, yakni keinginan dari seorang penguasa bahwa seseorang harus melakukan atau menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. Tentu saja, tidak semua keinginan mempunyai kekuatan sebagai hukum. Kalau saya ingin makan, misalnya, keinginan seperti ini pasti bukan hukum sifatnya. Karena itu, keinginan dalam arti hukum memiliki kekhususan, yakni bahwa “pihak yang terkena hukum harus menanggung akibat yang tidak menyenangkan atau membahayakan dari yang lain apabila gagal memenuhi hukum yang berlaku.” Dengan demikian, hukum dalam arti perintah yang mengungkapkan keinginan penguasa pada dasarnya memuat ancaman hukuman bagi siapa pun yang berada di bawah hukum yang berlaku. Karena itu elemen hukum yang kedua ialah bahwa hukum memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang tidak menyenangkan atau bahkan membahayakan subjek yang melanggarnya. Individu yang terkena perintah dengan sendirinya terikat, wajib berada dibawah keharusan untuk melakukan apa yang diperintahkan. Kegagalan memenuhi tuntutan perintah akan berakibat bahwa subjek yang terkena perintah mendapat sanksi hukum (Andre Ata Ujan, 2009: 71). Austin mengungkapkan dua pembedaan besar berkaitan dengan hukum, 1. Hukum Tuhan: hukum yang diciptakan Tuhan untuk makhluk ciptaanNya. Hukum ini merupakan suatu moral hidup manusia dalam arti sejati. 2. Hukum manusia: hukum yang dibuat manusia untuk manusia. Ada dua kategaori hukum yang dibuat manusia yakni:  Hukum yang sebenarnya (properly so called). Hukum ini sebagai superior politik atau dalam melaksanakan hak-hak yang diberikan oleh otoritas politik.  Hukum yang sebenarnya bukan hukum (improperly so called). Hukum ini dibuat oleh manusia tetapi tidak sebagai yang memiliki otoritas politik atau dalam melaksanakan hak yang dimiliki. Hal ini mencakup oleh Austin disebut sebagai hukum-hukum yang ada karena analogi, misalnya aturan-aturan yang menyangkut keanggotaan seseorang dalam kelompok tertentu. Jika mengacu pada apa yang dikatakan oleh Austin maka menurut Huijbers (1995:41) ada dua hal yang patut dicatat: 1. Bidang yuridis mendapat tempat yang terbatas, yaitu menjadi unsur negara. Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah suatu negara. 2. Hukum mengandung arti kemajemukan sebab terdapat beberapa bidang hukum di samping negara, walaupun bidang-bidang itu tidak mempunyai arti hukum dalam arti yang penuh. Hukum dalam arti yang sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari negara dan yang dikukuhkan oleh negara. Hukum-hukum lain dapat disebut hukum, tetapi tidak memiliki arti yuridis yang sesungguhnya. Catatan kritis terhadap konsepsi Austin tentang teori perintah mendapat kritikan antara lain oleh Hans Kelsen dan H.L.A. Hart. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apabila hukum hanya dipahami sebagai perintah, sementara perintah selalu dikaitkan dengan keinginan dan sanksi.



Hans Kelsen, sebagaimana dikutip oleh Murphy dan Coleman sepakat bahwa sanksi memang penting dalam hukum. Perintah sebagai hukum harus memiliki kemampuan memaksa. Meskipun begitu, bagi Kelsen, konsep sanksi bukanlah suatu yang esensial untuk memberi status bagi perintah (Murphy & Coleman, 1990: 21). Menurutnya sanksi hukum hanya relevan dalam konteks hukum pidana (criminal law) tetapi tidak pada jenis hukum lainnya. Apabila konsep sanksi dipaksakan menjadi esensi hukum, demikian Kelsen, maka hukum direduksi menjadi melulu hukum pidna. Padahal disamping hukum pidana masih terdapat hukum perdata (private law) Kritik yang cukup penting diberikan oleh H.L.A Hart terhadap pemikiran Austin. Hart mencatat tiga kelemahan pokok dari teori perintah Austin. Semua kesulitan dalam teori Austin, menurut Hart, terletak pada pandangan Austin yang melihat hukum sebagai emanasi atau jelmaan diri dari penguasa absolut. Pertama, hukum harus memiliki keberlangsungan hukum, tidak boleh tergantung seluruhnya pada person tertentu (Morawetz, 1980: 21-22). Dalam bahasa Morawetz, hukum harus memiliki kemampuan bertahan melampaui person-person yang menciptakannya (transpersonal continuity). Mengasalkan hukum pada pribadi tertentu, dalam hal ini penguasa absolut, akan menimbulkan problem kekosongan hukum ketika yang bersangkutan meninggal dunia. Kedua, hukum seharusnya berlaku bagi segenap anggota masyarakat termasuk penguasa. Dengan menjadikan hukum sebagai jelmaan keinginan penguasa, tidak jelas apakah penguasa sendiri tunduk pada hukum yang berlaku. Teori kedaulatan Austin tidak tegas membuka kemungkinan bagi penguasa untuk tunduk pada hukum buatannya sendiri. Dengan demikian, teori kedaulatan Austin menciptakan, menurut istilah Morawetz, problem of self-limitation karena tidak mudah seorang penguasa memerintah dirinya sendiri. Tentu saja ini membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan penguasa. Ketiga, Austin gagal membedakan dengan tepat konsep “konsep berada di bawah kewajiban” dan “berada di bawah paksaan”. Menurut Hart tunduk pada kewajiban (under a duty) dan dipaksa (being obliged atau being forced) mengikuti kemauan adalah dua hal yang berbeda (H.L.A. Hart, 1972: 47-49). Bertolak dari kritik ini Hart membangun teorinya dengan merujuk bahwa validitas hukum tidak pada individu atau kelompok individu yang berdaulat, melainkan pada sistem. Hukum tidak bergantung pada orang tetapi pada sistem (Lembaga peraturan). Berbekal dengan pikiran analitis serta kejujuran intelektual membawa Austin menjadi seorang guru besar pertama di University of London pada tahun 1826. Adalah Jeremy Bentham yang memperkenalkan Austin ke bidang akademisi yang kemudian ditekuni Austin hingga tahun 1832. Dua tahun sebelum Austin melakukan tugasnya sebagai seorang akademisi, ia menghabiskan waktu di Bonn, Jerman untuk mempelajari studi mengenai hukum kuno Roma. Austin terkesan akan sistem klasifikasi serta metode analisis yang dikembangkan oleh para sarjana Jerman dalam mengkodifikasikan hukum perdata di negaranya tersebut. sebagai seorang perfeksionis, Austin berkeinginan untuk



merancang suatu metode yang memudahkan Ia untuk mendiskusikan berbagai topik yang dapat dengan mudah dipahami oleh mahasiswa-mahasiswanya. Dengan dipengaruhi metode penalaran deduktif dari filsuf Inggris yang terkenal pada abad ketujuh belas, yakni Thomas Hobbes, Austin mulai melirik teori matematika untuk mengembangkan suatu kerangka yang jelas terhadap subyeknya. Hasil dari studi - studi Austin di Bonn diterbutkan dalam bentuk suatu buku yang berjudul The Province of Jurisprudence Determined pada tahun 1832. Dari buku yang diterbitkan inilah, Austin mulai diakui sebagai ahli hukum yang memperkenalkan sistem hukum yang baru, yakni Sistem Positivisme. Di dalam buku ini, Austin berusaha untuk menjelaskan mengenai perbedaan yang berkaitan dengan hukum , yakni : 1. Hukum Tuhan ( Hukum Moral ) adalah hukum yang diciptakan Tuhan untuk manusia yang kemudian bertindak sebagai suatu indikator dalam kehidupan moral manusia. 2. Hukum Manusia adalah hukum yang diciptakan oleh manusia, yang dalam hal ini memiliki kewenangan untuk membuat aturan bagi manusia yang diperintahnya.  Hukum dalam Artian yang sebenarnya, yaitu yang disebut sebagai hukum positif.  Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yaitu hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa yang berdaulat. Analytical Jurisprudence atau rechtsdogmatiek adalah suatu paham dalam ilmu hukum yang dilandasi oleh gerakan Positivisme. Gerakan ini muncul pada abad ke sembilanbelas sebagai counter atas pandangan hukum alam. aliran ini berkembang dengan pesat namun pertengahan abad kesembilanbelas terjadi kegoncangan karena Positivisme dinilai telah gagal dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan moral dan kepercayaan sosial masyarakat. Positivisme dianggap tidak mampu memberikan jawaban atas penyalahgunaan kekuasaan dan pengkebirian hak-hak individu dan kemerdekaan yang mereka miliki. Selanjutnya, Positivisme mengalami kemunduran dan hukum alam mengalami kebangkitan kembali, yang biasa dikenal dengan “Kebangkitan Doktrin Hukum Alam”. Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical Jurisprudence) – John Austin  Command of the Lawgiver  Hukum Sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup. Empat unsur penting sesuatu dikatakan hukum : 1) Perintah (Command) 2) Sanksi (Sanction) 3) Kewajiban (Duty) 4) Kedaulatan (Sovereignty) Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical Jurisprudence)



   



Ajarannya tidak berkaitan dengan penilaian baik dan buruk, sebab penilaian ini berada di luar bidang hukum Apa yang dimaksud dengan kaidah moral, secara yuridis tidak penting bagi hukum walau diakui ada pengaruhnya terhadap masyarakat. Pandangannya bertentangan, baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan mazhab sejarah. Hakikat hukum semata-mata adalah perintah – semua hukum positif merupakan perintah dari penguasa berdaulat.



Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical Jurisprudence)  Masalah kedaulatan tidak perlu dipersoalkan, sebab berada dalam ruang lingkup dunia politik/sosiologi – hendaknya dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan  Ajaran Austin dan aliran hukum positif pada umumnya kurang/tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat