Journal Reading Laryngopharyngeal Reflux [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Journal Reading



Laryngopharyngeal Reflux: A State-of-the-Art Algorithm Management for Primary Care Physicians Oleh : Lathifah Laila Ulfa NIM. 1930912320115



Pembimbing : dr. Rina Desdwi Utami Sutarinda, Sp.THT-KL



BAGIAN/SMF ILMU THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN BANJARMASIN Oktober, 2021



2



Abstrak Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah penyakit yang biasa dijumpai dengan gejala akut ataupun kronis. LPR sering salah didiagnosis pada pelayanan primer karena kurangnya gejala khas gastroesofageal reflux disease (GERD) dan temuan pada endoskopi. Bergantung pada spesialisasi dan pengalaman dokter, mungkin dalam diagnosis LPR akan ada over atau under diagnosis. Manajemen LPR berpotensi optimal dalam pelayanan primer selama Dokter Umum menyadari "red flags" yang akan menentukan rujukan ke Gastroenterologis atau Otolaringologis. Penggunaan hasil kuesioner yang dilaporkan pasien dan pertimbangan beberapa cara mudah untuk mendiagnosis LPR tanpa instrumen khusus, temuan orofaringeal dapat membantu dokter umum untuk mendiagnosis dan mengelola LPR. Dalam hal ini, kami menyediakan algoritme praktis untuk manajemen LPR untuk dokter umum dan spesialis lain yang tidak dapat melakukan mengekslusi



pemeriksaan beberapa



fiberoptic. Dalam kondisi seperti



algoritma



alergi



atau



ini, dokter harus penyebab



lain



dari



faringolaringitis dan “red flags”. Dalam menejemen pasien mungkin mereka akan meresepkan pengobatan empiris berdasarkan diet dan perubahan gaya hidup dengan atau tanpa obat, tergantung pada tingkat keparahan gejala. Proton pump inhibitorss dan alginat tetap menjadi pilihan populer untuk melindungi mukosa saluran aerodigestif bagian atas dari kejadian refluks faring asam, asam lemah, dan basa.



3 Kata kunci: refluks; laringofaring; gastroesofageal; faskes primer; dokter; menejemen umum; terapi; diagnosis 1. Definisi Pada tahun 2002, American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery mendefinisikan Laryngopharyngeal Reflux (LPR) sebagai aliran balik isi lambung ke dalam laringofaring. Definisi LPR ini baru-baru ini dianggap tidak sempurna karena iritasi dari LPR karena pepsin, garam empedu dan protein gastroduodenal lainnya tidak hanya melibatkan mukosa laringofaring tetapi meluas ke semua mukosa saluran aerodigestif bagian atas. LPR sering terlibat dalam perkembangan berbagai kondisi laring, rinologis dan otologis. Saat ini, LPR dapat didefinisikan sebagai kondisi inflamasi pada jaringan saluran aerodigestif bagian atas yang berhubungan dengan efek langsung dan tidak langsung dari refluks isi lambung atau duodenum, yang menginduksi perubahan morfologi pada saluran aerodigestif bagian atas. Dalam praktiknya, kami dapat mempertimbangkan dua jenis LPR menurut evolusi keluhan selama periode terapi atau non terapi: LPR akut dan kronis. LPR akut dapat terdiri dari perkembangan LPR sporadis, yang merespon dengan baik dengan pengobatan yang memadai. Pasien dengan LPR akut tidak memiliki gejala kronis. LPR kronis dapat menjadi perhatian pada pasien dengan perjalanan kronis dari gejala LPR dengan kurangnya atau tidak adanya respon terapeutik atau gejala yang sering berulang dari waktu ke waktu (>2 episode per tahun) yang memerlukan percobaan terapi berulang. Pada keduanya, LPR dapat didiagnosis dengan pengujian objektif atau pengobatan empiris.



4 Jurnal ini bertujuan untuk meninjau literatur terkini tentang epidemiologi, diagnosis, dan pengobatan LPR. Berdasarkan temuan literatur terbaru, kami bertujuan untuk menyajikan temuan praktis dan algoritma klinis untuk nonotolaryngologis dan dokter pelayanan primer untuk mengelola LPR. 2. Epidemiologi 2.1 Prevalensi dan Insidensi Pada LPR, pemantauan hypopharyngeal-esophageal intraluminal impedancepH (HEMII-pH) dianggap sebagai gold standard. Sampai saat ini, tidak ada penelitian yang mengevaluasi prevalensi atau kejadian LPR dengan HEMII-pH pada populasi umum atau di klinik rawat jalan Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT). Pada tahun 1991, Jamie Koufman memperkirakan kejadian LPR 10% dari klinik rawat jalan THT. Koufman menemukan bahwa 30% pasien telah menunjukkan kejadian refluks faring asam berdasarkan pemantauan dual-probe pH. Pada saat yang sama, Gaynor mengevaluasi bahwa 1% pasien yang mengunjungi dokter pelayanan primer memiliki gejala yang mengarah ke LPR, tetapi tidak ada penunjang yang dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Prevalensi gejala terkait LPR pada populasi umum dievaluasi dalam penelitian lain melalui hasil kuesioner yang dilaporkan berkisar antara 5 hingga 30% kasus. Berdasarkan variasi geografis, pola makan dan gaya hidup, diperkirakan gejala LPR dapat ditemukan pada 5 sampai 30%. 2.2 Apakah LPR over atau under diagnosis ?



5 LPR sering dianggap over atau under diagnosis. Dalam praktek, karena gejala dan temuannya tidak spesifik, deteksi LPR masih rumit. Menurut beberapa laporan, LPR akan terdiagnosis secara berlebihan, terutama sebagai penyebab suara serak. Dalam review grafik dari 105 pasien klinik suara, Thomas dkk. mengamati bahwa disfonia sering salah dikaitkan dengan LPR pada pasien dengan kelainan pita suara yang tidak tampak. Sebaliknya, beberapa dokter percaya bahwa LPR terlalu over diagnosis. Dalam makalah baru-baru ini, Frazer-Kirk mengingatkan kita bahwa LPR adalah penyebab umum dari gangguan saluran aerodigestif atas tetapi mungkin kurang terdiagnosis karena kurangnya kesadaran akan perbedaan klinis antara GERD dan LPR. Dalam praktiknya, risiko diagnosis LPR yang berlebihan atau kurang bergantung pada banyak faktor, termasuk pengalaman dan pengetahuan tentang gejala dan temuan LPR, keahlian dokter dan tentu saja, metode diagnostik. Secara umum diakui bahwa evaluasi berlebihan dari tanda dan gejala LPR mungkin bertanggung jawab atas diagnosis yang berlebihan, yang memperkuat kebutuhan untuk mendasarkan diagnosis pada pendekatan yang seobjektif mungkin.



3. Patofisiologi 3.1 LPR bukan GERD dan GERD bukan LPR Banyak praktisi biasanya percaya bahwa "jika pasien tidak memiliki gejala heartburn atau GERD, maka bukan LPR". Beberapa penelitian menunjukkan bahwa LPR bukanlah perpanjangan dari refluk esofagus bagian bawah ke saluran aerodigestif bagian atas. Kriteria Montreal mendefinisikan GERD sebagai suatu kondisi yang berkembang ketika refluks isi lambung menyebabkan gejala yang mengganggu dan/atau komplikasi seperti esofagitis. Diagnosis dapat dianalisa dengan pH yang, menurut Johnson DeMeester, harus melaporkan lamanya waktu



6 >4.0% dari 24 jam yang terekam dengan pH di bawah 4.0 atau skor DeMeester >14.72. Dalam prakteknya, pasien dengan LPR mungkin tidak mengalami heartburn, esofagitis dan mereka biasanya tidak memenuhi kriteria diagnosis GERD pada pemeriksaan pH. Diasumsikan bahwa 50% pasien LPR menderita GERD, sedangkan keluhan laringofaring terdapat pada 32,8% pasien GERD. Pasien LPR terutama memiliki kejadian refluks gas, pada posisi tegak dan saat siang hari, dan hanya 5,5% dari kejadian refluks faring yang terjadi pada malam hari dan posisi berbaring. Endoskopi gastrointestinal mungkin normal pada lebih dari 44% kasus dan dapat memperlihatkan adanya esofagitis pada 10 hingga 30% pasien LPR, sedangkan esofagitis erosif ditemukan pada hampir 50% pasien GERD. Metaplasia Barrett masih jarang pada pasien LPR. Namun, pasien dengan metaplasia Barrett memiliki tingkat LPR yang lebih tinggi dibandingkan dengan esofagitis erosif ringan. Lainnya mengamati bahwa pasien dengan esofagitis memiliki temuan LPR pada 24% kasus. Ada korelasi antara keparahan GERD dan perkembangan LPR. Tidak ada kriteria yang diterima secara universal untuk definisi LPR, meskipun beberapa penulis setuju untuk memiliki lebih dari satu asam, asam lemah atau basa faring pada episode refluks dengan HEMII-pH. 3.2 Patogenesis dan Patofisiologi (Saya Pikir Seluruh Paragraf ini Dapat Dihilangkan) Banyak Area Abu-abu Patofisiologi LPR masih belum sepenuhnya dipahami. Empat bidang penelitian utama masih belum diteliti. Pertama, sebagian besar penelitian berfokus pada pepsin, tetapi enzim lain dapat memainkan peran kunci dalam terjadinya



7 reaksi inflamasi mukosa. Beberapa penelitian mendukung refluks garam empedu tanpa memberikan kesimpulan yang jelas tentang tempat garam empedu dalam proses inflamasi. Kedua, stres dan disfungsi saraf otonom mungkin terlibat dalam terjadinya LPR. Disregulasi saraf otonom dapat menyebabkan peningkatan pembukaan spingter esofagal bawah dan atas, dan kejadian refluks terkait faring. Saat ini, hanya sedikit penulis yang mengidentifikasi bahwa pasien LPR memiliki disfungsi saraf otonom, kecemasan atau stres. Ketiga, mikrobiota laringofaringeal penting untuk homeostasis saluran aerodigestif bagian atas. Sedangkan untuk saluran pencernaan bagian bawah, bakteri memiliki peran penting dalam peradangan dan regenerasi mukosa melalui pelepasan molekul anti-inflamasi lokal. Saat ini, peran mikrobiota pada LPR dan refluks gastroduodenal masih belum diketahui. Meskipunbegitu topik ini, tetap dipelajari untuk GERD, metaplasia dan mikrobiota esofagus, yang memberikan temuan menarik seperti perubahan mikrobiota oleh karena terapi PPI panjang. Keempat, pasien dengan fitur HEMII-pH yang serupa mungkin tidak menunjukkan gambaran klinis yang serupa. Perbedaan antar individu dalam sensitivitas mukosa laringofaring mungkin merupakan salah satu faktor terpenting yang mendasari perbedaan klinis ini. Sampai saat ini, kondisi hipersensitivitas laringofaring kurang dipelajari pada penyakit LPR. 4. Gambaran Klinis Gejala Gejala yang paling umum terkait dengan LPR adalah sensasi mengganjal pada tenggorokan, berdeham, suara serak, lendir tenggorokan berlebih atau postnasal



8 drip. Gejala-gejala ini, yang umumnya terlihat pada pengobatan pelayanan primer, tidak spesifik dan mungkin dikaitkan dengan alergi laringofaringeal, rinitis, rinosinusitis kronis, merokok, penyalahgunaan alkohol dan infeksi laringofaring. Dengan kata lain, sulit untuk mendiagnosis LPR hanya berdasarkan gejala. Belafsky dkk pada tahun 2001 mengembangkan reflux symptom index (RSI). RSI adalah kuesioner pasien dengan sembilan item yang menilai tingkat keparahan gejala. RSI>13 diidentifikasi sebagai sugestif LPR. Rata-rata kelemahan RSI adalah kurangnya pertimbangan beberapa gejala umum, seperti sakit tenggorokan, odynophagia, halitosis atau regurgitasi, dan kurangnya pertimbangan frekuensi gejala. Untuk alasan ini, reflux symptom score (RSS), baru-baru ini dikembangkan yang merupakan kuesioner dengan 22 item. RSS mempertimbangkan gejala otolaringologi, pencernaan dan pernapasan yang paling sering dan mengevaluasi frekuensi gejala, tingkat keparahan dan dampak potensial pada kualitas hidup. Pasien mengisi RSS dalam 1 hingga 2 menit, yang dapat dianggap sebagai waktu yang lama bagi dokter. Dengan alasan ini, berdasarkan temuan paling sering dan relevan yang diidentifikasi dalam studi kohort besar menggunakan RSS, versi pendek RSS, RSS-12, dikembangkan. RSS-12 terdiri dari 12 item klinis yang menilai frekuensi dan keparahan terkait gejala LPR yang paling umum serta dampaknya terhadap kualitas hidup (Tabel 1). RSS dan RSS-12 melaporkan sifat diskriminatif yang lebih baik daripada RSI. RSS-12 >11 merupakan LPR dan merupakan alat klinis praktis yang dapat digunakan dalam pengobatan umum untuk memantau evolusi gejala selama terapi. Untuk pasien dengan keluhan pencernaan, penggunaan RSS, mencakup item pencernaan.



9 Tabel 1. Reflux Symtomp Score-12 Reflux Symptom Score-12 Dalam sebulan terakhir, saya menderita satu/beberapa gejala yang diikuti Tingkat keparahan: 0 = masalah tidak parah, 5 = masalah yang sangat mengganggu ketika terjadi Frekuensi: 0 = Saya tidak memiliki keluhan ini selama sebulan terakhir, 1;2;3 ;4 = Saya memiliki 1-2;2-3;3-4;4-5 mingguan selama sebulan terakhir; 5 = keluhan terjadi setiap hari Dampak Frekuensi Keparahan kualitas Hidup Gangguan THT Skor total Skor total 1. Suara serak atau masalah suara 0-1-2-3-4-5 0-1-2-3-4-5 …………… 0-1-2-3-4-5 …………… 2. Sakit tenggorokan atau nyeri saat 0-1-2-3-4-5 0-1-2-3-4-5 …………… 0-1-2-3-4-5 …………… menelan 3. Kesulitan menelan (pil, cairan atau 0-1-2-3-4-5 0-1-2-3-4-5 …………… 0-1-2-3-4-5 …………… makanan padat) 4. Berdeham (upaya membersihkan 0-1-2-3-4-5 0-1-2-3-4-5 …………… 0-1-2-3-4-5 …………… tenggorokan) 5. Sensasi ada sesuatu yang tersangkut di 0-1-2-3-4-5 0-1-2-3-4-5 …………… 0-1-2-3-4-5 …………… tenggorokan 6. Kelebihan lendir di tenggorokan 0-1-2-3-4-5 0-1-2-3-4-5 …………… 0-1-2-3-4-5 …………… dan/atau sensasi postnasal drip 7. Bau mulut 0-1-2-3-4-5 0-1-2-3-4-5 …………… 0-1-2-3-4-5 …………… 8. Mulas, asam lambung naik, 0-1-2-3-4-5 0-1-2-3-4-5 …………… 0-1-2-3-4-5 …………… regurgitasi, bersendawa atau mual 9. Sakit perut atau diare 0-1-2-3-4-5 0-1-2-3-4-5 …………… 0-1-2-3-4-5 …………… 10. Gangguan pencernaan, distensi 0-1-2-3-4-5 0-1-2-3-4-5 …………… 0-1-2-3-4-5 …………… abdomen dan/atau flatus 11. Batuk (bukan hanya membersihkan tenggorokan 0-1-2-3-4-5 0-1-2-3-4-5 …………… 0-1-2-3-4-5 …………… 12. Kesulitan bernapas, sesak napas atau mengi 0-1-2-3-4-5 0-1-2-3-4-5 …………… 0-1-2-3-4-5 …………… Skor total RSS …………………



Skor kualitas hidup ……



Item keparahan (5-point) dikalikan dengan frekuensi (5 poin) untuk mendapatkan skor gejala (0-25). Jumlah tersebut dihitung untuk mendapatkan skor akhir RSS-12 (0-300). RSS-12>11 adalah sugestif dari Laryngopharyngeal Reflux (LPR) dan menunjukkan sensitivitas tinggi (94,5%) dan spesifisitas (86,2%).



5. Temuan Temuan yang paling umum berhubungan dengan LPR ialah termasuk hipertrofi komisura posterior, eritema aritenoid dan eritema pilar orofaringeal dan anterior. Adapun gejala, mungkin ada perbedaan antara prevalensi dan pemikiran dokter. Pada tahun 2001, Belafsky dkk. mengembangkan reflux finding score (RFS) yang menilai temuan laring terkait dengan LPR. RFS berfokus pada temuan pada laring dan tidak mempertimbangkan temuan pada ekstra laring. Keandalan penilaian RFS rendah, terutama mengenai tanda non- spesifik, yang membatasi penilaian antara otolaryngologis. Seperti yang dilaporkan oleh Hicks dkk., beberapa temuan terkait LPR dapat ditemukan pada individu normal. Untuk



mengatasi



kelemahan



RFS



dan



kurangnya



instrumen



klinis



yang



mempertimbangkan temuan pada laring dan ekstra laring, dikembangkanlah reflux sign



10 assessment (RSA) (Lampiran A). RSA adalah instrumen dengan 16 item klinis yang menilai temuan laring dan ekstra laring pada LPR. RSA mungkin lebih baik daripada RFS, karena mengidentifikasi tanda-tanda orofaringeal dan oral yang sering dikaitkan dengan LPR. Pasien LPR memiliki prevalensi yang signifikan tinggi dengan temuan eritema pilar anterior, coated tougue, eritema pada uvula dan dinding posterior orofaringeal dibandingkan dengan orang sehat. Tanda-tanda ini dapat dengan mudah dilihat oleh dokter pelayanan primer dan mungkin berguna untuk diagnosis dan tindak lanjut pasca perawatan (Gambar 1). Namun, dokter pelayanan primer harus mengingat bahwa penilaian temuan masih subjektif yang mendukung bahwa evaluasi sebelum dan sesudah perawatan perlu dilakukan oleh dokter yang sama.



Gambar 1. Temuan Oral dan Orofaringeal pada LPR. Faring eritem (A), eritema pilar anterior (A,B) dan eritema uvula (B) adalah tanda yang mudah diidentifikasi dalam praktik pelayanan primer (1,2) yang mencakup 89,5, 91,0 dan 54% kasus. Coated tongue (C) ditemukan pada 49,4% pasien dan dapat membaik secara signifikan melalui pengobatan (D). Namun, dokter pelayanan primer harus mengingat bahwa beberapa pasien mengalami perbaikan gejala yang signifikan tetapi tanda-tanda ini dapat bertahan dari waktu ke waktu.



11 6. Red Flags untuk Dokter Umum 6.1 Kapan Harus Merujuk Pasien LPR ke Otolaryngologist? Karena dokter umum sering kali menjadi dokter lini pertama, mereka harus dapat mengenali gejala red flags tertentu untuk rujukan ke spesialis. Gejala atau temuan LPR pada perokok dan peminum alkohol memerlukan rujukan ke THT untuk laringoskopi fiberoptic untuk menyingkirkan keganasan. Gejala seperti disfonia, dispnea, hemoptisis, kelenjar leher, penurunan berat badan dan otalgia yang sangat penting untuk dirujuk. Harus dibedakan nyeri telinga atau tenggorokan yang berhubungan dengan LPR dari nyeri telinga atau tenggorokan dalam konteks yang dicurigai keganasan. Selain itu, semua dokter harus ingat bahwa pasien yang mengikuti diet anti refluks sering kali mengalami penurunan berat badan. Penting untuk diingat bahwa pada pasien dengan riwayat kemoterapi/radiasi, fungsi kelenjar ludah dan hidrasi mukosa saluran aerodigestif bagian atas dapat terganggu. Namun, perkembangan gejala baru atau gejala yang tidak biasa pada pasien dengan riwayat kanker kepala dan leher atau radiasi dapat dianggap sebagai tanda bahaya lainnya. Beberapa laporan mendukung bahwa peradangan mukosa yang berhubungan dengan refluks dapat menyebabkan disfagia dan aspirasi, terutama pada pasien usia lanjut yang menderita presbifagia. Pasien-pasien ini dapat mengambil manfaat dari konsultasi telinga, hidung dan tenggorokan untuk mengidentifikasi terjadinya aspirasi dan untuk mencegah risiko terkait pneumonia.



6.2 Kapan Harus Merujuk Pasien LPR ke Ahli Gastroenterologi?



12 Mayoritas ahli gastroenterologi biasanya menangani pasien LPR yang mungkin memiliki gejala gastrointestinal (GI) dan LPR. Beberapa kondisi harus dianggap sebagai tanda bahaya dan mungkin memerlukan pemeriksaan GI. Karena LPR, GERD berat, esofagitis, dan metaplasia Barrett kadang-kadang terkait, pasien LPR dengan heartburn atau nyeri dada non-cardiac harus menjalani endoskopi GI. Identifikasi red flags ini, bagaimanapun, lebih rumit pada pasien usia lanjut yang mungkin memiliki esofagitis atau metaplasia Barrett tanpa gejala. Dalam hal ini, gejala kronis pada pasien >50 tahun harus dievaluasi oleh spesialis. Terjadinya regurgitasi berulang, hipersalivasi, penurunan berat badan atau perdarahan GI adalah tanda bahaya lain yang mendukung realisasi endoskopi GI untuk menyingkirkan lesi esofagus, dismotilitas, divertikulum Zenker atau penyakit dismotilitas lainnya. Pasien tanpa respon terhadap pengobatan empiris dengan PPI dan alginat dan mereka yang memiliki riwayat keluarga kanker GI atas juga harus dievaluasi di gastroenterologi. Tanda bahaya utama yang harus ditangani di THT pasien atau gastroenterologi dirangkum dalam Tabel 2. Tabel 2. Red Flags untuk Merujuk Ke Spesialis Terkait 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Red Flag yang Mendukung untuk Merujuk Pasien Ke Otolaringologis Gastroenterologis Timbulnya gejala pada 1. Gejala termasuk heartburn dan nyeri peminum/perokok. dada Gejala pada pasien dengan riwayat 2. Gejala termasuk disfagia parah, kegananasan kepala leher hipersalivasi, atau muntah Gejala dengan nodul pada leher > 3 3. Riwayat atau adanya metaplasia Barret minggu yang tidak diobati Penurunan berat badan tanpa diet dan 4. Gejala kronis pada pasien usia > 50 perubahan lifestyle tahun Aspirasi dan infesi paru 5. Penurnan berat badan yang tidak Disfonia yang parah pada profesional disengaja > 5% atau pasien dengan disfonia >3 6. Kekurangan zat besi yang tidak dapat minggu dijelaskan Hemoptisis atau dispnea 7. Perdarahan gastrointestinal



13 8. Didapatkan limfadenopati leher 9. RPK dengan kanker digestif 10.Tidak berespon dengan terapi empiris



7. Uji Tambahan HEMII-pH mendeteksi pergerakan bolus esofagus dengan mengukur perubahan tahanan listrik dan dapat mengukur pH refluksat dari esofagus ke faring. HEMII-pH biasanya ditoleransi dengan baik dan hemat biaya. Indikasi HEMII-pH tidak memilki standar. HEMII-pH sering digunakan pada pasien tidak berespon dengan percobaan terapi empiris atau mereka dengan banyak faktor perancu (alergi, rinosinusitis kronis, dll). Penggunaan HEMII-pH pada pasien dengan gejala LPR sedang hingga berat semakin dianggap sebagai pendekatan yang hemat biaya karena memungkinkan resep pengobatan yang sesuai individu dengan mempertimbangkan fitur LPR (asam, asam lemah atau basa; posisi tegak/siang hari versus terlentang /malam hari). Pengobatan tersebut dikaitkan dengan hasil yang baik, kemungkinan untuk mengurangi dosis obat selama pengobatan dan penyapihan obat pada 3 sampai 9 bulan. Kejadian di dalam faring dapat dideteksi dengan studi pH orofaringeal menggunakan sensor pH unik ke dalam faring (Restech®, Respiratory Technology Corp. San Diego, USA). Alat ini mudah digunakan, tetapi untuk analisis dan kriteria diagnosis HEMII-pH



harus



distandarisasi. Endoskopi GI memiliki peran terbatas dalam pengelolaan LPR. Dokter pelayanan primer mungkin meresepkan endoskopi GI pada pasien dengan heartburn, nyeri dada atau gejala GI tetapi harus diingat bahwa endoskopi GI



14 normal tidak menyingkirkan diagnosis LPR. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2, pasien lanjut usia mungkin mengalami esofagitis tanpa keluhan; kemudian, endoskopi GI mungkin berguna untuk pasien berusia >50 tahun dengan gejala kronis. Deteksi pepsin dalam air liur dapat dilakukan di tempat dokter pelayanan primer melalui perangkat peptest® (PeptestTM kit; RD Biomed Ltd., Hull, United Kingdom). Pasien harus mengumpulkan dua atau tiga sampel saliva dan dokter melakukan pengukuran konsentrasi pepsin saliva dengan mengikuti prosedur standar yang berlangsung selama 15 hingga 20 menit. Dokter menggunakan Cube Reader®



yang



mendeteksi



pepsin



hingga



16



ng/mL.



Seperti



yang



direkomendasikan, tes dianggap positif ketika tingkat pepsin mencapai 36 ng/mL. Deteksi pepsin saliva mudah digunakan tetapi masih belum divalidasi dan tidak dapat dianggap sebagai pendekatan gold standart. Meta analisis menyarankan bahwa sensitivitas dan spesifisitas peptest akan menjadi 64% dan 68%. Akan ada banyak area abu-abu yang membatasi penetapan indikasi yang jelas untuk peptest. Pertama, konsentrasi pepsin saliva tidak akan berkorelasi dengan temuan HEMIIpH. Kedua, diet pasien dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap konsentrasi pepsin saliva. Ketiga, tidak ada konsensus tentang waktu terbaik untuk pengumpulan saliva. Beberapa penulis mendukung bahwa pepsin harus diukur saat bangun tidur (pagi), tetapi hal itu harus dikonfirmasi dalam penelitian selanjutnya.



8. Terapi



15 Pendekatan Empiris Hemat Biaya Selama beberapa dekade terakhir, percobaan terapi empiris dengan proton pump inhibitors (PPI) diusulkan sebagai pendekatan hemat biaya untuk mengobati dan mendukung diagnosis LPR. Saat ini, pendekatan ini semakin ditentang karena berbagai alasan. Pertama, PPI diduga memiliki efek samping jangka pendek dan jangka panjang (Tabel 3) yang mendukung resep PPI hanya pada pasien dengan penyakit refluks asam yang teridentifikasi dan untuk durasi pemakaian yang lebih pendek. Kedua, respons terhadap PPI tidak memandu dokter yang merawat cara melanjutkan pasien yang tidak berespon, sementara ada kemungkinan bahwa mereka yang batuk terus-menerus, rasa mengganjal di tenggorokan, berdeham, dan/atau gejala lain yang diduga LPR sebenarnya tidak memiliki LPR jika mereka tidak merespon pengobatan empiris. Ada kemungkinan bahwa LPR refraktori atau basa mungkin ada; ini akan teridentifikasi oleh HEMII-pH tetapi tidak terdapat pengecualian dengan pengobatan empiris. LPR basa dan asam lemah lebih sering daripada yang diperkirakan sebelumnya karena mereka mengenai lebih dari 50% pasien



dan, oleh karena itu, memerlukan terapi alginat untuk mengontrol



komponen alkali dari refluks. Catatan, selain itu alginat juga menarik untuk pasien GERD dan LPR asam. Ketiga, efek PPI pada penyakit LPR masih kontroversial karena



metaanalisis



dibandingkan



plasebo.



plasebo-RCT Semua



tidak



argumen



menemukan tersebut



keunggulan



menjelaskan



PPI



mengapa



penggunaan pengobatan PPI empiris masih kontroversial. Dalam prakteknya, pengobatan empiris harus mencakup diet, PPI dan obat alginat untuk memastikan



16 kemanjuran pada semua jenis LPR. Perawatan anti-refluks yang memadai dapat bermanfaat pada gejala refluks juga untuk kondisi pasien lainnya, seperti gangguan tidur, kelebihan berat badan atau gangguan gigi. Dokter pelayanan primer biasanya mengetahui gaya hidup dan perilaku pasien. Dengan cara itu, dokter dapat memiliki peran penting dalam memperkuat relevansi diet baik pada penyakit LPR yang dicurigai maupun yang dikonfirmasi. Karena LPR sering disebabkan oleh kebiasaan diet dan stres, dokter pelayanan primer memiliki peran kunci dalam mengingatkan pasien tentang faktor-faktor yang mendukung ini dan mencegah kekambuhan atau kronisitas penyakit. Beberapa skor yang menilai potensi refluksogenik dari diet dikembangkan dan melalui aplikasi ponsel, dapat berguna bagi pasien dalam memilih makanan favorit mereka. Beberapa makanan dan minuman dikaitkan dengan risiko tinggi refluks sementara yang lain bersifat protektif terhadap LPR (Tabel 4 dan 5). Kesadaran pasien tentang pentingnya diet sangat penting dalam pengelolaan LPR jangka pendek hingga jangka panjang dan peran dokter pelayanan primer sangat penting. Temuan serupa harus dipertimbangkan untuk pengelolaan stres dan kecemasan, yang keduanya menyebabkan disfungsi saraf otonom dan relaksasi sfingter esofagus sementara. Algoritma praktis pengelolaan LPR oleh dokter pelayanan primer diusulkan pada Gambar 2. Singkatnya, agar hemat biaya, dokter pelayanan primer dapat mengusulkan pengobatan empiris berdasarkan diet dan manajemen stres untuk pasien dengan LPR ringan dan tidak ada tanda bahaya. Tidak ada definisi konsensual dari LPR ringan, sedang dan berat, tetapi dalam algoritma ini, kami dapat mendefinisikan LPR sebagai ringan jika pasien melaporkan gejala ringan



17 dan berdampak rendah pada kualitas hidup. Pasien-pasien ini dapat dengan mudah menerima pengobatan hanya dengan diet dan manajemen stres. Jika pasien melaporkan bahwa gejalanya mengganggu, memiliki dampak signifikan pada kualitas hidup, LPR dapat dianggap sebagai sedang atau berat dan, oleh karena itu, pengobatan empiris harus mencakup PPI dan alginat selama 2 hingga 3 bulan. Semua pasien tidak akan memberikan respons yang sama terhadap perubahan pola makan dan perilaku. Banyak pasien dengan gejala khas GERD akan memerlukan pengobatan. Tentu saja, algoritme harus dievaluasi melalui studi klinis yang dilakukan dalam pengobatan pelayanan primer dan dapat dikembangkan dalam beberapa tahun ke depan terkait temuan baru dalam literatur. Tabel 3. Efek Samping Jangka Panjang dari Proton Pump Inhibitorss Sistem Gaster



Digestif Liver Kidney Tulang Otak Dada Kardiovaskular



Efek samping PPI Meningkatkan risiko neoplastic gaster Meningkatkan risiko defisiensi Vit B12 Meningkatkan risiko defisiensi Ca Meningkatkan risiko defisiensi Fe Meningkatkan risiko defisiensi Mg Meningkatkan risiko infeksi bakteri, parasite dan jamur Mengingkatkan risiko kanker Meingkatkan risiko pertumbuhan bakteri Meningkatkan risiko nefritis intertitial akut Meingkatkan risiko gagal ginjal kronis Meingkatkan risiko osteoporosis dan fraktur Meningkatkan risiko demensia Meingkatkan resiko pneumonia* Meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular** Meingkatkan risiko ketidakseimbangan elektrolit



Status Sangat dicurigai Dicurigai Dicurigai Dicurigai Dicurigai Dicurigai Dicurigai Sangat dicurigai Dicurigai Dicurigai Dicurigai Dicurigai Dicurigai Dicurigai Dicurigai



Hubungan antara PPI dan banyak gangguan yang dicurigai atau sangat dicurigai.*Hubungan antara penggunaan PPI dan risiko pneumonia terutama ditemukan pada pasien lanjut usia, pasien yang dirawat di unit perawatan intensif dengan demensia, dengan riwayat stroke akut, diabetes tipe 2 atau sirosis, dan mereka yang menderita GERD kronis. ** Akan ada interaksi antara clopidogrel dan PPI; mendasari peningkatan risiko kejadian kardiovaskular pada pasien yang menggunakan clopidogrel dan PPI. Singkatan: GERD = penyakit refluks gastroesofageal; PPI = proton pump inhibitors.



18 Tabel 4. Skor Diet Reflukogenik makanan dan Potensi Reflukogeniknya.



Kategori 1 dan 2 sesuai dengan makanan refluksogenik rendah sedangkan kategori 4 atau 5 termasuk makanan dengan potensi refluksogenik tinggi atau sangat tinggi. Beberapa makanan dapat ditingkatkan atau diturunkan berdasarkan karakteristiknya. * Sayuran mentah kurang mudah dicerna dan mungkin berhubungan dengan waktu pengosongan lambung yang rendah: jika dikonsumsi mentah, makanan harus ditingkatkan 1 kategori. Tidak untuk salad hijau, 19 penambahan cuka atau vinaigrette meningkatkan kategori. ** Dalam hal penambahan rasa pedas (misalnya, Kecap Pedas), makanan ini harus ditingkatkan. # Untuk gula, hanya pH dan indeks glikemik yang dipertimbangkan mengenai kekurangan lemak. ## Karena pedas tidak memiliki lipid dan tidak ada pH, penulis mendasarkan klasifikasi makanan ini pada literatur. Jika pasien hanya makan makanan industri (makanan siap saji), makanan dapat ditingkatkan mengenai potensi pengasaman konservatif industri. Singkatan: REDS = refluxogenic diet score.



Lanjutan



20



Gambar 2. Algoritma manajemen LPR pada Pelayanan primer. Singkatan: LPR = laryngopharyngeal reflux; PPI = proton pump inhibitors; RSS-12 = reflux symptom score-12



21



Tabel 5. Skor diet refluxogenik minuman dan kategori yang terkait Jus, Air, dan ALkohol pH IG> 40 Kat. Kat.Ting Alkohol** 4 + 3 5



Lidah buaya Jus apel Bir #(*) Coklat (Coklat panas) Kamomil Chicory Kopi** Jus anggur Jus Lemon Campuran jus buah Jus jeruk Soda (bebas gula) # Soda (dengan gula) # Sirup (Mint, lemon, grenadine)** Teh Teh (blekberi)** Teh (hitam)** Teh (hijau)** Teh (lemon)** Jus tomat Air putih# Air saring Air (basa) Anggur (merah) ◦ Anggur (mawar) ◦ Anggur (putih) ◦



6.1 3.65 4 6.3 6.5 5.95 5 3.05 2.3 3.8 3.5 2.5 2.5 2.15 5 2.5 5.3 7 2.9 4.35 7 7 8 4 4 4



0 + + + 0 0 0 + + + + 0 + + 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0



2 4 3 2 2 3 3 4 4 4 4 4 4 4 3 4 3 2 4 3 2 2 1 4 4 4



2 5 5 3 2 3 4 5 5 5 5 5 5 5 4 5 4 5 3 5 3 3 2 5 5 5



Klasifikasi minuman tergantung pada pH, * Index glikemik (GI; osmolaritas terkait tinggi gula), # air putih (upgrade), ◦ tingkat alkohol (>3% = ditingkatkan) dan ** kehadiran atau kurangnya kafein atau theine (** ditingkatkan atau diturunkan). Singkatan: IG = Index glikemik; . Kat= kategori pada baseline; Kat.Ting = kategori yang ditingkatkan. Untuk cokelat panas, kategori ini ditingkatkan dalam kasus gula tambahan



22



9. Kesimpulan Sampai saat ini, tampaknya banyak dokter umum yang masih tidak menyadari keberadaan refluks laringofaringeal. Sedangkan, banyak pasien LPR dapat dikelola secara efisien oleh dokter pelayanan primer jika mereka mempertimbangkan untuk menggunakan klinis yang menggambarkan gejala dan tanda yang terkait dengan LPR, tidak termasuk beberapa kondisi pembaur dan red flags dan penggunaan pengobatan empiris yang sesuai. Dalam penelitian ini, kami mengusulkan



3 algoritma praktis untuk mengelola LPR dalam pengobatan pelayanan primer. Algoritma ini harus dievaluasi dalam studi yang akan datang serta penggunaan peptest sebagai metode diagnostik di pelayanan primer.



Apendik A



Gambar A1. Reflux sign assesment Alat ini dibagi menjadi tiga bagian sesuai dengan tanda lokalisasi: rongga mulut, faring dan laring. Terjadinya granuloma pita suara (+2), keratosis (+2) atau ulserasi (+2) dapat dipertimbangkan pada item terakhir dari skor. Karena prevalensinya rendah, item berikut telah dihapus dari versi awal RSA (dalam makalah validasi RSA): edema/eritema pada pita suara, eritema nasofaring, dan edema/eritema subglotis. Skor total dihitung dengan jumlah skor setiap item. Skor maksimum adalah 61.