Jurnal Awal Dan Soap Epilepsi A3d Klp2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN AWAL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III PRAKTIKUM IV : PENYAKIT EPILEPSI



Hari,Tanggal Praktikum



: Senin,14 Juni 2021



Oleh KELOMPOK II / A3D FARMASI KLINIS



Dewa Gede Agung Yogastha M.Y



(18021113)



Ni Made Swariyani



(18021114)



Ni Putu Intan Sarasmitha Dewi



(18021115)



Alma Lystia Savitri Mahayasa



(18021116)



Made Floreta Asri Sanjiwati



(18021117)



Ni Kadek Indira Indrayani



(18021118)



Putu Sanitha Jayanti



(18021119)



Dosen Pengampu: Putu Prayascittadevi Empuadji , S.Farm., M.Sc., Apt.



PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL DENPASAR 2021



PRAKTIKUM IV PENYAKIT EPILEPSI



I.



TUJUAN PRAKTIKUM 1. Mengetahui definisi epilepsi 2. Mengetahui klasifikasi epilepsi. 3. Mengetahui patofisiologi epilepsi. 4. Mengetahui tatalaksana epilepsi (Farmakologi dan Non-Farmakologi). 5. Dapat menyelesaikan kasus terkait epilepsi secara mandiri dengan menggunakan metode SOAP



II.



DASAR TEORI



2.1 Definisi Epilepsi Epilepsi adalah kejang tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan interval waktu lebih dari 24 jam. Epilepsi dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dan gangguan yang berat misalnya malformasi kongenital, pasca infeksi, tumor, penyakit vaskuler, penyakit degeneratif dan pasca trauma otak (Soetomenggolo, 1999; Panayiotopoulos, 2005). Epilepsi merupakan gangguan kronik otak yang menunjukan gejala-gejala berupa serangan yang berulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel otak (WHO, 2006). Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-berulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel syaraf otak, yang bersifat reversible dengan berbagai etiologi. Serangan ialah sutau gejala timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba (Mansjoer, 2000).



Menurut Harsono (2007), istilah epilepsi tidak dapat digunakan untuk bangkitan yang hanya terjadi sekali saja, bangkitan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional provoked seizures misalnya bangkitan yang terjadi pada hipoglikemia. Pada epilepsi tidak ada penyebab tunggal, banyak faktor yang dapat mencederai sel-sel syaraf otak atau lintasan komunikasi antar sel otak.



2.2 Klasifikasi Epilepsi Klasifikasi epilepsy dibagi menjadi berdasarkan serangan kejangnya, yaitu: 1.



Partial Seizures (focal) yang terdiri atas: -



Simple partial seizures (pasien tidak mengalami penurunan kesadaran) pada tipe ini ditandai dengan adanya gejala motoric, gejala sensorik, atau somatosensorik, gejala otonom, dan gejala psikis.



-



Complex partial seizure (pasien dengan penurunan kesadaran) pada tipe ini terdapat dua jenis yaitu pasien yang mengalami penurunan kesadaran selama proses penanganan dan pasien yang mengalami penurunan kesadaran dari awal.



-



Partial seizure syang berkembang menjadi generalizedseizurespada tipe ini pasien mengalami epilepsy tipe simple partial seizures/complex partial seizures yang diikuti dengan terjadnya generalizedseizures



2.



Generalized Seizures (convulsive/nonconvulsive)



Tipe ini diklasifikasin menjadi: -



Absence/lena, terdiri dari tipikal lena dan atipikal lena Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik pada mata, dagu dan bibir.



-



Myoclonic Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal.



-



Tonic Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan pupil dilatasi.



-



Clonic Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot.



-



Tonic-clonic Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian diikuti oleh gerakan klonik.



-



Atonic Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya kepala jatuh kedepan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga pasien terjatuh.



3.



Unclassified Epileptic Seizures Pada tipe ini didapatkan adanya gejala prodromal epilepsi, dimana terjadi perubahan mood dan lekas marah beberapa jam sampai hari sebelum terjadinya kejang. Namun, data penunjang dari tipe ini tidak lengkap sehingga tidak dapat dikelompokkan sesuai dengan kategori yang ada. (Gurnett dan Dodson, 2009; Camfield dan Camfield, 2012).



2.3 Tanda dan Gejala Epilepsi Tanda dan gejala epilepsi tergantung dari klasifikasi yang diderita. Gejalagejala yang sering dijumpai pada penderita epilepsi dengan serangan sederhana, antara lain: 1. Tidak terjadi gangguan atau penurunan kesadaran 2. Bersifat stereopatik (sama) 3. Kejang tonik (badan dan anggota gerak kaku)



4. Kejang klonik (badan dan anggota gerak berkejut-kejut) 5. Berkeringat dingin 6. Denyut jantung (nafas) cepat 7. Terjadi pada usia 11-13 tahun 8. Berlangsung sekitar 31-60 detik Sedangkan pada serangan parsial kompleks terjadi penurunan kesadaran. Serangan epilepsy umum dimulai dari hilangnya kesadaran, kemudian diikuti dengan gejala lainnya yang bervariasi yang dibedakan oleh ada atau tidaknya motoric yang khas (Repindo, 2017).



2.4 Faktor Resiko Kejang terjadi karena sekelompok neuron kortikal keluar secara abnormal dalam sinkron. Ada ribuan kondisi medis yang dapat menyebabkan epilepsi, dari mutasi genetik hingga cedera otak traumatis. Suatu predisposisi genetik terhadap kejang telah diamati dalam banyak bentuk epilepsi umum primer. Pasien dengan retardasi mental, cerebral palsy, cedera kepala, atau stroke berisiko lebih tinggi untuk kejang dan epilepsi. Semakin dalam tingkat keterbelakangan mental yang diukur oleh intelligence quotient (IQ), semakin besar insiden epilepsi. Pada orang tua, kejang terutama dari onset parsial yang terkait dengan cedera saraf fokal yang disebabkan oleh stroke, gangguan neurodegeneratif (misalnya, penyakit Alzheimer), dan kondisi lainnya. Dalam beberapa kasus, jika etiologi kejang dapat ditemukan dan diperbaiki, pasien mungkin tidak memerlukan pengobatan antiepilepsi kronis (AED) (Dipiro, 2009). Etiologi epilepsi dapat dibagi atas dua kelompok (Dipiro, 2009): a. Epilepsi idiopatik, yaitu epilepsi yang faktor penyebabnya tidak diketahui. Kurang lebih 65% dari seluruh kasus epilepsi merupakan epilepsi idiopatik dan terjadi pada 50% kasus epilepsi pada anak, awitan biasanya pada usia lebih dari 3 tahun. b. Epilepsi simtomatik, penyebabnya sangat bervariasi bergantung pada usia awitan. Penyebab epilepsi pada berbagai kelompok usia:



1) Kelompok usia 0-6 bulan a) Kelainan intra-uterin, dapat disebabkan oleh gangguan migrasi dan diferensiasi sel neuron. b) Kelainan selama persalinan, berhubungan dengan asfiksia dan perdarahan intrakranial, biasanya disebabkan oleh kelainan maternal. c) Kelainan kongenital, dapat disebabkan oleh kromosom abnormal, radiasi, obat-obat teratogenik, infeksi intrapartum oleh toksoplasma, sitomegalovirus, rubella dan treponema. d) Gangguan metabolik, misalnya hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia, dan defisiensi piridoksin. e) Infeksi susunan saraf pusat, misalnya meningitis, ensefalitis, atau timbul kemudian sebagai akibat dari pembentukan jaringan parut dan hidrosefalus pasca infeksi. 2) Kelompok usia 6 bulan-3 tahun Selain penyebab yang sama dengan kelompok usia 0-6 bulan, pada usia ini dapat juga disebabkan oleh kejang demam yang biasanya dimulai pada usia 6 bulan, terutama pada golongan kejang demam komplikasi. Cedera kepala merupakan faktor penyebab lainnya, dan walaupun kejadiannya lebih ringan kemungkinan terjadi epilepsi lebih tinggi dari orang dewasa. Gangguan metabolism sama dengan kelompok usia sebelumnya. Keracunan timah hitam dan logam berat lainnya misalnya thalium, arsen dan air raksa dapat menimbulkan epilepsi. 3) Kelompok anak-anak sampai remaja Pada kelompok ini disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit dan abses otak yang frekuensinya sampai 32% yang meningkat setelah operasi.



4) Kelompok usia muda Cedera kepala merupakan penyebab tersering, disusul oleh tumor otak dan infeksi. 5) Kelompok usia lanjut Gangguan pembuluh darah otak merupakan penyebab tersering pada usia 50 tahun mencapai 50% diikuti trauma, tumor dan degenerasi serebral (Nesbitt, 2012). 2.5 Data Laboratorium a. Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG) Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan untuk membantu menunjang diagnosis, penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, prognosis, dan perlu/ tidaknya pemberian OAE. Elektroensefalografi (EEG) melengkapi bukti diagnostik dalam proporsi substansial dari pasien epilepsy dan membantu dalam mengklasifikasikan tipe kejang. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity. Kadang-kadang rekaman EEG dapat menentukan focus serta jenis epilepsi, apakah fokal, multifocal, kortikal, subkortikal, misalnya “Petit Mall”. Spasme infantile mempunyai gambaran hipsaritmia. Akan tetapi 8-12% penderita epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal. Gambaran normal EEG pada neonatus biasanya menunjukan gelombang bervoltase lebih rendah dengan frekuensi 3-5 cps, kurang teratur dan sinkron. Pada epilepsi EEG dapat membantu kita menegakan diagnosis serta menentukan jenis serta fokusnya, dengan demikian dapat membantu kita memilh obat yang cocok (misal hipsaritmia dengan kortikosteroid, petit mal dengan dilantin, luminal) (L. Wong. Dona, 2003). b. Pemeriksaan pencitraan otak Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak secara non-invasif, seperti: Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography



(PET), Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT), Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS), Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomography (CT) Scanning. Pemeriksaan CT scan digunakan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebro vascular abnormal, dan perubahan degenerative serebral. Pemindaian CT digunakan mendeksi perbedaan kerapatan jaringan yang sering terjadi pada klien dengan epilepsy (Chen, 2005). c). Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan labolatorium meliputi: Pemeriksaan darah tepi rutin, kadar gula darah dan elektrolit sesuai indikasi, pemeriksaan cairan serebrospinal. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada anak dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi yang merupakan salah satu penyebab dari epilepsi. Hitung darah lengkap dilakukan pada klien dengan trauma kepala karena dapat terjadi peningkatan atau penurunan yang mencolok pada jumlah hematokrit dan trombosit. Elektrolit seperti Ca total, dan magnesium serum sering kali diperiksa pada saat pertama kali terjadi serangan kejang karena akan terdapat perubahan pada jumlah elektrolit tersebut., uji glukosa biasa dilakukan pada bayi dan anak kecil yang mengalami epilepsi untuk mendeteksi adanya hipoglikemia yang biasanya terjadi (Chen, 2005). (1). Pemeriksaan hematologis Pemeriksaan hematologis di awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE, 2 bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek samping OAE, rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor efek samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE. (2). Pemeriksaan kadar OAE Dilakukan untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien. (L. Wong. Dona, 2003)



2.6 Patofisiologi Epilepsi Epilepsi adalah pelepasan muatan yang berlebihan dan tidak teratur di pusat tertinggi otak. Sel saraf otak mengadakan hubungan dengan perantaraan pesan listrik dan kimiawi. Terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan eksitasi dan inhibisi dari aktivitas listrik (Sankar dkk., 2005; Rho dan Stafstron, 2012 ). Pada saat serangan epilepsi yang memegang peranan penting adalah adanya eksitabilitas pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron, yang kemudian terjadi lepas muatan listrik secara serentak pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron dalam waktu bersamaan, yang disebut sinkronisasi. Terjadinya lepas muatan listrik pada sejumlah neuron harus terorganisir dengan baik dalam sekelompok neuron serta memerlukan sinkronisasi. Epilepsi dapat timbul karena ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi serta sinkronisasi dari pelepasan neural (Christensen dkk., 2007; Kleigman, 2005). Terdapat berbagai teori patofisiologi epilepsi, di antaranya adalah sebagai berikut: a. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi Kejang parsial dan kejang parsial menjadi umum disebabkan oleh karena ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak. Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang. Luaran sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut sistem neuronal yang berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sistem inhibisi juga diaktifkan saat kejang, akan tetapi tidak cukup untuk mengontrol eksitasi yang berlebihan, sehingga timbul kejang (Rho dan Stafstron, 2012; Widjaja, 2004). Excitatory Postsynaptic Potentials (EPSPs) dihasilkan oleh ikatan molekul-molekul pada reseptor-reseptor yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau ion Ca dan tertutupnya saluran ion K yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi. Berlawanan dengan Inhibitory Postsynaptic



Potentials



(IPSs)



disebabkan



karena



meningkatnya



permeabilitas membran terhadap Cl dan K, yang akhirnya menyebabkan hiperpolarisasi membran. Keseimbangan antar eksitasi dan inhibisi



dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti pada Tabel. Tabel 1 Keseimbangan antar eksitasi dan inhibisi (Sumber: Dikutip dari Kumpulam Makalah Epilepsi Pertemuan Nasional-1).



Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter dan neuromodulator, akan tetapi reseptor glutamat yang paling penting dan paling banyak diselidiki untuk eksitasi pada epilepsi. Sedangkan inhibitor utama neurotransmitter pada susunan saraf pusat adalah Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Semua struktur otak depan menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan fungsi GABA dapat mengakibatkan serangan kejang (Rho dan Stafstron, 2012; Christensen dkk., 2007; Kleigman, 2005). Terdapat tiga reseptor, yaitu GABA-A, GABA-B, dan GABA-C. Secara tradisional yang berperan paling penting adalah inhibisi potensi postsinaptik (IPSPs) cepat yang disalurkan oleh reseptor GABA-A. Pengikatan GABA pada reseptor GABA-A membuka saluran klorida. Masuknya ion klorida mengadakan hiperpolarisasi neuron, dan selanjutnya mengadakan hambatan dengan cara menurunkan hambatan (resistensi) membran. Sedangkan reseptor GABA-B menghasilkan hiperpolarisasi yang lebih dalam dan lebih lama, dinamakan IPSP lambat atau potensial hiperpolarisasi lambat. Pada tahap inhibisi ini adalah potensial non sinaptik dinamakan calcium-activated



potassium. Arus yang mendasari potensial ini terjadi oleh masuknya kalsium ke dalam neuron, mengakibatkan aktivasi dari aliran kalium ke luar. Penambahan respon terhadap reseptor GABA-B berguna untuk strategi menghambat bangkitan yang berlangsung lama (Sankar dkk., 2006; Rho dan Stafstron, 2012).



2.7 Tatalaksana Terapi Parkinson Tujuan akhir pengobatan epilepsi adalah untuk mengurangi kejang dan meminimalkan efek samping terapi dengan ditandai kualitas hidup yang optimal. Kualitas hidup yang baik dikaitkan dengan keadaan bebas dari kejang. Seringkali, keseimbangan antara efikasi dan efek samping harus dicapai karena dengan AED yang lebih lama digunakan sebagai monoterapi, kurang dari 50% pasien menjadi bebas kejang. Penting juga untuk mengenali bahwa pasien dengan epilepsi dapat memiliki komorbid neuropsikiatri yang lainseperti depresi, kecemasan, dan gangguan tidur yang membutuhkan perawatan. Depresi sangat penting untuk diawasi karena terbukti memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup pada pasien dengan epilepsi yang resistan terhadap pengobatan (Dipiro, 2009). a. Terapi Farmakologi Pemilihan obat farmakoterapi yang efektif adalah mendasarkan keputusan pada jenis kejang. Pedoman membuat rekomendasi untuk obatobatan tertentu untuk digunakan dalam jenis kejang tertentu, rekomendasi konsensus hanya menggunakan data berkualitas tinggi yang tersedia dari literatur medis. Dalam banyak kasus, rekomendasi tidak dibuat karena kurangnya data yang memadai untuk keputusan berbasis bukti. Oleh karena itu, obat mungkin tidak muncul dalam pedoman karena data yang tersedia tidak mencukupi pada saat pedoman dikembangkan. Terapi obat antiepilepsi biasanya harus dimulai dengan hati-hati menggunakan jadwal titrasi untuk meminimalkan efek samping. Dosis target moderat dipilih sampai respons pasien dapat dievaluasi lebih lanjut di klinik. Jika kejang berlanjut, dosis ditingkatkan secara bertahap sampai pasien



menjadi bebas kejang atau efek buruk muncul. Pengobatan kejang refrakter (yaitu, tidak responsif terhadap setidaknya dua AED lini pertama) agak berbeda. Kombinasi obat-obatan mungkin berguna pada pasien dengan kejang yang sulit dikendalikan (Burns, M.A., et al., 2016).



Gambar 1. Algoritma Pengobatan Kejang (Burns, M.A., et al., 2016) Mekanisme kerja Obat Anti Epilepsi Jenis OAE sangat tergantung pada sifat serangan epilepsi, termasuk jenis epilepsi fokal atau umum. Obat anti epilepsi telah diklasifikasikan kedalam 5 kelompok kimiawi yaitu barbiturat, hidantoin, oksazolidindion, suksinimid danasetilurea (Ganiswara et al. 2002; Oktaviana dan Fitri, 2008; Levy et al. 1995) a) Golongan hidantoin Pada golongan ini terdapat 3 senyawa yaitu Fenitoin, mefentoin dan etotoin, dari ketiga jenis itu yang sering digunakan adalah Fenitoin dan digunakan untuk semua jenis bangkitan kecuali bangkitan Lena.



b) Golongan barbiturat Golongan obat ini sebagai hipnotik-sedatif dan efektif sebagai antikonvulsi yang sering digunakan adalah barbiturat kerja lama (Long Acting Barbiturates). Jenis obat golongan ini antara lain fenobarbital dan primidon, kedua obat ini dapat menekan letupan di fokus epilepsi. c) Golongan oksazolidindion Salah satu jenis obatnya adalah trimetadion yang mempunyai efek memperkuat depresi pasca transmisi sehingga transmisi impuls berurutan dihambat. d) Golongan suksinimida Obat yang sering digunakan di klinik adalah jenis etosuksimid, metsuksimid dan fensuksimid yang mempunyai efek sama dengan trimetadion. Etosuksimid merupakan obat pilihan untuk bangkitan lena. e) Golongan karbamazepin Obat ini efektif terhadap bangkitan parsial komplek dan bangkitan tonik klonik dan merupakan obat pilihan pertama di Amerika Serikat untuk mengatasi semua bangkitan kecuali lena. f) Golongan benzodiazepine Salah satu jenisnya adalah diazepam, disamping sebagai anti konvulsi juga mempunyai efek antiansietas dan merupakan obat pilihan untuk status epileptikus. g) Obat - obat generasi kedua Vigabatrin, lamotrigin, gabapentin, felbamat, tiagabin, topiramat dan zonisamida. Obat Anti-epilepsi (OAE) yang digunakan untuk mengontrol kejang mungkin tidak perlu diberikan seumur hidup. Polifarmasi dapat dikurangi, dan beberapa pasien dapat menghentikan OAEsama sekali. Dalam mengurangi polifarmasi, obat yang dianggap kurang tepat untuk jenis kejang (atau agen yang dianggap paling bertanggung jawab atas efek buruk) harus dihentikan



terlebih dahulu. Dalam beberapa kasus, mengurangi jumlah OAE yang diterima pasien dapat menurunkan efek samping dan meningkatkan kemampuan kognitif. Peningkatan kognisi ini mungkin kecil, terutama jika pasien menggunakan obat yang mempengaruhi kecepatan psikomotorik dengan efek yang lebih kecil pada fungsi kognitif tingkat tinggi. Indikasi menghentikan obat pada pasien epilepsi antara lain: 1. Secara klinis: bebas bangkitan selama 2 tahun 2. Cara penurunan: secara bertahap (6 minggu sampai dengan 6 bulan) 3. Jika dalam penurunan dosis, bangkitan timbul kembali, OAE diberikan kembali dengan dosis terakhir yang sebelumnya dapat mengontrol bangkitan. (Dipiro, 2009). b. Terapi Non Farmakologi Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan oleh keluarga pasien adalah mengamati faktor pemicu, kemudian menghindari faktor pemicu misalnya stress, diet ketogenik, mengkonsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dan lain-lain. Pasien epilepsi anak-anak sebaiknya disarankan untuk banyak melakukan kegiatan fisik yang sesuai dengan umur mereka, tidur yang cukup, hindari kekurangan tidur (Shih, 2007).



III. ALAT DAN BAHAN 3.1 Alat 1. Form SOAP 2. Form Medication Record 3. Catatan Minum obat 4. Kalkulator Scientific 5. Laptop dan koneksi internet



3.2 Bahan 1. Text Book 2. Data nilai normal laboratorium 3. Evidence terkait (Journal, Systematic Riview, Meta Analysis)



IV.



KASUS Nama Pasien



: Tn. AR



Umur



: 24 Tahun



MRS



: 25 September 2017



KRS



: 08 Oktober 2017



Kurang lebih 5 jam SMRS pada saat akan makan siang tiba tiba pasien kejang 15 menit sekitar jam12.00 siang, pada saat pasien kejang tangan pasien mengepal dan terguncang naik turun kaki pasien juga terguncang naik turun secara bersamaan. Mata terbelalak, mulut tidak berbusa, lidah tidak tergigit, saat kejang terjadi pasien terjatuh pada sisi tubuh sebelah kanan dengan bibir dan kepala sisi kanan membentur batu, bibir luka sebesar 1 cm tepi tidak rata, Kejang terjadi hingga 3 kali sekitar 15 menit, selama masa kejang pasien tidak sadarkan diri. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat epilepsi sejak kecil (+) namun tidak terkontrol Tanda-Tanda Vital : TTV: TD: 110/70mmHg, HR : 88x/menit, RR: 20x/menit, T: 38°C DIAGNOSA SEMENTARA : Epilepsi dd Infeksi Intrakranial TERAPI SAAT MRS : IVFD D5% + fenitoin 3 ampul/8jam Ceftriaxone 2x1 ampul (iv) Paracetamol drip 3x1 Fl. (bila panas) DIAGNOSA AKHIR : Epilepsi bangkitan umum tipe Tonik-Klonik



DAFTAR PUSTAKA Burns, M.A., et al., 2016. Pharmacotherapy Principle and Practices : Forth Edition. McGraw-Hill Education Chen DK, So YT, Fisher RS. 2005. Use of serum prolactin in diagnosing epileptic seizures: report of the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology. Vol. 65:668–75. Dipiro.JT. 2009. Pharmacoterapy Handbook 7th edition. New York: Mc Graw Hill. Gurnett, C.A. dan Dodson, W.E., 2009, Definitions and Classification of Epilepsy dalam Shorvon, S., Perucca, E. dan Engel, J., (Eds.), The Treatment of Epilepsy, 3th Edition, 3, Wiley-Blackwell, United States of America. Harsono. 2007. Epilepsi edisi I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. L. Wong. Dona. 2003. Pedoman Medis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC. Mansjoer. 2000. Kapita Selekta jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius. Panayiotopoulos, CP. 2005. The Epilepsies Seizure. Syndrome and Management. London: Blondom Medical Publishing. Pp 1-26. Repindo, A., Z. Zanariah, dan Oktafany. 2017. Epilepsi Simptomatik Akibat Cidera Kepala pada Pria Berusia 20 Tahun. Medula.Vol 7. No. 4. Lampung: Fakultas Kedokteran Roth 2018. Status Epilepticus Treatment & Management. Neurologist, Epilepsy and General Neurology, Comprehensive Epilepsy Program. Available at https://emedicine.medscape.com/. “Diakses Pada tanggal 17 April 2018” Shih, T., 2007, Epilepsy and Seizures, dalam Brust, John C., (Ed.), Lange Medical Book: Current Diagnosis and Treatment in Neurology, 35-62, McGrawHill Companies, Inc., Amerika. WHO. 2006. Implementing The New Recoendation on the Clinical Management of Diarrhea: guidelines for policy maker and forumen. Geneva.



WORKSHEET DISKUSI KASUS EPILEPSI



NAMA KELOMPOK : 1. Dewa Gede Agung Yogastha M.Y



(18021113)



2. Ni Made Swariyani



(18021114)



3. Ni Putu Intan Sarasmitha Dewi



(18021115)



4. Alma Lystia Savitri Mahayasa



(18021116)



5. Made Floreta Asri Sanjiwati



(18021117)



6. Ni Kadek Indira Indrayani



(18021118)



7. Putu Sanitha Jayanti



(18021119)



Pertanyaan yang harus didiskusikan dan dijawab. 1. Adakah tambahan informasi (FIR) yang kalian perlukan untuk rencana terapi pasien? Jawaban : 1. Apakah kulit penderita berwarna biru saat terjadi kejang? (Untuk menentukan epilepsi apa yang dimiliki pasien benar tonik klonik) 2. Apakah pasien mendadak terjatuh kemudian kaku dan terjadi kejang berupa kelonjatan aggota gerak tubuh ? ( Untuk menentukan epilepsi apa yang dimiliki pasien benar tonik klonik) 3. Apakah pasien memiliki riwayat penyakit neurologi lain ? 4. Apakah pasien memiliki cidera pada kepala ? 5. Apakah pasien sudah melakukan pemeriksaan CT-Scan ? apa pada saat CTScan ditemukan kelainan/lesi structural pada otak ? 6. Apakah pasien sudah melakukan pemeriksaan MRI ? 7. Apakah pasien sudah melakukan pemeriksaan EGG? 8. Apakah pasien memiliki gangguan neurologi yang berhubungan dengan epilepsy maupun tanda-tanda defesit lainnya? 9. Apakah pasien memiliki riwayat penggunaan obat sebelum masuk rumah sakit?



10. Bagaimana life style pasien (merokok/alkohol/kopi/istirahat tidak teratur? 2. Apakah tujuan terapi dari kasus dibawah ini? Jawaban :



Untuk mengurangi kejang dan meminimalkan efek samping terapi dengan ditandai kualitas hidup yang optimal. Kualitas hidup yang baik dikaitkan dengan keadaan bebas dari kejang. 3. Apakah rencana terapi yang sudah diberikan oleh dokter sudah tepat? Jawaban : Kurang tepat, karena dilihat dari efektivitasnya fenitoin memiliki efek obat tidak optimal, sehingga perlu dilakukan penggantian obat, untuk epilepsi pada tahap pertama yaitu stabilisasi, standar pertolongan pertama untuk kejang harus dimulai pada tahap terapi awal, benzodiazepin (khusus midazolam IM, lorazepam IV, atau diazepam IV) dianjurkan sebagai terapi awal. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada SOAP bagian Planning. 4. Adakah rekomendasi terapi obat pulang untuk kasus Tn.AR? Bila ada, sebutkan dan berikan alasannya! Jawaban : Terapi antiepilepsi yang disarankan untuk dibawa pulang pasien adalah monoterapi. Monoterapi direkomendasikan untuk pasien dengan epilepsi yang baru didiagnosis karena 60% pasien yang baru didiagnosis dengan epilepsi akan bebas bangkitan dengan pemberian OAE tunggal dengan dosis sedang. Terapi yang disarankan setelah pasien keluar dari RS adalah: • Fenitoin 300-600 mg/hari per oral. Alasan memilih OAE adalah dengan menyesuaikan toksisitas atau tonik-klonik efek samping yang dapat ditoleransi dibandingkan dengan pilihan OAE lainnya untuk bangkitan tonik-klonik. Pemilihan OAE sangat penting diperhatikan, pasien sudah mendapatkan terapi fenitoin 3 ampul/8 jam untuk epilepsinya. 5. Bagaimana tatalaksana terapi pada Tn.AR (gunakan metode SOAP)! Jawaban : Terlampir 6. Hal apa saja yang perlu dimonitoring dari kasus pasien dibawah ini?



Jawaban :



Monitoring Efektivitas obat 1. IVFD D5% 2. Lorazepam bekerja cukup cepat untuk menghentikan kejang dengan cepat. Ini juga memiliki efek antikonvulsan yang lebih lama. (Beberapa dokter menganggapnya memenuhi persyaratan untuk gangguan akut SE dan perlindungan berkepanjangan terhadap kekambuhan). Tidak memiliki metabolit aktif yang mengganggu 3. Asam valproate sangat efektif untuk kejang abence. Valproate lebih cenderung digunakan jika pasien kejang absence kemudian menderita serangan umum tonik-klonik. Valproate menghambat kerja metabolism beberapa obat seperti fenobarbital, fenitoin, dan karbamazepin sehingga dapat menyebabkan konsetrasi dalam obat-obat tersebut dalam keadaan stabil meningkat. 4. Paracetamol merupakan analgesik yang efektif dalam penatalaksanaan nyeri. Paracetamol memiliki efek analgesik yang tidak berbeda dengan OAINS maupun opioid serta lebih aman dari efek samping, sehingga paracetamol menjadi analgesik first line dalam tata laksana nyeri, termasuk nyeri muskuloskeletal akut. Monitoring Efek Samping Obat 1. IVFD D5% adalah nyeri dan iritasi pada area suntikan. 2. Efek samping yang umum terjadi pada lorazepam adalah koordinasi yang buruk, perubahan perilaku, ketidakstabilan, kantuk, kelelahan, kantuk, penglihatan kabur atau ganda, dan pusing. 3. Efek samping asam valproate bergantung pada dosis dari valproate, yang umum terjadi biasanya mual, muntah dan keluhan pencernaan lain seperti nyeri perut dan rasa terbakar di ulu hati. Obat sebaiknya dimulai dengan cara bertahap agar tidak menjumpai efek samping tersebut. 4. Paracetamol jarang terjadi efek samping, tetapi dilaporkan terjadi reaksi hipersensitivitas, ruam kulit, kelainan darah (termasuk trombositopenia,



leukopenia, neutropenia), hipotensi juga dilaporkan pada infus, PENTING: Penggunaan jangka panjang dan dosis berlebihan atau overdosis dapat menyebabkan kerusakan hati, lihat pengobatan pada keadaan darurat karena keracunan. KASUS Nama Pasien



: Tn. AR



Umur



: 24 Tahun



MRS



: 25 September 2017



KRS



: 08 Oktober 2017



Kurang lebih 5 jam SMRS pada saat akan makan siang tiba tiba pasien kejang 15 menit sekitar jam12.00 siang, pada saat pasien kejang tangan pasien mengepal dan terguncang naik turun kaki pasien juga terguncang naik turun secara bersamaan. Mata terbelalak, mulut tidak berbusa, lidah tidak tergigit, saat kejang terjadi pasien terjatuh pada sisi tubuh sebelah kanan dengan bibir dan kepala sisi kanan membentur batu, bibir luka sebesar 1 cm tepi tidak rata, Kejang terjadi hingga 3 kali sekitar 15 menit, selama masa kejang pasien tidak sadarkan diri.



Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat epilepsi sejak kecil (+) namun tidak terkontrol Tanda-Tanda Vital : TTV: TD: 110/70mmHg, HR : 88x/menit, RR: 20x/menit, T: 38°C DIAGNOSA SEMENTARA : Epilepsi dd Infeksi Intrakranial TERAPI SAAT MRS : IVFD D5% + fenitoin 3 ampul/8jam Ceftriaxone 2x1 ampul (iv) Paracetamol drip 3x1 Fl. (bila panas) DIAGNOSA AKHIR : Epilepsi bangkitan umum tipe Tonik-Klonik



SOAP PM (Problem Medik) Epilepsi



Subjektif



Objektif



Terapi



FIR



Kejang,tangan



Jenis kelamin :



Fenitoin 3ampul/8jam



1.



pasien mengepal laki-laki



DRP



Apakah



kulit



penderita M1.2 Efek Obat Tidak Optimal



berwarna biru saat terjadi kejang? P1.1 Pemilihan obat tidak tepat



dan terguncang



Usia : 24 tahun



(Untuk menentukan epilepsi apa EBM



naik turun, kaki



TKD : 110/70



yang dimiliki pasien benar tonik A comparison of four treatments for



juga terguncang



mmHg



klonik)



naik turun, mata



Nadi : 80 x/menit



2.



generalized



Apakah



pasien



convulsive



status



mendadak epilepticus. Veterans Affairs Status



terbelakak,mulut Suhu : 30oC



terjatuh kemudian kaku



tidak



RR



terjadi kejang berupa kelonjatan P : Tiga ratus delapan puluh empat



berbusa,lidah



x/menit



: 20



dan Epilepticus Cooperative Study Group



aggota gerak tubuh ? ( Untuk pasien



memiliki



diagnosis



tidak tergigit



menentukan epilepsi apa yang terverifikasi status epileptikus kejang



saat kejang, saat



dimiliki pasien benar tonik klonik) umum yang jelas



kejang terjadi



3. Apakah pasien memiliki riwayat I : Lorazepam (0,1 mg per kilogram)



pasien terjatuh



penyakit neurologi lain ?



pada sisi tubuh



4. Apakah pasien memiliki cidera berat badan) diikuti oleh fenitoin (18



sebelah kanan



pada kepala ?



dengan bibir



5.



dan kepala sisi



melakukan pemeriksaan CT-Scan per kilogram), dan fenitoin (18 mg per



kanan



?



membentur



ditemukan kelainan/lesi structural O : Lorazepam secara signifikan lebih



batu, bibir luka



pada otak ?



sebesar 1 cm,



6.



Kejang terjadi



melakukan pemeriksaan MRI ?



3x sekitar 15



7.



Apakah



apa



pada



Apakah



Apakah



C : Diazepam (0,15 mg per kilogram



mg per kilogram), lorazepam (0,1 mg pasien



saat



sudah per kilogram), fenobarbital (15) mg



CT-Scan kilogram).



unggul pasien



pasien



dari



fenitoin



dalam



sudah perbandingan berpasangan (P = 0,002) sebagai pengobatan intravena awal



sudah untuk status epileptikus kejang umum



menit, selama



melakukan pemeriksaan EGG?



masa kejang



8.



pasien tidak



gangguan



sadarkan diri.



berhubungan



Apakah



maupun IV FD D5%



pasien neurologi dengan



tanda-tanda



memiliki yang epilepsy Tidak ada DRP defesit



lainnya?



M1.4 Ada indikasi yang tidak diterapi



9. Apakah pasien memiliki riwayat P1.5 Ada indikasi tetapi obat tidak penggunaan obat sebelum masuk diresepkan rumah sakit?



EBM



10. Bagaimana life style pasien Valproic Acid versus Lamotrigine as (merokok/alkohol/kopi/istirahat



First-line Monotherapy in Newly



tidak teratur?



Diagnosed Idiopathic Generalized Tonic –Clonic Seizures in Adults – A Randomized Controlled Trial P : 60 pasien menderita idiopatik GTCS. I : Tiga puluh pasien menerima asam valproat C : 30 pasien menerima lamotrigin.



Epilepsi Bangkitan Umum Type Tonic-klonic



-



O : Setelah 12 bulan masa tindak lanjut, 76,67% pasien memakai asam valproat dan 56,67% pasien yang memakai lamotrigin adalah bebas kejang. Asam valproat lebih efektif daripada lamotrigin obat lini pertama dalam pengobatan



orang dewasa dengan yang baru didiagnosis kejang umum tonik-klonik idiopatik.



M3.2 Obat tidak diperlukan P1.2 Tidak ada indikasi penggunaan Infeksi Intrakranial



Ceftriaxone 2x1 ampul (iv)



obat atau indikasi obat tidak jelas EBM Pada kasus ini pasien diberikan terapi dengan ceftriaxone untuk infeksi intrakranial yang terjadi, sedangkan infeksi intrakranial merupakan suatu diagnosa



banding/



diagnosa



differential. Menurut Prof. Dr.dr.



Daldiyono diagnosa sementara dan diagnosa banding digunakan untuk memperkirakan penyakit yang dialami oleh



pasien.



Pemberian



terapi



berdasarkan diagnosa banding dan diagnosa sementara sekaligus tidak dibenarkan karena tentunya akan menimbulkan polifarmasi, selain itu diagnosa akhir pada kasus ini juga sudah ditentukan.



Tidak ada DRP Randomized, controlled, multicentre Demam



Parasetamol drip 3x1 F1 (bila panas)



clinical trial of the antipyretic effect of intravenous paracetamol in patients admitted to hospital with infection P : Delapan puluh pasien dengan onset suhu tubuh ≥38,5 ° C dalam 24 jam sebelumnya karena infeksi I : 1 g parasetamol (n = 41) C : Pemberian plasebo (n = 39) O



:



Selama



6



jam



pertama,



defervesensi dicapai pada 15 (38,5%) pasien yang diobati dengan plasebo dibandingkan dengan 33 (80,5%) pasien diobati dengan parasetamol 1 g



(P