Kaidah Kulliyah Sughro 12-22 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Sebagai landasan aktivitas umat Islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud-maksud ajaran Islam (maqashid al-syari’ah) secara lebih menyeluruh, keberadaan qawaid Fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting. Baik dimata para ahli ushul maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id Fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu ijtihad atau pembaruan pemikiran dalam masalah ibadah, muamalah, dan skala prioritas. Banyak kaidah fikih yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungannya lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang-cabang fiqih tertentu dan disebut al-qawaid al fiqhiyyah al-khashshah atau juga disebut al-dhawabith oleh sebagian ulama. Manfaat keberadaan qawa’id fiqhiyyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari teks dan jiwa nash asalnya yaitu al-Qur’an dan al-Hadis yang digeneralisasi dengan sangat teliti oleh para ulama terdahulu dengan memperhatikan berbagai kasus fiqh yang pernah terjadi, sehingga hasilnya kini mudah diterapkan kepada masyarakat luas. Menurut Musthafa al-Zarqa, Qowaidul Fiqhiyyah ialah dasar-dasar fiqh yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.1 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana penjelasan kaidah sughro dari 12 sampai kadiah ke 22?



1



Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. (Jakarta: Amzah, 2005) hlm. 13.



BAB II PEMBAHASAN A. Kulliyah Sughro Lanjutan 12-22 1. Kaidah kedua belas ٌّ‫ف ُم ْستَ َحب‬ ِ َ‫اَ ْل ُخرُوْ َج ِمنَ ال ِخال‬ “keluar dari khilaf itu diutamakan”.             Maksud dari kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang hukum halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan. Dasar kidah ini ialah sabda Nabi SAW : ‫ت فَقَ ِدا ْستَ ْب َرأَلِ ِد ْينِ ِه‬ ِ ‫فَ َم ِن اتَّقَى ال ُّشبُهَا‬             “Maka barang iapa yang menjaga diri dari syubhat (tidak jelas hukumnya), maka ia mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya”.             Maksud kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang hukum halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.             Dalam memperhatikan dan menjaga khilaf itu ada beberapa syarat yaitu : a. Jangan sampai membawa khilaf yang lain. b. Jangan sampai menselisihi sunnah yang tsabit. c. Hendaknya kuat dasarnya. Pada suatu hari ada seseorang menjual budak. Budak tersebut telah bertempat tinggal di tempat pembeli selama beberapa hari. Lantas, si pembeli menemukan cacat pada budak tersebut, dan melaporkan masalah itu kepada Nabi Saw. Maka nabi mengembalikan budak itu kepada penjual. Si penjual berkata : “Wahai Rasulullah, ia (si pembeli) telah mengambil manfaat dari budakku”. Rasulullah menjawab:”Al-Kharaj (Hak mendapatkan hasil) disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian.” Dalam kaitan ini, Abu „Ubaid mengatakan : yang dimaksudkan dengan alkharaj dalam hadits ini adalah pekerjaan hamba yang telah dibeli seseorang, yang kemudian orang tersebut menyuruh menyuruh supaya hamba itu bekerja untuknya dalam waktu tertentu. Lantas diketahui adanya cacat yang disembunyikan oleh penjual, kemudian ia kembalikan kepada penjual tersebut, dengan diambil seluruh



uang hargaanya. Pembeli itu sesungguhnya memang telah memanfaatkan hamba itu, dengan memperkerjakannya. Pemanfaatan yang dilakukan pembeli tersebut dapat dibenarkan, karena ia telah memberikan nafkah kepadanya selama berada di tangannya. 2. Kaidah ketiga belas ‫ال َّد ْف ُع اَ ْق َوى ِمنَ ال َّر ْف ِع‬ “Menolak itu lebih kuatdari pada mengangkat” Artinya menolak agar tigak terjadi itu lebih kuat daripada mengembalikan seperti sebelum terjadi. Menjaga diriagar tidak saki, lebih utama daripada mengobati setelah sakit. Contoh pelaksanaan kaidah ini adalah: adanya air sebelum shalat bagi orang yang tayamum, berarti mmencegah untuk melaksanakan shalat. Tetapi adanya di tengah-tengah shalat tidak membatalkan shalat. Kaidah ini dirumuskan oleh para ahli ushul al-fiqh dari dua dalil sebagai berikut: Pertama, firman Allah dalam surat al-Hujarat ayat 12 , yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak berbuat prasangka, (karena) sebagian dari berprasangka itu adalah dosa.” Kedua, hadits Nabi yang artinya: ......barangsiapa dapat memelihara dari syubhat, niscaya bersih agama dan kehormatannya....” Kandungan dua dalil di atas adalah bahwa kita dilarang berprasangka buruk, dan diperintahkan menghindari hal-hal yang syubhat, sebab dari prasangka buruk dan hal yang syubhat itulah muncul perselisihan. Dari norma-norma itulah maka dirumuskan kaidah fiqih di atas, sehingga lari atau keluar dari perselisihan di pandang sebagai hal yang disukai agama. Atas dasar kaidah di atas, maka: a. Orang musafir sejauh tiga marhalah (lebih-kurang 84 km) disukai (lebih baik) meng-qashar shalat sebagai jalan keluar dari perselisihan para ulama dalam masalah ini. Abu Hanifah berpendapat wajib qashar, imam yang lain berpendapat tidak wajib qashar. Meng-qashar shalat ketika musafir dengan menganggap bukan suatu kewajiban, tapi sebagai perbuatan yang disukai, berarti sudah memilih jalan keluar dari perselisihan.



b. Orang buang air besar atau kecil disukai (lebih baik) tidak menghadap atau membelakangi kiblat, sekalipun di tempat tertutup, sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini. Imam atsTsauri mewajibkan menjauhi menghadap dan membelakangi kiblat pada saat buang air besar atau kecil, sedangkan imam yang lain tidak mewajibkan hal seperti itu. c. Perkawinan seseorang hendaklah dilakukan dengan wali, sebagai jalan keluar dari perselisihan pendapat ulama. Mayoritas ulama mewajibkan adanya wali, Abu Hanifah hanya menganggapnya sebagai pelengkap. 3. Kaidah keempat belas ‫صى‬ ِ ‫الرُّ ْخصُ اَل تُنَاطُ بِ ْال َم َعا‬ “keringanan (rikhshah) itu tidak dihubungkan/dikaitkan dengan kemaksiatan-kemaksiatan”. Rukhshah diberikan adalah karena adanya sebab, namun apabila sebab itu ada kaitanny dengan perbuatan maksiat atau perbuatan haram, maka rukhshah in tidak diberikan. Atau dengan kata lain, pada perbuatan maksiat itu bisa diberikan rukhshah. Berpergian untuk maksiat tidak diizinkan untuk mengqashar dan menjama’, atau berbuka puasa. Sedang kalau berpergiannya tidak maksiat semua ini dibolehkan. Kaidah ini merupakan aturan preventif untuk mencegah suatu tindakan kejahatan dengan memberikan sanksi terhadap pelakunya berupa pencabutan hak. Atas dasar ini, menurut as-Suyuthi, (t.t:103-104) maka: a. Khamar apabila telah berubah menjadi cuka dengan sendirinya hukum meminumnya adalah halal. Tetapi apabila perubahannya dipercepat oleh proses kimia, maka hukum meminumnya haram. Hal ini kalau kita mengikuti pendapat ulama yang menetapkan kenajisan wujud minuman keras itu. b. Seorang ahli waris pembunuh atau mengusahakan terbunuhnya pewaris (muwarits) maka hak warisnya dicabut. Dengan demikian seseorang yang



tergesagesa berbuka puasa sebelum waktunya maka puasanya batal dan tidak berhak mendapat ganjaran puasa. 4. Kaidah kelima belas ‫ث‬ ِ ِ‫الرُّ ْخصُ اَل تُنَاطُ بِالِثَّل‬ “keringanan (rukhshah) tidak dikaitkan dihubungkan dengan syak (ragu-ragu)”. Artinya orang ragu-ragu tentang dibolehkannya qashar, maka ia wajib menyempurnakan shalatnya, karena yang asal ibadah harus dikerjakan secara sempurna. Artinya



menolak



agar



tidak



terjadi



lebih



kuat



dari



pada



mengembalikan sebelum terjadi. Atau menjaga diri agar tidak sakit lebih utama dari pada mengobati setelah sakit (Prevention is better than cure). Dari kaidah ini diketahui bahwa: Air musta‟mal apabila sampai dua qullah, kembalinya menjadi suci diperselisihkan, tetapi kalau sejak semula sudah dua qullah banyaknya, disepakati sucinya. Bedanya kalau sudah banyak sejak semula berarti menolak, dan banyak setealh musta‟mal berati mengangkat. Jadi menolak lebih kuat dari pada mengangkat. Contoh lain, berarti mencegah untuk melakukan shalat bagi orang tayamum, berarti mencegah untuk melakukan shalat. Tetapi adanya air di tengahtengah shalat, tidak membatalkan shalat. Dari kaidah di atas juga dapat dipahami bahwa: Kefasikan mencegah orang untuk diangkat menjadi imam. Tetapi, kefasikan terjadi di tengah-tengah menjadi imam tidak menjatuhkannya. 5. Kaidah Keenam Belas ‫الر ضا با لشئ رضا بما يتولد منه‬ “Rela terhadap sesuatu adalah (juga) rela terhadap apa yang timbul dari sesuatu itu” Searti dengan kaidah ini ialah kaidah: ‫المتولد من ما ذ ون فيه ال اثرله‬



“Yang timbul dari sesuatu yang telah diizinkan (diterima) tidak ada pengaruh baginya”.             Artinya apabila seseorang telah rela dan menerima sesuatu, makaia harus menerima segala rentean persoalan akibat dari sesuatu yang telah diterima. Yang berarti menerima segala resiko akibat penerimaannya. Contoh:Orang membeli barang yang sudah cacat, dia harus rela terhadap semua keadaan akibat dari cacat itu. Misalnya: cactnya berkembang lebih besar. Demikian pula membeli binatang yang sakit, dia harus menerima semua yang terjadi akibat dari sakitnya binatang tersebut. 6. Kaidah Ketujuh Belas ‫السؤال معا د فى الجوا ب‬ “Pertanyaan itu diulangi dalam jawaban” Jadi hukum dari suaru jawaban itu adalah terletak pada soalnya. Sehingga apabila seseorang hakim bertanya dengan maksud minta keterangan kepada seorang tergugat: “apakah istrimu telah engkau talak?”.  Apabila dijawab: “ya”, maka istri tergugat telah berlaku hokum sebagai wanita yang telah ditalak oleh suaminya. Dalam hal ini tergugat telah mengakui (ikrar) atas gugatan mudda’iy. 7. Kaidah Kedelapan Belas ‫الينسب الى سا كت قول‬ ‫ما كا ن اكثر فعال كا ن اكا ن اكثر فضال‬ “Apa yang lebih banyak perbuatannya, tentu lebih banyak keutamaannya”. Dasar dari kaidah ini ialah Sabda Nabi SAW kepada Aisyah RA: )‫اجرك على قد ر نصبك (رواه مسلم‬ “Pahalamu adalah Berdasarkan kadar usahamu”. Sesuai dengan hadits yang menjadi dasar kaidah, maka dengan sendirinya yang dimaksud oleh kaidah ialah perbuatan kebaikan, sehingga makin banyak dipebuat, makin tambah keutamaannya.



Contoh: Shalat witir dengan cara diputus lebih utama disbanding dengan secara disambung, sebab dengan diputus akan tambah niat, takbir dan salam. Merupakan pengecualian dari kaidah ini ialah beberapa perbuaqtan, diantaranya ialah: Shalat qashar dalam bepergian yang memenuhi syarat-syaratnya, lebih baik daeipada shalat dengan tidak qashar. 8. Kaidah Kedua Puluh ‫المتعد ى افضل من القا صر‬ “perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain, lebih utama daripada yang terbatas untuk kepentingan sendiri”. Suatu perbuatan yang dapat menghasilkan kemanfaatan yang dapat mencakup kepada kepda orang lain, lebih utama dari pada perbuatan yang manfaatnya hanya dapat dirasakan oleh dirinya sendiri. Berdasarkan kaidah ini, maka Abu Ishaq, Imam Haromain dan ayahnya berpendapat, bahwa bagi yang melakukan fadlu kifayah mempunyai kelebihan daripada melakukan fadlu ain, karena dengan melakukan fadlu kifayah itu berarti menghilangkan kesukaran-kesukaran yang ada pada ummat. Menurut imam Syafi’I, mencari ilmu itu lebih utama dari pada shalat sunat, karena mencari ilmu akan bermanfaat kepada orang banyak, sedangkan shalat sunnat itu hanya manfaatnta pada diri sendiri. 9. Kaidah Kedua Puluh Satu ‫الفر ض افضل من النفل‬ “Fadlu itu lebih utama daripada sunnat” Dasar  dari kaidah ini ialah Sabda Rasulullah SAW dalam salah satu Hadits beliau: ‫من تقر ب فيه بخصلة من خصا ل الخير كا ن كمن اد ى فريضة فيما سواه ومن ادى فريضة فيه كا ن‬ ‫كمن ادى سبعين فريضة فيما سواه‬ “Barangsiapa mendekatkan diri (ibadah) kepada Allah dalam bulan Ramadhan dengan salah satu perbuatan kebaikan (ibadah sunnah), maka dia



sepertulan menunaikan ibadah fardlu diluar bulan Ramadhan, dan barangsiapa nmelakukan satu ibadah fardlu dalam bulan Ramadhan, maka dia seperti menunaikan 70 ibadah fardlu diselain bhulan Ramadhan.” Dalam Hadits ini Nabi telah memperbandingkan antara sunnah dalam bulan Ramadhan dengan 70 fardlu di luar Ramadhan, semua ini member pengertian bahwa fardlu itu lebih utama daripada sunnat dengan 70 derajat/tingkat. Dari kaidah di atas dipahami bahwa: Pertama, Shalat fardhu di masjid lebih utama daripada di luar masjid. Tetapi shalat di luar masjid dengan berjama‟ah adalah lebih utama daripada shalat di masjid sendirian (tanpa berjama‟ah), sebab berjama‟ah adalah berkaitan dengan ibadat itu sendiri. Kedua, shalat sunnat di rumah adalah lebih utama daripada shalat di masjid, sebab adanya keutamaan yang langsung ada pada shalat, yaitu menjadi sebab kesempurnaan khusyu‟, ikhlas, jauh dari riya‟. Ikhlas adalah berkaitan dengan shalat itu sendiri. 10. Kaidah Kedua Puluh Dua ‫الفضيلة المتعلقة بذا ت العبا د ة اولى من المتعلقة بمكا نه‬ “Keutamaan yang dipautkan dengan ibadah sendiri, lebih baik dari pada yang dipautkan dengan tempatnya”. Pensyarah kitab Al-Muhadzdzab berkata: segolongan dari segolongan kami (Syafi’iyyah) menegaskan, bahwa kaidah ini adalah penting, dan kaidah ini difahamkan dari perkataan ulama-ulama yang terdahulu. Diantara hokum yag ditetapkan berdasarkan kaidah ini ialah: a. Shalat fardlu di masjid lebih utama daripada diluar masjid b. Shalat sunnah dirumah adlah lebih uta daripada suhalat sunnah di masjid. c. Thawaf dekat dengan ka’bah adlah sunnah, larikecil disunatkan dengan dekat pada ka’bah. Dari kaidah di atas, dapat dipahami bahwa manakala seseorang telah rela akan sesuatu atau telah menerima atau mengizinkan sesuatu, maka segala



akibat dari apa yang direlakannya itu haruslah ia terima. Jadi, berarti kerelaan menerima resiko yang ditimbulkannya. Atas dasar kaidah di atas, maka: a. Apabila ada seseorang yang membeli mobil yang telah ada dan diketahui rusaknya maka ia harus menerima akibat yang terjadi dari kerusakan itu, umpamanya sering mogok di jalan. b. Apabila seseorang perempuan mau dinikahi oleh seseorang laki-laki yang melarat, dan berakibat kemelaratan semakin parah, maka pada prinsipnya perempuan itu tidak dibenarkan menggugat suami untuk fasakh nikah. Sebab, kemelaratan yang ada adalah akibat dari kemelaratan sebelumnya yang telah direlakannya ketika akan menikah.



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan n