Epilepsi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



Epilepsi adalah gangguan neurologis yang paling umum, yang ditandai dengan kejang berulang. Serangan ini adalah hasil dari muatan listrik yang berlebihan dan mendadak dalam otak manusia. Hal ini dapat terjadi di otak secara lokal disebut sebagai kejang parsial atau melibatkan seluruh otak yang disebut sebagai kejang umum. Terjadinya kejang dapat meningkatkan risiko cedera fisik (Khan dkk, 2012). Epilepsi terjadi dan mengenai sekitar 50 juta orang di dunia. Tidak ada perbedaan usia, jenis kelamin, atau ras, meskipun kejadian kejang epilepsi yang pertama mempunyai dua pembagian, dengan puncaknya pada saat masa kanak-kanak dan setelah usia 60 tahun (WHO, 2012). Masyarakat menganggap bahwa epilepsi yang lebih dikenal dengan berbagai nama diantaranya ayan dan sawan, disebabkan atau dipengaruhi oleh kekuatan supranatural, dan tiap jenis serangan dikaitkan dengan namaroh atau setan. Kurangnya pengertian tentang epilepsi dikalangan keluarga dan masyarakat merupakan sebab utama mengapa masalah epilepsi belum dapat ditanggulangi dengan baik. Gambaran seperti itu masih cukup kental dimasyarakat awam, sehingga terapinya menggunakan kekuatan spriritual. Selain itu, penyakit ini dikenal sebagai penyakit yang memalukan atau menakutkan dan merupakan penyakit menular melalui buih yang keluar dari mulut penderita yang terkena serangan. (Pimentel dkk, 2015). Penyakit epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Lepasnya muatan listrik yang berlebihan ini dapat terjadi di berbagai bagian pada otak dan menimbulkan gejala seperti berkurangnya perhatian dan kehilangan ingatan jangka pendek, halusinasi sensoris, atau kejangnya seluruh tubuh (Miller, 2009). Mekanisme terjadinya epilepsi karena adanya cetusan listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi neuron disekitarnya, kemudian menyebar melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal. Tidak ada gejala klinis yang tampak, abnormalitas EEG tetap terekam pada periode antar kejang. Kemudian cetusan korteks tersebut menyebar



ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur nucleus subkorteks. Gejala klinis, tergantung bagian otak yang tereksitasi misalnya salvias, midriasis, dan takikardi. Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke fokus korteks asalnya sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan listrik ke neuron – neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Secara klinis terjadi fase tonik-klonik berulang kali dan akhirnya timbul kelelahan neuron pada fokus epilepsi dan menimbulkan paralisis dan kelelahan pascaepilepsi. (Harsono, 2007)



Gambar 1. Aktivitas neuron yang berlebihan menimbulkan kejang Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir sama, walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara berkembang. Penderita laki – laki lebih banyak daripada wanita, dan sering dijumpai pada anak pertama. Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) di negara maju diperkirakan sekitar >0,9%, lebih tinggi dari dekade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia > 75 tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah insiden yang rendah dan angka. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis kelamin di negara-negara asia, di laporkan laki-laki sedikit lebih tinggi dari wanita. Laporan WHO pada tahun 2001 memperkirakan bahwa pada tahun 2000 diperkirakan penderita epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang dan 80% tinggal di negara berkembang. Angka prevalensi epilepsi pada umumnya berkisar antara 5-10 per 1000 orang penduduk (Pinzon dkk, 2005). Kejadian epilepsi pada laki-laki sebesar 5,88dan perempuan sebesar 5,51 tiap 1000 penduduk. Prevalesi epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5-2% (Paryono dkk, 2003). Sekitar 1,1 juta hingga 1,3 juta penduduk Indonesia mengidap penyakit epilepsi (Depkes, 2006).



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1. Definisi Epilepsi Kejang berasal dari bahasa Latin sacire, yang berarti untuk mengambil alih. Kejang adalah suatu kejadian tiba-tiba yang disebabkan oleh lepasnya agregat dari sel-sel saraf di sistem saraf pusat yang abnormal dan berlebihan (Lowenstein,2010). Epilepsi adalah gangguan neurologis yang paling umum, yang ditandai dengan kejang berulang. Serangan ini adalah hasil dari muatan listrik yang berlebihan dan mendadak dalam otak manusia. Ini dapat terjadi di otak secara lokal disebut sebagai kejang parsial atau melibatkan seluruh otak yang disebut sebagai kejang umum. Terjadinya kejang dapat meningkatkan risiko cedera fisik (Khan dkk,2012). Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked) (Shorvon, 2000). Kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang menyebabkan perubahan fungsi otak akibat perubahan potensial listrik serebral yang berlebihan sehingga mengakibatkan renjatan berupa kejang. Faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya epilepsi pada penderita kejang demam adalah : a. Memiliki riwayat epilepsi dari orang tua atau saudara kandung b. Terdapat kelainan neurologis / perkembangan sebelum kejang demam terjadi c. Kejang demam kompleks Resiko epilepsi 4-6% terjadi karena ditimbulkan dari masing-masing faktor resiko, resiko epilepsi meningkat menjadi 10-49% karena adanya kombinasi faktor resiko tersebut (Fuadi dkk, 2010). 2.2. Epidemiologi Epilepsi Terdapat perbedaan data epidemiologi dari berbagai negara. Hal ini disebabkan oleh (a) belum punya keseragaman dalam definisi dan klasifikasi, (b) epilepsi bukan merupakan penyakit yang harus dilaporkan, dan (c) pengambilan data dari kelompok tertentu bukan



populasi umum, misalnya statistik militer dan murid sekolah, sehingga sulit untuk membandingkan hasil penelitian – penelitian yang sudah dilakukan. Insidensi epilepsi di berbagai negara bervariasi antara 0,2-0,7 %, pravelensinya bervariasi antara 4-7 %. Sedangkan di Indonesia diperkirakan ada 900.000 – 1,8 juta penderita. Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir sama, walau pun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara berkembang. Penderita laki – laki lebih banyak daripada wanita, dan sering dijumpai pada anak pertama. Awitan dapat dimulai pada semua umur tetapi terdapat perbedaan yang mencolok pada kelompok umur tertentu sekitar 30 – 32,9% penderita mendapat sawan pertama pada usia kurang dari 4 tahun. 50 – 51.5% terdapat pada kelompok kurang dari 10 tahun dan mencapai 75-83,4% pada usia kurang dari 20 tahun. 15% penderita pada usia lebih dari 25 tahun dan kurang dari 2% pada usia lebih dari 50 tahun (Harsono, 2007). 2.3. Klasifikasi Epilepsi Klasifikasi bangkitan epilepsi dibagi menjadi : 1. Bangkitan epilepsi parsial Bangkitan yang melibatkan area otak yang terbatas (lokal)



disebut



bangkitan epilepsi parsial. Bangkitan disebabkan oleh lesi atau kelainan lokal pada otak.Evaluasi diagnosis ditujukan untuk menemukan atau membuktikan adanya lesi lokal seperti tumor, malformasi vaskuler, stroke, trauma, dan lain-lain. Bangkitan parsial dibagi menjadi : a. Bangkitan epilepsi parsial sederhana  Bangkitan epilepsi berlangsung sekitar 30 detik atau kurang, tidak ada gejala pasca bangkitan walaupun pada penderita bangkitan motorik mengalami rasa kram pada bagian tertentu.  Epilepsi ini tidak disertai gangguan atau penurunan kesadaran. Selama bangkitan berlangsung maka penderita tetap sadar, mampu merespon orang sekitar, dan penderita ingat apa yang terjadi selama bangkitan. Bangkitan parsial sederhana dapat sebagai pendahulu dari bangkitan parsial kompleks atau bangkitan umum sekunder.  Manifestasi klinisnyabervariasi tergantung area otak mana yang terkena seperti manifestasi motorik, sensorik, otonomik dan psikis.  Bangkitan motorik meliputi gerakan tonik (kaku leher, mata melirik satu arah) atau gerakan klonik (menyentak).  Bangkitan sensorik meliputi halusinasi sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan, dan pendengaran.



 Bangkitan otonomik dapat menyebabkan perubahan kecepatan denyut jantung atau pernafasan, berkeringat, bulu roma berdiri, atau rasa aneh dalam perut, dada atau kepala. b. Bangkitan epilepsi parsial kompleks  Bangkitan berlangsung selama 1-3 menit. Sesudah bangkitan penderita tampak bingung, mengantuk, mengalami perubahan perilaku dan lupa akan apa yang telah terjadi.  Terjadi penurunan kesadaran dan gangguan dalam berinteraksi dengan lingkungan.  Sekitar 50% penderita terlebih dahulu mengalami bangkitan parsial sederhana.  Selama bangkitan parsial kompleks sering tampak adanya otomatisme sederhana atau kompleks (aktivitas motorik yang 2.



berulang-ulang: tanpa tujuan, tanpa arah, dan aneh). Bangkitan epilepsi umum Bangkitan yang melibatkan seluruh bagian otak besar disebut bangkitan epilepsi umum.Bangkitan berupa hilangnya kesadaran, kemudian diikuti gejalanya yang bervariasi.Jenis-jenis bangkitan epilepsi umum dibedakan oleh ada atau tidak adanya aktifitas motorik yang khas. a. Bangkitan tonik-klonik umum ( grand mal)  Pada beberapa bangkitan diawali dengan



halusinasi



visual,



penciuman, pendengaran, dan sensorik lainnya atau pusing yang diikuti oleh hilangnya kesadaran. Pada tahap tonik, otot-otot menjadi kaku dan terjadi kontraksi diafragma. Bola mata berputar ke atas atau melirik ke satu sisi dan lidah dapat tergigit.Rigiditas segera berganti menjadi gerakan klonik secara sinkron yang melibatkan kepala, wajah, lengan dan tungkai. Dapat pula terjadi perubahan otonomik misalnya kenaikan tekanan darah dan denyut jantung. Sementara itu pupil menjadi midriasis, berkeringat dan hipersalivasi.  Bangkitan dapat terjadi pada umur berapa saja, namun demikian paling sering terjadi pada umur 0-20 tahun.  Bangkitan berlangsung selama 2-5 menit. Pasca bangkitan, penderita tampak mengantuk sekali selama beberapa menit sampai beberapa jam. b. Bangkitan epilepsi absens (Petit mal)  Bangkitan pada umur 4-14 tahun dan menghilang pada umur 18 tahun. Bangkitan berupa mata terbelalak dalam waktu singkat disertai



gangguan kesadaran. Bangkitan dimulai dan berakhir secara tiba-tiba kemudian penderita sadar kembali seperti sediakala dengan perhatian yang penuh.  Bangkitan berlangsung sekitar 10-45 detik dan penderita tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Bangkitan berhenti secara mendadak dan penderita kembali seperti sediakala tanpa gejala sisa. c. Bangkitan Ationik  Biasanya muncul pada umur 2-5 tahun. Gambaran klinis berupa hilangnya tonus otot secara total dan mendadak disertai hilangnya kontrol postur tubuh. Sesudah bangkitan dapat diikuti oleh gejalagejala pasca bangkitan.  Bangkitan berlangsung selama 10-60 detik. d. Bangkitan mioklonik Bangkitan bersifat mendadak, singkat, berupa kontraksi otot yang terbatas atau menyeluruh (Goodman and Gilman. 2008. Manual Farmakologi dan Terapi : 294-295) 2.4. Patofisiologi Epilepsi Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan ion yang terdapat didalam dan diluar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion – ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinanpsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson untuk merangsang atau menghambat neuron lain. Sel glia yang merupakan bagian terbesar dari sel – sel di susunan saraf pusat, memiliki peranan dalam mempertahankan keseimbangan ionik, agar depolarisasi yang telah terjadi dapat disusul dengan depolarisasi. Karena kemampuan tersebut, sel glia banyak yang berperan dalam inhibisi. Sampai saat ini patofisiologi epilepsi belum diketahui dengan jelas. Ada hipotesis yang menduga bahwa suatu epileptogenesis dapat terjadi karena adanya sekelompok neuron yang secara intrinsik memiliki kelainan pada membrannya, ini bisa didapat atau diturunkan. Neuron abnormal tersebut akan menunjukkan depolarisasi berkelanjutan dan sangat besar, kemudian melalui hubungan yang efisien akan mengimbas depolarisasi pada sebagian besar neuron – neuron lainnya. Bila proses inhibisi juga mengalami gangguan, entah karena suatu cedera, hipotesis iskemia atau genesis akibat gangguan mutasi, maka kumpulan neuron



abnormal yang diimbasnya akan bersama–sama dalam waktu yang hampir bersamaan melepaskan potensial aksinya, sehingga terjadilah sawan. Pada sawan umum primer, letak massa neuron yang abnormal sampai saat ini belum diketahui, ada dugaan terletak pada kelompok sel–sel subkortikal. Sedangkan pada sawan parsialis, massa neuron abnormal terletak di lapisan–lapisan neuron tertentu di neokorteks atau hipokampus. Suatu sawan parsialis dapat menjadi umum sekunder bila massa neuron abnormal di neokorteks atau hipokampus melibatkan neuron yang terletak di subkortikal (Harsono, 2007). Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam perubahan otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).  Mekanisme Iktogenesis Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau jaringan neuron.  Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan fungsional



dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada tipe,jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbang ligan; atau perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan permeabilitas terhadap Ca2+, mendukung perkembangan depolarisasi berkepanjangan yang mengawali kejang.  Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi perubahan konsentrasi ion, perubahan metabolik, dan kadar neurotransmitter. Perubahan struktural dapat terjadi pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun sebanyak 85% selama kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K +. Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada kadar K+.  Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di sepanjang sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi; atau kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron inhibisi.  Mekanisme Epileptogenesis  Mekanisme non sinaptik Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan kadar K + ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na-K akibat hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan keikutsertaan angkutan ClK, yang mengatur kadar Cl intrasel dan aliran Cl inhibisi yang diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi dari ujung sinaps bergantung



pada lamanya depolarisasi dan jumlah neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing abnormal pada cabang akson di sel penggantian talamokortikal memainkan peran penting pada epileptogenesis.  Mekanisme sinaptik Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi GABAnergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik. GABA Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (Cairan Serebrospinal) pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan epileptik dari pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap obat, memperkirakan bahwa pasien ini mengalami penurunan inhibisi. Glutamat Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan mendahului kejang. Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan hipokampus yang non-epileptogenetik. Hal ini mengarah pada peningkatan toksik di glutamat ekstrasel akibat penurunan inhibisi di daerah yang epileptogenetik (Eisai, 2012). Suatu bangkitan dapat berasal dari fokus yang melepaskan muatan pada daerah otak yang terbatas, maka dikenal sebagai bangkitan parsial. Mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi dua fase, yakni fase inisiasi dan fase propagasi. 1. Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial aksi frekuensi tinggi yang melibatkan



peranan kanal ion Ca2+ dan Na+ serta hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor GABA atau kanal ion K+. 2. Fase propagasi dalam keadaan normal, penyebaran depolarisasi akan dihambat oleh neuron-neuron inhibisi disekitarnya yang mengadakan hiperpolarisasi. Namun, pada fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang mendepolarisasi neuron disekitarnya), akumulasi Ca2+ pada ujung akhir pre sinaps (meningkatkan pelepasan neurotransmitor), serta menginduksi reseptor eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca2+ sehingga tidak terjadi inhibisi oleh neuron-neuron di sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsi umum / epilepsi sekunder (Sulistia Gan Gunawan, 2007). 2.5. Gejala



a. Kejang umum Semua area otak (korteks) yang terlibat dalam kejang umum. Kadang-kadang disebut sebagai kejang grand mal atau tonic-clonic convulsion. Orang yang mengalami kejang tersebut mungkin berteriak atau membuat beberapa suara, kaku untuk beberapa detik, kemudian memiliki gerakan ritmis pada lengan dan kaki. Sering kali gerakan berirama lambat sebelum berhenti. Mata umumnya terbuka, tidak tampak bernapas. Kembalinya kesadaran secara bertahap dan harus terjadi dalam beberapa saat. Sering kali orang akan bingung sebentar setelah kejang umum.



Gambar 2. Kejang Umum b. Kejang parsial Hanya bagian dari otak yang terlibat, sehingga hanya bagian tubuh yang terkena. Tergantung pada bagian otak yang memiliki aktivitas listrik abnormal, gejala dapat bervariasi. Jika bagian dari gerakan otak pengendali tangan yang terlibat, misalnya, maka mungkin hanya tangan dapat menunjukkan gerakan ritmis atau masturbasi. Kadangkadang orang dengan kejang parsial muncul kebingungan. Ini mungkin merupakan kejang kompleks parsial. Kompleks istilah digunakan oleh dokter untuk menggambarkan seseorang yang antara menjadi penuh waspada dan sadar.Kejang parsial dibagi menjadi dua antara lain : Simple partial seizures pasien tidak kehilangan kesadaranterjadi sentakansentakan pada bagian tertentu dari tubuh dan complex partial seizures pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali: gerakan mengunyah, meringis, dll tanpa kesadaran.



Gambar 3. Kejang parsial c. Kejang petit mal



Ini adalah yang paling umum pada anak-anak. Penurunan kesadaran ditandai dengan orang sering menatap kosong. Berkedip berulang atau gerakan kecil lainnya mungkin ada. Biasanya kejang ini singkat, hanya berlangsung detik (Kumar dkk, 2010).



Gambar 4. Kejang petit mal. Gejala-gejala berikut dapat menunjukkan seseorang memiliki epilepsi.Pemeriksaan medis disarankan jika satu atau lebih dari gejala ini timbul. Gejala meliputi :  



Kejang dengan atau tanpa demam Sesekali "fainting spells" dimana kandung kemih atau kontrol usus hilang , diikuti



 



dengan kelelahan luar biasa Kaku tiba-tiba atau jatuh tanpa alasan yang jelas Perilaku bingung, karena tidak mampu berbicara atau berkomunikasi untuk waktu



 



yang singkat Takut tiba-tiba, marah atau panik tanpa alasan Kehilangan kesadaran (Kumar,dkk,2010 : 982)



2.6.



Etiologi Epilepsi Menurut penyebabnya, epilepsi di bagi menjadi 3 , yaitu: 1. Epilepsi idiopatik (belum diketahui penyebabnya) Diduga adanya kelainan genetikseperti : - GABA (Gama Amino Butiric Acid) merupakaninhibitor kegiatan neuron yang abnormal. Kurangnya produksi GABA memicu serangan epilepsi. Yang termasuk epilepsi idiopatik adalah :  Epilepsi grandmal  Epilepsi petitmal/absence  Epilepsi mioklonik  Epilepsi febrile convulsion (bangkitan yang terjadi sewaktu suhu badan meningkat) 2. Epilepsi Simptomatik Sel glia (jaringan ikat otak) sekitar sel neuron bertindak sebagai buffer, bila konsentrasi ion kalium di luar sel saraf meningkat.Bila terjadi gliosis (radang jaringan otak) akibat kerusakan jaringan otak, maka fungsinya hilang. Pada kadar hiperkalemia sekitar sel saraf maka sel-sel sekitar daerah gliosis mudah terangsang untuk melepaskan muatan listriknya. Bangkitan disebabkan oleh: 1. Faktor keturunan



2. Gangguan Pertumbuhan - Infeksi dalam kandungan misalkan karena virus seperti Rubella atau infeksi yang terjadi setelah lahir misalkan karena toksoplasmosis (parasit) dapat merupakan penyebab dari epilepsi. - Penyinaran dan pemberian beberapa jenis obat waktu hamil muda dapat merupakan penyebab dari epilepsi. 3. Cedera waktu lahir Pada waktu melahirkan kadang-kadang dapat terjadi kekurangan oksigen atau memar pada otak bayi yang dapat menyebabkan terjadinya cerebral palsy (gangguan fungsi otak) yang disertai bangkitan. 4. Kekurangan oksigen Pada bayi dan anak, kekurangan oksigen misalkan karena infeksi atau penyumbatan dari saluran nafas, dapat menimbulkan bangkitan karena terjadinya kerusakan pada sel neuron yang diikuti pembentukan jaringan parut. 5. Kekurangan oksigen akutpada otak Penderita yang baru mengalami serangan jantung akut sehingga jantungnya berhenti bekerja, kemudian dapat ditolong dengan resusitasi, kerapkali mengalami kerusakan pada sel neuron yang luas dan menetap sehingga dapat menyebabkan timbulnya bangkitan epilepsi. 6. Gangguan nutrisi dan metabolisme Yang dapat menimbulkan bangkitan antara lain adalah - Kekurangan vitamin B6 yang diperlukan untuk pembentukan zat GABA - Gangguan metabolisme karbohidrat seperti hipoglikemia pada bayi dan anak - Gangguan elektrolit: Kekurangan kadar kalium serta magnesium - Uremia ( kadar ureum dalam darah yang meningkat) 7. Intoksikasi pada susunan saraf pusat : Yang dapat menimbulkan bangkitan antara lain adalah : - Intoksikasi karena timah - Obat – obat tertentu seperti kortison, penisilin prokain, alkohol dsb - Beberapa jenis obat golongan barbiturat ( luminal ) dapat menyebabkan bangkitan bila dihentikan secara mendadak setelah pemakaian yang lama 3. Epilepsi Neonatus Faktor penyebabnya antara lain : hipoksia, cidera waktu lahir, hipokalsemia, hipoglikemia, hipomagnesemia, hipopiridoksinemia. Keadaan tersebut dapat terjadi pada neonatus dalam masa 30 hari setelah lahir. Bila tidak dilakukan pengobatan akan terjadi epilepsi berkelanjutan.



Faktor pemicu bangkitan pada penderita epilepsi : a.



Kurang Tidur Kurang tidur dapat merubah aktifitas sel neuron sehingga memudahkan



terjadinya bangkitan b. Stres c. Obat- obatan Beberapa jenis obat seperti teofilin dan antidepresan trisiklik dapat menimbulkan bangkitan 2.7.



Diagnosa Epilepsi Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil



pemeriksaan EEG atau radiologis. 1) Anamnesis Anamnesis



merupakan



langkah



terpening



dalam



melakukan



diagnosis



epilepsi.Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa



hampir



tidak



pernah



menyaksikan



serangan



yang



dialami



penderita.Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu.Penjelasan dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi : a. Pola / bentuk serangan b. Lama serangan c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan d. Frekuensi serangan e. Faktor pencetus f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang g. Usia saat terjadinya serangan pertama h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga 2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis dilihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus.Pada anakanak, diperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh. Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“, koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti



hemiparese,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus, diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi. “Dysmorphism” dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis (Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan 2000). 3) Tes Laboratorium Saat ini tidak ada tes laboratorium diagnostik untuk epilepsi. Dalam beberapa kasus, terutama setelah GTC atau Generalized Tonic Clonic (umum tonik-klonik) atau mungkin CP (Komplek Parsial) kejang, kadar prolaktin serum dapat meningkat secara sementara.



Tes



laboratorium



bisa



dilakukan



untuk



menghilangkan



penyebab



dalampengobatan kejang (misalnya, hipoglikemia, konsentrasi elektrolit diubah, infeksi, dll) yang tidak mewakili epilepsi (Dipiro dkk, 2008) 4) Pemeriksaan penunjang a. Elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis epilepsi.Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE). Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG.Kelainan parsial pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila : 1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak 2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya 3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal seperti gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.



Gambar.Alat EEG b. Neuroimaging Neuroimaging atau pemeriksaan radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kiri dan kanan. Indikasi CT Scan kepala adalah: -Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan epilepsi di otak. -Perubahan serangan kejang. -Ada epilepsi neurologis fokal. -Serangan kejang parsial. -Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun. -Untuk persiapan operasi epilepsy (Kustiowati dkk 2003). CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik epilepsi dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi: T1 dan T2 “weighted” dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan saggital (Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk 2003).



Gambar 6. CT Scan c. Pemeriksaan Neuropsikologi Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi (Oguni 2004, Sisodiya 2000). 2.8. Sasaran, Tujuan dan Strategi Terapi Epilepsi 2.8.1. Sasaran Sasaran terapi epilepsi adalah keseimbangan neurotransmiter glutamate dan GABA di otak (Ikawati, 2011). 2.8.2. Tujuan Tujuan terapi epilepsi adalah untuk mengontrol atau mengurangi frekuensi kejang, memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan, dan memungkinkan pasien dapat hidup dengan normal. Khusus untuk status epileptikus, terapi sangat penting untuk menghindarkan pasien dari kegawatan akibat serangan kejang yang berlangsung lama (Ikawati, 2011). 2.8.3. Strategi Strategi terapi epilepsi adalah mencegah atau menurunkan lepasnya muatan listrik syaraf yang berlebihan melalui perubahan pada kanal ion atau mengatur ketersediaan neurotransmitter, dan atau mengurangi penyebaran pacuan dari fokus serangan dan mencegah cetusan serta putusnya fungsi agregasi normal neuron (Ikawati,2011). 2.9. 1.



Terapi Non Farmakologi Stimulasi Saraf Vagus (SSV). Sebuah stimulator saraf vagus adalah perangkat medis implan yang disetujui FDA



untuk digunakan sebagai terapi tambahan dalam mengurangi frekuensi kejang pada orang dewasa dan remaja yang umurnya lebih dari 12 tahun dengan kejang parsial onset yang sukar disembuhkan oleh AED. Mekanisme tindakan anti kejang dari SSV tidak diketahui pada manusia, namun penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa SSV memiliki beberapa aktivitas. Studi klinis pada manusia telah menunjukkan bahwa SSV mengubah konsentrasi cairan



serebrospinal (CSF) neurotransmitter terhambat serta terstimulasi dan mengaktifkan area tertentu dari otak yang menghasilkan atau mengatur aktivitas kejang kortikal melalui peningkatan aliran darah. Hal ini diyakini bahwa intermiten efek antiepilepsi jangka panjang SSV melibatkan neurotransmitter dan atau zat kimia saraf. SSV merupakan perangkat medis yang relatif aman. Efek samping yang paling umum yang terkait antara lain dengan stimulasi suara serak, perubahan suara, peningkatan batuk, faringitis, dyspnea, dispepsia, dan mual. Efek samping serius yang dilaporkan termasuk infeksi, kelumpuhan saraf, hypoesthesia, paresis wajah, meninggalkan kelumpuhan pita suara, meninggalkan kelumpuhan wajah, kiri berulang cedera saraf laring, retensi urin, dan demam ringan. Secara keseluruhan, dalam studi SSV, persentase pasien yang mencapai 50% atau lebih besar pengurangan frekuensi kejang mereka (responden) berkisar antara 23% sampai 50% (Dipiro dkk., 2008). 2. Pembedahan Pembedahan merupakan terapi pilihan pada pasien tertentu dengan epilepsi fokal refraktori. Tingkat keberhasilan dilaporkan antara 80% dan 90% pada pasien yang dipilih dengan benar. Telah terbukti operasi yang mengurangi risiko kematian epilepsi terkait, dan juga dapat meningkatkan depresi dan kecemasan pada pasien epilepsi refrakter. National Institutes of Health Consensus Conference mengidentifikasi tiga persyaratan mutlak untuk operasi. Mereka adalah (1) diagnosis absolut epilepsi, (2) kegagalan pada uji coba yang memadai terapi obat, dan (3) definisi sindrom electroclinical. Fokus di lobus temporal memiliki kesempatan terbaik untuk hasil yang positif; Namun, fokus ekstratemporal dapat dipotong dengan sukses di lebih dari 75% pasien. Prosedur ini bukan tanpa risiko. Belajar dan memori dapat terganggu pasca operasi, dan kemampuan intelektual umum juga terpengaruh di sejumlah kecil pasien. Pembedahan mungkin sangat berguna pada anak dengan epilepsi intraktabel. Pasien mungkin perlu untuk terus menerima terapi AED untuk jangka waktu setelah operasi epilepsi sukses, tetapi mereka mungkin dapat menggunakan dosis yang dikurangi dari obat anti epilepsi mereka (Dipiro dkk., 2008). 3.



Diet Ketogenik Diet ketogenik telah dibuat pada 1920-an merupakan diet tinggi lemak dan rendah



karbohidrat dan protein sehingga menyebabkan asidosis dan ketosis. Protein dan asupan kalori yang ditetapkan pada tingkat yang akan memenuhi persyaratan untuk pertumbuhan. Sebagian besar kalori yang diperbolehkan dalam bentuk krim kental dan mentega, dan gula. Melengkapi kebutuhan vitamin, mineral, mengontrol cairan dalam tubuh. Hal ini membutuhkan monitoring yang ketat dan kepatuhan pasien. Efek jangka panjang telah



menyebabkan batu ginjal, patah tulang, dan efek samping pada pertumbuhan. Baru-baru ini diet Atkins dimodifikasi telah ditemukan efektif dalam pengobatan epilepsi anak. (Dipiro dkk, 2008). Mekanisme diet ketogenik sebagai antiepilepsi masih belum diketahui secara pasti, namun senyawa keton ini diperkirakan berkontribusi terhadap pengontrolan kejang. Adanya senyawa keton secara kronis akan memodifikasi siklus asam trikarbosilat untuk meningkatkan sintesis GABA di otak, mengurangi pembentukan reactive oxigene species (ROS), dan meningkatkan produksi energi dalam jaringan otak. Selain itu, beberapa aksi penghambatan syaraf lainnya adalah peningkatan asam lemak tak jenuh ganda yang selanjutnya akan menginduksi ekspresi neural protein uncoupling (UCPs), meng-upregulasi banyak gen yang terlibat dalam metabolisme energi dan biogenesis mitokondria. Efek-efek ini lebih lanjut akan membatasi pembentukan ROS dan meningkatkan produksi energi dan hiperpolarisasi syaraf. Berbagai efek ini secara bersama-sama diduga berkontribusi terhadap peningkatan ketahanan syaraf terhadap picuan kejang (Ikawati, 2011). 4. Lain-lain Menurut Kumar dkk, 2010 bahwa terapi non farmakologi bagi penderita epilepsi sebagai berikut :  Diet ketat, istirahat penuh dan olahraga teratur  Menghindari stress dan kelelahan berlebih  Menghindari konsumsi alkohol  Konsumsi susu kambing murni dan keju buatan sendiri  Menghindari konsumsi kopi  Memakan buah selama beberapa hari untuk diet ekslusif 3. Terapi Farmakologi 1. Terapi Faramakologi a. Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+ Pembukaan saluran Na+ yang dipicu oleh depolarisasi pada membran akson suatu neuron diperlukan untuk suatu potensial aksi. Setelah membuka, saluran tersebut menutup secara spontan, proses ini disebut inaktivasi. Bebrapa obat antiepilepsi dapat memperpanjang inaktivasi saluran Na+ yang akan menurunkan kemampuan



neuron



untuk



berstimulasi



pada



frekuensi



tinggi



(Gilman&Goodman,2008:296).  Karbamazepin Karbamazepin merupakan turunan dibenzazepin yang mempunyai spektrum antikejang luas. Obat ini merupakan lini pertama untuk terapi epilepsi. Karbamazepin diabsorpsi secara lambat pada saluran cerna, kadar plasma tertinggi dicapai setelah 6- 12 jam. Indikasi : mengontrol serangan epilepsi parsial, grand mal dan petit mal.



Efek sampingnya : mengantuk dan iritasi lambung. Dosis : pada anak usia 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari. Efek samping : mual dan muntah, mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.  Lamotrigin Indikasi : epilepsi parsial dan tonik klonik Dosis : 25-50 mg/hari (Siswandono.2008 : 263) Mekanisme kerja : Lamotrigin menekan cetusan listrik neuron yang bertahan lama dan menghasilkan inaktivasi kanal natrium.Lamotrigin juga menurunkan pelepasan glutamate di sinaps (Betram G katzung.2010: 392) Efek samping : diplopia, pusing, goyah (tidak bisa tegak) b. Obat-obat yang meningkatkan transmisi sinaptik GABA Dengan adanya GABA, reseptor GABAA yang terbuka memungkinkan influks Clyang dapat meningkatkan polarisasi membran. Beberapa obat anti epilepsi bekerja secara prasinaptik untuk memicu pelepasan GABA (Gilman&Goodman.2008:296)  Gabapentin Indikasi : epilepsi parsial dan bangkitan umum sekunder Dosis : anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali sehari (Siswandono.2008 : 263). Mekanisme kerja : Walaupun strukturnya terkait dengan GABA. Garbapentin tidak bekerja langsung pada reseptor GABA. Namun obat ini dapat memodifikasi pelepasan GABA sinaptik atau non sinaptik.Peningkatan konsentrasi GABA dalam otak terlihat pada pasien yang menggunakan garbapentin.Garbapentin ditranspor ke dalam otak oleh transporter asam amino-L.garbapentin berikatan erat dengan sub unit α2δ kanal Ca+ bergebang-tegangan. Garbapentin juga bekerja pada prasinaptik glutamate, efek ini mungkin bergantung pada adanya penurunan masukan Ca2+ prasinaptik melalui kanal yang diaktivasi. (betram G katzung. (2010: 392-393)  Vigabatrin Indikasi: epilepsi yang tidak dapat diatasi dengan epilepsi lain secara memuaskan Dosis: dosis awal 1 g/haridalam dosis tunggal dinaikkan bertahap sebesar 500mg sesuai dengan respon. Dosis lazim 2-4 g/hari sampai diatas 4g/hari(pemantauan efek samping secara ketat ). Dosis anak 40mg/kgBB/hari atau BB 10-15kg 0,5-1 g/hari, BB 15-30kg 1-1,5kg/hari, BB 30-50kg 1,5-3g/hari, BB >50kg 2-4g/hari. Mekanisme kerja :



Vigabatrin merupakan penghambat ireversibel GABA aminotransferase (GABAT) yaitu enzim yang bertanggung jawab dalam penguraian GABA. Vigabatrin bekerja meningkatkan jumlah GABA yang dilepas pada sinaps sehingga memperkuat efek inhibitorik (Betram G katzung.2010: 393).



Tabel 1. Obat Anti Epilepsi (OAE) yang Sering Digunakan untuk Tipe Epilepsi. ALGORITMA TERAPI EPILEPSI Algoritma terapi epilepsi menurut diphiro dkk (2009) Diagnosa positif Mulai pengobatan dengan satu OAE Pilih berdasar klasifikasi kejang dan efek samping



Sembuh ?



Ya Efek samping dapat ditoleransi ? Kembali ke Hentikan Lanjutkan Assesment Tidak kambuh Tidak selama th ?Tidak Pengobatan awal ? Ya terapi Ya> 2hidup Tidak Kualitas optimal



YaPertimbangkan, atasi dengan tepat Turunkan dosis



Tidak Rekonfirmasi Efek samping dapat ditoleransi ? diagnosis, Hentikan OAE yg Tingkatkan dosis tidak efektif Pertimbangkan Tidak Ya 2, cekdosis, Hentikan OAE 1pembedahan, Turunkan OAE interaksi, Tambahkan OAE 2 Tetap gunakan OAE 2 tambahkan OAE cek kepatuhan ygTidak lain Lanjutkan Ya terapi Sembuh ?Tidak atau OAE Ya lain Sembuh Tidak ? Ya2 ? Efek samping dapat ditoleransi Tingkatkan dosis



Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik pasien 1. Tipe serangan (Goodman and Gilman.2008 : 295) Tipe serangan



First-line



Second-line/



Parsial sederhana



Karbamazepine



add on Gabapentin



Fenitoin



Lamotrigin



Asam Valproat Karbamazepine



Gabapentin



Fenitoin



Lamotrigin



Parsial kompleks



Asam Valproat Umum absens



Etoksuksimid



Lamotrigin



Asam valproat



Umum mioklonik Asam valproat



Lamotrigin Topiramat



Umum tonik klonik Karbamazepine



Fenobarbital



Lamotrigin Topiramat



Fenitoin Asam Valproat 2. Karakteristik pasien Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah : efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Jika ada kontra indikasi atau terjadi reaksi yang intolerir maka penggantian obat dilakukan. EDUKASI Cara menanggulangi kejang epilepsi : 1. Selama Kejang a)



Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu



b)



Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan



c)



Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.



d)



Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.



e)



Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.



f)



Ajarkan penderita untuk mengenali tanda-tanda awal munculnya epilepsi atau yang biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti



perasaan bingung, melayang-melayang, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur. g)



Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa ke dokter atau rumah sakit terdekat.



2. Setelah Kejang a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi, dalam keadaan demikian jangan diberi makan dan minum pada penderita sampai kesadaran pulih. b) Sebelum dibiarkan sendirian perlu dipastikan bahwa penderita sudah sadar penuh atau belum dengan mengajukan pertanyaan yang jawabannya bukan sekedar ya atau tidak. c) Apabila penderita mengalami bangkitan parsial kompleks dengan demikian masih ada sisa kesadaran maka penderita dibawa ketempat yang aman. d) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan. e) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut (Harsono,2007:78).



DAFTAR PUSTAKA Ahmed Z, Spencer S.S. 2004. An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures and Epilepsi, Wisconsin Medical Journal, 103(1)



Anonymous. 2003. Diagnosis of Epilepsi, Epilepsia, 44 (Suppl.6) Depkes. 2006. 1,4



Juta



Penduduk



Indonesia



Mengidap



Epilepsi.



[online].



Diambil



dari:



http://www.depkes.go.id/index.php? option=news&task=viewarticle&sid=2237&Itemid=2 Dipiro, Joseph T., Talbert., Robert L., Yee, Gary C., Matzke, Gary R., Wells, Barbara G., dan Posey, L Michael. 2008. Pharmacotheraphy: A Pathophysiologic Approach. Seventh Edition. New York: Mc Graw Hill. Duncan J. 2000. Epilepsi : Epidemiology, Clinical Assessment, Investigation and Natural History, Medicine International Eisai. 2012. Pathophysiology of Epilepsy. 2. Eisai Inc. Available from http://www.focusonepilepsy.com/pdfs/pathophys.pdf Fuadi., Bahtera, T., Wijayahadi, N. 2010. Faktor Risiko Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri. 12 (3) 142-149.. Goodman & Gilman. 2008. Manual Farmakologi dan Terapi. Jakarta : EGC. Harsono. 2001. Epilepsi edisi 1. Yogyakarta : GajahMada University Press. Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi edisi 2. Yogyakarta : GajahMada University Press. Khan,dkk.2012. Automatic detection of seizure onset inpediatric EEG. Vol 2 Kumar,dkk. 2010. Recent advances in epilepsi drug therapy and management disease. Vol 2 Kustiowati E, Harsono B, Bintoro A, Agoes A. 2003. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi. Oguni H 2004. Diagnosis and Treatment of Epilepsi, Epilepsia, 48 (Suppl.8) Paryono, Meilala L., Asmedi A. 2003. Oxcarbazepin Sebagai Terapi Epilepsi Parsial Refrakter. Berkala Neurosains, vol 4 Shorvon, S. 2000. Epilepsy, Handbook of Epilepsy Treatment. Blackwell Science Ltd. Oxford. 1-4. Sulistia dan Gunawan. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran – Universitas Indonesia.