Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU ADHOC, PRAKTIK ELECTORAL FRAUD OLEH PANITIA PEMILIHAN DI PROVINSI SUMATERA UTARA Muhammad Iqbala, Sri Budi Eko Wardhanib



aProgram bDosen



Tata Kelola Pemilu, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia S2 Tata Kelola Pemilu, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia E-mail: [email protected]



ABSTRAK Badan Penyelenggara Pemilu Adhoc atau Panitia Pemilihan adalah Penyelenggara Pemilu yang paling rentan menjadi pelaku kecurangan Pemilu (election fraud). Anggota PPK, PPS dan KPPS memiliki akses untuk bersentuhan langsung dengan peserta Pemilu dan alat kebutuhan pelaksanaan Pemilu, mulai dari TPS hingga surat suara. Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 yang memberikan wewenang langsung kepada KPU Kabupaten/Kota untuk menindak dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Panitia Pemilihan, terdapat 239 anggota PPK, PPS dan KPPS yang telah diberhentikan tetap karena terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan pakta integritas. Provinsi Sumatera Utara merupakan daerah yang paling banyak melakukan pemeriksaan dugaan pelanggaran integritas oleh anggota Panitia Pemilihan. Pelanggaran yang dilakukan terdiri dari pelanggaran administrasi, malpraktek pemilu hingga tindak pidana pemilu seperti manipulasi pencoblosan surat suara, penggelembungan hasil perolehan suara hingga praktek suap yang terungkap di pemeriksaan anggota Panitia Pemilihan. Permasalahan integritas menjadi persoalan utama dalam evaluasi pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 dari sudut pandang electoral integrity, tingkat integritas Penyelenggara Pemilu pada tahun 2019 menjadi hal krusial untuk perbaikan format kepemiluan di masa mendatang. Kata Kunci: pemilu, panitia pemilihan, integritas, profesional, election fraud THE INTEGRITY OF THE ADHOC ELECTION MANAGEMENT BODY, STUDY CASE: ELECTORAL FRAUD PRACTICE BY ELECTION COMMITTEE IN NORTH SUMATERA PROVINCE ABSTRACT The Adhoc election management body is the election organizer that is most vulnerable in becoming perpetrators of election fraud. Sub Distict Election Committee (PPK), Voting Committee (PPS) and Voting Organizers Group (KPPS) members have access to come into direct contact with election participants and the tools needed for conducting elections, from the polling stations to the ballots paper. Election abuse is most often conducted by the election committee. Based on KPU Regulation No.8 of 2019 which gives direct authority to General Election Commission (KPU) of Regency/City to take action against suspected violations committed by election organizer members, there are 239 PPK, PPS and KPPS members who have been terminated permanently because they have been proven to have violated the Code of Ethics, Code of Conduct, oath /pledge and integrity facts. The Province of North Sumatra is the area that carries out the most checks on alleged integrity violations by members of the election organizer members. The violations committed consist of administrative violations, electoral malpractice to election crimes such as manipulation of ballot voting, ballooning the results of votes to bribery practices that were revealed at the 1



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id examination of election organizer members. The issue of integrity becomes a major issue in evaluating the implementation of the 2019 Simultaneous Elections is viewed from the perspective of electoral integrity, the integrity level of the election organizers in 2019 will be crucial for the improvement of the electoral format in the future. Keywords: elections, ad hoc bodies, integrity, professional, election fraud



PENDAHULUAN Kecurangan Pemilu merupakan salah satu bagian penting dalam menguji integritas Pemilu dan pelaksanaan Pemilu yang jujur dan berkeadilan. Praktek kecurangan Pemilu adalah asal mula dari perkara pemilu (electoral dispute) yang menjadi bagian dari lingkaran tahapan pemilu (election circle phase). Kecurangan pemilu atau sering disebut dengan electoral fraud merupakan negasi dari gagasan mengenai integritas pemilu (electoral integrity). Banyak istilah lain yang digunakan untuk menguji integritas pemilu dalam banyak isu, seperti malpraktek pemilu (electoral malpractice), cacat pemilu (flawed election), kesalahan pemilu (misconduct), manipulasi pemilu (electoral manipulation) dan kecurangan pemilu (rigged/stolen elections). Istilah-istilah ini hanya bahasa diplomatik dalam studi kepemiluan yang sering digunakan oleh observer pemilu dan ilmuwan politik (Norris , 2014). Badan Penyelenggara Pemilu Adhoc atau sering disebut Panitia Pemilihan adalah otoritas yang paling sering melakukan praktek-praktek kecurangan Pemilu. Panitia Pemilihan adalah lembaga yang langsung bersentuhan dengan peserta Pemilu karena bekerja di level bawah, bersifat temporer dan garda terdepan melayani pemilih dan peserta Pemilu. Panitia Pemilihan sering dianggap sebagai tulang punggung demokrasi, namun sekaligus menjadi penyebab utama permasalahan integritas Pemilu, mengingat perannya yang sangat krusial dalam pemungutan dan penghitungan suara karena beberapa tahapan krusial Pemilu, dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Mulai dari distribusi logistik, pendaftaran pemilih, pemutakhiran data pemilih, pemungutan suara, penghitungan perolehan suara hingga rekapitulasi tingkat bawah (kecamatan) dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Semua tahapan tersebut merupakan celah terjadinya praktek kecurangan Pemilu. Bagian penting dari Badan Penyelenggara Pemilu (BPP) yang menjadi ujung tombak penyelenggaraan Pemilu adalah Panitia Pemilihan. Panitia Pemilihan menjadi otoritas yang paling banyak melakukan praktek kecurangan Pemilu karena merupakan lembaga yang langsung bersentuhan dengan peserta Pemilu, bekerja di level bawah, temporer dan garda terdepan. Meskipun demikian, Panitia Pemilihan sering dianggap sebagai tulang punggung demokrasi, namun sekaligus menjadi penyebab utama permasalahan integritas Pemilu, mengingat perannya yang sangat krusial dalam pemungutan dan penghitungan suara. Beberapa tahapan krusial Pemilu dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Mulai dari distribusi logistik, pendaftaran pemilih, pemutakhiran data pemilih, pemungutan suara, penghitungan perolehan suara hingga rekapitulasi tingkat bawah (kecamatan) dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Semua tahapan tersebut merupakan celah terjadinya praktik kecurangan Pemilu. Dengan kata lain, kepercayaan publik terhadap Pemilu sangat bergantung pada integritas 2



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Panitia Pemilihan. Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan secara otomatis akan mempengaruhi kualitas pelaksanaan Pemilu. Pemilu merupakan akar yang sangat diperlukan bagi demokrasi. Global Commission on Elections, Democracy and Security telah memberikan standar yang tinggi agar Pemilu suatu negara dianggap kredibel. Kepercayaan publik terhadap Pemilu sangat bergantung pada integritas BPP yang kompeten dengan kebebasan penuh dalam bertindak untuk menyelenggarakan Pemilu yang transparan 1 . Ketika Pemilu memiliki integritas, prinsip dasar demokrasi yaitu kesetaraan politik dihormati. Apabila Pemilu dianggap tidak berintegritas, kepercayaan publik akan melemah, pemerintah akan kurang legitimasinya2. Untuk menggambarkan betapa integritas Pemilu merupakan poin paling krusial, Norris (2014) menyebutkan bahkan negara yang telah melakoni demokrasi berabad-abad sekalipun, tidak akan pernah luput dari persoalan integritas dan iregularitas. Dalam bukunya Why Electoral Integrity Matters, Norris (2014) mengutip langsung mukadimah Laporan Ketua Global Commission on Elections, Democracy and Security yang juga dikenal sebagai mantan Sekjen PBB, Kofi Annan: “Building democracy is a complex process. Elections are only a starting point but if their integrity is compromised, so is the legitimacy of democracy. … Most countries have agreed to principles that would, if respected, lead to credible electoral processs, but too often these principles are ignored because of lack political commitment, insufficient technical knowledge or inadequate international support” Pertanyaan besar kemudian yang muncul adalah sebagai konsep, bagaimana integritas itu dapat dimaknai untuk Pemilu. Integritas merujuk pada sesuatu yang tidak dapat disuap atau kepatuhan yang kukuh pada pedoman nilai dan moral (Global Commission on Elections, Democracy and Security Report, 2012). Untuk mengatakan seseorang memiliki integritas yang luar biasa adalah dengan mengatakan ia telah berbuat berdasarkan pedoman beretika, tidak dapat disuap dengan pertimbangan apapun. Maka secara normatif, integritas atau disintegritas merupakan persoalan sosiologis yang dibebankan kepada perseorangan atau lembaga. Pelanggaran yang dilakukan oleh personal atau institusi dapat ditelisik melalui modus operandinya. Salah satu fakta pelanggaran integritas Panitia Pemilihan adalah hasil rilis DKPP pada Pemilu tahun 2014 yang menyebutkan berbagai celah hukum dijadikan modus operandi dalam merencanakan kecurangan Pemilu untuk memenangkan calon tertentu tanpa dapat dipersalahkan secara 1



Laporan dari Komisi Global Untuk Pemilihan Umum, Demokrasi dan Keamanan tahun 2012 menyebutkan terdapat lima tantangan utama yang harus ditangani untuk menyelenggarakan Pemilu yang berintegritas yakni (1) membangun peraturan hukum untuk keadilan Pemilu, (2) membangun EMB yang berkompeten, (3) menciptakan institusi dann norma persaingan multi-partai, (4) menghilangkan hambatan, hukum administratif, politik, ekonomi, dan sosial terhadap partisipasi politik yang setara dan universal, dan (5) mengatur keuangan politik yang tidak dapat dikendalikan , tertutup dan samar. 2 Pada pendekatan lain, disintegritas pemilu akan berdampak sangat buruk pada penegakan hak asasi manusia (ibid)



3



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



hukum dan secara nyata merupakan pelanggaran hukum. Seperti mengubah sertifikat hasil rekapitulasi penghitungan suara, menghilangkan formulir C1, tidak membagikan petikan atau salinan hasil rekapitulasi suara, penggunaan formulir C6 untuk menambah suara paslon tertentu oleh yang bukan berhak, melakukan rekapitulasi penghitungan di tempat tertutup, politik uang dan lain sebagainya. Seluruh kecurangan tersebut hanya dapat dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Jika Penyelenggara Pemilu terbukti melakukan perbuatan dimaksud, maka hal tersebut merupakan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum sudah dapat dipastikan merupakan pelanggaran Kode Etik. Modus kecurangan yang banyak dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu dengan bersembunyi pada ketentuan-ketentuan yang bersifat prosedural terutama saat rekapitulasi penghitungan suara. Seperti mengabaikan keberatan saksi dan memerintahkan untuk mengisi formulir pengaduan pada saat rekapitulasi di tingkat penyelenggara yang lebih tinggi dengan alasan saat rekapitulasi di tingkat penyelenggara yang lebih rendah tidak ada keberatan. Merujuk pada hasil evaluasi pemilu tahun 2019 terkait penanganan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan, jenis pelanggaran terungkap lebih masif karena proses penanganan melalui tahapan pengawasan internal dan berdasarkan laporan/aduan sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019. Tabel 1. Beberapa Jenis Pelanggaran yang Dilakukan oleh Panitia Pemilihan pada Pemilu 2019 NO 1



JENIS PELANGGARAN Pencoblosan Surat Suara Sisa



PROVINSI Sumatera Utara,



2



Penggelapan Gaji KPPS



3



Memihak kepada Peserta Tertentu/Tidak Netral



4



Terdaftar sebagai Pengurus Parpol



5



Ikut Berkampanye bagi Peserta Pemilu



6



Membuka Kotak Suara Tanpa Dihadiri Saksi dan Pengawas TPS Tidak Memberikan Salinan Formulir DAA1-KPU kepada Panwascam Memanipulasi/Penggelembungan Perolehan Suara Calon Tertentu



7 8



9



Pemilu



Mencoblos Surat Suara Milik Pemilih yang tidak hadir



Sumber: KPU RI (2019) 4



Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Banten, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Riau Sulawesi Utara, Bengkulu, Sulawesi Utara Banten Bengkulu Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Maluku Nusa Tenggara Timur



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Salah satu kasus yang diambil peneliti adalah penanganan pelanggaran election fraud yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan pada Pemilu Tahun 2019. Jika diambil perbandingan data dari Pemilu 2014, terdapat peningkatan jumlah penanganan kasus dan pemberian sanksi yang signifikan kepada Panitia Pemilihan di Pemilu 2019. Terjadinya peningkatan kasus pelanggaran integritas Pemilu oleh Panitia Pemilihan merupakan konsekuensi dari berpindahnya penanganan pelanggaran Panitia Pemilu adhoc dari DKPP ke KPU selaku organisasi induk. Tabel 2. Penanganan Pelanggaran Panitia Pemilihan Pemilu 2014 NO 1 2 3



Panitia Pemilihan PPK PPS KPPS



Peringatan 3 8 -



Diberhentikan Sementara 292 434 614



Diberhentikan Tetap 45 orang 7 orang -



Pidana 1 3 8



Sumber: DKPP RI: Outlook 2016 Pelanggaran integritas ditenggarai sebagai salah satu faktor penyebab sebuah Pemilu dianggap gagal. Pelanggaran integritas terjadi karena antara lain adalah integritas Penyelenggara Pemilu yang buruk (Norris, 2014). Kegagalan Pemilu (elections fail) tidak hanya sekedar disebabkan oleh faktor struktural semata, tetapi juga integritas Panitia Pemilihan seperti kelalaian dalam proses pemungutan dan penghitungan suara, mulai dari segel surat suara atau kotak suara yang rusak hingga praktek jual beli suara. Kegagalan Pemilu yang disebut Norris disebabkan oleh kegagalan Penyelenggara Pemilu mengejawantahkan prinsip Pemilu yang berintegritas dan integritas Pemilu yakni independen, imparsial, integritas, transparan, efesien, profesional, pelayanan publik dan bertanggung jawab (IDEA, 2010). Dalam konteks Pemilu di Sumatera Utara, kegagalan ini banyak dipengaruhi oleh faktor politik transaksional dan pengaruhnya dari relasi kekuasaan lokal. Hipotesis ini tergambar jelas dalam fenomena pelanggaran Pemilu oleh Panitia Pemilihan yang disampaikan penulis pada bagian pembahasan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengidentifikasi pelanggaran ini ke dalam klasifikasi umum yaitu Pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan pakta integritas. Dalam membedah integritas Panitia Pemilihan dari sisi jumlah pelanggaran yang terjadi, dapat ditelusuri dari perbandingan data dua Pemilu terakhir. Dalam kurun dua Pemilu terakhir, terdapat perbedaan wewenang penanganan pelanggaran Panitia Pemilihan antara DKPP dan KPU. Pada Pemilu 2014, kewenangan KPU masih sebatas memberikan sanksi pemberhentian sementara. Sementara untuk proses ajudikasi lebih lanjut dilakukan oleh DKPP. Dari 726 anggota Panitia Pemilihan yang diberhentikan sementara, hanya 52 orang yang diberhentikan tetap oleh DKPP. Angka ini melonjak setelah hak ajudikasi penanganan pelanggaran integritas Panitia Pemilihan dikembalikan ke KPU Kabupaten/Kota. Artinya, setelah penanganan pelanggaran integritas Panitia Pemilihan dilakukan oleh KPU selaku otoritas induk, semakin banyak terungkap kasus kecurangan Pemilu yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Sebagian besar Panitia Pemilihan melakukan kecurangan Pemilu yaitu dengan terlibat manipulasi suara dan tidak netral dalam bertugas. 5



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Tabel 3. Penanganan Pelanggaran Panitia Pemilihan Pemilu 2019 No 1 2 3 4 5 6



Keterangan Jumlah Kasus Peringatan Diberhentikan Sementara Diberhentikan Tetap Pidana Masih dalam pemeriksaan



Jumlah 542 Kasus 325 orang 78 orang 239 orang 3 orang 165 kasus



Sumber: Biro Perencanaan dan Data KPU RI per Juli 2019 Dari rekapitulasi jumlah pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan pakta integritas anggota Panitia Pemilihan Pemilu 2019, Provinsi Sumatera Utara menempati peringkat pertama daerah yang paling banyak dijatuhi hukuman sanksi pemberhentian tetap. Dari total 417.508 anggota Panitia Pemilihan yang tersebar di 33 kabupaten/kota, terdapat 224 anggota Panitia Pemilihan yang telah diproses, di mana sebanyak 151 dijatuhi hukuman pemberhentian tetap. Sementara, per bulan Agustus 2019, terdapat 121 kasus dugaan pelanggaran integritas yang dilakukan oleh anggota Panitia Pemilihan masih dalam proses pemeriksaan. Pemberian sanksi pemberhentian tetap merupakan sanksi terberat bagi anggota Panitia Pemilihan, karena dianggap terbukti telah melakukan pelanggaran Pemilu serta sangat rentan untuk diteruskan ke ranah pidana. Praktek pelanggaran Pemilu yang terbukti dilakukan oleh anggota Panitia Pemilihan di Provinsi Sumatera Utara antara lain: 1. Pencoblosan surat suara sisa di Kabupaten Nias. 2. Penggelapan gaji KPPS di Kabupaten Padang Lawas. 3. Memihak kepada peserta Pemilu/tidak netral/diintervensi oleh Kepala Daerah di Tapanuli Tengah. 4. Memanipulasi/penggelembungan perolehan suara di Kabupaten Labuhan Batu. 5. Terindikasi menerima suap dari calon anggota legislatif di Kota Medan. Jenis-jenis pelanggaran tersebut menjadi tantangan bagi proses Pemilu yang kompetitif, kredibel, akseptabel, bebas, jujur dan berkeadilan dalam suatu negara. Praktek pelanggaran ini juga dapat digunakan untuk membuktikan frasa negatif Pemilu (electoral fraud, electoral malpractice, electoral misconduct, dan lain-lain). Indikator-indikator ini oleh para ilmuwan Pemilu dapat dijadikan tolak ukur untuk mengukur integritas Pemilu dari sisi penyelenggara bahkan lebih ekstemnya dapat menentukan berhasil atau tidaknya penyelenggaraan Pemilu. Ukuran keberhasilan penyelenggaraan Pemilu tidak semata dilihat dari hasil Pemilu semata (electoral result) dapat dibedah lebih dalam dan ditinjau dari berbagai aspek. Aspek utamanya adalah integritas Penyelenggara Pemilu yang berdampak pada kurangnya legitimasi kekuasaan pemenang Pemilu dan ketidakpuasan terhadap demokrasi (Norris, 2015). Konsekuesinya, terjadi krisis legitimasi terhadap hasil Pemilu, turunnya kepercayaan publik dengan terhadap produk-produk Pemilu (partai politik, parlemen dan eksekutif). Secara umum, kesalahan Penyelenggara Pemilu menurut Vickery dan Shein (2012) dibedakan menjadi dua, Penyelenggara Pemilu salah prosedur 6



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



karena lalai (malpractice) dan Penyelenggara Pemilu melakukan kecurangan (fraud). Terdapat perdebatan diantara para scholar mengenai perbedaan dua istilah ini. Birch (2011) menganggap malpraktek Pemilu sebagai kesalahan yang disengaja, sedangkan untuk kelalaian/kesalahan tidak disengaja disebut misspractice. Birch juga mendefinisikan fraud bagian dari manipulasi suara/pencurian suara yang targetnya proses administrasi Pemilu seperti menghalangi pencalonan kandidat yang potensial, manipulasi daftar pemilih, kegagalan menyediakan pemungutan suara yang memadai, manipulasi suara, manipulasi penghitungan dan rekapitulasi, kesalahan mengalokasi kursi, menghalangi akses pengawas, mal administrasi dalam penyelesaian sengketa pemilu. Lebih ekstrem, Birch (2011) mengaitkan election fraud sebagai wujud dari korupsi pemilu (election corruption). Sementara Alvarez, (2008) mempersoalkan istilah electoral fraud yang sama sekali tidak beririsan dengan korupsi (corruption). Menurutnya tidak mudah memformulasikan tentang electoral fraud, termasuk mendeteksi dan mencegahnya terjadi. Tidak ada cara yang tepat untuk mengaplikasikan pemahaman tentang kecurangan Pemilu karena sangat bergantung pada apa yang dianggap sebagai electoral fraud dari proses Pemilu dari waktu ke waktu dan dari satu negara ke negara lain. Bahkan di kalangan akademis sekalipun belum ada kesepahaman yang sama tentang fraud dalam hukum internasional dan domestik, komparasi ilmu politik Amerika, dan perkembangan administrasi Pemilu di negara berkembang. Argumen yang dikemukakan oleh Alvarez dibuktikan dengan belum adanya kesepakatan tunggal terkait fraud untuk diadopsi dalam undang-undang kepemiluan di banyak negara demokrasi. Secara umum, negara yang melaksanakan Pemilu menganggap fraud terjadi apabila pelaksanaan Pemilu telah melanggar prinsip free and fair elections berdasarkan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia. Meskipun begitu, banyak dugaan tentang fraud masih belum jelas bagaimana pembuktiannya. Sejauh ini pendekatan “kecurigaan atau dugaan” masih menjadi bukti terjadinya kecurangan Pemilu dan sulit untuk dibuktikan, karena masing-masing pelaku akan saling tuding, hingga pada akhirnya hanya sebatas dianggap pelanggaran administrasi. Argumentasi ini menunjukkan bahwa electoral fraud tidaklah ada batasan yang jelas. Apakah manipulasi suara atau pencurian suara itu masuk ke dalam kategori pemilu yang curang, misalnya hanya satu suara yang dimanipulasi atau dicuri sehingga tidak mempengaruhi perilaku pemilih seperti misalnya jika intimidasi dari peserta Pemilu atau perubahan sistem Pemilu yang lebih berdampak besar. Secara umum, pelanggaran yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan merujuk pada kurangnya kemandirian, kompetensi dan integritas personil. Meskipun kesalahan tertuju pada tataran individu, akan tetapi perlu dilihat pula bahwa perlu penguatan pengelolaan oleh Lembaga baik dalam mencegah, mendeteksi, maupun menangani malpraktek dan kecurangan. Pemegang kuasa pengaturan tentang penyelenggara Pemilu adalah KPU sebagai sentral dari KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS. Seluruh kebijakan tersentralisasi disusun secara top down, seragam dari atas ke bawah untuk seluruh rentang struktural. Perhatian KPU lebih 7



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



tercurahkan penuh ke pelaksanaan tahapan-tahapan besar, mengakibatkan rancangan tentang pengelolaan Panitia Pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS yang berada di level terbawah belum mendapatkan perhatian secara maksimal. Dari sini dapat ditemukan titik temu bahwa kondisi struktural berpengaruh terhadap integritas Pemilu (Norris, 2014). Berdasarkan pemikiran tersebut penegakan integritas erat dengan apa yang didorong apa yang dihindari dan dicegah. Definisi dan kontekstualisasi tentang mandiri, integritas dan kompetensi membantu penulis untuk mengkerangkai desain teknokratis administratif yang terbentuk mampu mendorong Panitia Pemilihan untuk memahami dan menaati Kode Etik, bersikap imparsial, mampu memilih serta membentuk sumber daya yang memiliki kompetensi personal yang dibutuhkan dan terampil sebagai Penyelenggara Pemilu untuk menjunjung nilai-nilai demokratik. Pelanggaran itu dapat dijumpai dalam setiap kali penyelenggaraan pesta demokrasi. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) mengungkapkan data bahwa selama periode Januari hingga Februari 2018 sudah memeriksa sebanyak 76 kasus pelanggaran Kode Etik yang melibatkan unsur Penyelenggara Pemilihan umum 3 . Modus-modus tersebut menunjukkan, bahwa terdapat pelanggaran Kode Etik oleh penyelenggara pesta demokrasi tidaklah sedikit. Ada bermcam-macam jenis pelanggaran yang dilakukannya, yang dapat dimaknai sebagai kecurangan dalam Pemilu yang dilakukan oleh para Penyelenggara Pemilu. Pelanggaran Pemilu secara umum dapat tergambar dari rekapitulasi pelaporan dan temuan pelanggaran yang dirilis oleh Bawaslu (Pemilu maupun Pemilihan Kepala Daerah): Tabel 4. Laporan dan Temuan Pelanggaran Pemilu dan Pemilihan yang Dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu seluruh Indonesia No 1 2 3 4 5



Pemilu/ Dugaan Pelanggaran Pemilihan Laporan Temuan 2014 2015 2017 2018 2019



1.187 2.758 1.319 1.758 586



Tindak Lanjut Dihentikan Ditindak Lanjuti 781 5.423 2.536 2.838 1.613 734 258 832



4.900 2.613 1.028 3.415 441



Jumlah Pelanggaran 6.087 5.371 2.347 5.173 900



Sumber: Laporan Tahunan Bawaslu RI Tahun 2014-2019



3



Menurut anggota DKPP Ida Budhiati, bahwa sejak Januari sampai 22 Februari 2018 DKPP sudah memeriksa 76 perkara pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan melibatkan 163 oknum. Setelah diperiksa, disimpulkannya kalau sebanyak 61,2 persen di antaranya melanggar Kode Etik. Dari jumlah. itu, telah dilakukan tindakan berupa 37 peringatan keras, 27 orang diperingatkan, 3 diberhentikan sementara, 11 diberhentikan tetap, 3 orang diberhentikan jabatannya sebagai ketua serta 76 orang direhabilitasi. Dari 61,2 persen oknum yang terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik sebagian besar berupa pelanggaran profesionalisme seperti bekerja tidak sesuai prosedur, tidak cermat, tidak teliti, dan lain-lain. Namun kasus suap belum ditemukan dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemilu



8



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Ditengah teknis pelaksanaan Pemilu yang semakin komplek, ruang untuk terjadinya malpraktek Pemilu menjadi terbuka lebar 4 . Beberapa contoh malpraktek pemilu: 1. Tidak dilakukan pemungutan suara, oknum KPPS atau PPS langsung mengisi formulir C1; 2. Pemungutan dan penghitungan suara dilakukan sepenuhnya oleh oknum KPPS; 3. Pemungutan suara diwakilkan, seperti: satu orang bisa mewakili seluruh keluarganya; Pada realitasnya, Pemilu di daerah tertentu menunjukkan fakta mengejutkan. Pelaksanaan Pemilu tidak sesuai regulasi menunjukkan masih terdapat sejumlah daerah yang minim pemahaman tentang Pemilu dan demokrasi. Minimnya pemahaman tersebut bisa dikarenakan akses pendidikan demokrasi atau pendidikan Pemilu belum efektif sampai ke daerah tersebut atau memang terdapat upaya pembiaran masyarakat tidak memahami Pemilu (pembodohan). Dimungkinkan ada elite politik lokal melestarikan kondisi ini untuk menjadikannya sebagai kantong suara yang pasti dimilikinya pada ajang Pemilihan Umum. Malpraktik ini penting menjadi perhatian para pihak untuk melakukan kegiatan pendidikan demokrasi dan kepemiluan pada masa poselectoral secara terfokus. Kedua, praktik politik uang terjadi sebagai bentuk menggunakan uang untuk memenangi pemilihan dengan membeli suara pemilih. Suara pemilih dinilai dengan sejumlah rupiah. Politik uang kerap disebut ibarat kentut, ada namun sulit untuk dibuktikan. Praktik politik uang yang masif akan menghasilkan elite politik yang terpilih berdasarkan uang bukan berdasarkan kepercayaan pemilih. Praktik politik uang cenderung berbanding paralel dengan kekuasaan yang korup dan membangun relasi politik menjadi transaksional serta pragmatis. Politik uang pada akhirnya dapat membunuh sistem demokrasi. Ketiga, Penyelenggara Pemilu tidak berintegritas menjadi bagian dari masalah fundamental pelaksanaan Pemilu. Laksana permainan sepakbola, wasit yang tidak netral dapat berdampak pada kemenangan yang tidak fair dan sebagian berdampak pada konflik kekerasan yang menciderai nilai-nilai demokrasi. Penelitian yang mengkaji integritas Panitia Pemilihan dalam konteks Pemilu menjadi sangat penting karena berdasarkan data-data diatas, pelanggaran integritas masih menjadi bahan evaluasi penting di akhir sebuah pelaksanaan Pemilu. Panitia Pemilihan merupakan badan Penyelenggara Pemilu yang unik karena bersifat temporer namun sekaligus menjadi institusi yang langsung berhadapan dengan pemilih, peserta pemilu dan segala urusan teknis pemungutan dan penghitungan suara pemilu. Oleh karenanya, Panitia Pemilihan memiliki tingkat kerentanan untuk 4



Viryan (2015) dalam tulisannya yang berjudul Catatan Integritas Pemilu 2014 membagi malpraktik Pemilu ke dalam tiga kategori, yaitu: pertama, Pemilu tanpa Pemilu; kedua, Politik uang kepada pemilih dan; ketiga, Penyelenggara Pemilu tidak berintegritas. Pemilu tanpa Pemilu yang dimaksud sebagai praktik kegiatan pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan pada hari pemungutan dan penghitungan suara. Pemilu tanpa Pemilu dikarenakan masyarakat sekitar belum teredukasi demokrasi dan praktik Pemilu tanpa Pemilu telah berjalan sejak Pemilu masa sebelumnya.



9



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



mudah dipengaruhi integritasnya. Catatan-catatan pelanggaran tersebut menunjukkan bahwa Panitia Pemilihan tidak sekedar supporting system semata, tetapi juga menjadi core dalam konteks integritas Pemilu. METODE PENELITIAN Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibangun dengan argumen, melaporkan pandangan informan secara terperinci dan mengeksplorasi sedetail mungkin sejumlah contoh atau peristiwa untuk mengungkap fakta dengan analisis yang sistematis (Creswell, 1996). Penelitian ini akan ditunjang dengan penelitian kepustakaan (library research), yaitu studi terhadap bahan-bahan tertulis terkait dengan fokus penelitian. Untuk itu, didalam penelitian ini penulis telah mengumpulkan bahan pustaka dan melakukan kajian terhadap berbagai bahan pustaka tersebut guna diperoleh data-data yang diperlukan. Selanjutnya, data tersebut diolah dan dianalisis, kemudian disusun menjadi sebuah laporan penelitian berbentuk tesis. Penulisan penelitian ini didasari atas pemantauan penyelenggaraan Pemilu 2019 di Provinsi Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Tapanuli Tengah. Penelitian ini juga sudah terintegrasi dan terkoneksi dengan proses penanganan pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan pakta integritas yang berjalan di KPU. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, dalam arti, penulis menggambarkan secara kualitatif berbagai modus operandi pelanggaran Pemilu dan proses penanganan pelanggaran tersebut oleh KPU. Unit analisa kajian ini adalah KPU selaku Penyelenggara Pemilu dan pemangku kepentingan Penyelenggara Pemilu. Dua teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah: 1. Survey kepustakaan, yaitu melakukan observasi dan mencari informasi tentang bahan-bahan pustaka yang memuat masalah yang penulis teliti. Penulis melakukan kajian tentang badan Penyelenggara Pemilu yang disediakan oleh IDEA dan referensi kepemiluan lainnya. Selain itu referensi berupa jurnal, buku, Peraturan DKPP dan Peraturan KPU yang berkaitan dengan integritas Penyelenggara Pemilu serta contoh penegakan integritas Pemilu di beberapa negara. Penulis juga melakukan analisis intensif dan mendalam terhadap naskah-naskah dalam bentuk laporan, sertifikat rekapitulasi hasil, berita acara pemeriksaan, formulir laporan/aduan dugaan pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan pakta integritas Panitia Pemilihan, risalah Rapat Pleno KPU Kabupaten Tapanuli Tengah dan laporan hasil-hasil pengawasan dari Bawaslu Kabupaten Tapanuli Tengah. 2. Studi lapangan, sebagai upaya pengumpulan data primer untuk memverifikasi dan pelengkapan dari data-data sekunder yang dapat dikumpulkan. Studi lapangan akan menggunakan wawancara mendalam (in-depth interview) dalam proses penarikan data. Proses pemilihan informan penelitian disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan penulis sesuai dengan keahlian, pengalaman, 10



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



pengetahuan, otoritas, maupun informasi lain yang dimiliki. Berikut daftar informan yang menjadi sumber data primer: a. Anggota KPU RI Divisi SDM pada pemilu 2019; b. Ketua KPU Provinsi Sumatera Utara; c. Anggota KPU Tapanuli Tengah divisi SDM; d. Anggota Bawaslu Tapanuli Tengah. KONSEP DAN PENDEKATAN Praktek kecurangan Pemilu tidak terjadi begitu saja tanpa ada pemicunya. Akan tetapi terdapat penyebab dan aktor dibalik terjadi praktek kecurangan Pemilu. Konsep integritas menurut IDEA tentang kesesuaian antara tindakan dan perilaku. Namun terdapat hal yang dapat mempengaruhi personal penyelenggara Pemilu sehingga melakukan tindakan yang disebut oleh Norris (2018) sebagai electoral fraud. Lebih lanjut, pengaruh terjadinya praktek pelanggaran Pemilu seperti manipulasi pemungutan suara dapat diasumsikan karena sistem yang lemah, baik secara regulasi pelaksanaan Pemilu maupun pengawasan dan juga faktor politik yang mampu menjadi kekuatan penekan yang dapat mempengaruhi hasil Pemilu. Bosissme Sidel menunjukkan bahwa kontrol oleh relasi kekuasaan terhadap institusi-institusi terkait dapat mempengaruhi hasil Pemilu yang pada akhirnya mampu merusak integritas institusi tersebut. Adapun cara penulis menggunakan teori dan konsep ini adalah sebagaimana pernyataan Evera (1997) bahwa dalam pembuatan dan penggunaan teori tidak dapat dipisahkan dari proses hipotesis, eksplanasi dan pemahaman kondisi awal. Teori tidak hanya berkenaan dengan hukum hipotesis semata tetapi juga mengalami generalisasi variabel-variabel spesifik. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis akan menggunakan konsep “integritas” dan bossisme. Penulis menggunakan pendekatan institusional yang secara normatif menjelaskan Penyelenggara Pemilu secara kelembagaan dalam melaksanakan regulasi dikombinasikan dengan pendekatan pendekatan struktural-fungsional5. Oleh karena itu, penulis beranggapan kecurangan Pemilu yang dilakukan oleh anggota Panitia Penyelenggara Pemilu tidak hanya didasari atas faktor institusi semata tetapi terdapat pengaruh luar yang mempengaruhi tindakan dari Penyelenggara Pemilu. KPU secara kelembagaan sudah membangun sebuah sistem untuk mengantisipasi pelanggaran Pemilu namun pengaruh dari komponen luar juga ikut berperan penting dalam terjadinya praktek malpraktek Pemilu, manipulasi pemungutan suara dan bentuk-bentuk kecurangan Pemilu lainnya.



5



Di tahun 1970-an, ilmuwan politik Gabriel Almond dan Bingham Powell berargumen bahwa dalam memahami suatu sistem politik, tidak hanya melalui institusi atau struktur saja. Institusi-institusi harus ditempatkan ke dalam konteks historis dan bergerak dinamis. Pendekatan struktural-fungsional melihat seluruh obyek politik itu penting, yaitu sebagai subyek dari hukum “stimulus dan respons” yang sama (input dan output). Pendekatan ini disusun berdasarkan beberapa komponen kunci termasuk kelompok kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif, legislatf, peradilan, dan termasuk birokrasi. http://suarata.blogspot.com/2014/01/pendekatan-teori-struktural-fungsional.html



11



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Kontekstualisasi Teori dan Konsep Penelitian Cara penulis dalam menggunakan teori dan konsep sebagai alat analisis dalam penelitian ini adalah dengan mengkontekstualisasikan dalam kasus pelanggaran Pemilu tahun 2019 di Kabupaten Tapanuli Tengah yang dilakukan oleh anggota KPPS. Teori dan konsep menjelaskan mengenai pelanggaran Pemilu 2019 di Kabupaten Tapanuli Tengah dilandasi oleh banyak faktor internal dan eksternal dari sisi kelembagaan Penyelenggara Pemilu, ditandai dengan banyaknya pemecatan terhadap anggota KPPS yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Tapteng. Oleh karena itu, dalam menganalisis indikator-indikator modus-modus pelanggaran pemilu (Sardini, 2015) tidak cukup hanya menggunakan satu variabel karena konsep integritas Pemilu memiliki banyak keterkaitan. Terdapat banyak instrument untuk mengukur integritas Pemilu sebagai usaha memenuhi standar internasional dan norma-norma global. Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian



Gambar 2. Kerangka Kecurangan Pemilu Kecurangan Pemilu



 Faktor Sosiologis  Peran Lembaga Pemilu  Modernisasi= struktural dan kultural



Kegagalan Pemilu



Sumber: Norris, P. (2015). Why Elections Fail. New York: Cambridge University Press. 12



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2019 melibatkan 7.770.111 personil Panitia Pemilihan terdiri dari PPS, PPK dan KPPS serta PPLN dan KPPSLN yang menyelenggarakan Pemilu Indonesia di Luar Negeri. Pengaturan mengenai Pembentukan dan Tata Kerja Panitia Pemilihan diatur dalam Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan KPU Nomor 36 Tahun 2018 untuk Panitia Pemilihan dalam negeri dan Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2018 untuk Panitia Pemilihan di Luar Negeri. Perjalanan penyusunan peraturan ini memiliki semangat untuk menguatkan pondasi pelaksanaan Pemilu pada Penyelenggara Pemilu tingkat bawah. Dalam strategi memperkuat integritas anggota Panitia Pemilihan, KPU mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 yang salah satu klausul di dalamnya adalah menyerahkan wewenang yuridis kepada KPU Kabupaten/Kota untuk mengadili anggota Panitia Pemilihan yang bermasalah. Standar moral yang dipergunakan KPU dalam menyelenggarakan Pemilu dituangkan dalam Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji, pakta integritas yang wajib ditandatangi oleh seluruh anggota Panitia Pemilihan. Hal ini dilakukan untuk menekan jumlah disintegritas yang kerap dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu. Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu wilayah yang paling banyak memberhentikan anggota Panitia Pemilihan semenjak diberlakukannya Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019. Peraturan KPU Nomor 8 tahun 2019 sebenarnya diperuntukkan untuk memotong mata rantai yang panjang dalam penanganan dugaan pelanggaran integritas oleh Panitia Pemilihan. Instrumen Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan pakta integritasnya pun sangat kuat. Menguji praktek election fraud memang harus dilakukan melalui studi kasus (R. Michael Alvarez, 2008) karena dibanyak negara, kultur politik dan kerangka hukum Pemilu-nya mempengaruhi persepsi terhadap election fraud. Di Amerika Serikat pada tahun 1960 an hak pilih berdasarkan voters classes baru dicabut, di tahun 1800 an, banyak negara mengalami intimidasi dan kekerasan dalam kompetisi Pemilu. Konsentrasi election fraud dewasa ini adalah pembelian suara (vote buying). Berdasarkan rekapitulasi jumlah pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan pakta integritas anggota Panitia Pemilihan Pemilu 2019, Provinsi Sumatera Utara menempati peringkat pertama daerah yang paling banyak dijatuhi hukuman sanksi pemberhentian tetap. Pemberian sanksi pemberhentian tetap merupakan sanksi terberat bagi anggota Panitia Pemilihan, karena dianggap terbukti telah melakukan pelanggaran Pemilu serta sangat rentan untuk diteruskan ke ranah pidana. Praktek pelanggaran Pemilu yang terbukti dilakukan oleh anggota Panitia Pemilihan di Provinsi Sumatera Utara antara lain: 1. Pencoblosan surat suara sisa di Kabupaten Nias 2. Penggelapan gaji KPPS di Kabupaten Padang Lawas 3. Memihak kepada peserta Pemilu/tidak netral/diintervensi oleh kepala daerah di Tapanuli Tengah 4. Memanipulasi/Penggelembungan perolehan suara di Kabupaten Labuhan Batu 13



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



5. Terindikasi menerima suap dari calon anggota legislatif di Kota Medan Tren pelanggaran pemilu di Provinsi Sumatera Utara memang cukup tinggi, jika dilihat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan 6 (enam) kabupaten/kota di Sumatera Utara melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Tabel 5. Kabupaten/Kota di Sumatera Utara yang Melaksanakan PSU Berdasarkan Rekomendasi Bawaslu Setempat No 1



Kabupaten/Kota Padangsidimpuan



2



Mandailing Natal



3



Padang Lawas Utara



4



Medan



5



Tapanuli Tengah



6



Nias Selatan



TPS TPS 10 Kelurahan Wek, Kecamatan Padangsidempuan. 1. TPS 14 Kelurahan Mompang Jae, Kecamatan Panyabungan 2. TPS 1 Desa Huta Tinggi, Kecamatan Panyabungan Timur TPS 1 Desa Sigambal, Kecamatan Padang Bolak. 1. TPS 35 Kelurahan Sei Agul, Kecamatan Medan Barat 2. TPS 13 Kelurahan Dwikora, Kecamatan Medan Helvetia. 1. TPS 3 Desa Tumba Jae, Kecamatan Manduamas; 2. TPS 2 Desa Lae Monong, Kecamatan Manduamas; 3. TPS 13 Kelurahan Sibabangun, Kecamatan Sibabangun; 4. TPS 1 Desa Sorkam Tengah, Kecamatan Sorkam; 5. TPS 2 Desa Kebun Pisang, Kecamatan Badiri; 6. TPS 7 Desa Aek Korsik, Kecamatan Badiri. Seluruh TPS di 5 Kecamatan Kabupaten Nisel yakni Toma, Lolowau, Mazino, Sidua'ori, dan Somambawa.



Bawaslu dalam buku Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Tahun 2019 menjelaskan kecurangan pemilu yang paling sering terjadi adalah tindakan langsung (dari eksekutif atau peserta Pemilu) atau tindakan pembiaran (oleh Penyelenggara Pemilu) yang menganggu proses Pemilu. Bentuk-bentuk pelanggaran tersebut direpresentasikan dalam modus-modus pelanggaran pemilu oleh penyelenggara pemilu seperti yang tertulis dalam Bab 2. Pelanggaran-pelanggaran ini melekat pada Provinsi Sumatera Utara, sebagaimana tergambar dalam Indeks Kerawanan Pilkada (IKP) 2015 yang dikeluarkan Bawaslu. Provinsi Sumatera Utara termasuk dalam lima besar provinsi paling rawan pada kontestasi Pilkada Serentak pertama tersebut. Tiga kota di Kepulauan Nias (Nias Selatan, Nias Utara dan Nias Barat) masuk ke dalam 5 besar kota paling rawan. Sementara, jumlah Penyelenggara Pemilu yang menjadi teradu pada Pemilihan 2015 hasil rilis dari DKPP menempatkan Provinsi Sumatera Utara diperingkat kedua dengan jumlah teradu mencapai 47 orang dengan 7 anggota yang diberhentikan tetap. 14



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Pada pilkada serentak 2018, Provinsi Sumatera Utara kembali menempati posisi lima besar provinsi paling rawan berdasarkan IKP yang dikeluarkan Bawaslu tahun 2018. Laporan dugaan pelanggaran di Sumatera Utara mencapai 176 kasus. Sedangkan laporan pelanggaran etika di DKPP sebanyak 42 pengaduan, terbesar kedua setelah Provinsi Papua. Dalam konteks tersebut, pada setiap evaluasi Pemilu dan Pemilihan, Provinsi Sumatera Utara selalu masuk dalam daftar daerah yang bermasalah dari sisi integritas. Hasil data-data tersebut diperkuat dengan pola pengawasan ketat yang dilakukan oleh KPU RI kepada Sumatera Utara dalam setiap perhelatan pemilu maupun pilkada. Hal demikian dijelaskan oleh Anggota KPU RI Evi Novida Ginting Manik saat ditemui oleh penulis. “Sumatera Utara memang wilayah yang terus menjadi sorotan dan dibawah pengawasan ketat kami. Dari dulu, daerah-daerah seperti di Kepulauan Nias, Tapanuli Tengah, dan beberapa daerah lain sangat rentan terjadi manipulasi pemungutan suara. Dalam setiap kesempatan, kami selalu meminta Bawaslu agar memberikan perhatian lebih kepada beberapa titik di Sumatera Utara, sembari kami juga memberikan supervisi yang ketat agar jajaran kami terhindar dari pelanggaran pemilu.” (Wawancara oleh penulis, Kamis, 2 Januari 2020 di Kantor KPU RI). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa wilayah Sumatera Utara pada Pemilu 2019 menjadi salah satu fokus pengawasan internal yang dilakukan KPU. Salah satu latar belakang diberikannya wewenang penanganan pelanggaran Panitia Pemilihan oleh KPU Kabupaten/Kota sebagaimana termaktub dalam Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 adalah untuk memperketat sistem pengawasan dari internal KPU. Temuan pada Pemilu 2019, Provinsi Sumatera Utara menjadi daerah yang paling banyak melakukan penanganan pelanggaran yang dilakukan oleh panitia pemilihan dari total 417.508 anggota panitia pemilihan yang tersebar di 33 Kabupaten/Kota, terdapat 224 anggota Panitia Pemilihan yang telah diproses, di mana sebanyak 151 dijatuhi hukuman pemberhentian tetap. Sementara, per bulan Agustus 2019, masih terdapat 121 kasus dugaan pelanggaran integritas yang dilakukan oleh anggota Panitia Pemilihan masih dalam proses pemeriksaan. Praktek Pemilu 2019 menjadi salah satu contoh paling mutakhir (sophisticated) untuk menganalisis fenomena ini. Pelaksanaan Pemilihan Serentak yang tahapannya beririsan dengan Tahapan Pemilu Presiden dan Legislatif, membuka ruang sebesar-besarnya untuk terjadinya disintegritas Penyelenggara Pemilu. Kerangka hukum di dalam Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang membuka ruang kosentrasi pelaksanaan Pemilu tidak hanya terpusat pada satu kompetisi saja. Desain kerangka hukum dan Penyelenggara Pemilu ini yang mempertaruhkan integritas Penyelenggara Pemilu (Norris, 2014). Para peserta Pemilu untuk memenuhi ambisi politiknya tidak lagi mendekati pemilih semata, tetapi menyasar langsung penyelenggara Pemilu tingkat bawah. Jika seorang kandidat calon legislatif membutuhkan total 10.000 suara untuk mendapatkan kursi parlemen, namun prediksi perolehan suaranya hanya sekitar 7.000 suara, maka jalan untuk memenuhi ambang batas suara adalah dengan mempengaruhi Panitia 15



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Pemilihan agar memanipulasi hasil suara yang diperolehnya. Kabupaten Tapanuli Tengah memiliki kasus yang cukup unik, terdapat 166 anggota PPS dan KPPS yang diberhentikan tetap. KPU Kabupaten Tapanuli Tengah memberhentikan tetap anggota Panitia Pemilihan tersebut karena dianggap telah melanggar Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan pakta integritas Penyelenggara Pemilu berdasarkan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 dan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019. Kabupaten Tapanuli Tengah berada di peringkat teratas daerah di Provinsi Sumatera Utara yang paling banyak melakukan penanganan pelanggaran integritas Panitia Pemilihan dengan jumlah 205 kasus. Sebanyak 193 anggota Panitia Pemilihan Kabupaten Tapanuli Tengah diberhentikan tetap. Kemudian Kabupaten Nias Selatan yang menangani 112 kasus, Kabupaten Deli Serdang sebanyak 24 kasus dan Kabupaten Nias Barat sebanyak 23 kasus. Dari sekian banyak daerah di Provinsi Sumatera Utara yang menangani kasus pelanggaran integritas Panitia Pemilihan, peneliti mengambil kasus di Kabupaten Tapanuli Tengah. Berdasarkan berita acara pemeriksaan yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Tapanuli Tengah, sebagian besar yang diberhentikan adalah anggota KPPS. Dalam pemeriksaan, KPPS terbukti melakukan pelanggaran berupa memiliki keterikatan dan keterkaitan dengan Pemerintah Daerah setempat. Di dalam sidang pemeriksaan, beberapa anggota KPPS yang menjadi teradu mengakui mendapatkan sejumlah insentif dari Pemerintah setempat untuk memenangkan kandidatkandidat tertentu. Keterangan ini diperkuat dengan fakta terdapat sejumlah nama calon anggota legislatif yang masih memiliki kekerabatan dengan Bupati Tapanuli Tengah yang juga menjabat ketua cabang salah satu partai nasional. Bupati Tapanuli Tengah dilaporkan ke Bawaslu terkait dugaaan kecurangan masif Pemilu, yang disinyalir melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN). Kecurangan proses pemungutan suara bahkan tersebar melalui video yang viral, memperlihatkan penghitungan suara tidak sesuai dengan ketentuan dan pelanggaran aturan dengan mencoblos surat suara untuk caleg tertentu. Laporan kepada Bawaslu tersebut menyebutkan, kecurangan hampir terjadi di setiap TPS. Petugas KPPS membacakan surat suara yang tidak sesuai dengan pilihan pemilih. Kecurangan dilakukan dengan cara menggelembungkan jumlah perolehan suara di formulir C1 yang merupakan salinan rekapitulasi. Modus operandi ini diperparah dengan formulir tersebut tidak diberikan salinannya kepada saksi maupun pengawas6. Pada proses sengketa di Mahkamah Konstitusi, hakim memutuskan Tapanuli Tengah merupakan salah satu daerah yang diperintahkan untuk dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Terdapat belasan TPS di Tapanuli Tengah yang melakukan PSU berdasarkan rekomendasi dari Bawaslu dan Putusan Mahkamah Konstitusi. Intervensi Pemerintah lokal terhadap Panitia Pemilihan menjadi salah satu faktor utama terganggunya integritas Penyelenggara Pemilu, dalam hal ini terkait dengan aturan



6



Situs berita https://news.okezone.com/read/2019/04/24/606/2047322/bupatitapanuli-tengah-dilaporkan-ke-bawaslu-terkait-dugaan-kecurangan-masif-pemilu (dikutip tanggal 1 Oktober 2019, pukul 22.30).



16



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



mengenai Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan pakta integritas yang wajib ditandatangani oleh Panitia Pemilihan pada saat pelantikan. Birch (2011) dalam briefing papernya memperkenalkan istilah electoral corruption untuk menggambarkan semua fenomena praktek kecurangan Pemilu. Menurutnya, malpraktik Pemilu, kecurangan Pemilu, kesalahan Pemilu, dan manipulasi Pemilu semuanya adalah praktek korupsi Pemilu yang melibatkan lembaga pemilihan untuk kepentingan kelompok atau pribadi. Electoral corruption dibaginya menjadi tiga kategori, manipulasi kerangka hukum, manipulasi pemilih, dan manipulasi pemungutan suara. Contoh paling layak menggambarkan definisi yang dikemukakan oleh Birch adalah kasus di Kota Medan. Praktek pelanggaran sudah mengarah ke tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh anggota PPK Medan Helvetia. Diduga, oknum PPK ini meningkatkan perolehan suara calon tertentu dengan menggunakan surat suara yang tidak sah lalu menerima sejumlah imbalan uang. Surat suara yang tidak sah digunakan untuk menambah perolehan suara calon tertentu yang dicatat didalam formulir DA1. Berdasarkan keterangan Ketua KPU Sumatera Utara Herdensi, anggota PPK Medan Helvetia atas nama Kun Hidayat ditawari uang ratusan juta rupiah oleh salah satu caleg DPRD Kota Medan. Caleg tersebut memintanya untuk melakukan manipulasi perolehan suara karena perolehan suara yang didapatnya tidak mencakup untuk masuk ke Parlemen Kota Medan, Dugaan pelanggaran ini terungkap setelah dilakukan Rapat Pleno oleh KPU Provinsi Sumatera Utara terhadap hasil rekapitulasi suara Pemilu calon anggota Legislatif. KPU Provinsi Sumatera Utara mendapatkan laporan dari salah satu peserta Pemilu yang menduga adanya penggelembungan suara terhadap calon tertentu. Di dalam Pleno Terbuka, KPU Provinsi Sumatera Utara melakukan penyandingan formulir DA1 dengan formulir lain sehingga ditemukan adanya peningkatan perolehan suara yang signifikan yang didapatkan oleh calon tertentu. Praktek kecurangan ini memang dapat dilakukan oleh anggota PPK pada saat dilakukan rekapitulasi atau pengetikan hasil rekapitulasi di DA1 Plano (Catatan hasil rekapitulasi) yang akan berbeda dengan Berita Acara Hasil Rekapitulasi di tingkat TPS. Praktek election fraud sudah melibatkan institusi pemerintah yang berkeinginan mengendalikan hasil Pemilu demi kepentingan pemerintahan. Rekayasa Pemilu dilakukan dengan mempengaruhi komponen paling penting dari Pemilu, yaitu Panitia Pemilihan. Simpser (2013) menyebut Pemilu selalu diwarnai dengan rekayasa, seperti misalnya permasalahan berkaitan dengan kotak suara, jual beli suara, dan intimidasi terhadap pemilih atau peserta Pemilu yang dilakukan penguasa. Rekayasa Pemilu adalah strategi politik yang menelan biaya besar dan sangat beresiko. Apabila rekayasa Pemilu diketahui oleh publik dan dipermasalahkan, maka akan mempengaruhi legitimasi hasil Pemilu dan bukan tidak mungkin akan membawa situasi politik yang chaos (Simpser, 2013). Penyelenggaran pemilu yang kompleks dan melibatkan Panitia Pemilihan dengan personil jumlah besar merupakan tantangan besar bagi KPU untuk mengelolanya. Apalagi mereka rentan dari kesalahan. Negara yang dalam kondisi ekonomi baik akan berbanding lurus dengan indeks integritas pemilunya (Norris, 2015). Dengan keadaan ekonomi yang baik 17



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



warga negara cenderung memiliki beberapa pra-syarat mewujudkan Pemilu yang berintegritas. Norris (2015) mengeksplorasi penyebab gagalnya sebuah Pemilu bisa disebabkan oleh struktur, kultur dan kapasitas dari badan Penyelenggara Pemilu. Kapasitas dan integritas Penyelenggara Pemilu sama pentingnya dengan membangun kerangka hukum (undang-undang) yang mengatur aturan main Pemilu. Gagasan tentang integritas Pemilu akan selalu berkaitan dengan frase negatif tentang Pemilu seperti, electoral malpractice, flawed elections dan electoral fraud yang semuanya sama. Temuannya pada penelitian adalah penyebab pelanggaran yang disengaja/kecurangan terkait erat dengan Penyelenggara Pemilu yang dipolitisir. Penyelenggara Pemilu bekerja dalam setting-an bahwa ada pertukaran kepentingan dalam penentuan keputusan mereka sehingga keputusan yang dibuat tidak memperlihatkan kemandirian dan integritas Penyelenggara Pemilu. Pemihakan terhadap peserta tertentu bisa dirancang oleh oknum sebelum rekrutmen dengan menanam orang untuk menjadi penyelenggara. Oknum bermain dengan mekanisme rekrutmen yang selama ini cenderung tertutup karena pemilihannya berdasarkan rekomendasi dan penunjukan. Rekomendasi dan penunjukan memungkinkan penyelenggara bekerja dalam ruang intervensi yang menunjuk. Atau Panitia Pemilihan tergiur tawaran salah satu peserta setelah direkrut. KESIMPULAN Beberapa faktor terjadinya election fraud adalah pertama, kerangka hukum pemilu yang membuka ruang terjadinya kegagalan pemilu, kedua, lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh badan Penyelenggara Pemilu, dan ketiga faktor ekonomi dan sumber daya manusia. Kerangka hukum berarti berkaitan dengan peraturan-peraturan yang mengatur tentang integritas Panitia Pemilihan. KPU telah menerbitkan peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 sebagai ruang pengawasan dan penanganan internal bagi Panitia Pemilihan. KPU Kabupaten/Kota kini telah memiliki wewenang memberhentikan tetap bagi Panitia Pemilihan yang dianggap melanggar Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji dan pakta integritas Penyelenggara Pemilu. Peraturan ini juga yang menjadi pemicu meningkatnya kasus pelanggaran Panitia Pemilihan yang selama ini tidak terungkap secara maksimal. Namun di sisi lain, kerangka hukum Pemilu 2019 juga memiliki celah bagi persoalan integritas dari sisi rekrutmen Panitia Pemilihan. Persyaratan anggota Panitia Pemilihan yang tidak terlalu ketat dan memiliki alternatif rekrutmen tertutup menjadi pintu masuk terjadinya pelanggaran integritas. Kasus diberhentikannya KPPS di Kabupaten Tapanuli Tengah salah satunya disebabkan kegagalan KPU Kabupaten Tapanuli Tengah melaksanakan rekrutmen KPPS secara ketat dan terbuka sehingga membuka ruang intervensi dari birokrasi lokal. Sementara pembekalan integritas Penyelenggara Pemilu lewat bimbingan teknis juga tidak berjalan maksimal karena minimnya dukungan anggaran dan infrastruktur. Terkait dengan pengawasan, kegagalan Bawaslu dan Gakkumdu dalam penegakan hukum pemilu (law enforcement) juga turut menopang buruknya integritas Pemilu di Provinsi Sumatera Utara. Di Tapanuli Tengah, tidak ada satupun Panitia Pemilihan yang terjerat pidana Pemilu. Padahal, bukti-bukti berupa tayangan video pelanggaran yang viral merupakan bukti 18



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



sahih terjadinya pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif. Dari sisi KPU, pengawasan internal sebenarnya terbukti efektif untuk menjaga integritas Panitia Pemilihan. Secara umum di Sumatera Utara, anggota Panitia Pemilihan diberhentikan tetap setelah ditemukan adanya dugaan pelanggaran berdasarkan hasil pengawasan internal, berdasarkan wewenang yang diberikan dalam peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019. Namun ada banyak faktor-faktor lain yang menyebabkan pelanggaran Panitia Pemilihan tetap tumbuh subur, salah satunya jika dilihat dari pendekatan faktor ekonomi dan sumber daya manusia. Jumlah Panitia Pemilihan yang sangat banyak dalam menyelenggarakan pesta demokrasi besar berdampak langsung pada pengeluaran negara untuk membayar para Panitia Pemilihan. Gaji yang diterima oleh anggota PPK, PPS dan KPPS sangat kecil. Sementara aliran dana yang beredar di masa Pemilu sangat besar dan jumlahnya tidak terbatas. Suap (bribery) dan korupsi menjadi dua hal yang akhirnya sulit dilepaskan dari election fraud. Sekuat-kuatnya pondasi integritas penyelenggara yang dipasang oleh KPU, akan sulit menyangga integritas para Panitia Pemilihan. Keadaan ini diperburuk oleh budaya politik uang yang kental di Sumatera Utara. Anggota KPU RI yang berasal dari Sumatera Utara, Evi Novida Ginting, menyatakan praktek kecurangan pemilu lewat vote buying dan bentuk-bentuk manipulasi suara lainnya sudah mahfum terjadi di beberapa wilayah di Sumatera Utara. Daerah yang paling sering disoroti karena paling sering terjadi dispute akibat dugaan kecurangan adalah Kabupaten Nias Selatan dan Tapanuli Tengah. Suburnya politik uang dalam Pemilu tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang. Fenomena ini berimplikasi pada metode para pelaku bossism dalam relasi kekuasaan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang dimiliki, salah satunya birokrasi, guna mempertahankan atau meraih kekuasaaan dengan jalan memanipulasi Pemilu. Gambaran dalam kasus pelanggaran pemilu oleh Panitia Pemilihan di Tapanuli Tengah misalnya, menggambarkan Pemilu yang diwarnai oleh klientilisme, patronase dan korupsi. Salah seorang mantan Ketua KPPS di desa Kebon Pisang, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, mengaku kepada penulis telah menerima sejumlah uang dari peserta Pemilu dan perangkat desa untuk agenda pemenangan salah satu calon legislatif dan hal itu menurutnya merupakan hal yang biasa terjadi di setiap Pemilu. Motivasinya adalah faktor ekonomi dikarenakan upah sebagai anggota KPPS yang sangat kecil. Di sisi lain, KPU selaku penyelenggara utama Pemilu terus berupaya menekan election fraud seminimal mungkin. Dibandingkan Pemilu 2014, integritas Penyelenggara Pemilu Adhoc pada Pemilu 2019 mengalami peningkatkan. Hal ini dibuktikan dengan penurunan angka laporan pelanggaran kode etik oleh panitia pemilihan. Kehadiran Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 lewat instrument kode etik, kode perilaku, sumpah/janji dan Pakta Integritas penyelenggara Pemilu, berhasil menekan keinginan para Panitia Pemilihan untuk berbuat curang dan mempercepat proses penanganan pelanggaran.



19



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



REKOMENDASI 1. Kunci dari pembangunan integritas Penyelenggara Pemilu ada pada masa rekrutmen. Rekrutmen Panitia Pemilihan harus berlangsung sesuai dengan peraturan yang sudah diatur dan tidak ada intervensi dari birokrasi atau relasi kekuasan lainnya. 2. Selain dari sisi rekrutmen yang harus diperbaiki, manajemen pengelolaan Badan Penyelenggara Pemilu Adhoc harus dibenahi dari sisi persyaratan dan komposisi anggota. Pada Pemilu mendatang, hak ajudikasi KPU Kabupaten/Kota dalam menangani Panitia Pemilihan harus diperkuat dengan peraturan-peraturan tambahan untuk mempermudah jalannya proses pemeriksaan. Proses pemeriksaan hingga pemberian sanksi harus memiliki standar waktu, mengingat subjek hukumnya adalah bersifat ad hoc. Selain itu, persyaratan menjadi anggota Panitia Pemilihan lebih diperketat, syarat periodesasi diterapkan dengan efektif, dan pengawasan internal dari KPU Kabupaten/Kota semakin diintensifkan. Celah pelanggaran Pemilu akan selalu ada pada setiap gelaran Pemilu, namun upaya untuk mereduksi hal tersebut juga harus terus dilakukan. Integritas menjadi isu paling krusial bagi Penyelenggara Pemilu di setiap tingkatan. 3. Law enforcement Pemilu harus dilaksanakan dengan maksimal antara KPU dan Bawaslu. Kedua lembaga ini memiliki wewenang dan peran penting untuk menegakkan integritas Pemilu. Bawaslu bersama Gakkumdu bahkan memiliki wewenang untuk memberikan sanksi pidana Pemilu bagi Panitia Pemilihan maupun pihak lain yang melakukan modus-modus pelanggaran Penyelenggaraan Pemilu. 4. KPU harus secara masif mengkampanyekan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 yang mengatur tentang mekanisme pengawasan internal dan laporan/aduan sebagai langkah preventif mencegah terjadinya pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Sekaligus memberikan sosialisasi bagi KPU daerah cara menangani dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Sosialisasi ini juga harus menyentuh stakeholder Pemilu karena dapat berperan sebagai mitra menegakkan integritas Pemilu lewat mekanisme Laporan/Aduan. 5. Perlu adanya revisi regulasi dalam Undang-Undang Pemilu terutama mengenai persyaratan anggota Panitia Pemilihan. Anggota Panitia Pemilihan sebaiknya direkrut dari lembaga Pendidikan seperti sekolah menengah atas, universitas atau perguruan tinggi dan lembaga profesi. Gagasan ini dipercaya mampu meningkatkan kualitas Panitia Pemilihan dan mempermudah pengawasan yang dilakukan. 6. Bonus demografi Indonesia adalah memiliki mayoritas penduduk yang masih usia muda. Syarat periodesasi bagi Panitia Pemilihan harus dijalankan dengan maksimal atau membatasi usia maksimal bagi anggota Panitia Pemilihan pada Pemilu berikutnya. Hal ini perlu dilakukan untuk menghentikan tren anggota Panitia Pemilihan yang berusia tua. Selain untuk meminimalisir adanya korban meninggal dunia seperti Pemilu 2019, juga untuk memutus mata rantai terpilihnya anggota Panitia Pemilihan senior yang memiliki kepentingan dan relasi dengan penguasa atau peserta Pemilu tertentu. 20



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



DAFTAR PUSTAKA DAFTAR REFERENSI Alvarez, R. M., E. Hall, T., & Hyde, S. (2008). Election Fraud. Washington: The Brooking Institution. Baubock, R. (2007). Stakeholder Citizenship and Transnational Political Participation: A Normative Evaluation of External Voting. Fordham Law Review. Birch, S. (2011). Electoral Corruption. IDCR, 1. Creswell, J. W. (1996). Research Design: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: KIK Press. DKPP. (2016). Outlook 2016 Refleksi & Proyeksi. Jakarta: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI. Feith, h. (1999). Pemilihan Umum 1955. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. IDEA. (2010). Keadilan Pemilu: Ringkasan Buku Acuan International IDEA. Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA). Klassen, A. J. (2009). Electoral Management Autonomy: A Cross-National Analysis from Latin America. Australia National University, 1. Lasswell, H. D. (1936). POLITICS: Who Gets What, When, How. USA: McGrawHill Book Co. Lipson, D. (2004). The New Politics of Affirmative Action: How an Endangered, Liberal, Civil Right Policy Has Transformed Into an Entrenched, Conservative, Diversity Management Policy. Manitoba:: Canadian Political Science Association. Norris, P. (2014). Why Electoral Integrity Matters. New York: University of Cambridge. Norris, P. (2015). Why Elections Fail. New York: Cambridge University Press. Reynolds, A. (2005). Electoral System Design: The New International IDEA Handbook. Stockholm: IDEA. Okezone. (2019, April 24). Okezone.com. Retrieved from Okezone: https://news.okezone.com/read/2019/04/24/606/2047322/bupati -tapanuli-tengah-dilaporkan-ke-bawaslu-terkait-dugaankecurangan-masif-pemilu. Sardini, N. H. (2015). Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Jakarta: LP2AB. Simpser, A. (2012). Why Goverment and Parties Manipulate Elections. New York: Cambridge University Press. Surbakti, R., & Kris Nugroho. (2015). Studi Tentang Desain Kelembagaan Pemilu yang Efektif. Jakarta: Kemitraan Partnership. Thoha, M. (2014). Birokrasi Politik dan Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group. Tesis Umar, AA (2017). Manajemen Pemilu: Mempersiapkan Panitia Pemilihan yang Mandiri, Kompeten dan Berintegritas (Studi PPK, PPS dan KPPS di Kabupaten Temanggung Pemilu Legislatif Tahun 2014). Universitas Gadjah Mada 21



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Website Okezone. (2019, April 24). Okezone.com. Retrieved from Okezone: https://news.okezone.com/read/2019/04/24/606/2047322/bupati -tapanuli-tengah-dilaporkan-ke-bawaslu-terkait-dugaankecurangan-masif-pemilu



22



MANAJEMEN DISTRIBUSI LOGISTIK PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI PADA KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE TAHUN 2017 Franky Gilbert Nainggolan a, Daud Markus Liando b, Johny Peter Lengkong c a



Program Tata Kelola Pemilu Batch II, Universitas Sam Ratulangi, Manado, Indonesia b Dosen S2 TKP Fisip, Universitas Sam Ratulangi, Manado, Indonesia c Dosen S2 TKP Fisip, Universitas Sam Ratulangi, Manado, Indonesia e-mail: [email protected]



ABSTRAK Salah satu aspek penting bagi keberhasilan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terletak pada keberhasilan penyelenggara Pilkada dalam menyiapkan logistik Pilkada di dalam suatu kegiatan manajemen logistik. Berjalannya kegiatan logistik tentu saja didukung oleh komponen-komponen yang ada dalam sistem logistik meliputi struktur fasilitas, transportasi, pengadaan persediaan, komunikasi, penanganan dan penyimpanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis manajemen distribusi logistik Pilkada Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2017. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang fokus pada komponen-komponen sistem logistik. Hasil penelitian ini diperoleh struktur fasilitas dalam mendistribusikan logistik, mulai dari gudang KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe kemudian ke Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), kurangnya ketersediaan sarana transportasi di PPK dan PPS di daerahdaerah kepulauan, dan kurangnya ketersediaan gudang logistik yang representative di PPK. Transportasi yang digunakan adalah truk, pickup, kapal pajeko dan pumpboat, kurangnya ketersediaan moda transportasi yang handal untuk mendistribusikan logistik dipengaruhi kondisi cuaca, dan kapal-kapal digunakan oleh pihak lain untuk kampanye, menyebabkan keterlambatan pendistribusian. Pengadaan persediaan dilakukan melalui e-tendering/e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan barang Jasa Pemerintah (LKPP) dan pengadaan langsung, beberapa item logistik yang pengadaannya terlambat, ada beberapa item logistik yang tidak lengkap halaman dan jumlahnya, dan kedatangan logistik dari penyedia tidak bersamaan menyebabkan pengepakan dan penyimpanan logistik menjadi terlambat pada akhirnya menyebabkan terlambatnya jadwal distribusi. Tidak tersedianya logistik pengaman sebagai cadangan juga menyebabkan ketidakpastian sistem logistik yang menyebabkan terlambatnya pendistibusian logistik. Kurangnya komunikasi menyebabkan moda transportasi tidak tersedia dan terlambatnya pengadaan persediaan yang akhirnya terlambatnya pendistribusian logistik. Penanganan dan penyimpanan logistik dilakukan dari menerima, menyortir, melipat kertas suara, mengeset formulir, dan mengepak logistik kedalam kotak suara, ada beberapa item logistik yang pengadaannya terlambat, menyebabkan terlambatnya kegiatan pengepakan akhirnya menyebabkan jadwal pendistribusian logistik terlambat. Kata Kunci: Manajemen, Distribusi, Logistik



1



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id LOGISTIC DISTRIBUTION MANAGEMENT OF REGENT AND DEPUTY REGENT ELECTION AT ELECTION COMMISSION OF SANGIHE ISLANDS REGENCY IN 2017 ABSTRACT One important aspect of Regional Head Election (Pilkada's) success lies in the success of Pilkada organizers in preparing Pilkada logistics in a logistics management activity. Logistics activities are supported by components in logistics system including facility structure, transportation, procurement, communication, handling and storage. This study aims to determine and analyze the management of logistics distribution Pilkada Sangihe in 2017. This study uses qualitative methods that focus on the components of logistics systems. The results of this study obtained the structure of facilities in distributing logistics, ranging from warehouse of the Sangihe Islands Regency Election Commission distributed to Sub District Election Committee (PPK), Voting Committee (PPS) and Voting Organizers Group (KPPS), lack of transportation facilities availability of PPK and PPS in archipelago areas, and lack of logistics warehouses availability that are representative in PPK. Transportation used is truck, pickup, pajeko and pumpboat. Lack of reliable transportation mode to distribute logistics influenced by weather conditions, and ships are used by other parties for campaign, causing delays in logistic distribution. The procurement of inventory is conducted by e-tendering / e-catalog of Government Services Procurement Policy Agency (LKPP) and direct procurement. Some logistics items procurement are held lately, some logistic items are incomplete amount and pages, and the logistics from the provider does not arrival simultaneously causing the packing and the storage of logistic handling lately, this cause ultimately led to a delayed distribution schedule. The unavailability of safety logistics as a reserve also leads to the uncertainty of the logistics system leading to delays in logistic distribution. Lack of communication causes unavailable transportation modes and late procurement of supplies that cause ultimately delay the distribution of logistics. Logistic handling and storage is conducted by receiving, sorting, folding ballot paper, setting up forms, and packing logistics into the ballot, some logistics items are delayed, causing late packing activities eventually leading to the late logistics distribution schedules. Keywords: Management, Distribution, Logistics



PENDAHULUAN Salah satu faktor penting bagi keberhasilan Pilkada, terletak pada keberhasilan penyelenggara dalam menyiapkan sarana dan prasarana Pilkada berupa logistik atau perlengkapan penyelenggaraan di dalam suatu kegiatan manajemen logistik yang efektif dan efesien. Logistik bukan hanya pelengkap dalam proses Pilkada, melainkan syarat mutlak terselenggaranya Pilkada yang demokratis. Banyak hal yang bisa menjadi sumber masalah berasal dari logistik. Dari hasil evaluasi penyelenggaraan Pemilu terdapat banyak kendala dalam manajemen logistik terutama pengadaan dan pendistribusian logistik di beberapa daerah. Kesulitan yang sama juga masih dihadapi KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe. Pada Pilkada Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2017 lalu, terjadi keterlambatan pendistribusian logistik di Kecamatan Nusa Tabukan sebanyak 9 TPS, logistik baru bisa terdistribusi di hari pemungutan suara tanggal 15 Februari 2017, KPU Kabupaten Kepulauan 2



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Sangihe membuat keputusan untuk menunda pemungutan suara di 9 TPS tersebut. Pemungutan suara susulan ini tidak sesuai lagi dengan standar Pilkada serentak. Dengan demikian, bahwa permasalahan logistik Pilkada ini menimbulkan banyak dampak pada berbagai proses Pilkada. Distribusi merupakan salah satu dari fungsi manajemen logistik. Dimana manajemen logistik Pilkada memiliki peran yang sangat penting untuk menentukan keberhasilan penyelenggaraan Pilkada. Guna memenuhi logistik Pilkada ke seluruh PPK, PPS, dan TPS di Kabupaten Kepulauan Sangihe secara tepat jumlah; tepat jenis; tepat sasaran; tepat waktu; tepat kualitas; dan efisien maka diperlukan manajemen distribusi logistik Pilkada yang baik. Berdasarkan pada latar belakang masalah dan rumusan masalah yang dijadikan landasan dalam penelitian ini, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis manajemen distribusi logistik Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati pada KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2017. Logistik merupakan proses pengelolaan yang penting terhadap pemindahan dan penyimpanan barang dari penyuplai kepada perindustrian dan kepada konsumen. Manajemen Logistik adalah merupakan satu aktivitas perindustrian yang tertua tetapi juga yang termuda. Aktivitas logistik (lokasi fasilitas, transportasi, inventarisasi, komunikasi, dan pengurusan dan penyimpanan) sudah dillakukan orang semenjak awal spesilisasi komersil (Bowersox, 2002:13). Menurut Kusumastuti (2014:5-9) dalam perkembangannya terdapat berbagai peranan manajemen logistik diantaranya sebagai berikut: (1) Peranan logistik dalam organisasi publik, yang sangat berhubungan erat dengan penyelenggaraan fungsi pemerintahan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Proses ini tidak hanya di sekitar aktivitas pengadaan barang untuk kebutuhan pemerintah, tetapi juga mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat, seperti pemberian pelayanan prima kepada seluruh masyarakat. (2) Peranan logistik dalam mendukung kegiatan pemasaran, karena harus mengintegrasikan gagasan-gagasan untuk memperoleh produk yang cepat, pada saat yang tepat, promosi yang memadai, dan tempat yang memadai. Logistik mendukung pengiriman barang pada saat dan di mana produk tersebut dibutuhkan. (3) Peranan logistik dalam ekonomi, yaitu: logistik merupakan pengeluaran utama dalam bisnis, yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi lainnya, logistik mendukung pergerakan dan aliran dari sejumlah transaksi ekonomi, logistik menambah nilai dengan menciptakan kegunaan (utilitas) waktu dan tempat, dalam perdagangan internasional pemerintah ikut memerankan kebijakan maupun pengawasan perdagangan karena merupakan perluasan kegiatan ekonomi dan (4) Peranan logistik dalam militer, begitu pentingnya kontribusi logistik terhadap kemenangan sekutu di Perang Dunia Kedua keberhasilan pasokan, pendistribusian, dan penyimpanan merupakan keberhasilan Pasukan Militer. Untuk mencapai tujuan logistik perusahaan atau organisasi membutuhkan fungsi-fungsi logistik guna mencapai misi logistiknya. Fungsi manajemen logistik adakah suatu proses yang berkelanjutan dan 3



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



saling berhubungan satu sama lainnya serta saling mendukung satu sama dan lainnya. Proses manajemen logistik menurut Subagya (1996:10) terdiri dari: (1) Fungsi perencanaan dan penentuan kebutuhan. Perencanaan mencakup kegiatan dalam menetapkan sasaran-sasaran, pedomanpedoman, pengukuran penyelenggaran bidang logistik. Penentuan kebutuhan merupakan perincian (detailering) dari fungsi perencanaan. (2) Fungsi penganggaran, yaitu kegiatan dan usaha-usaha untuk menetapkan secara rinci penentuan kebutuhan dalam suatu skala standar. (3) Fungsi pengadaan, merupakan kegiatan dan usaha untuk menambah dan memenuhi kebutuhan barang dan jasa berdasarkan peraturan yang berlaku, menciptakan sesuatu yang tadinya belum ada menjadi ada. (4) Fungsi penyimpanan dan penyaluran, merupakan pelaksanaan, penerimaan, peyimpanan dan penyaluran perlengkapan yang telah diadakan untuk kemudian disalurkan kepada instansi-instansi pelaksana. (5) Fungsi pemeliharaan, merupakan usaha atau proses kegiatan untuk mempertahankan kondisi teknis, daya guna dan daya hasil barang. (6) Fungsi penghapusan, merupakan kegiatan dan usaha membebakan barang dari pertangungjawaban. (7) Fungsi pengendalian, merupakan fungsi untuk mengawasi dan mengamankan keseluruhan pengelolaan logistik. Fungsi-fungsi tersebut diatas pada dasarnya merupakan siklus kegiatan yang satu sama lain saling berkaitan dan tidak dapat dipisahpisahkan, secara umum disebut siklus logistik. Proses manajemen logistik pada dasarnya menciptakan faedah (utility) waktu, tempat, dan pengalihan hak milik. Dalam menciptakan ketiga faedah tersebut, terdapat dua aspek penting yang terlibat didalamnya, yaitu: lembaga yang berfungsi sebagai saluran distribusi logistik (channel of distribution) dan aktivitas yang menyalurkan arus fisik barang (physical distribution). Manajemen logistik terpadu merupakan konsep berbeda dalam manajemen logistik, yang mengintegerasikan sistem-sistem manajemen distribusi fisik dan manejemen material. Konsep logistik terpadu itu sendiri terdiri dari dua usaha yang berkaitan yaitu operasi logistik dan koordinasi logistik (Bowersox, 2002:24). Sistem ini mengulas mengenai bagaimana suatu material diproses, manufaktur, disimpan, diseleksi, untuk kemudian dijual atau dikonsumsi. Pembahasan dalam sistem logistik ini merupakan pembahasan yang komperhensif, termasuk pembahasan mengenai proses manufaktur dan perakitan, pergudangan, pendistribusian, titik/poin pengalihan angkutan, terminal transportasi, penjualan eceran, pusat penyortiran barang dan dokumen, pusat penghancuran, dan pembuangan dari keseluruhan kegiatan industri (Ghiani dkk, 2004:1). Berjalannya kegiatan logistik tentu saja didukung oleh komponen-komponen yang ada dalam sistem logistik tersebut. Menurut Bowersox (2002:63) ada 5 (lima) komponen yang bergabung untuk membentuk sistem logistik, komponen- komponen yang antara lain terdiri dari: struktur fasilitas, transportasi, pengadaan, persediaan, komunikasi, penanganan dan penyimpanan.



4



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang dipakai untuk meneliti kondisi obyek yang alamiah dimana peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2015:1). Lokasi penelitian dilakukan di KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe sebagai pelaksana pendistribusian logistik Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2017. Fokus utama penelitian ini adalah manajemen distribusi logistik pada KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2017 untuk memenuhi penyediaan logistik secara tepat jumlah; tepat jenis; tepat sasaran; tepat waktu; tepat kualitas; dan efisien. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil penelitian yang didapatkan melalui dua sumber data, yaitu data primer dan sekunder. Data-data primer tersebut, yaitu dokumen Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2017, antara lain: dokumen kebijakan tentang tahapan, dokumen kebijakan tentang pengadaan kebutuhan dan pendistribusian logistik, dokumen kebijakan tentang jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS), dokumen kebijakan tentang jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) serta dokumen-dokumen lain yang terkait dalam penelitian ini. Waktu penelitian ini dilakukan dilakukan dari bulan September 2017 sampai dengan bulan April 2018. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Logistik terpadu ini mengitegerasikan saluran distribusi dengan manajemen distribusi fisik kedalam suatu sistem logistik. Berjalannya kegiatan dan usaha logistik tentu saja sudah didukung oleh komponenkomponen yang terdapat didalam sistem logistik tersebut. Pertimbangan dalam salah satu fungsi logistik akan berakibat pada fungsi logistik lainnya, inilah yang membuat keberhasilan manajemen logistik terpadu yang sifatnya saling terkait. Menurut Bowersox (2002:63) ada 5 (lima) gabungan komponen untuk membentuk suatu sistem logistik, komponenkomponen yang antara lain terdiri dari: Struktur fasilitas, Transportasi, Pengadaan persediaan, Komunikasi, Penanganan dan penyimpanan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan melalui deskripsi objek penelitian dan karakteristik informan, serta hasil wawancara dengan informan. Peneliti akan membahas penelitian berdasarkan 5 (lima) komponen yang ada didalam sistem logistik, sebagai berikut: Struktur Fasilitas Jaringan fasilitas suatu organisasi dalam sistem logistik merupakan rangkaian tempat ke mana dan melalui mana material dan barang diangkut. Untuk tujuan perencanaan, fasilitas-fasilitas tersebut meliputi pabrik, gudang-gudang, dan distributor (Bowersox, 2002:64). Struktur jaringan fasilitas ini juga biasa disebut saluran distribusi, saluran 5



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



distribusi fisik adalah metode dan sarana dimana suatu barang atau berbagai barang dipindahkan secara fisik, atau didistribusikan, dari tempat produksi sampai pada tempat di mana barang tersebut tersedia bagi pengguna akhir (Rushton dkk, 2010:50). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan alur penerimaan dan pendistribusian logistik Pilkada melalui struktur fasilitas yang ditetapkan adalah untuk daerah daratan dimulai dari gudang KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe kemudian ke PPK, PPS dan KPPS. Untuk daerah kepulauan dari gudang KPU Kabupaten Sangihe langsung ke PPS atau KPPS, lalu logistik digunakan oleh KPPS dan pemilih pada hari pemungutan suara. Dari penelitian ini didapatkan pemilihan saluran distribusi ini sudah cukup efektif, sesuai dengan pendapat Bowersox (2002:64), seleksi serangkaian tempat yang unggul (superior) bisa memberikan banyak keuntungan yang bersaing bagi organisasi. Tingkat ketepatan logistik yang bisa dicapai itu berkaitan langsung dengan dan dibatasi oleh jaringan fasilitas. Terlihat dari masing masing saluran distribusi yang dipilih KPU Kabupaten Sangihe dapat menjangkau wilayah geografisnya masingmasing, PPK yang berada di Kecamatan dapat menjangkau desa-desa disetiap wilayah kerja PPK tersebut berada, kemudian PPS yang berada di Desa/ Kelurahan menjangkau setiap lokasi TPS di wilayah kerja PPS tersebut, dan KPPS sebagai pengguna logistik dapat mendistibusikan logistik kepada pemilih sebagai pengguna akhir. Dari keterangan informan dan data-data hasil penelitian didapati permasalahan yang terjadi pada fasilitas saluran distribusi logistik Pilkada Sangihe tahun 2017 adalah ketersediaan moda transportasi di PPK dan PPS. Dilihat dari kondisi geografis Kabupaten Kepulauan Sangihe yang merupakan wilayah kepulauan, dari 15 Kecamatan di Kabupaten Kepulauan Sangihe 7 Kecamatan merupakan daerah yang terdiri dari pulau-pulau diantaranya Kecamatan Marore, Kecamatan Tatoareng, Kecamatan Nusa Tabukan, Kecamatan Tabukan Selatan, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah, Kecamatan Mangintau Selatan, dan Kecamatan Kendahe, penyaluran logistik dari gudang KPU Kabupaten Sangihe yang berada di Tahuna ke kecamatan-kecamatan tersebut hanya bisa dilakukan menggunakan transportasi laut yaitu kapal Pajeko/angkutan rakyat atau pumpboat dimana transportasi laut ini sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Selain ketersediaan moda transportasi struktur fasilitas juga harus didukung fasiltas gudang, baik itu untuk penanganan dan penyimpanan logistik. Dari hasil pengamatan dan wawancara gudang distribusi yang digunakan oleh KPU Kabupaten Sangihe sudah cukup representative untuk melakukan operasi logistik seperti penyortiran, pengesetan formulir dan pengepakan, namun untuk di PPK menurut keterangan informan masih kurang memadai untuk ketersediaan gudang di PPK, PPK harus bekerja sama dengan pihak-pihak seperti Pemda dan Kepolisian untuk tempat penyimpanannya, gudang logistik ini sangat dibutuhkan dalam kegiatan logistik, terlebih lagi dalam proses setelah pemungutan suara dimana rekapitulasi suara dilakukan di tingkat PPK, jadi seluruh logistik dari KPPS 6



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



untuk wilayah kecamatan itu disimpan di gudang PPK sampai dengan rekapitulasi di tingkat PPK selesai, jadi sangat dibutuhkan gudang penyimpanan yang memadai. Struktur fasilitas dalam sistem logistik adalah suatu kegiatan awal yang patut dilakukan sebelum KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe mulai mendistribusikan logistik. Penentuan fasilitas logistik yang tepat akan mempengaruhi kemampuan KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe dalam melayani masyarakat sebagai pemilih untuk mendapatkan logistik yang tepat. Kesalahan dalam pemilihan struktur fasilitas saluran logistik akan berakibat pada biaya transportasi yang tinggi, kurangnya tenaga kerja, tidak tersedianya persediaan logistik yang cukup, dan lain sebagainya. Komponen sistem logistik yang salah satunya struktur fasilitas adalah kunci bagi keberhasilan manajemen logistik. Pemenuhan pesanan logistik Pilkada secara tepat adalah bagian penting dari manajemen logistik Pilkada dan KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe perlu untuk membuat keputusan strategis pada jaringan logistik. Menurut penelitian Candra (2013) desain dan operasi jaringan pada logistik memiliki pengaruh yang berarti terhadap sistem logistik. Ketetapan penting yang dibutuhkan adalah moda transportasi yang dipakai dan gudang pusat distribusi yang digunakan. Transportasi Transportasi adalah pindahnya barang atau penumpang dari tempat yang satu ketempat yang lain, dimana barang dipindahkan ke tempat tujuan yang membutuhkan. Secara umum transportasi adalah suatu aktivitas memindahkan sesuatu barang dan/atau orang dari tempat yang satu ketempat yang lain, baik dengan atau tanpa sarana. (Bowersox, 2002:157). Menurut Kamaluddin (2003: 18-19) transportasi maka dapat dibedakan beberapa moda transportasi berdasarkan unsur-unsurnya, yaitu sebagai berikut: transportasi darat, transportasi air dan transportasi udara. Sebelum menentukan moda transportasi yang digunakan untuk mengangkut logistik, KPU Kabupaten Sangihe terlebih dahulu membuat perencanaan pendistribusian logistik dengan memetakan wilayah dengan menetapkan daerah prioritas, menetapkan jadwal pendistribusian, dan menetapkan moda transportasi yang akan digunakan. Skala prioritas yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah terdiri dari tiga prioritas, yang dibagi kedalam dua wilayah, yaitu daratan dan kepulauan. Seluruh wilayah kepulauan masuk kedalam prioritas utama pendistribusian, sedangkan untuk wilayah daratan merupakan prioritas sedang dan biasa. Jadwal distribusi dibagi kedalam dua bagian, yaitu untuk wilayah daratan dimulai dari tanggal 12 Februari 2017 sampai dengan 14 Februari 2017 dan wilayah kepulauan mulai dari tanggal 5 Februari 2017 sampai dengan 14 Febuari 2017. Moda transportasi yang digunakan dalam melaksanakan pengangkutan dan pengiriman logistik ke PPK, PPS, dan KPPS yaitu: truck/pickup untuk wilayah daratan dan kapal pajeko/pumpboat untuk wilayah kepulauan.



7



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Dari hasil penelitian didapati terjadi penundaan pemungutan suara ke Kecamatan Nusa Tabukan yang seharusnya dilakukan serentak tanggal 15 Februari 2017 namun baru dapat dilaksanakan pada tanggal 16 Februari 2017, di Kecamatan ini terdapat 9 TPS dengan jumlah pemilih sebanyak 2.491 jiwa. Penundaan pelaksanaan pemungutan suara di Kecamatan Nusa Tabukan dikarenakan terjadi keterlambatan pendistribusian logistik, logistik baru sampai di Nusa Tabukan pada tanggal 15 Februari 2017 pada pukul 13.00 Wita. Keterlambatan ini disebabkan moda transportasi yang digunakan adalah kapal pajeko/angkutan rakyat, moda transportasi ini tidak cukup andal untuk mengangkut logistik ke Kecamatan Nusa Tabukan disebabkan karena kondisi cuaca ekstrim dan gelombang laut yang tinggi, moda transportasi kapal pajeko ini tidak cukup andal untuk mendistribusikan logistik ke Kecamatan Nusa Tabukan. Selain karena kurangnya ketersediaan sarana transportasi yang andal dan konsisten, penelitian ini juga menemukan keterlambatan pendistribusian logistik ini juga disebabkan oleh tidak tepatnya penentuan rute transportasi. Kecamatan Kendahe (khusus wilayah kepulauan), Kecamatan Marore, dan Kecamatan Nusa Tabukan merupakan daerah prioritas utama seharusnya untuk daerah-daerah prioritas pendistribusian dilakukan terlebih dahulu dengan mempertimbangkan ketersediaan, keandalan dan konsistensi moda transportasi yang digunakan, untuk Kecamatan Kendahe, Kecamatan Marore dan Nusa Tabukan pengangkutan bisa dilakukan menggunakan dua kapal pajeko, untuk kecamatan Kendahe dan Kecamatan Marore dapat menggunakan satu kapal pajeko karena merupakan satu rute pendistribusian, untuk menuju Kecamatan Marore terlebih dahulu melalui Kecamatan Kendahe melalui Pelabuhan Tahuna dan satu lagi untuk Kecamatan Nusa Tabukan menggunakan satu kapal pajeko, pendistribusian dapat dilakukan mulai dari gudang KPU Kabupaten Sangihe menuju Pelabuhan Petta menggunakan kendaraan truck/pickup dan selanjutnya menggunakan kapal pajeko/pumpboat menuju Kecamatan Nusa Tabukan. Dari penelitian ini didapatkan bahwa keterlambatan logistik disebabkan minimnya ketersediaan sarana transportasi yang cepat, handal, dan sanggup untuk mendistribusikan logistik Pilkada tepat waktu dipengaruhi oleh kondisi cuaca, serta penentuan rute transportasi yang tidak tepat menyebabkan keterlambatan pendistribusian logistik. Pengadaan Persediaan Salah satu fungsi manajemen logistik adalah pengadaan, fungsi pengadaan merupakan kegiatan dan usaha untuk menambah dan memenuhi kebutuhan barang dan jasa berdasarkan peraturan yang berlaku, menciptakan sesuatu yang tadinya belum ada menjadi ada (Subagya, 1996:10). Tingkat persediaan menggambarkan keputusan distribusi fisik lain yang mempengaruhi kepuasan pengguna logistik. Organisasi menginginkan persediaan barang yang cukup guna memenuhi semua kebutuhan masyarakat dengan segera (Kotler, 1993:295).



8



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Dari hasil dan data-data penelitian yang didapat KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe melakukan pengadaan persediaan logistik melalui dua cara yaitu menggunakan e-purchasing/e-katalog LKPP Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) dan menggunakan metode pengadaan langsung. Pengadaan surat suara, tinta, segel dan hologram dilakukan melalui e-purchasing/e-katalog yang penyedianya ada di Pulau Jawa. Pengadaan sampul, formulir, sticker, broiler dan alat kelengkapan TPS diadakan dengan metode pengadaan langsung dari penyedia di Manado. Dari hasil penelitian ditemukan pengadaan logistik Pilkada yang dilakukan terdapat kelebihan dan kekurangannya dari pengadaan yang dilakukan melalui e-purchasing/e-katalog LKPP proses pengadaan dan pendistribusian berjalan dengan baik dan cukup dapat menghemat anggaran logistik karena pengadaan melalui e-purchasing/e-katalog LKPP harganya lebih murah dan pendistribusiannya tepat waktu. Sedangkan pengadaan persediaan yang dilakukan melalui pengadaan langsung dari penyedia yang berada di Manado terdapat beberapa permasalahan diantaranya: masih ada beberapa jenis logistik yang terlambat kedatangannya sehingga membutuhkan waktu untuk menyortir pada akhirnya waktu untuk mendistribusikan barang menjadi tertunda, menjadikan barang tertumpuk serta tumpang tindih dengan barang yang baru datang. Barang yang menggunakan basis hitungan satuan lembar masih banyak kekurangan-kekurangan, baik dari jumlah isi maupun lembar atau tidak tercetaknya beberapa halaman, sehingga proses pemilahan dan penyortiran terganggu menunggu kedatangan penggantian dan penambahan kekurangan tersebut. Dalam sistem logistik setiap komponen-komponen yang ada didalamnya saling mempengaruhi, jadi keterlambatan pengadaan persedian akan menghambat sistem logistik lainnya yang pada akhirnya akan mengakibatkan sistem logistik berjalan dengan tidak baik. Selain pengadaan persediaan logistik yang sesuai kebutuhan diperlukan juga persediaan cadangan sebagai pengaman untuk mengendalikan ketidak pastian dalam sistem logistik. Persediaan pengaman adalah pengadaan persediaan tambahan untuk melindungi atau menjaga kemungkinan terjadinya kekurangan bahan atau barang/stock out (Rangkuti, 2004:2). Dari hasil penelitian ini KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe tidak menyediakan persediaan pengaman untuk setiap item logistik, persediaan pengaman yang disediakan oleh KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe hanya untuk kertas suara, kertas suara disediakan untuk mengantisipasi jika terjadi kekurangan logistik pada saat pemungutan suara di TPS dan untuk persediaan pemungutan suara ulang. Tidak disiapkannya logistik sebagai cadangan untuk mengamankan ketidakpastian kegiatan logistik sangatlah beresiko, terlebih lagi ketika KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe diperhadapkan pada pelayanan publik, dimana ketersediaan logistik adalah salah satu faktor suksesnya pelaksanaan Pilkada, karena melalui logistik hak politik masyarakat disalurkan. Seperti yang terjadi di Nusa Tabukan seharusnya hal ini dapat di antisipasi dengan mendistribusikan logistik cadangan yang disediakan, 9



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



ketidaktersediaan logistik cadangan menyebabkan ketidakpastian dalam sistem logistik dalam hal ini adalah terlambatnya pendistribusian logistik ke Kecamatan Nusa Tabukan Dari penelitian ini didapatkan bahwa keterlambatan pengadaan logistik, kedatangan logistik tidak bersamaan, dan terdapat beberapa jenis logistik yang kurang lengkap serta tidak adanya persediaan cadangan sebagai pengaman menyebabkan sistem logistik berjalan dengan tidak baik. Menurut penelitian Candra (2013) ketersediaan logistik memiliki pengaruh signifikan terhadap sistem logistik. Dalam sistem logistik menyimpan banyak barang pasti akan memperbesar biaya, sedangkan jika tidak ada persediaan akan sangat berisiko apabila ada PPK, PPS, dan KPPS memerlukan logistik namun tidak tersedia, tentunya pemilih dapat mengalami kerugian karena tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Ini berarti akan mengurangi kesuksesan penyelenggaraan Pilkada itu sendiri dan kinerja KPU akan dipertanyakan profesionalitasnya. Komunikasi Ada 2 (dua) tugas manejerial yang berkaitan langsung dengan komunikasi logistik. Yang pertama adalah pengolahan pesanan dan yang kedua adalah pengawasan pesanan. Pengolahan pesanan adalah suatu arus komunikasi yang kritis yang merupakan masukan utama (prime out) bagi sistem logistik. Pengawasan yang penting dilakukan dalam distribusi logistik Pilkada adalah dengan melakukan pengendalian logistik. Salah satu fungsi manajemen logistik adalah pengendalian, pengendalian merupakan fungsi untuk mengawasi dan mengamankan keseluruhan pengelolaan logistik. (Subagya, 1996:10). Dalam kaitannya dengan logistik Pilkada hal-hal yang perlu di awasi dan dikendalikan adalah struktur fasilitas saluran distribusi logistic, yaitu PPK, PPS dan KPPS, sarana moda transportasi pengangkutan logistik, pengadaan persediaan logistik dan penanganan penyimpanan, serta keamanan pendistribusiannya. Dari penelitian ini ditemukan kurangnya upaya yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Sangihe untuk mengendalikan penyediaan sarana transportasi dalam mendistribusikan logistik ke wilayah kepulauan hal ini terlihat dari terjadinya keterlambatan pendistribusian logistik ke kecamatan Nusa Tabukan disebabkan tidak tersedianya moda transportasi untuk mengangkut logistik, dan juga kesalahan dalam menetapkan rute transportasinya. Permasalahan tersebut diatas terlihat bahwa komunikasi yang dilakukan KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe dengan pihak penyedia moda transportasi sangatlah kurang, seharusnya KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe sudah mengkomunikasikan jadwal pendistribusian dengan pihak penyedia transportasi dengan membuat perjanjian bahwa moda transportasi yang telah disepakati tidak boleh digunakan oleh pihak lain selama jadwal pendistibusian logistik dilakukan. Dari penelitian ini juga di dapatkan bahwa kurangnya komunikasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe dengan Pemerintah Daerah, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia dalam upaya koordinasi untuk mengantisipasi kekurangan moda transportasi. KPU Kabupaten Sangihe dapat meminta 10



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



mengsiagakan moda transportasi yang handal seperti kapal laut kepada Pemda, Kapal Perang (KRI) dan atau helikopter kepada TNI sekaligus menyiapkan sarana pendukungnya (bahan bakar, dan lainnya), jadi ketika ada permasalahan yang timbul langsung dapat segera diantisipasi, terlebih lagi geografis Kabupaten Kepulauan Sangihe yang merupakan daerah kepulauan yang rentan akan gangguan cuaca, dan dalam keadaan sangat mendesak pelaksanaan pengangkutan dan pengiriman dapat dilakukan melalui jalur angkutan udara/angkutan tercepat. Selanjutnya dalam manajemen logistik pengendalian juga perlu dilakukan pada komponen-komponen dari sistem logistik yang lainnya, yaitu pengadaan persediaan, penanganan dan penyimpanannya. Dari hasil penelitian terjadi permasalahan, yaitu keterlambatan pengadaan barang, kedatangan barang dari penyedia yang tidak bersamaan serta beberapa item barang yang tidak lengkap jumlahnya, permasalahan ini menyebabkan penanganan barang (pensortiran, pengesetan dan pengepakan) menjadi terhambat, dan pada akhirnya menyebabkan mundurnya jadwal pendistribusian logistik. Dari permasalahan diatas dapat di lihat pentingnya pengendalian dan koordinasi terkait pengadaan persediaan, karena seluruh komponen sistem logistik adalah satu kesatuan sistem, jika terjadi gangguan salah satu komponen sistem logistiknya akan mengganggu komponen sistem logistik yang lainnya. Komunikasi perlu dilakukan terhadap penyedia barang untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan proses produksi logistik, pengadaan persediaan logistik harus sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan karena logistik Pilkada dibatasi dengan jadwal tahapan pelaksanaan Pilkada, jadi ketepatan waktu pengadaan dan pendistribusian logistik adalah suatu keharusan. Dari hasil penelitian ini didapati komunikasi adalah faktor penting dalam sistem logistik dimana komunikasi memberikan informasi di setiap saluran distribusi, peran manajemen KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe sebagai pihak yang membutuhkan logistik sangat penting untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan seluruh komponen sistem logistik, hal ini sesuai dengan pendapat Bowersox (2002) bahwa informasi yang tidak tepat bisa menyebabkan gangguan terhadap kinerja sistem, dan keterlambatan pada arus komunikasi bisa memperbesar kesalahan itu sehingga mengakibatkan serangkaian gangguan dalam sistem tersebut karena perbaikan yang berlebihan dan perbikan yang kurang. Komunikasi membuat dinamisnya suatu sistem logistik. Mutu dan informasi yang tepat-waktu merupakan faktor penentu yang utama dari kestabilan sistem. Penanganan dan Penyimpanan Penanganan dan penyimpanan dalam arti luas, penanganan dan penyimpanan (handling and storage) ini meliputi pergerakan (movement), pengepakan, dan pengemasan (containerization). Penanganan material dalam sistem logistik itu berpusat pada dan sekitar gudang. Khususnya ada empat kegiatan gudang yang harus dilaksanakan: 1) Penerimaan, 2) pemindahan, 3) seleksi dan 4) pengiriman (Bowersox, 2002:275). Penanganan dan penyimpanan logistik Pilkada dilakukan untuk 11



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



mengidentifikasi kerusakan, kekurangan, maupun kelebihan barang dan jasa logistik sehingga KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe dapat dengan segera mencari solusi atas hal-hal tersebut. Dari penelitian ini bahwa dalam penanganan dan penyimpanan logistik yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe sudah cukup baik, hal ini terlihat dari logistik yang masuk dalam kotak suara dan ada logistik yang diluar kotak suara dan dikemas tersendiri, KPU telah menetapkan satuan dasar atau standarisasi dalam penanganan logistik dengan memperhitungkan kerusakan dan keamanan logistik, kemudahan dalam menyimpan logistik serta kemudahan dalam memuat logistik kedalam sarana transportasi pengangkut logistik. Sedangkan untuk penyimpanannya sudah cukup memadai dengan didukung oleh kapasitas gudang yang representative untuk melakukan kegiatan penanganan dan penyimpanan logistik. Dari penelitian ini didapatkan bahwa proses penanganan dan penyimpanan logistik Pilkada Kabupaten Kepulauan Sangihe juga mengalami hambatan disebabkan oleh permasalahan pada kegiatan pengadaan persediaan logistik. Dimana telah dibahas sebelumnya pada pengadaan persedian logistik, yaitu permasalahan pengadaan formulir yang dilakukan melalui pengadaan langsung dari penyedia yang berada di Manado terdapat beberapa halaman formulir yang tidak lengkap mengakibatkan memerlukan waktu untuk penanganannya, kemudian waktu kedatangannya juga tidak bersamaan menyebabkan proses pengepakan terjadi keterlambatan, karena untuk mengepak logistik baru bisa dilakukan ketika seluruh item logistik lengkap. Jadwal pendistibusian juga menjadi terpengaruh akibat terlambatnya penanganan dan pengepakan logistik. Hal ini terlihat dari perencanaan yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe, di mana untuk wilayah prioritas utama, yaitu wilayah-wilayah kepulauan termasuk Kecamatan Nusa Tabukan, logistik akan didistribusikan mulai dari tanggal 05 Februari 2017, namun kenyataannya pendistribusian dilakukan pada tanggal 10 Februari 2017, terlambatnya pengepakan logistik ini mempengaruhi jadwal distribusi logistik. Dari penelitian ini dapat dikatakan bahwa suatu sistem logistik memerlukan keseimbangan dari keseluruhan komponen sistem logistik, disini terlihat dari permasalahan yang terjadi pada komponen pengadaan persediaan mempengaruhi proses penanganan dan penyimpanan logistik dan pada akhirnya akan mempengaruhi komponen sistem logistik yang lainnya, baik itu struktur fasilitas dan transportasi untuk itu komunikasi logistik di perlukan untuk mengendalikan serta mengawasi seluruh komponen sistem logistik. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa belum berjalan dengan baiknya manajemen logistik Pilkada Sangihe tahun 2017 disebabkan karena komponen-komponen dalam sistem logistik Pilkada belum berjalan dengan baik. Komponen-komponen dalam sistem logistik



12



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



merupakan keseluruhan komponen yang berkesinambungan yang saling mempengaruhi satu sama lainnya dalam suatu sistem logistik. Struktur fasilitas saluran distribusi logistik Pilkada Sangihe Tahun 2017 adalah untuk daerah kepulauan KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe langsung mendistribusikan logistik dari gudang logistik ke KPPS didampingi oleh PPK dan PPS, sedangkan untuk wilayah daratan dimulai dari KPU Kabupaten Sangihe ke PPK kemudian ke PPS, selanjutnya ke KPPS. Struktur fasilitas distribusi logistik yang dilakukan KPU Kabupaten Sangihe ini sudah cukup baik karena PPK, PPS dan KPPS dapat menjangkau seluruh wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe dan alur pendistribusian sudah memperhitungkan skala prioritas pendistribusian, yaitu kepulauan dan daratan. Permasalahan yang terjadi pada struktur fasilitas distribusi logistik Pilkada Sangihe 2017 adalah kurangnya ketersediaan sarana transportasi di PPK dan PPS terutama di daerahdaerah kepulauan, dan kurangnya ketersediaan gudang logistik yang representative di PPK. Permasalahan struktur fasilitas ini menyebabkan sistem logistiknya tidak berjalan dengan baik. Transportasi yang digunakan dalam mendistribusikan logistik Pilkada Sangihe tahun 2017 adalah melalui darat menggunakan truk dan pickup, serta melalui air menggunakan kapal pajeko (angkutan rakyat) dan pumpboat. Dalam penelitian ini didapatkan permasalahan, yaitu kurangnya ketersediaan moda transportasi yang handal untuk mendistribusikan logistik, terutama untuk mendistribusikan logistik ke wilayah kepulauan dimana transportasinnya sangat dipengaruhi kepada kondisi cuaca, selain itu kurangnya ketersediaan transportasi juga disebabkan kapal-kapal yang biasa digunakan untuk mendistribusikan logistik digunakan oleh pihak lain untuk kampanye, kurangnya ketersedian moda transportasi ini menyebabkan tidak tepatnya penetapan rute transportasi yang pada akhirnya menyebabkan keterlambatan pendistribusian logistik ke Kecamatan Nusa Tabukan. Pengadaan persediaan logistik Pilkada Sangihe Tahun 2017 dilakukan dengan metode e-tendering/e-katalog LKPP dan pengadaan langsung. Permasalahan yang terjadi dalam pengadaan persediaan logistik adalah ada beberapa item logistik yang pengadaannya terlambat, ada beberapa item logistik yang tidak lengkap halaman dan jumlahnya, dan kedatangan logistik dari penyedia tidak bersamaan menyebabkan sistem logistik tidak berjalan dengan baik. Permasalahan pada pengadaan persediaan ini menyebabkan kegiatan pengepakan dan penyimpanan logistik menjadi terlambat pada akhirnya menyebabkan terlambatnya jadwal distribusi, dalam logistik Pilkada pengepakan logistik kedalam kotak suara baru dapat dilakukan ketika seluruh item logistik sudah lengkap. Keterlambatan pengepakan logistik ini akhirnya menyebabkan penyaluran logistik tidak sesuai jadwal yang direncanakan. Tidak tersedianya logistik pengaman sebagai cadangan juga menyebabkan ketidakpastian sistem logistik yang menyebabkan terlambatnya pendistibusian logistik Pilkada Sangihe Tahun 2017. Dalam sistem logistik, logistik pengaman sebagai persediaan cadangan diperlukan untuk mengantisipasi ketidakpastian dalam sistem logistik. Terkait 13



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



keterlambatan logistik ke Nusa Tabukan seharusnya dapat di antisipasi dengan mendistribusiakan logistik cadangan dengan menggunakan moda transportasi tercepat. Komunikasi yang dilakukan dalam pendistribusian logistik Pilkada adalah terkait pengendalian dan koordinasi untuk mengawasi logistik. Kurangnya komunikasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Sangihe kepada penyedia moda transportasi menyebabkan moda transportasi yang seharusnya digunakan untuk mendistribusikan logistik Pilkada digunakan oleh pihak lain, ketidaktersediaan moda transportasi tersebut menyebabkan terlambatnya pendistribusian logistik ke kecamatan Nusa Tabukan. Kurangnya pengendalian dan koordinassi terkait pengadaan persediaan juga menyebabkan beberapa item logistik yang pengadaannya tidak tepat waktu dan jumlah sehingga menyebabkan terganggunya kegiatan penanganan logistik, serta kurangnya komunikasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Sangihe kepada Pemda, TNI dan Polri untuk mengendalikan ketersedian moda transportasi juga menyebabkan keterlambatan pendistribusian logistik, seharusnya komunikasi telah dilakukan dalam perencanaan pendistribusian logistik. Penanganan dan penyimpanan logistik KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe melakukan kegiatan mulai dari menerima logistik dari pihak ketiga, kemudian dilakukan penyortiran, pelipatan kertas suara, pengesetan formulir, dan pengepakan logistik kedalam kotak suara, dan menyimpannya di gudang logistik sebelum diangkut menggunakan moda transportasi yang tersedia. Permasalahan yang terjadi dalam penanganan dan penyimpanan adalah ada beberapa item logistik yang pengadaannya terlambat, keterlambatan pendistribusian logistik dari penyedia. Hal ini menyebabkan terlambatnya kegiatan pengepakan logistik, karena pengepakan dilakukan harus menunggu logistik lengkap. Pada akhirnya menyebabkan jadwal pendistribusian logistik tidak sesuai dengan perencanaan. Komponen sistem logistik adalah struktur fasilitas, transportasi, pengadaan persediaan, komunikasi serta penanganan dan penyimpanan. Keberhasilan manajemen logistik Pilkada merupakan bentuk perwujudan visi dan misi KPU untuk melayani masyarakat mengunakan hak pilihnya melalui pengelolaan logistik sesuai dengan prinsip-prinsip logistik Pemilu yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Keberhasilan manajemen logistik dapat terwujud jika komponen-komponen dalam sistem logistik dapat berjalan dengan baik, komponen-komponen sistem logistik itu merupan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi, untuk itu dapat disarankan beberapa hal terkait komponen-komponen sistem logistik sebagai berikut: 1. Struktur Fasilitas. Dalam kegiatan perencanaan logistik untuk PPK yang tidak memiliki gudang penyimpanan yang representative sebaiknya di anggarkan biaya untuk menyewa gudang, karena pada proses pengembalian logistik gudang di PPK dibutuhkan sampai rekapitulasi suara selesai dilakukan, sebelum logistik di angkut ke gudang KPU Kabupaten.



14



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



2. Transportasi. Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan daerah yang wilayah geografisnya adalah kepulauan. Kecepatan, keandalan kemampuan serta frekuensi moda transportasi yang yang tersedia untuk daerah ini sangat di pengaruhi oleh keadaan cuaca. Untuk itu KPU Kabupaten Sangihe sebaiknya menganggarkan dan merencanakan moda transportasi yang tepat dan andal dalam mendistribusi logistiknya. KPU Kabupaten Sangihe juga dapat menjalin kerja sama dengan TNI, Polri, Pemda maupun pihak terkait lainnya yang dapat menyediakan transportasi yang tepat dan andal untuk mendistribusikan logistik. 3. Pengadaan persediaan logistik dalam kaitannya dengan pengelolaan logistik Pilkada, sebaiknya untuk daerah-daerah yang geografisnya sulit seperti daerah kepulauan dan daerah-daerah pegunungan yang akses distribusinya sulit dilihat dari ketersediaan transportasi, akses jalan dan lain sebagainya serta kondisi cuaca yang berubah-ubah dapat di buat regulasi yang mengatur khusus, dimana persediaan logistik pengaman dapat diadakan secara lengkap setiap item logistiknya tidak hanya surat suara, karena untuk daerah-daerah ini tingkat ketidakpastian dalam distribusinya sangat tinggi, suatu distribusi logistik dapat menggunakan ketersediaan logistik pada tingkat yang tepat untuk meningkatkan responsiveness-nya serta untuk mendukung kebutuhan masyarakat terhadap logistik dari KPU, dimana logistik Pemilu merupakan sarana masyarakat untuk menyalurkan hak pilihnya. 4. Komunikasi kepada pihak-pihak terkait demi kelancaran pendistribusian logistik harus lebih ditingkatkan, komunikasi harus sudah dilakukan dalam perencanaan pendistibusian logistik, komunikasi yang dilakukan terkait struktur fasilitas, transportasi, pengadaan persediaan, penanganan dan penyimpanan serta keamanan pendistribusian logistik. Komunikasi dapat dilakukan kepada BMKG untuk perkiraan cuaca dan penjadwalan pendistribusian, kepada penyedia sarana tranportasi terkait jadwal dan ketersediaan moda transportasi, kepada TNI, Polri dan Pemda untuk menyiapkan dan mengsiagakan moda transportasi serta sarana pendukungnya (bahan bakar dan lain sebagainya) seperti Kapal Pemda, kapal Perang/KRI, helikopter dan moda tranportasi andal lainnya, yang dapat digunakan kapan saja untuk keadaan darurat. 5. Pengendalian pengadaan persediaan logistik harus lebih ditingkatkan terlebih dalam proses produksi, dipastikan logistik yang di produksi sesuai dengan jumlah yang ditentukan, kualitasnya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, serta pendistribusian dari penyedia ke gudang logistik harus tepat waktu.



15



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



DAFTAR PUSTAKA Aslichati, Lilik., Prasetyo, Bambang dan Prasetya, Irawan. 2010. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Universitas Terbuka. Assauri, Sofjan. 2004. Manajemen Produksi dan Operasi, Edisi 4, Surabaya: BPFE. Bowersox, Donald J. 2002. Manajemen Logistik, Integrasi Sistem Manajemen Distribusi Fisik dan Manajemen Manajerial. Edisi 1. Jakarta: Bumi Aksara. Bowersox, Donald J. Closs, David J. Cooper,. M. Bixby. 2002. Supply Chain Logistics Manajement. Irwin: McGraw-Hill. Dwiantara, Lukas dan Sumarto, Rumsari Hadi. 2004. Manajemen Logistik Pedoman Praktis Bagi Sekretaris dan Staf Administrasi. Jakarta: Gramedia. Ghiani, Gianpaolo. Laporte, Gilbert. Musmanno, Roberto. 2013. Introduction to Logistics Systems Planning and Control. 2nd edition New York: John Wiley and Sons Ltd. Harrison, Lisa. 2009. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana. Heizer, Jay & Barry Render. 2009. Manajemen Operasi. Diterjemahkan oleh Chriswan Sungkono. Edisi Sembilan Buku Satu. Jakarta: Salemba Empat. Kamaluddin. 2003. Ekonomi Transportasi,: Jakarta: Ghalia Indonesia. Kotler, Philip, 1997. Manajemen Pemasaran. Diterjemahkan Hendra Teguh, Dan Ronny A. Rusli. Jakarta: Prenhallindo. ___________, 1993, Marketing Esentials. New Jersey: Prentice Hall Inc, Terjemahan Purwoko, Herujati. Marketing. Jakarta: Erlangga. KPU, 2017. Penyelenggaraan Pilkada 2015 dan 2017. Jakarta: KPU. Kusumastuti, Dyah, Sugiama, A. Gima dan Sudiarto, A. Edi, 2014. Manajemen Logistik Organisasi Publik. Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka. LP3ES, 2014. Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi Sosial. Laporan Evaluasi Pemilu 2014. Jakarta: LP3ES. Mahsun, Mohamad. 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: BPFE. Rangkuti, Freddy. 2004. Manajemen Persediaan, Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada RI, Peraruran KPU Nomor 6 Tahun 2015 tentang Norma, Standar Kebutuhan Pengadaan Dan Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. RI, Peraruran KPU 11 Tahun 2016 tentang Perubahan Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2015 tentang Norma, Standar Kebutuhan Pengadaan Dan Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Rushton, Alan., Croucher, Phil, & Baker, Peter. 2010. The Handbook of Logistics & Distribution Management. Great Britain: Kogan Page Limited.



16



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu Siagian, Sondang P. 2003. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: PT. Rineka Cipta Stanton, William. J. 1984. Fundamental of Marketing, Tokyo: Mc.Graw-Hill Book. Terjemahan Sundaru, Sadu.1991. Prinsip Pemasaran, Jakarta: Erlangga Subagya, M.S. 1996. Manajemen Logistik, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung. Sugiyono. 2015. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta. Sonta, FM. 2011. Panduan Logistik Indonesia, Jakarta: PPM Manejemen. Warman, John. 2012. Manajemen pergudangan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.



Jurnal dan Penelitian Terdahulu Chandra, Afridel. 2013. Analisis Kinerja Distribusi Logistik Pada Pasokan Barang Dari Pusat Distribusi Ke Gerai Indomaret di Kota Semarang. Jurnal Institusional Repository. Hal. 15-24. Semarang: Universitas Diponegoro. Fadli, Ainur Mansururi, 2014. Efektifitas Distribusi Fisik dalam Meningkatkan Penjualan (Studi Kasus pada CV. Agrotama Gemilang Kota Malang), Jurnal Administrasi Bisnis, Vol. 7 No. 1, Malang: Universitas Brawijaya. Perbrianti, 2015, Manajemen Logistik Pada Gudang Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Kabelota Kabupaten Donggala. E-Journal Katalogis Volume 3 Nomor 7 hal 127-138. Palu: Universitas Tadulako. Roni, Hamda dan Puspita, Syifa, 2014. Pengaruh Distribusi Fisik Terhadap Kepuasan Customer Pada PT. Beton Elemenindo Perkasa. Jurnal Indonesia Membangun Vol 13, No 1. Bandung: STIE INABA Sutanto, Michelle Ribka dan Sumarauw, Jacky S. B. 2014, Evaluasi Kinerja Sistem Logistik Pada Perusahaan Vulkanisir UD. Sumber Ban, Tateli. Jurnal EMBA Vol.2 No.3, Hal. 588-596, Manado: Universitas Sam Ratulangi.



17



PERAN KPU KOTA METRO DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI PENYANDANG DISABILITAS PADA PEMILU SERENTAK TAHUN 2019 Eni Lestaria, Garmien Melliab



a,b



Program Tata Kelola Pemilu Batch IV, Universitas Lampung, Bandar Lampung, Indonesia E-mail: [email protected]



ABSTRAK Salah satu indikator keberhasilan pemilu adalah tingkat partisipasi yang tinggi. Tingginya partisipasi menjamin legitimasi pemerintahan dan perlindungan hak pilih warga negara, termasuk kelompok rentan seperti penyandang disabilitas. Pada pemilu serentak tahun 2019, tingkat partisipasi pemilih penyandang disabilitas di Kota Metro Provinsi Lampung termasuk rendah. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih penyandang disabilitas serta mengetahui peran KPU Kota Metro dalam meningkatkan partisipasi pemilih penyandang disabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan yang dihadapi masih bersifat administratif dan psikologis yakni: (1) Kesulitan pendataan pemilih penyandang disabilitas; (2) Sosialisasi yang belum optimal; dan (3) Belum adanya wadah resmi yang menaungi seluruh penyandang disabilitas di Kota Metro. Peneliti menganalisis peran yang dilakukan KPU Kota Metro dalam 3 (tiga) peran yaitu : (1) Mendata dan memastikan penyandang disabilitas yang memenuhi syarat terdaftar sebagai pemilih; (2) Memberikan sosialisasi dan pendidikan politik bagi kelompok penyandang disabilitas; dan (3) Menjamin ketersediaan sarana dan prasana pendukung bagi penyandang disabilitas guna memberikan hak pilihnya. Dalam menjalankan peran tersebut, didapati bahwa KPU Kota Metro telah menjalankan peran sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diamanatkan UU dan PKPU namun diperlukan adanya dukungan kelembagaan lain untuk menunjang pendataan yang lebih valid serta sosialisasi yang lebih intensif. Kata Kunci: partisipasi, disabilitas, peran THE ROLE OF THE GENERAL ELECTIONS COMMISSION OF METRO CITY IN PROMOTING HIGHER TURNOUT FOR VOTERS WITH DISABILITIES IN THE 2019 SIMULTANEOUS ELECTION ABSTRACT One of the indicators of successful election is high voter turnout rates. A high voter’s turnout could guarantee of the government’s legitimacy and also the existence of citizen voting rights protection, especially for those in marginal people such as people with disabilities. In the 2019 simultaneous election, the rate of voters turns out of disable voters was quite low in Metro City Lampung Province. The aim of This research is to identify some factors causing the low of disable voter’s turnout and to analyze the role of the General Elections Commission of Metro City in increasing voters turn out of voters with disabilities. The research shows that there were administrative and psychological factors faced by voters with disabilities in Metro City such as (1) Difficulties in listing data of disable voters; (2) The Socialization Programs have not optimal yet; (3) The absence of a well-established organization for people with disabilities. The researcher analized the role of General Election Commission of Metro City in 3 (three) roles, namely: (1) data collected and ensured that the eligible disable voters has been registered as a voters; (2) to improve socialization and political education programs to the disable voters; (3) to provide 1



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id supporting facilities and infrastructure availability for disable voters to use their voting right. In conducting those roles, we found that the General Election Commission of Metro City has been implementing the role as main task and function mandated by the law and regulation, however it is needed more support by other institution in order to ensure voters data validity and socialization program running intensively. Keywords: voter turnout, disabilities, role



PENDAHULUAN Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang suara tunggal melalui proses pemilihan umum (Pramusinto dan Kumorotomo, 2009:46). Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan mekanisme pengisian jabatan-jabatan politik yang diselenggarakan secara berkala sebagai sarana ideal penyaluran kedaulatan rakyat yang demokratis. Demokrasi berkaitan erat dengan politik, karena untuk mewujudkan negara yang demokratis diperlukan partisipasi politik yang aktif dari warga masyarakat. Sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government). Dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun hak untuk memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif. Pada pemerintahan yang menganut sistem demokrasi perwakilan, tingkat partisipasi pemilih berperan penting dalam menentukan stabilitas pemerintahan yang terbentuk dari hasil pemilu. Partisipasi berkaitan erat dengan legitimasi, semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu, maka semakin legitimate pemerintahan yang dihasilkannya. Pemerintahan yang didukung oleh mayoritas masyarakat secara natural akan lebih mudah mendapatkan dukungan bagi program-program maupun kebijakan-kebijakan yang akan dijalankan. Adanya keterlibatan masyarakat dalam pemilihan wakilnya memungkinkan adanya proses check and balance antara pejabat politik hasil pemilu dengan konstituennya sehingga tali mandat antara keduanya tidak serta-merta terputus. Salah satu indikator keberhasilan pemilu kemudian adalah tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam memberikan suaranya. Penyaluran hak pilih ini menjadi simbol kepedulian masa depan bangsa dan merupakan momen penting dimana masyarakat memiliki kuasa untuk menentukan masa depan bangsa. Oleh karena itu, KPU selaku penyelenggara pemilu memiliki agenda besar untuk mendorong partisipasi masyarakat pada setiap pelaksanaan pemilihan, termasuk dengan melakukan upaya-upaya guna mendorong partisipasi kelompok-kelompok rentan seperti wanita, pemilih pemula, disabilitas, kaum marginal, suku terasing, dan lain sebagainya. Upaya KPU ini membuahkan hasil berupa meningkatnya angka partisipasi pemilih pada pemilu serentak tahun 2019 menjadi 81%, 2



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



melebihi target 77,5% yang ditetapkan sebelumnya. Peningkatan angka partisipasi pemilih ini patut diapresiasi karena merupakan buah dari komitmen serius KPU untuk merangkul seluruh lapisan masyarakat dan melindungi hak pilih warga Negara tanpa kecuali. Angka partisipasi ini sejatinya tidak hanya dimaknai sebagai besaran angka mayoritas masyarakat pengguna hak pilih saja, namun harus dimaknai sebagai komitmen pemerintah untuk menjamin hak pilih warga Negara-termasuk dari kelompok rentan-guna mewujudkan pemerintahan yang adil dan berimbang bagi seluruh lapisan masyarakat. Pasal 5 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah memberikan jaminan bagi penyandang disabilitas untuk memiliki kesempatan yang sama sebagai pemilih maupun sebagai peserta pemilu. “Kesempatan yang sama” ini dalam penjelasannya diterangkan sebagai keadaan memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada penyandang disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan Negara. KPU sebagai penyelenggara pemilu kemudian berkewajiban menjalankan amanat UU tersebut dengan memastikan bahwa hak penyandang disabilitas terpenuhi, baik sebagai peserta maupun pemilih. Perlindungan hak penyandang disabilitas ini kemudian semestinya diimplementasikan dengan adanya jaminan pendataan penyandang disabilitas ke dalam daftar pemilih yang akurat, sosialisasi tentang tahapan pemilu dan tata cara pemberian suara, maupun kegiatan kampanye guna memberikan pendidikan politik mengenai profil peserta pemilu. Dalam bentuk yang lebih teknis, KPU selaku penyelenggara pemilu haruslah siap dengan penyediaan TPS yang mudah dijangkau, adanya template ataupun alat bantu lainnya guna memudahkan proses pemberian suara di TPS, termasuk juga menyediakan bantuan tenaga pendamping bagi yang membutuhkan. Pada pemilihan umum serentak tahun 2019, jumlah pemilih disabilitas secara nasional adalah sebesar 1.247.730 orang yang terbagi dalam 5 (lima) kategori yakni tuna daksa, tuna netra, tuna rungu, tuna grahita serta disabilitas lainnya. Pengelompokan jenis disabilitas yang disandang pemilih dilakukan untuk memastikan ketersediaan alat bantu yang tepat maupun petugas pendamping yang dibutuhkan. Kendati berbagai upaya telah dilakukan untuk melindungi hak pilih dan meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas, pada pemilu 2019 yang lalu masih banyak terdapat catatan-catatan terkait penggunaan hak pilih mereka tersebut. Ramadhanil, dkk (2019) dalam buku terbitan Perludem menyatakan bahwa kelompok disabilitas masih berada dalam posisi yang rentan dalam pemilu karena adanya permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1. Tidak terdaftarnya nama kelompok disabilitas bisa tak masuk daftar karena hambatan pendataan dari penyelenggara maupun sikap keluarga sendiri yang merasa malu; 2. Kelompok penyandang disabilitas yang telah terdaftar belum tentu mendapatkan informasi dan pendidikan pemilih yang baik;



3



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



3. TPS yang tak aksesibel menjadikan prinsip pemilu Luber Jurdil tak terpenuhi. Misal, kelompok dengan disabilitas fisik tak bisa menggunakan hak pilihnya seperti umumnya warga karena keadaan TPS yang sempit, berbatu, dan bertangga; 4. Perlakuan petugas yang tidak ramah, atau malah terlalu berlebihan sehingga malah meniadakan jaminan kerahasiaan pilihan bagi mereka yang membutuhkan bantuan dari petugas/pendamping. Berbagai permasalahan tersebut di atas secara umum sesungguhnya telah merangkum faktor-faktor penghambat partisipasi pemilih kelompok penyandang disabilitas dalam pemilu. Meskipun demikian, identifikasi terhadap faktor-faktor penghambat yang dominan mempengaruhi partisipasi di tiap-tiap daerah sangatlah menentukan kebijakan dan strategi yang tepat untuk diaplikasikan karena masing-masing daerah tentunya memiliki hambatan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik daerah dan masyarakatnya. Di Provinsi Lampung, jumlah pemilih disabilitas adalah sebanyak 6.362 pemilih atau 0.105 % dari jumlah keseluruhan DPT Provinsi Lampung sebanyak 6.074.137 pemilih dengan sebaran kategori sebagai berikut : Tabel 1 Jumlah Pemilih Disabilitas Provinsi Lampung No Ragam Disabilitas Jumlah Persentase 1. Tuna Daksa 1.589 0.026% 2. Tuna Netra 1.372 0.023% 3. Tuna Rungu 1.040 0.017% 4. Tuna Grahita 909 0.015% 5. Lainnya 1.452 0.024% Jumlah 6.362 0.105% Sumber : diperoleh dari KPU Provinsi Lampung (2019)



KPU Provinsi beserta KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilu di wilayah Provinsi Lampung telah melakukan upaya-upaya berupa pendataan terhadap penyandang disabilitas dan melakukan serangkaian kegiatan sosialisasi guna mendongkrak partisipasi pemilih kelompok penyandang disabilitas. Meskipun demikian, partisipasi kelompok penyandang disabilitas di Provinsi Lampung masih tergolong rendah yakni sebesar 28.89 %, dimana angka ini masih jauh berada di bawah target partisipasi disabilitas sebesar 50%. Dari 15 (lima belas) Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Lampung, baru ada 3 (tiga) Kabupaten/Kota yang sudah mencapai angka partisipasi disabilitas di atas 50 % yaitu Lampung Utara, Lampung Timur dan Pesisir Barat, sementara Kabupaten/Kota lainnya masih dibawah 50 %. Salah satu daerah di Provinsi Lampung dengan tingkat partisipasi disabilitas rendah adalah di Kota Metro. Tingkat partisipasi disabilitas sebesar 34,26% di kota ini sebenarnya cukup memprihatinkan karena apabila mengacu pada faktor-faktor penghambat sebagaimana dijelaskan di atas, maka Kota Metro mestinya tidak menghadapi hambatan yang berarti karena karakteristik daerahnya sebagai berikut:



4



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



1. Kota Metro merupakan Kota administratif dengan jumlah penduduk ±168.000 jiwa yang tersebar di 5 (lima) kecamatan. Kota ini merupakan kota kecil dengan luas wilayah 68,74 km² dimana tidak terdapat tantangan dan hambatan dari segi letak dan kondisi geografis daerah. Selain itu luas wilayah yang tidak terlalu besar memudahkan penyelenggara untuk mendata pemilih; 2. Kota Metro merupakan Kota Pendidikan dengan literasi politik yang baik; 3. Kota Metro terletak dekat dengan ibukota provinsi sehingga akses terhadap informasi serta penyediaan sarana dan prasarana tidak terhambat; 4. Jumlah penduduk yang masuk dalam kategori penyandang disabilitas adalah sebesar 218 jiwa. Jumlah ini bukanlah jumlah yang besar dibandingkan jumlah penyandang disabilitas di kabupaten lain (misalnya Lampung Timur, dengan jumlah penyandang disabilitas lebih banyak yang tersebar di kecamatan yang lebih banyak pula namun memiliki angka partisipasi disabilitas lebih tinggi), sehingga kegiatan sosialisasi dan pendidikan politik mestinya dapat dilaksanakan secara optimal. Karakteristik Kota Metro di atas seharusnya dapat dijadikan sebagai modal dasar bagi KPU Kota Metro untuk dapat melakukan upaya-upaya peningkatan partisipasi pemilih disabilitas dengan semaksimal mungkin. Tidak adanya tantangan kondisi geografis serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai menyisakan faktor keberhasilan sosialisasi dan pendidikan politik serta kompetensi petugas/pendamping pada pelaksanaan pemilu untuk membantu penyandang disabilitas menyalurkan hak pilihnya. Meskipun demikian, hipotesis sementara tersebut tentunya perlu ditegaskan dengan adanya data pendukung. Oleh karena itu, dalam tulisan ini peneliti ingin menggali lebih dalam faktor-faktor yang menyebabkan partisipasi penyandang disabilitas masih rendah dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apa faktor yang menghambat penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam pemilu serentak 2019 di Kota Metro? 2. Bagaimana peran Komisi Pemilihan Umum Kota Metro selaku penyelenggara pemilihan umum dalam upaya meningkatkan partisipasi di kalangan penyandang disabilitas? Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi yang jelas mengenai partisipasi kelompok penyandang disabilitas di Kota Metro serta dapat menjadi bahan rujukan bagi penentuan strategi sosialisasi yang tepat maupun kajian penelitian selanjutnya di masa yang akan datang. KAJIAN TEORI A. Konsep Pemilih UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mendefinisikan pemilih sebagai warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Warga Negara 5



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Indonesia sebelumnya diartikan sebagai orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara. Secara umum untuk dapat menggunakan hak pilih Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih. Adapun syaratnya-syaratnya adalah : a) Genap berumur 17 tahun atau sudah menikah; b) Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan; c) Berdomisili di wilayah administrasi pemilih; d) Mempunyai KTP elektronik; dan d) Tidak menjadi anggota TNI atau Kepolisian. Pemilih adalah semua pihak sebagai tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mereka mendukung dan kemudian dapat memberikan suaranya pada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik (Prihatmoko, 2005:46). Ada beberapa pendekatan untuk melihat perilaku pemilih (Nursal, 2004 : 54-73), yaitu : 1. Pendekatan Sosiologis; 2. Pendekatan Psikologis; 3. Pendekatan Rasional; dan 4. Pendekatan Marketing atau domain kognitif. Atas dasar model kesamaan dan kedekatan ideology dan PolicyProblem-Solving, terdapat empat jenis tipologi pemilih (Firmanzah, 2008:99109). Empat tipologi tersebut terdiri atas : 1. Pemilih Rasional; 2. Pemilih Kritis; 3. Pemilih Tradisional; dan 4. Pemilih Skeptis. B. Konsep Partisipasi Politik 1. Definisi Partisipasi Politik Partisipasi di negara-negara berkembang khususnya telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Pertumbuhan yang lebih adil menuntut reorientasi kebijakan, program sosial dan ekonomi. Dalam hal konteks masalah politik, pembaharuan akan ditentang oleh sejumlah golongan elit yang lebih kecil dan menengah atas yang lebih luas. Untuk itu, pemimpin politik harus mengatasi perlawanan kaum elit dan kelas menengah atas jika ingin memberi perubahan mendasar pada kebijakan pembangunannya dengan memilih di antara atau kombinasi dari “TIGA STRATEGI DASAR” menurut (Huntington & Nelson, 1974) yaitu: a. Tawar menawar. Beberapa bagian dari kelas atas dan menengah dibujuk untuk menghentikan atau memperlunak oposisinya. Dapat juga dilakukan tawar menawar untuk memperoleh kompensasi pada perorangan atau golongan sebagai imbalan atau konsesi.



6



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



b. Penindasan atau represi Strategi ini memerlukan kekuatan militer atau politisi yang loyal dan efisien. c. Mobilisasi politis Golongan yang bersifat pasif atau aktif tetapi tidak efektif dimobilisasi untuk mengimbangi atau mengatasi oposisi. 2. Bentuk-bentuk Partisipasi Politik Menurut (Budiyanto, 2006:181) menyatakan bentuk-bentuk partisipasi politik diberbagai negara, dapat dibedakan ke dalam kegiatan politik dalam bentuk : a. Konvensional 1. Pemberian suara (voting) 2. Diskusi politik 3. Kegiatan kampanye 4. Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan 5. Komunikasi individual dengan kelompok pejabat administrasi b. Nonkonvensional 1. Pengajuan petisi 2. Berdemontrasi 3. Konfrontasi 4. Mogok 5. Tindak kekerasan politik Pada hakekatnya partisipasi politik adalah keikutsertaan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu aktivitas yang lebih besar, dan partisipasi akan lebih bermakna apabila disertai dengan rasa tanggung jawab. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (Budiardjo, 2004:119). Sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government). Dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun hak untuk memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif. Partisipasi politik dari seluruh warga Negara yang memenuhi syarat tanpa kecuali merupakan perwujudan dari esensi demokrasi yang sesungguhnya dimana terdapat kesetaraan hak dan kesamaan kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Tingkat partisipasi pemilih yang rendah dari kelompok penyandang disabilitas menunjukkan belum tercapainya kesetaraan yang diharapkan tersebut. Hak politik penyandang disabilitas masih berada dalam posisi yang rentan dan belum terlindung dengan baik. C. Konsep Penyandang Disabilitas Berdasarkan UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, maka penyandang disabilitas didefinisikan sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik 7



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



dalam jangka waktu lama (paling singkat 6 bulan dan/atau bersifat permanen) yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Berdasarkan kondisinya, penyandang disabilitas dikelompokkan ke dalam ragam disabilitas sebagai berikut : 1. Penyandang Disabilitas Fisik, yaitu penyandang disabilitas dengan gangguan fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil; 2. Penyandang Disabilitas Intelektual, yaitu penyandang disabilitas dengan gangguan fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom; 3. Penyandang Disabilitas Mental, yaitu penyandang disabilitas dengan gangguan fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: a) psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; b) disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif; dan 4. Penyandang Disabilitas sensorik, yaitu penyandang disabilitas 5. Disabilitas dengan gangguan salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara. Pada kondisi tertentu, seorang penyandang disabilitas dapat saja mengalami gangguan ragam fungsi tersebut di atas secara tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, penyandang disabilitas tersebut akan disebut sebagai “Penyandang Disabilitas Ganda/Multi”, yaitu penyandang disabilitas yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, antara lain disabilitas rungu-wicara dan disabilitas netra-tuli. Dalam konteks politik, penyandang disabilitas memiliki hak-hak politik yang dijamin pemerintah dengan memperhatikan keragaman penyandang disabilitas tersebut. Hak-hak politik penyandang disabilitas berdasarkan Pasal 13 UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas adalah sebagai berikut : a) memilih dan dipilih dalam jabatan publik; b) menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan; c) memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum; d) membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik; e) membentuk dan bergabung dalam organisasi Penyandang Disabilitas dan untuk mewakili Penyandang Disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional; f) berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya; 8



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



g) memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan h) memperoleh pendidikan politik. Aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam huruf (g) di atas diartikan sebagai kemudahan yang disediakan penyelenggara pemilu bagi penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan. Berdasarkan Pasal 20, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, dalam melaksanakan prinsip aksesibilitas, KPU selaku penyelenggara pemilu bersikap dan bertindak sebagai berikut: a) menyampaikan informasi Pemilu kepada penyandang disabilitas sesuai kebutuhan; b) memastikan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung bagi penyandang disabilitas untuk menggunakan hak pilihnya; c) memastikan penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai Pemilih, sebagai calon Anggota DPR, sebagai calon Anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon Anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu. D. Konsep Peran (Sarwono, 2015) mendefinisikan person sebagai karakterisasi yang disandang untuk dibawakan oleh seorang aktor dalam sebuah pentas drama, yang dalam konteks sosial peran diartikan sebagai suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu posisi dalam struktur sosial. Peran seorang aktor adalah batasan yang dirancang oleh aktor lain, yang kebetulan sama- sama berada dalam satu penampilan/ unjuk peran (role perfomance). Pada tataran perilaku organisasi, Kahn, dkk (1978) dalam (Wickham & Parker, 2007) menyatakan bahwa organisasi sejatinya adalah jaringan pegawai (network of employees) dengan peran tertentu yang “diharuskan” dan “dibutuhkan” dalam organisasi tersebut. Peran-peran tertentu itulah yang kemudian membagi organisasi ke dalam divisi-divisi sesuai dengan peran kerja yang dibutuhkan sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan efektif dan efisien. Dalam penelitian ini, peran KPU sebagai penyelenggara pemilu dalam meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas akan mengacu pada tugas pokok dan fungsi KPU dalam melindungi dan memfasilitasi hak pilih penyandang disabilitas sesuai dengan amanat undang-undang berdasarkan tahapan pemilu sebagai berikut: 1. Peran KPU dalam mendata dan memastikan penyandang disabilitas yang memenuhi syarat terdaftar sebagai pemilih; 2. Peran KPU dalam memberikan sosialisasi dan pendidikan politik bagi kelompok penyandang disabilitas; dan 3. Peran KPU dalam menjamin ketersediaan sarana dan prasana pendukung bagi penyandang disabilitas guna memberikan hak pilihnya.



9



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



KAJIAN PENELITIAN TERDAHULU Partisipasi pemilih disabilitas ini sesungguhnya telah menarik perhatian beberapa peneliti sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hak pilih bagi kelompok penyandang disabilitas memang merupakan hal yang penting, karena menunjukkan esensi utama dari demokrasi yakni kesetaraan hak memilih bagi seluruh warganegara terutama dari kelompok rentan seperti wanita, kaum disabilitas, dan masyarakat adat. Dalam jurnal yang berjudul “Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas di Kota Semarang pada Pilwalkot 2015”, menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi penyandang disabilitas adalah: 1) pendataan (kesulitan petugas pendataan yang disebabkan kurangnya keterbukaan dari pihak keluarga yang memiliki anggota keluarga yang disabilitas), 2) sosialisasi pemilihan (penyandang disabilitas yang tergabung dalam organisasi atau memiliki pergaulan luas cenderung mempunyai kesempatan mengikuti program-program sosialisasi yang dilakukan oleh KPU maupun pihak lain) dan 3) fasilitas dan aksesibilitas (minimnya template Braille dan tidak adanya pendampingan yang cenderung menyebabkan penyandang disabilitas enggan untuk mencoblos), (Nur, 2017). Penelitian lain juga dilakukan oleh (Kharisma, 2016) dalam jurnal yang berjudul “Problematika Penyandang Disabilitas dalam Pemilu Studi Kasus Pemilu Legislatif 2014 di Jakarta” (Volume 5, Nomor 1, Juni 2016). Adapun hasil penelitian ini menyebutkan bahwa meskipun KPU telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan seperti: membuat buku panduan KPPS yang memuat akses bagi disabilitas, KPU melibatkan organisasi penyandang disabilitas atau PPUA dalam pembuatan template Braile, serta memberlakukan tanda coblos yang sebelumnya tanda contreng. Namun kebijakan tersebut belum mampu untuk menopang akses penyandang disabilitas dalam pemilu, sehingga masih ada kendala dalam memenuhi hak suaranya, yaitu : a) jumlah penyandang disabilitas yang memiliki hak suara tidak valid, b) lokasi TPS yang belum aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, c) minimnya pemahaman KPPS terhadap pemilu yang aksesibilitas, dan d) kurangnya pemahaman penyandang disabilitas terhadap aksesibilitas dalam pemilu. Dari permasalahan-permasalahan tersebut tentu sangat penting adanya pemahaman yang lebih baik yang dibangun baik dari pihak penyelenggara, tokoh masyarakat, organisasi disabilitas maupun penyandang disabilitas itu sendiri terhadap pelaksanaan dilapangan, sehingga keadilan dan persamaan hak politik dapat terwujud. Hambatan-hambatan bagi pemilih penyandang disabilitas diungkapkan oleh (Sabatini, 2018) dalam jurnal dengan judul “Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota Pekanbaru Tahun 2017 di Kecamatan Tenayan Raya” (Volume 5, Nomor 1, April 2018), menyatakan bahwa masih terdapat adanya hambatan pemilih penyandang disabilitas dalam proses pilkada, antara lain: a) hambatan dalam bentuk administrasi (sulitnya pendataan oleh petugas sehingga kurang memahami kondisi penyandang disabilitas), b) hambatan dalam bentuk aksesibilitas (kesulitan dalam mengakses tempat pencoblosan di 10



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



TPS), dan c) hambatan dalam bentuk pendampingan (tidak didampingi oleh keluarga atau petugas KPPS). Dalam hal tata kelola pemilu, (Saputra, dkk, 2019) menyatakan bahwa tata kelola pemilu tidak maksimal memenuhi hak-hak pemilih disabilitas di Kabupaten Padang Pariaman. Pengabaian rule application berupa tidak dilaksanakannya sosialisasi kepada pemilih disabilitas serta masih adanya TPS yang sulit diakses menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Guna membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, maka peneliti perlu menegaskan aspek kebaharuan sebagai berikut : 1. Peneliti belum menemukan penelitian sejenis dengan lokus penelitian di Kota Metro, Lampung; 2. Penelitian sebelumnya dilakukan sebelum diberlakukannya UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang memuat jaminan perlindungan hak pilih terhadap penyandang disabilitas yang lebih komprehensif dibandingkan UU pemilu sebelumnya; 3. Karakteristik Kota Metro sebagaimana dijelaskan di atas menjadikan kota ini sesungguhnya ideal untuk dijadikan percontohan daerah dengan tingkat partisipasi disabilitas yang tinggi, namun kenyataan yang sebaliknya menyebabkannya tergolong sebagai anomali yang menarik untuk diteliti; 4. Penggalian terhadap faktor-faktor penyebab dan kendala-kendala yang dihadapi serta mekanisme yang dilakukan oleh KPU Kota Metro akan memperkaya hasil penelitian-penelitian sebelumnya dan diharapkan dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi penyempurnaan strategi peningkatan partisipasi pemilih kelompok penyandang disabilitas di masa yang akan datang. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode ini dipilih karena dipandang mampu memberikan gambaran komprehensif mengenai partisipasi disabilitas di Kota Metro. (Creswell, 2009:4) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif proses penelitian meliputi pengembangan pertanyaan dan prosedur, pengumpulan data dilakukan sesuai dengan kondisi partisipan, analisis data dibangun secara induktif dari tema khusus ke umum, dan peneliti melakukan interpretasi terhadap data tersebut. Metode ini memungkinkan peneliti untuk melakukan eksplorasi terhadap faktor-faktor penyebab dengan memaknai hubungan sebab-akibat secara holistik karena penelitian kualitatif memberikan ruang bagi peneliti untuk tidak terpaku pada jawaban yang tertutup saja melainkan dapat mengarah pada variasi-variasi jawaban lainnya yang mungkin dapat lebih memberikan informasi yang lebih tepat. Data-data dalam penelitian ini didapatkan dengan wawancara kepada narasumber yang dipilih secara purposif atau dengan pertimbangan tertentu sebagaimana dijelaskan dalam tabel dibawah ini:



11



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



No 1.



2.



Informan Komisioner KPU Kota Metro Divisi Perencanaan dan Data periode tahun 2014-2019 Komisioner KPU Kota Metro Divisi SDM dan Partisipasi Masyarakat periode tahun 2014-2019



Tabel 2 Informan Penelitian Kode Alasan Memilih Informan INT1 INT1 bertanggungjawab terhadap pendataan dan pemutakhiran data pemilih, termasuk di dalamnya mendata pemilih penyandang disabilitas di Kota Metro. INT2 INT2 bertanggungjawab terhadap program dan tahapan sosialisasi terhadap pemilih penyandang disabilitas serta memahami peran dan kendala yang dihadapi KPU Kota Metro dalam hal partisipasi pemilih penyandang disabilitas INT3 INT3 bertanggungjawab terhadap teknis penyelenggaraan pemilu, termasuk didalamnya memastikan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang bagi pemilih penyandang disabilitas



3.



Komisioner KPU Kota Metro Divisi Teknis Penyelenggaraan periode tahun 20142019



4.



Ketua Komunitas Penyandang Disabilitas di Kota Metro



INT 4



INT4 merupakan salah satu tokoh penggerak komunitas penyandang disabilitas di Kota Metro yang biasa menjadi juru bicara mewakili rekanrekannya dari komunitas penyandang disabilitas dan turut aktif berperan serta dalam kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh KPU Kota Metro bagi pemilih penyandang disabilitas



5.



Anggota Relawan Demokrasi Kota Metro



INT5



INT5 merupakan anggota Relawan Demokrasi KPU Kota Metro untuk segmen pemilih penyandang disabilitas sehingga ia turut menggagas dan terlibat langsung dalam program-program sosialisasi yang dilaksanakan KPU Kota Metro terhadap pemilih penyandang disabilitas



6.



Penyandang Disabilitas



INT6



7.



Penyandang Disabilitas



INT7



INT6 merupakan penyandang disabilitas tuna daksa yang menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019 INT6 merupakan penyandang disabilitas tuna daksa yang tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019 7 Orang



Jumlah



Transkrip wawancara dengan para informan di atas menjadi data primer dari penelitian ini. Selain itu peneliti juga melakukan analisis terhadap data sekunder yaitu berupa dokumentasi dari laporan pelaksanaan pemilu, laporan kegiatan sosialisasi, olahan yang diperoleh dari Kantor KPU Provinsi Lampung dan KPU Kota Metro, yang meliputi 12



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



DPT, serta jumlah penyandang disabilitas yg telah mempunyai hak pilih dan menggunakan hak pilihnya (Form DB), serta berita media massa. PEMBAHASAN A. Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas di Kota Metro Pada pemilu serentak tahun 2019 yang lalu, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kota Metro secara keseluruhan adalah sebanyak 114.311 pemilih. Dari jumlah ini, penyandang disabilitas adalah sebanyak 218 pemilih atau sebesar 0.191 % yang terbagi dalam kelompok ragam disabilitas sebagai berikut : Tabel 3 Jumlah Pemilih Penyandang Disabilitas Kota Metro



No 1. 2. 3. 4. 5.



Ragam Disabilitas Jumlah Tuna Daksa 50 Tuna Netra 18 Tuna Rungu/Wicara 59 Tuna Grahita dan 29 mental Lainnya 62 JUMLAH 218



Persentase 0.044 % 0.016 % 0.052 % 0.025 % 0.054 % 0.191 %



Sumber: diperoleh KPU Kota Metro (2019)



Pemilih penyandang disabilitas ini tersebar di 5 (lima) kecamatan yang ada di Kota Metro dengan jumlah terbanyak berada di Kecamatan Metro Timur yakni sebanyak 73 (tujuh puluh tiga) orang. Secara rinci, dalam tabel berikut disajikan data pemilih penyandang disabilitas pada pemilu serentak tahun 2019 sebagai berikut:



No



Tabel 4 Rekapitulasi Pemilih Penyandang Disabilitas dan Partisipasinya pada Pemilu 2019 di Kota Metro Kecamatan Data Pemilih Pengguna Hak Tingkat pilih Partisipasi (%) L



P



Total



L



P



Total



1. 2.



Metro Pusat Metro Utara



40 25



25 14



65 39



7 1



8 -



15 1



23.08 2.56



3.



Metro Timur



39



34



73



15



11



26



35.62



4.



Metro Barat



14



11



25



6



9



15



60



5.



Metro Selatan



14



12



26



12



9



21



80.76



132



96



228



41



37



78



34.21



JUMLAH



Sumber: diperoleh dari KPU Kota Metro (2019)



Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan jumlah data pemilih yang semula 218 (DPT) menjadi 228 pemilih. Perbedaan tersebut dikarenakan adanya tambahan 10 (sepuluh) pemilih DPK (Daftar Pemilih Khusus) yaitu daftar pemilih yang memiliki identitas 13



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



kependudukan tetapi belum terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) dan DPTb (Daftar Pemilih Tetap tambahan). DPK ini memenuhi syarat sebagai pemilih yang dapat menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara dengan menunjukkan KTP elektronik dan terdaftar di TPS sesuai dengan alamat yang tertera di KTP elektronik. Secara keseluruhan tingkat partisipasi penyandang disabilitas pada pemilu 2019 di Kota Metro adalah sebesar 34,21%, dimana angka ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi penyandang disabilitas masih rendah. B. Penghambat Penyandang Disabilitas Dalam Berpartisipasi Dalam Pemilu 2019 (Ardiantoro, 2014) membagi berbagai faktor-faktor yang menghambat penyandang disabilitas tidak menggunakan hak pilihnya menjadi 2 (dua) jenis yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang menjadi alasan bagi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, faktor ini bersumber dari dalam dirinya sendiri, seperti: 1. Ketidaktahuan tentang proses pendataan pemilih; 2. Ketidaktahuan bagaimana mengurus pindah memilih apabila sedang tidak dalam wilayah TPS nya (prosedur pindah memilih); 3. Letak lokasi TPS yang jauh dari rumah dan tingkat aksesibilitas yang kurang; 4. Beban sosial/psikis terkait kondisi fisik/mental sehingga malu untuk keluar/beraktivitas; 5. Kegiatan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan; 6. Karena aktivitas ekonomi; 7. Tidak adanya pendamping atau sedang sakit; 8. Memilih untuk golput. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Ada 3 (tiga) kategori yang masuk dalam faktor eksternal yaitu: 1. Aspek administratif. Adalah faktor yang berkaitan dengan aspek administrasi seperti tidak terdata sebagai pemilih, tidak mendapat kartu pemberitahuan atau form. C6 dan surat suara yang tidak cukup/tersedia pada saat datang ke TPS menggunakan KTP elektronik serta surat suara khusus penyandang disabilitas atau template braille yang tidak tersedia. 2. Aspek sosialisasi. Belum terjangkaunya informasi tentang pemilu yang dilakukan KPU, selama ini KPU cenderung melakukan sosialisasi sebatas ke kelompok-kelompok atau komunitas penyandang disabilitas tapi belum menyentuh penyandang disabilitas yang tidak aktif terlibat dalam kelompok atau komunitas. Dengan kurangnya informasi sosialisasi maka penyandang disabilitas kurang mengenal dan bahkan tidak mengenal atau mengetahui para calon apalagi tahu akan visi misi calon yang ikut dalam kontestasi pemilu.



14



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



3. Aspek politik Faktor politik yang menyebabkan pemilih tidak mau menggunakan hak pilihnya seperti: ketidakpercayaan terhadap partai politik, tidak mempunyai pilihan kandidat atau calon yang bakal dipilih dan sikap apatis atau ketidakpercayaan bahwa pemilu dapat membawa perubahan dan perbaikan terhadap nasibnya. Dari hasil wawancara dengan INT4, didapati bahwa beberapa faktor internal dan eksternal di atas masih menjadi penghambat utama bagi penyandang disabilitas untuk menyalurkan hak pilihnya. INT4 menyatakan bahwa: “masih ada anggota keluarga yang merasa malu memiliki keluarga yang sebagai penyandang cacat jadi keberadaannya disembunyikan, tidak bisa didata” Faktor malu ini kemudian juga menghambat jalannya program sosialisasi sebagaimana dinyatakan oleh INT5 bahwa: “Sulit untuk tahu jumlah pasti dari penyandang disabilitas, karena ada yang nggak jujur saat pendataan. Karena nggak bisa didata, maka nggak bisa (diberikan) sosialisasi”. Ketiadaan pendamping dan masalah sosialisasi juga dikeluhkan oleh INT7 yang menyatakan bahwa: “Saya tidak mencoblos karena tidak ada sodara yang mendampingi saya sehingga saya tidak mungkin pergi sendiri. Saya juga tidak pernah ikut sosialisasi yang dilakukan oleh KPU sehingga saya kurang paham mengenai pemilu” Meskipun demikian tak dapat dipungkiri terdapat beberapa hambatan yang telah bisa diatasi oleh KPU Kota Metro. INT3 menyatakan bahwa KPU Kota Metro berupaya keras untuk menjamin ketersediaan sarana dan prasarana khusus untuk penyandang disabilitas, jaminan untuk menyediakan TPS dengan aksesibilitas yang dibutuhkan sesuai dengan PKPU, serta melakukan upaya sosialisasi yang lebih gencar, meskipun ia menyadari bahwa dari hasil evaluasi bersama relawan demokrasi kegiatan sosialisasi ini dirasa masih belum optimal. Faktor-faktor penghambat partisipasi penyandang disabilitas di Kota Metro pada Pemilu Serentak 2019 dapat dirangkum sebagai berikut: 1. Kesulitan pendataan pemilih penyandang disabilitas. Pendataan dan pengembangan relasi dengan penyandang disabilitas di Kota Metro masih menemui kendala karena masih minimnya informasi atau data berkaitan dengan jumlah, jenis dan domisili para penyandang disabilitas. Data induk dari Dukcapil tidak secara rinci memuat apakah orang tersebut merupakan 15



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



penyandang disabilitas atau tidak sehingga KPU Kota Metro harus melakukan pendataan ulang dengan lebih aktif melibatkan unsur RT/RW. Meskipun demikian, masih ditemukan keluarga yang menutupi keberadaan penyandang disabilitas sehingga menyulitkan proses pendataan dan pemutakhiran data pemilih. 2. Sosialisasi dan pendidikan pemilih masih belum optimal. KPU Kota Metro sulit merangkul keseluruhan penyandang disabilitas mengingat tidak ada wadah besar yang menaungi mereka sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu, tingkat pengetahuan penyandang disabilitas terhadap tahapan pemilu, peserta pemilu, serta tata cara menyalurkan suara di TPS tidak bisa disamaratakan, mengingat tidak semua penyandang disabilitas tergabung dan aktif di dalam komunitas. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada yang merasa malu dengan kondisinya sehingga menghambat partisipasi aktif baik dalam kegiatan sosialisasi maupun untuk menyalurkan suaranya. Adanya relawan demokrasi, terutama dengan personil dari penyandang disabilitas, dirasa telah berperan cukup besar dalam kegiatan sosialisasi karena adanya faktor kedekatan dengan target sosialisasi. Namun dari segi jumlah kegiatan, kegiatan sosialisasi dirasa masih kurang. 3. Belum adanya wadah resmi yang menaungi para penyandang disabilitas di Kota Metro. KPU Kota Metro sulit melakukan kerjasama baik itu dalam kondisi rangka melakukan sosialisasi maupun kegiatan pendidikan politik lainnya. Komunitas penyandang disabilitas masih terbentuk dalam skala kecil sehingga tidak semua penyandang disabilitas tergabung di dalamnya. C. Peran KPU a) Peran KPU dalam mendata dan memastikan penyandang disabilitas yang memenuhi syarat terdaftar sebagai pemilih KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum memiliki tugas, wewenang dan peran yang sangat penting dalam pelaksanaan pemilu, dimana salah satu perannya adalah melakukan pendataan kepada masyarakat yang memenuhi syarat untuk dapat masuk ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan melakukan pemutakhiran data pemilih secara berkala. (Perdana, dkk, 2019:33) menyatakan bahwa substansi pendaftaran pemilih adalah mewadahi partisipasi pemilih sah pada saat pemberian suara (pencoblosan). Dalam hal pengunaan hak suara, pemilih sah (eligible) harus didata berdasarkan prinsip inklusi. Artinya, tidak boleh ada potensi penghilangan hak pilih. Begitu pula, penetapan pemilih tetap (DPT) harus dilakukan secara profesional dan tidak mengandung diskriminasi dalam bentuk apapun (agama & kepercayaan, gender & sex, etnik & ras, daerah & wilayah). Prinsip pemilih diperlakukan sama menjadi penting sebagai bagian untuk menghasilkan Pemilu yang inklusif.



16



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Dari hasil wawancara dengan INT1, diketahui bahwa dalam melakukan pendataan pemilih penyandang disabilitas, KPU Kota Metro berpedoman pada Peraturan KPU Nomor 11 tahun 2018 yang telah direvisi menjadi PKPU Nomor 38 tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri dalam Penyelenggaraan Pemilu. INT1 menyatakan bahwa: “Pendataan disabilitas, pada prinsipnya semua warga negara indonesia yang sudah mempunyai hak pilih memiliki hak yang sama. Dalam kajian kepemiluan muncul istilah-istilah dalam penyelenggaraan pemilu seperti istilah pemilu berintegritas, pemilu demokratis, ada juga pemilu inklusif. Istilah ini umumnya dipahami sebagai penyelenggaraan pemilu yang ramah dan melayani semua baik pemilih maupun kandidat dengan ragam identitas serta menghilangkan hambatan bagi kelompokkelompok rentan seperti kelompok disabilitas, perempuan marjinal dan lain-lain. Pemilu inklusif sejalan dengan azas pemilu kita yaitu luber (langsung, umum, bebas dan rahasia), yakni umum artinya hak pilih itu melekat pada semua warga negara yang telah memenuhi syarat tanpa melihat latar belakang identitas maupun kondisinya”. Sebagaimana dijelaskan dalam konsep tentang pemilih di atas bahwa pemilih adalah warga Negara Indonesia berusia 17 tahun atau lebih yang sudah atau pernah menikah, maka dasar utama bagi penyusunan daftar pemilih adalah data kependudukan. Keberadaan KTP Elektronik maupun Surat Keterangan Kependudukan menjadi dokumen kependudukan yang dibutuhkan dalam pendataan pemilih. Basis data penduduk penyandang disabilitas yang dimiliki oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kemudian diverifikasi kembali pada kegiatan pemutakhiran data pemilih serta pencocokan dan penelitian (coklit). Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) kemudian memiliki peran penting dalam pemutakhiran data pemilih dengan melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) kepada setiap pemilih melalui koordinasi dengan Ketua Rukun Tetangga (RT) dan Ketua Rukun Warga (RW). Koordinasi dengan perpanjangan tangan pemerintah di unit terkecil masyarakat ini bertujuan untuk memvalidasi data penduduk dengan lebih akurat. Pantarlih terdiri atas perangkat kelurahan/desa, rukun warga, rukun tetangga, dan/atau warga masyarakat yang diangkat dan diberhentikan oleh PPS. Dalam melaksanakan tugasnya, Pantarlih mendatangi RT/RW untuk mengumpulkan informasi awal mengenai keberadaan pemilih di lingkungannya. Pada saat melaksanakan coklit, Pantarlih wajib mendatangi rumah per rumah dengan memperkenalkan diri dan menunjukkan identitas sebagai Petugas Pantarlih. Pada tahapan coklit ini, Pantarlih wajib menanyakan apakah ada anggota keluarga yang menyandang disabilitas. Setelah tahapan coklit selesai dilaksanakan, Pantarlih kembali berkoordinasi dengan



17



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



RT/RW untuk melakukan verifikasi dan validasi terhadap hasil coklit. Kegiatan coklit data pemilih untuk pemilu serentak tahun 2019 dilakukan secara serentak sesuai dengan gerakan coklit serentak di seluruh Indonesia pada tanggal 17 April sampai dengan 17 Mei 2018. Kegiatan pemutakhiran data pemilih juga telah dilakukan beberapa kali sampai akhirnya ditetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kota Metro sebesar 114.311 orang. b) Peran KPU dalam memberikan sosialisasi dan pendidikan politik bagi kelompok penyandang disabilitas Secara umum, kegiatan dan program sosialisasi ini diatur dalam peraturan KPU Nomor 10 tahun 2018 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu. Untuk menciptakan pemilu yang inklusif serta tepat sasaran dalam memberikan pelayanan, penyelenggara pemilu memasukkan norma baru yang mengutamakan asas aksesibilitas ke dalam setiap peraturan yang dikeluakan oleh KPU berkaitan penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, KPU juga menggandeng Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca) untuk melakukan audiensi terkait upaya pemenuhan kebutuhan bagi kaum disabilitas dalam pemilu. KPU Kota Metro telah melakukan serangkaian upaya sosialisasi terhadap pemilih penyandang disabilitas sebagai berikut:  Sejak tahun 2017, KPU Kota Metro telah mendeklarasikan Gerakan Pemilu Ramah Disabilitas-Marginal sebagai salah satu strategi meningkatkan partisipasi pemilih pada Pemilihan Gubernur Lampung tahun 2018 dan Pemilu Serentak tahun 2019. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan “Dialog Pemilu Ramah Disabilitas dan Kelompok Marginal” yang diselenggarakan pada tanggal 3 Desember 2017 yang juga bertepatan dengan Hari Disabilitas Nasional. Dialog ini bertujuan untuk memberikan sosialisasi terkait agenda Pilgub Lampung 2018 dan Pemilu Serentak 2019 sebagai wujud dari pendidikan pemilih bagi penyandang disabilitas dan kelompok marginal;  Pada tanggal 27 Januari 2019, KPU Kota Metro membentuk Relawan Demokrasi. Relawan Demokrasi ini adalah gerakan sosial untuk meningkatkan partisipasi dan kualitas pemilih dalam menggunakan hak pilih. Dasar hukum pembentukan Relawan Demokrasi ini adalah sebagai berikut : a) UU No 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD khususnya Pasal 246 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 247 ayat (1) yang menyatakan tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu; b) Petunjuk Pelaksanaan Program Relawan Demokrasi Pemilu 2014 Nomor 609/KPU/IX/2013 tanggal 2 September 2013. Adapun tujuan dari program Relawan Demokrasi ini adalah: 18



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



a) Meningkatkan kualitas proses pemilu di Indonesia; b) Meningkatkan angka partisipasi masyarakat dalam pemilu; c) Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi; d) Membangkitkan kesukarelaan masyarakat sipil dalam agenda pemilu dan demokrasi. Relawan demokrasi menjadi mitra KPU dalam menjalankan agenda sosialisasi dan pendidikan pemilih yang berbasis kabupaten/kota, yang berjumlah 55 orang relawan di setiap kabupaten/kota. Terdapat 10 (sepuluh) basis atau segmen yang menjadi sasaran relawan demokrasi yaitu basis keluarga, pemilih pemula, pemilih muda, perempuan, penyandang disabilitas, berkebutuhan khusus, komunitas, marjinal, keagamaan dan warga internet (netizen). Program relawan demokrasi ini melibatkan langsung masyarakat sebagai relawan untuk ikut andil, berpartisipasi dan berperan aktif dalam pemilu 2019 ini. Anggota Relawan Demokrasi ini dipilih dari perwakilan masing-masing segmen, misalnya basis pemilih pemula maka yang menjadi relawannya adalah anak/siswa SMA kemudian basis penyandang disabilitas maka yang menjadi relawannya adalah penyandang disabilitas juga, karena mereka lebih memahami bagaimana berkomunikasi dengan baik sehingga apa yang disampaikan dapat mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat. Sejalan dengan hal ini, INT2 menyatakan bahwa: “Berkaitan dengan kelompok disabilitas, KPU mengajak penyandang disabilitas untuk aktif. Bahkan agar sosialisasi dapat menyeluruh KPU juga merekrut beberapa penyandang disabilitas sebagai relawan demokrasi”. Agenda kegiatan Relawan Demokrasi meliputi: a) Memetakan varian kelompok sasaran (mapping); b) Mengidentifikasi kebutuhan varian kelompok sasaran; c) Identifikasi materi dan metode sosialisasi yang akan dilakukan; d) Menyusun jadwal kegiatan dan berkoordinasi dengan relawan pemilu yang lain; e) Melaksanakan kegiatan sesuai jadwal; f) Menyusun dan melaporkan kegiatan kepada KPU Kabupaten/Kota. Sosialisasi dengan program Relawan Demokrasi ini dianggap dapat lebih mengena dan tepat sasaran karena karakteristiknya yang sudah tersegmentasi sehingga masing-masing penggiat hanya berfokus pada target sosialisasinya saja dalam skala yang lebih kecil. Kota Metro sendiri belum terdapat perwakilan dari Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca), baru ada komunitas/forum penyandang disabilitas, itupun dalam ruang lingkup yang terbatas. Oleh karena itu pendekatan sosialisasi terhadap penyandang disabilitas memang harus dilakukan secara gencar dan terpisah, mengingat belum ada organisasi besar yang mewadahi mereka. Keberadaan



19



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Relawan Demokrasi ini diakui oleh INT4 sebagai terobosan yang baik dimana ia menyatakan bahwa: “Saya dan dua orang teman yang disabilitas ikut menjadi relawan demokrasi yang diadakan oleh KPU Kota Metro. Jadi selain sebagai pemilih saya juga ikut sosialisasi bareng kawan-kawan yang lain. Menurut saya ini suatu kemajuan ya,mengikutsertakan semua elemen untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu”. Sejalan dengan ini INT5 menyatakan bahwa komponen personel Relawan Demokrasi sesungguhnya sudah cukup ideal, namun belum dapat menjamin program sosialisasi akan ramai dan menjangkau seluruh penyandang disabilitas.  KPU Kota Metro juga memfasilitas pendidikan politik melalui Rumah Pintar Pemilu (RPP) Bumi Sai Wawai sebagai sarana sosialisasi dengan memberikan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan inspirasi masyarakat tentang pemilu dan demokrasi. Selain melakukan program pendidikan pemilih, RPP Bumi Sai Wawai juga menjadi wadah bagi komunitas pegiat pemilu untuk membangun gerakan peduli pemilu dan demokrasi.  RPP Bumi Sai Wawai ini terbuka untuk siapa saja baik peserta pemilu maupun masyarakat umum termasuk penyandang disabilitas yang ingin tahu atau menambah wawasan tentang pemilu. Dengan adanya RPP Bumi Sai Wawai ini diharapkan dapat memberikan pendidikan politik kepada masyarakat termasuk para penyandang disabilitas sehingga dapat meningkatkan kesadaran politik penyandang disabilitas.  KPU Kota Metro melakukan sosialisasi tatap muka dengan berbagai komunitas di Kota Metro sebagai berikut : 1) Sekolah Luar Biasa (SLB) pada tanggal 13 Maret 2019; 2) Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) pada tanggal 21 maret 2019; 3) Yayasan Widia (perkumpulan disabilitas) pada tanggal 01 april 2019 Sosialisasi ini bertujuan untuk memberikan informasi terkait tahapan pemilu, profil peserta pemilu serta tata cara pencoblosan dengan menggunakan template Braille (bagi tuna netra);  Laporan kegiatan sosialisasi pada pemilu 2019 dimasukkan dalam aplikasi partisipasi masyarakat (SIPARMAS) yaitu aplikasi pencatatan kegiatan pendidikan dan sosialisasi dalam pemilihan dengan berbagai sasaran pemilih dalam menyelenggarakan pemilu 2019.  Aplikasi ini digunakan untuk merekam seluruh kegiatan pendidikan pemilih dan rumah pintar pemilu disemua tingkatan. Peluncuran SIPARMAS dilatarbelakangi pentingnya pendidikan dan sosialisasi pemilih dalam meningkatkan partisipasi masyarakat. Dengan adanya SIPARMAS, KPU sebagai penyelenggara pemilu diharapkan dapat melakukan monitoring terhadap 4 ruang lingkup 20



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



yaitu: pendidikan dan sosialisasi, inisiasi KPU, masyarakat, sosialisasi media sosial, dan sosialisasi rumah pintar pemilu. Pemanfaatan teknologi berbasis aplikasi ini secara umum memudahkan KPU Kota Metro dalam memantau seluruh kegiatan sosialisasi dan partisipasi masyarakat di sepanjang tahapan Pemilu. c) Peran KPU dalam menjamin ketersediaan sarana dan prasana pendukung bagi penyandang disabilitas guna memberikan hak pilihnya Berdasarkan PKPU Nomor 9 Tahun 2019 tentang Perubahan atas PKPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, terdapat beberapa ketentuan terkait pembuatan TPS sebagai berikut : 1) Di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang disabilitas; 2) Tidak menggabungkan kelurahan/desa atau nama lain; 3) Memperhatikan aspek geografis serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, umum, bebas dan rahasia Aksesibilitas TPS secara rinci mensyaratkan kondisi jalan menuju TPS yang mudah dilewati bagi pengguna kursi roda maupun alat bantu berjalan lainnya, rata, tidak ada bidang miring, dan tidak berbatu-batu ataupun bergelombang. Selain itu, KPU harus memastikan bahwa alat kelengkapan TPS untuk membantu penyandang disabilitas (misalnya template untuk penyandang tuna netra) tersedia agar yang bersangkutan dapat menyalurkan hak pilihnya. PKPU Nomor 9 Tahun 2019 juga memungkinkan pemilih penyandang disabilitas dapat dibantu oleh pendamping. KPU melalui KPPS salah satunya bertugas memberikan pelayanan khusus terhadap penyandang disabilitas, pemilih lanjut usia atau tidak dapat membaca dan menulis pada saat pemungutan suara di TPS, untuk dapat membantu dengan memberikan pendampingan. Apabila terdapat pemilih yang tidak dapat memberikan suaranya di TPS pada hari H karena menjalani tahanan sementara, rawat inap di rumah sakit atau puskesmas atau sakit di rumah karena faktor usia, maka akan ada petugas KPPS yang bertugas mendatangi pemilih agar dapat menggunakan hak pilihnya. Berkaitan dengan ketersediaan logistik pemilu untuk mempermudah pemilih penyandang disabilitas, KPU Kota Metro menjamin ketersediaan Template Braille dalam jumlah sesuai yang dibutuhkan. INT 3 menegaskan bahwa: “Untuk tempat pemungutan suara di Kota Metro sudah aksesibilitas dengan pembuatan TPS yang tidak berundak-undak atau naik turun tangga, pintu keluar masuk lebar sehingga pemilih disabilitas yang memakai kursi roda dapat keluar masuk dengan leluasa, meja tempat mencoblos juga berlobang bawahnya serta penempatan kotak suara yang tidak terlalu tinggi sekitar 120 cm sehingga memudahkan pemilih disabilitas. Demikian juga dengan penyediaan Template Braille, sudah sesuai kebutuhan”.



21



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Sejalan dengan hal ini, INT6 menyatakan bahwa: “TPS ditempat saya memilih sudah aksesibilitas dan saya juga pernah ikut sosialisasi yang diadakan oleh KPU lewat forum pengajian yang dilakukan oleh RT setempat”. INT3 menjamin bahwa TPS yang ada telah memenuhi unsur-unsur aksesibilitas sebagaimana diamanatkan dalam PKPU tersebut di atas. Pada tahapan pembuatan TPS, KPU Kota Metro secara khusus melakukan monitoring untuk memastikan kondisi TPS tersebut terkait aspek aksesibilitasnya. Dalam Buku Panduan KPPS serta bimbingan teknis yang dilakukan terhadap badan ad hoc, KPU Kota Metro juga senantiasa memasukkan materi terkait fasilitasi penyandang disabilitas ini. Meskipun demikian, untuk memenuhi kebutuhan pendamping, INT3 mengakui bahwa tidak semua TPS dengan penyandang disabilitas memiliki pendamping. Dengan mengisi formulir permintaan pendamping, sebenarnya seluruh TPS dengan pemilih penyandang disabilitas memiliki kesempatan untuk mempunyai pendamping. Namun pada kenyataannya, tidak semua TPS mengajukan permintaan tersebut dikarenakan tidak semua penyandang disabilitas memerlukan pendampingan, atau malah tidak mau didampingi. KESIMPULAN Rendahnya partisipasi penyandang disabilitas di Kota Metro pada pemilu 2019 dipengaruhi beberapa faktor, yakni (1) Kesulitan pendataan pemilih penyandang disabilitas; (2) Sosialisasi yang belum optimal; dan (3) Belum adanya wadah resmi yang menaungi seluruh penyandang disabilitas di Kota Metro. Peran KPU Kota Metro sebagai lembaga penyelenggara pemilu dalam meningkatkan partisipasi pemilih penyandang disabilitas mengacu pada tugas pokok dan fungsi KPU dalam melindungi dan memfasilitasi hak pilih penyandang disabilitas sesuai dengan amanat undang-undang berdasarkan tahapan pemilu yaitu: (1) Mendata dan memastikan penyandang disabilitas yang memenuhi syarat terdaftar sebagai pemilih; (2) Memberikan sosialisasi dan pendidikan politik bagi kelompok penyandang disabilitas; dan (3) Menjamin ketersediaan sarana dan prasana pendukung bagi penyandang disabilitas guna memberikan hak pilihnya. Dalam menjalankan peran-peran tersebut, dapat dilihat bahwa KPU Kota Metro telah menjalankan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan peraturan yang berlaku dan memiliki komitmen untuk melindungi hak pilih penyandang disabilitas. Rendahnya partisipasi pemilih penyandang disabilitas lebih berkaitan dengan aspek administratif seperti kesulitan pendataan dan belum adanya wadah resmi, serta faktor psikologis dari keluarga maupun penyandang disabilitas itu sendiri. Untuk itu penulis merekomendasikan kepada KPU Kota Metro agar kedepannya (1) Mendorong lembaga yang memiliki akses terhadap data kependudukan seperti Dukcapil atau BPS untuk dapat menyajikan data penyandang disabilitas yang lebih komprehensif sehingga dapat dijadikan basis data pemilih yang valid; (2) Mendorong didirikannya wadah resmi yang menaungi seluruh penyandang disabilitas di Kota Metro, misalnya 22



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



dengan berkoordinasi dengan komunitas yang telah ada, atau dengan PPUA Penca untuk membangun jaringan di Kota Metro sehingga dapat memudahkan kegiatan sosialisasi dan pendidikan politik; (3) Membangun relasi positif dengan komunitas penyandang disabilitas atau wadah resmi (apabila telah terbentuk) secara berkesinambungan, tidak hanya menjelang tahapan pemilu/pilkada saja, mengingat penyandang disabilitas membutuhkan pendekatan sosialisasi yang lebih intensif dan berkelanjutan; (4) Membangun relasi positif dengan unsur RT/RW dan masyarakat dengan sosialisasi terkait perlindungan hak pilih penyandang disabilitas guna meminimalisir faktor psikologis penghambat sebagaimana dijelaskan di atas serta menghasilkan data pemilih yang lebih valid. KPU Kota Metro dapat bekerjasama dengan unsur RT/RW, tokoh masyarakat, serta anggota komunitas penyandang disabilitas untuk mengadakan sosialisasi bagi para warga guna memberikan pemahaman bahwa disabilitas bukanlah aib, dan penyandangnya juga adalah warga Negara dengan hak politik yang setara dan oleh karenanya berhak dan wajib untuk didata sebagai pemilih serta mendapatkan sosialisasi dan pendidikan politik. Penanaman akan penerimaan kondisi diri dan keluarga ini serta pemahaman akan hak dan kewajiban politik akan menjadi modal dasar bagi tersedianya data penyandang disabilitas yang lebih reliabel dan program sosialisasi yang lebih optimal. DAFTAR PUSTAKA Buku dan Jurnal Ardiantoro, J. (2014). Tingkat Melek Politik Warga dalam Pemilu 2014 (Seri Riset). Jakarta: Komisi Pemilihan Umum. Budiardjo, M. (2004). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Budiyanto. (2006). Pendidikan Kewarganegaraan (Jilid I). Jakarta: Erlangga. Creswell, J. W. (2009). Research Design  : Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches (Third Edit). California: Sage Publications, Inc. Firmanzah. (2008). Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Huntington, S., & Nelson, J. (1974). No Easy Choice  : Political Participation in Development Countries. Harvard University. Kharisma, N. (2016). Problematika Penyandang disabilitas Dalam Pemilu Studi Kasus Pemilu Legislatif 2014 di Jakarta. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, 5(1). Nur, S. F. (2017). Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas di Kota Semarang pada Pilwakot 2015. Journal of Politic and Government Studies, 6(3). Nursal, A. (2004). Political Marketing  : Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Perdana, A., & Dkk. (2019). Tata Kelola Pemilu di Indonesia. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum. Pramusinto, A., & Kumorotomo, W. (2009). Governance Reform in Indonesia  : Mencari Arah Kelembagaan yang Demokratis dan Birokrasi 23



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



yang Profesional. Yogyakarta: Gava Media untuk MAP UGM. Prihatmoko, J. J. (2005). Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Indonesia. Semarang: Pustaka Pelajar. Sabatini, A. (2018). Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota Pekanbaru Tahun 2017 di Kecamatan Tenayan Raya. Universitas Riau, 5(1). Retrieved from https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/viewFile/17463/1 6867 Saputra, A. R., Jendrius, & Bakaruddin. (2019). Tata Kelola Pemilu dalam Pemenuhan Hak-Hak Pemilih Penyandang Disabilitas. Journal Aristo Sosial Politik Humaniora, 7(1), 64–79. Sarwono, S. W. (2015). Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Press. Wickham, M., & Parker, M. (2007). Reconceptualising Organisational Role Theory for Contemporary Organisational Contexts. Journal of Managerial Psychology, 22(5)(July). UU dan Peraturan 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas 2. Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum 3. Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu 4. Peraturan KPU No. 10 Tahun 2018 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum 5. Peraturan KPU Nomor 38 tentang Penyusunan Daftar Pemilih Didalam Negeri 6. Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum



24



PROBLEMATIKA DAN STRATEGI PENANGANAN POLITIK UANG PEMILU SERENTAK 2019 DI INDONESIA Lati Praja Delmanaa, Aidinil Zetrab, Hendri Koeswarac



a



Program Tata Kelola Pemilu Batch IV, Universitas Andalas, Padang, Indonesia b,cDosen S2 Tata Kelola Pemilu, Universitas Andalas, Padang, Indonesia E-mail: [email protected]



ABSTRAK Pemilu serantak Tahun 2019 meninggalkan permasalahan akut yang berdampak pada kritisnya nilai demokrasi di Indonesia. Realitas menunjukan terdapat banyak pelanggaran yang menyumbang penurunan kualitas Pemilu yang disebabkan oleh politik uang. Permasalahan politik uang ini telah banyak dikaji oleh peneliti sebelumnya, namun terdapat ruang kosong dalam penanganan politik uang yaitu penanganan tidak cukup melalui penguatan kelembagaan tapi juga melalui best practice dengan membandingkan penanganan politik uang yang telah dilakukan oleh negara-negara luar dan disesuaikan dengan keadaan Pemilu indonesia terutama kondisi lokal. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka yang didukung oleh penelitian yang relevan. Hasil penelitian menunjukan akar permasalahan munculnya politik uang adalah kandidat dan masyarakat yang memiliki perilaku kapitalis didasarkan pada untung dan rugi secara ekonomi. Sementara celah hukum, pengawasan yang lemah dan sistem Pemilu proporsional membuka peluang berkembangnya politik uang. Pencegahan politik uang dapat dilakukan secara sistemik dan simultan melalui efektifitas fungsi suprastruktur dan infrastruktur politik, pembenahan sistem politik, budaya politik, pendidikan moral dan politik masyarakat dengan strategi jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Pencegahan dapat juga dilakukan melalui modifikasi sistem Pemilu campuran sehingga meningkatkan hubungan antar pemilih dan wakilnya yang tidak terputus pasca Pemilu pada akhirnya akan meminimalisir politik uang dan menekan jumlah caleg instan menjelang Pemilu. Kata Kunci: politik uang, pencegahan, penanganan



PROBLEMATICS AND MONEY POLITICAL HANDLING STRATEGY ON INDONESIAN ELECTION IN 2019 ABSTRACT The simultaneous 2019 Elections left an acute problem affecting the critical value of democracy in Indonesia. Reality shows there are violations contributing to declining of the quality of elections caused by money politics. This Money politic problems has been widely examined by other previous researcher, however there is an empty space for handling money politics problems, which is not enough handling this problems only with institutional strengthening, but also needed best practices by comparing the handling of money politics that have been carried out by foreign countries and adjusted to the conditions of the Indonesian elections, especially local conditions. This research uses literature study method which is supported by another relevant research. The results showed that the root of the problem of money politics is that the candidates and the people have capitalist behavior based on economic gains and losses. While legal loopholes, weak surveillance and proportional electoral systems open opportunities for the growing of money politics. Prevention of money politics could be implemented systemically and 1



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id simultaneously through the effectiveness of the functions of the political superstructure and infrastructure, reforming the political system, political culture, moral education and political society with short-term, medium-term and long-term strategies. Prevention could be implemented through modifying the mixed electoral system so that improving relationship between voters and their representatives who are uninterrupted after the election will ultimately minimize money politics and reduce the number of instant candidates ahead of the election.



Keywords: money politics, prevention, handling PENDAHULUAN Pemilihan umum serentak Tahun 2019 sebagai sarana perwujudan demokrasi di Indonesia dinodai dengan pelanggaran yang terjadi pada setiap tahapannya. Pelanggaran tersebut terjadi akibat tidak mampunya penyelenggara melaksanakan Pemilu dengan prinsip kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Sesuai data hasil pelanggaran Pemilu Tahun 2019 (Bawaslu, 2019) menyatakan bahwa terdapat 6.649 temuan yang telah diregistrasi, 548 pelanggaran pidana dan 107 pelanggaran kode etik. Pelanggaran pidana tertinggi adalah politik uang. Menurut Burhanuddin dkk, 2019, jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia, dengan kata lain politik uang telah menjadi praktik normal baru dalam Pemilu Indonesia. Hal ini sejalan dengan temuan Bawaslu dan berbagai lembaga survei terdapat kasus politik uang yang terjadi pada Pemilu serentak tahun 2019 antara lain, Pertama 12 kasus dugaan politik uang yang terjadi pada masa tenang tanggal 14 sampai dengan 16 April 2019 dan pada hari pencoblosan yaitu 1 kasus Kabupaten Ciamis, 1 kasus Kabupaten Kuningan, 4 kasus terjadi di Kabupaten Pangandaran, 1 kasus di Kota Bandung, 1 kasus di Kabupaten Indramayu, dan 4 kasus di Kabupaten Garut. Kedua, menurut hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan survei tentang Pemilu 2019 dan Demokrasi di Indonesia, menyatakan bahwa terdapat 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan 46,7 persen menganggap politik uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi. Sedangkan menurut data Koalisi Masyarakat Sipil, terdapat 44 temuan terkait politik uang selama masa tenang Pemilu 2019. Sementara berdasarkan temuan Bawaslu terdapat 24 putusan tentang politik uang yaitu 23 putusan inkarah dan 1 dalam proses banding. Praktik politik uang sebagian besar terjadi pada hari pencoblosan tanggal 17 April, saat massa tenang selama tiga hari, dan sebelum memasuki masa tenang. Konsep politik uang yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Jensen dkk (2013). Demi memperoleh kekuasaan dan menarik simpati rakyat, kandidat sering malakukan transaksional politik. Permasalahan tersebut tidak hanya terjadi pada masa tahapan pemungutan suara tapi juga pada tahapan pra, sampai pasca Pemilu. Hal ini diakibatkan karena lemahnya pengawasan dan



2



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



regulasi hukum sehingga membuka peluang bagi masyarakat politik, penyelenggara ataupun pemilih untuk masuk kedalam lingkaran pelanggaran tersebut. Dari berbagai permasalahan di atas maka penulis mengkaji permasalahan tentang pencegahan dan penanganan politik uang pada Pemilu 2019 dengan metode best practice yang telah dilakukan oleh negara-negara demokrasi mapan ataupun baru. Penanganan kasus politik uang yang dilakukan di negara luar dapat disesuaikan dengan budaya lokal di Indonesia. Tujuan penulisan ini untuk mengidentifikasi politik uang yang terjadi disetiap tahapan Pemilu, dan menciptakan strategi pencegahan dan pemberantasan politik uang di Indonesia. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan studi pustaka. Studi kepustakaan dapat mempelajari berbagai referensi serta hasil penelitian sebelumnya yang sejenis berguna untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti. Studi kepustakaan dalam penelitian ini dengan mengumpulkan data melaui penelaahan terhadap dokumendokumen sumber serta laporan berkaitan dengan permasalahan politik uang. Variabel yang akan dikaji adalah evaluasi politik uang yang terjadi pada Pemilu 2019 dan analisis best practice pencegahan dan penanganan politik uang pada Pemilu di Indonesia melalui perbandingan penanganan politik uang di negara-negara demokrasi baru dan mapan yang disesuaikan untuk kondisi politik lokal Indonesia. Proses penelitian ini adalah pemilihan topik, eksplorasi informasi, menentukan fokus penelitian, pengumpulan sumber data, persiapan penyajian data dan penyusunan laporan. Sumber data dalam penelitian ini adalah buku, jurnal dan situs internet. Sumber data pada penelitian ini terdiri dari 10 jurnal tentang politik uang, 3 buah buku tentang demokrasi dan politik uang. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi, mencari data mengenai variabel yang diteliti dalam makalah, jurnal dan laporan. Analisis data dilakukan dengan analisis konten, yang dapat diteliti ulang melalui konteksnya. Peneliti mengamati proses pencegahan dan penanganan kasus politik uang Pemilu 2019 dengan melihat dokumen sumber berupa peraturan dan data-data. Bagian ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian, apa atau siapa saja sumber datanya, bagaimana sumber data itu diperoleh (cara menentukan sumber data) dan kemudian bagaimana data itu divalidasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelanggaran pidana Pemilu 2019 terkait penggunaan uang ataupun barang untuk mempengaruhi pemilih paling banyak terjadi menjelang hari pencoblosan tetapi sulit untuk dibuktikan/ditindaklanjuti sebagai kasus pidana Pemilu. Terbukti hanya 24 kasus pelanggaran politik uang yang ditemukan oleh Bawaslu secara nasional. Padahal diseluruh penjuru negeri terdapat beragam jenis politik uang bahkan politisi semakin kreatif dalam menjalankan aksi politik uangnya, seperti pemberian polis asuransi,



3



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



dan uang elektornik. Bawaslu menemukan sejumlah barang bukti, mulai dari uang, deterjen, hingga sembako. Temuan uang paling banyak didapat di Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah uang Rp 190 juta. Lokasi praktik politik uang yang ditemukan, di antaranya di rumah penduduk dan di tempat keramaian seperti di pusat perbelanjaan. Identifikasi Permasalahan Praktik Politik Uang Berbagai permasalahan dan celah hukum yang terjadi selama tahapan Pemilu dapat meningkatkan potensi praktek politik uang. Permasalahan tersebut memunculkan pelanggaran karena terdapat kelemahan dari segi aturan, pengawasan, dan sistem Pemilu yang membuka berkembangnya politik uang. Berikut adalah beberapa permasalahan yang membuka peluang besar dalam berkembangnya praktik politik uang di Pemilu 2019 yaitu: Terdapat Celah Regulasi Yang Menyebabkan Subjek Hukum Dapat Lolos Dari Jeratan Undang-Undang Pertama, pada tahap kampanye dan masa tenang subjek pemberi uang diatur dalam UU Pemilu (UU No. 7 Tahun 2017) hanya pelaksana, peserta atau tim kampanye. Pada tahap pemungutan suara subjek pemberi diatur lebih luas menjadi “setiap orang”. Hal ini akan berdampak kepada tidak terjeratnya pelaku yang diluar kategori pelaksana, peserta atau tim kampanye pada saat melakukan politik uang selama tahapan kampanye dan masa tenang. Sementara menurut Pasal 269 ayat (1), 270 ayat (1), (2) dan (3) pelaksana kampanye Pemilu adalah pengurus partai politik, calon anggota legislatif, juru kampanye Pemilu (mewakili partai/ calon), orang seorang dan organisasi yang ditunjuk partai politik. Secara normatif, pelaksana kampanye inilah yang melakukan kampanye kepada peserta kampanye (masyarakat). Namun pada masa kampanye dan masa tenang, ketentuan ini tidak dapat digunakan menindak pelaku politik uang jika praktik politik uang dilakukan seseorang yang tidak terkait dengan pelaksana kampanye yaitu partai politik atau calon anggota legislatif (Pasal 84). Keterbatasan norma hukum ini menyebabkan praktik politik uang marak terjadi pada masa sebelum pencoblosan dimana praktik politik uang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mungkin dijerat oleh pasal mengenai politik uang. Kedua, UU Pemilu hanya mengatur larangan praktik politik uang kepada pemberi atau orang yang menjanjikan, sementara penerima tidak diatur secra tegas. Pada Pasal 228 UU Pemilu mensyaratkan adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sebagai landasan penerapan sanksi administrasi ke pada partai politik yang menerapkan mahar politik pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Selain itu UU Pemilu tidak mengatur tentang sanksi pidana terkait mahar politik. Hal ini mengindikasikan bahwa pembahasan dan penetapan peraturan perundang-undangan yang syarat akan kepentingan politik, sehingga substansi UU Pemilu tidak sesuai dengan harapan.



4



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Ketiga, penetapan presidential treshold (ambang batas) yang mengakibatkan kecendrungan partai politik melakukan negosiasi dan mengarah kepada mahar politik. Presidential threshold akan menciptakan oligarki politik. Hal ini sejalan dengan pendapat Marli (2018), yang menyatakan bahwa syarat pencalonan harusnya lebih mudah dan terbuka karena akan ada lebih banyak calon alternatif sehingga dimungkinkan adanya muncul tokoh baru dan bisa menekan mahar pencalonan, pembatasan hak warga negara juga dapat dapat dilihat dari pembatasan dalam pencalonan. Keempat, adanya kelemahan dan keterbatasan regulasi Pemilu yang menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di kabupaten/kota untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu khususnya politik uang. Hal ini terkait dengan aspek hukum soal pembuktian politik uang yang mengharuskan Bawaslu memiliki bukti material berupa saksi pelapor, pihak pelaku politik uang dan alat bukti pendukung lainnya. Kelima, menurut bunyi Pasal 89 UU Nomor 8 Tahun 2012 suatu tindakan memenuhi unsur praktek politik uang jika pelaksana kampanye melakukan pemberian uang/materi sebagai imbalan kepada peserta kampanye (pemilih) untuk memilih atau tidak memilih parpol tertentu. Untuk membuktikan adanya pelanggaran Pemilu pada masa sebelum pencoblosan terkait politik uang maka ketentuan pasal ini mengharuskan Bawaslu kabupaten/kota melacak bukti-bukti material yang mengarah pada praktik politik uang. Padahal upaya untuk mendapatkan alat bukti praktik politik uang tidak mudah jika saksi tidak bersedia bersaksi dan bukti hasil transaksi politik uang tidak terpenuhi. Kondisi ini menyebabkan penindakan pelanggaran politik uang yang terjadi sebelum pencoblosan tidak dapat dilakukan maksimal. Jika ada bukti empirik adanya praktik pemberian uang atau materi kepada pemilih, maka pihak Bawaslu kesulitan mendapatkan saksi yang bersedia diminta keterangan. Bentuk Pemberian Politik Uang Tidak Teridentifikasi Sebagai Kasus Politik Uang Transaksi pemberian uang terkadang tidak dilakukan calon secara langsung tetapi melalui perantara tim sukses atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan calon. Modusnya beragam seperti melalui acara pengajian, wiridan, PKK ibu-ibu di RT/RW di tingkat desa atau acaraacara sosial yang dikemas dengan kehadiran calon. Dalih yang paling umum untuk penyampaian pemberian uang atau barang adalah pengganti uang transportasi. Praktek pemberian uang dengan dalih pengganti transportasi jelas mengarah pada politik uang namun pembuktian hukumnya terkendala oleh konteks kejadian dan makna politik uang itu sendiri. Jika pemberian didalihkan sebagai ganti transporasi dan pada saat kejadian pembagian, sang calon tidak menyinggung visi, misi, dan tidak mengadakan ajakan untuk memilih dirinya, maka konteks pembagian transportasi sulit didakwakan sebagai politik uang. Situasinya demikian menyebabkan langkah penegakan hukum terpadu (Gakumdu) yang dilakukan bersama



5



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan, sulit dilakukan karena kendala pembuktian hukum dari makna politik uang. Kendala lain adalah sulitnya Badan Pengawas Pemilu menghadirkan saksi. Umumnya orang yang mengetahui ada praktik politik uang tidak bersedia bersaksi karena khawatir menyinggung pelaku yang dikenalnya. Kegagalan Badan Pengawas Pemilu dalam konteks Gakumdu dalam rangka membawa dugaan politik uang ke ranah hukum menjadi fenomena umum. Artinya, walaupun dugaan politik uang meluas dan menjadi pembicaraan luas masyarakat (pemilih), namun jika tidak didukung alat bukti yang secara hukum kuat (saksi, uang/ meteri, pelaku dan terpenuhinya aspek politik uang) maka Pengawas Pemilu tidak dapat melanjutkan ke aspek penuntutan yang lebih tinggi ke kepolisiaan atau kejaksaan. Ketiadaan alat bukti menyebabkan penindakan hukum praktik politik uang gugur di tengah jalan. Sistem Pemilu Proporsional Daftar Terbuka Menempatkan Calon Pada Ketidakpastian Atas Keterpilihannya Hal ini mendorong calon untuk melakukan penguatan elektabilitas secara instan melalui politik uang. Selain itu, karakter pemilih yang kian pragmatis dan tidak tegas dalam menolak pemberian uang/materi membuat calon atau tim pemenangan calon makin leluasa mempengaruhi independensi pemilih melalui strategi yang berbau politik uang. Tabel 1. Rekap Identifikasi Permasalahan dan Potensi Politik Uang Pemilu 2019 Tahapan Pemilu Regulasi Pemilu



Kelemahan -



UU Nomor 7 Tahun 2017



-



Presidential Treshold (ambang batas) yang tinggi



Permasalahan Politik Uang Terdapat subjek hukum yang dapat lolos dari jeratan UU -



Tidak mengatur tentang sanksi pidana terkait mahar politik



-



Ambang batas presidential threshold yang tinggi akan menciptakan oligarki politik dan berkembangnya mahar politik atau politik uang dalam internal partai.



6



Solusi -



Revisi UU nomor 7 Tahun 2017 dengan memperluas subjek yang dapat terjerat praktik politik uang, mengatur secara tegas sanksi pidana terkait mahar politik dan memperkecil presidential threshold



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id Pendataan Pemilih



Pendaftaran Peserta.



-



-



Politik uang terjadi antara kandidat dan penyelenggara, melalui data pemilih yang tidak sesuai dengan kenyataan.



-



Terdapat peluang Mahar politik.



-



-



Media Kampanye



Kampanye dan masa tenang



Pemungutan Suara



-



Kesulitan netralitas dan berimbang media



Pelanggaran penipuan/ kesalahan disengaja untuk mobilisasi suara ke kandidat tertentu.



Korupsi Pemilu: mahar politik, politik uang yang tinggi dalam internal partai politik. Penyuapan terhadap penyelenggara untuk memenuhi kelengkapan persyaratan calon (Tindak pidana korupsi dan kode etik), candidacy buying.



-



Meningkatkan keakuratan data pemilih melalui pembangunan sebuah sistem data pemilih yang terintegrasi dengan catatan sipil.



-



Meningkatkan kualitas proses coklit (pencocokan dan penelitian)



-



Melakukan perubahan aturan yang mendiskriminasi suatu golongan



-



Pencegahan dan pemberantasan mahar politik



-



Meningkatkan rasionalitas dan kecerdasan pemilih



-



Politik uang: transaksional politik antara media dan calon



-



Ikut meningkatkan kecerdasan politik masyarakat melalui sosialisasi



-



Pelanggaran kode etik ASN, TNI dalam penggunaan media untuk fasilitasi calon tertentu



-



Membangun regulasi lebih ketat untuk menutup celah politik uang



-



dana kampanye yang ‘mengikat’ terkait media



-



Audit hanya dilakukan secara administratif



-



dana kampanye yang ‘mengikat’ (abusive donation)



-



Politik uang pada saat kampanye dan masa tenang



-



Vote buying, politik uang dalam masa kampanye



-



Kurangnya pilihan/kandidat yang berkualitas



-



Pendidikan politik rendah



-



Politik uang



-



Politik uang: pembagian beras, uang, pembangunan daerah, vote buying (pembelian suara)



7



-



Perubahan aturan KPU untuk melaksanakan audit dana kampanye investigatif dan audit forensik



-



Meningkatkan fasilitas untuk disabilitas



-



Meningkat aksesibilitas TPS bagi pemilih penyandang disabilita



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id Penghitungan dan Rekapitulasi Suara



Penyelenggara Pemilu



-



Politik uang sering terjadi



-



Undang-undang Pemilu tidak mengatur politik uang dalam rekapitulasi suara



-



Terdapat kasus pelanggaran kode etik



-



Kurang profesionalitas penyelenggara



-



Tidak memadai keterbukaan informasi penyelenggara



-



Politik uang terhadap penyelenggara, vote buying



-



Meningkatkan kompetensi Petugas penyelenggara Pemilu ad-hoc,



-



Electoral administrative corruption



-



Meningkatkan Integritas petugas penyelenggara terhadap praktik politik uang



-



Pelanggaran kode etik dan pidana penyeelnggara pemilu, penerimaan suap dari partai politik atau kandidat tertentu



-



Meningkatkan kompetensi dan pengawasan internal KPU



-



Merekrut penyelenggara yang kompeten dan independen



-



Meningkatkan profesionalitas penyelenggara melalui pembelajaran yang berkelanjuatan



-



Mengevaluasi dan meningkatkan kinerja PPID



Sumber: Data diolah dari berbagai sumber



Potensi Politik Uang Pada Tahapan Pemilu 2019 Pada tabel 1 menunjukan rekap potensi politik uang yang terjadi selama tahapan Pemilu 2019, berbagai permasalahan tersebut antara lain: Pendataan Pemilih Potensi pelanggaran politik uang dalam tahapan ini adalah pelanggaran penipuan/kesalahan disengaja untuk mobilisasi suara ke kandidat tertentu. Menurut (Marli, 2018) masalah pendataan pemilih ini erat kaitannya dengan sumber daya manusia dilapangan yang kurang teliti dan sistem e-ktp yang harus diakui masih banyak kelemahan. Dari sisi penyelenggara, ketidakprofesionalitasan ini ditandai dengan tidak ada problem solving dalam kasus yang ditemui. Peningkatkan keakuratan data pemilih dapat dilakukan melalui pembangunan sebuah sistem data pemilih yang terintegrasi dengan catatan sipil, kemendagri dan lembaga lain yang memiliki data kependudukan, sehingga perubahan yang terjadi di lapangan bisa langsung diketahui dan dirubah di sistem. Sesuai dengan penelitian Perludem bahwa diperlukan adanya konsolidasi data kependudukan yang sepenuhnya dikelola oleh KPU dan berkolaborasi dengan kemendagri dan lembaga lain yang memiliki data kependudukan. (Khairunnisa Agustyati, 2016).



8



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Pendaftaran Calon Dalam proses pendaftaran calon ini, dikatakan berintegritas jika bebas dari diskriminasi dan kesetaraan. Terdapat beberapa permasalahan pendaftaran calon yang mengurangi integritas pemilu antara lain banyaknya kasus mahar politik dalam proses pencalonan oleh partai politik. Pencegahan mahar politik dan politik uang dapat dilakukan secara sistemik dan simultan, peran KPU disini adalah ikut melakukan sosialisasi dampak buruk mahar politik dan politik uang dan meningkatkan Efektifitas Pemantau dan Pengawas Pemilu. Media Dalam Kampanye Media lokal ataupun nasional masih jauh dari prinsip ideal. Beberapa hal yang dicatat oleh Marli (2018) bahwa media wartawan menerima imbalan dari berita yang dibuatnya, maraknya politik uang terdistribusi dengan efektif ke pers, media elektronik, dan yang paling berpengaruh secara signifikan adalah media televisi. Tidak adanya batasan jelas antara advertorial dengan berita atau reportase yang merugikan masyarakat serta ada nya keberpihakan media terhadap salah satu calon. Kecenderungan keberpihakan ini salah satunya dilihat dari indikasi berita yang dimuat atau tidak dimuat dalam medianya. Beritaberita yang dimuat umumnya hanya berita seromonial yang hanya bersifat kampanye dan branding. Berita yang tidak dimuat dapat berupa kasus-kasus dimana publik perlu tahu tetapi tidak terlalu diberitakan karena akan merugikan kandidatnya. Kesulitan netralitas dan berimbang media dalam penyelenggaraan kontestasi pemilu berkaitan dengan pendapatan media dimana dalam pemilu serentak ada aturan bahwa iklan kampanye dibiayai oleh negara sehingga pasangan calon dilarang membuat iklan lagi dimedia cetak. Hal ini tentu saja mengurangi pendapatan media dari biaya iklan yang bisa didapat jika pasangan calon diberi kebebasan memasang iklan. Beberapa hasil pemantauan konten media juga didapatkan hasil bahwa redaksi dan karyawan terkadang menjadi tim sukses dan mendukung salah satu calon secara informal. Terlihat dari branding calon yang mereka buat dalam news/berita seolah-olah ini adalah berita publik, padahal dapat dikatakan bahwa itu adalah iklan branding terselubung. Dihubungkan dengan petahana, maka petahana mendapat sedikit keuntungan dalam pemberitaan media dibanding calon yang non petahana. Modus bisa dengan membuat pemberitaan baik atau justru dengan tidak memberitakan hal-hal negatif dimana seharusnya publik mempunyai hak untuk mendapatkan berita. Di lain hal, media sosial dapat dipakai untuk mengungkapkan kecurangan dalam pemilu. Akan tetapi disisi lain lebih banyak juga media sosial ini dipakai untuk menyebarkan black campaign, fitnah, hate speech dan berita palsu/hoax. Sifat media sosial sebagai new media yang mempunya karakteristik lebih mobile, real time dan penyebarannya yang instan, maka susah untuk membendung efek negatif dari media sosial ini. Namun jika digunakan untuk hal yang positif seperti menyebarluaskan



9



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



informasi pemilihan dan mengungkapkan kecurangan maka media sosial dapat menjadi media yang bermanfaat. Kampanye Politik uang paling banyak ditemukan pada saat kampanye, berbagai macam jenis politik uang yang terselubung seakan tidak dapat terbendung karena semakin kreatifnya pelaku untuk menjalankan aksi vote buying ataupun dana kampanye yang “mengikat” (abusive donation). Pemungutan Suara Pemungutan suara rentan terhadap pelanggaran politik uang. Pelanggaran tersebut seperti vote buying/pembelian suara dan serangan fajar. Permasalahan yang lain yang menjadi catatan dalam pemungutan suara ini adalah kurangnya pilihan/kandidat yang berkualitas yang ditawarkan kepada pemilih. Hal ini erat kaitannya dengan kurangnya kaderisasi di partai politik, partai politik tidak menyiapkan calon yang berkualitas dan sentralistiknya penentuan calon yang akan diusung oleh partai politik, sehingga calon yang diusung bukan merupakan kandidat yang merupakan aspirasi dari masyarakat di daerah. Penghitungan Suara Politik uang terjadi antara calon tertentu dengan penyelenggara. Namun, Undang-undang pemilu tidak mengatur politik uang dalam rekapitulasi suara. Pembuktian sendiri sulit dilakukan karena kerahasiaan pilihan suara pemilih dijamin oleh konstitusi. Sehingga perlu indikator kualitas Pemilu diatas dengan pengawasan dan hukum yang tidak memihak,tegas dan jelas. Dari berbagai analisis di setiap tahapan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat tahapan yang rentan dalam kecurangan terutama politik uang (Utari, 2016), yaitu sebagai berikut: Tahapan Penjaringan Calon Tahap ini menjadi tahapan paling rawan terjadi politik uang dan mahar politik. Kelemahan tahapan ini: monopoli partai politik sebagai penyokong kandidat presiden yang dicalonkan. Karena kandidat presiden bisa dicalonkan kalau memiliki ambang batas 25%, menyebabkan politik uang dan mahar politik. Menurut Ari Dwipayana, dengan memakai jasa partai setiap calon kepala daerah mengeluarkan dana minimal 7-8 miliar rupiah (Dwipayana, 2005). Sehingga munculah transaksional politik yang melibatkan calon, partai politik dan stakeholder. Tahap Seleksi Administrasi Calon Menurut Taufikurrachman Saleh banyak Tim sukses yang menyusun skenario praktik tawar menawar uang dan lobi politik untuk memuluskan jalannya, namun hal ini sulit didekteksi karena tim sukses tidak dikaitkan dalam aturan politik uang, sehingga yang mereka lakukan sulit untuk dikaitkan secara langsung dengan calon kepala daerah.



10



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Tahap Pendataan Pemilih Dan Pengadaan Kartu Pemilih Terjadi kolusi antara pihak pendata dengan pihak calon. Petugas pendata memprioritaskan masyarakat yang mencadi pendukung salah satu calon, sedangkan masyarakat pendukung calon yang lain diabaikan. Pengadaan kartu pemilih melebihi jumlah pemilih setempat. Sehingga harus dilakukan pembenahan panitia pemilihan. Tahap Kampanye Sering terjadi aksi sumbangan yang dialkukan kandidat untuk mendapatkan simpati masyarakat, contoh bagi uang, sembako, proyek bahkan kitab suci agama tertentu. Namun kelemahan ini terjadi juga karena regulasi yang ada tidak merumuskan secara eksplisit perbuatan tersebut termasuk melanggar hukum. Tahap Pemungutan Suara Sering terjadi serangan fajar, penyuapan kepada masyarakat, tokoh masyarakat, bahkan oknum pengawas. Kasus penggelembungan suara, kerjasama KPUD untuk pemenangan calon tertentu melalui pengelembungan suara (Saleh, 2006) Tahap Rekapitulasi Suara Terjadinya politik uang melalui kerjasama antara calon tertentu dengan penyelenggara, sehingga hasil rekapitulasi pemungutan dan perhitungan suara. Namun Undang-undang pemilu tidak mengatur politik uang dalam rekapitulasi suara. Pembuktian sendiri sulit dilakukan karena kerahasiaan pilihan suara pemilih dijamin oleh konstitusi. Pencegahan dan Penanganan Politik Uang dari Berbagai Penelitian di Dunia Pencegahan dan penanganan politik uang dalam tulisan ini berdasarkan best practise yang dilakukan oleh negara-negara luar dan kajian-kajian terdahulu serta disesuaikan dengan kondisi lokal Indonesia. Penanganan politik uang dapat dimulai dengan menghilangkan akar permasalahannya penyebab terjadinya politik uang dan kondisi yang membuat berkembangnya politik uang, dan strategi teknis untuk menyelesaikannya. Faktor utama penyebab timbulnya politik uang dapat dilihat dari berbagai aspek, baik dari segi demografis dan sosial ekonomi, perilaku memilih, politik klientalisme, moneter dan sistem pemilu. Pertama, dari aspek demografis dan sosial ekonomi (Vilalta, 2010). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pendidikan, tingkat marginalitas, ukuran populasi, partai yang memerintah, tingkat kompetensi pemilihan mempengaruhi vote buying. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Bratton (2008) yang menyatakan bahwa politik uang berlaku untuk orang miskin dan tidak berpendidikan, penduduk pedesaan. Sementara menurut Pradhanawati dkk (2018) warga negara yang paling mungkin “memilih hati nurani” adalah pemilih



11



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



berpenghasilan rendah dan berpendidikan tinggi. Bagi warga negara ini, kemiskinan menciptakan kebutuhan untuk menerima uang, sementara pendidikan menuntun mereka untuk memilih kandidat yang mereka sukai. Sebaliknya, warga paling mungkin menerima uang dan memilih kandidat yang menawarkannya adalah pemilih loyalis partai, karyawan, dan pemilih berpenghasilan rendah/kurang berpendidikan. Warga kemungkinan besar menolak uang adalah warga negara berpendapatan menengah dan atas yang juga memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kedua, aspek perilaku memilih, politik uang akan terjadi pada partisipan partai (petahanan dan oposisi) dibandingan non partai. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Cantu (2019) menyatakan bahwa kandidat cenderung untuk menargetkan pemilih yang (1) mendukung oposisi di masa lalu, (2) tinggal di daerah di mana oposisi telah mengerahkan upaya mobilisasi. Saat menargetkan grup pemilih dengan karakteristik ini, pihak mengidentifikasi mereka yang lebih mungkin untuk menjual suara mereka, dengan melihat pada pilihan pemilihan mereka sebelumnya. Ketiga, politik klientalisme, menurut William (2005) untuk melawan politik uang perlu menantang dinamika hubungan antara klientalisme dan politik. Penelitian ini menunjukan bahwa aktor yang paling diuntungkan dalam vote buying dalam jangka pendek adalah broker dan kaum borjuis (pemodal) karena aliran modal pada akhirnya tergantung pada legitimasi demokrasi parlementer. Sementara dalam jangka panjang kandidat terpilihlah yang memperoleh keuntungan. Hal ini sejalan dengan penelitian Edward dkk (2018) bahwa vote buying dilakukan dalam struktur broker yang menggambar di jejaring sosial untuk mengidentifikasi pemilih dan mengirimkan pembayaran kepada mereka. Logika pasar menyusun sistem pembelian suara di Indonesia. Hasil studi mengungkapkan pola pembelian suara yang sangat terfragmentasi, dengan mayoritas kandidat mendapatkan total suara yang jauh lebih rendah dari jumlah pembayaran individu yang didistribusikan. Calon pembeli ini tergantung pada jaringan sosial yang ada dan pada pengaruh otoritas lokal. Keempat, aspek moneter, aspek ini cukup unik dan jarang dihubungan dengan vote buying oleh peneliti sebelumnya, menurut Aidt (2019), siklus pemilihan moneter jangka pendek bulanan menunjukan tingkat pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) di sekitar pemilihan lebih tinggi daripada di bulan-bulan lainnya. Pertumbuhan moneter tinggi yang tidak normal di bulan pemilihan bisa menjadi indikasi pembelian suara sistemik yang dipicu oleh efek permintaan uang tunai. Hal ini memungkinkan jalan baru untuk menekan adanya politik uang dengan cara mengurangi jumlah uang beredar dalam waktu bulan pemilu, misalnya dengan menaikan nilai bunga deposito atau tabungan, tidak memperbolehkan penarikan tunai dalam jumlah yang besar pada pemilu, dan tidak memperbolehkan nilai uang cash dalam jumlah besar tertentu, di mana bank sentral independen dari pengaruh politik. Kelima, sistem proporsional terbuka berkontribusi atas maraknya politik uang karena caleg dipaksa bertarung antar sesama caleg dalam satu partai untuk mengejar personal vote. Kemudian karena kursi yang



12



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



diperoleh partai diberikan kepada kandidat dengan suara terbanyak, maka mereka hanya memerlukan “sedikit” suara untuk mengalahkan rival separtainya. Politik uang merupakan mekanisme diferensiasi seorang caleg dalam rangka memberi nilai lebih di mata pemilih dibanding pesaing internal (Burhanuddin dkk, 2019). Sejalan dengan pendapat Edward dkk (2018) vote buying dan bertukar daftar klien dapat berkembang dalam situasi di mana partai politik relatif lemah seperti Thailand, sedangkan di Amerika Latin, yang relatif berfokus pada partai, menimbulkan asumsi bahwa para pelaku yang melakukan pembelian suara adalah agen partai (meskipun di sini juga, telah ditunjukkan bahwa partai merekrut broker non-partai: Holland dan Palmer-Rubin 2015). Sebagian besar diskusi tentang “turnout buying,” khususnya, muncul dari diskusi tentang politik klientelist di Argentina, di mana pemilihan menggunakan daftar proporsional daftar tertutup di mana tingkat identifikasi partai dalam populasi relatif tinggi, sehingga dapat menekan vote buying. Rekomendasi Perbaikan Untuk Pelanggaran Politik Uang Pencegahan mahar politik dan politik uang, dikaji melalui peraturan hukum, lembaga terkait, proses tahapan Pemilu, pengawasan dan praktik terbaik yang telah dilaksanakan oleh negara-negara luar yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Konsep pencegahan ini mengembangkan model strategi yang diungkapkan oleh IDEA (2017) dan Indah (2016). Strategi pencegahan politik uang dan mahar dalam penelitian ini dilihat dari aspek penguatan kelembagaan, hukum, stakeholder terkait dan aspek moneter. Proses pencegahan politik uang dapat dimulai saat sebelum, selama dan setelah pemilu dilaksanakan. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah: Memperkuat Aturan Hukum Melalui Sanksi Pidana dan Administratif Peraturan terkait politik uang dan mahar politik yaitu UU Nomor 10 Tahun 2016, dan UU Nomor 1 Tahun 2015 mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur, Walikota ataupun Bupati. Peraturan pada undang-undang Pilkada tidak hanya memberikan sanksi pidana kepada orang yang melakukan mahar, tapi juga administrastif. Pelanggar dilarang mengajukan calon kepala/wakil kepala daerah untuk periode berikutnya. Sanksi lain adalah pembatalan atas penetapan calon terpilih, kepala daerah yang dilantik. Berbeda dengan itu, undang-undang Pemilu nomor 7 Tahun 2017, sanksi hanya sebatas pelarangan terhadap partai politik untuk mengajukan calon presiden pada periode berikutnya. Aturan itu tidak menyebutkan mengenai pembatalan pasangan calon, calon terpilih atau perberhentian Presiden atau Wakil Presiden yang telah dilantik. Peraturan KPU nomor 22 Tahun 2018 tidak mengatur lebih lanjut tentang mahar. Seharusnya Undang-undang Pemilu dapat segera direvisi menyesuaikan dengan undang-undang Pilkada, setidaknya jika undangundang tidak terbentuk, peraturan pemerintah bisa mengatur peraturan ini secara rinci.



13



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Jadi, aturan hukum harus direvisi untuk memperjelas sanksi hukum dan sanksi administrasi jika terjadi pelanggaran mengenai mahar politik ataupun politik uang. Aturan ini juga harus lebih mempermudah pengawas untuk membuat alat bukti. Sesuai teori Von Feurbach, kriminalisasi yang disertai ancaman hukuman yang berat memberikan efek psikologis yang mencegah seseorang melakukan kejahatan serupa. Meningkatkan Kapasitas dan (Infrastruktur dan Suprastruktur)



Efektifitas



Lembaga



Pemerintahan



Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat harus membuat aturan terkait yang jelas sanksi atas pelanggaran. Memberikan sanksi yang jelas, tegas dan tidak pandang bulu bagi pelaku politik uang dan mahar politik. Kedua, Lembaga Yudikatif, menetapkan efektifitas penerapan hukum melalui peningkatan keterpaduan kerja antar penegak hukum, peningkatan kemampuan kerja antar aparat penegak hukum, peningkatan kemampuan penguasaan hukum, keterampilan yuridis, peningkatan integritas moral, profesionalisme, sarana dan prasarana yang diperlukan. Melaksanakan eksekusi hukuman secara efektif melalui pengawasan oleh pengadilan. Ketiga, meningkatkan efektifitas fungsi pers. Mengembalikan peran pers sebagai media yang memuat informasi yang benar, akurat dan seimbang yang tidak memihak dan mengkritisi setiap temuan politik uang dan mahar politik sehingga informasi yang ada dilapangan bisa cepat diketahui. Keempat, Meningkatkan peran Universitas dalam pendidikan politik. Universitas bisa menjadi sarana untuk pendidikan moral dan politik, sehingga masyarakat bisa membangun ideologi yang tepat, tidak terpengaruh dengan mahar politik dan politik uang. Selain itu, perlu adanya penyempurnaan sistem pendidikan profesi dengan memprioritaskan kurikulum yang menunjang penguasaan materi hukum dan keterampilan teknis yuridis, peningkatan integritas moral, peningkatan prfoseionalisme, serta menunjang komitmen dan disiplin. Kelima, Peningkatan Peran Organisasi Masyarakat (NGO), Masyarakat Sipil Pemerhati Pemilu. Masyarakat sipil dan organisasi berfungsi sebagai pengawas Pemilu dan mengkritisi pemerintah, sehingga keganjalan yang terjadi dilapangan dapat dilaporkan oleh masyarakat sipil. Selain itu masyarakat sipil perlu dibentuk persepsinya sehingga memiliki ideologi pancasila, memiliki integritas, kejujuran sehingga tidak tertarik dengan politik uang. Keenam, Peningkatan Kompetensi Peserta Pemilu melalui kaderisasi partai politik. Membangun ideologi, visi, misi dan program kerja yang jelas, terukur dan dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat. Membangun integritas dan moral dengan melaksanakan kode etik dan pengawasan internal secara berkesinambungan. Ketujuh, Peningkatan efektifitas peran partai politik, memiliki standar baku (SOP atau peraturan) sistem kaderisasi ketua dan anggota Parpol, penilaian jelas dan terukur dalam perekrutan anggota parpol, perekrutan dilakukan secara berkesinambungan dan berjenjang.



14



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Perekrutan anggota transparan dan informasi dapat diakses oleh umum (rekrutmen politik terbuka). Menurut Fadli (2018), pendidikan masyarakat harus ditingkatkan melalui pendidikan politik yang diberikan oleh Partai Politik ataupun Penyelenggara Pemilu melalui sosialisasi tahapan Pemilu. Masyarakat yang cerdas dapat dicirikan sebagai masyarakat yang melek politik, yang mengetahui tentang situasi politik, tahapan pemilu serta mengetahui program kerja, visi misi kandidat ataupun partai politik, serta rekam jejak mereka. Dilain sisi, aktor politik disini juga harus diberikan sosialisasi ataupun pendidikan untuk menyadarkan bahwa kemenangan Pemilu hanyalah 10 sampai 15 persen saja yang dipengaruhi oleh money politic sesuai dengan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Psikologi aktor politik yang selalu berfikir para penantangnya akan melakukan hal serupa, sehingga tidak percaya diri dengan apa yang mereka tawarkan. Kedelapan, peningkatan efektifitas lembaga pengawasan internal (inspektorat), pengawasan eksternal (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Ketiga lembaga ini berperan dalam mengendalikan proses tahapan pemilu agar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Politik uang dan mahar politik akan dicatat sebagai pelanggaran oleh Bawaslu dengan bukti yang jelas dan akan ditindaklanjuti oleh lembaga wewenang kepolisian dan kejaksaan jika terjadi tindak pidana. Sedangkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menangani pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu jika terbukti sebagai penerima suap politik uang sehingga menghilangkan integritas dan kode etik penyelenggara. Kesembilan, meningkatkan integritas dan kompetensi lembaga penyelenggara Pemilu, dengan cara menyusun peraturan teknis, penetapan keputusan strategis, pelaksanaan tahapan pemilu, dan pilkada sesuai aturan dan kode etik yang berlaku. Rekrutmen penyelenggara pemilu harus transparan dan mengutamakan independensi, integritas, kompetensi dan keahlian.



15



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id Gambar 1. Rekomendasi Pencegahan Politik Uang dan Mahar Politik Melalui Penguatan Kelembagaan, Hukum, Stakeholder, dan Pembenahan Sistem Pemilu



Mulai



INFR ASTR UKTU R



- Masyarakat cerdas politik - Kandidasi Pemimpin transparan - Calon Pemimpin integritas, kompeten - Transparansi pengelolaan keuangan Parpol - Efektifitas fungsi pers - Masyarakat Sipil ideologi pancasila - Efektifitas pemantau dan pengawas Pemilu



- Partai Politik - Tokoh politik - Masyarakat/ Organisasi Masyarakat - Pers/Media - Universitas



- Partai Politik - Calon, - Masyarakt



SUPRA STRUK TUR



- Revisi UU Sanksi Tegas dan Jelas - Peningkatan kompetensi, integritas moral suprastruktur - Membentuk Pokja “Stop Politik Uang dan Mahar Politik” - Teknologi pemantau terintegrasi



- Legislatif - Yudikatif



Politik Uang



SIST EM PEM ILU



-



PEMBENA HAN



Politik Uang Dicegah



Sistem seleksi administrasi Calon Sistem pendataan pemilih Sistem kampanye, Sistem pemungutan Rekapitulasi suara.



Pembenahan Sistem Pemilu Pembenahan dilakukan dengan cara mengganti sistem Pemilu lama menjadi sistem Pemilu campuran yaitu mengkombinasikan sistem distrik dan proporsional dengan perbandingan PR: 60:40 dan 50:50. Perbedaan komposisi ini bertujuan untuk memperlihatkan dampak kombinasi terhadap besaran daerah pemilihan dan kursi sehingga akan berguna dalam proses pembuatan keputusan untuk menyederhanakan partai secra alami, sehingga tidak diperlukan lagi adanya ambang batas presiden ataupun parlemen. Sistem pemilu campuran dipilih untuk melengkapi kekurangan di antara sistem distrik dan proporsional, dengan cara mengkombinasikan antara sistem pemilu distrik dengan proporsional. Konsep perwakilan proporsional mendesain perwakilan secara berimbang antara jumlah wakil dengan jumlah perolehan suara secara nasional, sedangkan konsep perwakilan distrik membagi wakil berdasarkan distrik pemilihan.



16



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Di sisi lain sistem campuran juga menutup kelemahan dari sistem distrik yaitu dengan tetap menggunakan sistem proporsional untuk mengakomodir kelompok yang heterogen dan minoritas. Penerapan sistem campuran dilakukan dengan langkah sebagai berikut: pertama, daerah pemilihan terbagi atas daerah pemilihan berdasarkan sistem distrik dan daerah pemilihan berdasarkan sistem proporsional. Kedua, terdapat dua calon yang ikut dalam pemilu yaitu calon yang maju melalui sistem distrik (mayoritarian) dan calon yang maju menggunakan sistem proporsional. Pada sistem pemilu proporsional, dimana distribusi kursi di antara partai politik peserta pemilu dibagi berdasarkan proporsi perolehan suara secara nasional menurut jumlah bilangan pembagi tertentu. Sistem pemilu proporsional cenderung memperbesar jumlah partai efektif yang berdampak pada terbentuknya sistem multipartai. Polarisasi yang tercipta dalam sistem multipartai tidak jarang memicu instabilitas pemerintahan dan demokrasi, yang disebabkan oleh sulitnya menyatukan berbagai kutub kepentingan yang saling bertabrakan. Sedangkan sistem distrik pemenang suara terbanyak pertama mewakili distriknya, sedangkan calon pemenang kedua, ketiga, dan seterusnya terbuang begitu saja tanpa dapat diperhitungkan dan dijadikan bilangan pembagi dalam perolehan kursi. Hasil rekayasa menunjukan bahwa sistem pemilu paralel dapat menciptakan pemenang pemilu mayoritas minimal di parlemen. Sesuai hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurhasim (2014) dengan data Pemilu 2009 menunjukkan pemenang Pemilu memperoleh 36% suara, sedangkan hasil simulasi dengan data Pemilu 2014 menggambarkan pemenang pemilu memperoleh 26% suara. Pembuktian atas bekerjanya Sistem Pemilu Paralel di atas telah diuji coba oleh tim peneliti dengan melakukan simulasi menggunakan data Pemilu 2009 dan Pemilu 2014, bahwa Sistem Pemilu Paralel dapat menciptakan pemenang pemilu mayoritas minimal di parlemen. Dengan adanya sistem pemilihan modifikasi campuran ini membuka peluang untuk menutup kelemahan sistem pemilu sebelumnya, yaitu meningkatkan hubungan antar pemilih dan wakilnya yang tidak terputus pasca pemilu pada akhirnya akan memperkuat sistem presidensial, dapat meminimalisir politik uang dan menekan jumlah caleg instan menjelang pemilu yang merusak kaderiasasi partai politik. Menekan Praktik Klientaslime Dalam Politik Praktik klientalisme dapat ditekan dengan cara meningkatkan sumber daya ekonomi yang berasal dari berbagai sektor. Menurut Ward & Aspinal (2018) jika pada suatu wilayah sumber daya ekonomi berasal dari sedikit sektor pemerintah maka besar kemungkinan praktik klientalisme tinggi. Hal ini dikarenakan masyarakatnya tergantung kepada sektor pemerintahan sebagai sumber pendapatan, sehingga mereka cenderung mengambil posisi yang aman dengan mendukung pemerintahan yang berkuasa. Hal ini juga berlaku untuk legislatif, eksekutif, pers dan organisasi non pemerintah lainnya. Kondisi yang berbeda terjadi pada wilayah yang mempunyai lebih banyak ragam sektor ekonomi. Masyarakat memiliki alternatif mata pencarian diluar sumber daya negara



17



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



dan lebih memiliki peluang untuk menghadirkan figur alternatif yang bebas dari praktik klientalisme (Ward&Aspinal, 2018). Aspek Moneter Solusi dari aspek moneter untuk menekan politik uang dapat dilakukan melalui kerjasama dengan Perbankan. Pada bulan kampanye dan pada saat hari tenang sampai pemungutan suara berlangsung dilakukan kebijakan jangka pendek moneter. Jangka pendek moneter dapat dilakukan dengan cara menekan pertumbuhan jumlah uang beredar, melakukan mekanisme kontrol terhadap transaksi mencurigakan dan penarikan tunai dalam jumlah sebesar tertentu pada saat pemilu, di mana bank sentral independen dari pengaruh politik. KESIMPULAN Persoalan politik uang perlu dianalisis untuk mendapatkan strategi efektif dalam pencegahannya. Politik uang tidak sesuai dengan prinsip teori demokrasi yang menuntut adanya kebebasan dan keadilan. Pemilu dikatakan adil apabila semua masyarakat memiliki hak yang sama untuk memilih pemimpin dengan cara yang tidak melanggar aturan. Politik uang dan mahar politik ampuh dalam mempengaruhi perilaku pemilih. Sesuai dengan teori perilaku pemilih bahwa pemilih yang cendrung rasional akan menimbang untung dan ruginya. Persepsi rasional disini lebih cenderung negatif karena mementingkan keuntungan pribadi secara ekonomi diatas kepentingan negara sehingga munculnya krisis budaya politik, krisis integritas, dan kepercayaan hukum. Pencegahan politik uang dapat dilakukan secara sistemik dan simultan melalui efektifitas fungsi suprastruktur dan infrastruktur politik, pembenahan sistem politik, budaya politik, pendidikan moral dan politik masyarakat dengan strategi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. DAFTAR PUSTAKA Jurnal Aidt, Toke dkk. 2019. “Vote Buying or (Political) Business (Cycle) . Review of Economics and Statistics Journal” . hal 1-45 Agustyati, Khoirunnisa. 2016. “Menata Ulang Mekanisme Pendaftaran Pemilih Pilkada, Jurnal Pemilu dan Demokrasi”, Edisi April, No 8, hal 43-61 Dwipayana, Ari AAGN. 2009. “Demokrasi Biaya Tinggi: Dimensi Ekonomi dalam Proses Demokrasi Elektoral di Indonesia Pasca Orde Baru”. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik. Volume 12, Nomor 3 Dwipayana, Ari AAGN. 2005. “cost of democracy di tiga kabupaten Yogyakarta”: Fisip UGM. Hal.17-20 Dendy Lukmajati. 2016. “Praktek Politik Uang Dalam Pemilu Legislatif 2014 Studi Kasus Kabupaten Blora”. Politika: Jurnal Ilmu Politik. Volume 7 Nomor 1



18



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Edward, Aspinall dkk. 2017. “Vote Buying In Indonesia: Candidate Strategies, Market Logic And Effectiveness. Journal of East Asian Studies”. Vol 17 no. 1. hal 1-27 Eklit,Jorgen dan Andrew Reynolds. 2005. “Framework for the Systematic Study of Election Quality. Journal Democratization”. Vol 12 No 2. hal 147-162. Faris Nadisa Rahman.2010. “Persepsi pengaruh politik uang dan jaringan sosial terhadap perilaku pemilih pada kemenangan pasangan calon dr. Hj. Widya Kandi Susanti dan wakilnya H. Mukh Mustamsikin, S.Ag, M.Si”. www.fisip.undip.ac.id Holland, Alisha C., dan Brian Palmer-Rubin. 2015. “Beyond the Machine: Clientelist Brokers and Interest Organizations in Latin America. Comparative Political Studies Journal”. Vol 48 no 9 hal 1186–1223. Irawan, Dedi. 2015. “Studi Tentang Politik Uang (Money Politics) dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014”.ejournal.ip.fisip-unmul.ac.id. Vol. 2 No 4 Jensen, Peter Sandholt dan Morgan K. Justesen. 2013. “Poverty and Vote Buying: Survey-based evidence from Africa (Accepted Manuscript) dalam Electoral Studies” (2013), doi: 10.1016/j.electstud.2013.07.020 Mutahdi, Burhanuddin. 2019. “Politik Uang dan New Normal Dalam Pemilu Paska Orde Baru.Jurnal Anti Korupsi Integritas”. Vol 5 no 1 hal 55-74 Nurhasim, Moch dan Sri Yanuarti. 2013. “Mencari Sistem Pemilu Dan Kepartaian Yang Memperkuat Sistem Presidensial”. Vol 10 no 2. Sri Wahyu Ananingsih.2016. “Tantangan dalam penanganan Dugaan Praktik Politik Uang Pada Pilkada Serentak 2017”. Jurnal: MasalahMasalah Hukum, jilid 45 no. 1, halaman 49-57 Utari, Indah Sri. 2016. “Pencegahan Politik Uang dan Penyelenggaraan Pilkada yang berkualitas: Sebuah Revitalisasi Ideologi”. journal.unnes.ac.id. Volume 2 Nomor 1 Vilalta, Carlos. 2010. “Vote buying crime reports in Mexico: Magnitude and Corelate”. Crime, Law and Social Change An Interdisciplinary Journal. Vol 54 no. 5 hal 325-337 Buku Effendi, Tohir. 2001.“Teori Politik Modren”. PT. Raja Grafindo Persada Hopkin, J.2006. “Clientelism and Party Politics. In Richard S. Katz & William Crotty (eds.), Handbook of Party Politics”. London: Sage Publication. Internasional institute for Democracy and Electoral Assistance. 2017. “Money, influence, corruption and capture:can democracy be protected?”. www.idea.int Indra Ismawan. 1999. “Money politic: pengaruh uang dalam pemilu”. Media pressindo Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA).2002. “Standar International Untuk Pemilihan Umum”. Bulls Tryckeri Imam Hidayat.2009. “Teori-teori Politik”. Setara Pers Kenneth Newton dan Jan W Van Deth. 2010. “Perbandingan sistem politik teori dan fakta”. Nusa Media Zamora, Kevin Casas, dkk. International IDEA. 2006. “The cost of democracy”. www.idea.int



19



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Tesis Marli,Hasnul. 2018. “Integritas Penyelenggaraan Pemilu Dalam Penyelenggaraan Pilkada Serentak Di Sumatera Barat Tahun 20152017”. Tesis: Universitas Andalas Opini Delia Wildianti. 2018. “mahar Politik dan Korupsi sistemik” http://www.puskapol.ui.ac.id Fauziah Mursid, “Definisi mahar politik menurut Fadli zon”. http://nasional.republik.co.id Fadhli Ramadhani. 2018. “Cara Paling Efektif Berantas Politik Uang Menurut Peneliti Perludem”. www.m.tribunnews.com Kompas. “Bawaslu Proses 35 Kasus Dugaan Politik Uang di Pilkada 2018 Terbanyak di Sulsel”. https://nasional.kompas.com Saleh, Taufikurrahman. 2006. “Surplus atau defisit demokrasi? Pilkada dibanyak daerah”. Opini Jawa Pos. Makalah Bratton, Michael dan Mwangi Kimenyi.2008. “Voting in Kenya: Putting Ethnicity in Perspective”. University of Connecticut, Department of Economics Wahyudi Kumorotomo.2009. “Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi: Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung”. Makalah Konfrensi Administrasi Negara. www.kumoro.staff.ugm.ac.id Laporan Badan Pengawas Pemilu. 2019. “Data Pelanggaran Pemilu Tahun 2019”. diunduh pada tanggal 25 Mei 2019. https://www.bawaslu.go.id/sites/default/files/hasil_pengawasan/Dat a%20Pelanggaran%20Pemilu%20Tahun%202019%20per%2025%20M aret%202019.pdf Badan Pengawas Pemilu.2014, 2015, 2018. “Indeks Kerawanan Pemilu” Badan Pengawas Pemilu.2019. “Indeks Kerawanan Pemilu” Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan Alla. 2018. “Indeks Kerawanan Pemilu Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang” Peraturan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD UU no 1 tahun 2015 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang UU nomor 10 tahun 2016, tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Peraturan KPU nomor 22 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden



20



REKRUTMEN DAN PELATIHAN PANITIA PEMILIHAN KECAMATAN (PPK) PADA PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI OGAN KOMERING ULU TAHUN 2020 Taufik Hidayat Program Tata Kelola Pemilu Batch V, Universitas Lampung, Bandar Lampung, Indonesia E-mail : [email protected]



ABSTRAK Kabupaten Ogan Komering Ulu merupakan salah satu dari 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota di wilayah Indonesia yang menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak. Tahapan Pemilihan Kepala Daerah pada saat ini telah memasuki tahapan pembentukan Badan Penyelenggara Adhoc. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Ogan Komering Ulu telah melaksanakan rekrutmen dan pelatihan terhadap Panitia Pemilihan Kecamatan. Penulis tertarik untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana proses rekrutmen Panitia Pemilihan Kecamatan di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan bagaimana pengaruh pelatihan terhadap peningkatan pengetahuan Panitia Pemilihan Kecamatan di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Teknik Pengumpulan data dengan cara observasi dan dengan cara memberikan soal-soal pretest dan posttest kepada seluruh Panitia Pemilihan Kecamatan di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Ogan Komering Ulu melaksanakan tahapan-tahapan perekrutan Panitia Pemilihan Kecamatan Kabupaten Ogan Komering Ulu mulai dari pendaftaran sampai dengan pelantikan dengan mempedomani peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pelatihan yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Ogan Komering Ulu berpengaruh signifikan terhadap peningkatan pengetahuan Panitia Pemilihan Kecamatan Kabupaten Ogan Komering Ulu. Kata Kunci : Panitia Pemilihan Kecamatan, Rekrutmen, Pelatihan, Pemilihan Kepala Daerah



THE RECRUITMENT AND TRAINING OF THE SUB DISTRICT ELECTION COMMITTEES (PPK) OF THE REGENT AND DEPUTY REGENT 2020 ELECTION IN OGAN KOMERING ULU ABSTRACT The Ogan Komering Ulu is one of the Regency from 9 Provinces, 224 Regencies and 37 Cities in Indonesia which held the Simultaneous Regional Head Elections in 2020. The stage of the Regional Election has now entered the stage of forming Adhoc election management body. The Ogan Komering Ulu General Election Commission had carried out recruitment and training of the District Election Committees. The author interested in figure out and analize the recruitment process of the Sub District Election Committees in Ogan Komering Ulu Regency and the influence of the training in improving knowledge of the Sub District Election Committee in Ogan Komering Ulu Regency. This research used quantitative research method. Data collection techniques were obtained by observing and giving pretest and post-test questions to the entire Sub District Election Committees in Ogan Komering Ulu Regency. The Ogan Komering Ulu General Election Commission implemented the recruitment stages of the Ogan Komering Ulu Sub District Election Committee starting from the registration until the inauguration guiding recent applicable laws and regulations. The result 1



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id shows that the training organized by the Ogan Komering Ulu General Election Commission was significantly affected knowledge improvement of the Ogan Komering Ulu Sub District Election Committees. Keywords: District Election Committees, Recruitment, Training, Regional Head Election



PENDAHULUAN Pemilihan Kepala Daerah diselenggarakan serentak, diikuti oleh 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota di wilayah Indonesia. Tahapan Pemilihan Kepala Daerah pada saat ini telah memasuki tahapan pembentukan Badan Penyelenggara Adhoc yang dimulai pada tanggal 15 Januari sampai dengan 28 Agustus 2020 sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020. KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu telah melaksanakan rekrutmen dan pelatihan bagi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kabupaten Ogan Komering Ulu. Pelatihan yang diselenggarakan setelah acara pelantikan ini menghasilkan dua output sekaligus yaitu terbentuknya PPK secara resmi dan meningkatnya pengetahuan PPK tentang Kepemiluan. Hal ini mencerminkan bahwa KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu memperhatikan prinsip-prinsip good governance dengan berupaya mengelola anggaran Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Ogan Komering Ulu Tahun 2020 secara efektif dan efisien. Menurut Nurmansyah (2011:71), rekrutmen merupakan kegiatan untuk mendapatkan tenaga kerja baru untuk mengisi lowongan-lowongan jabatan yang ada pada unit-unit dalam perusahaan. Sedangkan menurut Sonny dalam (Sinambela, 2016:169), pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan sumber daya manusia, pendidikan dan latihan tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga meningkatkan keterampilan bekerja sehingga meningkatkan produktivitas kerja. Kegiatan pelatihan ini juga merupakan strategi KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu dalam upaya memperkuat kelembagaan, untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran yang dapat terjadi akibat kurangnya pemahaman PPK dalam menjalankan tugas di lingkungan wilayah kerjanya. Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting untuk dilakukan guna mengetahui bagaimana proses rekrutmen PPK di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan untuk mengetahui bagaimana pengaruh pelatihan yang diselenggarakan oleh KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu terhadap peningkatan pengetahuan PPK di Kabupaten Ogan Komering Ulu sebagai bekal dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajibannya, demi menyukseskan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Ogan Komering Ulu Tahun 2020. Tugas, wewenang dan kewajiban PPK diatur dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.



2



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Penelitian terdahulu diteliti oleh Haris (2016) dengan judul penelitian “Kinerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD Dan DPRD Tahun 2014 di Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong”. Permasalahan Penelitiannya adalah untuk mengetahui kinerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 di Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong. Metode penelitian menggunakan jenis deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menyatakan bahwa Kinerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kecamatan Palasa belum maksimal dalam menghasilkan penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 di Kecamatan Palasa, yang didasarkan atas produktivitas, responsivitas, dan akuntabilitas. Selain itu, keterbatasan kemampuan yang dimiliki anggota PPK tidak lain adalah keterbatasan dalam pengetahuan, keterampilan, maupun kompetensi serta kesibukan pada profesi lainnya dimana sebagian besar anggota PPK belum pernah melaksanakan tugas Pemilu sebelumnya sehingga banyak kekurangan. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Aziza, A. D. (2016) dengan judul “Rekrutmen dan Pembekalan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Samarinda Tahun 2015 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Samarinda”. Permasalahan penelitiannya adalah untuk mengetahui tahapan seleksi, bimbingan teknis yang dilakukan, dan faktor penghambat serta faktor pendukung dalam kegiatan rekrutmen yang dilaksanakan sebagai salah satu tugas dan wewenang dari KPU Kota Samarinda. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa KPU Kota Samarinda menyelenggarakan rekrutmen anggota PPK dan PPS sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2015 yang dimulai melalui sosialisasi menyeluruh menggunakan media elektronik maupun cetak, selanjutnya mengadakan tahap seleksi meliputi seleksi administrasi, tes tertulis dan tes wawancara. Selanjutnya anggota yang terpilih akan mendapatkan bimbingan teknis (Bimtek) seperti pembekalan Sumber Daya Manusia (SDM) serta pengolahan data dan sistem informasi perhitungan suara (Situng). Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh hasil kinerja yang berkualitas dan bertanggung jawab melihat sebagian besar peserta adalah orang-orang baru di jabatannya. Penelitian berikutnya oleh Turambi, J. M. (2017) dengan judul “Kinerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kecamatan Tomohon Barat pada Penyelenggaraan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Tomohon Tahun 2015”. Permasalahan penelitiannya adalah penelitian ini berupaya menggali aspek keunggulan dari kinerja PPK di Kecamatan Tomohon Barat pada pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tomohon Tahun 2015. Desain penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif. Hasil penelitian adalah Iklim keterbukaan yang dibangun di dalam organisasi PPK Tomohon Barat merupakan salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab PPK Tomohon Barat. Dari 3



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



penelitian ini ditemukan bahwa aspek pengalaman, profesionalitas, dan integritas menjadi kata kunci keberhasilan kinerja PPK Tomohon Barat. Dari penelitian ini diperoleh pula temuan penting bahwa aspek leadership merupakan kunci keberhasilan manajemen organisasi. Sementara itu pola human relation yang diterapkan, menjadi salah satu kunci keberhasilan kinerja PPK Tomohon Barat. Penelitian terdahulu di atas mempunyai persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama meneliti tentang PPK, namun perbedaannnya adalah dalam penelitian ini lebih fokus membahas proses rekrutmen PPK di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan bagaimana pengaruh pelatihan yang diselenggarakan oleh KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu terhadap peningkatan pengetahuan PPK di Kabupaten Ogan Komering Ulu. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif, menggunakan one group pretest-posttest design. “M Sugiyono (2012:110) menyatakan bahwa one group pretest-posttest design adalah suatu teknik untuk mengetahui efek sebelum dan sesudah pemberian perlakuan. Secara bagan, desain kelompok tunggal desain pretest dan posttest dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1



One group pretest-posttest design Pretest O1



treatment X



Posttest O2



O1 = nilai pretest (sebelum diberi treatment) O2 = nilai posttest (setelah diberi treatment) X = treatment (pelatihan) Sumber : Sugiyono (2012: 111)



Teknik Pengumpulan data dengan cara observasi dan dengan cara memberikan soal-soal pretest dan posttest kepada seluruh PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu. Menurut Anas Sudijono (1996:69), Pretest atau tes awal yaitu tes yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh manakah materi atau bahan pelajaran yang akan diajarkan telah dapat dikuasai oleh siswa. Sedangkan menurut Anas Sudijono (1996:70), Posttest atau tes akhir adalah tes yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui apakah semua materi yang tergolong penting sudah dapat dikuasai dengan sebaik-baiknya oleh siswa. Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial dengan tipe statistik parametrik. Perangkat lunak yang dipakai adalah IBM SPSS Statistics version 26.0. Ce Gunawan (2020:22) menyatakan bahwa Statistik deskriptif lebih kepada bagaimana menggambarkan atau mendeskripsikan segala sesuatu yang berhubungan dengan pengumpulan, peringkasan serta penyajian hasil dari peringkasan data, seperti: mean, median, modus, quartile, varians, dan standar deviasi. 4



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Statistik inferensial dapat digunakan untuk membuat berbagai inferensi terhadap sekumpulan data yang berasal dari suatu sampel. Statistik parametrik merupakan salah satu tipe dari statistik inferensial, digunakan dengan syarat data harus berdistribusi normal. Pengujian yang dipakai dalam statistik parametrik adalah uji perbedaan terdiri dari independent sample t test, paired sample t test, one sample t test, serta uji asosiasi terdiri dari korelasi, Chi square, regresi (Jubile Enterprise, 2018:9). HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Rekrutmen PPK PPK harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan agar memenuhi kualifikasi dan kompetensi dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya. Syarat untuk menjadi anggota PPK diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2015 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi/Komisi Independen Pemilihan Aceh dan Komisi Pemilihan Umum/Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota tentang Pembentukan dan Tata Kerja Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dan dikelola oleh unit kerja yang menangani bidang Sumber Daya Manusia. Jumlah PPK adalah 5 orang untuk setiap kecamatan. Jumlah kecamatan di Kabupaten Ogan Komering Ulu adalah 13 kecamatan, maka jumlah PPK di Kabupaten Ogan Komering Ulu adalah 65 orang. Biaya perekrutan dan pelatihan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2020 direalisasikan sesuai dengan anggaran hibah Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Ogan Komering Ulu Tahun 2020, yang telah disusun berdasarkan Keputusan KPU RI Nomor 1312/HK.03.1-Kpt/01/KPU/VIII/2019 tentang Standar dan Petunjuk Teknis Penyusunan Anggaran Kebutuhan Barang/Jasa dan Honorarium Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020 beserta perubahannya, dengan mempedomani prinsip-prinsip keuangan Pemilu yaitu transparan, integritas, efektif dan efisien. Anggaran hibah Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Ogan Komering Ulu Tahun 2020 dari Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu kepada KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu, diregister ke Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) sehingga pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran ini menggunakan standar mekanisme APBN. Keputusan KPU RI Nomor 88/Kpts/KPU/TAHUN 2016 menyatakan bahwa “Proses registrasi hibah merupakan entry point untuk memasukan hibah dalam mekanisme APBN, tanpa adanya nomor register akan berpengaruh terhadap proses pelaksanaan dan pertanggungjawaban hibah selanjutnya”. 5



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu mempersiapkan perencanaan rekrutmen dengan membuat timeline pembentukan PPK Kabupaten Ogan Komering Tahun 2020, dimulai dari pengumuman seleksi hingga penetapan keputusan dan pelantikan PPK terpilih. Tabel 1 Timeline Pembentukan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2020



No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14



Kegiatan Pengumuman Penerimaan Pendaftaran Penelitian Administrasi Pegumuman Hasil Penelitian Administrasi Seleksi Tertulis Pemeriksaan Hasil Seleksi Tertulis Pengumuman Hasil Seleksi Tertulis Tanggapan Masyarakat Tahap I Wawancara Pengumuman Hasil Seleksi Wawancara (10 besar) Tanggapan Masyarakat Tahap II Klarifikasi Tanggapan Masyarakat Tahap II Pengumuman Pasca Hasil Klarifikasi Tanggapan Masyarakat Tahap II Pelantikan PPK



Durasi 3 hari 7 hari 3 hari 2 hari 1 hari 3 hari 3 hari 9 hari



Tanggal 15-17 Januari 18-24 Januari 25-27 Januari 28-29 Januari



2020 2020 2020 2020



30 Januari 2020 31 Januari 2 Februari 2020 3-5 Februari 2020



3 hari 7 hari



28 Januari 5 Februari 2020 8-10 Februari 2020 15-21 Februari 2020



7 hari



15-21 Februari 2020



4 hari



22-25 Februari 2020



3 hari



26-28 Februari 2020



1 hari



29 Februari 2020



Sumber: diperoleh dari sumber data primer.



Surat Ketua KPU RI Nomor 12/PP.04.2-SD/01/KPU/I/2020 tanggal 10 Januari 2020 tentang pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam Pemilihan Serentak Tahun 2020, menyatakan bahwa dalam hal sampai dengan masa pendaftaran berakhir tidak ada peserta yang mendaftar atau kurang dari 2 (dua) kali jumlah PPK yang dibutuhkan, KPU Kabupaten/Kota membuka perpanjangan waktu pendaftaran selama 3 (tiga) hari, sedangkan di Kabupaten Ogan Komering Ulu, peserta yang mendaftar lebih dari 2 (dua) kali jumlah PPK yang dibutuhkan, sehingga tidak ada perpanjangan waktu pendaftaran. Rekrutmen PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu berpedoman pada: a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 6



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang; b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum; c. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2015 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi/Komisi Independen Pemilihan Aceh dan Komisi Pemilihan Umum /Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota tentang Pembentukan dan Tata Kerja Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dan dikelola oleh unit kerja yang menangani bidang Sumber Daya Manusia; dan d. Surat Ketua KPU RI Nomor 12/PP.04.2-SD/01/KPU/I/2020 tanggal 10 Januari 2020 tentang pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam Pemilihan Serentak Tahun 2020. Tabel 2 Jumlah Peserta Rekrutmen Anggota PPK



Peserta Peserta Peserta Peserta Peserta



yang yang yang yang yang



Peserta mendaftar lulus seleksi administrasi lulus tes tertulis lulus tes wawancara terpilih



Jumlah 314 orang 254 orang 125 orang 123 orang 65 orang



Sumber: diperoleh dari sumber data primer



KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu menetapkan keputusan Nomor 45/PP.04.2-Kpt/1601/KPU-Kab/II/2020 tanggal 28 Februari 2020 tentang Penetapan dan Pengangkatan Panitia Pemilihan Kecamatan Kabupaten Ogan Komering Ulu. Pelantikan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu dilaksanakan pada tanggal 29 Februari 2020. PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu mengucapkan sumpah/janji sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Setelah mengucapkan sumpah/janji, PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu menandatangani Pakta Integritas sebagaimana yang tercantum dalam Surat Ketua KPU RI Nomor 12/PP.04.2SD/01/KPU/I/2020 tanggal 10 Januari 2020 tentang pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam Pemilihan Serentak Tahun 2020. 2. Pelatihan Pretest diberikan setelah pelantikan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu atau sebelum pembekalan pelatihan dimulai, sedangkan Posttest diberikan setelah pembekalan pelatihan selesai atau sebelum acara penutupan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Slamet Riyanto & Aglis Andhita Hatmawan (2020:100) yang menyatakan bahwa data pretest diperoleh sebelum sample mendapatkan treatment atau perlakukan khusus dan data



7



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



posttest diperoleh setelah sample mendapatkan treatment atau perlakukan khusus. Tabel 3 Jadwal Acara Pelantikan dan Pembekalan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2020



No 1



2



Tanggal 29/02/2020



01/03/2020



Pukul (WIB) 08:00-09:00 09:00-10:00 10:00-10:15 10:15-12:15 12:15-13:30 13:30-15:30 15:30-16:00 16:00-18:00 18:00-20:00 18:00-20:00 09:00-11:30 11:30-12:00



Acara Registrasi Pelantikan Coffee Break Materi 1 Ishoma Materi 2 Coffee Break Materi 3 Ishoma Materi 4 Materi 5 Penutupan



Keterangan Panitia Pemateri Pemateri Pemateri Pemateri Pemateri



Sumber: diperoleh dari sumber data primer Tabel 4 Muatan Soal Pretest dan Posttest



No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21



Muatan Soal Sejarah Kepemiluan Sistem Pemilu di Indonesia Tokoh Nasional Penyelenggara Pemilu Asas Penyelenggaraan Pemilu Prinsip Penyelenggaraan Pemilu Pengaturan Penyelenggaraan Pemilu Tugas Panitia Pemilihan Kecamatan Wewenang Panitia Pemilihan Kecamatan Kewajiban Panitia Pemilihan Kecamatan Tugas Panitia Pemungutan Suara Wewenang Panitia Pemungutan Suara Kewajiban Panitia Pemungutan Suara Perundang-Undangan Masa Kerja Panitia Pemilihan Kecamatan Masa Kerja Panitia Pemungutan Suara Sistem Informasi KPU Peran Pemerintah Daerah Pidana Pemilu Prinsip Pengelolaan Anggaran Pemilu Indeks Kerawanan Pilkada 2020 Jumlah



Sumber: Hasil Olahan, 2020 8



Jumlah 1 soal 1 soal 1 soal 1 soal 1 soal 1 soal 1 soal 1 soal 1 soal 1 soal 1 soal 1 soal 2 soal 1 soal 1 soal 1 soal 1 soal 1 soal 1 soal 1 soal 1 soal 22 soal



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id Tabel 5 Data PPK pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Ogan Komering Ulu Tahun 2020 Jenis No PPK Pendidikan Usia Pengalaman Kelamin 1 Strata 1 48 Ya Baturaja Barat Laki-Laki 2 27 Tidak Baturaja Barat Laki-Laki SLTA/Sederajat 3 Strata 1 32 Ya Baturaja Barat Laki-Laki 4 30 Tidak Baturaja Barat Laki-Laki SLTA/Sederajat 5 Strata 1 59 Tidak Baturaja Barat Laki-Laki 6 Diploma 3 31 Ya Baturaja Timur Laki-Laki 7 Strata 1 32 Tidak Baturaja Timur Laki-Laki 8 Strata 1 35 Ya Baturaja Timur Laki-Laki 9 Strata 1 46 Ya Baturaja Timur Laki-Laki 10 39 Tidak Baturaja Timur Laki-Laki SLTA/Sederajat 11 Kedaton Peninjauan Laki-Laki SLTA/Sederajat 35 Ya Raya 12 Kedaton Peninjauan Laki-Laki SLTA/Sederajat 37 Ya Raya 13 Kedaton Peninjauan Laki-Laki SLTA/Sederajat 44 Tidak Raya 14 Kedaton Peninjauan Laki-Laki Diploma 3 29 Tidak Raya 15 Kedaton Peninjauan Laki-Laki Strata 1 28 Tidak Raya 16 Laki-Laki Strata 1 36 Ya Lengkiti 17 Laki-Laki SLTA/Sederajat 32 Tidak Lengkiti 18 Laki-Laki SLTA/Sederajat 30 Tidak Lengkiti 19 Laki-Laki SLTA/Sederajat 44 Ya Lengkiti 20 Laki-Laki SLTA/Sederajat 40 Ya Lengkiti 21 Laki-Laki Diploma 3 40 Tidak Lubuk Batang 22 Laki-Laki SLTA/Sederajat 38 Tidak Lubuk Batang 23 Laki-Laki SLTA/Sederajat 36 Ya Lubuk Batang 24 Laki-Laki Strata 1 28 Tidak Lubuk Batang 25 Perempua SLTA/Sederajat 30 Tidak Lubuk Batang n 26 Laki-Laki SLTA/Sederajat 39 Tidak Lubuk Raja 27 Laki-Laki Strata 1 40 Tidak Lubuk Raja 28 Laki-Laki SLTA/Sederajat 39 Tidak Lubuk Raja 29 Laki-Laki SLTA/Sederajat 49 Ya Lubuk Raja 30 Perempua Strata 1 33 Ya Lubuk Raja n 31 Laki-Laki SLTA/Sederajat 34 Tidak Muara Jaya 32 Laki-Laki Strata 1 27 Tidak Muara Jaya 33 Laki-Laki Diploma 3 35 Ya Muara Jaya 9



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id No



PPK



34 35 36 37 38



Muara Jaya Muara Jaya Pengandonan Pengandonan



39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52



Pengandonan Pengandonan Pengandonan Peninjauan Peninjauan Peninjauan Peninjauan Peninjauan Semidang Aji Semidang Aji Semidang Aji Semidang Aji Semidang Aji Sinar Peninjauan



Sinar Peninjauan 53 Sinar Peninjauan 54 Sinar Peninjauan 55 Sinar Peninjauan 56 Sosoh Buay Rayap 57 Sosoh Buay Rayap 58 Sosoh Buay Rayap 59 Sosoh Buay Rayap 60 Sosoh Buay Rayap 61 Ulu Ogan 62 Ulu Ogan 63 Ulu Ogan 64 Ulu Ogan 65 Ulu Ogan Sumber: Hasil Olahan, 2020



Jenis Kelamin Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Perempua n Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Perempua n Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Perempua n Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki



Pendidikan



Usia



Pengalaman



Strata 1 Diploma 3 Diploma 3 Strata 1 Strata 1



31 38 29 31 37



Ya Ya Ya Ya Tidak



Strata 1 SLTA/Sederajat SLTA/Sederajat SLTA/Sederajat SLTA/Sederajat



34 46 33 41 32



Ya Tidak Tidak Tidak Ya



SLTA/Sederajat SLTA/Sederajat Diploma 3 Strata 1 Strata 1 SLTA/Sederajat Strata 1 Strata 1 Strata 1



47 37 38 37 37 41 32 32 30



Ya Ya Tidak Ya Tidak Tidak Ya Ya Tidak



Strata 1 SLTA/Sederajat Strata 1 Strata 1 SLTA/Sederajat SLTA/Sederajat Strata 1 Strata 1 SLTA/Sederajat Strata 1 Strata 1 SLTA/Sederajat Strata 1



26 40 25 36 34 32 23 51 34 29 31 50 33



Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Ya Tidak Ya



Data PPK pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Ogan Komering Ulu Tahun 2020 beserta hasil pretest dan posttest dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial.



10



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



a. Analisis Statistik Deskriptif Analisis Statistik Deskriptif berguna untuk memaparkan dan menggambarkan data penelitian, mencangkup jumlah data, nilai minimal, nilai maksimal, nilai rata-rata, dan standar deviasi. Tabel 6 Analisis Deskriptif Hasil pretest dan posttest



Descriptive Statistics Pretest Posttest Valid N (listwise)



N 65 65 65



Minimum 14 27



Maximum 86 91



Mean 49.00 63.23



Std. Deviation 17.166 16.028



Sumber: Hasil Olahan, 2020



Terdapat peningkatan nilai PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu setelah diberikan pelatihan, nilai minimum meningkat sebesar 13 poin atau 48,14% dari 14 poin menjadi 27 poin dan nilai maksimum PPK meningkat sebesar 5 poin atau 5,49% poin dari 86 poin menjadi 91 poin. Tabel 7 Analisis Deskriptif Jenis Kelamin



Jenis Kelamin Valid



Laki-Laki Perempuan Total



Frequency 60 5 65



Percent 92.3 7.7 100.0



Valid Percent 92.3 7.7 100.0



Cumulative Percent 92.3 100.0



Sumber: Hasil Olahan, 2020



PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu berjumlah 65 orang terdiri dari 60 orang laki-laki atau 92,3%, dan 5 orang perempuan atau 7,7% yang tersebar di wilayah kerja PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu. Tabel 8 Analisis Deskriptif Pendidikan



Pendidikan Valid



Strata 1 SLTA / Sederajat Diploma 3 Total



Frequency 29 29



Percent 44.6 44.6



Valid Percent 44.6 44.6



7 65



10.8 100.0



10.8 100.0



Cumulative Percent 44.6 89.2 100.0



Sumber: Hasil Olahan, 2020



Syarat pendidikan untuk menjadi anggota PPK adalah paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) atau sederajat. PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu yang berpendidikan SLTA/sederajat berjumlah 29 orang 11



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



atau 44,6%, berpendidikan Diploma 3 berjumlah 7 orang atau 10,8%, berpendidikan strata 1 berjumlah 29 orang atau 44,6%. Tabel 9 Analisis Deskriptif Usia



Kelompok Usia Valid 17 26 36 46 56



-



25 tahun 35 tahun 45 tahun 55 tahun 65 tahun Total



Frequency Percent 2 3.1 33 50.8 22 33.8 7 10.8 1 1.5 65 100.0



Valid Percent 3.1 50.8 33.8 10.8 1.5 100.0



Cumulative Percent 3.1 53.8 87.7 98.5 100.0



Sumber: Hasil Olahan, 2020



Syarat usia untuk menjadi anggota PPK adalah paling rendah 17 (tujuh belas) tahun. PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu yang masuk dalam kategori remaja akhir berjumlah 2 orang atau 3,1%, kategori dewasa awal berjumlah 33 orang atau 50,8%, kategori dewasa akhir berjumlah 22 orang atau 33,8 persen, kategori lansia awal berjumlah 7 orang atau 10,8%, kategori lansia akhir berjumlah 1 orang atau 1,5%. Kategori usia menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009 yaitu sebagai berikut : 1. Masa balita usia 0 sampai dengan 5 tahun; 2. Masa kanak-kanak usia 5 sampai dengan 11 tahun; 3. Masa remaja awal usia 12 sampai dengan 16 tahun; 4. Masa remaja akhir usia 17 sampai dengan 25 tahun; 5. Masa dewasa awal usia 26 sampai dengan 35 tahun; 6. Masa dewasa akhir usia 36 sampai dengan 45 tahun; 7. Masa lansia awal usia 46 sampai dengan 55 tahun; 8. Masa lansia akhir usia 56 sampai dengan 65 tahun; 9. Masa manula usia 65 tahun ke atas. Tabel 10 Analisis Deskriptif Pengalaman



Valid



Ya Tidak Total



Pengalaman Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent 29 44.6 44.6 44.6 36 55.4 55.4 100.0 65 100.0 100.0



Sumber: Hasil Olahan, 2020.



PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu yang berpengalaman sebagai penyelenggara Pemilu berjumlah 29 orang atau 44,6%, yang belum berpengalaman berjumlah 36 orang atau 55,4%. Namun pengalaman PPK dibatasi dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2017, salah satu syarat untuk menjadi anggota PPK yaitu belum pernah menjabat 2 (dua) kali 12



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



periode penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan dalam tingkatan yang sama sebagai anggota PPK. b. Analisis statistik inferensial dengan tipe statistik parametrik 1. Uji Normalitas Untuk mengetahui data penelitian berdistribusi normal atau tidak dilakukan uji normalitas (Kolmogorov-Smirnova dan Shapiro-Wilk). Syarat mutlak uji paired sample t test dan uji independent sample t test adalah data harus berdistribusi normal. Tabel 11 Uji Normalitas



Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Test Statistic Df Sig. Statistic Df Sig. Pretest .131 65 .007 .965 65 .066 Hasil Posttest .114 65 .037 .964 65 .053 a. Lilliefors Significance Correction Sumber: Hasil Olahan, 2020



Berdasarkan output di atas diketahui nilai signifikansi (Sig.) untuk semua data baik pada uji kolmogorov –smirnov maupun uji shapiro-wilk lebih besar dari 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa data penelitian berdistribusi normal. Karena data penelitian berdistribusi normal, maka analisis data dapat dilanjutkan dengan menggunakan statistik parametrik (uji paired sample t test dan uji independent sample t test) untuk melakukan analisis data penelitian. 2. Uji paired sample t test Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata dua sampel yang berpasangan dilakukan uji paired sample t test. Persyaratan dalam uji paired sample t test adalah data harus berdistribusi normal, berdasarkan hasil uji normalitas menyatakan bahwa data penelitian berdistribusi normal. Untuk varian data homogen bukanlah merupakan persyaratan dalam uji paired sample t test. Uji paired sample t test dalam penelitian ini dipakai untuk mengetahui apakah pelatihan berpengaruh terhadap pengetahuan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu. Untuk itu, uji paired sample t test dilakukan terhadap data pretest dan posttest. Tabel 12 Uji Paired Samples Test



Mean Pair 1



Pretest Posttest



-14.231



Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Std. Std. Interval of the DeviaError Difference tion Mean Lower Upper 11.393 1.413 -17.054 -11.408



Sumber: Hasil Olahan, 2020



13



T



Df



-10.070



64



Sig. (2tailed) .000



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Berdasarkan output Pair 1 diperoleh nilai Sig. (2-tailed) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05, maka dapat dijelaskan bahwa ada perbedaan ratarata hasil pelatihan untuk pretest dengan posttest. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh pelatihan terhadap pengetahuan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu. 3. Uji Homogenitas Guna mengetahui suatu varian data bersifat homogen atau heterogen dilakukan uji homogenitas. Data yang homogen merupakan salah satu syarat tetapi tidak mutlak dalam uji independent sample t test. Dalam penelitian ini, uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah varian data hasil pretest dan data posttest bersifat homogen atau tidak. Tabel 13 Uji Homogenitas



Test of Homogeneity of Variance Levene Statistic df1 Hasil Based on Mean .062 1 Based on Median .103 1 Based on Median and with .103 1 adjusted df Based on trimmed mean .052 1



df2 128 128 119.840



Sig. .803 .749 .749



128



.820



Sumber: Hasil Olahan, 2020



Berdasarkan hasil di atas diperoleh nilai signifikansi (Sig.) Based on Mean adalah sebesar 0,803 lebih besar dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa varian data pretest dan data posttest adalah homogen. Dengan demikian, maka salah satu syarat, tetapi tidak mutlak dari uji independent sample t test sudah terpenuhi. 4. Uji Independent sample t test Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaaan rata-rata dua sampel yang tidak berpasangan dilakukan uji independent sample t test. Persyaratan pokok dalam uji independent sample t test adalah data harus berdistribusi normal dan homogen (tidak mutlak). Dari analisis di atas, maka hasil yang diperoleh adalah data berdistribusi normal dan homogen. Guna menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana pengaruh pelatihan terhadap peningkatan pengetahuan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu, maka data hasil pretest PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu dengan data hasil posttest PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu diuji dengan menggunakan independent sample t test.



14



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id Tabel 14 Uji Independent Sample Test



Sumber: Hasil Olahan, 2020



Berdasarkan output di atas, pengaruh pelatihan terhadap peningkatan pengetahuan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu diperoleh nilai Sig. (2 tailed) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 artinya ada pengaruh signifikan rata-rata pengetahuan sebelum diberikan pelatihan dengan sesudah diberikan pelatihan. 5. Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dengan Hasil Pretest Untuk menganalisis pengaruh jenis kelamin dengan hasil pretest, penulis menggunakan Chi-Square Test dari aplikasi SPSS Statistics 26.0. Ketentuannya jika nilai Asymptotic Significance lebih kecil dari 0,05, maka terdapat pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin dengan hasil pretest. Namun, jika nilai Asymptotic Significance lebih besar dari 0,05, maka tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin dengan hasil pretest. Tabel 15 Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dengan Hasil Pretest Chi-Square Tests Value Df Asymptotic Significance (2-sided) Pearson Chi-Square 14.836a 15 .463 Likelihood Ratio 11.881 15 .688 Linear-by-Linear .144 1 .704 Association N of Valid Cases 65 a. 28 cells (87.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .08. Sumber: Hasil Olahan, 2020



Dari hasil Chi-Square Test sebaimana tabel di atas, nilai Asymptotic Significance adalah 0,463 yaitu lebih besar dari 0,05, maka dapat diartikan bahwa jenis kelamin tidak mempunyai pengaruh yang



15



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



signifikan dengan nilai hasil pretest PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu. 6. Pengaruh Jenis Kelamin dan Hasil Posttest Tabel 16 Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dengan Hasil Posttest Chi-Square Tests Value df Asymptotic Significance (2-sided) 7.845a 13 .854 9.313 13 .749 .037 1 .847



Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 65 a. 22 cells (78.6%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .08. Sumber: Hasil Olahan, 2020



Dari hasil Chi-Square Test sebaimana tabel di atas, nilai Asymptotic Significance adalah 0,854 yaitu lebih besar dari 0,05, maka dapat diartikan bahwa jenis kelamin tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dengan nilai hasil posttest PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu.



7. Pengaruh Tingkat Pendidikan dengan Hasil Pretest



Tabel 17 Analisis Pengaruh Tingkat Pendidikan dengan Hasil Pretest Chi-Square Tests Value df Asymptotic Significance (2-sided) Pearson Chi-Square 42.487a 30 .065 Likelihood Ratio 41.774 30 .075 Linear-by-Linear .780 1 .377 Association N of Valid Cases 65 a. 46 cells (95.8%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .11. Sumber: Hasil Olahan, 2020



Dari hasil Chi-Square Test sebaimana tabel di atas, nilai Asymptotic Significance adalah 0,065 yaitu lebih besar dari 0,05, maka dapat diartikan tingkat pendidikan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dengan nilai hasil pretest yang diperolehnya.



16



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



8. Pengaruh Tingkat Pendidikan dengan Hasil Posttest Tabel 18 Analisis Pengaruh Tingkat Pendidikan dengan Hasil Posttest Chi-Square Tests Value Df Asymptotic Significance (2-sided) a Pearson Chi-Square 21.208 26 .731 Likelihood Ratio 23.456 26 .607 Linear-by-Linear .315 1 .575 Association N of Valid Cases 65 a. 42 cells (100.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .11. Sumber: Hasil Olahan, 2020



Dari hasil Chi-Square Test sebaimana tabel di atas, nilai Asymptotic Significance adalah 0,731 yaitu lebih besar dari 0,05, maka dapat diartikan bahwa tingkat pendidikan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dengan nilai hasil posttest yang diperolehnya.



9. Pengalaman dengan Hasil Pretest



Tabel 19 Analisis Pengaruh Pengalaman dengan Hasil Pretest Chi-Square Tests Value Df Asymptotic Significance (2-sided) Pearson Chi-Square 11.490a 15 .717 Likelihood Ratio 14.544 15 .485 Linear-by-Linear .002 1 .965 Association N of Valid Cases 65 a. 30 cells (93.8%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .45. Sumber: Hasil Olahan, 2020



Dari hasil Chi-Square Test sebaimana tabel di atas, nilai Asymptotic Significance adalah 0,717 yaitu lebih besar dari 0,05, maka dapat diartikan bahwa pengalaman PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dengan nilai hasil pretest. 10. Pengaruh Pengalaman dengan Hasil Posttest



Tabel 20 Analisis Pengaruh Pengalaman dengan Hasil Posttest Chi-Square Tests Value Df Asymptotic Significance (2-sided) Pearson Chi-Square 9.793a 13 .711 Likelihood Ratio 11.779 13 .546 Linear-by-Linear .401 1 .526 Association N of Valid Cases 65 a. 27 cells (96.4%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .45. Sumber: Hasil Olahan, 2020 17



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Dari hasil Chi-Square Test sebaimana tabel di atas, nilai Asymptotic Significance adalah 0,711 yaitu lebih besar dari 0,05, maka dapat diartikan bahwa pengalaman PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dengan nilai hasil posttest. 11. Pengaruh Usia dengan Hasil Pretest Tabel 21 Analisis Pengaruh Usia dengan Hasil Pretest Chi-Square Tests Value df Asymptotic Significance (2-sided) Pearson Chi-Square 58.561a 60 .528 Likelihood Ratio 47.820 60 .872 Linear-by-Linear 1.480 1 .224 Association N of Valid Cases 65 a. 79 cells (98.8%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .02. Sumber: Hasil Olahan, 2020



Dari hasil Chi-Square Test sebaimana tabel di atas, nilai Asymptotic Significance adalah 0,528 yaitu lebih besar dari 0,05, maka dapat diartikan bahwa usia PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dengan nilai hasil pretest yang diperolehnya.



12. Pengaruh usia dengan Hasil Posttest



Tabel 22 Analisis Pengaruh Usia dengan Hasil Posttest Chi-Square Tests Value Df Asymptotic Significance (2-sided) a Pearson Chi-Square 98.602 52 .000 Likelihood Ratio 53.029 52 .434 Linear-by-Linear .984 1 .321 Association N of Valid Cases 65 a. 69 cells (98.6%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .02. Sumber: Hasil Olahan, 2020



Dari hasil Chi-Square Test sebagaimana tabel di atas, nilai Asymptotic Significance adalah 0,000 yaitu lebih kecil dari 0,05, maka dapat diartikan bahwa usia PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu mempunyai pengaruh yang signifikan dengan nilai hasil posttest yang diperolehnya, dengan kata lain faktor usia mempengaruhi daya serap pengetahuan, sehingga berpengaruh terhadap nilai hasil posttest. KESIMPULAN 1. KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu telah melaksanakan tahapantahapan perekrutan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu mulai dari pendaftaran sampai dengan pelantikan dengan mempedomani UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, 18



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



PKPU Nomor 13 Tahun 2017 dan Surat Ketua KPU RI Nomor 12/PP.04.2-SD/01/KPU/I/2020 tanggal 10 Januari 2020 tentang pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam Pemilihan Serentak Tahun 2020. 2. Pelatihan yang diselenggarakan oleh KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu berpengaruh signifikan terhadap peningkatan pengetahuan PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu. 3. Dari hasil analisis, terdapat pengaruh yang signifikan antara usia dengan hasil posttest. Hal ini berarti faktor usia mempengaruhi daya serap pengetahuan, sehingga berpengaruh terhadap nilai hasil posttest PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu. Sedangkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, serta pengalaman tidak mempunyai Pengaruh yang signifikan dengan hasil pretest maupun posttest. SARAN 1. Penulis menyarankan kepada KPU Kabupaten Ogan Komering Ulu, agar PPK Kabupaten Ogan Komering Ulu diberikan pelatihan-pelatihan lainnya terutama berkaitan dengan teknis kepemiluan, seperti pelatihan penyusunan daftar pemilih, pelatihan manajemen logistik, serta pelatihan pemungutan dan penghitungan suara. 2. Penulis menyarankan kepada akademisi agar turut serta meneliti lebih dalam tentang Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, karena badan adhoc merupakan bagian dari penyelenggara yang tidak kalah penting yang turut serta berperan dalam suksesnya penyelenggaraan suatu Pemilihan. DAFTAR PUSTAKA Anas, Sudijono. 1996. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Aziza, A. D. 2016. Rekrutmen dan Pembekalan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Samarinda Tahun 2015 oleh KPU (KPU) Kota Samarinda. eJournal Ilmu Pemerintahan, 4 (4): 1489-1498. Enterprise, Jubilee. 2018. Lancar Menggunakan SPSS untuk Pemula. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Gunawan, Ce. 2020. Mahir Menguasai SPSS Panduan Praktis Mengolah Data Penelitian. Yogyakarta: Deepublish. Haris. 2016. Kinerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD Dan DPRD Tahun 2014 di Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong. Jurnal Untad. 4 (4) : 4. Nurmansyah. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia Suatu Pengantar. Pekanbaru: Unilak Press. Rivai, Veithzal dan Sagala, Ella Jauvani. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan dari Teori ke Praktik. Jakarta: PT Raja Grafindo. 19



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Riyanto, Slamet dan Aglis Andhita Hatmawan. 2020. Metode Riset Penelitian Kuantitatif Penelitian di Bidang Manajemen, Teknik, Pendidikan dan Eksperimen. Yogyakarta: Deepublish. Sinambela, L.P. (2016). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Bumi Aksara. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Afabeta. Turambi, J. M. 2017. Kinerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kecamatan Tomohon Barat pada Penyelenggaraan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Tomohon Tahun 2015. Jurnal Unsrat. 6(1): 1. Peraturan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2015 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi/ Komisi Independen Pemilihan Aceh dan Komisi Pemilihan Umum/Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota tentang Pembentukan dan Tata Kerja Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dan dikelola oleh unit kerja yang menangani bidang Sumber Daya Manusia. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 88/Kpts/KPU/TAHUN 2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pengelolaan, Penyaluran Dan Pertanggungjawaban Penggunaan Anggaran Dana Hibah Untuk Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota



20



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 1312/HK.03.1-Kpt/01/KPU/VIII/2019 tentang Standar dan Petunjuk Teknis Penyusunan Anggaran Kebutuhan Barang/Jasa dan Honorarium Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020. Surat Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 12/PP.04.2-SD/01/KPU/I/2020 tanggal 10 Januari 2020 tentang pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam Pemilihan Serentak Tahun 2020.



21



PROBLEMATIKA PELAPORAN DANA KAMPANYE PADA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2019 Rudi Hermanto Program Tata Kelola Pemilu Batch II , Universitas Padjajaran, Bandung, Indonesia E-mail: [email protected]



ABSTRAK Pendanaan kampanye adalah salah satu faktor penentu kemenangan pada kompetisi Pemilu 2019. Tranparansi dan akuntabilitas laporan dana kampanye sangat menentukan integritas Pemilu di Indonesia. Tulisan ini mengkaji laporan dana kampanye partai politik peserta Pemilu 2019 dengan fokus pada aspek penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, serta kepatuhan pada aturan dana kampanye yang berlaku. Melalui metode kualitatif dengan menggunakan data sekunder, berupa Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) dan Laporan Asuransi Independen dari Kantor Akuntan Publik ditemukan bahwa penerimaan dana kampanye partai politik Peserta Pemilu 2019 didominasi oleh sumbangan dari calon legislatif dan pengeluaran terbanyak dana kampanye berasal dari jasa kampanye. Hasil audit memperlihatkan masih adanya ketidaktransparanan dan ketidakpatuhan pada aturan dana kampanye dari mayoritas partai politik. Lemahnya sanksi diduga menjadi salah satu penyebab, disamping regulasi dana kampanye yang belum mengatur batasan sumbangan dana kampanye dari partai politik dan calon legislatif, serta batasan pengeluaran dana kampanye sehingga prinsip kesetaraan dan prinsip keadilan Pemilu tercederai. Kata Kunci: dana kampanye, calon legislatif, partai politik, pemilu 2019



PROBLEMATIC REPORTING OF CAMPAIGN FUNDS IN THE 2019 LEGISLATIVE ELECTIONS ABSTRACT Campaign funding is one of the determining factors of victory in the 2019 Election competition. Transparency and accountability of campaign finance reports highly determine the integrity of elections in Indonesia. This paper reviews the campaign finance reports of political parties participating in the 2019 Election with focus on aspects of revenue and expenditure campaign funds, as well as compliance with applicable campaign finance rules. Through qualitative methods using secondary data, in the form of Reports on Revenue and Expenditure of Campaign Funds (LPPDK) and Independent Insurance Reports from Public Accountant Offices, it was found that the revenue of campaign funds for political parties participating in the 2019 Election was dominated by contributions from legislative candidates and most expenditure for campaign funds came from campaign services. The audit results show that there is still a lack of transparency and disobedience with the campaign finance rules on majority of political parties. Weak sanctions are presumed to be one of the causes, in addition regulation of campaign funds that have not set yet limitation of campaign fund contributions from political parties and candidates, as well as limitation on expenditure of campaign funds so that the principle of equality and the principle of electoral justice are defective. Keywords: campaign funds, legislative candidate, political parties, 2019 election 1



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



PENDAHULUAN Kampanye merupakan tahapan krusial dalam pemilu dimana pasangan calon dan calon legislatif akan berlomba menawarkan visi dan misi serta program kerja jika terpilih kepada pemilih sebagai pemilik kedaulatan dalam negara demokrasi. Kampanye sejatinya adalah sosialisasi dan pendidikan politik kepada masyarakat untuk mengenal sosok calon pemimpin dan model pengelolaan negara yang ditawarkan. Pendanaan kampanye menjadi penting karena akan menjadi salah satu faktor penentu kemenangan kandidat, disamping faktor-faktor lainnya. Karena kerja-kerja dalam kampanye membutuhkan pembiayaan tim sukses, logistik, ongkos sosialisasi kepada pemilih, iklan media dan survei elektabilitas. Salah satu faktor yang menghalangi proses politik untuk mencapai demokrasi yang ideal dibanyak negara adalah pengaruh uang. Uang menjadi sangat penting untuk politik demokrasi, juga bisa menjadi alat untuk mempengaruhi proses politik dengan cara membeli suara atau mempengaruhi pengambilan kebijakan. Sistem pemilu proporsional terbuka memaksa setiap kandidat untuk lebih menawarkan sosok dirinya sebagai kandidat daripada partai politiknya. Kandidat akan berlomba dengan rekan separtainya untuk memasarkan dirinya masing-masing. Tentu saja hal ini akan membawa permasalahan pada semakin besarnya pembiayaan kampanye masingmasing kandidat dan pelaporan dana kampanyenya. Karena pengaturan dana kampanye pada Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sama seperti peraturan terdahulu menjadikan partai politik sebagai subjek pelapor bukan kandidatnya. Sumber dana kampanye bisa datang dari perseorangan maupun perusahaan/badan usaha nonpemerintah. Pemilu Legislatif di Indonesia dalam hubungannya dengan kampanye beserta pembiayaannya memunculkan 2 gejala menarik, yaitu : pertama, peningkatan jumlah pembiayaan kampanye, dan kedua, menguatnya orientasi kampanye berbasis caleg. Dua gejala tersebut pada akhirnya membatasi kontrol partai terhadap agenda isu, program, maupun kualifikasi caleg, dan terbatas pada fungsi nominasi. Dampak selanjutnya, muncul ketergantungan partai terhadap pembiayaan kampanye yang bersumber dari sumbangan caleg dibandingkan sumber pembiayaan dari partai politik (Mellaz, 2019 : 26). Studi Mellaz (2018 : 64) dalam pembiayaan kampanye Pemilu Legislatif Tahun 2014 menunjukan oreintasi personal kandidat dalam kampanye. Pengeluaran pembiayaan kampanye merupakan cermin dari belanja yang dilakukan oleh setiap caleg di dapilnya. Sistem proporsional terbuka linier dengan beban pembiayaan kampanye yang mayoritas ditanggung oleh caleg. Tidak berbeda dengan Pemilu Legislatif Tahun 2019, pada Pemilu Legislatif Tahun 2019 penerimaan dana kampanye didominasi oleh sumbangan calon legislatif sebesar 84%, sementara sumbangan dari partai politik hanya 13,3 % saja. Hasil audit LPPDK memperlihatkan masih adanya ketidaktransparanan dan ketidakpatuhan pada aturan dana kampanye 2



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



dari mayoritas partai politik. Ditemukan sebanyak 8 partai politik masuk kategori patuh dan 8 lainnya masuk kategori tidak patuh. Transparansi identitas penyumbang dana kampanye juga masih bermasalah, terdapat 9 partai politik yang identitas penyumbangnya tidak lengkap. Beberapa penelitian mengenai pendanaan politik dan kampanye dilakukan : Pertama, Sukmajati dan Dsyacitta (2019) meneliti pendanaan kampanye Pemilu Serentak 2019 di Indonesia dihubungkan dengan penguatan pola politik klientelisme dan patronase serta watak rejim kekuasaaan yang akan lahir dari Pilpres dan Pileg 2019. Kedua, Mietzhner (2015) meneliti mengenai disfungional pendanaan kampanye yang menyebabkan tingkat korupsi tinggi di Indonesia. Pendanaan partai politik dari iuran keanggotaan, sumbangan, dan subsidi negara tidak berjalan efektif, hal ini disebabkan elit politik yang lebih menyukai penggalangan dana ilegal Akibatnya, korupsi politik terus berlanjut, oligarki telah menembus politik partai, dan anggaran negara disalahgunakan untuk tujuan politik. Ketiga, Avkiran, et.al (2015) mengkaji bagaimana pengetahuan tentang peraturan dana kampanye secara substansial mengurangi persepsi warga terhadap korupsi, khususnya pada kepercayaan pada politisi. Pengurangan dalam persepsi korupsi politik melalui penyebaran informasi tentang peraturan keuangan kampanye akan menjadi tambahan bagi legitimasi demokrasi. Keempat, Mas’oed & Savarini (2011) meneliti praktik-praktik pendanaan politik dari perspektif politik ke perspektif sosio-historis. Penelitiannya menunjukkaan pendanaan politik tidak lagi relevan, karena modal budaya, politik dan sosial dapat berkontribusi dalam mendukung karier politik sesorang. Kelima, Claessens, et.al (2008) mempelajari hubungan politik yang dibeli oleh perusahaan dengan berkontribusi pada kampanye kandidat pemilihan dan kemungkinan saluran yang digunakan politisi untuk membayar kembali kontribusi ini. Keenam, Hamm (2008) meneliti pengaruh peraturan dana kampanye terhadap pencalonan dalam pemilihan legislatif. Berbeda dengan hasil kajian sebelumnya, tulisan ini secara spesifik fokus pada pendanaan kampanye Pileg 2019 saja, dengan mengeksplorasi penerimaan dan pengeluaran dana kampanye berdasarkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran dana Kampanye (LPPDK) dari partai politik peserta Pemilu Serentak 2019 dan Laporan Asurans Independen setiap Kantor Akuntan Publik (KAP) yang memeriksa masing-masing partai politik tersebut. METODE PENELITIAN Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan model studi kasus, dimana penulis berusaha untuk mengungkapkan secara empiris problematika laporan dana kampanye pada Pemilu 2019. Penelitian ini menggunakan data sekunder, berupa Laporan Penerimaan dan Pengeluaran dana Kampanye (LPPDK) dari partai politik peserta Pemilu Serentak 2019 dan Laporan Asurans Independen dari setiap Kantor Akuntan Publik (KAP) yang memeriksa LPPDK partai politik peserta Pemilu Serentak 2019 dari website KPU RI dan hasil penelitian lembaga riset dan civil society pemerhati pemilu. Data hasil penelitian dianalisa



3



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



menggunakan analisis deskriptif yang kemudian ditafsir dengan teori dan konsep yang ada. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaporan Dana Kampanye : Tinjauan Teoritis Falguera, et.al (2014 : 2) mendefinisikan pendanaan politik sebagai pendanaan (legal dan ilegal) kegiatan partai politik yang berkelanjutan dan kampanye pemilu(khususnya kampanye oleh kandidat dan partai politik, tapi juga pihak ketiga. Menurut Ohman (2014 : 16-19) reformasi pendanaan politik akan tergantung pada tujuan politik dan konteks perubahan akan dilakukan, yaitu sistem politik dan faktor-faktor teknis serta tantangan pengaturan uang dalam politik. Dalam sistem proporsional tertutup, peran kandidat sangat kecil dalam kampanye. Sebaliknya dalam sistem distrik, fokus kampanye ada pada kandidat. Faktor lain adalah sistem pemerintahan. Partai politik cenderung lemah dalam sistem presidensial, dan berperan besar dalam sistem parlementer dimana pengaturan pendanaan politik sangat penting dilakukan. Faktor lain yang berperan adalah penetrasi sistem perbankan dan teknologi informasi dalam negeri. Apabila semua warga negara memiliki rekening bank dan fasilitas internet banking, maka donasi bisa dielektronikan agar memudahkan pengawasan. Terdapat dua tantangan dalam pendanaan politik, yaitu Pertama, tantangan sistem politik. Diantaranya akses yang tidak sama untuk mendanai bagi aktor politik, kepentingan yang banyak untuk mempengaruhi politik, masuknya pendanaan ilegal ke dalam politik, kooptasi politik oleh kepentingan bisnis, penyalahgunaan sumber negara, dan menyebarnya jual beli suara. Kedua, adalah tantangan untuk mengendalikan pendanaan politik. Seperti : ketidakcocokan legislasi, kurangnya kemauan politik untuk mengontrol uang dalam politik, populernya penerimaan jual beli suara, kurangnya kemandirian dari institusi penegakkan aturan, biasnya pemberlakuan pengaturan pendanaan politik, dan kurangnya sumber daya untuk menegakkan peraturan (Ohman, 2014 : 20). Pendanaan politik perseorangan adalah sejenis lobi dimana seorang donatur berusaha mempengaruhi kebijakan publik dengan menawarkan dukungan keuangan kepada politisi. Peraturan pendanaan politik dirancang untuk melarang donasi yang anonim, membatasi jumlah donasi dan mewajibkan para politisi untuk melaporkan semua keuangan mereka. Menurut Pinto-Duschinsky (2002) dan Leoang et,al (2013) peraturan tersebut dibuat untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, kesetaraan politik, serta meminimalkan korupsi (Avkiran, et.al, 2015 : 4). Dana kampanye merupakan akumulasi biaya berupa uang, barang, dan jasa yang digunakan peserta pemilu untuk membiayai kegiatan kampanyenya. Hampir semua negara mewajibkan partai politik dan calon untuk memberikan laporan dana partai politik berdasarkan perintah Undang-Undang, laporan tersebut disampaikan pada badan publik, parlemen, atau badan khusus serta harus dipublikasikan. Masalah utama yang sering timbul adalah data dari organisasi partai politik lokal dan regional tidak dimasukkan. Masalah dengan pemantauan dan 4



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



pengendalian dana partai politik dan dana kampanye telah mendorong perubahan regulasi dan meningkatnya transparansi dibanyak negara (Nassmacher, 2014 : 746-747). Lebih spesifik Van Biezen menyebutkan bahwa pendanaan kampanye sangat terkait dengan isu pembelanjaan dari segi kandidat dalam rangka memobilisasi pencalonannya dalam sebuah pemilu, di sana terdapat dimensi penerimaan, pengeluaran, dan pengelolaannya (Sukmajati & Perdana, 2018 : 5). Peraturan dana kampanye kampanye yang terdiri dari : batas kontribusi, pembiayaan publik, dan batas pengeluaran memiliki tujuan yang berbeda. Misalnya batasan kontribusi, bertujuan untuk : Pertama, mengurangi persepsi publik terhadap korupsi dengan mengurangi pengaruh kontributor besar. Kedua, membuat proses penggalangan dana kampanye lebih demokratis dengan memaksa calon untuk mengumpulkan uang dari kontributor yang lebih kecil. Ketiga, peningkatan batas kontribusi akan meningkatkan daya saing dengan mengurangi beban penggalangan dana pada kandidat yang tidak mampu (Gross, 2002 : 146147). Menurut Gross (2002 : 148) pembiayaan publik, tidak hanya diciptakan untuk menghadapi persepsi tentang "politik uang" tetapi juga untuk meningkatkan persaingan pemilu dengan memberikan uang kepada penantang, agar politik elektoralnya sejajar. Dalam hal mendistribusikan dana publik, negara-negara memilih untuk memberikan langsung kepada kandidat, ke partai politik, atau keduanya. Sedangkan, batas pembelanjaan membantu mengendalikan biaya kampanye politik dan dalam kombinasi dengan ketentuan pembiayaan publik berfungsi untuk meningkatkan persaingan pemilu. Bussey (2000 : 74-75) menyatakan bahwa pendanaan kampanye yang tidak jelas dari dalam/luar negeri dapat mengubah hasil pemilu dengan penggalangan dana besar dan membuka jalan bagi kriminalitas untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Hal tersebut tentu saja dapat mengancam pasar ide dan gagasan, mengikis kepercayaan publik pada kekuatan suara individu dan demokrasi. Liberalisasi ekonomi yang terjadi menciptakan kelas taipan baru dengan uang tunai untuk mendapatkan kekuasaan di pemerintahan. Pada saat yang sama, ketika peran ideologi telah berkurang dan para pencari jabatan di seluruh dunia telah bergerak menuju pusat spektrum politik, pemilu telah berubah menjadi kampanye citra yang semakin mahal untuk merayu para pemilih. Pelaporan Dana Kampanye Pemilu Legislatif Tahun 2019 Peraturan dana kampanye di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan terkait sumber dan batasan sumbangan dana kampanye. Berikut ini perbandingan batasan sumbangan dana kampanye dari peraturan yang pernah diberlakukan:



5



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id Tabel 1 Perbandingan Batasan Sumbangan Dana Kampanye UU No. 12/2003 Perseorangan Kelompok 100 juta



UU No. 10/2008 Perseorangan



750 juta



Kelompok



1 Milyar



UU No. 8/2012 Perseorangan Kelompok



5 Milyar



1 Milyar



7,5 Milyar



Sumber : Junaidi, 2012 : 5



Salah satu alasan legislator menaikan batasan sumbangan dana kampanye adalah agar peserta pemilu jujur dalam melaporkan penerimaan sumber dana kampanye, karena kecilnya batasan sumber dana kampanye akan menyebabkan paslon atau caleg berbohong dalam laporan dana kampanyenya (Salabi, 2018 : 1). Pengaturan dana kampanye untuk Pemilu Tahun 2019 terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Tabel dibawah ini sekilas menjelaskan tentang pengaturan dana kampanye tersebut : Tabel 2 Pengaturan Dana Kampanye menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum



PERIHAL Sumber dana yang dibolehkan



PRESIDEN a. Pasangan calon; b. Parpol/gabungan parpol; dan/atau c. Sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain : - Perseorangan - Kelompok; dan/atau - Perusahaan atau badan usaha non pemerintah. d. Dapat didanai APBN (p. 325)



Bentuk dana a. Uang ; kampanye b. Barang; dan/atau c. Jasa). (p. 325) Batasan Sumbangan



a. Perseorangan: Rp. 2.500.000.000 b. Kelompok dan/atau badan usaha non pemerintah Rp. 25.000.000.000 (25 M). (p. 325)



DPR/DPRD Prov/DPRD Kab-Kota a. Parpol; b. Calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota parpol bersangkutan; dan c. Sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain : Perseorangan Kelompok; dan/ atau Perusahaan (p. 329) a. Uang; b. Barang); dan/atau c. Jasa). (p. 329) a. Perseorangan: Rp. 2.500.000.000, b. Kelompok dan/atau badan usaha non pemerintah Rp. 25.000.000.000 (p. 331)



6



DPD a. Calon anggota DPD; dan b. Sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain : - Perseorangan - Kelompok; dan/atau Perusahaan atau badan usaha non pemerintah. (p. 19)



a. Uang; b. Barang); dan/atau c. Jasa). (p. 20) a. Perseorangan: Rp. 750.000.000 b. Kelompok dan/atau badan usaha non pemerintah Rp. 1.500.000.000 (p.333)



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id Sumber dana yang dilarang Laporan Dana Kampanye



a. b. c. d. -



-



-



-



-



Pihak asing; Penyumbang yang tidak jelas identitasnya; Hasil tindak pidana; Pemerintah, Pemda, BUMN dan BUMD; atau BUMDes. (p.339) Paslon dan tim - Parpol peserta pemilu kampanye di tingkat anggota DPR, DPRD pusat wajib Provinsi dan DPRD memberikan laporan Kabupate / Kota awal dana kampanye sesuai tingkatannya (LADK) Pemilu dan wajib memberikan rekening khusus laporan awal dana dana Kampanye kampanye (LADK) (RKDK) Paslon paling Pemilu dan rekening lama 14 hari setelah khusus dana paslon ditetapkan Kampanye (RKDK) sebagai Peserta Pemilu kepada KPU, Pemilu Presiden dan KPU Provinsi dan Wakil Presiden.(p. KPU Kabupaten/Kota 334) paling lambat 14 hari sebelum hari pertama Laporan dana jadwal pelaksanaan kampanye paslon Kampanye Pemilu dan tim kampanye dalam bentuk rapat yang meliputi penerimaan dan umum. (p. 334) pengeluaran wajib - Laporan dana disampaikan kepada kampanye parpol akuntan publik (KAP) peserta pemilu yang yang ditunjuk KPU meliputi penerimaan paling lama 15 hari dan pengeluaran sesudah hari wajib disampaikan pemungutan suara. kepada akuntan publik yang ditunjuk KAP menyampaikan KPU paling lama 15 hasil audit kepada KPU, KPU Provinsi, hari sesudah hari dan KPU pemungutan suara. Kabupaten/Kota - KAP menyampaikan paling lama 30 hari hasil audit kepada sejak diterimanya KPU, KPU Provinsi, laporan. dan KPU kabupaten/ Kota paling lama 30 KPU, KPU Provinsi, hari sejak dan KPU diterimanya laporan. Kabupaten/Kota menyampaikan hasil - KPU, KPU Provinsi, audit dana kampanye dan KPU paling lama 7 hari Kabupaten/Kota setelah menerima menyampaikan hasil dari KAP. audit dana kampanye paling lama 7 hari KPU, KPU Provinsi, dan KPU setelah menerima dari KAP Kabupaten/Kota mengumumkan - KPU, KPU Provinsi, hasil pemeriksaan dan KPU dana kampanye Kabupaten/Kota pemilu kepada publik mengumumkan hasil paling lambat 10 hari pemeriksaan dana setelah diterimanya kampanye pemilu laporan hasil kepada publik paling pemeriksaan. (p 335) lambat 10 hari



7



Pemerintah desa dan - Calon anggota DPD peserta pemilu wajib memberikan laporan awal dana kampanye (LADK) Pemilu dan rekening khusus dana Kampanye (RKDK) Pemilu kepada KPU melalui KPU Provinsi paling lambat 14 hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan Kampanye Pemilu dalam bentuk rapat umum. (p. 334) - Laporan dana kampanye calon anggota DPD peserta pemilu yang meliputi penerimaan dan pengeluaran wajib disampaikan kepada akuntan publik yang ditunjuk KPU paling lama 15 hari sesudah hari pemungutan suara. - KAP menyampaikan hasil audit kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/Kota paling lama 30 hari sejak diterimanya laporan. - KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota menyampaikan hasil audit dana kampanye paling lama 7 hari setelah menerima dari KAP - KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id setelah diterimanya laporan hasil pemeriksaan (p 335)



Sanksi



-



-



-



-



-



-



-



-



-



hasil pemeriksaan dana kampanye pemilu kepada publik paling lambat 10 hari setelah diterimanya laporan hasil pemeriksaan (p 335) Peserta Pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan kampanye dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12.000.000 (12Jt). (p. 496) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan kampanye dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 24.000.000 (24Jt). (p. 497) Setiap orang, kelompok, perusahan, dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan dana Kampanye melebihi batas yang ditentukan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000 (500 Jt). (p. 525) Setiap Peserta Pemilu yang menggunakan kelebihan sumbangan, tidak melaporkan kelebihan sumbangan kepada KPU, dan/atau tidak menyerahkan kelebihan sumbangan kepada kas negara paling lambat 14 hari setelah masa Kampanye Pemilu berakhir dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000 (500 Jt).(p.525) Setiap orang, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan dana Kampanye Pemilu melebihi batas yang ditentukan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000 (500 Jt). (p.526) Setiap Peserta Pemilu yang menggunakan kelebihan sumbangan, tidak melaporkan kelebihan sumbangan kepada KPU, dan/atau tidak menyerahkan kelebihan sumbangan kepada kas negara paling lambat 14 hari setelah masa Kampanye Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000 (500 Jt). (p.526) Peserta Pemilu yang terbukti menerima sumbangan dana Kampanye Pemilu dari sumber dana yang dilarang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000, (36 Jt). (p.527) Peserta Pemilu yang menerima sumbangan dari sumber dana yang dilarang dan tidak melaporkan kepada KPU dan/atau tidak menyetorkan ke kas negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda sebanyak 3 kali dari jumlah sumbangan yang diterima. (p.528) Pelaksana dan tim kampanye yang menggunakan dana dari sumbangan yang dilarang dan/atau tidak melaporkan dan/ atau tidak menyetorkan ke kas negara paling lambat 14 hari setelah masa Kampanye Pemilu berakhir, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda sebanyak 3 kali dari jumlah sumbangan yang diterima. (p.528)



Sumber : UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum



Jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah terdapat kenaikan 8



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



batasan sumbangan dana kampanye, dari perseorangan asalnya 1 milyar menjadi 2,5 milyar, dan kelompok/BUNP asalnya 7,5 milyar menjadi 25 milyar (pasal 331). Larangan asal sumbangan dana kampanye bertambah dengan asal sumbangan bukan hasil tindak pidana (pasal 339). Ada juga tambahan aturan pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan kampanye dimana pidana kurungan dan dendanya dua kali lipat dari peserta pemilu (pasal 497). Hukuman denda bagi setiap orang, kelompok, dan atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan dana kampanye melebihi batas yang ditentukan dan bagi peserta pemilu yang menggunakan kelebihan sumbangan, tidak melaporkan kelebihan sumbangan kepada KPU, dan/atau tidak menyerahkan kelebihan sumbangan kepada kas negara paling lambat 14 hari setelah masa Kampanye Pemilu berkurang 4,5 milyar, dari 5 milyar hanya menjadi 500 juta (pasal 525). Kemudian terdapat tambahan aturan pidana bagi peserta pemilu yang menerima sumbangan dari sumber dana yang dilarang dan tidak melaporkan kepada KPU dan/atau tidak menyetorkan ke kas negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda sebanyak 3 kali dari jumlah sumbangan yang diterima. Serta bagi pelaksana dan tim kampanye yang menggunakan dana dari sumbangan yang dilarang dan/atau tidak melaporkan dan/ atau tidak menyetorkan ke kas negara paling lambat 14 hari setelah masa Kampanye Pemilu berakhir, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda sebanyak 3 kali dari jumlah sumbangan yang diterima (pasal 528). Akan tetapi, seperti halnya pengaturan dana kampanye dalam peraturan terdahulu, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak mengatur tentang batasan sumbangan dana kampanye dari partai politik dan caleg, batasan pengeluaran dana kampanye, dan objek pelapor dana kampanye masih partai politik bukan calon legislatifnya. Ketiadaan batas sumbangan dana kampanye dari partai politik dan calon legislatif memberi jalan belakang bagi perseorangan dan perusahaan untuk memberi sumbangan melampaui batas yang ditentukan dan membuat calon legislatif berburu dana kampanye kemana saja. Calon legislatif dapat menerima sumbangan langsung dari perseorangan dan perusahaan, untuk kemudian diatasnamakan dirinya pada saat sumbangan tersebut disetorkan ke dana kampanye partai politik (Supriyanto, D & Wulandari, L, 2013 :140). Persaingan tidak sehat akan terjadi diantara calon legislatif, karena calon legislatif yang dananya seadanya akan berhadapan dengan calon legislatif yang dananya berlimpah. Tidak adanya pembatasan pengeluaran dana kampanye selain menegasikan prinsip kesetaraan, juga mengakibatkan partai politik dan calon legislatifnya berlomba-lomba mengumpulkan dana kampanye demi kemenangan elektoral yang pada akhirnya menjadi bibit koruptif. Secara operasional KPU kemudian mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 24 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum yang diubah terakhir dengan Peraturan Komisi Pemilihan 9



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Umum Nomor 34 Tahun 2018, dan secara teknis diatur dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1126/PL.01.6-Kpt/03/KPU/IX/2018 tentang Pedoman Teknis Pelaporan Dana Kampanye Pemilihan Umum dan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1781/ PL.01.6Kpt/03/KPU/XI/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Laporan Dana Kampanye Pemilihan Umum. Sumber penerimaan dana kampanye pada Pemilu Tahun 2019, yang terdiri dari sumbangan dari partai politik, calon legislatif, perseorangan, kelompok, dan badan usaha non-pemerintah dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 3 Penerimaan Dana Kampanye Pemilu Tahun 2019



Sumber : www.kpu.go.id



Penerimaan dana kampanye didominasi oleh sumbangan calon legislatif sebesar 1,99 trilyun (84%), disusul kemudian sumbangan partai politik dengan nilai 315,6 milyar atau 13,3% dari total penerimaan dana kampanye, setelah itu sumbangan dari perseorangan senilai 19,7 milyar (1%) dan sumbangan lain-lain (komitmen/bunga bank) sebesar 16,5 milyar, terakhir adalah sumbangan dari badan usaha non-pemerintah sebesar 15 milyar (0,6%) dan sumbangan kelompok sebesar 9,5 milyar (0,4%). PDIP tampil sebagai partai politik dengan penerimaan sumbangan dana kampanye terbesar dengan nilai 345 milyar, mayoritas sumber sumbangannya berasal dari calon legislatifnya dengan nilai 338 milyar atau 98% dari total penerimaan dana kampanyenya. Kemudian Golkar dengan total penerimaan 307 milyar dan Nasdem 259 milyar. Sedangkan partai politik dengan penerimaan dana kampanye terkecil adalah Garuda dengan nilai 3,4 milyar. Sebagai partai lawas PDIP dan Golkar meskipun secara kelembagaan telah terkonsolidasi dengan baik sampai ke pelosok, dalam menominasikan 10



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



caleg tentu saja mengutamakan modal kapital yang dimiliki caleg untuk menyokong sumbangan dana kampanye dari pribadi mereka sendiri dan menjalankan mesin politik atau tim suksesnya untuk meraup dukungan politik. Seperti Pemilu Tahun 2014, penerimaan dana kampanye Pemilu Serentak Tahun 2019 mayoritas berasal dari caleg, hal tersebut disebabkan desain sistem pemilu proporsional-terbuka yang memaksa setiap caleg untuk mengeluarkan biaya berlipat untuk memenangkan kursi karena harus bersaing tidak hanya dengan caleg yang berbeda partai politik, namun dengan teman sejawat di internal partai politiknya. Mereka harus mengeluarkan modal untuk melakukan kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, pembuatan alat peraga kampanye dan penyebaran bahan kampanye kepada konstituennya. Perindo menjadi partai politik yang sumbangan dana kampanyenya terbesar berasal dari internal partai politik sendirinya dengan nilai 88 milyar, disusul kemudian Nasdem sebesar 80 milyar, dan Golkar 72 milyar. PKPI adalah satu-satunya partai politik yang dana kampanye tidak bersumber dari kas partai politik, melainkan dari sumbangan kelompok sebesar 4,7 milyar dan sumbangan dari caleg sebesar 1,5 milyar. Perindo dan Nasdem mampu mencukupi kebutuhan finansialnya secara mandiri dengan mengandalkan dana dari pendiri dan korporatnya yang memiliki latar belakang pengusaha. Kedua partai ini tidak tergantung pada partisipasi anggota melainkan pada kekuatan perorangan/sekelompok orang. Paloh dan Hary dengan mudah menggerakan industri media yang dipimpinnya dan jaringan bisnis media massanya untuk mengkampanyekan parpolnya masing-masing, sebuah karakter parpol yang disebut oleh Noor (2017 : 115) sebagai partai-partai post democracy. Hanura menjadi satu-satunya partai politik yang menerima dana kampanye dari kelompok dengan total sumbangan 9,5 milyar. Adapun partai politik penerima sumbangan dana kampanye terbesar dari perseorangan adalah Demokrat dengan dilai 7,1 milyar, berikutnya adalah PKPI dengan nilai 4,7 milyar dan PSI dengan nilai 3,8 milyar. Sepertinya partai-partai politik besar/lama gagal untuk menarik partisipasi masyarakat dalam penggalangan dana kampanye. Penerima sumbangan dana kampanye dari badan usaha nonpemerintah terbesar adalah PKB dengan besaran sumbangan 7,4 milyar, disusul kemudian oleh PSI dengan nilai 6,2 milyar, Nasdem dengan nilai 1 milyar, dan Golkar 395 juta. Sedangkan partai politik yang lain tidak menerima sumbangan dari badan usaha non-pemerintah. Dari sisi pengeluaran dana kampanye, kecendrungan seluruh partai politik menggunakannya untuk jasa kampanye calon legislatif, penyebaran bahan kampanye, produksi iklan, pembuatan alat peraga kampanye, dan sumbangan terhadap calon legislatif. Berikut total pengeluaran dana kampanye seluruh partai politik peserta Pemilu Serentak 2019 :



11



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id Grafik 1 Pengeluaran Dana Kampanye Pemilu Serentak 2019 PKPI PBB DEMOKRAT HANURA PAN PSI PPP PERINDO PKS BERKARYA GARUDA NASDEM GOLKAR PDIP GERINDRA PKB



6,289,666,567 117,756,600,000 189,410,785,377 49,485,201,423 169,048,328,526 84,657,844,428 76,551,752,526 228,116,161,935 150,025,870,027 107,159,300,058 3,361,424,903 232,113,494,650 307,471,571,477 345,006,553,771 134,717,249,021 141,012,647,279



-



100,000,000,000



200,000,000,000



300,000,000,000



400,000,000,000



Sumber : www.kpu.go.id



Pengeluaran untuk jasa kampanye memiliki porsi terbesar untuk mayoritas partai politik, yaitu 1,9 trilyun (85,03%) dari keseluruhan pengeluaran dana kampanye 2,3 trilyun. PDIP dengan pengeluaran terbesar 338,3 milyar, sedangkan yang terkecil adalah PKPI dengan nilai 1,5 milyar. Grafik 2 Pengeluaran Jasa Kampanye Calon Legislatif



133,715,077,635 338,339,772,456 350,000,000,000 300,000,000,000 250,000,000,000



235,131,587,510



200,000,000,000 150,000,000,000 100,000,000,000 50,000,000,000 0



133,587,647,279



180,871,110,071 138,141,622,439



177,863,557,751 105,864,300,058



116,960,000,000 123,606,099,035 168,948,328,526 64,138,502,526



1,294,515,041



42,657,646,880



28,858,287,278 1,530,743,254



Sumber : www.kpu.go.id



12



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Total pengeluaran partai politik untuk penyebaran bahan kampanye adalah 77 milyar atau 3,30% dari keseluruhan pengeluaran dana kampanye. Golkar mengeluarkan 36,3 milyar sebagai yang terbesar, disusul Perindo 29,9 milyar, dan PPP 5,2 milyar. Sedangkan PKB, PDIP, Garuda, Berkarya , PAN, dan Demokrat tidak mengeluarkan anggaran untuk penyebaran dana kampanye. Grafik 3 Penyebaran Bahan Kampanye 40,000,000,000



36,390,000,000



35,000,000,000



29,983,412,000



30,000,000,000 25,000,000,000 5,242,500,000



20,000,000,000



2,978,365,192



15,000,000,000



274,570,300



10,000,000,000 5,000,000,000



25,000,000 900,000,000 0 0



820,000,000 0 0



194,100,000 0



0



524,850,000



0



Sumber : www.kpu.go.id



Pengeluaran partai politik selanjutnya adalah untuk produksi iklan. Total belanja produksi iklan keseluruhan partai politik bernilai 74 milyar atau 3,19% dari keseluruhan pengeluaran dana kampanye. Jika dibandingkan dengan data Pileg 2014 biaya iklan kampanye ini mengalami penurunan. Pada Pileg 2014 belanja iklan sebesar 343 milyar atau 9,56% dari total pengeluaran dana kampanye. Pengeluaran belanja iklan terbesar dikeluarkan Hanura sebesar 70,5 milyar, diikuti Demokrat 56,8 milyar, PAN 43,8 milyar, Golkar 39,8 milyar, dan PDIP 33,5 milyar (Melaz, A, 2018 : 87-88).



13



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id Grafik 4 Produksi Iklan PKPI, 562,000,000 PKB, 0 DEMOKRAT, GERINDRA, 0 PBB, 0 3,992,637,000 PDIP, 0 HANURA, 6,537,500,000 GOLKAR, PAN , 0 12,061,587,650



PSI, 20,850,294,170 NASDEM, 29,112,260,609



PPP, 0



PERINDO, 0 PKS, 1,494,760,000 BERKARYA, 77,000,000



GARUDA, 86,909,862



Sumber : www.kpu.go.id



Nasdem sebagai partai politik baru pada Pemilu Serentak 2019 mengeluarkan anggaran terbesar dengan nilai 29 milyar, selanjutnya PSI 20 milyar, Golkar 12 milyar, Hanura 6 milyar, Demokrat 3 milyar, PKS 1 milyar, PKPI 562 juta, Garuda 86 juta, dan Berkarya 77 juta. PKB, Gerindra, PDIP, Perindo, PPP, PAN, dan PBB tidak mengeluarkan anggaran untuk produksi iklan. Sebagai partai politik baru Nasdem dan PSI sangat wajar mengeluarkan anggaran besar untuk mendongkrak popularitas partai politiknya agar lebih dikenal pemilih. Partai politik yang lain tidak memiliki cukup dana untuk belanja iklan kampanye seperti Pileg sebelumnya, disamping daya tarik Pilpres yang lebih banyak menyerap iklan kampanye. Pengeluaran dana kampanye yang cukup besar selanjutnya adalah pembuatan alat peraga kampanye. Jumlah pengeluaran untuk pembuatan alat peraga kampanye seluruh partai politik adalah 60,5 milyar atau 2,59% dari keseluruhan pengeluaran dana kampanye. Golkar mendominasi pengeluaran ini dengan nilai 19,2 milyar, disusul Perindo 18 milyar, dan PKS 8,3 milyar. PSI, Hanura dan PKPI pada kisaran 3-5 milyar. Nasdem dan PBB pada kisaran 500-700 juta, sedangkan PBB, Gerindra, PDIP, Garuda, PPP, dan Demokrat nihil.



14



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id Grafik 5 Pembuatan Alat Peraga Kampanye 25000000000



GOLKAR, 19,289,000,000



20000000000



PERINDO, 18,050,895,500



15000000000



PKS, 8,365,750,0 00



10000000000



HANURA, 4,241,540,000 PSI, 4,717,699,25 0



BERKARYA, 1,218,000,000



PKPI, 3,572,122,625 PBB, 602,500,000



5000000000 PKB, 0 PDIP, 0 NASDEM, 520,000,000 GERINDRA, 0



PPP, 0



GARUDA, 0



PAN , 0 DEMOKRAT, 0



0



0



2



4



6



8



10



12



14



16



18



-5000000000



Sumber : www.kpu.go.id



Grafik 5 diatas memperlihatkan kecendrungan partai-partai politik lama/yang memiliki kursi di parlemen, kecuali Golkar dan PKS untuk meminimalisir pengeluaran untuk alat peraga kampanye. Sebaliknya partai politik baru seperti Perindo dan PSI mengeluarkan banyak anggaran untuk alat peraga kampanye. Pengeluaran dana kampanye yang didominasi oleh partai-partai politik baru selanjutnya adalah pengeluaran untuk pertemuan terbatas sebesar 27,8 milyar atau 1,19% dari dari keseluruhan pengeluaran dana kampanye, seperti terlihat dalam grafik 6 dibawah ini :



15



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id Grafik 6 Pertemuan Terbatas 23,767,110,510



30000000000 20000000000 10000000000 0



0



0



0



0



0



1,116,784,433 2,900,586,500 0 0 0 0 0



0



17,578,000 0



Sumber : www.kpu.go.id



Partai politik dengan pengeluaran terbesar pertama adalah Nasdem dengan nilai 23,7 milyar, kemudian PSI 2,9 milyar, PKS 1,1 milyar, dan PKPI 17,5 juta. Partai-partai politik lainnya tidak mengeluarkan anggaran untuk pertemuan terbatas. Pengeluaran dana kampanye yang didominasi juga oleh partai-partai politik baru adalah pengeluaran untuk sumbangan pada calon legislatif dengan nilai 24,2 milyar atau 1,04% dari dari keseluruhan pengeluaran dana kampanye, seperti terlihat dalam grafik 7 dibawah ini: Grafik 7 Sumbangan kepada Calon Legislatif DEMOKRAT, PKB, 0 PKPI, 0 3,165,500,000



GERINDRA, 0 PBB, 0 PDIP, 4,670,420,000



HANURA, 0 GOLKAR, 395,000,000



PAN , 0



PSI, 4,362,472,666



NASDEM, 0 GARUDA, 1,980,000,000 PKS, 0



PPP, 0



PERINDO, 9,705,483,000



Sumber : www.kpu.go.id



Terlihat dari grafik 7 diatas, Perindo merupakan partai politik dengan sumbangan pada calon legislatif terbesar dengan nilai 9,7 milyar, diikuti oleh PDIP 4,6 milyar, PSI 4,3 milyar, Demokrat 3,1 milyar, Garuda 1,9 16



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



milyar, dan Golkar 395 juta. Sedangkan partai politik lainnya tidak mengeluarkan anggaran untuk sumbangan dana kampanye. Pengeluaran dana kampanye selanjutnya adalah pengeluaran untuk rapat umum. Kampanye dalam bentuk rapat umum nampaknya tidak diminati oleh mayoritas partai politik peserta Pemilu Serentak 2019. Hanya dua partai politik lama yang masih melakukannya, yaitu Golkar dan PDIP. Golkar mengeluarkan 4,2 milyar dan PDIP 1,9 milyar. Jumlah pengeluaran untuk rapat umum keseluruhan hanya 6,1 milyar atau 0,26% saja dari total pengeluaran dana kampanye. Grafik 8 Rapat Umum



DEMOKRA BERKARYA GERINDRA PERINDO HANURA NASDEM GARUDA PKPI PKB PKS PAN PBB PPP PSI 0% T 0% PDIP, 1,995,000,… GOLKAR, 4,203,808,278



Sumber: www.kpu.go.id



Dalam kompetisi pemilu yang berpusat pada calon legislatifnya, bentuk kampanye konvensional seperti rapat umum dan pertemuan tatap muka mulai ditinggalkan. Sama dengan pengeluaran rapat umum, pengeluaran keseluruhan partai politik untuk pertemuan tatap muka hanya 6,1 milyar atau 0,2% dari saja dari total pengeluaran dana kampanye. Hanya dua partai saja yang mengeluarkan anggaran untuk pertemuan tatap muka, yaitu PSI dengan besaran 6 milyar dan Gerindra 1 milyar. Grafik 9 Pertemuan Tatap Muka HANURA, 0



PBB, 0



GERINDRA, PKB, 0 100,500,000



PAN , 0



PKPI, 0



PKS, 0 BERKARYA, 0



PERINDO, 0 GARUDA, 0



PPP, 0



DEMOKRAT, 0



NASDEM, 0



GOLKAR, 0



PDIP, 0



PSI, 6,073,392,752



Sumber : www.kpu.go.id



17



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Pola pembiayaan kampanye Pileg 2019 kali ini tidak jauh berbeda dengan pola pembiayaan kampanye di Pileg 2014 sebelumnya, yaitu bersifat padat modal. Selanjutnya terdapat indikasi kuat bahwa para kandidat juga mengalokasikan pengeluaran dana kampanye mereka untuk melakukan praktik-praktik pembelian suara dengan bentuk pemberian uang dan sembako semakin gencar dilakukan pada saat hari tenang dan menjelang hari pemungutan suara. Praktik-praktik tersebut bersifat lebih variatif dan masif (Sukmajati, M & Disyacitta, F., 2019 : 90-91). Sisi transparansi sumber dana kampanye juga masih bermasalah, dari 16 partai politik peserta Pemilu Tahun 2019 terdapat 9 partai politik yang identitas penyumbangnya. Ketidaklengkapan tersebut dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini: Tabel 4 Identitas Penyumbang Partai Politik Yang Tidak Lengkap



No



Partai Politik



Identitas Penyumbang Yang Tidak Lengkap Perseorangan Kelompok Badan Usaha NonPemerintah



Keterangan



1



PKB



6



1



-



No Telepon



2



GOLKAR



1



-



1



No Telepon



3



NASDEM



-



-



1



No Telepon



4



GARUDA



3



-



-



NPWP



5



BERKARYA



1



-



-



No Telepon



6



PSI



70



2



-



7



HANURA



1



1



-



No Telepon, NPWP No Telepon



8



DEMOKRAT



4



-



-



No Telepon



9



PKPI



3



-



-



No Telepon



89



4



2



Total



Sumber: Bawaslu, 2019 : 285



Dari tabel 3 diatas terlihat PSI menjadi partai politik teratas dalam ketidaktertiban administrasi, sebanyak 70 penyumbang perseorangan dan 2 kelompok yang tidak melengkapi nomor telepon dan NPWP. Sementara itu, 7 partai politik telah melengkapi persyaratan administrasi, yaitu : Gerindra, PDIP, PKS, Perindo, PPP, PAN dan PBB. Berdasarkan hasil audit KAP terhadap LPPDK partai politik peserta Pemilu 2019 ditemukan sebanyak 8 partai politik masuk kategori patuh dan 8 lainnya masuk kategori tidak patuh. 8 partai politik yang masuk kategori patuh adalah Golkar, Nasdem, Garuda, PKS, Perindo, PSI, PKPI 18



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



dan Hanura. Temuan ketidakpatuhan LPPDK 9 partai politik dapat dilihat pada tabel 8 dibawah ini: Tabel 5 Temuan Ketidakpatuhan LPPDK Partai Politik Peserta Pemilu 2019



No



Partai Politik



Temuan Ketidakpatuhan



1



PKB



1. Transaksi penerimaan tidak masuk RKDK namun dikeluarkan oleh pribadi calon legislatif. 2. Partai politik membiayai pengeluaran dana kampanye tidak menggunakan dana yang ditempatkan RKDK.



2



GERINDRA



1. Periode LADK dibuka pada tanggal 20 Februari 2018 sedangkan RKDK baru dibuka tanggal 21 September 2018. 2. Pengeluaran dana kampanye Rp. 3.511.740.000 yang telah disampaikan dalam LADK tidak dilaporkan dalam LPPDK Partai Gerindra.



3



PDIP



1. PDIP menggunakan rekening lama untuk pembukuan RKDK, namun pengurus partai politik yang bertanda tangan di specimen telah berubah. 2. Terdapat beberapa calon legislatif yang tidak menandatangani LPSDK.



4



BERKARYA



1. Pada LPSDK ditemukan nama calon legislatif dicatat dua kali, sehingga transaksi penerimaan dan pengeluaran dana sumbangan dalam bentuk jasa calon legislatif sebesar Rp. 865.500.000 dilakukan pencatatan dua kali, tidak ada bukti pendukung. 2. Saldo akhir minus sebesar Rp. 1.958.000 berdasarkan pengujian bukti pendukung, namun pada RKDK saldo akhir per 25 April 2019 sebesar 5.000.000. 3. Pada LPPDK terdapat nama calon legislatif dicatat dua kali, sehingga transaksi penerimaan dana sumbangan dalam bentuk jasa dan pengeluaran dalam bentuk jasa caleg sebesar Rp. 868.500.000 dilakukan pencatatan dua kali, tidak ada bukti pendukung. Jumlah keseluruhan dana kampanye yang tidak ada bukti pendukung sebesar Rp. 18.761.241.104. 4. Ditemukan pengeluaran dana kampanye tidak melalui RKDK.



5



PPP



1. Terdapat 159 calon legislatif yang tidak mengumpulkan LADK7- Parpol dari 554 calon legislatif. 2. Ada 159 calon legislatif yang tidak mengumpulkan LPSDK-4 Parpol, dan LPSDK4-Parpol tidak didukung oleh bukti penerimaan masing-masing calon legislatif. 3. Hanya 360 caleg yang mengumpulkan LPPDK7-Parpol. 4. Terdapat kesalahan klsifikasi pengeluaran. Pengeluaran dalam bentuk lain-lain sebesar 7.170.750.000 yang berupa sumbangan PPP dalam bentuk mobil Daihatsu Luxio (5 unit) dan Grandmax (48 unit) seharusnya bukan kategori pengeluaran, tetapi masuk dalam kategori penerimaan barang bergerak tidak habis pakai. Mobil masuk dalam kategori modal maka tidak perlu ada pengeluaran sehingga langsung menjadi saldo akhir dalam bentuk barang.



19



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id 5. Dalam LPPDK7-Parpol banyak ditemukan ketidaksesuaian antara jumlah pengeluaran dan kuitansi yang dilampirkan. 6



PAN



1. RKDK hanya dibuka oleh bendahara umum DPP PAN, seharusnya specimen dilakukan bersama 2 orang pengurus parpol. 2. Tanggal awal periode LADK1-Parpol adalah 20 Februari 2018 seharusnya LADK dibuka sesuai dengan tanggal pembukuan RKDK, yaitu 21 September 2018. 3. Periode pembukuan LPPDK tidak sesuai ketentuan. 4. Terdapat penerimaan sumbangan dari calon legislatif yang tercatat pada LPPDK1-Parpol namun tidak tercatat pada LPPDK3-Parpol sebesar 8.099.583.250. 5. Penerimaan sumbangan partai politik tercatat sebesar Rp. 100.000.000, namun pada RKDK hanya Rp. 99.000.000. 6. Terdapat 40 aktivitas pengeluaran calon legislatif dengan nilai Rp. 2.902.553.998 yang tidak sesuai dengan bukti pengeluarannya.



7



DEMOKRAT



1. Ditemukan transaksi sebesar Rp. 1.048.896.058 tidak dilengkapi dengan bukti transaksi. 2. Terdapat 120 calon legislatif tidak melaporkan LPPDK. 3. Ditemukan pengeluaran sebesar Rp. 1.200.000.000 dalam LPPDK calon legislatif untuk membiayai saksi.



8



PBB



1. Model LPPDK7-Parpol Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat tidak ada dalam berkas yang diterima. 2. Terdapat selisih bukti pengeluaran dana kampanye dengan penarikan dari RKDK, sehingga saldo per-25 April 2019 di LPPDK2-Parpol lebih besar dari RKDK.



Sumber : www.kpu.go.id



Ketidakpatuhan LPPDK oleh mayoritas partai politik dikarenakan lemahnya sanksi bagi partai politik yang melanggarnya. Audit dana kampanye hanya berupa audit kepatuhan untuk menilai kesesuaian pelaporan dana kampanye dengan peraturan perundang-undangan. KAP tidak berkewajiban untuk menyelidiki kesesuaian transaksi dana kampanye dengan realitas aktivitas kampanye dilapangan. Tidak terdapat sanksi administratif bagi ketidakpatuhan pelaporan dana kampanye dari KPU ataupun Bawaslu. Peraturan dana kampanye juga tidak memberikan sanksi bagi partai politik dan caleg yang gagal memperoleh kursi yang tidak menyampaikan laporan dana kampanye, sehingga prinsip akuntabilitas dan kesetaraan peserta pemilu terabaikan. Seharusnya sanksi administratif diberikan berupa larangan untuk mengikuti pemilu berikutnya. Jika hal ini tidak dilakukan dampaknya prinsip akuntabilitas transparansi akan terus tercederai, pada ujungnya praktek koruptif dalam pengelolaan pemerintahan terus berjalan dan kepercayaan publik pada politisi dan partai politik akan terus menurun. Legislator memiliki kecendrungan untuk melonggarkan aturan dana kampanye, agar tidak membuat mereka repot dalam ketentuan administrasi. Selain itu partai politik sudah terlanjur dikuasai oleh 20



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



pemodal yang masuk atau di luar kepengurusan partai politik. Mereka menolak pengetatan pengaturan dana kampanye karena akan mengurangi pengaruhnya di dalam partai politik (Supriyanto, D & Wulandari, L , 2013 : 221). Pengetatan regulasi dana kampanye dapat mengurangi persepsi negatif publik terhadap korupsi politik dan meningkatkan kepercayaan publik pada institusi partai politik dan legislatornya. Sebenarnya reformasi dana kampanye bisa dilakukan dengan mewajibkan transaksi sumbangan dana kampanye melalui RKDK peserta pemilu dengan asumsi sebagian besar penyumbang memiliki rekening bank dan fasilitas internet banking agar memudahkan pengawasan dan menghindari pencucian uang. Jika dibandingkan dengan negara lain yang menerapkan sistem proporsional daftar terbuka, caleg diwajibkan untuk menyampaikan laporan dana kampanye. Hal seperti ini terjadi di Amerika Serikat, Inggris dan Perancis, dimana selain partai politik, para caleg juga memiliki kewajiban untuk melaporkan dana kampanye (Mellaz, 2018 : 68). Pembatasan pengeluaran dana kampanye perlu diterapkan untuk mengurangi keuntungan partai politik dan caleg yang memiliki banyak uang, terutama bagi para caleg yang mendanai kampanye dengan uang sendiri. Sekitar 30% dari semua negara membatasi jumlah pengeluaran partai politik, sementara lebih dari 40% membatasi pengeluaran caleg. Efektivitas batas pengeluaran bergantung pada apakah batas tersebut ditetapkan pada tingkat yang tepat untuk mengekang keuntungan mereka yang memiliki banyak uang tanpa menghalangi kampanye yang inklusif dan menarik (Ohman, 2014 : 27). Menurut Mellaz untuk mencegah potensi pembiayaan ilegal dalam kampanye perlu kesadaran bersama untuk mengawasi pembiayaan kampanye, karena dana yang disetor caleg bisa saja merupakan dana dari sponsor yang di masa depan akan dipenuhi permintaan politiknya. Senada dengan Mellaz, Sukmajati juga mengatakan bahwa selain pelaporan formal sebenarnya ada pula kebutuhan informal yang menguras kocek caleg, minimnya sumbangan partai politik berpotensi membuat caleg mengandalkan pendanaan gelap (Daud, 2019 :1). KESIMPULAN Pada penelitian ini diperoleh beberapa temuan, diantaranya: 1. Regulasi dana kampanye tidak mengatur tentang batasan sumbangan dana kampanye dari partai politik dan calon legislatif, batasan pengeluaran dana kampanye, dan objek pelapor dana kampanyenya partai politik bukan calon legislatifnya. 2. Penerimaan dana kampanye partai politik Peserta Pemilu 2019 didominasi oleh sumbangan dari calon legislatif, dan pengeluarannya terbanyak pada jasa kampanye. 3. Hasil audit KAP terhadap LPPDK partai politik peserta pemilu 2019 memperlihatkan adanya ketidaktransparan dan ketidakpatuhan pada aturan dana kampanye dari mayoritas partai politik. Laporan dana kampanye masih bersifat formalitas dan KPU tidak memiliki kewenangan lebih lanjut mengenai ketidakpatuhan partai politik dalam pelaporan dana kampanye. 21



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Berdasarkan temuan tersebut, penulis merekomendasikan hal-hal berikut ini : 1. Perubahan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dengan memasukan aturan pembatasan sumbangan dana kampanye dari partai politik dan calon legislatif, serta diberlakukannya batasan pengeluaran dana kampanye. Ditambahkan regulasi yang mengatur calon legislatif menjadi objek pelapor dana kampanye dan adanya sanksi larangan menjadi peserta pemilu berikutnya bagi calon legislatif dan partai politik yang tidak melaporkan dana kampanye. 2. Untuk transparansi dan akuntabilitas dana kampanye KPU membuat aplikasi dana kampanye yang dapat diakses pemilih untuk melihat sumber dan pengeluaran dana kampanye peserta Pemilu 2019. DAFTAR PUSTAKA Buku Mellaz, A. (2018). Personal Vote, Candidate-Centered Politics, dan Pembiayaan Pileg 2014. Dalam Sukmajati, M & Perdana, A (ed) (2018). Pembiayaan Pemilu di Indonesia. Jakarta : Bawaslu. __________. (2019). Pembiayaan Kampanye Pemilu 2019 : Personal Vote dan Candidate Centered Politics dalam Bingkai Pemilu Serentak. Dalam Dede Sri Kartini (ed), (2019). Perihal Penyelenggaraan Kampanye. Jakarta : Bawaslu. Nassmacher, K H .(2014). Regulasi Keuangan Partai. Dalam Katz, RS & Crotty, W. Handbook Partai Politik. Bandung : Nusa Media. Falguera, et.al (2014). Funding of Political Parties and Election Campaigns : A Handbook on Political Finance. Stockholm : IDEA. Ohman, M (2014). Getting the Political Finance System Right. Dalam Falguera et.al . Funding of Political Parties and Election Campaigns : A Handbook on Political Finance. Stockholm : IDEA. Supriyanto, D & Wulandari, L (2013). Basa-Basi Dana Kampanye : Pengabaian Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas Peserta Pemilu. Jakarta : Yayasan Perludem. Sukmajati, M & Perdana, A (2018). Pendahuluan: Pembiayaan Pemilu di Indonesia. Dalam Sukmajati, M & Perdana, A (ed) (2018). Pembiayaan Pemilu di Indonesia. Jakarta : Bawaslu. RI, BAWASLU (2019). Laporan Kinerja 2019. Jakarta : Bawaslu. Jurnal



Avkiran, et.al. (2015). Knowledge of campaign finance regulation reduces perceptions of corruption. Accounting & Finance , 1-23. Bussey, J. (2000). Campaign Finance Goes Global. Foreign Policy, (118), 7484. Claessens, S,. et.al (2008). Political conections and preferiantials acess to finance : The role of campaign contributions. Journal of Financial Economics, 88, 554-580. Gross, et.al. (2002). State Campaign Finance Regulations and Electoral Competition. American Politics Research, 30(2), 143-165. 22



Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020 www.journal.kpu.go.id



Hamm, K.E & Hogan R.E. (2008). Campaign Finance Laws and Candidacy Decisions in State Legislative Elections. Political Research Quarterly, 61(3), 458-467. Junaidi, V. (2012). Pengaturan Dana Kampanye Pemilu : Mau Dibawa Kemana ?. Jurnal Pemilu & Demokrasi, 3, 1-26. Mas’oed, M & Savarini, A (2011). Financing Politics in Indonesia. PCD Journal, III(1-2). 63-94. Mietzner, M. (2015). Dysfunction by Design : Political Finance and Corruption in Indonesia. Ciritical Asian Studies 47(4), 587-610. Noor, F. (2017). Fenomena Post Democracy Party di Indonesia : Kajian Atas Latar Belakang, Karakteristik dan Dampaknya. Jurnal Penelitian Politik 4(2), 109-125. Sukmajati, M & Disyacitta, F. (2019). Pendanaan Pemilu Serentak 2019 di Indonesia : Penguatan Demokrasi Patronase ?. Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS 5(1). 75-95. Artikel Online Daud, A. (2019). Sejumlah LSM Soroti Penurunan Dana Kampanye 2019. Diakses 5 April 2020, dari : https://katadata.co.id/berita/2019/01/28/sejumlah-lsm-sorotipenurunan-dana-kampanye-pemilu-2019 Salabi, A. (2010). Dana Kampanye di Politik Elektoral 2019, Menanti Keberanian Penyelenggara Pemilu. Diakses 5 Maret 2020, dari : http://perludem.org/2018/04/13/dana-kampanye-di-politikelektoral-2019-menanti-keberanian-penyelenggara-pemilu-olehamalia-salabi/



23