Kampung Kuta [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A. Latar belakang Kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam alam semesta ini dapat menggambarkan proses-proses perubahan untuk melindungi budaya local (local heritage), dari proses globalisasi yang mulai merambah budaya yang sudah di bangun oleh nenek moyang. Oleh sebab itu untuk mendukung upaya pemerintah untuk menjaga kekayaan budaya yang ada di Indonesia, dan untuk mendukung tercapainya tujuan dari Mata kuliah Budaya Sunda. Serta untuk memahami apa itu Budaya Sunda. Karena orang sunda pada umumnya berfikir sama bahwa hidup ini tidak berlangsung di dunia saja tetapi juga di kehidupan lain (Asep Samsulbachri :1998). Sebab itu kuliah Budaya Sunda tidak cukup hanya diberikan kepada mahasiswa dikelas saja tetapi harus diberikan kepada mahasiswa diluar kelas. Maka dari itu diadakanlah kuliah lapangan serta observasi ke Kampung Kuta yang terletak di Banjar, kabupaten Ciamis Jawa Barat.



B. Gambaran umum Kampung Kuta



Terletak di Desa Karangpaninggal Kecamatan Tambaksari, masyarakatnya sampai saat ini masih memegang teguh melestarikan adat leluhurnya (karuhun), amanat leluhurnya yang masih dipertahankan antara lain : a.



Rumah panggung yang harus beratap rumbia atau injuk (tidak boleh permanen)



1



b. Bentuk rumah persegi dan tidak boleh berbentuk sikon c. Penduduk yang meninggal harus dimakamkan di luar Kampung Kuta d. Boleh ketempat keramat selama hari senin dan jumat e. Tidak boleh menggunakan pakain yang serba hitam Kampung yang berada diperbatasan Jawa Barat dan Jawa tengah ini kini sudah mulai modern sejak listrik masuk kedaerahnya pada tahun 1994. Tapi kampong ini pernah mendapat penghargaan dari presiden pada tahun 2002 tentang penyelamat lingkungan.



C. Tujuan Tujuan secra umum dari kuliah lapangan ini adalah agar mahasiswa jurusan Fotografi dan Film dapat mengenal, mengamati serta memahami keterkaitan budaya sunda yang selama ini. Tujuan khusus dari kuliah lapangan ini adalah : a. Memahami keadaan di kampung kuta sesuai dengan pemahaman mahasiswa itu sendiri b. Memahami karakteristik masyarakat kampung kuta, serta dapat menunjukan kekhasan dari kampung kuta, yang mungkin tidak dapat dujumpai di kampung adat lainya.



2



BAB II PEMBAHASAN



A. Sejarah Kampung Adat Kuta Tambaksari Kabupaten Ciamis Berawal dari cerita dan melihat di televisi admin sangat tertarik dengan Kampung Kuta. Sengaja admin mendatangi tempat tersebut untuk mendapatkan berbagai informasi mengenai Kampung Kuta. Ditelusuri melewati desa dan kecamatan Tambaksari admin menaiki sebuah sepeda motor. informasi yang admin peroleh dari beberapa tokoh mengatakan bahwa kampung Kuta Secara administratif berada di pemerintahan Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis. Kampung Kuta terdiri atas 2 RW dan 4 RT. Kampung ini berbatasan dengan Dusun Cibodas



di



sebelah



utara,



Dusun



Margamulya



di



sebelah



barat,



dan di sebelah selatan dan timur dengan Sungai Cijolang yang sekaligus merupakan perbatasan wilayah Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Untuk menuju ke kampung tersebut jarak yang harus ditempuh dari kota Kabupaten Ciamis sekitar 34 km menuju ke arah utara dan dapat dicapai dengan menggunakan mobil angkutan umum ke Kecamatan Rancah atau Tambaksari. Dari Kecamatan Rancah tepatnya di pertigaan Cibarengkok bisa menggunakan motor sewaan atau ojeg, dengan kondisi jalan aspal yang berkelok, dan tanjakan yang cukup curam. Jika melalui Kecamatan Cisaga dapat menggunakan kendaraan umum yaitu Angdes yang melalui kawasan Ciawitali desa Girimukti sekitar memakan waktun 1 Jam. Ada beberapa versi mengenai sejarah Kampung Kuta ini. Menurut cerita rakyat setempat, asal-usul Kampung Kuta berkaitan dengan berdirinya Kerajaan Galuh. Konon, pada zaman dahulu ketika Prabu Galuh yang bernama Ajar Sukaresi (dalam sumber lain, tokoh ini adalah seorang pandita sakti) hendak mendirikan Kerajaan Galuh, Kampung Kuta dipilih untuk pusat kerajaan karena letaknya strategis. Prabu Galuh memerintahkan kepada semua rakyatnya untuk mengumpulkan semua keperluan pembangunan keraton seperti kapur bahan bangunan, semen merah dari tanah yang dibakar, pandai besi, dan tukang penyepuh perabot atau benda pusaka. Keraton pun akhirnya selesai dibuat. Namun, pada suatu ketika, Prabu Galuh menemukan lembah yang (Kuta) oleh tebing yang dalamnya sekitar 75 m di lokasi pembangunan pusat kerajaan itu. Atas musyawarah dengan para punggawa kerajaan lainnya,



3



diputuskanlah bahwa daerah tersebut tidak cocok untuk dijadikan pusat kerajaan (menurut orang tua, “tidak memenuhi Patang Ewu Domas”). Selanjutnya, mereka berkelana mencari tempat lain yang memenuhi syarat. Prabu Galuh membawa sekepal tanah dari bekas keratonnya di Kuta sebagai kenangkenangan.



Setelah



melakukan



perjalanan



beberapa



hari,



Prabu



Galuh



dan



rombongannya sampai di suatu tempat yang tinggi, lalu melihat-lihat ke sekeliling tempat itu untuk meneliti apakah ada tempat yang cocok untuk membangun kerajaannya. Tempat ia melihat-lihat itu sekarang bernama Tenjolaya. Prabu Galuh melihat ke arah barat, lalu terlihatlah ada daerah luas terhampar berupa hutan rimba yang menghijau. Ia kemudian melemparkan sekepal tanah yang dibawanya dari Kuta ke arah barat dan jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama “Kepel”. Tanah yang dilemparkan tadi sekarang menjadi sebidang sawah yang datar dan tanahnya berwarna hitam seperti dengan tanah di Kuta, sedangkan tanah di sekitarnya berwarna merah. Prabu Galuh melanjutkan perjalanannya sampai di suatu pedataran yang subur di tepi Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy, lalu mendirikan kerajaan di sana . Cerita selanjutnya tentang Prabu Galuh tersebut hampir mirip dengan cerita Ciung Wanara dalam naskah Wawacan Sajarah Galuh, bahwa Prabu Galuh kemudian digantikan oleh patihnya, Aria Kebondan (dalam naskah disebut Ki Bondan). Prabu Galuh menjadi pertapa di Gunung Padang. Menurut versi tradisi lisan, Prabu Galuh meninggalkan dua orang istri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Saat itu, Dewi Naganingrum sedang mengandung. Ketika Dewi Naganingrum melahirkan, Dewi Pangrenyep menukar bayinya dengan seekor anak anjing. Bayi itu kemudian dihanyutkan ke Sungai Citanduy. Melihat Dewi Naganingrum beranak seekor anjing, Aria Kebondan yang menjadi raja di Galuh menjadi marah, lalu menyuruh Lengser membunuhnya. Namun, Lengser itu tidak membunuh Dewi Naganingrum, tetapi menyembunyikannya di Kuta. Adapun bayi yang dibuang ke Sungai Citanduy itu kemudian ditemukan oleh Aki Bagalantrang di depan badodon (tempat menangkap ikan)-nya. Bayi itu dipungut dan diasuh oleh Aki Bagalantrang hingga remaja, lalu diberi nama Ciung Wanara. Tempat Aki Bagalantrang mengasuh bayi itu sekarang disebut daerah “Geger Sunten”, sekitar 6 km dari Kuta. Ciung Wanara kemudian merebut kembali Kerajaan



4



Galuh dari Aria Kebondan melalui sabung ayam, sebagaimana yang diceritakan dalam naskah. Setelah Ciung Wanara menjadi raja, Lengser pun menjemput Dewi Naganingrum sehingga bisa berkumpul kembali dengan anaknya. Kampung Kuta terdapat mitos tentang Tuan Batasela dan Aki Bumi. Diceritakan bahwa bekas kampung Galuh yang telah diterlantarkan selama beberapa lama ternyata menarik perhatian Raja Cirebon dan Raja Solo. Selanjutnya, masingmasing raja tersebut mengirimkan utusannya untuk menyelidiki keadaan di Kampung Kuta. Raja Cirebon mengutus Aki Bumi, adapun Raja Solo mengutus Tuan Batasela. Raja Cirebon berpesan kepada utusannya bahwa ia harus pergi ke Kuta, tetapi jika didahului oleh utusan dari Solo, ia tidak boleh memaksa jadi penjaga Kuta. Ia harus mengundurkan diri, tetapi tidak boleh pulang ke Cirebon dan harus terus berdiam di sekitar daerah itu sampai mati. Pesan yang sama juga didapat oleh utusan dari Solo. Pergilah kedua utusan tersebut dari kerajaannya masing-masing. Utusan dari Solo, Tuan Batasela, berjalan melalui Sungai Cijolang sampai di suatu kampung, lalu beristirahat di sana selama satu malam. Jalan yang dilaluinya itu hingga saat ini masih sering dilalui orang untuk menyeberang dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Penyeberangan itu diberi nama “Pongpet”. Adapun Aki Bumi dari Cirebon langsung menuju ke Kampung Kuta dengan melalui jalan curam, yang sampai saat ini masih ada dan diberi nama “Regol”, sehingga tiba lebih dulu di Kampung Kuta. Sesampainya di sana, Aki Bumi menemui para tetua kampung dan melakukan penertiban- penertiban, seperti membuat jalan ke hutan dan membuat tempat peristirahatan di pinggir situ yang disebut “Pamarakan”. Karena telah didahului oleh utusan dari Cirebon, Tuan Batasela kemudian terus bermukim di kampung tempat ia bermalam, yang terletak di utara Kampung Kuta. Konon, utusan dari Solo itu kekurangan makanan, lalu meminta-minta kepada masyarakat di Kampung itu, tetapi tidak ada yang mau memberi. Keluarlah umpatan dan sumpah dari Tuan Batasela yang mengatakan bahwa “Di kemudian hari, tidak akan ada orang yang kaya di Kampung itu.” Ternyata, hingga saat ini rakyat di kampung itu memang tidak ada yang kaya. Karena menderita terus, Tuan Batasela kemudian bunuh diri dengan keris. Darah yang keluar dari luka Tuan Batasela berwarna putih, lalu mengalir membentuk parit yang kemudian disebut “Cibodas”. Kampung itu pun diberi nama



5



Kampung Cibodas. Tuan Batasela dimakamkan di tengah- tengah persawahan di sebelah utara Kampung Cibodas. Makamnya masih ada hingga saat ini. Aki Bumi terus menjadi penjaga (kuncen) Kampung Kuta sampai meninggal, lalu dimakamkan bersama keluarganya di tengah-tengah Kampung, yang sekarang termasuk Kampung Margamulya. Tempat makam itu disebut “Pemakaman Aki Bumi”. Setelah keturunan Aki Bumi tidak ada lagi, Raja Cirebon memerintahkan bahwa yang menjadi kuncen di Kampung Kuta berikutnya adalah orang-orang yang dipercayai oleh Aki Bumi, yaitu para leluhur kuncen Kampung Kuta saat ini. Mitos-mitos yang dituturkan oleh tradisi lisan terkadang mempunyai keterkaitan dengan mitos yang diceritakan dalam sumber naskah. Keterkaitan itu kemudian menimbulkan pertanyaan bagi kita, apakah si penutur mitos yang bersumber pada naskah atau naskah yang ditulis berdasarkan penuturan. Jika dirujuk pada usianya, maka tradisi lisan telah ada sebelum tulisan muncul sehingga dapat diasumsikan bahwa naskah ditulis berdasarkan cerita yang dituturkan. Tradisi lisan yang terus ada hingga saat ini, seperti yang dituturkan oleh para kuncen atau tukang cerita, terdapat dua kemungkinan mengenai asal-usulnya. Pertama, tradisi lisan itu berdasarkan cerita naskah yang dibaca kemudian dituturkan kembali. Kedua, tradisi lisan itu memang belum pernah dituliskan dalam bentuk naskah, lalu dituturkan secara turun-temurun. Adanya perbedaan versi suatu cerita yang dituturkan dalam naskah dan tradisi lisan disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu perbedaan sumber



cerita,



distorsi



cerita



karena



pewarisan



cerita



yang



turun-temurun



memungkinkan terjadinya penambahan ataupun pengurangan isi cerita, dan adanya keinginan dari penutur cerita untuk mengedepankan peranan seorang tokoh ataupun berapologia atas kesalahan tokoh tersebut. Demikian pula dengan cerita tentang Kampung Kuta di atas. Ada beberapa bagian yang hampir mirip dengan cerita yang dikemukakan dalam naskah dan ada pula yang berbeda jalan ceritanya. Adapun mengenai kebenaran isi cerita atau mitos tersebut bukanlah suatu permasalahan. Setidaknya, mitos-mitos tersebut dihormati dan dipelihara oleh masyarakatnya. Lebih jauh, bukankah ilmu pengetahuan juga pada awalnya berkembang dari bentuk pemikiran mistis dan ternyata di Kampung Kuta masih aAda Larangan-larangan dan Tradisi Adat yang Masih Dipertahankann.



6



Kampung ini dikatagorikan sebagai kampung adat, karena mempunyai kesamaan dalam bentuk dan bahan fisik bangunan rumah, adanya ketua adat, dan adanya adat istiadat yang mengikat masyarakatnya. Salah satu warisan ajaran leluhur yang mesti dipatuhi masyarakat Kuta adalah pembangunan rumah. Bila dilanggar, warga Kuta berkeyakinan, musibah atau marabahaya bakal melanda kampung mereka. Aturan adat menyebutkan rumah harus berbentuk panggung dengan ukuran persegi panjang. Atap rumah pun harus dari bahan rumbia atau ijuk. Kampung Kuta merupakan masyarakat adat yang masih teguh memegang dan menjalankan tradisi dengan pengawasan kuncen dan ketua adat. Kepercayaan terhadap larangan dan adanya mahluk halus atau kekuatan gaib masih tampak pada pandangan mereka terhadap tempat keramat berupa hutan keramat. Hutan keramat tersebut sering didatangi oleh orang-orang yang ingin mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup. Hanya saja, di hutan keramat tersebut tidak boleh meminta sesuatu yang menunjukkan ketamakan seperti kekayaan. Untuk memasuki wilayah hutan keramat tersebut diberlakukan sejumlah larangan, yakni larangan memanfaatkan dan merusak sumber hutan, memakai baju dinas, memakai perhiasan emas, memakai baju hitam-hitam, membawa tas, memakai alas kaki, meludah, dan berbuat gaduh. Bahkan untuk memasuki Hutan Keramat ini pun tidak boleh memakai alas kaki, Tujuannya agar hutan tersebut tidak tercemar dan tetap lestari. Oleh karena itu, kayu-kayu besar masih terlihat kokoh di Leuweung Gede. Selain itu, sumber air masih terjaga dengan baik. Di pinggir hutan banyak mata air yang bersih dan sering digunakan untuk mencuci muka. Masyarakat Kampung Kuta mengenal hutan karamat. Dipandang dari sudut etimologis, Kampung Kuta berarti kampung atau dusun yang dikelilingi “kuta” atau penghalang berupa tebing. Menurut cerita yang beredar pada masyarakat setempat, dahulu kala tebing itu berfungsi sebagai penghalang serangan musuh dari luar, ketika Kampung Kuta akan dijadikan sebuah kerajaan oleh Prabu Ajar Sukaresi. Kisah tentang sepak terjang sang Prabu yang menjadi penguasa di Kampung Kuta sangat berpengaruh kepada warganya di kemudian hari. Sikap sang Prabu yang peduli pada lingkungan itu diteruskan kemudian oleh Ki Bumi yaitu seorang utusan Kerajaan Cirebon yang ditugaskan untuk membantu masyarakat Kampung Kuta menjaga wilayah peninggalan Prabu Ajar Sukaresi. Konon,



7



semula Prabu Ajar Sukaresi bermaksud membangun istana di wilayah tersebut, akan tetapi batal karena lokasi yang ditetapkan berada di tengah-tengah perbukitan. Sementara itu bahan-bahan material yang berupa kayu, semen, batu dan bata bahkan besi sudah terkumpul hingga akhirnya tertimbun tanah dan berubah menjadi sebuah bukit kecil. Kini lokasi tersebut berubah menjadi hutan yang dipercaya warga setempat sangat keramat. Kawasan hutan keramat boleh dikunjungi oleh orang-orang yang bermaksud mencapai keselamatan, ketenangan hati, kehamonisan rumah tangga, selain meminta harta kekayaan atau maksud-maksud lain dengan meminta bantuan “kuncen” sebagai pemangku adat yang dipercaya mampu berhubungan dengan leluhur yang tinggal di hutan keramat. Kuncen dianggap sebagai penjaga hutan keramat, dan dapat menjadi penghubung antara penunggu hutan keramat dengan orang-orang yang mempunyai maksud. Di wilayah hutan itu ditabukan untuk menyelenggarakan kegiatan duniawi dan dilarang untuk memanfaatkan segala sumber daya dari hutan. Segala sesuatu dibiarkan secara alami, masyarakat dilarang menebang pohon bahkan memungut ranting pun tidak diperkenankan. Jika melanggar tabu atau larangan itu, maka orang tersebut akan mendapatkan sanksi berupa malapetaka. Larangan-larangan lain yang berlaku di luar wilayah hutan keramat tapi masih termasuk wilayah Kampung Kuta pun wajib dipatuhi, seperti larangan membangun rumah dengan atap genting, larangan mengubur jenazah di Kampung Kuta, larangan memperlihatkan hal-hal yang bersifat memamerkan kekayaan yang bisa menimbulkan persaingan, larangan mementaskan kesenian yang mengandung lakon dan cerita, misalnya wayang. Larangan-larangan tersebut apabila dilanggar diyakini oleh masyarakat akan menyebabkan celaka bagi mereka yang melanggarnya. Norma adat dan agama memiliki intensitas dan “kekuatan” yang seimbang sebagai pedoman dalam melangsungkan kehidupan secara keseluruhan. Keunikan lainnya, warga Kampung Kuta sangat dilarang membuat sumur. Air untuk keperluan sehari-hari harus diambil dari mata air. Larangan para leluhur mungkin ada benarnya. Ini lantaran kondisi tanah yang labil di kampung ini dikhawatirkan dapat merusak kontur tanah. Terutama membuat sumur dengan cara menggali atau mengebor tanah.



8



Kedekatan masyarakat kampung adat dengan alam tidak hanya itu saja setiap tahunnya masyarakat kampung Kuta mengadakan Upacara Adat nyuguh. Upacara Adat Nyuguh ini merupakan suatu upacara ritual tradisional Adat Kampung Kuta Kec. Tambaksari Kabupaten Ciamis yang selalu dilaksanakan pada tanggal 25 shapar pada setiap tahunnya. Upacara ini bertujuan sebagai persembahan bentuk syukur kepada Tuhan dan bumi yang telah memberikan pangan bagi masyarakat kampung Kuta. Kampung adat ini dihuni masyarakat yang hidup dilandasi kearifan lokal. Dengan memegang teguh budaya, pelestarian lingkungan di kampung ini bisa menjadi contoh bagi kita semua untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan dengan berpegang teguh kepada budaya lokal.



B. Kondisi



Objektif



Masyarakat



Adat



Kampung



Kuta



Kecamatan



Tambaksari Kabupaten Ciamis Kampung Kuta adalah dusun adat yang masih bertahan. Kampung Kuta ini terletik di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis. Kampung adat ini dihuni masyarakat yang dilandasi kearifan lokal, dengan memegang budaya pamali, untuk menjaga keseimbangan alam dan terpeliharanya tatanan hidup bermasyarakat. Kampung Adat Kuta merupakan sebuah komunitas adat berupa foklor atau Cerita rakyat yang perlu di lestarikan, dikembangkan, dan dimanfaatkan sebagai asset wisata budaya lokal daerah di Kabupaten Ciamis dan Jawa Barat, Karena Kampung adat kuta pada tahun 2002 mendapatkan Kalpataru oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri sebagai kategori penyelamat lingkungan dan adat istiadat di Indonesia. Secara administratif masyarakatnya masih melaksanakan tata cara kebiasaaan adat istiadat kebiasaan nenek moyang secara turun temurun, mereka hidup dari hasil hutan, berkebun, bersawah dan berladang. Sebagai kelompok sosial, mereka juga memandang lahan, tidak saja sebagai lahan produksi, tetapi juga sebagai suatu yang suci yang disepati secara bersama-sama dengan adanya hukum adat yang berlaku secara turun temurun, dengan adat istiadat yang masih dijaga oleh masyarakat Kampung adat Kuta.



9



Adat-istiadat merupakan kebiasaan atau kesukaan masyarakat setempat ketika melaksanakan upacara adat, berkesenian, hiburan, berpakaian, olah raga dan sebagainya. Terwujudnya adat istiadat ini diibaratkan menanam tumbuhan yang tidak terlalu kuat pohonnya seperti kacang panjang dan lada, kacang panjang atau lada menjadi kuat batangnya hanya jika tanah di sekitarnya selalu (digemburkan) sehingga kandungan oksigen dalam tanah lebih banyak dan akarnya mudah menembus tanah. Pohon dapat berdiri tegak dan makin tinggi jika diberi kayu anjungan. Pada saat orang lupa mengambak dan mengajung, maka tumbuhan menjadi kerdil atau mati, demikian pula pelaksanaan adat-istiadat ini di tengah-tengah masyarakat. Sehingga apabila dibiarkan berlarut-larut ada kemungkinan akan memudar bahkan lenyap atau hilang karena kemajuan jaman. Keberadaan Kampung Adat Kuta dan masyarakat pendukungnya diproyeksikan dalam suatu bentuk adat istiadat, hukum adat, ritual adat dan, rumah adat yang masih dipegang teguh secara turun temurun sampai sekarang. Kampung Adat Kuta masih mempertahankan nilai-nilai adat istiadat melalui hukum adat yang berlaku di daerahnya. Misalnya untuk masuk ke hutan keramat hanya hari senin dan jumat, tidak boleh meludah, mengambil barang-barang yang ada di hutan keramat, tidak boleh memakai perhiasan, tidak boleh mengunakan pakaian serba hitam, larangan menggunakan alas kaki, larangan memakai pakaian dinas. Bahkan kekhasan kampung adat kuta yang berbeda dengan kampung adat lain yaitu di Kampung Adat Kuta menguburkan orang yang meninggal dunia ke kampung lain, tidak boleh atau larangan membuat sumur, sampai sekarang hukum adat tersebut masih berlaku. Pada umumnya, cerita asal usul kampung Kuta terbagi dua bentuk paparan, yaitu kampung kuta pada masa kerajaan Galuh dan masa kerajaan Cirebon, namun keduanya ternyata memiliki kesamaan. Dalam beberapa dongeng buhun mereka menganggap dan mengakui sebagai keturunan ratu galuh, dan keberadaannya di kampung kuta sebagai penunggu atau penjaga kekayaan ratu galuh. Tersebutlah seorang raja bernama Prabu Sukaresi ( Prabu Adimulya Permana Dikusuma th.742-752 Masehi) mengembara bersama beberapa pengawal terpilih yang berpengalaman. Pengembaraan dilakukan untuk mencari daerah yang cocok dijadikan pusat pemerintahan kerajaan, saat untuk pusat kerajaan. Prabu Ajar Sukaresi segera



10



memerintahkan pengawalnya untuk membangun peristirahatan, dia sendiri akan meneliti dan meninjau secara sesama daerah sebrang cijolang tersebut. Setelah penelitian, Prabu Ajar Sukaresi mengajak pasukannya untuk memulai persiapan membuka daerah yang akan dijadikan pusat kerajaan. Bekas tempat peristirahatan sementara di tepi sungai cijolang tadi, sekarang di sebut dodokan artinya bekas tempat peristirahatan raja. Pada suatu hari, Prabu Ajar Sukaresi berkeliling daerah ternyata daerah tersebut dikelilingi tebing tinggi, melihat kondisi ini, Prabu Ajar Sukaresi, Beranggapan bahwa daerah ini, tidak dapat berkembang dang di perluas karena dibatasi tebing. Dengan terpaksa, persiapan yang telah dilaksanakan untuk membangun pusat pemerintahan di tinggalkan. Karena letaknya berada di sebuah lembah yang di kelilingi tebing, maka daerah ini di sebut Kampung Kuta. Untuk selanjutnya, karena dilator belakangi oleh beberapa alasan, maka Raja Galuh tidak jadi membangunya di kampung kuta, melainkan di Desa Karangkamulyan sekarang kecamatan Cijengjing, untuk memelihara Kampung Kuta, Raja Galuh Mempercayai Raja Cirebon,dan Rja Solo X untuk mengutus orang kepercayaannya, yaitu Raksa Bumi dari Cirebon dan Bata Sela dari Solo. Diantara dua orang yang ditugaskan, yang paling cepat dating ke Kampung Kuta Yaitu traksabumi. Kemudian traksa bumi menetap di Kampung Kuta dengan Memelihara keutuhan daerah Kampung Kuta dengan sambutan Ki Bumi yang di beri gelar Kuncen ( Juru Kunci).Ki Bumi menjaga beberapa peralatan/perbekalan yang belum sempat dibawa kota Raja Baru ( Karangkamulyan).Untuk selanjutnya Ki Bumi tersebut merupakan leluhur yang menurunkan kuncen Kampung Kuta sampai sekarang.



Nilai-Niali Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Kuta



Kampung Kuta terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis ini kampung adat yang berjarak sekitar 45 kilometer dari pusat kota



11



Ciamis dan terbilang istimewa. Warga kampung seluas 97 hektar ini kukuh memelihara tradisi leluhur berusia ratusan tahun yang membingkai kehidupan masyarakatnya. Nama Kampung Kuta bisa jadi mengacu pada lokasi kampung di lembah curam sedalam 75 meter dan dikelilingi tebing dan perbukitan. Dalam bahasa Sunda, hal itu disebut kuta (artinya pagar tembok). Aliran listrik sudah masuk ke kampung ini sejak 1996 sehingga memungkinkan warganya menikmati peralatan elektronik, seperti televisi, radio, dan telepon seluler. Namun, warga Kampung Kuta masih mempertahankan bentuk rumah tradisional khas Sunda. Masyarakatnya sampai saat ini masih memegang teguh melestarikan adat leluhurnya (karuhun), amanat leluhurnya yang masih dipertahankan antara lain : a.



Rumah panggung yang harus beratap rumbia atau injuk (tidak boleh permanen). Dalam membangun rumah atau tempat tinggalnya masyarakat kampung Kuta berpegang teguh pada Pepatah atau amanah leluhurnya yaitu “Ulah rek di kubur hirup-hirup, ulah ngabangun istana jadi astana” dalam bahasa sunda yang artinya, Jangan mau dikubur hidup-hidup, jangan membangun istana (rumah) yang menjadi astana (kuburan), jika kita artikan berdasarkan fenomena yang terjadi saat ini yaitu gempa bumi yang melanda tasikmalaya beberapa waktu lalu, pepatah tersebut menuntun khusunya masyarakat kampung Kuta umumnya kepada kita semua untuk membangun rumah yang ramah akan gempa, ketaatan tersebut membuahkan ketika peristiwa gempa bumi tersebut terjadi maka tak ada satupun bangunan atau rumah kampung kuta yang rusak karena spesifikasi rumah kampung adat memang merupakan rumah yang ramah akan gempa, sekalipun hancur maka dampaknya tidak akan begitu parah jika menimpa penghuninya dikarenakan atap rumah tersebut dibangun dengan rumbia atau injuk.



b.



Masyarakat kampung kuta memiliki kepercayaan dan adat yang berkaitan dengan hutan keramat. Hutan keramat dianggap oleh masyarakat sebagai tempat yang suci atau sacral sehingga masyarakat kampung kuta memberlakukan berbagai aturan adat untuk melindungi hutan keramat tersebut yaitu : a. Tidak boleh mengambil hasil hutan seperti kayu, buah-buahan, hewan, dan lain sebagainya yang berada di dalam hutan keramat b. Tidak boleh memakai pakaian serba hitam, dan pekaian seragam dinas atau seragam pemerintah.



12



c. Tidak boleh meludah, buang sampah, buang air besar atau kecil yang dapat mengotori hutan. d. Tidak boleh berkata tidak sopan atau istilah sundanya “Sompral” di hutan keramat. e. Tidak boleh memakai alas kaki seperti sandal dan sepatu. Selain itu mereka juga mempertahankan tempat-tempat keramat (tabet-tabet) yaitu Leuwueng Gede, Gunung Wayang, Pandan Domas, Gunung Barang, Cikasihan, Gunung Goong, dan Panyipuhan. c.



Melakukan Upacara Adat setiap tahunnya yaitu : 1. Nyuguh, diselnggarakan setiap bulan Mulud, yang bertujuan untuk memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad Saw, dan sebagai ungkapan rasa syukur atas rejeki dan terhindar dari malapetaka. 2. Hajat Bumi, diselenggarakan setiap Kalimangsa kapat atau pada masa panen, tujuannya adalah ungkapan rasa syukur atas keberhasilan masyarakat kampung kuta dala bercocok tanam, sekaligus memohon perlindungan untuk masa cocok tanam yang akan datang, biasnya diselenggarakan pada bulan September sampai Nopember atau hari-hari yang dianggap baik. 3. Babarit , diselenggarakan setiap ada kejadian alam seperti lini (gempa bumi) dan kejadian alam lainnya 4. Upacara mendirikan rumah atau ngadeugkeun dan mendiami rumah baru setelah mendepatkan hari baik



d.



Penduduk yang meninggal harus dimakamkan di luar Kampung Kuta. Hal ini dikarenakan amanah dari leluhurnya untuk menjaga kesucian tanah Kampung Kuta, berkaitan dengan kesucian tanah Kampung Kuta mereka juga tidak boleh membangun tempat MCK(mandi cuci kakus) mereka memilih untuk pergi kesungai jika hendak buang air dan sebainya.



e.



Masyarakat Memiliki Leuit atau penyimpanan gabah atau padi hasil panen. Jika terjadi rawan pangan atau paceklik, ini mengartikan bahwa kampung Kuta memiliki jiwa sosial yang tinggi dan memiliki keinginan untuk menabung.



f.



Memelihara dan melestarikan Pohon Aren sebagai sumber mata pencaharian utama masyarakat dusun Kuta membuat gula Aren



13



g.



Dilarang membuat sumur atau sumur bor, hal ini karena dapat merusak tanah dan merusak jalur air yang ada di dalam tanah, dalam mencukupi kebutuhan airnya mereka mengandalkan sumber mata air salah satunya dari mata air ciasihan. Kampung Kuta ini terletak di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Namun, warga kampung menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari tanpa sedikit pun tercampur bahasa Jawa. Begitu pula nama orang harus menggunakan nama dari bahasa Sunda dan tidak boleh dari bahasa Jawa. Kampung yang berada diperbatasan Jawa Barat dan Jawa tengah ini kini sudah mulai modern sejak listrik masuk kedaerahnya pada tahun 1994. Tapi kampong ini pernah mendapat penghargaan dari presiden pada tahun 2002 tentang penyelamat lingkungan. Kampung yang berada diperbatasan Jawa Barat dan Jawa tengah ini kini sudah mulai modern sejak listrik masuk kedaerahnya pada tahun 1994. Tapi kampong ini pernah mendapat penghargaan dari presiden pada tahun 2002 tentang penyelamat lingkungan. Untuk sekarang masyarakat yang tinggal di kampong kuta sekitar 120 kepala keluarga, sebagian besar para masyarakat kampong kuta berurbanisasi ke perkotaan. Ketua adat memimpin kampong, mengurus masyarakat mengurus adat dan mengatur semua yang berhubungan dengan adat. Sedangkan untuk kuncen, hanya mengantar ke hutan keramat. Untuk kuncen ini, biasanya turun temurun dari leluhurnya biasanya diturunkan kepada anak laki-laki paling besar.



Upaya Masyarakat Adat Kampung Kuta dalam Menjaga Lingkungan Hidup Tradisi lain yang masih dipegang warga Kampung Kuta adalah kepatuhan menjaga hutan lindung seluas 40 hektar. Hutan yang disebut dengan Leuweung Gede (hutan besar) itu menjadi sumber air dan benteng alam bagi kampung tersebut. Sejumlah aturan adat diberlakukan bagi mereka yang masuk ke kawasan hutan keramat itu. Leuweung Gede hanya boleh dimasuki setiap Senin dan Jumat. Mereka yang masuk tidak boleh mengenakan perhiasan, alas kaki, pakaian berwarna hitamhitam, dan pakaian seragam pegawai negeri beserta lambang jabatannya. Tidak diperbolehkan meludah dan mengambil apa pun di dalam hutan.



14



Selain aturan tersebut, aturan yang lainnya yaitu untuk masuk ke hutan keramat hanya hari senin dan jumat, tidak boleh meludah, mengambil barang-barang yang ada di hutan keramat, tidak boleh memakai perhiasan, tidak boleh mengunakan pakaian serba hitam, larangan menggunakan alas kaki, larangan memakai pakaian dinas. Bahkan kekhasan kampung adat kuta yang berbeda dengan kampung adat lain yaitu di Kampung Adat Kuta menguburkan orang yang meninggal dunia ke kampung lain, tidak boleh atau larangan membuat sumur, sampai sekarang hukum adat tersebut masih berlaku. Aturan itu menjaga hutan tetap lestari. Pohon keras, seperti cauri, pari, rotan, dan enau berumur puluhan tahun, tumbuh subur tanpa gangguan. Begitu pula berbagai jenis burung dan mamalia, seperti elang dan monyet, hidup nyaman dalam habitatnya. Mayoritas warga Kampung Kuta bermata pencarian sebagai pembuat gula aren. Sekitar 1.000 pohon aren tumbuh di kampung tersebut dan masih produktif. Setiap keluarga rata-rata memiliki 7-8 pohon aren yang diambil niranya. Warga wajib memelihara pohon aren itu dan dilarang menebangnya. Masyarakat



Kampung



Kuta



dibantu



Pemerintah



Kabupaten



Ciamis



mengadakan program untuk mempertahankan dan mengembangkan Adat dan Budaya Kampung Kuta, program tersebut yaitu : 1.



Pelestarian lingkungan Hidup meliputi berbagai kegiatan yaitu :



-



Pelestarian dan pengembangan pohon aren melalui penagkaran bibit aren.



-



Pelestarian sumber-sumber mata air



-



Pelestarian hutan lindung



-



Menumbuhkan generasi muda yang peduli lingkungan



2.



Program pengembangan ekonomi masyarakata kampung Kuta meliputi pengembangan komoditi unggulan Kampung Kuta yaitu :



-



Pengembangan penyadapan gula aren



-



Pengembangan pemeliharaan sapi



-



Pengembangan udang galah



-



Pengembangan industry rumah tangga



-



Pengembangan perikanan



-



Pengembangan tanaman pisang



3.



Program pelestarian budaya Adat meliputi berbagai kegiatan yaitu :



15



-



Pengembangan rumah adat Kampung Kuta



-



Pengembangan budaya bersih



-



Pengembangan kesenian tradisional khas Kampung Kuta. Tradisi leluhur dalam menjaga hutan terbukti membuat kampung tersebut tidak pernah kekurangan air selama musim kemarau atau kebanjiran pada musim hujan, padahal lokasinya di lembah. Tradisi mempertahankan rumah panggung berbahan kayu terbukti mampu meredam dampak gempa bumi. Manfaat yang dirasakan oleh Masyarakat Adat Kampung Kuta. Pepatah mengatakan bahwa “ jika kita menanam kebaikan maka kebaikanlah yang kan kita raih, sebalinya jika kita menanam keburukan maka tunggulah malapetaka yang akan melanda kita”, pepatah tersebut membuktikan pada masyarakat Kampung Kuta yang setia menjaga amanah dari para leluhurnya mereka mendapatkan manfaat dari keberhasilan menjaga Adat Istiadat kampung Kuta, manfaat tersebut antara lain : 1. Pembuatan dan perbaikan rumah lebih murah 2. Menimbulkan pola hidup sederhana 3. Kerusakan lingkungan dapat ditekan / dikendalikan 4. Lestarinya sumber – sumber mata air walau musim kemarau airnya tetap tersedia 5. Tumbuhnya sikap kebersamaan dan gotong royong 6. Pekarangan rumah dan jalan selalu bersih 7. Hasil dari pelestarian pohon aren, berupa gula aren yang memberikan komoditas bagi masyarakat kampung kuta. 8. Memiliki potensi hiburan tradisional khas Kampung Kuta Kearifan lokal itu mengantarkan mereka meraih penghargaan Kalpataru pada 2002 berkat prestasinya menjaga kelestarian hutan lindung (Leuweung Gede).



16



BAB III KESIMPULAN



Kampung kuta merupakan salah satu kampung keramat yang masih sangat kental adat istiadat serta kesuciannya. Tidak seperti kampung adat yang lain, kampung kuta memiliki tanah pribadi yang dapat digunakan oleh individu kampung kuta tetapi tetap menjaga syar’I amanah dari leluhurnya untuk menjaga kesucian kampung kuta. Kampung kuta terletak di desa Karangpaningal kecamatan Tambaksari, masyarakatnya sampai saat ini masih memegang teguh melestarikan kebudayaan adat leluhurnya (karuhun), amanat yang masih tetap dipertahankan antara lain : a. Rumah panggung yang harus beratap rumbia atau ijuk (tidak boleh permanent) b. Bentuk rumah persegi tidak boleh sikon c.



Penduduk yang meninggal harus dimakamkan di luar kampong kuta



d. Boleh ke tempat keramata hari senin dan jumat e. Tidak boleh menggunkan pakaian serba hitam Kampung kuta memiliki kerajinan tangan khas, yaitu tas kamuti. Tas kamuti terbuat dari daun gebang yang diambil dari hutan di banjar. Tas ini memiliki keunikan karena dibuat dalam satu dahan dan hanya menjadi 1 tas saja setiap dahannya. Serta dalam pembuatannya dahan tidak terputus dengan daun dan menyambung terus hingga membentuk sebuah tas. Adapun 10 unsur budaya sunda di kmapung kuta tidak seluruhnya terdapat di kamapung kuta, dua diantaranya adalah marga (transportasi) karena di kampong kuta sudah moderenisasi dalam transportasi dan santika (bela diri) karena di kmapung kuta untuk belajar seni bela diri harus belajar dari luar kampong.



17



DAFTAR PUSTAKA



• Bapak Karman (selaku kepala desa kampong kuta) • Ki Maryono (selaku kuncen kampong kuta) • Buku panduan kuliah lapangan Budaya Sunda • http://www.http//:keseniansenidanbudaya.blogspot.com • BudayaSunda.mbm.19770903.KT75404.id.html • http://www.http//:wikipedia.kampungkuta.org



18