Journal Reading Asma - Herni [PDF]

  • Author / Uploaded
  • herni
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

JOURNAL READING BRONCHIAL ASTHMA



Disusun Oleh : Herni Maulidyah 2015730054



KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SAYANG CIANJUR FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2020



KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan journal reading dengan judul “Bronchial Asthma”. Journal reading ini penulis ajukan sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan kepanitraan klinik stase Penyakit Dalam di Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Jakarta. Penulis



menyadari



journal



reading



ini



masih



jauh



dari



kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan guna perbaikan laporan selanjutnya. Atas selesainya laporan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dokter yang telah memberikan persetujuan dan pembimbingan. Semoga laporan ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi penulis dan para pembaca.



Jakarta, April 2020



Penulis



Japanese Guidelines for Adult Asthma 2017  Definisi Journal: Asma bronkial pada dewasa ditandai dengan peradangan jalan napas kronis, secara kinis menunjukkan penyempitan jalan napas (terdapat mengi dan sesak) dan batuk. Penyempitan jalan napas bersifat reversibel, berasal dari peradangan jalan napas dan hiperresponsif. PDPI (2004): Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan betuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.  Etiologi Journal: Etiologi asma adalah multifaktorial dan gejalanya sangat bervariasi diantara pasien. Banyak pasien yang atopik, memiliki alergi terhadap paparan di lingkungan sekitarnya. PDPI (2004): Disebabkan karena adanya faktor-faktor risiko lingkungan yang menjadi pencetus seperti debu, asap rokok, polusi udara, diet, status sosioekonomi. Dan dapat berupa alergen, virus, jamur, iritan dan juga berbagai faktor lain. Termasuk adanya faktor genetik, atopik, hiperaktivitas bronkus.  Patofisiologi Journal: Analisis patologis pada asma menunjukkan peradangan saluran napas kronis disertai oleh infiltrasi sel-sel proinflamasi seperti eosinofil, limfosit, sel mast, dan yang lainnya, dan dengan melepaskan sel epitel saluran napas. Beberapa pasien asma menunjukkan peradangan saluran napas, dominan melibatkan neutrofil. Peradangan yang



berlangsung lama akan merusak saluran udara, dan menginduksi renovasi saluran udara, melibatkan fibrosis subepitel dibawah membran dasar, hipertrofi otot halus, dan hiperplasia kelenjar submukosa. Ini menghasilkan asma yang tidak terobati, menyajikan limitasi aliran udara yang ireversibel dan hiperresponsif jalan napas persisten. PDPI (2004): Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel. Pada PDPI reaksi inflamasi terbagi menjadi akut dan kronik. Pada inflamasi akut terdapat beberapa tipe, yaitu reaksi asma tipe cepat dan reaksi asma tipe lambat. 



Reaksi asma tipe cepat Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.







Reaksi asma tipe lambat Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengarahan serta antivitas eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.



Sedangkan pada inflamasi kronik, tedapat berbagai sel terlibat dan teraktivasi. 



Limfosit T Yang berperan dalam asma adalah limfosit T-CD4+ (subtipe Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF. IL-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dengan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensistesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.







Epitel Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan antara lain 15-HETE, PGE2 pada penderita asma.







Eosinofil



Eosinofil jaringan karakterisitik untuk asma tetapi tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. 



Sel Mast Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.







Makrofag Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling.



 Diagnosis Journal: Secara umum, diagnosis klinis asma didasarkan pada hal-hal berikut: 1. Gejala berulang, seperti paroksismal dispnea, mengi, sesak dada, dan batuk Gejala asma sering terjadi pada malam hari dan pada awal pagi hari. Eksaserbasi berulang terjadi di tengah interval bebas gejala dan berkembang bahkan saat istirahat. Pasien dengan asma mungkin mengalami dispnea selama berolahraga dan saat melakukan susah payah kerja. 2. Reversibel pembatasan aliran udara Mengi dan dispnea selama serangan disebabkan oleh keterbatasan saluran napas yang reversibel, yang terjadi secara difus diseluruh saluran udara dan berkisar dari yang ringan sampai berat. Dengan keterbatasan yang ringan dapat diditeksi hanya dengan tes fungsi pernapasan, sementara dalam bentuknya yang parah, itu bisa menginduksi eksaserbasi yang hampir fatal. Puncak aliran ekspresi (PEF) dan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1). 3. Hiperesponsif jalan napas Rangsangan yang lema menyebabkan jalan napas berkontraksi, bahkan rangsangan pada individu yang sehat tidak menunjukkan respons. 4. Atopik Antibodi IgE Spesifik terhadap berbagai alergen lingkungan menunjukkan keadaan atopik. 5. Peradangan jalan napas



6. Penyisihan penyakit kardiopulmonar lainnya (diagnosis banding) Point 1,2,3, dan 6 penting untuk diagnosis Point 4 dan 5, dalam kombinasi dengan gejala, mendukung diagnosis asma Point 5 biasanya menunjukkan eosinifilia PDPI (2004): Pada PDPI dikatakan bahwa dapat dilakukan anamnesis yang baik untuk menegakkan diagnosis dan dilihat dari riwayat penyakit / gejala. 



Riwayat pernyakit / gejala: -



Bersifat episodik, dapat sembuh tanpa pengobatan



-



Batuk dapat berdahak, sesak napas, dada terasa berat



-



Gejala dapat memburuk pada malam hari / dini hari



-



Disebabkan karena adanya faktor pencetus pada tiap individu



-



Merespon dengan pemberian bronkodilator



Hal lain yang dapat dijadikan pertimbangan: -



Riwayat keluarga (atopi)



-



Riwayat alergi



-



Penyakit lain yang dapat memperberat



-



Perkembangan penyakit dan pengobatan.



Dapat dilakukan uji faal paru dengan menggunakan spirometri, arus puncak ekspirasi (APE). Dapat juga melakukan uji lain untuk menegakkan diagnosis seperti uji provokasi bronkus, pengukuran status alergi. Dan memperhatikan diagnosis banding.  Klasifikasi Journal: Tingkat keparahan asma Keparahan Gejala asma



Frekuensi



Intermiten



Persisten



Persisten



Persisten



ringan



ringan



sedang



parah



< 1x/ minggu



1x atau > /



Setiap hari



Setiap hari



minggu, tidak setiap hari



Intensitas



Gejala saat



Ringan dan



Mengganggu



Mengganggu



Mengganggu



singkat



kegiatan harian



kegiatan harian



kegiatan sehari-



atau tidur min.



atau tidur min.



hari



1x dalam



1x dalam



sebulan



seminggu



2x atau > /



1x atau > /



bulan



minggu



≥ 80%



≥ 80%



≥ 60%, < 80%



< 60%



< 20%



20-30%



> 30%



> 30%



< 2 / bulan



malam PEF



%FEV1,



Sering



%PEF FEV1



Variasi diurnal dari PEF



PDPI (2004): Dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya, tingkat keparahan penyakit, dan pola keterbatasan aliran udara.



 Tatalaksana Journal: Agen asma terdiri dari 2 jenis obat yaitu obat jangka panjang (sebagai pengontrol) dan sebagai pereda yang digunakan dalam jangka pendek untuk mengobati gejala asma. Obat diberikan secara oral, inhalasi, injeksi (infus, subkutan, atau intramuskular) atau patch kulit. 



Agen obat untuk manajemen jangka panjang (kontroler) Dianggap dapat mengurangi dan menghilangkan gejala asma dan menormalkan serta merawat untuk mempertahankan fungsi pernapasan. 1. Kortikostreoid: Antiinflamasi yang paling penting dan efektif diantara agen lainnya. Obat ini bekerja sebagai penghambat sel radang ke paru-paru dan saluran udara, mengurangi permeabilitas pembuluh darah, mengurangi sekresi pada jalan napas, menghambat hiperesponsif jalan napas, menghambat produksi sitokin, dan sebagainya. 2. β 2 agonis (long acting):



β 2 agonis mengikat β 2 reseptor pada otot polos jalan napas, sehingga menjadi lebih relax. Obat ini merupakan bronkodilator yang ampuh untuk mengurangi atau menghilangkan lendir pada jalan napas dan mengaktifkan epitel silia. 3. Kombinasi ICS dan LABA inhalasi: Inhalasi kombinasi ICS dan LABA lebih efektif daripada inhalasi terpisah. Terdapat keuntungan dalam penggunaan obat ini seperti jumlah inhalasi dapat kurangi, kepatuhan yang sangat baik dapat dicapai. 4. Antagonis reseptor leukotrin (LTRAs): Obat ini memiliki aksi bronkodilator dan menghambat peradangan jalan napas, menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan. 5. Rilis berkelanjutan dari teofilin: Merupakan bronkodilator untuk jangka panjang. Secara klinis sedikit lebih efektif daripada ICS. 6. LAMA (long acting muscarinic receptor antagonist): Lebih sering digunakan pada pasien PPOK dan inhaler dapat digunakan untuk perawatan asma. Namun harus dikombinasi dengan ICS untuk perawatan jangka panjang. 7. Antibodi anti-IgE: Digunakan pada pasien dengan gejala asma yang tidak stabil, bahkan setelah diberikan ICS dosis tinggi dan ditambah lebih dari 1 agen pengontrol; bagi mereka yang positif terkena antigen menetap yang terhirup seperti debu. 8. Anti-alergi lain selain LTRA: Dikategorikan sebagai penekan pelepas mediator, histamin H1-antagonis, inhibitor thromboxane A2, inhibitor Th2 sitokin. 9. Agen terapi lain: -



Bronchial thermoplasty (BT): intervensi baru untuk asma berat.



-



Imunoterapi alergen: merupakan strategi terapi yang menginduksi toleransi imun oleh pemberian antigen spesifik untuk penderita asma karena alergi.







Agen pereda 1. Short acting β agonis (SABA) 2. Kortikosteroid oral 3. Teofilin 4. Short acting muscuranic receptor antagonis (SAMA)



Empat langkah perawatan untuk asma: a) Langkah 1: Satu atau tidak ada agen pengontrol ditambah agen pereda. SABA hanya dapat diberikan pada pasien yang jarang terjadi gejala asma tanpa pengontrol, dan tidak ada agen yang dibutuhkan untuk perawatan jangka panjang. Untuk pasien yang mengalami gejala sekali



atau lebih dalam sebulan, dapat diberikan ICS sebagai pengontrol. Jika ICS tidak dapat digunakan, dapat diberikan LTRA atau pelepasan berkelanjutan dari teofilin. b) Langkah 2: Dua agen pengontrol ditambah agen pereda. Selain ICS, direkomendasikan penggunaan LABA. Jika LABA tidak dapat digunakan maka dapat diganti dengan LTRA atau pelepasan berkelanjutan dari teofilin. c) Langkah 3: Dua atau lebih agen pengontrol ditambah agen pereda. Direkomendasikan penggunaan LABA. Jika belum efektif, LTRA, teofilin rilis berkelanjutan, atau LAMA harus digunakan. d) Langkah 4: Agen pengontrol ditambah terapi tambahan ditambah agen pereda. Selain ICS dalam dosis tinggi ditambah LABA, LTRA, teofilin rilis berkelanjutan, dan / atau LAMA dapat digunakan. Pada pasien khusus, antibodi antigen-IgE (omalizumab) efektif digunakan.







Manajemen untuk eksaserbasi aku: 1. Short acting β 2 agonis (SABA) inhalasi: Merupakan obat lini pertama untuk penanganan eksaserbasi akut. SABA dapat dihirup setiap 20 menit untuk jam pertama dan selanjutnya setiap jam sampai gejala berkurang. 2. Kortikosteroid: Direkomendasikan jika bronkodilator tidak efektif, eksaserbasi sedang atau berat, atau yang sudah diobati dengan steroid. Dosis awal dapat diberikan hidrokortison 200-500 mg atau metilprednisolon 40-125 mg, diikuti oleh infus berikutnya hidrokortison 100-200 mg tau metilprednisolon 40-80 mg setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan. 3. Oksigen: Diberikan pada pasien dengan SpO2 < 95% (Pa O2 < 80 mmHg) atau dengan gejala yang menunjukkan adanya hipoksemia (siaonosis, dispnea atau takipnea.) 4. Teofilin: Untuk pemberian awal, 6 mg/kg aminofilin dalam 200-250 mL cairan isotonik diberikan dengan cara infus selama 1 jam. 5. Antikolinergik inhalasi: Jika SABA tidak efektif, pemberian antikolinergik dapat dipertimbangkan. 6. Injeksi adrenalin secara subkutan: Diberikan bila setelah pemberian β 2 agonis inhalasi tidak menunjukkan perbaikan. 7. Antibiotik: Jika diduga infeksi bakteri.



8. Penggantian cairan: Dilakukan untuk dehidrasi. 9. Analgesik: Untuk eksaserbasi berat tidak dianjurkan karena dapat memperburuk kondisi pernapasannya. PDPI (2004): 



Pada perencanaan pengobatan dalam jangka panjang Ini bertujuan untuk mengontrol penyakit, yang disebut asma terkontrol. Diberikan



obat



pengontrol,



diberikan



setiap



hari



untuk



mencapai



dan



mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Adapun obat yang termasuk obat pengontrol: -



Kortikosteroid inhalasi



-



Kortikosteroid sistemik



-



Sodium kromoglikat



-



Nedokromil sodium



-



Metilsatin



-



Agonis β 2 kerja lama, inhalasi



-



Agonis β 2 kerja lama, oral



-



Leukotrien modifiers



-



Antihistamin generasi ke-2



-



Lain-lain







Obat pelega Memiliki kerja untuk merelaksasikan otot polos, memperbaiki dan / menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut. Adapun obat yang termasuk pelega: -



Agonis β 2 kerja singkat



-



Kortikosteroid sistemik



-



Antikolinergik



-



Aminofilin



-



Adrenalin



Pada penatalaksanaan berdasarkan guideline yang digunakan di Jepang dan PDPI tidak ditemukan perbedaan yang spesifik.



DAFTAR PUSTAKA 1. Ichinose Masakazu, dkk. Allergology International.2017. Diakses dari: http:// dx.doi.org/10.1016/j.alit.2016.12.005 2. ASMA Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004