Kajian Literatur KPBU [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KAJIAN LITERATUR: TATA KELOLA PROYEK PENYEDIAAN AIR MINUM MELALUI SKEMA KERJA SAMA PEMERINTAH DAN BADAN USAHA (Studi Kasus Proyek SPAM Semarang Barat)



Untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Riset



Disusun Oleh: Nama :



Fenita Enggraini



NIM



20140119410016



:



PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS DIPONEGORO 2020



Tata Kelola Proyek Penyediaan Air Minum Melalui Skema Kerja Sama Pemerintah Dan Badan Usaha (Studi Kasus Proyek SPAM Semarang Barat)



Kajian Pustaka 1. Penyediaan Infrastruktur Infrastruktur adalah sistem fisik berupa penyediaan transportasi, pengairan, drainase, bangunan gedung, dan fasilitas publik lainnya, untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia baik dalam lingkup sosial maupun ekonomi (Grigg, 1988). Infrastruktur merupakan suatu wadah untuk menopang kegiatan-kegiatan dalam satu ruang. Ketersediaan infrastruktur memberikan akses mudah bagi masyarakat terhadap sumber daya sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam melakukan kegiatan sosial maupun ekonomi. Dengan meningkatnya efisiensi maka akan meningkatkan perkembangan ekonomi dalam suatu wilayah. Menurut Zhang (2015), infrastruktur dianggap sebagai layanan pendukung kehidupan manusia. Infrastruktur penting untuk menunjang pembangunan ekonomi, mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan kelestarian lingkungan. Pemerintah pada akhirnya bertanggung jawab untuk penyediaan layanan publik dan infrastruktur yang diperlukan untuk masyarakat. Namun saat ini terdapat kendala dalam pemenuhan infrastruktur baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Infrastruktur yang tidak memadai merupakan kendala pada pertumbuhan dan berdampak pada kualitas hidup, khususnya di negara-negara berkembang. Kondisi ini menjadi lebih buruk ketika penyediaan infrastruktur cenderung dimonopoli oleh pemerintah sementara dana yang dimiliki pemerintah sangat terbatas. Padahal solusi dari keterbatasan pendanaan tersebut membutuhkan upaya gabungan dari sektor publik, swasta, dan masyarakat.



2. Sumber Pembiayaan Non-Konvensional Tantangan dalam penyediaan infrastruktur adalah adanya gap antara kebutuhan dengan kemampuan fiskal pemerintah. Devapriya (2006) dan Kajimo-Shakantu, et al (2014) sepakat bahwa mencari sumber pembiayaan alternatif diperlukan dalam rangka mengatasai gap tersebut. Beberapa peluang dan potensi yang dimiliki oleh pemerintah, khususnya berkaitan dengan mobilisasi sumber penerimaan yang sudah dimanfaatkan oleh pemerintah daerah umumnya masih bersifat konvensional (tradisional), seperti misalnya pajak, retribusi dan pinjaman. Pada kenyataannya, di luar sumber-sumber yang bersifat konvensional tersebut



2



masih banyak jenis sumber-sumber lainnya yang bersifat nonkonvensional (non-tradisional). Pembiayaan infrastruktur non-konvensional terdiri dari tiga jenis instrumen keuangan (Hirawan, 1995). Skema tersebut ialah Pendapatan, Hutang, dan Kekayaan. 2.1 Skema Pendapatan a. Development Impact Fee (Dif) Pembangunan dilakukan oleh pihak swasta yang bekerja sama dengan pihak pemerintah untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur sebagai kompensasi karena adanya pembangunan baru (Artiningsih, 2019). b. Betterment Levies Adalah tagihan modal yang digunakan untuk membiayai modal dari investasi prasarana (Hirawan, 1995). Tujuannya adalah agar masyarakat yang memperoleh manfaat langsung dari perbaikan prasarana tersebut ikut menanggung pembiayaannya. 2.2 Skema Hutang a. Obligasi Obligasi pada dasarnya merupakan surat pengakuan utang atas pinjaman yang diterima oleh perusahaan penerbit obligasi dari masyarakat pemodal (Hirawan, 1995). b. Linkage Penyediaan infrastruktur dimana swasta diharuskan menyediakan dan membiayai prasarana yang sejenis yang pada dasarnya kurang diinginkan sebagai persetujuan pembangunan sarana/prasarana komersial yang diinginkan (Artiningsih, 2019). c. Excess Condemnation Excess condemnation merupakan metode pembiayaan prasarana secara tidak langsung, dimana sejumlah tanah disisihkan untuk pembangunan prasarana, dan sejumlah lainnya diberikan pada developer swasta untuk pembangunan komersial. Sebagai imbalannya, developer berkewajiban untuk membangun prasarana yang dibutuhkan (Hirawan, 1995). 2.3 Skema Kekayaan a. Joint Venture Merupakan skema kerjasama antara pemerintah dan swasta dimana terdapat pembagian peran yang seimbang (Artiningsih, 2019). Tujuan utama dari kerja sama ini adalah untuk memadukan keunggulan yang dimiliki sektor swasta, misalnya modal, teknologi, kemampuan manajemen, dengan keunggulan yang dimiliki oleh sektor pemerintah yakni kewenangan dan kepercayaan masyarakat.



3



b. Consessions Dalam skema ini, swasta mengambil alih pengelolaan badan usaha milik pemerintah selama jangka waktu yang diberikan, dimana dalam jangka waktu tersebut, swasta diberikan hak untuk mengelola fasilitas infrastruktur dan karenanya akan menanggung resiko investasi. c. Public Private Partnership/Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Bentuk kerjasama antara pemerintah dan swasta yang didasarkan pada kontrak jangka panjang. Bentuk dukungan pemerintah dapat berupa pembayaran berkala oleh pemerintah kepada badan usaha atas layanan infrastruktur yang telah tersedia (Availability Payment), kontribusi biaya konstruksi yang diberikan secara tunai yang bertujuan meningkatkan kelayakan finansial (Viability Gap Funding), penjaminan pemerintah, maupun pembagian pembiayaan kontruksi. d. PINA Bentuk kerja sama pembiayaan melalui investasi swasta dalam rangka mempercepat pembiayaan proyek, dilakukan untuk proyek strategis nasional. e. Sumber dana masyarakat Sumber dana masyarakat adalah segala macam sumber pendanaan yang berasal dari harta/tenaga masyarakat sekitar guna pembangunan wilayah sekitar. f. CSR Bentuk tanggung jawab swasta terhadap terhadap pendidikan, perekonomian dan kesejahteraan penduduk sekitar. g. Filantropi Tindakan sukarela masyarakat untuk membantu kepentingan publik.



3. Public Private Partnership 3.1 Definisi Public Private Partnership (PPP) merupakan suatu kelembagaan yang terdiri dari pemerintah dan swasta yang bertujuan untuk mewujudkan proyek-proyek yang terkait dengan pengembangan sektor sektor ekonomi strategis maupun penyediaan layanan publik (Akhmetshina, 2017) dimana pengaturannya dilakukan melalui kontrak jangka panjang (Hueskes, 2017). Menurut Zhang (2015) PPP didefinisikan sebagai strategi untuk menyediakan fasilitas infrastruktur yang berkualitas dan layanan dengan efisiensi tinggi yang 4



berlandaskan pada pengaturan kontrak jangka panjang antara pemerintah dan swasta yang saling bersinergi (sebagai dasar tata kelola hubungan formal). Sehingga dapat disimpulkan bahwa PPP adalah kerjasama kelembagaan antara pemerintah dan swasta dalam rangka penyediaan infrastruktur maupun layanan publik berdasarkan kontrak jangka panjang yang dilakukan untuk mencapai tujuan efisiensi dan penyediaan layanan yang berkualitas. 3.2 Sejarah Munculnya Public Private Partnership Sejarah munculnya PPP di dunia dipicu oleh tekanan untuk mengubah model standar pengadaan barang publik yang cenderung menyebabkan peningkatan utang pemerintah. Selain itu muncul permasalahan pada sektor pengadaan barang publik tradisional yaitu adanya pemisahan dalam tanggung jawab dan tim kerja antara desain, keuangan, konstruksi dan operasi bangunan dan pengoperasian aset yang menjadi alasan rendahnya kinerja di banyak proyek infrastruktur. Sehingga pada tahun 1992 di Inggris diperkenalkan untuk pertama kali program yang bertujuan untuk mendorong kerjasama pemerintah-swasta, yaitu Private Finance Initiative (PFI). Dalam proyek PFI tersebut, desain dan konstruksi sepenuhnya terintegrasi dengan operasi dan manajemen aset. Swasta memiliki tanggung jawab dalam pembayaran modal yang akan dikembalikan melalui pembayaran layanan ketika dioperasikan. Sebaliknya pemerintah tidak membayar modal selama periode konstruksi, tetapi membayar untuk layanan selama periode operasional. Pemerintah tidak lagi bertanggung jawab atas desain proyek, tetapi lebih sebagai penentu standar layanan dan spesifikasi output sebagai dasar penilaian kinerja layanan (Bing, 2005). 3.3 Bentuk Kerja Sama Bentuk kerja sama dalam PPP dimulai dari keberadaan hubungan kemitraan. Kemitraan dalam pandangan manajemen publik baru dianggap sebagai cara untuk meningkatkan tata kelola (Brinkerhoff, 2011). Selanjutnya World Bank (2017) menguraikan bentuk-bentuk kerja sama dalam PPP antara lain: 



Design-Build-Finance-Operate-Maintain



(DBFOM);



Design-Build-Finance-Operate



(DBFO); Design-Construct-Manage-Finance (DCMF). Pendekatan dalam kerja sama ini adalah sejauhmana fungsi-fungsi diserahkan dan menjadi tanggung jawab swasta. Dalam bentuk kerja sama ini, fungsi dari desain sampai dengan operasi (bahkan maintenance) diserahkan kepada pihak swasta. DBFO merupakan alihalih dari DBFOM dengan tanggung jawab pemeliharaan yang tersirat dalam fungsi operasi. Sementara DCMF merupakan pengertian yang setara dengan kontrak DBFOM.



5







Build-Operate-Transfer (BOT), Build-Own-Operate-Transfer (BOOT), Build-TransferOperate (BTO). Pendekatan dalam kerja sama ini menggambarkan bagaimana kepemilikan dan kendali hukum atas asset-aset pekerjaan. Pada pola BOT, pihak swasta mendesain, dan membangun aset, serta mengoperasikannya, dan mentransfer ke pemerintah ketika masa kontrak berakhir. BOOT merupakan pola kerja sama dimana swasta membiayai, membangun, memiliki, mengoperasikan, memelihara, mengelola dan menghimpun pembayaran dari pengguna infrastruktur selama masa guna pakai, dan pada akhir masa guna pakai hak milik dikembalikan kepada pemerintah. Sementara, kontrak BuildTransfer-Operate (BTO) adalah pola kerja sama dimana kepemilikan aset ditransfer ke pemerintah setelah konstruksi selesai.







Rehabilitate-Operate-Transfer (ROT) Rehabilitasi dapat menggantikan Build di mana pihak swasta bertanggung jawab untuk merehabilitasi, meningkatkan, atau memperluas aset yang ada.







Concession Merupakan wujud kerjasama yang dilihat dari sudut pandang siapa yang membayar atas fasilitas/layanan yang disediakan. Konsesi biasanya terkait dengan penyediaan layanan dalam jangka waktu yang panjang dimana layanan tersebut dibayar oleh pengguna baik secara penuh maupun sebagian dibayar oleh pemerintah.







Private Finance Initiative (PFI) Digunakan untuk menggambarkan pola kerjasama dimana pihak swasta melakukan desain, konstruksi, pembiayaan, dan pemeliharaan namun tidak memberikan layanan secara langsung kepada pengguna. Selama masa kontrak dan layanan dioperasikan, pemerintah melakukan pembiayaan atas kontrak tersebut kepada swasta.







Operations and Maintenance (O&M) Adalah bentuk kerja sama untuk operasi dan pemeliharaan yang berbasis kinerja, jangka panjang, dan melibatkan investasi swasta yang signifikan (kadang-kadang juga disebut kontrak pemeliharaan berbasis kinerja).







Affermage/Leasing Bentuk kerja sama yang mirip dengan konsesi, tetapi dengan pemerintah biasanya tetap bertanggung jawab atas pengeluaran modal. Dalam jenis pengaturan affermage/leasing, operator (leaseholder) bertanggung jawab untuk mengoperasikan dan memelihara fasilitas



6



infrastruktur dan mengoperasikan layanan, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan investasi besar. 



Management Contract Merupakan bentuk kerja sama dimana pemerintah memiliki tanggung jawab dalam kepemilikan aset dan pengeluaran modal, sedangkan operasi dan pemeliharaan ditangani oleh sektor swasta. Jenis kontrak ini umumnya berdurasi 3-5 tahun.



4. PPP Cycle Hueskes (2017) menjabarkan 4 (empat) fase dalam PPP Cycle sebagaimana gambar 1. Project identification merupakan tahapan dimana project didefinisikan dan spesifikasi output ditetapkan. Selanjutnya pada tahap detail preparation, ditentukan keterlibatan stakeholder, desain PPP, kriteria dan metode pengadaan. Pada tahap procurement adalah pemilihan badan usaha dimana tahap ini diakhiri dengan financial close. Selanjutnya tahap terakhir adalah implementasi proyek yaitu dilakukan manajemen atas kontrak yang berjalan dan monitoring atas proyek yang berjalan.



Gambar 1. PPP Cycle menurut Hueskes (2017) Sumber: Hueskes, 2017



Di Indonesia, proses bisnis Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur yang kemudian tahapan pelaksanaanya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri PPN/Bappenas Nomor 4 Tahun 2015 yaitu sebagaimana gambar 2. Tahap perencanaan KPBU menghasilkan output berupa rencana KPBU, studi pendahuluan dan konsultasi, serta keputusan tindak lanjut KPBU. Selanjutnya pada tahap penyiapan KPBU dilakukan penyusunan OBC, penjajakan minat pasar, permohonan dukungan/jaminan pemerintah, dan penyusunan FBC. Di tahap transaksi KPBU dilakukan pemilihan badan usaha yang dimulai dari prakualifikasi hingga penandatanganan perjanjian KPBU dan financial close. Selanjutnya tahap pelaksanaan KPBU meliputi konstruksi, operasi, dan berakhirnya perjanjian KPBU.



7



Gambar 2.Proses Bisnis KPBU Sumber: PermenPPN 4/2015



5. Parameter Keberhasilan PPP Berdasarkan kajian literatur, parameter penentu keberhasilan dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) yaitu stakeholder, kelembagaan, tata kelola, reward punishment & kepastian hukum. Parameter keberhasilan. Aspek stakeholder meliputi adanya pemahaman yang jelas terkait proses, visi misi, dan tujuan bersama serta pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas untuk mencapai outcomes. Aspek tata kelola meliputi adanya aspek tata kelola yang baik berdasarkan prinsip-prinsip inklusi, kesetaraan, keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan perilaku etis. Dari aspek kelembagaan dapat diartikan bahwa diperlukan kerangka delegasi pengelolaan, manajemen asset, manajemen kontrak yang baik untuk menjawab isu isu operasional dan permasalahan regulasi serta adanya lembaga profesional dan fleksibel untuk mengkoordinasikan para pihak. Yang terakhir adalah diperlukannya sistem reward dan punishment yang jelas yaitu pemberian insentif yang tepat untuk tiap stakeholder serta adanya kepastian dan jaminan hukum. Parameter keberhasilan PPP berdasarkan hasil kajian literatur adalah sebagai berikut:



8



Tabel 1. Parameter Keberhasilan PPP Alla (1996) diperlukan pemahaman yang jelas terkait peran, hubungan, dan outcomes yang harus dicapai stakeholder



Wilson (2010)



Qizilbash (2011)



Brikenhoff (2011) pentingnya memahami keunggulan komparatif dan kepentingan para aktor yang datang bersama dalam kemitraan



Stakeholder



Tata Kelola



proses seleksi yang adil dan transparan dimana pemerintah mengembangkan kemitraan aspek kelembagaan merupakan faktor sukses dari KPBU. Aspek ini terkait dengan konsep : kerangka delegasi pengelolaan, manajemen asset, manajemen kontrak, isu isu operasional dan tubuh regulasi yang terkait dengan peran pemerintah pusat atau daerah dalam PPP



Kelembagaan



Reward & Punishment, serta kepastian hukum



adanya aspek tata kelola yang baik berdasarkan prinsip-prinsip ini berarti inklusi, kesetaraan, transparansi, akuntabilitas, dan perilaku etis



insentif yang adil untuk semua pihak dan pengembalian yang adil bagi pengambil risiko, dikombinasikan dengan pencapaian kesuksesan komersial negosiasi sengketa yang masuk akal yang menjamin kelanjutan layanan dan mencegah runtuhnya proyek dan akibat dari pemborosan publik



Velotti (2012) pencapaian visi bersama dan tujuan bersama harus dicapai melalui proses partisipatif. diperlukan analisis jaringan untuk melihat pengaruh hubungan stakeholders terhadap outcomes



Maramis (2018) Kemampuan Komprehensif Pemerintah dalam memahami karakteristik dan implementasi proyek KPBU



mampu atau tidaknya kontrak KPBU dalam meminimalisasi perilaku opportunistik para pihak Ketersediaan lembaga yang bersifat PTSP / single windows yang profesional dan fleksibel untuk mengkoordinasikan para pihak



pentingnya keseimbangan antara kepentingan dan insentif yang tepat untuk tiap stakeholder



Ketersediaan imbalan atau return yang menarik atau valuable bagi swasta yang terlibat dalam proyek proyek KBPU



Kesuksesan implementasi KPBU juga dipengaruhi oleh kepastian dan jaminan hukum atas ditandatanganinya perjanjian KPBU



Sumber: Diolah Penulis, 2020



9



Daftar Pustaka Akhmetshina, E. R., & Mustafin, A. N. (2017). Public-private partnership as a tool for development of innovative economy. Procedia Economics and Finance, 24, 35-40. Alla, P. M., & Manzi, D. (1996). Sydney Water's public–private partnership. Journal‐American Water Works Association, 88(4), 108-115. Artiningsih, A., Putri, N.C., Muktiali, M. and Ma'rif, S., (2019). Skema Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Non-Konvensional Di Kota Semarang. Jurnal Riptek, 13(2), pp.92-100. Bing, Li, Akintoye, A., Edwards, P. J. and Hardcastle, C. (2005) The allocation of risk in PPP/PFI construction projects in the UK. International Journal of Project Management, 23, 25-35. Brinkerhoff, D.W.& Brinkerhoff, J.M., 2011. Public–private partnerships:Perspectives on purposes, publicness, and good governance. Public administration and development, 31(1), pp.2-14. Devapriya, K. A. K. (2006). Governance issues in financing of public–private partnership organisations in network infrastructure industries. International Journal of Project Management, 24(7), 557-565. Grigg, N. 1988, Infrastructure Engineering and Management, John Wiley & Sons. Hirawan, S. B. (1995). Pembiayaan Pembangunan Perkotaan melalui Pemanfaatan Instrumen Keuangan.pdf. Jurnal PWK. Hueskes, M., Verhoest, K., & Block, T. (2017). Governing public–private partnerships for sustainability: An analysis of procurement and governance practices of PPP infrastructure projects. International journal of project management, 35(6), 1184-1195. Kajimo-Shakantu, K., Kavela, L., & Shakantu, W. (2014). Applicability and constraints of delivering water infrastructure via public private partnership. Social and Behavioural Sciences, 119, 867-876. Maramis, J.B., 2018. Faktor Faktor Sukses Penerapan Kpbu Sebagai Sumber Pembiayaan Infrastruktur: Suatu Kajian. JMBI UNSRAT (Jurnal Ilmiah Manajemen Bisnis dan Inovasi Universitas Sam Ratulangi)., 5(1). Qizilbash, A. (2011). Public-Private Partnerships and the Value of the Process: The Case of SubSaharan Africa. International Public Management Review, 12(2), 38-54. Velotti, L., Botti, A., & Vesci, M. (2012). Public-Private Partnerships and Network Governance: What Are the Challenges?. Public performance & management review, 36(2), 340-365. Wilson, David & Pelham, Nick & Duffield, Colin. (2010). A review of Australian PPP governance structures. Journal of Financial Management of Property and Construction. 15. 198-215. 10.1108/13664381011087470. The World Bank. (2017). Public-Private Partnerships Reference Guide. Zhang, S., Gao, Y., Feng, Z. and Sun, W., (2015). PPP application in infrastructure development in China: Institutional analysis and implications. International journal of project management, 33(3), pp.497-509. 10