13 0 8 MB
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Maulana Iqbal, S.T.
KAJIAN PENANGANAN TANAH LUNAK DENGAN TIMBUNAN JALAN MORTAR BUSA KAJIAN PENANGANAN TANAH LUNAK DENGAN TIMBUNAN JALAN MORTAR BUSA
KAJIAN PENANGANAN TANAH LUNAK DENGAN TIMBUNAN JALAN MORTAR BUSA KAJIAN PENANGANAN TANAH LUNAK DENGAN TIMBUNAN JALAN MORTAR BUSA
Buku naskah ilmiah ini berisi hasil kajian kinerja kedua uji coba tersebut. Kinerja timbunan ringan dianalisis berdasarkan data monitoring instrumen-instrumen terpasang. Dalam buku ini dipaparkan pula kajian literatur penggunaan material setempat sebagai bahan timbunan yang diperkuat dengan mortar busa.
Maulana Iqbal, S.T.
KAJIAN PENANGANAN TANAH LUNAK DENGAN TIMBUNAN JALAN MORTAR BUSA
Teknologi tersebut telah diuji coba dalam skala penuh pada di dua lokasi. Uji coba skala penuh pertama dilakukan tahun 2009 pada oprit Jembatan Kedaton di Ruas Jalan Cirebon Karang Ampel, Cirebon, Jawa Barat, dengan tinggi timbunan 4,35 meter dan panjang oprit 70 meter. Pada tahun 2010 dilakukan uji coba skala penuh timbunan ringan sebagai badan jalan di Ruas Pangkalan Lima - Kumai, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, sepanjang 400 meter dengan tinggi timbunan mortar busa 1,1 meter.
KAJIAN PENANGANAN TANAH LUNAK DENGAN TIMBUNAN JALAN MORTAR BUSA
Deposit tanah lunak di Indonesia mencapai 10 juta hektar atau sekitar 10% dari luas daratan. Permasalahan yang timbul pada tanah bermasalah ini adalah stabilitas dan penurunan timbunan. Sebagai salah satu opsi penanganan jalan di atas tanah lunak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan mengembangkan teknologi timbunan ringan dengan mortar busa. Mortar busa tersebut mempunyai karakteristik berat isi yang ringan dengan kekuatan yang cukup tinggi sehingga diharapkan tidak terjadi masalah stabilitas dan penurunan timbunan maupun tekanan lateral berlebih pada abutmen jembatan.
Maulana Iqbal, S.T.
KAJIAN PENANGANAN TANAH LUNAK DENGAN TIMBUNAN JALAN MORTAR BUSA
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM
JALAN DAN JEMBATAN
KAJIAN PENANGANAN TANAH LUNAK DENGAN TIMBUNAN JALAN MORTAR BUSA ISBN: 978-602-8256-86-5
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM
JALAN DAN JEMBATAN
9 786028 256865
KAJIAN PENANGANAN TANAH LUNAK DENGAN TIMBUNAN JALAN MORTAR BUSA
KAJIAN PENANGANAN TANAH LUNAK DENGAN TIMBUNAN JALAN MORTAR BUSA
Maulana Iqbal, S.T. Reviewer: Ir. GJW Fernandez dan Rakhman Taufik, M.Sc.
KAJIAN PENANGANAN TANAH LUNAK DENGAN TIMBUNAN JALAN MORTAR BUSA Cetakan ke‐1, 2012, ( xviii + 150 halaman)
No. ISBN : 978‐602‐8256‐86‐5 ©Pemegang Hak Cipta Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan
Penulis: Maulana Iqbal, S.T. Reviewer: Ir. GJW Fernandez dan Rakhman Taufik, M.Sc. Naskah ini disusun dengan sumber dana APBN Tahun 2012, pada paket pekerjaan Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa. Pandangan yang disampaikan di dalam publikasi ini tidak menggambarkan pandangan dan kebijakan Kementerian Pekerjaan Umum, unsur pimpinan, maupun instruksi pemerintah lainnya. Kementerian Pekerjaan Umum tidak menjamin akurasi data yang disampaikan dalam publikasi ini, dan tanggung jawab atas data dan informasi sepenuhnya dipegang oleh penulis. Kementerian Pekerjaan Umum mendorong percetakan dan memperbanyak informasi secara eklusif untuk perorangan dan pemanfaatan nonkomersil dengan pemberitahuan yang memadai kepada Kementerian Pekerjaan Umum. Pengguna dibatasi dalam menjual kembali, mendistribusikan atau pekerjaan kreatif turunan untuk tujuan komersil tanpa izin tertulis dari Kementerian Pekerjaan Umum. Dicetak oleh: Penerbit Informatika – Bandung Anggota IKAPI Jabar No. 033/JBA/99 Pemesanan melalui: Perpustakaan Puslitbang Jalan dan Jembatan [email protected]
TENTANG PUSLITBANG JALAN DAN JEMBATAN Puslitbang Jalan dan Jembatan (Pusjatan) adalah institusi riset yang dikelola oleh Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia. Lembaga ini mendukung Kementerian PU dalam menyelenggarakan jalan dengan memastikan keberlanjutan keahlian, pengembangan inovasi dan nilai – nilai baru dalam pengembangan infrastruktur. Pusjatan memfokuskan kepada penyelenggara jalan di Indonesia, melalui penyelenggaraan litbang terapan untuk menghasilkan inovasi teknologi bidang jalan dan jembatan yang bermuara pada standar, pedoman, dan manual. Selain itu, Pusjatan mengemban misi untuk melakukan advis teknik, pendampingan teknologi, dan alih teknologi yang memungkinkan infrastruktur Indonesia menggunakan teknologi yang tepat guna.
KEANGGOTAAN TIM TEKNIS DAN SUBTIM TEKNIS TIM TEKNIS: 1. 2. 3. 4.
Prof (R) Dr. Ir. M. Sjahdanulirwan, M.Sc. Ir. Agus Bari Sailendra. M.T. Ir. I. Gede Wayan Samsi Gunarta, M.Appl.Sc. Prof (R) Dr. Ir. Furqon Affandi, M.Sc.
Tentang Puslitbang Jalan dan Jembatan
iii
5. 6. 7. 8.
Prof (R) Ir. Lanneke Tristanto, APU Ir. GJW Fernandez Ir. Soedarmanto Darmonegoro DR. Djoko Widayat, MSc.
SUBTIM TEKNIS: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Ir. GJW Fernandez Dr. Ir. M. Eddie Soenaryo, M.Sc. Dr. Ir. Imam Aschuri, M.T. Dr. Ir. Hindra Mulya Ir. Benny Moestofa Ir. Suhaimi Daud Drs. M. Suherman
iv
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Kata Pengantar Deposit tanah lunak di Indonesia mencapai 10 juta hektar atau sekitar 10% dari luas daratan. Permasalahan yang timbul pada tanah bermasalah ini adalah stabilitas dan penurunan timbunan. Sebagai salah satu opsi penanganan jalan di atas tanah lunak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan mengembangkan teknologi timbunan ringan dengan mortar busa. Mortar busa tersebut mempunyai karakteristik berat isi yang ringan dengan kekuatan yang cukup tinggi sehingga diharapkan tidak terjadi masalah stabilitas dan penurunan timbunan maupun tekanan lateral berlebih pada abutmen jembatan. Teknologi tersebut telah diuji coba dalam skala penuh pada di dua lokasi. Uji coba skala penuh pertama dilakukan tahun 2009 pada oprit Jembatan Kedaton di Ruas Jalan Cirebon ‐ Karang Ampel, Cirebon, Jawa Barat, dengan tinggi timbunan 4,35 meter dan panjang oprit 70 meter. Pada tahun 2010 dilakukan uji coba skala penuh timbunan ringan sebagai badan jalan di Ruas Pangkalan Lima ‐ Kumai, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, sepanjang 400 meter dengan tinggi timbunan mortar busa 1,1 meter.
Kata Pengantar
v
Buku naskah ilmiah ini berisi hasil kajian kinerja kedua uji coba tersebut. Kinerja timbunan ringan dianalisis berdasarkan data monitoring instrumen‐ instrumen terpasang. Dalam buku ini dipaparkan pula kajian literatur penggunaan material setempat sebagai bahan timbunan yang diperkuat dengan mortar busa. Bandung, Tim Penulis
vi
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Daftar Isi Kata Pengantar ................................................................................. v Daftar Isi ........................................................................................... vii Daftar Tabel ...................................................................................... xi Daftar Gambar .................................................................................. xiii BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .............................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah......................................................... 2 1.3 Tujuan dan Sasaran....................................................... 2 1.4 Metodologi ................................................................... 2 1.5 Sistematika Bab............................................................. 3 BAB 2. TIMBUNAN JALAN DENGAN MORTAR BUSA ....................... 5 2.1 Gambaran Umum ......................................................... 5 2.2 Penggunaan Mortar Busa yang Telah Digunakan di Jepang 6 2.3 Kriteria Kinerja Timbunan ............................................. 8 2.3.1 Kriteria Stabilitas Timbunan............................. 8 2.3.2 Kriteria Deformasi pada Timbunan Jalan......... 9 2.3.3 Kriteria Deformasi pada Oprit Jembatan ......... 16 2.3.4 Retakan pada Perkerasan ................................ 17
Daftar Isi
vii
BAB 3. PEMBUATAN RENCANA CAMPURAN (DESIGN MIX FORMULA) MORTAR BUSA ................................................................... 27 3.1 Umum ........................................................................... 27 3.2 Spesifikasi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa ...... 28 3.2.1 Persyaratan Bahan ........................................... 28 3.2.2 Persyaratan Kuat Tekan dan Berat Isi Mortar Busa 32 3.3 Prosedur Pembuatan Rencana Campuran Mortar Busa 33 3.3.1 Pembuatan Busa (foam) Campuran Foam dengan Air........................................................ 35 3.3.2 Pembuatan Material Campuran (Campuran Foam, Semen, dan Pasir) ................................. 37 3.3.3 Pengujian Berat Isi (densitas) Mortar dan Flow 39 3.3.4 Pembuatan dan Pengujian Benda Uji .............. 39 3.3.5 Perawatan Benda Uji (Curing).......................... 41 3.3.6 Pengujian Berat Isi dan Kuat Tekan Bebas, Unconfined Compressive Strength (UCS) ......... 41 BAB 4. METODE KONSTRUKSI TIMBUNAN RINGAN DENGAN MORTAR BUSA .................................................................................. 43 4.1 Persyaratan Peralatan................................................... 43 4.1.1 Mixers............................................................... 43 4.1.2 Mortar Pump (Pompa Mortar)......................... 44 4.1.3 Peralatan Lain Pembentuk Foam ..................... 45 4.2 Tahapan Konstruksi....................................................... 45 4.2.1 Persiapan Kerja ................................................ 45 4.2.2 Pemasangan Anyaman Baja (Wire Mesh) ........ 46 4.2.3 Pemasangan Bekisting ..................................... 47 4.2.4 Penuangan (Pengecoran)................................. 48 4.2.5 Perataan........................................................... 49 4.2.6 Perawatan (Curing) .......................................... 50 4.2.7 Pembukaan Bekisting....................................... 50 4.2.8 Sambungan Pengecoran (Construction Joint) .. 50 4.2.9 Pembukaan untuk Lalu Lintas .......................... 52 viii
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
4.3
Pengendalian Mutu....................................................... 53 4.3.1 Pengujian Timbunan Ringan dengan Mortar Busa 54 4.3.2 Pengamatan Mutu Khusus setelah Campuran Mortar Busa Selesai di Hampar....................... 56
BAB 5. KINERJA TIMBUNAN RINGAN MORTAR BUSA OPRIT JEMBATAN DI KEDATON, CIREBON, JAWA BARAT ................................. 59 5.1 Kondisi Geologi dan Geoteknik..................................... 60 5.2 Konstruksi Timbunan dan Instrumentasi pada Oprit Jembatan Kedaton ........................................................ 62 5.2.1 Tahapan Pelaksanaan Konstruksi Timbunan Oprit Mortar Busa ..................................................... 66 5.2.2 Kondisi Instrumen Terpasang .......................... 77 5.3 Pemodelan Numerik ..................................................... 89 5.3.1 Paramater Desain............................................. 90 5.3.2 Analisis Numerik .............................................. 91 5.3.3 Analisis Sensitifitas........................................... 93 5.4 Evaluasi Kinerja Lokasi Oprit Jembatan Kedaton, Cirebon, Jawa Barat..................................................................... 95 BAB 6. KINERJA TIMBUNAN RINGAN DENGAN MORTAR BUSA, LOKASI DI PANGKALAN BUN, KALIMANTAN TENGAH.......... 97 6.1 Kondisi Geologi dan Geoteknik..................................... 98 6.1.1 Index Properties ............................................... 100 6.1.2 Sifat Kuat Geser................................................ 100 6.1.3 Sifat Kompresibilitas ........................................ 103 6.2 Konstruksi Timbunan dan Instrumentasi pada Badan Jalan 106 6.2.1 Tahapan Pelaksanaan Konstruksi Timbunan Oprit Mortar Busa pada Badan Jalan ........................ 106 6.2.2 Kondisi Instrumen Terpasang .......................... 111 6.3 Kondisi Umum Jalan dan Retakan Melintang pada Permukaan Aspal .......................................................... 127 6.4 Pemodelan Numerik ..................................................... 135
Daftar Isi
ix
6.5
6.4.1 Parameter Desain ............................................ 135 6.4.2 Pemodelan Penurunan Pada STA 0+200.......... 136 Evaluasi Kinerja Mortar Busa Lokasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah ....................................................... 141
BAB 7. PENUTUP............................................................................ 7.1 Evaluasi Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa pada Oprit Jembatan Kedaton...................................... 7.2 Evaluasi Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa di Pengkalan Bun .......................................................... Daftar Pustaka ..................................................................................
x
143 143 144 147
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Daftar Tabel Tabel 2‐1. Tabel 2‐2. Tabel 2‐3. Tabel 2‐4. Tabel 2‐5. Tabel 2‐6. Tabel 2‐7. Tabel 2‐8. Tabel 2‐9. Tabel 3‐1.
Daftar Tabel
Beban Lalu Lintas untuk Analisis Stabilitas (Kimpraswil, 2002b). ............................................................................... 9 Kriteria Penurunan Timbunan (Kimpraswil, 2002b) .......... 9 Klasifikasi Perencanaan Jalan Tipe II (Kimpraswil, 2002a) . 10 Kriteria Kinerja Timbunan Selama Masa Layan/Kondisi SLS (diadopsi dari SCDOT, 2008) .............................................. 12 Kriteria Kinerja Ketidakstabilan Timbunan pada Kondisi Terekstrim (EE I) (diadopsi dari SCDOT, 2008)................... 14 Kriteria Kinerja Penurunan Timbunan pada Kondisi Terekstrim (EE I) (diadopsi dari SCDOT, 2008) ..................................... 15 Kriteria Penurunan Dalam Arah Memanjang (Longitudinal) untuk Transisi Badan Jalan/Jembatan Selama Masa Layan 16 Kriteria Penurunan pada Arah Memanjang pada Kondisi Terekstrim untuk Transisi Jembatan/Timbunan (SCDOT, 2008) .................................................................................. 17 Jenis Kerusakan pada Perkerasan Jalan dan Penyebabnya (BM,1983) .......................................................................... 18 Persyaratan Pasir (ASTM C 33‐97, 1997) ........................... 29
xi
Tabel 3‐2. Kekuatan Tekan Minimum Mortar Busa Lapis Pondasi Atas (Kemen.PU, 2011) .............................................................. 32 Tabel 3‐3. Kekuatan Tekan Minimum Mortar Busa Lapisan Pondasi Bawah (Kemen.PU, 2011) .................................................. 32 Tabel 4‐1. Jenis Pengujian Semen....................................................... 53 Tabel 4‐2. Pengendalian Mutu............................................................ 57 Tabel 5‐1. Instrumen dan Simbol........................................................ 66 Tabel 5‐2. Instrumen Vibrating Wire Piezometer ............................... 78 Tabel 5‐3. Tipe Strain Gages ............................................................... 78 Tabel 5‐4. Instrumen Vibrating Wire Pressure Cell............................. 81 Tabel 5‐5. Instrumen Inklinometer ..................................................... 83 Tabel 5‐6. Instrumen Extensometer ................................................... 87 Tabel 5‐7. Kedalaman Magnetic pada Instrumentasi Extensometer Magnetic setelah Lapisan AC‐WC selesai........................... 87 Tabel 5‐8. Instrumen Piezoemeter Cassagrande ................................ 88 Tabel 5‐9. Parameter Desain Model Soft Soil ..................................... 91 Tabel 5‐10. Parameter Desain Model Hardening Soil........................... 91 Tabel 5‐11. Parameter Timbunan Tanah dan Timbunan Ringan dengan Mortar Busa ....................................................................... 91 Tabel 5‐12. Tahapan Perhitungan dalam Program Plaxis ..................... 92 Tabel 5‐13. Kombinasi Rentang Nilai Berat Isi Timbunan Ringan......... 94 Tabel 6‐1. Klasifikasi Konsistensi Tanah Berdasarkan Nilai Tahanan Konus.................................................................................. 99 Tabel 6‐2. Klasifikasi Kuat Geser Undrained Berdasarkan (Kimpraswil, 2002a) ........................................................... 110 Tabel 6‐3 Kondisi Instrumen Terpasang ............................................ 111 Tabel 6‐4. Kondisi Instrumen Piezometer Pipe Cassagrande ............. 123 Tabel 6‐5 Hasil Pemantauan Piezometer Cassagrande ..................... 123 Tabel 6‐6. Parameter Desain untuk Soft Soil Model........................... 136 Tabel 6‐7. Parameter Desain untuk Mohr Coulomb Model ................ 136
xii
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Daftar Gambar Gambar 2‐1. Gambar 2‐2. Gambar 2‐3. Gambar 2‐4. Gambar 2‐5. Gambar 2‐6. Gambar 2‐7. Gambar 2‐8. Gambar 2‐9. Gambar 2‐10. Gambar 3‐1. Gambar 3‐2. Gambar 3‐3. Gambar 3‐4. Gambar 3‐5. Gambar 3‐6. Gambar 3‐7.
Daftar Gambar
Ilustrasi Penurunan (Potongan A‐A) (SCDOT, 2008) ..... Profil Penurunan Timbunan (SCDOT, 2008) ................. Ilustrasi Penurunan Vertikal dan Lateral Akibat Ketidakstabilan Global Timbunan................................. Ilustrasi Penurunan pada Arah Memanjang Oprit Jembatan dan Timbunan (SCDOT, 2008) ...................... Retak Struktural ............................................................ Retak Melintang Akibat Suhu ....................................... Retak Refleksi (Reflection Craking) ............................... Retak dengan Tingkat Keparahan Rendah.................... Retak dengan Tingkat Keparahan Sedang .................... Retak dengan Tingkat Keparahan Berat ....................... Grafik Gradasi Batasan Pasir untuk Mortar Busa ......... Pasir, Lokasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (dokumentasi pelaksanaan lapangan) .......................... Foam Agent (dokumentasi lapangan)........................... Prosedur Pembuatan Rencana Campuran Mortar Busa Pengukuran Kebutuhan Foam dengan Gelas Ukur (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)................ Compressor yang Dihubungkan dengan Foam Generator (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)................ Pencampuran Foam dan Air dengan Tekanan 10 bar (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)................
13 13 15 16 20 20 21 21 22 22 29 30 32 34 36 36 37
xiii
Gambar 3‐8. Gambar 3‐9. Gambar 3‐10. Gambar 3‐11. Gambar 3‐12. Gambar 3‐13. Gambar 3‐14. Gambar 4‐1. Gambar 4‐2. Gambar 4‐3. Gambar 4‐4. Gambar 4‐5. Gambar 4‐6. Gambar 4‐7. Gambar 4‐8. Gambar 4‐9. Gambar 5‐1. Gambar 5‐2. Gambar 5‐3. Gambar 5‐4. Gambar 5‐5. Gambar 5‐6. Gambar 5‐7. Gambar 5‐8. Gambar 5‐9. Gambar 5‐10. Gambar 5‐11. Gambar 5‐12. Gambar 5‐13. Gambar 5‐14. xiv
Foam yang Telah Dicampur dengan Air........................ Penimbangan Semen untuk Rencana Campuran Awal Pencampuran Foam, Semen dan Pasir Kedalam Bejana (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)................ Pengujian Flow untuk Mortar Busa .............................. Contoh Mortar Busa untuk Pengujian Uji Tekan Bebas (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)................ Pengujian UCS di Laboratorium .................................... Pengujian Uji Kadar Air ................................................. Box Mixer Kapasitas 1m³............................................... Mortar Pump (dokumentasi pelaksanaan lapangan) .. Ukuran Pemasangan Anyaman Baja ............................. Anyaman Baja yang Telah Terhampar .......................... Pemasangan Bekisting .................................................. Tahapan Pengecoran .................................................... Perataan Mortar Busa................................................... Terpal Penutup Mortar Busa Terpasang....................... Pengujian Berat Isi ........................................................ Lokasi Jembatan Kedaton, Cirebon, Jawa Barat ........... Kondisi Geologi Kedaton, Cirebon, Jawa Barat............. Grafis Potongan Stratifikasi .......................................... Sondir dan Hasil Uji Laboratorium................................ Sketsa Mortar Busa Jembatan Kedaton, Cirebon Jawa Barat..................................................................... Sketsa Tampak Atas dan Letak Titik‐Titik Instrumentasi Sketsa Potongan Memanjang dan Letak Titik Instrumen Kondisi Existing Oprit Jembatan Kedaton..................... Ilustrasi Kondisi Existing Jembatan Kedaton ................ Ilustrasi Pekerjaan Pengerukan tanah .......................... Pelaksanaan Pengerukan Tanah ................................... Kondisi Setelah Pengerukan Tanah............................... Waktu Pengecoran Mortar Busa .................................. Ilustrasi Tahap Pekerjaan Pemasangan Instrumen.......
37 38 38 39 40 42 42 44 45 46 47 48 49 49 50 55 59 60 61 62 63 64 65 67 67 68 68 69 70 71
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 5‐15. Gambar 5‐16. Gambar 5‐17. Gambar 5‐18. Gambar 5‐19. Gambar 5‐20. Gambar 5‐21. Gambar 5‐22. Gambar 5‐23. Gambar 5‐24. Gambar 5‐25. Gambar 5‐26. Gambar 5‐27. Gambar 5‐28. Gambar 5‐29. Gambar 5‐30. Gambar 5‐31. Gambar 5‐32. Gambar 5‐33. Gambar 5‐34. Gambar 5‐35. Gambar 5‐36. Gambar 5‐37. Gambar 5‐38. Gambar 5‐39.
Daftar Gambar
Pelaksanaan Pemasangan Instrumen ........................... 71 Tahap Pekerjaan Mortar Busa Lapisan Bawah ............. 72 Perawatan Mortar Busa yang Telah Dihampar (dokumentasi pelaksanaan lapangan) .......................... 72 Tahap Timbunan Mortar Busa Lapisan Bawah ............ 73 Tahap Penimbunan Mortar Busa di Atas Lapisan Mortar Busa yang Telah Terhampar ......................................... 73 Ilustrasi Pemasangan Anyaman Baja pada Lapis Pondasi Bawah ........................................................................... 74 Ilustrasi Pemasangan Anyaman Baja Antara Lapis Pondasi Atas dan Lapis Pondasi Bawah ........................ 74 Ilustrasi Pekerjaan Timbunan Mortar Busa Lapis Pondasi Atas ............................................................................... 75 Ilustrasi Pekerjaan Pemesangan Anyaman Baja ........... 75 Pekerjaan Perkerasan Jalan .......................................... 76 Ilustrasi Kondisi Setelah Pelaksanaan Pekerjaan .......... 76 Kondisi Setelah Pelaksanaan Pekerjaan........................ 77 Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw‐PZ1 79 Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw‐PZ2 79 Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw‐PZ3 80 Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw‐PZ4 80 Posisi Instrumentasi Pressure Cell ................................ 81 Tekanan Lateral Terhadap Dinding Abutment Instrumen Vw‐PC 1......................................................................... 82 Tekanan Lateral Terhadap Dinding Abutment Instrumen Vw‐PC 2......................................................................... 82 Tekanan Lateral Terhadap Dinding Abutment Instrumen Vw‐Pc 3 ......................................................................... 82 Grafik Pergerakan Inclinometer 2 ................................. 84 Grafik Pergerakan Inclinometer 3 ................................. 85 Geomodel Timbunan Material Ringan Mortar Busa..... 89 Mesh Timbunan Material Ringan Mortar Busa ............ 90 Deformasi Vertikal (cm) Terhadap Waktu dengan Timbunan xv
Gambar 5‐40. Gambar 6‐1. Gambar 6‐2. Gambar 6‐3. Gambar 6‐4. Gambar 6‐5. Gambar 6‐6. Gambar 6‐7. Gambar 6‐8. Gambar 6‐9. Gambar 6‐10. Gambar 6‐11. Gambar 6‐12. Gambar 6‐13. Gambar 6‐14. Gambar 6‐15. Gambar 6‐16. Gambar 6‐17. Gambar 6‐18. Gambar 6‐19. Gambar 6‐20. Gambar 6‐21. Gambar 6‐22. Gambar 6‐23. Gambar 6‐24. xvi
Tanpa Mortar Busa dan Timbunan dengan Mortar Busa 93 Analisis Sensitifitas Berat Isi Timbunan Ringan Terhadap Penurunan .................................................................... 94 Lokasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah................... 97 Kondisi Geologi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah ... 98 Batas‐batas Atterberg dan Konsistensi Indeks ............. 100 Grafik Plastisitas (Sistem USCS) .................................... 101 Kuat Geser Undrained berdasarkan Sondir dan Vane Shear 102 Sudut Geser dalam Efektif ............................................ 103 Plot Sudut Geser dalam Kurva Anon (Kimpraswil 2002a) 103 Klasifikasi Kompresibilitas Tanah (Coduto,2004).......... 104 Kompresibilitas Tanah .................................................. 104 Korelasi antara Cc dan Kadar Air .................................. 105 Nilai Cc Hasil Laboratorium........................................... 105 Kondisi Existing Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (dokumentasi pelaksanaan lapangan) .......................... 106 Gorong‐Gorong Terpasang ........................................... 107 Penimbunan pada Badan jalan ..................................... 107 Penimbunan Pasir pada Badan Jalan ............................ 108 Pembuatan Bekisting pada Sisi Badan Jalan (dokumentasi pelaksanaan lapangan) ................................................. 108 Pembuatan Bekisting di Badan Jalan ............................ 109 Penghamparan Mortar Busa......................................... 109 Penghamparan Mortar Busa dengan Truk Molen (dokumentasi pelaksanaan lapangan) .......................... 110 Mortar Busa yang telah Dihampar................................ 110 Pemasangan Tenda pada Mortar Busa Sebagai Masa Perawatan (dokumentasi pelaksanaan lapangan)........ 111 Sketsa Pemasangan Instrumentasi Lokasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah ............................................... 113 Ilustrasi Grafis Instrumen Terpasang STA 0+200 .......... 114 Skema Instrumen Settlement Sensor Vibrating Wire (Geokon. 2009) ............................................................. 115
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 6‐25. Gambar 6‐26. Gambar 6‐27. Gambar 6‐28. Gambar 6‐29. Gambar 6‐30. Gambar 6‐31. Gambar 6‐32. Gambar 6‐33. Gambar 6‐34. Gambar 6‐35. Gambar 6‐36. Gambar 6‐37. Gambar 6‐38. Gambar 6‐39. Gambar 6‐40. Gambar 6‐41. Gambar 6‐42. Gambar 6‐43. Gambar 6‐44. Gambar 6‐45. Gambar 6‐46.
Daftar Gambar
Grafik Settlement Plate Sta 0+200................................ 116 Grafik Settlement Plate Sta 0+350................................ 116 Grafik Settlement Plate Sta 0+450................................ 117 Grafik Piezometer Vibrating Wire Sta 0+200 Kedalaman 2m 118 Grafik Piezometer Vibrating Wire Sta 0+200 Kedalaman 6m 118 Grafik Piezometer Vibrating Wire Sta 0+450 Kedalaman 6m 119 Hasil Pembacaan Inclinometer Horizontal STA 0+200 .. 120 Hasil Pembacaan Inclinometer Horizontal STA 0+450 .. 121 Grafik Extensometer Sta 0+200 .................................... 122 Pemantauan Bench Mark dengan GPS Geodetic (dokumentasi pemantauan di lapangan)...................... 125 Penurunan Longitudinal dan Stratifikasi Tanah............ 126 Retakan melintang pada permukaan aspal (dokumentasi foto pematauan di lapangan) ....................................... 127 Retakan pada Permukaan Aspal Setelah Ditandai Cat (dokumentasi foto pematauan di lapangan) ................ 127 Retakan Horizontal pada Sisi Timbunan Ringan yang Menyambung dengan Retakan pada Permukaan Aspal 128 Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan STA 0+000 s.d. 0+030 ........................................................................... 128 Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 0+030 s/d 0+075 .................................................... 129 Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 0+075 S/D 0+110.................................................... 129 Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 0+110 S/D 0+150.................................................... 130 Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 0+150 S/D 0+180.................................................... 130 Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 0+180 S/D 0+225.................................................... 131 Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 0+225 S/D 0+275.................................................... 131 Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan xvii
Gambar 6‐47. Gambar 6‐48. Gambar 6‐49 Gambar 6‐50. Gambar 6‐51. Gambar 6‐52. Gambar 6‐53. Gambar 6‐54. xviii
STA 0+275 S/D 0+300.................................................... 132 Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 0+300 S/D 0+340.................................................... 132 Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 0+340 S/D 0+380.................................................... 133 Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 380 S/D 0+425........................................................ 133 Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan STA 0+425 s.d. 0+450 ........................................................................... 134 Model Geometri STA 0+200.......................................... 136 Vertical Displacements STA 0+200................................ 137 Perbandingan Waktu dan Tekanan Air Pori Ekses (kPa) 139 Deformasi Vertikal, Waktu dan Pergerakan Instrumentasi STA 0+200. .................................................................... 138
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Jenis tanah yang sering menimbulkan masalah selama pembangunan suatu struktur maupun menimbulkan kerusakan pada konstruksi jalan existing digolongkan pada tanah problematik. Secara umum, tanah problematik ditemukan pada jenis tanah ekspansif, tanah lunak, dan gambut. Masalah utama yang banyak ditemukan pada tanah lunak adalah masalah kestabilan konstruksi dan penurunan (settlement). Masalah lain yang sering timbul adalah masa konstruksi yang lama, biaya konstruksi dan pemeliharaan yang mahal. Pembangunan infrastruktur di atas jenis tanah ini, jika tidak direncanakan dengan baik melalui pengenalan karakteristik yang akurat dapat berpotensi mengakibatkan kegagalan bangunan. Dalam kurun tahun 2006 sampai dengan 2010 beberapa teknologi penanganan tanah problematik telah diteliti dan dikembangkan di Balai Geoteknik Jalan, Pusat Litbang Jalan dan Jembatan. Teknologi‐teknologi tersebut telah diuji coba dalam skala penuh di lapangan. Salah satu
Bab 1 – Pendahuluan
1
teknologi tersebut adalah penggunaan material timbunan jalan mortar busa (foamed mortar) sebagai material timbunan. Pada tahun 2009 dibangun timbunan pada oprit jembatan dengan mortar busa lokasi Oprit Jembatan Kedaton, Ruas Jalan Cirebon‐Karang Ampel, Jawa Barat dan tahun 2010 dibangun timbunan jalan dengan mortar busa pada badan jalan lokasi Ruas Jalan Pangkalan Lima‐Kumai, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Untuk mengevaluasi kinerja kedua uji coba timbunan jalan dengan mortar busa tersebut telah dilakukan monitoring secara menerus. Naskah ilmiah ini menyajikan hasil evaluasi kinerja kedua uji coba tersebut.
1.2 Rumusan Masalah Perumusan masalah pada kegiatan ini adalah kinerja teknologi timbunan ringan dengan mortar busa perlu dievaluasi dari segi besarnya penurunan, stabilitas maupun daya layan (serviceability).
1.3 Tujuan dan Sasaran Tujuan penyusunan naskah ilmiah ini adalah menyiapkan naskah ilmiah sebagai input dalam mengkinikan pedoman perencanaan, pedoman pelaksanaan, dan spesifikasi teknologi penanganan tanah lunak dengan menggunakan timbunan jalan dengan mortar busa. Sasaran dari kegiatan TA 2012 adalah tersedianya bukti teknis kinerja timbunan ringan dengan mortar busa dalam jangka panjang.
1.4 Metodologi Metodologi pekerjaan pembuatan naskah ilmiah Kajian Penanganan Tanah Lunak Dengan Timbunan Jalan Mortar Busa, adalah:
2
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
1. Kajian pustaka yang mencakup gambaran umum penggunaan mortar busa di luar negeri, kriteria mortar busa dan pelaksanaan mortar busa. 2. Analisis dan evaluasi kinerja timbunan yang mencakup: •
Kaji ulang terhadap data monitoring.
•
Pemodelan numerik timbunan jalan mortar busa sebagai timbunan oprit Jembatan (Jembatan Kedaton, Cirebon, Jawa Barat) dan sebagai timbunan badan jalan (Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah). Pemodelan numerik juga mencakup analisis paramater pengaruh variasi muka air, berat isi dan kuat tekan bebas terhadap kinerja timbunan.
•
Evaluasi kinerja timbunan dengan membandingkan hasil monitoring, hasil analisis numerik dengan kritera timbunan (persyaratan besarnya penurunan dan stabilitas timbunan)
1.5 Sistematika Bab Buku naskah ilmiah ini terbagi menjadi 7 Bab sebagai berikut: - Bab 1: Pendahuluan Bab 1 berisi latar belakang kegiatan penelitian, rumusan masalah yang menyampaikan uraian masalah yang akan dipecahkan, tujuan, dan sasaran dibuatnya naskah ilmiah serta metodologi penelitian yang dilakukan. - Bab 2: Timbunan Jalan Dengan Mortar Busa Bab 2 adalah gambaran umum timbunan jalan dengan mortar busa, menjelaskan kriteria mengenai stabilitas timbunan, kriteria deformasi pada timbunan jalan, kriteria deformasi pada oprit jembatan, dan jenis‐ jenis kerusakan pada perkerasan. - Bab 3: Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Bab 3 membahas mengenai spesifikasi bahan untuk timbunan jalan dengan mortar busa, dan prosedur percobaan pencampuran mortar busa yang dilaksanakan. - Bab 4: Metode Konstruksi Timbunan Ringan Mortar Busa
Bab 1 – Pendahuluan
3
Bab 4 berisi mengenai persyaratan peralatan dan tahapan pelaksanaan konstruksi mortar busa serta pengendalian mutu terhadap pelaksanaan pekerjaan timbunan ringan dengan mortar busa. Bab 5: Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Lokasi Oprit Jembatan Kedaton, Cirebon, Jawa Barar Bab 5 membahas secara lebih rinci pelaksanaan dan kondisi sebenarnya timbunan jalan dengan mortar busa pada oprit jembatan, serta analisis berdasarkan pemantauan instrumen yang terpasang dan evaluasi kinerja yang dibandingkan dengan kriteria terhadap stablitas dan deformasi pada oprit jembatan. Bab 6: Kinerja Timbunan Ringan Pada Ruas Jalan Lokasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah Bab 6 membahas mengenai pelaksaan timbunan jalan dengan mortar busa pada badan jalan, melakukan analisis serta pemantauan berdasarkan instrumen yang terpasang dan evaluasi kinerja yang dibandingkan dengan kriteria stabilitas dan deformasi terhadap timbunan ringan mortar busa. Bab 7 : Penutup Bab 7 berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan serta saran untuk penelitian lanjutan
-
-
-
4
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
2 TIMBUNAN JALAN DENGAN MORTAR BUSA
2.1 Gambaran Umum Bahan timbunan ringan yang dimaksud adalah "foamed embankment mortar" disebut juga sebagai 'high grade soil' karena mempunyai beberapa keunggulan dan kegunaan secara optimal, sebagai berikut (Febrijanto, 2008): 1. Beratnya ringan dan kekuatan cukup tinggi untuk subgrade dan pondasi perkerasan jalan, berat isi dan kuat tekan tanah campuran ini dapat direncanakan sesuai keinginan sehingga dapat mengurangi tekanan lateral tanah pada suatu struktur bangunan abutment pondasi jembatan atau mengurangi berat timbunan. 2. Karena berupa campuran "foamed embankment", maka memiliki perilaku tahan terhadap perubahan karakteristik propertis akibat phisical atau chemical procees selama masa konstruksi pelaksanaannya dan memiliki daya dukung kekuatan selama masa konstruksi
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa
5
pelaksanaannya dan memiliki daya dukung memadai sebagai pondasi perkerasan jalan.
kekuatan yang cukup
Beberapa pemanfaatan bahan mortar busa digunakan untuk mengatasi berbagai masalah geoteknik lainnya seperti untuk mengurangi tekanan tanah akibat beban (vertical earth pressure) antara lain (Febrijanto, 2008): 1. Pada timbunan dibelakang konstruksi abutment jembatan (backfilling material for bridge abutment) 2. Pada konstruksi stabilitas lereng dimana diperlukan lereng tegak (for steel slope). 3. Pada timbunan diatas tanah sehingga diperoleh timbunan yang beratnya relatif ringan dan tidak menimbulkan dampak tekanan tanah akibat beban itu sendiri.
2.2 Penggunaan Mortar Busa yang Telah Digunakan di Jepang Menurut Handayani (2007) disebutkan bahwa tanah yang dicampur dengan foam telah banyak digunakan di Jepang sebagai pelebaran dan proyek timbunan (back-filling). Dalam studi kasusnya, tanah kohesi dapat diaplikasikan sebagai material campuran dengan foam, material tersebut merupakan material setempat yang apabila dicampur dengan foam akan mengembang hingga 4 (empat) kali volume awal sehingga kebutuhan material tidak banyak dan pengadaan material timbunan tidak perlu didatangkan dari lokasi lain. Keuntungan lain dari metode ini adalah nilai berat isi dan kekuatan dapat direncanakan sesuai kebutuhan. Berdasarkan kajian literatur JICA expert perihal pemanfaatan foam untuk membentuk bahan timbunan jalan dengan mortar busa diperoleh kriteriakriteria sebagai berikut (Handayani, 2007):
6
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
1. Mempunyai berat yang ringan sehingga nilai berat isi (density) dari material campuran atau mortar tersebut mempunyai berat isi 5-12 kN/m³. 2. Mempunyai nilai flow (flowability), yang diindikasikan untuk memudahkan pelaksanaan dilapangan bila menggunakan alat penyemprot sehingga mencapai jarak yang ideal, nilai flow pada umumnya berkisar 180±20 mm. 3. Mempunyai kemudahan pelaksanaan, yaitu mudah disemprotkan bila menggunakan alat mesin penyemprot dan dapat memadat sendiri karena berperilaku seperti mortar beton dimana material campuran tersebut mengeras sesuai dengan waktu pemeraman (curring) yang ditetapkan. 4. Mempunyai kuat tekan yang cukup tinggi sesuai untuk jenis konstruksi penggunaannya, misalnya kuat tekannya dalam umur 14 hari mencapai 1000 kN. Berikut pekerjaan mortar busa yang telah dilaksanakan di Jepang (Handayani, 2007) : 1. Tomei Express Highway Construction Project (Shizuoka Pref.Japan), Application Purpose. Lightweight Embanking For Steep Slope, Wet Density 6 kn/M³, UCS Qu28 = 1,000 Kn/m³, Volume 4,000 m³. 2. Road Restoration Project After Noto Peninsula Earthquake Disaster (Ishikawa Pref.Japan), Application Purpose. Rapid Embanking For Steep Slope, Stable Embanking Against Disaster, Wet Density 5.3 & 5.8 Kn/m³, UCS Qu28 = 500 & 800 Kn/m³, Volume 3,000m³. 3. Tohoku Central Highway Construction Project (Yamagata Pref.Japan), Application Purpose Reduction Of The Earth Pressure Behind Bridge Abutment, Wet Density 6 Kn/M³, UCS Qu28 = 1,000 Kn/M³, Volume 15,534 m³. 4. Project Name Haneda Tokyo Internasional Airport, New International Terminal Area Preparation Project-Protection Of Underground Train Tunnel Due To Embanking Work, Application Purpose. Reduction Of
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa
7
Increment Load By Filling Works, Wet Density = 11 Kn/m³, UCS Qu = 200 Kn/m³, Volume 32,220 m³.
2.3 Kriteria Kinerja Timbunan 2.3.1 Kriteria Stabilitas Timbunan Kriteria stabilitas mengikuti pedoman-pedoman perencanaan yang menyebutkan bahwa untuk analisis stabilitas lereng timbunan digunakan faktor keamanan (FK) ≥ 1,30. Kimpraswil (2002b) memberikan faktor keamanan minimum untuk analisis stabilitas sebesar 1,40 untuk jalan kelas I dan kelas II, dan faktor keamanan minimum sebesar 1,30 untuk jalan kelas III. Penentuan kriteria stabilitas timbunan ini terkait dengan pemilihan jenis pengujian untuk mendapatkan parameter perencanaan serta pemilihan metode analisisnya. DPU (2006) menyarankan, analisis tegangan total dilakukan, apabila: •
Timbunan dengan tinggi ≤ 5 m dari tanah kohesif dengan koefisien permeabilitas rendah, parameter kekuatan geser tanah timbunannya ditentukan dengan cara uji triaksial UU. Meningkatnya kekuatan akibat konsolidasi tidak diharapkan untuk timbunan dengan tinggi hingga 5 m. dan analisis stabilitas dengan metoda tegangan total.
•
Timbunan dengan tinggi > 5 m dari tanah kohesif dengan koefisien permeabilitas rendah, parameter kekuatan geser tanah timbunannya ditentukan dengan cara uji triaksial CU.
•
Timbunan dengan koefisien permeabilitas tinggi, parameter kekuatan geser tanah timbunannya ditentukan dengan cara uji triaksial CD.
Konstruksi-konstruksi timbunan di jalan tol Cipularang (2005) menggunakan faktor keamanan minimum tanpa beban gempa untuk timbunan di Kelas 8
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Jalan I dan II, FK ≥ 1,30, dan Kelas Jalan III FK ≥ 1,25 (tidak ada hunian sekitar). Analisis stabilitas jangka pendek tanah dasar lunak menggunakan parameter kuat geser tanah tak teralirkan (undrained shear strength) dari hasil pengujian triaksial UU atau CU. Analisis stabilitas jangka panjang tanah dasar keras menggunakan parameter kuat geser tanah efektif dari hasil pengujian triaksial CU atau CD. Besarnya beban lalu lintas yang diizinkan untuk analisis timbunan di pada Tabel 2-1. Tabel 2-1. Beban Lalu Lintas untuk Analisis Stabilitas (Kimpraswil, 2002b).
Kelas Jalan
Beban Lalu lintas (kPa)
I
15
II
12
III
12
2.3.2 Kriteria Deformasi pada Timbunan Jalan Kriteria deformasi (penurunan) selama masa konstruksi serta kecepatan penurunan yang disyaratkan oleh Kimpraswil (2002b) dapat dilihat pada Tabel 2-2. Tabel 2-2. Kriteria Penurunan Timbunan (Kimpraswil, 2002b)
Kelas Jalan I
Penurunan Yang Disyaratkan Selama Masa Konstruksi, s/stot
Kecepatan Penurunan setelah Konstruksi (mm/tahun)
> 90%
< 20
II
>85%
< 25
III
>80%
< 30
IV
>75%
< 30
Kimpraswil (2002a) menjelaskan klasifikasi perencanaan jalan Kelas I sampai IV dan besar volume Lalu-lintas Harian Rata-rata (LHR) di dalam Tabel 2-3.
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa
9
Klasifikasi Jalan Tipe II yang dimaksud adalah klasifikasi sebagian atau tanpa pengaturan jalan masuk. Tabel 2-3. Klasifikasi Perencanaan Jalan Tipe II (Kimpraswil, 2002a)
Fungsi
LHR
Kelas
Primer
Arteri
I
Kolektor ≥ 10.000 ≤ 10.000 Sekunder
Arteri
≥ 20.000 ≤ 20.000
Kolektor ≥ 6.000 ≤ 6.000 Lokal
≥ 500 ≤ 500
I II I II II III III IV
Kriteria penurunan tanah timbunan lainnya yang pernah diterapkan di Indonesia adalah kriteria penurunan untuk jalan tol Cipularang (Djajaputra dkk, 2005). Kritera tersebut mensyaratkan penurunan maksimum timbunan jalan sebesar 10 cm untuk timbunan jalan dan 4 cm untuk timbunan oprit. Berbeda dengan kriteria di Indonesia, SCDOT (2008) memberikan kriteria penurunan total, penurunan diferensial dan laju penurunan pada kondisi batas layan (serviceability Limit State, SLS) dan kondisi batas ekstrim (extreme event limit state, EE) untuk kasus timbunan, pelebaran dan transisi antara jembatan dan timbunan. Pada naskah ilmiah ini yang dibahas adalah hanya untuk kasus timbunan. Kriteria SLS diperlihatkan pada Tabel 2-4 sedangkan kriteria EE disajikan pada Tabel 2-5 dan Tabel 2-6. Gambar 2-1 dan Gambar 2-2 merupakan ilustrasi penurunan timbunan pada arah vertikal dan arah memanjang jalan untuk digunakan bersama dengan Tabel 2-4. Kriteria penurunan dalam SCDOT (2008) dibuat berdasarkan kelas jalan dengan memperhitungkan umur rencana minimum, penurunan vertikal selama umur rencana, laju penurunan per tahun, serta penurunan
10
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
diferensial vertikal maksimum. Kelas jalan tersebut dibagi menjadi tiga klasifikasi yang disebut sebagai Roadway structure Operational Classification (ROC). ROC dikembangkan khususnya untuk perencanaan timbunan jalan dan struktur di sepanjang jalan bebas hambatan (highways). Klasifikasi tersebut berhubungan langsung dengan klasifikasi operasional jembatan atau Bridge Operational Classification (OC) dengan menghubungkan jarak timbunan dan struktur terhadap jembatan. Pembagiannya adalah sebagai berikut: 1. ROC I adalah timbunan jalan atau struktur (dinding penahan tanah, dll) yang berlokasi 45,72 m dari jembatan dengan Kategori I (OC I), dinding kaku dengan tinggi > 4,57 m dan dinding fleksibel dengan tinggi > 15,24 m. 2. ROC II adalah timbunan jalan atau struktur (dinding penahan tanah, dll) yang berlokasi 45,72 m dari jembatan dengan Kategori II (OC = II). 3. ROC III adalah timbunan jalan atau struktur (dinding penahan, dll.) yang berlokasi 45,72 m dari jembatan kategori III (OC = III) atau berlokasi lebih jauh dari 45,72 m dari jembatan dengan mengabaikan klasifikasi jembatannya. SCDOT (2008) menjelaskan ketiga kategori yang disebutkan di atas sebagai berikut: 1. Kategori I (OC I), adalah jembatan-jembatan standar antar wilayah termasuk jembatan yang memenuhi kriteria sebagai: - Struktur yang tidak memiliki akses putar balik (detour) - Struktur dengan akses putar balik lebih panjang dari 40 km - Struktur dengan umur rencana > 75 tahun 2. Kategori II (OC II), adalah jembatan-jembatan yang tidak termasuk ke dalam Kategori I dan memenuhi kriteria: -
Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR) diproyeksikan ≥ 500
-
LHR diproyeksikan < 500, dengan panjang jembatan ≥ 55 m, atau
panjang bentang individual ≥ 18,3 m 3. Kategori III (OC III) adalah semua jembatan yang tidak termasuk ke dalam Kategori I dan II. Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa
11
Jika dihubungkan dengan kriteria dari Kimpraswil (2002b) dan Dit. Bina Marga (1992), maka jalan dengan SCDOT (2008) Kategori II adalah jalan lokal dengan kelas jalan III dan IV dengan LHR ≥ 500 dan < 500. Dengan demikian, jalan Kelas I dan II diasumsikan masuk ke dalam jalan Kategori I berdasarkan SCDOT (2008). Kriteria yang kedua yaitu penurunan minimum dan maksimum dalam arah lateral dan vertikal badan jalan yang disyaratkan pada kondisi batas ekstrimnya atau disebut juga sebagai Extreme Event I Limit State (EE- I) seperti diperlihatkan pada Tabel 2-5 dan Tabel 2-6. Ilustrasi dari penjelasan pada tabel-tabel tersebut dapat dilihat pada Gambar 2-1, Gambar 2-2, dan Gambar 2-3. Tabel 2-4. Kriteria Kinerja Timbunan Selama Masa Layan/Kondisi SLS (diadopsi dari SCDOT, 2008)
Arah penurunan
Longitudinal (memanjang)
12
Deskripsi batasan kinerja Kondisi Batas Layan (Service Limit State, SLS) Umur Rencana Minimum (Tahun) Penurunan vertikal (total) maksimum di sepanjang profil kelas jalan selama umur rencana timbunan, ΔV (mm) Laju penurunan per tahun setelah konstruksi perkerasan selesai (mm/tahun) Penurunan diferensial vertikal maksimum yang terjadi di sepanjang profil jalan setelah konstruksi perkerasan selesai. (milimeter per 15 m panjang longitudinal timbunan)
ROC I (Jalan Kelas I dan Kelas II)
II (Jalan Kelas III dan Kelas IV)
III
100
100
100
203.2
203.2
406.4
2.54
2.54
5.08
25.4
38.1
50.8
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Profil Grade (PG) untuk jalan tanpa median umumnya terletak di bagian tengah jalan, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2-1. Gambar 2-1 merupakan potongan yang diambil dari Gambar 2-2 dalam arah melintang jalan (potongan A-A). Penurunan yang dievaluasi adalah penurunan di bagian tengah timbunan, dimana penurunan maksimum dan diferensial maksimum umumnya terjadi.
Keterangan gambar: Δv adalah penurunan vertikal tanah asli ΔVp adalah penurunan vertikal di satu profil jalan (roadway profile grade) pada arah melintang timbunan
Gambar 2-1. Ilustrasi Penurunan (Potongan A-A) (SCDOT, 2008)
Keterangan gambar: Δv adalah penurunan vertikal tanah asli ΔVp adalah penurunan vertikal di profile grade timbunan pada penampang melintang tertentu L adalah jarak yang menunjukkan batas-batas untuk perhitungan penurunan diferensial, dalam hal ini yaitu sejarak L1 dan L2
Gambar 2-2. Profil Penurunan Timbunan (SCDOT, 2008)
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa
13
Kriteria kinerja berikutnya dari SCDOT (2008) adalah kriteria kinerja timbunan pada kondisi terekstrim I atau Extreme Event I (EE I). Objektif dari kriteria kinerja ini adalah hanya berdasarkan pada timbunan yang mendukung perkerasan serta mempertahankan lalu-lintas kendaraan di jalan. Tabel 2-5 memperlihatkan kriteria kinerja ketidakstabilan global timbunan pada kondisi terekstrim I dan Gambar 2-3 adalah ilustrasi penurunan pada arah vertikal dan lateral akibat ketidakstabilan global timbunan. Tabel 2-5. Kriteria Kinerja Ketidakstabilan Timbunan pada Kondisi Terekstrim (EE I) (diadopsi dari SCDOT, 2008)
Arah penurunan
Vertikal
Lateral*
Kinerja Kondisi Batas Ekstrim I (EE I Limit State)
Gempa Rencana
Deformasi vertikal maksimum pada bagian atas bidang keruntuhan lereng, ΔVTS (mm) Deformasi vertikal maksimum pada bagian bawah bidang keruntuhan lereng, ΔVBS (mm) Deformasi lateral maksimum pada bagian atas bidang keruntuhan lereng, ΔLTS (mm) Deformasi lateral maksimum pada bagian bawah bidang keruntuhan, ΔLBS lereng (mm)
Untuk mempertahankan fungsi jalan Untuk keselamatan pengguna jalan Untuk mempertahankan fungsi jalan Untuk keselamatan pengguna jalan Untuk mempertahankan fungsi jalan Untuk keselamatan pengguna jalan Untuk mempertahankan fungsi jalan Untuk keselamatan pengguna jalan
ROC I II (Jalan (Jalan Kelas I Kelas III dan Kelas dan II) Kelas IV) 25.4 50.8
III
101.6
50.8
101.6
203.2
25.4
50.8
101.6
50.8
101.6
203.2
76.2
152.4
609.6
101.6
304.8
1524
76.2
152.4
609.6
101.6
304.8
1524
Ket: *) penurunan pada arah ketidakstabilan global timbunan
14
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Keterangan gambar: ΔVTS adalah pergerakan vertikal maksimum pada bagian atas bidang runtuh ΔVBS adalah pergerakan vertikal maksimum pada bagian bawah bidang runtuh ΔLTS adalah pergerakan lateral maksimum pada bagian atas bidang runtuh ΔLBS adalah pergerakan lateral maksimum pada bagian bawah bidang runtuh
Gambar 2-3. Ilustrasi Penurunan Vertikal dan Lateral Akibat Ketidakstabilan Global Timbunan
Tabel 2-6 memperlihatkan kriteria kinerja penurunan timbunan pada kondisi terekstrim atau EE I. Tabel 2-6. Kriteria Kinerja Penurunan Timbunan pada Kondisi Terekstrim (EE I) (diadopsi dari SCDOT, 2008)
ROC
Arah penurunan
Longitudinal (memanjang)
Kinerja Kondisi Batas Ekstrim I (EE I Limit State)
Penurunan diferensial vertikal maksimum pada arah memanjang badan jalan setelah konstruksi jalan selesai (mm per 15 m panjang longitudinal timbunan)
I
II
(Jalan Kelas I dan Kelas II)
(Jalan Kelas III dan Kelas IV)
Untuk mempertahankan fungsi jalan
25.4
38.1
50.8
Untuk keselamatan pengguna jalan
50.8
76.2
101.6
Gempa desain
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa
III
15
2.3.3 Kriteria Deformasi pada Oprit Jembatan Penurunan yang disyaratkan untuk perencanaan lokasi transisi antara jembatan dan timbunan yaitu penurunan diferensial vertikal antara ujung abutment dengan ujung timbunan oprit jembatan. Kriteria penurunan yang diberikan adalah dalam arah memanjang (longitudinal) pada kondisi batas layan jalan (Serviceability Limit State, SLS) seperti yang diperlihatkan di dalam Tabel 2-7. Tabel 2-7. Kriteria Penurunan Dalam Arah Memanjang (Longitudinal) untuk Transisi Badan Jalan/Jembatan Selama Masa Layan (diadopsi dari SCDOT, 2008)
Arah penurunan
Penurunan diferensial vertikal antara ujung abutment dengan ujung oprit jembatan (mm). Longitudinal (memanjang)
Kelas Jalan
Deskripsi batasan kinerja Kondisi Batas Layan (Service Limit State)
I 1.905 x Lslab
II 2.54 Lslab
III x
3.175 x Lslab
*Ket: Panjang slab terdekat oprit jembatan (Lslab) diukur dalam meter.
End Bent
Apporach Slab
VA Pavement
Gambar 2-4. Ilustrasi Penurunan pada Arah Memanjang Oprit Jembatan dan Timbunan (SCDOT, 2008)
16
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Tabel 2-8. Kriteria Penurunan pada Arah Memanjang pada Kondisi Terekstrim untuk Transisi Jembatan/Timbunan (SCDOT, 2008)
Arah penurunan
Kinerja Kondisi Batas Ekstrim I (EE I Limit State)
Longitudinal (memanjang)
Penurunan diferensial vertikal maksimum antara end bent dengan ujung oprit jembatan (mm). *Ket: Panjang slab terdekat oprit jembatan (Lslab) dalam satuan meter
Kelas Jalan Gempa desain Untuk mempertahankan fungsi jalan Untuk keselamatan pengguna jalan
I
II
III
0.075 Lslab
0.100 Lslab
0.125 Lslab
0.100 Lslab
0.200 Lslab
0.400 Lslab
Kriteria yang kedua yaitu penurunan minimum dan maksimum dalam arah lateral dan vertikal memanjang jalan yang disyaratkan pada kondisi batas ekstrimnya atau disebut juga sebagai Extreme Event I Limit State (EE- I) seperti diperlihatkan pada Tabel 2-8.
2.3.4 Retakan pada Perkerasan Karena timbunan mortar busa menyerupai konstruksi perkerasan kaku (rigid pevment), maka dalam kajian ini diulas mengenai jenis- jenis kerusakan pada konstruksi perkerasan kaku. Pada konstruksi perkerasan kaku, perkerasan tidak dibuat menerus sepanjang jalan seperti halnya yang dilakukan pada perkerasan lentur. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pemuaian yang besar pada permukaan perkerasan sehingga dapat menyebabkan retaknya perkerasan, selain itu konstruksi seperti ini juga dilakukan untuk mencegah terjadinya retak menerus pada perkerasan jika terjadi keretakan. Kerusakan pada konstruksi permukaan jalan dapat disebabkan oleh beberapa hal (BM,1983): 1. Lalu-lintas, yang dapat berupa peningkatan beban, dan repetisi beban. Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa
17
2. Air, yang dapat berasal dari air hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik, naiknya air akibat sifat kapiler. 3. Material konstruksi perkerasan, dalam hal ini dapat disebabkan oleh sifat material itu sendiri atau dapat pula disebabkan oleh sistem pengolahan bahan yang tidak baik. 4. Iklim, suhu udara dan curah hujan yang tinggi dapat merusak perkerasan jalan. 5. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil, karena sifatnya memang jelek atau karena sistem pelaksanaannya yang kurang baik. 6. Proses pemadatan lapisan-lapisan selain tanah dasar kurang baik. 7. Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul tidak disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi dapat berupa gabungan dari beberapa faktor yang saling berhubungan. Jenis kerusakan serta sifat dan tingkat kerusakan perkiraan berdasarkan penyebab kerusakannya, dapat dilihat pada Tabel 2-9. Tabel 2-9.Jenis Kerusakan pada Perkerasan Jalan dan Penyebabnya (BM,1983)
No
1
2
18
Jenis Kerusakan Bentuk Retak halus
Retak kulit buaya
Sifat
• • • •
Lebar celah < 3 mm Penyebaran setempat dan meluas Meresapkan air Akan berkembang menjadi retak buaya
•
• Lebar celah > 3mm • Saling berangkai membentuk serangkaian kotak-kotak kecil yang menyerupai kulit buaya • Meresapkan air • Akan berkembang menjadi lubang akibat pelepasan butiran
•
• • •
• • •
Tingkat Kerusakan Perkiraan Penyebab Kerusakan Bahan perkerasan kurang baik Pelapukan permukaan Air/drainase kurang baik Tanah dasar/bagian perkerasan di bawah lapis permukaan kurang stabil Bahan perkerasan kurang baik Pelapukan permukaan Air / drainase kurang baik Tanah dasar/bagian perkerasan dibawah lapisan permukaan kurang stabil
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
No
3
Jenis Kerusakan Bentuk Retak refleksi
4
Alur
5
Amblas
Sifat
• Memanjang/diagonal/melintang /kotak • Meresapkan air • Diikuti lepasnya butir pada tepi retak sehingga kerusakan akan bertambah parah
•
• Berbentuk alur/parit yang sejajar as jalan dan terjadi pada lintasan roda • Menampung dan meresapkan air • Mengurangi kenyamanan • Akan diikuti retak-retak • Setempat, dengan atau tanpa retak • Kedalaman umumnya lebih 2 cm • Menampung dan meresapkan air • Berkembang menjadi lubang
• •
• • •
Tingkat Kerusakan Perkiraan Penyebab Kerusakan Pergerakan vertikal/horizontal di bawah lapis perkerasan sebagai akibat perubahan kadar air pada tanah dasar yang ekspansif Lapis perkerasan yang kurang padat Stabilitas perkerasan rendah sehingga terjadi deformasi plastis Beban/berat kendaraan yang berlebihan Pelaksanaan kurang baik Penurunan bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar
Berdasarkan penyebab terjadinya kerusakan retak, dibagi menjadi 3 bagian (Mamlouk, 2006): 1. Retak struktural (structural cracking) Retak struktural yang disebut juga sebagai retak lelah (fatigue cracking) adalah serangkaian retak memanjang dan saling berhubungan pada permukaan jalan yang disebabkan oleh pembebanan yang berulang dari roda kendaraan. Jenis retak ini umumnya dimulai sebagai retak longitudinal pendek di jalan dan berkembang menjadi retak berpola kulit buaya (retak saling berhubungan). Jenis retak ini terjadi karena aksi lentur yang berulang pada perkerasan saat beban diberikan. Hal ini menghasilkan tegangan tarik yang akhirnya membuat retak pada bagian bawah lapisan aspal. Retak secara bertahap merambat ke bagian atas lapisan dan kemudian berkembang dan saling berhubungan. Jenis kerusakan ini akhirnya akan menyebabkan hilangnya integritas struktural dari sistem perkerasan. Jenis retak struktural dapat dilihat pada Gambar 2-5. Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa
19
Gambar 2-5. Retak Struktural
2. Retak melintang akibat suhu ( transverse thermal cracking) Retak ini terjadi karena perubahan suhu pada material perkerasan jalan. Karena material ini digerus berulang akibat gaya gesekan dengan material lain, tegangan tarik berkembang dalam material perkerasan. Jika tegangan tarik melebihi kekuatan tegangan tarik material, maka retak thermal akan berkembang seperti Gambar 2-6. Retak thermal biasanya terjadi dalam arah melintang dan tegak lurus dari arah arus lalu lintas. Jenis retak ini biasanya memiliki jarak yang sama. Retak ini adalah jenis retak yang tidak berhubungan dengan beban lalu lintas dan retak ini dimulai saat musim dingin. Lebar retak thermal biasanya mengalami perubahan dari musim panas ke musim dingin. Dalam beberapa kasus, retak yang kecil dapat tertutup selama musim panas. Dalam kasus lain, lebarnya retak meningkat dari tahun ke tahun. Jenis retak melintang akibat suhu dapat dilihat pada Gambar 2-6.
Gambar 2-6. Retak Melintang Akibat Suhu
20
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
3. Retak refleksi (reflection cracking) Retak refleksi merupakan retak di bawah lapisan yang bisa terjadi overlay. Retak refleksi sering terjadi di aspal overlay pada perkerasan beton dan cement treated basis, biasanya terjadi ketika retak pada lapisan aspal yang lama tidak benar diperbaiki sebelum di-overlay. Retak refleksi memiliki beberapa bentuk tergantung pada pola retak di lapisan bawahnya. Jenis retak refleksi dapat dilihat pada Gambar 2-7.
Gambar 2-7. Retak Refleksi (Reflection Craking)
Berdasarkan tingkat keparahan (MTC,1986),dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: •
Ringan (low), kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak halus yang saling terhubung tanpa ada retakan yang pecah, terlihat pada Gambar 2-8.
Gambar 2-8. Retak dengan Tingkat Keparahan Rendah
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa
21
•
Sedang (medium), kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak yang terhubung membentuk kotak-kotak kecil dan pola retak sudah cukup kelihatan jelas karena sudah terdapat retak yang mulai pecah, dapat dilihat pada Gambar 2-9.
Gambar 2-9. Retak dengan Tingkat Keparahan Sedang
•
Berat (high), kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak menyerupai kulit buaya yang keseluruhan retaknya sudah pecah sehingga jika dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya alur bahkan lubang pada jalan, dapat dilihat pada Gambar 2-10.
Gambar 2-10. Retak dengan Tingkat Keparahan Berat
Berdasarkan lokasi retak, NDLI (1995) membagi retak menjadi dua bagian, yaitu: •
Retak pada tepi Retak pada tepi ini sama halnya dengan edge break, retak ini terjadi pada pertemuan tepi permukaan perkerasan dengan bahu jalan tanah 22
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
(bahu tidak beraspal) atau juga pada tepi bahu jalan beraspal dengan tanah sekitarnya. •
Retak pada lintasan roda (wheel path) Retak yang terjadi pada lintasan roda (wheel path), yang umumnya retak akibat pembebanan berulang dari kendaraan yang melintasi jalan tersebut.
Berdasarkan cara berkembangnya, menurut Kuenne (2009) membagi menjadi dua bagian, yaitu: •
Retak dari atas ke bawah (top-down cracking) Top-down cracks (TDC) adalah retak memanjang dan atau melintang yang dimulai pada permukaan perkerasan aspal dan berkembang ke bawah. Menurut Kuenne (2009), retak ini biasanya terjadi akibat segregasi campuran aspal dan sifat viscoelastic aspal sebagai pengikat yang rentan terhadap perubahan suhu yang ekstrim.
•
Retak dari bawah ke atas (bottom-up cracking) Kuennen (2009) menyebutkan bahwa bottom-up cracking atau fatigue cracking adalah hasil dari perkembangan tegangan pada lapis pondasi perkerasan aspal yang menyebabkan lapis pondasi retak dan merambat ke atas. Retak ini diakibatkan repetisi beban lalu lintas dan bisa berupa kumpulan retak kecil yang saling berhubungan.
Menurut laporan akhir Handayani (2007), mengenai terjadinya retakan dan sifat susut, pengamatan visual sifat fisik mortar busa: •
Material (mortar + foam) mengembang hanya pada saat proses pencampuran
•
Sifat susut: ¾ Dimulai pada saat awal curing ¾ Semua campuran menunjukan sifat susut ¾ Campuran yang menggunakan material tanah cenderung memiliki penyusutan yang lebih besar dibanding material pasir. ¾ Terjadinya retak akan berkurang jika pada saat curing material campuran ditutup (plastik) atau terlindungi dari pengaruh udara Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa
23
secara langsung. Campuran yang menggunakan material pasir walaupun tidak ditutup cenderung resisten akan terjadinya retak dibanding material tanah. Perlindungan dan perawatan pada perkerasan kaku menurut, Kimpraswil (2004) sebagai berikut: Setelah beton dicor dan dipadatkan, hingga berumur beberapa hari, beton harus dilindungi terhadap kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan. a. Pencegahan retak susut plastis; Retak susut plastis adalah retak yang terjadi pada permukaan beton basah dan pada saat masih plastis. Penyebab utama dari retak tipe ini adalah pengeringan permukaan beton yang terlalu cepat yang dipengaruhi oleh kelembaban relatif, temperatur beton dan udara serta kecepatan angin. Tingkat penguapan akan sangat tinggi bila kelembaban relatif kecil, temperatur beton lebih tinggi dari temperatur udara, dan bila angin bertiup pada permukaan beton. Bilamana terjadi kombinasi panas, cuaca kering dan angin yang kencang akan mengakibatkan hilangnya kelembaban yang lebih cepat dibandingkan dengan pengisian kembali rongga oleh proses aliran air. Pengeringan yang cepat juga terjadi pada cuaca dingin, jika temperatur beton pada saat pengecoran adalah lebih tinggi dari pada temperatur udara. Jika laju penguapan air lebih dari 1,0 kg/m2 per jam, pencegahan harus dilakukan untuk menghindari terjadinya retak susut plastis. Prosedur untuk meminimalkan retak akibat susut plastis : - Buat pelindung angin untuk mengurangi pengaruh angin dan atau sinar matahari terhadap permukaan beton semen - Kendalikan perbedaan temperatur yang berlebihan antara beton dan udara baik cuaca panas maupun dingin. - Hindari keterlambatan penyelesaian akhir setelah pengecoran beton. 24
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
-
-
Rencanakan waktu antara pengecoran dan permulaan perawatan dengan memperhatikan prosedur pelaksanaan, apabila terjadi keterlambatan, lindungi perkerasan kaku dengan penutup sementara Lindungi perkerasan kaku selama beberapa jam pertama setelah pengecoran dan pembuatan tekstur permukaan untuk meminimalkan penguapan.
b. Perlindungan terhadap hujan; Untuk melindungi perkerasan kaku belum berusia 12 jam, harus ditutup dengan bahan seperti plastik, terpal atau bahan lain yang sesuai. c. Perlindungan terhadap kerusakan permukaan. Perkerasan harus dilindungi terhadap lalu-lintas umum dan proyek, dengan pemasangan rambu lalu-lintas, penerangan lampu, penghalang, dan lain sebagainya.
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa
25
26
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
3 PEMBUATAN RENCANA CAMPURAN
(DESIGN MIX FORMULA) MORTAR BUSA
3.1 Umum Teknologi timbunan mortar busa yang dibahas adalah menggunakan metode campuran rasio tertentu antara semen, foam dengan bahan tanah/pasir. Material yang digunakan dapat merupakan material setempat atau material yang diperoleh dari lokasi lain seperti pasir. Dengan penambahan foam pada campuran mortar, maka material campuran akan mengembang hingga sampai dengan 4 (empat) kali volume awal sehingga kebutuhan material dapat dikurangi bila dibandingkan dengan material tanpa campuran foam. Metode ini dimaksudkan untuk mendapatkan nilai berat isi dan kekuatan dapat direncanakan sesuai kebutuhan.
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa
27
Pembuatan rancangan campuran diperoleh berdasarkan perhitungan rancangan dan percobaan di laboratorim untuk mendapatkan komposisi material campuran timbunan jalan dengan mortar busa, sehingga diperoleh mortar busa yang sesuai dengan target yang diinginkan. Langkah – langkah pembuatan desain campuran adalah dengan cara coba‐coba komposisi mix design hingga mencapai kriteria yang disyaratkan. Komposisi campuran adukan mortar yang akan dipergunakan harus sudah diajukan paling lambat 30 hari sebelum pekerjaan pengadukan mortar dimulai, lengkap dengan laporan analisis dan hasil pengujian.
3.2 Spesifikasi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa 3.2.1 Persyaratan Bahan Selambat‐lambatnya 14 hari sebelum pencampuran material mortar busa dimulai, penyedia jasa harus sudah mengajukan lokasi sumber dari bahan‐ bahan yang akan dipergunakan untuk pekerjaan adukan/campuran material mortar busa. Pembatasan tersebut sudah mencakup survey quarry, penelitian bahan‐bahan, mix design sampai mendapatkan job‐mix formula untuk adukan/pencampuran material mortar busa yang akan dipergunakan. A. Pasir Pasir yang dimaksud adalah pasir alam (natrual sand), seperti pasir sungai, pasir galian atau disebut sebagai pasir mortar berkualitas baik dan memenuhi persyaratan umum/teknis serta persyaratan gradasi. Pasir yang digunakan adalah pasir yang berkualitas baik dan memenuhi persyaratan umum/teknis serta persyaratan gradasi ASTM C 33‐97 (1997) pada Tabel 3‐1. Pasir harus mempunyai butiran‐butiran yang keras dan awet (durable). Pasir tidak boleh mengandung lumpur, tanah liat dan material‐material gembur/mudah hancur (clay lumps and friable particles) 28
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
lebih dari 3% (SNI 03‐6819‐2002). Harus bebas dari arang, benda‐benda dari kayu serta kotoran‐kotoran lainnya yang tidak dikehendaki. Tidak boleh mengandung terlalu banyak butir‐butir yang pipih (flat pieces) atau berbentuk panjang (enlongated pieces) serta pecahan‐pecahan kulit kerang. Bahan pencampur tidak diizinkan menggunakan abu batu. Pasir yang diijinkan yaitu pasir dengan ukuran maksimum 4,75 mm lolos saringan no.4, dapat dilihat pada Tabel 3‐1 dan Gambar 3‐1. Tabel 3-1.Persyaratan Pasir (ASTM C 33-97, 1997)
No.
Ukuran Saringan (ASTM)
% Berat Lolos Saringan
Inc / No
mm
Minimum
Maksimum
1 2
1/2" 3/8"
12.7 9.51
100 98
100 100
3
1/4"
6.35
96
100
4
No. 4
4.76
95
100
5
No. 8
2.36
80
100
6
No. 16
1.19
50
85
7
No. 30
0.595
25
60
8
No. 50
0.297
11
33
9
No. 100
0.149
4
15
10
No. 200
0.075
0
3
Gambar 3-1. Grafik Gradasi Batasan Pasir untuk Mortar Busa
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa
29
Gambar 3-2. Pasir, Lokasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
B. Air Air yang digunakan dalam pekerjaan haruslah air bersih, tawar (pH air > 5,5), dan bebas dari minyak, bahan‐bahan organik atau bahan‐bahan/zat‐ zat lainnya. Besar kandungan sulfat dan chloride dalam air tersebut tidak boleh melebihi batas‐batas yang telah ditentukan sesuai dengan spesifikasi yang bisa merusak mutu dan kekuatan material mortar busa seperti yang sudah ditentukan dan harus memenuhi ketentuaan yang di syaratkan dalam SNI 06‐1140‐1989. Air adukan pada timbunan jalan menggunakan material mortar busa tidak boleh mengandung butir‐butir zat padat lebih dari 0.20% dan tidak boleh mengandung larutan garam lebih dari 1.5%. C. Semen Penyedia jasa harus mendapatkan hasil uji laboratorium dari pabriknya selama waktu 3 (tiga) bulan terakhir, baik untuk semen secara zak maupun semen secara curah (silo). Semen harus memenuhi SNI 15‐2049‐1994. Setiap laporan bulanan harus jelas mencantumkan deviasi rata‐rata dan deviasi standar untuk semua hasil pengujian seperti yang telah ditetapkan dalam ASTM C 150 – 07. (2007) mengenai spesifikasi untuk semen P.C. tipe I dan V dan ASTM C 595 – 09. (2009) untuk semen P.C. tipe IP (Portlant Pozzolan Cement) atau sesuai SNI 15 7064‐2004, termasuk analisis kimiawi dan fisik. Ahli atau yang mewakili bilamana perlu mengambil contoh semen P.C. yang masih segar untuk diuji apakah hasilnya sama dengan hasil dari pabriknya.
30
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Semen P.C. yang akan dipergunakan harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam ASTM C 150‐07 (2007) untuk semen tipe I (slab) dan semen tipe V (Pipa Cakar Ayam) dan ASTM C 595‐09 (2009) untuk semen tipe IP. Dalam hal ini Penyedia jasa harus mendapatkan laporan bulanan mengenai hasil uji kimiawi dan fisik dari pabrik yang memproduksinya. Di samping itu tiap minggu Penyedia jasa harus melaksanakan pengujian terhadap semen P.C. yang akan dipergunakan di laboratorium lapangan dengan jenis pengujian sebagai berikut: - Specific Grafity dari semen PC. - Kehalusan dari semen PC dengan mempergunakan air permeability apparatus (ASTM C 204 ‐ 11. 2011). - Lamanya waktu pengikatan dari semen PC dengan vicat needle (ASTM C 191‐04, 2004). - Compressive strength dari mortar semen PC Dalam hal dipergunakan semen curah dalam silo, maka pada saat akan dipergunakan dalam adukan mortar, temperatur semen tersebut tidak boleh lebih dari 700C. Penyedia jasa harus betul‐betul memperhatikan temperatur semen yang dikirim dari pabriknya. Untuk ini Penyedia jasa diminta melengkapi dengan metal thermometer pada silo‐silo penyimpanan semen PC. D. Material Agent Cairan pembentuk foam untuk mendapatkan campuran mortar dengan berat isi yang ringan dan dapat didesain sesuai rencana. Senyawa kimia dominan yang teridentifikasi dalam cairan pembentuk foam, yaitu 1‐ Dodecanol, Methoxyacetic gcid tridecyl ester dan 1‐Tetradecanol. Cairan foam atau dapat disebut cairan surfactant, memiliki karakteristik fisik dan kimia yang hampir sama seperti air, dapat dilihat pada Gambar 3‐3.
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa
31
Gambar 3-3. Foam Agent (dokumentasi lapangan)
3.2.2 Persyaratan Kuat Tekan dan Berat Isi Mortar Busa Spesifikasi fisik material ringan harus sesuai dengan Tabel 3‐2 dan Tabel 3‐ 3. Tabel 3-2. Kekuatan Tekan Minimum Mortar Busa Lapis Pondasi Atas (Kemen.PU, 2011)
Umur Pemeraman (hari)
Kekuatan Tekan Minimum (UCS) (kPa)
Maks. Berat Isi (Densitas) (t/m3)
3 7 14
1750 1900 2000
0.8
Tabel 3-3. Kekuatan Tekan Minimum Mortar Busa Lapis Pondasi Bawah (Kemen.PU, 2011)
Umur Pemeraman (hari)
Kekuatan Tekan Minimum (UCS) (kPa)
Maks. Berat Isi (Densitas) (t/m3)
3 7 14
600 750 800
0.6
32
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
3.3 Prosedur Pembuatan Rencana Campuran Mortar Busa Prosedur pembuatan rencana campuran mortar busa dapat dilihat pada Gambar 3‐4. Setelah pembuatan rencana campuran mortar busa, maka dilakukan penghamparan percobaan dilapangan sesuai dengan spesifikasi. Jika percobaan tersebut gagal memenuhi spesifikasi pada salah satu persyaratan maka dilakukan penyesuaian dan percobaan kembali hingga memenuhi spesifikasi. Campuran yang sesuai spesifikasi dijadikan acuan untuk pelaksanaan pekerjaan timbunan badan jalan dengan mortar busa.
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa
33
M ulai
Persiapan Bahan
Persiapan foam (cairan foam +air)
Persiapan m aterial cam puan (sem en+tanah+air)
Pem buatan foam (com pressor : 0,6 M pa
Pem buatan bahan uji (variasi kom posisi m aterial sesuai dengan pertim bangan
M esin pem buat foam : 0,2 Mpa)
Dicam pur dengan mixer (pasir : air + sem en + pasir) (tanah : air + tanah + sem en)
Periksa berat isi foam (com pressor : 0,6 M pa (standar 0,04±0,005 (t/m 3)
Standar : dalam kondisi 10 liter m em erlukan adukan selam a 50 detik Periksa ada tidaknya gum palan
Pencam puran m aterial dengan foam
Check quality (densitas, flow)
Pem bentukan benda uji (m ol : Ø 15 x 30 cm )
curing
Tidak Cek Uji Tekan Bebas
Ya Selesai
Gambar 3-4. Prosedur Pembuatan Rencana Campuran Mortar Busa
Berdasarkan percobaan pencampuran, menurut Handayani (2007), sebagai berikut:
34
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
1. Semua jenis material atau bahan timbunan jalan pada prinsipnya dapat dijadikan bahan campuran dengan foam dan direncanakan sesuai kebutuhan. Penggunaan material setempat untuk timbunan mortar busa sangatlah mungkin dan hal ini dapat mengurangi biaya pekerjaan timbunan jika dibandingkan dengan mendatangkan tanah dari lokasi quarry yang lokasinya relatif jauh. 2. Berdasarkan hasil percobaan pencampuran bahan timbunan mortar busa, komposisi yang paling efisien dalam mencapai nilai target adalah komposisi campuran pasir dan semen 1:1 dan komposisi campuran tanah dan semen 1:2.
3.3.1 Pembuatan Busa (foam) Campuran Foam dengan Air Bahan pembuat busa adalah cairan busa (foam agent) dengan air. Untuk mengetahui komposisi senyawa kimia penyusun cairan busa maka terlebih dahulu dilakukan pengujian GC‐MS, yaitu pengujian yang menggunakan alat Gas Chromatograph untuk menganalisis komposisi unsur Karbon (C) dari benda uji, baik yang berupa gas ataupun cairan (oil atau condensate). Dari pengujian tersebut diketahui bahwa senyawa kimia dominan yang teridentifikasi dalam cairan pembentuk busa adalah 1‐Dodecanol, Methoxyacetic gcid tridecyl ester dan 1‐Tetradecanol. Untuk membuat busa dilakukan pencampuran cairan busa dan air dengan menggunakan foam generator dan compresor. Setelah busa terbentuk dilakukan pemeriksaan berat isinya (standar 0,04 ± 0,005 t/m3) dan cukup dilakukan 1 kali dalam tiap pencampuran. •
Untuk job mix awal, timbang agregat, semen dan air diambil perbandingan agregat sebesar 1:1, air sebanyak 0,5 dari berat semen.
•
Ukur foam dan air dengan perbandingan 1:25, pengukuran dilakukan dengan menggunakan gelas ukur, dapat dilihat pada Gambar 3‐5.
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa
35
Gambar 3-5. Pengukuran Kebutuhan Foam dengan Gelas Ukur (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)
•
Hubungkan compressor dengan foam generator, dapat dilihat pada Gambar 3‐6.
Gambar 3-6. Compressor yang Dihubungkan dengan Foam Generator (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)
•
Campurkan foam dan air di dalam ember, lalu masukkan ke foam generator, dengan tekanan 10 bar, dapat dilihat pada Gambar 3‐7.
36
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 3-7. Pencampuran Foam dan Air dengan Tekanan 10 bar (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)
Pastikan campuran foam dan air sudah tercampur sempurna, dapat dilihat pada Gambar 3‐8 .
Gambar 3-8. Foam yang telah Dicampur dengan Air (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)
3.3.2 Pembuatan Material Campuran (Campuran Foam, Semen, dan Pasir) Material campuran terdiri dari semen, pasir, dan air, semua material dicampur menggunakan hand mixer dan dengan variasi komposisi material sesuai dengan perhitungan. Hal ini dimaksudkan agar bisa diperoleh
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa
37
spesifikasi material ringan dengan mortar busa yang dikehendaki. Campuran tersebut harus diperiksa dari adanya gumpalan. •
Untuk job mix awal campuran foam, semen dan pasir diambil perbandingan berat: berat semen + agregat sebesar 1,2 : 1 timbang hasil campuran foam sesuai dengan job mix yang direncanakan. dapat dilihat pada Gambar 3‐9.
Gambar 3-9. Penimbangan Semen untuk Rencana Campuran Awal (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)
•
Masukkan agregat dan semen ke dalam bejana mixer, lalu diaduk dengan mixer selama ± 2 menit.
•
Masukan campuran foam ke dalam bejana mixer yang telah terisi campuran tersebut, lalu aduk lagi selama ± 2 menit, dan pastikan telah tercampur sempurna, dapat dilihat pada Gambar 3‐10.
Gambar 3-10. Pencampuran Foam, Semen dan Pasir Kedalam Bejana (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)
38
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
3.3.3 Pengujian Berat Isi (densitas) Mortar dan Flow Pengujian berat isi material campuran yang telah dicampur dengan busa dilakukan sesaat setelah proses pencampuran. Pengujian nilai flow material mortar busa dilakukan dalam kondisi segar. Bahan tersebut dituangkan ke dalam flow cone hingga batas atasnya, kemudian flow cone diangkat perlahan hingga sampel mengalir dan menyebar, lalu hitung diameternya setelah 1 menit kemudian, diamater hasil flow 180mm ± 2mm, Pengecekan flow sebagai berikut : •
Masukkan hasil campuran tersebut ke dalam silinder di atas bidang yang rata dan timbang beratnya untuk mengetahui berat isi mortar.
•
Angkat silindernya dan ukur diameter alirannya untuk mengetahui nilai flow‐nya.
•
Harus memenuhi nilai flow 18 ± 2 cm, dapat dilihat pada Gambar 3‐11.
Gambar 3-11. Pengujian Flow untuk Mortar Busa (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)
3.3.4 Pembuatan dan Pengujian Benda Uji Persiapkan terlebih dahulu cetakan mould mortar (diameter 15cm x tinggi 30cm), setelah itu tuang material campuran dengan busa kedalam cetakan tersebut sampai penuh. Beri tanda pada setiap benda uji agar mudah dalam mengindentifikasinya. Buka cetakan setelah benda uji telah mengeras.
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa
39
•
Masukkan mortar ke dalam mould silinder sesuai dengan kebutuhan (dengan minimal benda uji 3 buah untuk setiap pengujian uji tekan 3 hari, 7 hari, 14 hari).
•
Beri label pada setiap mould silinder dan setiap pengujian, dapat dilihat pada Gambar 3‐12.
Gambar 3-12. Contoh Mortar Busa untuk Pengujian Uji Tekan Bebas (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)
•
Buka benda uji di dalam mould silinder setelah 1 hari, dan dilakukan proses perawatan (curing). Pada proses perawatan benda uji dibungkus dengan menggunakan plastik, hal ini dimaksudkan agar benda uji dapat terhindar dari kontaminasi udara bebas sehingga proses oksidasi dapat dicegah.
•
Timbang benda uji dan hitung densitasnya.
•
Lakukan pengujian tekan bebas pada waktu yang telah ditentukan (3 hari, 7 hari, 14 hari).
•
Lakukan uji kadar air dengan contoh benda uji yang telah diuji tekan bebas.
•
Periksa apakah nilai pengujiannya telah masuk ke dalam spesifikasi. Untuk UCS 800, nilai kuat tekan minimum adalah 800 kPa dengan nilai densitas maksimum 0,6 t/m3, sedangkan untuk UCS 2000, nilai kuat tekan minimum adalah 2000 kPa dengan nilai densitas maksimum 0,8 t/m3. Apabila kuat tekannya lebih rendah, dapat diatasi dengan menambah jumlah semen, dan bila densitasnya lebih tinggi dari 40
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
spesifikasi dapat kurangi dengan menambah jumlah foam atau mengurangi volume agregat yang digunakan.
3.3.5 Perawatan Benda Uji (Curing) Setelah cetakan dibuka perlu dilakukan proses perawatan (curing) agar benda uji tidak mengalami kerusakan. Pada proses perawatan benda uji dibungkus dengan menggunakan plastik, hal ini dimaksudkan agar benda uji dapat terhindar dari kontaminasi udara bebas sehingga proses oksidasi dapat dicegah. Perawatan benda uji dilakukan sesuai SNI 03‐4810‐1998.
3.3.6 Pengujian Berat Isi dan Kuat Tekan Bebas, Unconfined Compressive Strength (UCS) Pengujian berat isi mortar busa dilakukan sebelum melakukan pengujian uji tekan bebas, dengan cara menimbang benda uji dan menghitung densitasnya. Pengujian uji tekan bebas harus sesuai SNI 03‐3838‐1994. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui nilai UCS benda uji. Nilai UCS harus memenuhi peryaratan mortar busa. Jika nilai UCS benda uji sudah sesuai dengan yang dikehendaki maka komposisi material benda uji tersebut bisa digunakan sebagai dasar untuk melakukan produksi yang lebih banyak. Apabila nilai UCS‐nya tidak sesuai maka proses trial mix mortar busa yang dilakukan harus diulang dari awal dan dilakukan dengan komposisi material yang berbeda. Lakukan pengujian tekan bebas (UCS) pada waktu yang telah ditentukan (3hari, 7hari, dan 14hari), dapat dilihat pada Gambar 3‐13.
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa
41
Gambar 3-13. Pengujian UCS di Laboratorium (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Lakukan uji kadar air dengan sampel yang telah diuji tekan, dapat dilihat pada Gambar 3‐14. Gambar 3-14. Pengujian Uji Kadar Air (dokumentasi foto pelaksanaan di laboratorium)
Periksa apakah nilai pengujiannya telah masuk ke dalam spesifikasi sesuai Tabel 3‐2 dan Tabel 3‐3. Apabila kuat tekannya lebih rendah, dapat diatasi dengan menambah jumlah semen, dan bila berat isinya lebih tinggi dari spesifikasi dapat kurangi dengan menambah jumlah foam atau mengurangi volume agregat yang digunakan Jika percobaan tidak memenuhi spesifikasi pada salah satu persyaratan maka dilakukan penyesuaian dan percobaan kembali hingga memenuhi spesifikasi. Campuran yang sesuai spesifikasi dijadikan acuan untuk pelaksanaan pekerjaan timbunan konstruksi jalan dengan mortar busa.
42
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
4 METODE KONSTRUKSI TIMBUNAN RINGAN DENGAN MORTAR BUSA
4.1 Persyaratan Peralatan Peralatan dan alat‐alat lainnya yang akan dipergunakan untuk menangani bahan‐bahan dan melakukan semua bagian dari pekerjaan, terlebih dahulu harus disetujui oleh Ahli, seperti: design, kapasitas, dan keadaan mekaniknya. Peralatan harus ada di lokasi pekerjaan sebelum dimulainya operasi konstruksi. Hal ini diperlukan untuk pemeriksaan dan persetujuan.
4.1.1 Mixers Pada prinsipnya pekerjaan pengadukan mortar yang akan dilaksanakan harus diaduk di suatu central mixing plant (stationary mixer) type wet‐mix yang dilengkapi alat penimbang, alat pengontrol kelembaban dan kadar air
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa
43
agregat serta alat pengontrol lainnya yang memenuhi persyaratan sesuai dengan spesifikasi ASTM C 94 – 94. (1994). Sebelum dipesan/dipasang di central mixing plant baik merk maupun kapasitasnya harus disetujui oleh Ahli terlebih dahulu. Bilamana penyedia jasa akan mempergunakannya alat pengaduk jenis truck mixer atau transit mixer, baik untuk keseluruhan adukan (truck mixed mortar), maka Penyedia jasa harus mendapatkan izin tertulis terlebih dahulu dari Ahli. Stationary mixer oleh pabrik pembuatnya harus sudah dicantumkan papan logam yang memuat informasi tentang kapasitas drum pengaduk, kecepatan rotasi drum pengaduk dan sirip‐sirip pengaduk, dapat dilihat pada Gambar 4‐1.
Gambar 4-1. Box Mixer Kapasitas 1m³ (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
4.1.2 Mortar Pump (Pompa Mortar) Yaitu mesin pompa untuk memompa adukan mortar basah ke titik pengecoran apabila tidak bisa dijangkau oleh truck mixer tersebut. Merk, tipe maupun kapasitasnya harus disetujui oleh Ahli terlebih dahulu, dapat dilihat pada Gambar 4‐2.
44
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 4-2.Mortar Pump (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
4.1.3 Peralatan Lain Pembentuk Foam Peralatan pembuat foam terdiri dari compressor dan mesin pembuat foamnya itu sendiri. Kapasitas dari kedua alat tersebut yaitu: 1. Compressor : 0,6 MPa 2. Mesin pembuat Foam : 0,2 MPa
4.2 Tahapan Konstruksi Tahapan pelaksanaan konstruksi timbunan ringan dengan mortar busa, sebagai berikut:
4.2.1 Persiapan Kerja Penyiapan kondisi lapangan yaitu meliputi kebersihan lahan dan pembuatan lantai kerja atau lean concrete, serta semua peralatan dan operator sudah siap.
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa
45
4.2.2 Pemasangan Anyaman Baja (Wire Mesh) Pada timbunan jalan menggunakan mortar busa yang menggunakan anyaman baja, lebar dan panjang anyaman baja harus di atur sedemikian rupa sehingga pada saat dipasang, anyaman baja tersebut tepat pada posisinya dan tidak bergeser, ukuran anyaman baja,dapat dilihat pada Gambar 4‐3. 10 cm
10 cm
Gambar 4-3. Ukuran Pemasangan Anyaman Baja
Apabila mortar busa dilakukan dengan dua kali pengecoran, maka permukaan lapis pertama harus rata dan terletak pada kedalaman tidak kurang dari 5 cm di bawah permukaan akhir mortar busa. Anyaman ditempatkan di atas lapis pertama pengecoran. Penghamparan lapisan pertama harus mencakup seluruh lebar pengecoran dengan panjang yang cukup untuk memungkinkan agar anyaman dapat di gelar pada posisi akhir tanpa kelebihan anyaman. Untuk mencegah anyaman bergeser maka lembar anyaman yang berdampingan harus di ikat kuat. Pengecoran lapisan selanjutnya, campuran dituang diatas anyaman baja. Untuk jangka waktu tertentu permukaan lapisan pertama tidak boleh di biarkan terbuka lebih dari 30 menit. Penghamparan anyaman baja dapat dilihat pada Gambar 4‐4.
46
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 4-4. Anyaman Baja yang Telah Terhampar (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
4.2.3 Pemasangan Bekisting Papan‐papan cetakan atau bekisting dibentuk dengan baik harus dipasang tegak dan lurus dalam arti tidak berbelok‐belok sesuai dengan dimensi yang direncanakan, agar tegak lurus dilakukan pengukuran dengan bantuan alat waterpass. Papan‐papan tersebut harus kokoh sehingga tidak mudah berubah tempat, miring atau melengkung bila pengecoran telah di mulai. Kebersihan dalam bekisting diperiksa sebelum penuangan mortar busa. Papan cetakan harus dipasang secara rapi berdasarkan bentuk timbunan ringan yang akan di cor. Bekisting dipasang sesuai persyaratan. Tinggi papan cetakan dipasang melebihi tinggi mortar busa yang akan dituang. Sambungan pada bekisting harus merupakan garis lurus serta sambungan harus rapat sehingga tidak terjadi kebocoran. Untuk bekisting pada abutment harus ditunjang dengan tiang yang kuat untuk menyangga papan cetakan. Bekisting dibuat sesuai kemampuan mortar busa yang dihasilkan, terlihat pada Gambar 4‐5 untuk kebutuhan 1m³.
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa
47
Gambar 4-5. Pemasangan Bekisting (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
4.2.4 Penuangan (Pengecoran) Campuran mortar busa harus dicor dengan menuangkan mortar busa dari alat pengangkut sesuai dengan batas bekisting. Tata cara pencampuran sesuai dengan tata cara pengadukan dan pengecoran beton, sesuai SNI 03‐ 3976‐1995. Mortar busa harus dihampar dengan takaran yang cukup untuk mengecor seluruh lebar mortar busa yang bekerjanya sedemikian rupa sehingga tidak akan timbul segregasi atau pemisahan material‐material pembentuk mortar busa sendiri. Level permukaan harus diawasi dari bekisting samping dan harus diatur pada kemiringan yang betul sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam gambar rencana. Pengecoran dapat juga dilakukan dengan mesin pompa (Mortar pump) untuk memompa campuran mortar busa basah ke lokasi pengecoran, apabila tidak bisa dijangkau oleh truck mixer dan harus dijaga untuk tidak menimbulkan segregasi atau pemisahan material pembentuk mortar busa sendiri. Tinggi jatuh pelaksanaan pengecoran tidak boleh lebih dari 1,5 meter, jika harus menggunakan pipa atau trimie, untuk menghindari hasil pelaksanaan
48
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
pengecoran terjadi buih yang terlalu besar, yang akan mengakibatkan segresi atau penurunan hasil pengecoran sehingga keroposnya permukaan atas hasil pengecoran. Pelaksanaan pengecoran ke dalam bekisting dapat dilihat pada Gambar 4‐6.
Gambar 4-6. Tahapan Pengecoran (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
4.2.5 Perataan Setelah material ringan dengan mortar busa dihamparkan, permukaan material ringan harus diratakan dan dirapihkan dengan alat perata, seperti dapat dilihat pada Gambar 4‐7.
Gambar 4-7. Perataan Mortar Busa (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa
49
4.2.6 Perawatan (Curing) Mortar busa yang telah selesai dicor segera ditutup dengan bahan penutup (terpal, plastik tebal) agar tidak terjadi penguapan yang berlebihan untuk menghindari retakan. Lahan yang akan dicor harus ditutup agar tidak terkena sinar matahari secara langsung, hujan atau angin, dapat dilihat pada Gambar 4‐8.
Gambar 4-8. Terpal Penutup Mortar Busa Terpasang (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
4.2.7 Pembukaan Bekisting Cetakan tidak boleh dibuka dari saat mortar busa di cor sampai finial setting time atau di hitung 24 jam. Bekisting harus dibuka secara hati‐hati untuk menghindari kerusakan pada mortar busa.
4.2.8 Sambungan Pengecoran (Construction Joint) 1. Umum Pada pembangunan jalan, runway, taxiway dan apron tidak dipergunakan dummy‐joint lagi, sehingga yang ada hanya “construction joint” (sambungan pengecoran) saja, baik sambungan pengecoran antara konstruksi yang baru dengan dengan yang lama, baik sambungan pengecoran ke arah melintang maupun memanjang.
50
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
2. Sistem Pengecoran Apabila tersedia cukup waktu maka pengecoran dapat dilaksanakan sebagai berikut : Sistem pengecoran dilakukan dapat dilakukan secara bertahap dengan ketebalan maksimum 1 meter dan lebar sesuai lebar jalan yang akan digunakan konstruksi mortar busa, demikian selanjutnya sampai mencapai ujung konstruksi perkerasan yang direncanakan. 3. Daerah‐daerah yang belum dicor ini akan dicor kemudian bilamana slab‐slab di kanan dan kirinya atau di belakang dan di depannya yang akan disambung telah mencapai umur rencana dengan maksud untuk memberi kesempatan agar slab yang dicor itu telah selesai atau hampir selesai mengalami penyusutan. 4. Rencana pengecoran dan penyiapan papan‐papan cetakan atau pembatas. Paling tidak 7 hari sebelum pengecoran Penyedia jasa harus sudah menyampaikan rencana pengecoran berikut gambar sketsa mengenai letak bagian‐bagian yang akan dicor beserta urut‐urutan pengecorannya. Bila rencana pengecoran ini telah disetujui Ahli, maka Penyedia jasa bisa mulai menyiapkan tempat yang akan dicor sesuai urut‐urutannya yang meliputi: ‐ Kesiapan lantai kerja ‐ Pembesian sesuai dengan gambar kerja. Papan‐papan cetakan yang merupakan pembatas daerah pengecoran, dimana papan‐papan cetakan ini harus dipasang tegak dan lurus dalam arti kata tidak berbelok‐belok serta kokoh, sehingga tidak mudah berubah tempat, miring atau melengkung bila pengecoran telah dimulai atau terinjak. 5. Pengecoran tahap selanjutnya Yang dimaksud dengan pengecoran tahap selanjutnya disini adalah pengecoran bagian‐bagian yang belum dicor akibat diloncati atau dapat dikatakan pengecoran sambungan antara dua mortar yang telah dicor terlebih dahulu pada pengecoran tahap sebelumnya.
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa
51
6. Seperti telah diterangkan di atas bahwa pengecoran sambungan‐ sambungan ini baru bisa dimulai bilamana mortar yang akan disambung telah berumur lebih dari umur rencana atau mencapai nilai kuat tekan optimum 14 hari. Sebelum pengecoran tahap selanjutnya ini dimulai, maka tempat‐tempat yang akan dicor harus telah diperiksa terlebih dahulu atas kesiapannya, terutama mengenai: a. Permukaan sisi tegak dari ujung mortar pengecoran tahap sebelumnya yang akan disambung. Permukaan sisi tegak ini harus merupakan bidang tegak yang rapi dan lurus. Bila ada sisa‐sisa pengecoran tahap sebelumnya harus dibongkar (dibeitel) sehingga memperoleh bidang tegak rapi. b. Kebersihan tempat yang akan dicor. Tempat ini harus bebas atau bersih dari sisa‐sisa pembongkaran atau puing‐puing mortar, barang‐barang yang tidak dikehendaki serta kotoran‐kotoran lainnya. c. Pembesian anyaman baja (wire mesh) harus sudah sesuai dengan gambar desain, terpasang kokoh dengan ganjal‐ganjal (spacer) yang kuat sehingga tidak mudah melengkung bila terinjak orang dan tidak mudah tergeser pada waktu proses pengecoran.
4.2.9 Pembukaan untuk Lalu Lintas 1. Pembukaan timbunan jalan menggunakan mortar busa untuk lalu lintas umum harus ditentukan terlebih dahulu oleh Ahli. Lalu lintas umum dapat dibuka kurang lebih 14 hari setelah timbunan jalan menggunakan mortar busa terpasang. Bila kekuatan timbunan jalan menggunakan mortar busa tersebut telah mencapai kekuatan tekan minimum 2000 kPa untuk Lapis Pondasi Atas (lapisan dengan tebal 30 cm di bawah lapisan aspal) dan kekuatan tekan minimum 800 kPa untuk Lapis Pondasi Bawah (lapisan di bawah Lapis Pondasi Atas), sebelum 14 hari maka jalan/daerah tersebut bisa dibuka untuk lalu lintas umum.
52
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
2. Sebelum dibuka untuk lalu‐lintas umum, maka daerah/jalur tersebut harus dibersihkan lebih dahulu dari kotoran‐kotoran yang menempel (tanah, dsb.) kotoran‐kotoran lepas dan debu. 3. Bilamana timbunan jalan menggunakan mortar busa belum mencapai umur/kekuatan tersebut diatas, kendaraan proyek yang berhubungan dengan tugasnya harus melewati timbunan jalan menggunakan mortar busa tersebut, maka terlebih dahulu harus ada izin khusus dari Ahli.
4.3 Pengendalian Mutu Pengendalian mutu adalah salah satu faktor kunci keberhasilan hasil pelaksanaan pekerjaan yaitu pengendalian mutu yang baik, maka akan diperoleh hasil pekerjaan yang memberikan kinerja yang baik. Frekuensi pengujian minimum untuk pengendalian selama proses pelaksanaan yang diperlukan harus seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4‐2. Mutu dari pekerjaan konstruksi timbunan ringan dengan mortar busa dipengaruhi oleh bahan material yang digunakan, untuk itu pengendalian mutu terhadap bahan harus lebih diperhatikan. Pengujian mutu terhadap bahan material semen dapat dilihat pada Tabel 4‐ 1. Tabel 4-1. Jenis Pengujian Semen
Jenis Pengujian Kadar udara, volume, Max %
Spesifikasi Tipe III Tipe IV
Tipe I
Tipe II
Tipe V
12
12
12
12
12
Kehalusan, luas permukaan spesifik, m2/kg ‐ Pengujian Turbidimeter, Min ‐ Pengujian permiabilitas udara, Min
160 280
160 280
‐
160 280
160 280
Pengembangan autociave, max %
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
12.4 24.1
12.4 27.6
10.3 27.6
24.1
17.2
8.3 20.7
Kuat tekan, min, Mpa ‐ 1 hari ‐ 3 hari ‐ 7 hari ‐ 28 hari
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa
53
Jenis Pengujian Waktu pengikat, menit *Alat vicat (menit) ‐ Pengikatan awal, Min ‐ Pengikatan akhir, Max * Alat gillmore (menit) ‐ Pengikatan awal, Min ‐ Pengikatan akhir, Max Konsistensi normal semen
Spesifikasi Tipe III Tipe IV
Tipe I
Tipe II
Tipe V
45 50‐375 60
45 50‐375 60
45 50‐375 60
45 50‐375 60
45 50‐375 60
600
600
600
600
600
4.3.1 Pengujian Timbunan Ringan dengan Mortar Busa Pengujian permukaan timbunan ringan dengan mortar busa sebagai berikut: 1) Permukaan timbunan jalan menggunakan mortar busa harus diperiksa dengan mistar lurus sepanjang 3 meter, harus dilaksanakan tegak lurus dan sejajar. 2) Pengujian untuk pemeriksaan toleransi kerataan yang disyaratkan harus mulai dilaksanakan segera setelah penghamparan dan perataan, penyimpangan yang terjadi harus diperbaiki dengan membuang atau menambahkan bahan sebagaimana diperlukan. a) Ketentuan Berat Isi, UCS dan Flow Berat isi dan kekuatan tekan bebas timbunan jalan menggunakan mortar busa (compressive strength) dan flow harus sesuai dengan persyaratan timbunan jalan menggunakan mortar busa.
54
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 4-9. Pengujian Berat Isi (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
b) Jumlah Pengambilan Benda Uji Pengambilan benda uji umumnya dilakukan di unit produksi mortar busa dengan frekuensi pengujian setiap pengecoran 10m3 adukan harus diambil benda uji silinder/kubus secara uji petik (random sampling) untuk setiap minimum 3 kali pengujian dan setidak‐ tidaknya setiap 1 (satu) hari sekali yang cukup mewakili (representative) untuk pengecoran hari itu, juga sebanyak untuk minimum 3 (tiga) kali pengujian. 3) Untuk menguji kekuatan tekan timbunan jalan menggunakan mortar busa (compressive strength) mengikuti SNI 03‐3638‐1994. Pada saat awal‐awal pengecoran, harus mengambil minimum sebanyak 20 (dua puluh) buah benda uji silinder yang masing‐masing di tes pada umur 7 hari dan 14 hari. 4) Dari hasil pengetesan benda uji tersebut diatas, maka harus dipakai sebagai dasar untuk mempertimbangkan apakah perlu diadakan perubahan dalam campuran (mix design) dan cara pelaksanaan. 5) Benda‐benda uji tersebut harus dibuat/disiapkan menurut cara standar tentang pembuatan dan perawatan benda uji di laboratorium seperti tercantum dalam SNI 3419‐2008.
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa
55
6) Pengetesan/pengujian dilaksanakan setelah benda uji mencapai umur tertentu dan setiap pengujian harus terdiri dari 3 (tiga) buah benda uji. Jadi setiap rangkaian pengujian @3 benda uji.
4.3.2 Pengamatan Mutu Khusus setelah Campuran Mortar Busa Selesai di Hampar Pengamatan mutu khusus setelah campuran mortar busa selesai di hampar, adalah sebagai berikut: 1) Khusus pada timbunan jalan menggunakan mortar busa yang sudah selesai dikerjakan, harus dilakukan pengamatan mutu terhadap timbunan jalan menggunakan mortar busa dan terhadap tebal dari timbunan jalan menggunakan mortar busa tersebut. 2) Untuk ini Penyedia Jasa diwajibkan untuk melaksanakan core drill dan dengan kedalaman setebal timbunan jalan menggunakan mortar busa menurut gambar rencana serta diwajibkan untuk membuat laporan. 3) Jumlah dan ulangan core drill harus dilaksanakan sebagai berikut : a) Pada timbunan jalan menggunakan mortar busa percobaan yang seluas ± 300m2 harus diadakan 15 buah core drill. b) Pada timbunan jalan menggunakan mortar busa dengan luas 1000m2 hasil pengecoran pertama harus diadakan 20 core drill. c) Bila pengujian pada butir b. diatas telah menunjukkan hasil yang baik, maka pada sisa mortar busa yang akan dicor selanjutnya cukup diadakan 1 (satu) core drill pada luas 2500m2 untuk pengecoran mortar busa yang dilaksanakan secara mekanis, sedangkan bagian‐bagian mortar busa yang dilaksanakan secara manual diadakan 1 (satu) core drill untuk setiap 500m2. 4) Dalam hal hasil core drill diatas menunjukkan hal‐hal yang perlu diperhatikan secara sungguh‐sungguh guna mengambil suatu keputusan. 5) Tempat‐tempat yang akan dilakukan core drill akan ditentukan secara acak/uji petik (random).
56
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Tabel 4-2. Pengendalian Mutu
Pengujian
Frekuensi pengujian Bahan
Semen
Diperiksa setiap dilakukan pencampuran
Pasir : - kadar carbon organik
Diperiksa setiap dilakukan pencampuran
- kadar air
Diperiksa setiap dilakukan pencampuran
- wet density test
Diperiksa setiap dilakukan pencampuran
- ignition loss
Diperiksa setiap dilakukan pencampuran
Air : - PH test
‐ Bahan padat ‐ Bahan tersuspensi ‐ Bahan organik ‐ Minyak mineral ‐ Ion sulfat (Na2SO4) ‐ Ion klorida (NaCL)
Diperiksa setiap dilakukan pencampuran (spesifikasi 4,5‐8,5), sesuai PB‐0301‐76 Spesifikasi Max.2000ppm, sesuai PB‐0302‐76 (Binkot, 1990a) Spesifikasi Max.2000ppm, sesuai PB‐0303‐76 (Binkot, 1990b) Spesifikasi Max.2000ppm, sesuai PB‐0304‐76 (Binkot, 1990c) Spesifikasi Max.2% berat semen, sesuai PB‐ 0305‐76 (Binkot, 1990d) Spesifikasi Max.10000ppm, sesuai PB‐0306‐ 76 (Binkot, 1990e) Spesifikasi Max.20000ppm, sesuai PB‐0307‐ 76 (Binkot, 1990f)
Kadar air sebelum produksi : - Kadar air busa
Diperiksa setiap dilakukan pencampuran
- Kadar air campuran
Diperiksa setiap dilakukan pencampuran
Campuran : - Gradasi - Kadar Busa - Campuran Rancangan (Mix Design)
200 ton (min, 2 pengujian per hari) Diperiksa setiap dilakukan pencampuran Setiap perubahan rancangan
- Density
Diperiksa setiap dilakukan pencampuran di lab
- Flow
Diperiksa setiap dilakukan pencampuran di lab
- UCS
Diperiksa setiap dilakukan pencampuran di lab
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa
57
Pengujian
Frekuensi pengujian
Lapisan yang dihampar : - Uji kepadatan dapat dilakukan menggunakan UCS lapangan pada lokasi yang ditentukan oleh Direksi Teknis,tetapi tidak berselang lebih dari 50 m - Uji ketebalan dapat dilakukan dengan menggali dan mengukur ketebalan lapisan hamparan padat pada lokasi yag ditentukan oleh Direksi Teknis, tetapi tidak boleh berselang lebih 50 m. Sebagai alternatif uji ketebalan dapat dilakukan dengan pengeboran (core drill) setelah hamparan berusia minimum 14 hari
50 meter panjang
50 meter panjang
58
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
5 KINERJA TIMBUNAN RINGAN MORTAR BUSA OPRIT JEMBATAN DI KEDATON, CIREBON, JAWA BARAT Lokasi pekerjaan skala penuh untuk timbunan mortar busa oprit jembatan pada Jembatan Kedaton Ruas Jalan Cirebon‐Karang Ampel, Kecamatan Kapetakan, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat, seperti terlihat pada Gambar 5‐1.
Gambar 5-1. Lokasi Jembatan Kedaton, Cirebon, Jawa Barat
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
59
5.1 Kondisi Geologi dan Geoteknik Timbunan uji di oprit Jembatan Kedaton terletak di atas tanah lunak yang tersusun atas Aluvium endapan sungai yang umumnya tersusun oleh bahan‐bahan berbutir halus (lempung, lanau dan selingan pasir), diperlihatkan pada Gambar 5‐2, dengan tanah keras berada pada kedalaman sekitar 30 m. Tanah lunak tersebut mempunyai kuat geser tak terdrainse antara 20 – 40 kPa dan indeks kompresibilitas Cc antara 0.7 – 1, angka pori e0 antara 1.9 – 2.2, kadar air 365 – 176%. Dari hasil uji indeks, tanah dasar merupakan Fat Clay berwarna abu‐abu dan masuk kedalam klasifikasi CH (lempung plastisitas tinggi).
Gambar 5-2. Kondisi Geologi Kedaton, Cirebon, Jawa Barat
Interpretasi startifikasi tanah diperlihatkan pada Gambar 5‐3 memperlihatkan instrumentasi terpasang berdasarkan kedalaman,
60
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
sedangkan hasil pengujian sondir dan uji lab diperlihatkan pada Gambar 5‐ 4. EXT.2 Vw - Pz.3 INC.1
SP.9
INC.2
SP.8
0.00
0.00
0.00
0.00
-4.04 -4.00
0.00
0.00
SP.7
-4.04
-4.118
-4.04
-6.115
-8.105
-10,03 -10.409
-12.478
-14.085
- 19.103
- 24.077
- 27.00
- 27.00
Tanah Asli Timbunan Mortar Busa
Gambar 5-3. Grafis Potongan Stratifikasi
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
61
Gambar 5-4. Sondir dan Hasil Uji Laboratorium
5.2 Konstruksi Timbunan dan Instrumentasi pada Oprit Jembatan Kedaton Mortar busa pada oprit Jembatan Kedaton, Cirebon, Provinsi Jawa Barat terpasang sepanjang 70 meter dengan tinggi timbunan 4,35 meter, arah Kota Indramayu, seperti terlihat tampak atas pada Gambar 5‐5 dan letak titik‐titik instrumentasi pada Gambar 5‐6 dan potongan memanjang pada Gambar 5‐7. 62
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
INDRAMAYU
Mortar Busa
Trotoar
Badan Jalan
Median
Badan Jalan
Sunga i
Gambar 5-5. Sketsa Mortar Busa Jembatan Kedaton, Cirebon Jawa Barat
Bahu Jalan
Jalur Lambat
Jalur Cepat
Jalur Cepat
Jalur Lambat
ME NT ABU T
Bahu Jalan
i Sunga
ABU
TME
NT
CIREBON
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
63
INDRAMAYU
64
Trotoar
SP.4
Vw - PZ.1 SP.5
SP.6
BM.B
INC.3
Vw - PZ.2
Badan Jalan
INC.4
Sunga i
SP.1
SP.2
SP.3
Vw - PZ.3
Gambar 5-6. Sketsa Tampak Atas dan Letak Titik-Titik Instrumentasi
Bahu Jalan
Jalur Lambat
Jalur Cepat
Median
INC.2
SP.7
EXT.1
SG - Kn
1.8m
2m
Vw-Pc.2
2m
2m
BM. PIPA PDAM
Vw-Pc.3
EXT.2 Vw-Pc.1 dan 4 Vw - PZ.4
SG - Kr
SP.8
INC.1 SP.9
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Skala :
2
2
1
4
4
3
3
VW.2
1
VW.1
VW.4 W.1
W.2
VW.3
5
5
Inc Ext SP Pz Pc SG
6 m'
6 m'
Ket :
Vw - Pz.1
- 4,64
-1,66
-1,64
SP:4,5,6 0.00
0.00
Tanah Asli
0.00
- 6.06
-2.06
Vw - Pz.2
-2.10
0.00
INC.3 /4 SP:1,2,3
-27.00
0.00
Foam Mortar 2000 kPa
Foam Mortar 800 kPa
-8.105
-6.115
-4.118
0.00
- 24.077
- 19.103
-14.085
-12.478
-10.409
-10,03
-4.00
0.00
EXT.2 Vw - Pz.3
- 27.00
-4.04
0.00 0.00
INC.1 / 2 SP:7,8,9
Gambar 5-7. Sketsa Potongan Memanjang dan Letak Titik Instrumen
: Inclinometer : Extenzometer : Settlement Plate : Piezometer : Pressure Cell : Strain Gauge
SKETSA LETAK TITIK INSTRUMEN ABUTMENT JEMBATAN KEDATON BARU ARAH INDRAMAYU KM.21+177 CRB.
-12.20
-4.20
0.00
Vw - Pz.4
- 22.40
- 18.92
- 13.20
- 11.20
- 9.90
- 7.07
- 4.88
- 4.24
0.00
EXT.1
- 4,35
Vw - Pc.1 (-3,35)
Vw - Pc.2-3 (-1,55)
Vw - Pc.4 (-0,35)
(0,00)
U
B
T S
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
65
Instrumen yang terpasang pada Oprit Jembatan Kedaton dengan simbol sebagai keterangan pada Gambar 5‐6 dan Gambar 5‐7 dapat dilihat pada Tabel 5‐1. Tabel 5-1. Instrumen dan Simbol
No
Instrumen
Simbol
1
Vibrating Wire Piezometer
PZ
2
Vibrating Wire Pressure Cell
PC
3
Inclinometer
INC
4
Settlement Plate
SP
5
Surface Marker
SM
5
Extensometer Magnetic
EXT
6
Strain Gauge
SG
7
Piezometer Pipe Cassagrande
PZC
5.2.1 Tahapan Pelaksanaan Konstruksi Timbunan Oprit Mortar Busa Berikut tahapan pelaksanaan konstruksi timbunan oprit mortar busa pada lokasi Oprit Jembatan Kedaton, Cirebon, Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 5‐9 sampai dengan Gambar 5‐26. Kondisi ekisting Oprit Jembatan Kedaton, sebelum dilakukan penggantian timbunan dengan menggunakan timbunan ringan dengan mortar busa dapat dilihat pada Gambar 5‐8 dan Gambar 5‐9.
66
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 5-8. Kondisi Existing Oprit Jembatan Kedaton (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Gambar 5-9. Ilustrasi Kondisi Existing Jembatan Kedaton
Pekerjaan awal penggantian timbunan tanah dengan dengan timbunan ringan mortar busa adalah melakukan pengerukan tanah asli dengan tinggi 4,35 m dan panjang 70 m dengan menggunakan alat berat dapat dilihat pada Gambar 5‐10 dan Gambar 5‐11.
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
67
Gambar 5-10. Ilustrasi Pekerjaan Pengerukan tanah
Gambar 5-11. Pelaksanaan Pengerukan Tanah (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Kondisi setelah dilakukan pengerukan tanah asli dapat dilihat pada Gambar 5‐12.
68
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 5-12. Kondisi Setelah Pengerukan Tanah Asli (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Tahapan pelaksanaan pengecoran material dengan mortar busa berdasarkan waktu dan lapisan tinggi timbunan, dan pemasangan anyaman baja (wire mesh) dapat dilihat pada Gambar 5‐13.
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
69
Gambar 5-13. Waktu Pengecoran Mortar Busa
70
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Pelaksanaan pemasangan instrumen dilakukan berbarengan dengan penghamparan mortar busa, setelah melakukan pekerjaan pengerukan tanah asli, melakukan pemasangan instrumen seperti terlihat pada Gambar 5‐14 dan Gambar 5‐15, warna merah menunjukan pemasangan instrumentasi piezometer dan warna hijau pemasangan instrumentasi extensometer.
Gambar 5-14. Ilustrasi Tahap Pekerjaan Pemasangan Instrumen
Gambar 5--15. Pelaksanaan Pemasangan Instrumen (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
71
Awal penghamparan mortar busa dilakukan pada tahap pertama di STA 0+080 dengan spesifikasi kuat tekan bebas 800 kPa dan berat isi 0,6 t/m³, terlihat pada Gambar 5‐16.
Gambar 5-16 .TahapPekerjaan Mortar Busa Lapis Pondasi Bawah
Mortar busa yang telah dihampar ditutup dengan terpal menghindari pengaruh cuaca terik matahari ataupun hujan, seperti terlihat pada Gambar 5‐17.
Gambar 5-17. Perawatan Mortar Busa yang Telah Dihampar (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
72
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Pelaksanaan pengecoran dilakukan dengan metode papan catur, yaitu penghamparan mortar busa dilewatkan/dilangkahi satu kotak bekisting menunggu bekisting yang telah terpasang dapat dibuka untuk dipergunakan pada tempat penghamparan mortar busa yang lain, seperti terlihat pada Gambar 5‐18 dan Gambar 5‐19.
Gambar 5-18.Tahap Timbunan Mortar Busa Lapis Pondasi Bawah
Gambar 5-19.Tahap Penimbunan Mortar Busa di Atas Lapisan Mortar Busa yang Telah Terhampar
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
73
Penghamparan mortar busa pada tahap selanjutnya dilakukan secara menerus hingga mencapai tinggi timbunan yang direncanakan. Pemasangan anyaman baja dilakukan setiap 1 m dari lapisan dasar, dan antara Lapis Pondasi Bawah 800 kPa dan Lapis Pondasi Atas 2000 kPa, seperti terlihat pada Gambar 5‐20 sampai dengan Gambar 5‐23.
Gambar 5-20. Ilustrasi Pemasangan Anyaman Baja pada Lapis Pondasi Bawah
.
Gambar 5-21. Ilustrasi Pemasangan Anyaman Baja Antara Lapis Pondasi Atas dan Lapis Pondasi Bawah
74
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 5-22. Ilustrasi Pekerjaan Timbunan Mortar Busa Lapis Pondasi Atas
Pekerjaan perkerasan tebal lapisan jalan dengan aspal di atas timbunan mortar busa Lapis Pondasi Atas dengan kuat tekan bebas 2000 kPa dan berat isi 0,8 t/m³, dengan tinggi lapisan aspal 30 cm sebagai pengganti soil cement, dapat dilihat pada Gambar 5‐24 dan Gambar 5‐25.
Gambar 5-23. Ilustrasi Pekerjaan Pemasangan Anyaman Baja
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
75
Gambar 5-24. Pekerjaan Perkerasan Jalan (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Gambar 5-25. Ilustrasi Kondisi Setelah Pelaksanaan Pekerjaan
Kondisi timbunan jalan dengan mortar busa yang telah selesai dikerjakan dapat dilihat pada Gambar 5‐26.
76
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 5-26. Kondisi Setelah Pelaksanaan Pekerjaan (dokumentasi foto pemantauan di lapangan)
5.2.2 Kondisi Instrumen Terpasang Pada lokasi Oprit Jembatan Kedaton, Cirebon, Jawa Barat terpasang instrumen yang dilakukan pemantauan setelah pelaksanaan konstruksi. Kegiatan pemantauan dengan melakukan identifikasi kondisi instrumen terpasang secara visual dan dengan mengecek alat dengan data logger. A. Instrumen Vibrating Wire Piezometer Vibrating wire pieziemeter adalah unit pisometer yang menggunakan kawat bervibrasi. Kawat bervibrasi ini akan bergetar jika terjadi defleksi diafragma yang dipengaruhi oleh tekanan air pori. Kawat bevibrasi ini akan mempengaruhi frekuensi resonan dan perubahan regangan pada kawat bervibrasi dan akan terbaca oleh alat. Kondisi instrumen vibrating wire piezometer,serial number, serta serial number, gage faktor, thermal factor,dan lokasi instrumen dapat dilihat pada Tabel 5‐2 Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
77
Tabel 5-2 Instrumen Vibrating Wire Piezometer
No Jenis Instrumen Simbol 1 2 3 4
Vibrating Wire Piezometer Vibrating Wire Piezometer Vibrating Wire Piezometer Vibrating Wire Piezometer
PZ.1 PZ.2 PZ.3 PZ.4
Gage Thermal Lokasi Serial Kondisi Factor (G) Factor (K) Instrumen Number Instrumen (kPa/digit) (kPa/°C) 0.1048 ‐0.0477 Tidak dapat 921001 0+043 dipantau 0.1110 0.0288 Dapat 921002 0+027 dipantau 0.1152 ‐0.0754 Dapat 921003 0+012 dipantau 0.1135 ‐0.1204 Dapat 921004 0+005 dipantau
Display Mode yang digunakan untuk pemantuan piezometer adalah A‐F yang disesuaikan dengan tipe strain gages yang terpasang dilapangan diperlihatkan pada Tabel 5‐3. Tabel 5-3. Tipe Strain Gages
No 1
Sensor Piezometer (PZ)
Model Strain gages
Display Mode
Satuan
Alat (Manual)
4500
B
Digits
Geokon GK‐403
Pada saat monitoring, teridentifikasi pada tahun 2010 dan tahun 2011 tidak dilakukan pembacaan initial reading yang menjadi acuan bagi pembacaan selanjutnya. Hal ini terlihat dari nilai pembacaan tekanan air pori tanah yang berbeda jauh dengan nilai tekanan air hidrostatik. Oleh karena itu, walaupun kurang akurat, pada setiap kegiatan monitoring selanjutnya digunakan pembacaan initial reading dari factory setting yang tertera dalam Calibration Sheet. Data tahun 2009 dan tahun 2011 juga telah dikoreksi dengan initial reading factory setting dari Calibration Sheet. Setelah dilakukan koreksi tersebut, nilai tekanan air pori mendekati tekanan air hidrostatik. Monitoring piezometer vibrating wire dilakukan dengan menggunakan Read Out unit Geokon GK‐4500. P = { (R0 – R1) x G } + { (T1 – T0) x K }
78
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Di mana: P = Pressure R0 = Initial reading R1 = Current reading G = Calibration factor T0 = Initial Temperature T1 = Current Temperature K = Thermal factor Hasil pengamatan tekanan muka air menggunakan piezometer pneumatic vibrating wire ditampilkan pada Gambar 5‐27 sampai dengan Gambar 5‐30.
Gambar 5-27. Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw-PZ1
Gambar 5-28. Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw-PZ2
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
79
Gambar 5-29. Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw-PZ3
Gambar 5-30. Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw-PZ4
Pada Gambar 5‐27 terlihat hanya dapat dipantau hingga bulan april 2011, kemungkinan terjadi putusnya kabel, sedangkan pada Gambar 5‐28 dan Gambar 5‐29 terlihat adanya kenaikan perubahan kenaikan tekanan air dan pada Gambar 5‐30 terlihat adanya penurunan tekanan air. Perubahan yang terjadi terjadi akibat pengaruh pasang surut air sungai. B. Instrumen Vibrating Wire Pressure Cell Pemantauan instrumen pressure cell dimaksudkan untuk mengetahui tekanan lateral timbunan mortar busa terhadap dinding abutment jembatan. Posisi instrumentasi pressure cell dapat dilihat pada Gambar 5‐ 31.
80
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
V w - P z .4
E X T .1 (0 ,0 0 )
0 .0 0
0 .0 0
V w - P c .4 (-0 ,3 5 )
V w - P c .2 -3 (-1 ,5 5 )
V w - P c .1 (-3 ,3 5 ) -4 .2 0
- 4 ,3 5
- 4 .2 4 - 4 .8 8
Gambar 5-31. Posisi Instrumentasi Pressure Cell
Kondisi instrumen pressure cell, serial number, gage faktor, thermal faktor, dan lokasi instrumen dapat dilihat pada Tabel 5‐4. Tabel 5-4. Instrumen Vibrating Wire Pressure Cell
No Jenis Instrumen Simbol 1 2 3 4
Vibrating Wire Pressure Cell Vibrating Wire Pressure Cell Vibrating Wire Pressure Cell Vibrating Wire Pressure Cell
PC.1
Gage Thermal Lokasi Serial Factor (G) Factor (K) Instrumen Number (kPa/digit) (kPa/°C) 0.1159 ‐0.0522 921005 0+003
PC.2
921006
PC.3
921007
PC.4
921008
0.1113
‐0.0843
0.1095
‐0.0941
0.1092
‐0.0717
0+001 0+004 0+003
Kondisi Instrumen Dapat dipantau Dapat dipantau Dapat dipantau Dapat dipantau
Analisis yang dipergunakan dalam menganalisis besarnya tekanan lateral timbunan ringan yang menekan dinding abutmen jembatan menggunakan persamaan: P= { (R0 – R1) x G } + { (T1 – T0) x K } Di mana: P=Pressure (kPa) R0=Initial reading
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
81
R1=Current reading G=Calibration factor T0=Initial Temperature T1=Current Temperature K=Thermal factor VW PC1 a) P (k n a n ak e T
VW PC1
0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 ‐0.20 ‐0.40 02/05/10
10/08/10
18/11/10
26/02/11
06/06/11 14/09/11 23/12/11 Tanggal Pembacaan
01/04/12
10/07/12
18/10/12
26/01/13
Gambar 5-32. Tekanan Lateral Terhadap Dinding Abutment Instrumen Vw-PC 1
Gambar 5-33. Tekanan Lateral Terhadap Dinding Abutment Instrumen Vw-PC 2
Gambar 5-34. Tekanan Lateral Terhadap Dinding Abutment Instrumen Vw-Pc 3
Terlihat adanya perubahan tekanan yang terjadi pada instrumentasi Pressure Cell hal ini bisa terjadi akibat tekanan yang diakibatkan susut
82
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
muainya beton terhadap suhu pada instrument pressure cell dan pengaruh tekanan hidrostatis akibat tinggi muka air sungai yang menekan dinding abutment jembatan Kedaton. C. Instrumen Inclinometer Terdapat empat buah inklinometer yang terpasang pada oprit jembatan Kedaton, tetapi hanya dua buah yang dapat dibaca, yaitu Inklinometer2 (INC.2), dan Inklinometer3 (INC.3). Inklinometer 1 dan 4 mengalami kerusakan berupa putusnya pipa yang tertanam. Kondisi instrumen inklinometer dapat dilihat pada Tabel 5‐5. Tabel 5-5. Instrumen Inclinometer
No
Jenis Instrumen Simbol
Kondisi Instrumen
1
Inklinometer
INC.1
Tidak Dapat Dipantau
2
Inklinometer
INC.2
Dapat dipantau
3
Inklinometer
INC.3
Dapat dipantau
4
Inklinometer
INC.4
Tidak Dapat Dipantau
Pemantauan instrumen inclinometer hanya dilakukan hingga kegiatan monitoring 2011, hasil pemantuan dapat dilihat pada Dari Gambar 5‐35 dan Gambar 5‐36, terlihat bahwa tanah tidak mengalami pergerakan lateral.
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
83
Gambar 5-35. Grafik Pergerakan Inclinometer 2
84
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 5-36. Grafik Pergerakan Inclinometer 3
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
85
D. Surface Marker Pada Lokasi oprit jembatan Kedaton, Cirebon terpasang juga instrumen settlement plate, dikarenakan tidak dapat dipantau, sehingga untuk pemantuan settlement plate di gantikan dengan pemasangan surface marker dengan jarak per 5 meter. Pada monitoring bulan Mei 2012, telah terpasang surface marker dipasang di sisi kiri, tengah dan kanan jalan dengan interval 5 meter baik di jalan arah Indramayu maupun jalan ke arah Cirebon, ruas jalan yang tidak menggunakan timbunan ringan mortar busa. Surface marker terbuat dari paku payung yang ditancapkan di aspal atau pada struktur dan diberi tanda dan nomer dengan cat semprot. Surface Marker ini diberi kode LS xx A, LS xx B dan LS xx C untuk jalan dengan timbunan ringan arah ke Indramayu dan kode LS xx D, LS xx E dan LS xx F untuk jalan dengan timbunan biasa arah ke Cirebon dengan nomer urut dari 1 sampai 18. Pada monitoring ke bulan September, dilakukan pemantauan untuk mengetahui kondisi penurunan arah memanjang longitudinal. Pada lokasi yang terjadi lendetun dilakukan pemantauan sebanyak 2 titik. Surface Marker ini diberi nama D1 dan D2. Hasil pemantauan pada lokasi timbunan ringan dengan mortar busa menggunakan Water Pass tipe orion+, didapat adanya penurunan 1,4 cm selama 6 bulan pemantuan arah Indramayu. Sedangkan oprit dengan timbunan tanah arah Cirebon dengan overlay beberapa kali, adanya penurunan sebesar 1,8 cm. E. Instrumen Extensometer Kondisi instrumen extensometer berdasarkan kedalaman, dapat dilihat pada Tabel 5‐6. 86
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Tabel 5-6. Instrumen Extensometer
No
1 2
Kedalam Kedalam Datum Datum Dari Setelah AC‐WC Kondisi Jenis Instrumen Simbol Lokasi Dasar Galian Dari permukaan Instrumen (m) Jalan (m) Extensometer Tidak dapat EXT.1 18.16 24.08 0+005 Magnetic dipantau Extensometer EXT.2 19.98 22.4 0+0012 Dapat dipantau Magnetic
Untuk menghitung pergerakan lapisan tanah arah vertikal terpasang magnetic extensometer. Untuk titik Extensometer – 1 Posisi Datum (titik ikat) berada pada kedalaman 18.16 m dari dasar galian. Posisi Datum setelah lapisan AC‐WC selesai (28 Desember 2009) berada pada kedalaman 24.08 m dari permukaan jalan. Extensometer 1 pada monitoring 2012, tidak dapat dipantau dikarenakan terbukanya penutup extensometer, sehingga masuknya kotoran‐kotoran. Untuk titik Extensometer – 2 Posisi Datum (titik ikat) berada pada kedalaman 19.98 m dari dasar galian. Posisi Datum setelah lapisan AC‐WC selesai (28 Desember 2009) berada pada kedalaman 22.40 m dari permukaan jalan. Kedalaman tiap Magnetic pada Extensometer Magnetic ditampilkan pada Tabel 5‐7. Tabel 5-7. Kedalaman Magnetic pada Instrumentasi Extensometer Magnetic setelah Lapisan AC-WC selesai
Kedalaman Magnetic
No
Magnetic
1 2 3 4
Plate Magnetic Spider Magnetic Spider Magnetic Spider Magnetic
EXT.1 4.11 6.11 8.10 10.41
5 6 7 8
Spider Magnetic Spider Magnetic Spider Magnetic Spider Magnetic
12.48 14.09 19.10 24.08
EXT.2 4.24 4.88 7.07 9.90 11.20 13.20 18.92 22.40
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
87
Pengukuran Extensometer Magnetic didasarkan pada selisih jarak tiap‐tiap magnetik terhadap datum (titik ikat) setiap pengukurannya. F. Instrumen Strain Gauge Pada oprit Jembatan Kedaton, terpasang juga instrumen strain gauge untuk mengetahui besarnya kontribusi kuat geser yang disumbangkan oleh beton melalui bacaan regangan strain gauge. Pada kegiatan monitoring setelah pelaksanaan konstruksi tidak dilakukan pemantuan instrumen strain gauge, kemungkinan terjadinya putus kabel pembacaan. G. Instrumen Open Stand Pipe Piezometer (Cassagrande) Dalam kegiatan monitoring bulan Mei 2012 terpasang instrumen piezometer cassagrande (open stand pipe) di tanah asli di sisi oprit jembatan Kedaton,Cirebon, Jawa Barat, arah ke Indramayu (kedalaman 2,25 m dan 7 m). Pemantauan, piezometer cassagrande dipantau dengan menggunakan alat dipmeter. Kondisi Instrumen Piezometer Cassagrande dapat dilihat pada Tabel 5‐8. Tabel 5-8.Instrumen Piezoemeter Cassagrande
No
Jenis Instrumen
1
Piezometer Pipe Cassagrande
2
Piezometer Pipe Cassagrande
Simbol
Lokasi Kondisi Instrumen 0+005 (di tanah asli, sisi timbunan PZC.1 mortar busa, kedalaman H = 7 Dapat dipantau meter) 0+005 (di tanah asli, sisi timbunan PZ.2 mortar busa, kedalaman H = 2.25 Dapat dipantau meter)
Berdasarkan pemantuan dengan menggunakan piezometer open pipe (cassagarande) untuk kedalaman 2.25 meter adanya perubahan naiknya tinggi muka air sebesar 0.92 meter, dan pada kedalaman 7 meter perubahan penurunan tinggi muka selama 7 bulan sebesar 2.35 meter.
88
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
5.3 Pemodelan Numerik Karena kompleksitas geometri, maka evaluasi kinerja timbunan uji mortar busa dilakukan dengan pemodelan elemen hingga dengan bantuan piranti lunak Plaxis versi 9.0 (Brinkgreve & Broere, 2008). Gambar 5‐37 memperlihatkan geomodel dari timbunan uji yang memodelkan potongan melintang mortar busa. Mesh yang digunakan dalam analisis mempunyai kerapatan medium dan dengan mesh yang lebih rapat pada cluster di elevasi galian bagian bawah, Gambar 5‐38 Pemodelan dilakukan mulai dari timbunan eksisting, penggalian dan kemudian pengecoran mortar busa. Oleh karena itu, tegangan vertikal efektif tanah dasar di‐generate dengan metode gravity loading. Model tanah yang digunakan dalam analisis adalah model soft soil dan model hardening soil. Model Soft Soil merupakan model Cam‐Clay yang digunakan untuk memodelkan perilaku tanah lunak seperti lempung terkonsolidasi normal dan gambut. Model Hardening Soil merupakan model hiperbolik yang bersifat elastoplastis yang diformulasikan dalam lingkup plastisitas dari pengerasan akibat friksi (friction hardening plasticity). Model ini telah mengikut sertakan komperesi hardening untuk memodelkan pemampatan tanah yang tidak dapat kembali seperti semula (irreversible) saat menerima pembebanan yang bersifat kompresif. 3748 40 49 1973 0
35 15 16 17 18 19 20
46 38 51 47 41 65 43 50 64 63 62 61 60 59 57 55 52
1 14 108 11 21 22
23
24
25
4542 39 44 66 67 68 69 70 71 72 2 58 56 54 1253 9 13 26
27
2829 30
31
32
33 34
36
3
4
5
6
7
Gambar 5-37. Geomodel Timbunan Material Ringan Mortar Busa
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
89
Gambar 5-38. Mesh Timbunan Material Ringan Mortar Busa
5.3.1 Paramater Desain Parameter kompresibilitas untuk model soft soil dan hardening soil ditentukan dengan persamaan 1, persamaan 2 dan persamaan 3 (Brinkgreve& Broere, 2008) : λ=
Cc 2C s ;κ = 2.3(1 − e 0 ) 2.31(1 − e o )
ref (1) E oed =
(2) E urref ≈
p ref *
λ
2 p ref κ*
; λ* = ; κ*
λ (1 − e o )
κ (1 + e o )
(3) di mana: Eoed = Tegangan plastis kompresi primer Eur = Tegangan elastic unloading / reloading Cc = Koefisien kompresibilitas Cs = Koefisien kompresi sekunder e0 = Angka pori awal pref = Tekanan aktual λ* = Indeks kompresi modifikasi (modified compression index) κ* = modified swelling index Tabel 5‐9 dan Tabel 5‐10 memperlihatkan parameter desain untuk tanah dasar, timbunan awal dan mortar busa. Mortar busa dimodelkan sebagai material dengan model Mohr‐Coulomb non‐porous. Perlu diketahui bahwa parameter kuat geser timbunan yang dipilih dinaikkan dari parameter
90
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
awalnya untuk mencegah terjadinya keruntuhan timbunan saat penggalian yang akan menyebabkan terhentinya perhitungan. Parameter dari timbunan dan timbunan mortar busa diperlihatkan pada Tabel 5‐11. Untuk parameter Modulus Elastisitas, Ec, untuk timbunan mortar busa diestimasi dengan menggunakan persamaan untuk beton ringan (ligthweigth concrete) dari AASHTO (2010): Ec = 33000 K1 w c
1, 5
fc
Di mana: K1 : faktor koreksi untuk jenis beton. Dapat diambil nilai 1 terkecuali telah ditentukan secara uji fisik. wc : berat isi beton (kcf) f’c : kuat tekan agregat (ksi) dalam hal ini dapat dipakai nilai UCS hasil dari uji mortar busa Tabel 5-9. Parameter Desain Model Soft Soil ID
Type
Name 8 KEDATON Soft clay 10 KEDATON Very Soft Clay
UnDrained UnDrained
g_unsat g_sat k_x [kN/m^3] [kN/m^3] [m/day] 15.7 16.7 0.001274 15 16 0.001274
k_y [m/day] 0.001274 0.001274
lambda* kappa* [ ‐ ] [ ‐ ] 0.140536 0.02635 0.141747 0.027259
K0nc c_ref phi [ ‐ ] [kN/m^2] [ ° ] 0.577382 10 0.609269 6
25 23
Tabel 5-10. Parameter Desain Model Hardening Soil ID
Name 8 KEDATON Soft clay 10 KEDATON Very Soft Clay
Type UnDrained UnDrained
g_unsat g_sat k_x [kN/m^3] [kN/m^3] [m/day] 15.7 16.7 0.001274 15 16 0.001274
k_y E50ref [m/day] [kN/m^2] 0.001274 889.4531 0.001274 881.851
Eoedref Eurref c_ref phi [kN/m^2] [kN/m^2] [kN/m^2] [ ° ] 578.8275 8316 10 597.5669 8038.8 6
25 23
Tabel 5-11. Parameter Timbunan Tanah dan Timbunan Ringan dengan Mortar Busa ID
Name 1 Selected Fill 2 Timb. Ringan 2000kPa 3 Timb. Ringan 800kPa
Type Drained Non‐porous Non‐porous
g_unsat g_sat k_x k_y nu [kN/m^3] [kN/m^3] [m/day] [m/day] [ ‐ ] 19.6 20.6 0.86 0.86 8 8 0 0 6 6 0 0
E_ref c_ref phi [kN/m^2] [kN/m^2] [ ° ] 0.33 10000 5 0.2 1411379 60 0.2 892634.5 60
R_inter [ ‐ ] 25 45 40
1 1 1
5.3.2 Analisis Numerik Analisis pertama adalah mendapatkan hasil perhitungan sensitifitas antara model soft soil dan model hardening soil. Tahapan perhitungan dalam program Plaxis diperlihatkan pada Tabel 5‐12. Dalam tabel tersebut terlihat
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
91
bahwa penggalian dimulai dari hari pertama hingga hari ke 99, dan pengecoran timbunan ringan dimulai dari hari ke 115. Tabel 5-12. Tahapan Perhitungan dalam Program Plaxis
Identifikasi Initial phase Gravity Loading Kupas Aspal Kupas Lap pondasi Gali Timb. 1 Gali Timb. 2 Gali Timb. 3 Gali Timb. 4 Gali Timb. 5 Gali Timb. 6 Gali Timb. 7 Gali Timb. 8 Gali Timb. 9 Gali Timb. 10 Idle FM. 800kPa 30cm FM. 800kPa 30cm FM. 800kPa 40cm FM. 800kPa 50cm FM. 800kPa 50cm FM. 800kPa 60cm FM. 800kPa 40cm FM. 800kPa 40cm FM. 800kPa 40cm FM. 2000kPa 40cm Lap. Pondasi Lap. Aspal Konsol Ultimate
Perhitungan Input Pembebanan Hari N/A N/A 0 hari Plastic Staged construction 1 hari Consolidation Staged Construction 7 hari Consolidation Staged construction 14 hari Consolidation Staged construction 7 hari Consolidation Staged construction 7 hari Consolidation Staged construction 7 hari Consolidation Staged construction 7 hari Consolidation Staged construction 7 hari Consolidation Staged construction 7 hari Consolidation Staged construction 7 hari Consolidation Staged construction 7 hari Consolidation Staged construction 7 hari Consolidation Staged construction 7 hari Consolidation Staged construction 7 hari Consolidation Staged construction 6 hari Consolidation Staged construction 6 hari Consolidation Staged construction 6 hari Consolidation Staged construction 6 hari Consolidation Staged construction 5 hari Consolidation Staged construction 4 hari Consolidation Staged construction 3 hari Consolidation Staged construction 2 hari Consolidation Staged construction 3 hari Consolidation Staged construction 7 hari Consolidation Staged construction 7 hari Consolidation Staged construction 7 hari Consolidation Minimum pore pressure
Jumlah Hari 0 1 8 22 29 36 43 50 57 64 71 78 85 92 99 115 121 127 133 138 142 145 147 150 157 164 171
Hasil analisis perbandingan antaran timbunan dengan mortar busa dan timbunan tanah tanpa mortar busa diperlihatkan pada Gambar 5‐39, memperlihatkan deformasi vertikal terhadap waktu untuk timbunan tanah dengan overlay beberapa kali, diprediksi deformasi vertikal sebesar ‐0.14
92
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
cm selama 1000 hari, sedangkan timbunan oprit dengan mortar busa dari tahapan pengupasan tanah asli yang diganti dengan mortar busa deformasi vertikal yang terjadi ‐0.03 cm pada hari ke 100, untuk itu mortar busa dapat mereduksi besarnya penurunan dibandingkan timbunan dengan menggunakan tanah urugan biasa, baik pada oprit jembatan.
Gambar 5-39. Deformasi Vertikal (cm) Terhadap Waktu dengan Timbunan Tanpa Mortar Busa dan Timbunan dengan Mortar Busa
5.3.3 Analisis Sensitifitas Analisis lain yang dilakukan adalah melakukan analisis sensitifitas berat isi timbunan ringan terhadap besarnya penurunan yang terjadi. Berat isi timbunan ringan dimodifikasi dengan rentang seperti yang diperlihatkan pada Tabel 5‐13.
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
93
Tabel 5-13. Kombinasi Rentang Nilai Berat Isi Timbunan Ringan
Kombinasi Perhitungan Kombinasi 1 Kombinasi 2 Kombinasi 3 Kombinasi 4 Kombinasi 5 Kombinasi 6 Kombinasi 7 Kombinasi 8 Kombinasi 9 Kombinasi 10 Kombinasi 11 Kombinasi 12 Kombinasi 13 Kombinasi 14 Kombinasi 15 Kombinasi 16
χUCS 800 kPa (kN/m3) 6 8 10 12 6 8 10 12 6 8 10 12 6 8 10 12
χUCS 2000kPa (kN/m3) 6 6 6 6 8 8 8 8 10 10 10 10 12 12 12 12
Gambar 5-40. Analisis Sensitifitas Berat Isi Timbunan Ringan Terhadap Penurunan
Kombinasi perhitungan analisis sensitifitas berat isi timbunan ringan ternyata tidak banyak memberikan kontribusi yang besar terhadap penurunan yang terjadi, deviasi ekstrim yang terjadi (kombinasi 1 dan kombinasi 16) hanya sebesar 4 cm. Terlihat pula bahwa dengan meningkatkan berat isi dua kali lipat, maka penurunan yang terjadi juga
94
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
sebesar dua kali lipat. Dari hasil analisis sensitifitas berat isi material ringan dengan mortar busa, peningkatan berat isi sampai menjadi sebesar 12 kN/m3 menyebabkan terjadinya penurunan yang masih lebih kecil dibandingkan heaving yang terjadi.
5.4 Evaluasi Kinerja Lokasi Oprit Jembatan Kedaton, Cirebon, Jawa Barat Dari hasil evaluasi, kinerja timbunan ringan dengan mortar busa di Kedaton memenuhi kriteria kinerja berdasarkan persyaratan Kimpraswil (2002b). Dari hasil analisis numerik pada Gambar 5‐39, didapatkan faktor keamanan sebesar 2.47, sedangkan Kimpraswil (2002b) mensyaratkan faktor keamanan minimum sebesar 1,40. Berdasarkan kriteria deformasi menurut Kimpraswil (2002b) dan SCDOT (2008) timbunan ringan dengan mortar busa pada oprit jembatan, memenuhi syarat kinerja. Menurut Kimpraswil (2002b) selama masa konstruksi besarnya penurunan terhadap penurunan total selama masa konstruksi (S/stot) harus lebih besar dari 90% dan kecepatan penurunan setelah konstruksi harus lebih kecil 20 mm/tahun (lihat Tabel 2‐2). Sedangkan berdasarkan analisis numerik, besarnya penurunan pada masa konstruksi diprediksi lebih dari 90% dan kecepatan penurunan setelah masa konstruksi diprediksi 10 mm/tahun. Dari segi kriteria deformasi, kinerja timbunan ringan dengan mortar busa memenuhi syarat penurunan diferensial vertikal antara ujung abutment dengan slab terdekat oprit jembatan menurut SCDOT (2008). SCDOT mensyaratkan penurunan diferensial tersebut sebesar 1.905 x Lslab, dimana Lslab adalah panjang slab terdekat oprit jembatan (Lslab) diukur dalam meter (lihat Tabel 2‐7). Untuk oprit timbunan ringan dengan mortar busa di Kedaton, panjang slab terdekat oprit jembatan kedaton adalah sebesar 2 m, sehingga besarnya penurunan diferensial maksimum menurut
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr
95
SCDOT (2008) adalah sebesar 3.81 cm. Berdasarkan analisis numerik (Gambar 5‐39), deformasi vertikal diprediksi sebesar 0,03 cm. Selain itu, pemantuan instrumen surface marker menunjukkan terjadi penurunan diferensial sebesar 0.3 cm dalam kurun 7 bulan, dimana lokasi titik surface marker berada pada jarak 5 meter dari abutmen jembatan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa timbunan ringan dengan mortar busa di Kedaton memenuhi kriteria kinerja menurut SCDOT (2008).
96
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
6 KINERJA TIMBUNAN RINGAN DENGAN MORTAR BUSA, LOKASI DI PANGKALAN BUN, KALIMANTAN TENGAH Lokasi pekerjaan skala penuh untuk timbunan mortar busa pada badan jalan di Ruas Jalan Pangkalan Lima‐Kumai, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dapat dilihat pada Gambar 6‐1.
Gambar 6-1. Lokasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng
97
6.1 Kondisi Geologi dan Geoteknik Pangkalan Bun terletak di atas satuan Qs (endapan rawa). Satuan ini tersusun atas gambut, lempung kaolinan, lanau sisipan pasir, dan sisa tumbuhan. Berdasarkan penyelidikan tanah yang telah dilakukan pada ruas jalan Pangkalan Lima‐Kumai, batuan dasar yang menyusun daerah ini adalah endapan tanah lunak yang cukup tebal, dapat dilihat pada Gambar 6‐2
Gambar 6-2. Kondisi Geologi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah
Dari hasil penyelidikan lapangan, lapisan tanah teratas adalah gambut berserat menurut Kimpraswil (2002a) karena mempunyai kadar serat lebih dari 75%. Kadar organik berdasarkan SNI 13‐6793‐2002 pada contoh gambut yang diambil di Pangkalan Bun adalah antara 86.7% sampai 99.65%. Gambut tersebut berada di atas lempung sangat lunak sampai lunak dengan
98
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
ketebalan antara 1 m sampai 7 m dengan nilai konus sondir (qc) kurang dari 6 kg/cm2. Hal ini konsisten dengan nilai batas‐batas Atterberg yang menunjukkan bahwa kadar air lempung mendekati batas cair (LL) dan nilai indeks konsistensi di bawah mendekati 1. Plot batas‐batas Atterberg dan indeks konsistensi terhadap kedalaman diperlihatkan pada Gambar 6‐3. Lapisan terbawah yang teridentifikasi dari hasil pemboran adalah lapisan lempung pasiran dengan konsistensi teguh sampai kenyal dengan nilai SPT antara 4 sampai 10. Kriteria yang dipakai untuk menentukan suatu deposit tanah tergolong tanah lunak adalah apabila memiliki kuat geser undrained (cu) dari 0 sampai dengan 40 kPa (British Standard 5930:1981, 1981) atau nilai konus sondir (qc) kurang dari 6 kg/cm2. Di bawah ini pembagian konsistensi tanah berdasarkan tahanan konus sondir Tabel 6‐1. Tabel 6-1.Klasifikasi Konsistensi Tanah Berdasarkan Nilai Tahanan Konus
Konsistensi
Tahanan Konus, qc 2 (kg/cm )
Sangat lunak (very soft)
0‐3
Lunak (soft)
3‐6
Teguh (firm)
6‐12
Kenyal (stiff)
12‐24
Sangat kenyal (very stiff)
>24
Deskripsi pemboran menunjukkan adanya deposit tanah lunak pada kedalaman 0 sampai 16 m, tanah lempung pasiran dengan konsistensi teguh sampai keras berada di bawah tanah lunak tersebut. Hasil pengujian SPT pada lapisan lempung pasiran memberikan nilai NSPT 4‐ 10. Hal ini menunjukan bahwa lapisan lempung pasiran tersebut memiliki konsistensi teguh sampai kenyal.
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng
99
6.1.1 Index Properties Berdasarkan batas‐batas Atterberg, terlihat bahwa konsistensi tanah lempung mempunyai konsistensi sangat lunak. Hal ini ditunjukkan dengan plot kadar air mendekati batas cair (LL) dan nilai indeks konsistensi di bawah mendekati 1. Plot batas‐batas Atterberg dan indeks konsistensi terhadap kedalaman diperlihatkan pada Gambar 6‐3. Consistency Index 0
1
2
0
2
4
Depth (m)
6
8
10
12
14
16
Gambar 6-3.Batas-batas Atterberg dan Konsistensi Indeks
6.1.2 Sifat Kuat Geser Plot indeks plastisitas dan batas cair pada grafik plastisitas sistem USCS (ASTM D 2487‐93, 1993) dapat dlihat Gambar 6‐4. Dari klasifikasi USCS, lempung sangat lunak termasuk klasifikasi CH (lempung tak organik dengan plastisitas tinggi, lempung gemuk), sedangkan lempung pasiran termasuk klasifikasi CL (lempung tak organik, dengan plastisitas rendah sampai sedang, lempung berkerikil, lempung kurus).
100
Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 6-4. Grafik Plastisitas (Sistem USCS)
Berdasarkan nilai sondir, kuat geser undrained diperoleh dengan pendekatan sebagai berikut:
qc Cu = 20 (kPa) . ………………………………………... (1) Dengan persamaan tersebut, dapat diklasifikasikan sebagai tanah sangat lunak dan tanah lunak karena mempunyai kuat geser undrained lebih kecil dari 20 kPa. Plot kuat geser undrained berdasarkan korelasi dari sondir dan hasil uji geser baling disajikan pada Gambar 6‐5. Tabel 6-2. Klasifikasi Kuat Geser Undrained Berdasarkan (Kimpraswil,2002a)
Konsistensi Very stiff to hard Stiff Firm to stiff Firm Soft to firm Soft Very soft
Kuat geser undrained (kPa) >150 100‐150 75‐100 50‐75 40‐50 20‐40