Karakteristik Tanah Gambut Di Desa Cinta Jaya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Karakteristik Tanah Gambut Areal Lahan Hutan Rawa di Desa Cinta Jaya Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir.



I. PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 144 juta hektar dan lebih dari 5 juta hektar berada di Sumatera Selatan, yang sekitar 8% merupakan hutan produksi terbatas. Hutan produksi terbatas ialah hutan yang hanya dapat dikelola dengan cara te SERATbang pilih tanpa merusak atau mengurangi fungsi alaminya (Arief, 2001). Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) memiliki hutan produksi terbatas seluas 9.986 hektar atau sekitar 0,53% dari luas Kabupaten OKI yang seluas 1.902.311 hektar (Sumber: Subdin Perencanaan Dinas Kehutanan OKI, 2006). Hutan produksi terbatas di Kabupaten OKI termasuk dalam hutan dataran rendah dengan tipe hutan rawa dan hutan gambut. Kecamatan Pedamaran merupakan kecamatan di Kabupaten OKI yang memiliki wilayah hutan rawa gambut yang cukup luas. Ini merupakan suatu potensi sumberdaya alam yang sangat berharga. Pengelolaannya harus bersifat bijak dan sesuai kaidah konservasi alam dan kemampuan lahan. Hutan rawa gambut yang ada di Kecamatan Pedamaran, sebagian besar terdapat di Desa Cinta Jaya. Lahan gambut ialah suatu ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh adanya akumulasi bahan organik yang berlangsung dalam kurun waktu lama. Akumulasi bahan organik ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik di lantai hutan lahan basah (Najiyati et al., 2005). Lahan gambut juga merupakan ekosistem yang marjinal dan rapuh sehingga mudah rusak, namun sangat sulit untuk diperbaharui. Kondisi seperti ini menuntut semua pihak untuk bersikap bijak dan harus melihat lahan gambut dari berbagai sudut pandang. Perubahan dan penyusutan luas gambut dari masa ke masa selalu terjadi. Penyusutan lahan gambut



dapat



disebabkan



oleh



reklamasi



dan



pengatusan



yang



berlebihan (over



drainage



reclamation), perladangan (slash and burn), intensifikasi pemanfaatan dan kebakaran yang sering terjadi pada musim kemarau panjang. Tingkat kerusakan hutan di Indonesia tiap tahunnya terus bertambah dari sebelumnya 1,6 juta hektar pada periode 1985-1997, menjadi 2,1 juta hektar pada periode 1997-2001 (Media Indonesia, 2007). Dari kerusakan hutan yang ada sebagian merupakan hutan gambut. Hampir semua kerusakan lahan gambut disebabkan oleh kegiatan manusia. Kerusakan lahan ini umumnya terjadi karena penebangan dan pembukan lahan dengan cara membakar yang dilakukan oleh masyarakat



penduduk desa sekitar hutan. Tekanan untuk memenuhi kebutuhan hidup merupakan hal yang mendasari penduduk desa melakukan kegiatan eksploitasi hutan dan lahan gambut. Keseimbangan terhadap pentingnya berbagai fungsi gambut akan lebih menjamin keberlanjutan pemenuhan fungsi sosial, ekonomi, dan kelestarian lingkungan. Namun kesadaran semacam ini belum dimiliki oleh semua pihak sehingga kerusakan lahan gambut masih terjadi. Salah satu penyebab kerusakan lahan gambut adalah tidak diterapkannya konsep pembangunan berkelanjutan secara benar dan utuh.



Pembangunan hutan sebenarnya untuk mewujudkan interaksi positif antara masyarakat dengan hutan melalui pengelolaan partisipatif dan pembinaan produksi hasil hutan non-kayu yang dapat dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat sekitar hutan. Pembangunan hutan baik dalam kawasan hutan maupun di luar hutan akan mendukung fungsi hutan sekaligus mendukung kepentingan masyarakat, tanpa mengurangi fungsi hutan itu sendiri (Arief, 2001). Pemanfaatan lahan gambut harus sesuai dengan daya dukung lahan itu sendiri berdasarkan karakteristik lahan tersebut. Sehingga pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dapat tercapai.



B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik tanah gambut areal lahan hutan rawa di Desa Cinta Jaya Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir.



II. TINJAUAN PUSTAKA



A. Pengertian Gambut Pusat Penelitian Tanah (1990) mengemukakan bahwa tanah gambut atau Organosol adalah tanah yang mempunyai lapisan atau horison H, setebal 50 cm atau lebih atau dapat 60 cm atau lebih bila terdiri dari bahan Sphagnum atau lumut, atau jika berat isinya kurang dari 0,1 g cm -3. Ketebalan horison H dapat kurang dari 50 cm bila terletak diatas batuan padu. Tanah yang mengandung bahan organik tinggi disebut tanah gambut (Wirjodihardjo, 1953) atau Organosol (Dudal dan Soepratohardjo, 1961) atau Histosol (PPT, 1981).



B. Proses Pembentukan Gambut Gambut dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan >30cm. Proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowegeno, 1986). Gambut terbentuk dari lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi langka udara akibat genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan yang selalu basah telah mencegah aktivitas mikroorganisme yang diperlukan dalam perombakan. Laju penimbunan gambut dipengaruhi oleh peduan antara keadaan topografi dan curah hujan dengan curahan perolehan air yang lebih besar dari pada kehilangan air serta didukung oleh sifat tanah dengan kandungan fraksi debu (silt) yang rendah. Ketebalan gambut pada setiap bentang lahan adalah sangat tergantung pada: 1). proses penimbunan yaitu jenis tanaman yang tumbuh, kerapatan tanaman dan lama pertumbuhan tanaman sejak terjadinya cekungan tersebut, 2). proses kecepatan perombakan gambut, 3). proses kebakaran gambut, dan 4). Perilaku manusia terhadap lahan gambut. Gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih termasuk kategori kawasan lindung sebagai kawasan yang tidak boleh diganggu. Kebijakan ini dituangkan melalui Keppres No. 32 tahun 1990 yang merupakan kebijakan umum dalam reklamasi dan pemanfaatan lahan gambut di Indonesia. Berdasarkan besarnya potensi sumberdaya, kendala biofisik dan peluang pengembangan, maka rawa khususnya gambut pedalaman perlu mendapatkan perhatian serius. Gambut dikategorikan sebagai lahan marjinal, karena kendala biofisiknya sukar diatasi. Prodiktifitas gambut sangat beragam, ketebalan gambut juga menentukan kesuburannya (Barchia, 2006).



C. Tingkat Kematangan Gambut Menurut Soil Survey Staff (1990), bahwa tingkat kematangan atau tingkat pelapukan tanah gambut dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi dari bahan atau serat tumbuhan asalnya. Tingkat kematangan terdiri dari tiga katagori yaitu fibrik, hemik dan saprik. Tingkat kematangan tanah gambut dalam pengamatan di lapangan dapat dilakukan dengan cara mengambil segenggam tanah gambut dan memersnya dengan tangan. Kriteria mentah atau matang dari gambut dapat ditunjukkan dengan melihat hasil cairan dan sisa bahan perasan. Ketentuan dalam menentukan kematangan gambut untuk masing-masing katagori adalah sebagai berikut: 1. Tingkat kematangan fibrik yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah tiga per empat bagian atau lebih (>3/4). 2. Tingkat kematangan hemik yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah antara kurang dari tiga per empat sampai seperempat bagian atau lebih (1/4). 3. Tingkat kematangan saprik yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah kurang dari seperempat bagian (3m) sekitar 5%, gambut dalam dan tengahan (tebal 1m – 3m) sekitar 11% -12%, dan gambut dangkal sekitar 15% (Noor, 2001). Kadar abu dan kadar bahan organik mempunyai hubungan dengan tingkat kematangan gambut. Gambut mentah (fibrik) mempunyai kadar abu 3,09% dengan kadar bahan organik 45,9%. Sedangkan gambut hemik mempunyai kadar abu 8,04% dengan kadar bahan organik 51,7% dan gambut matang (saprik) mempunyai kadar abu 12,04% dengan kadar bahan organik 78,3% (Setiawan, 1991).



D. Klasifikasi Tanah Gambut Menurut Sistem Klasifikasi Tanah, tanah gambutdikelompokkan dalam ordo Histosol. Disebut tanah gambut jika memenuhi kriteria sebagai berikut. 1. Jika dalam keadaan jenuh air dengan genangan dalam priode yang lama (sekalipun dengan adanya pengatusan buatan) dan dengan meniadakan akar-akar tanaman hidup, mengandung: a. 18% bobot karbon organik (setara dengan 30% bahan organik) atau lebih jika mengandung fraksi lempung sebesar 60% atau lebih, atau



b. 12% bobot karbon organik (setara dengan 20% bahan organik) atau lebih jika tidak ada kandungan fraksi lempung, atau c. 12% + (lempung dengan kelipatan 0,1 kali) persen bobot karbon organik atau lebih, jika mengandung fraksi lempung 300 cm. Menurut Polak (1914) dalam Wirjodihardjo (1953) tanah gambut di Indonesia dapat dibedakan menjadi gambut ombrogin, gambut topogin dan gambut pegunungan. Gambut Ombrogin adalah jenis gambut yang tersebar di dataran rendah rawa lebak dan pantai yang tersebar luas di Indonesia yang meliputi 16,5 juta hektar dan Sumatera mempunyai luasan sekitar 7,5 juta hektar. Ketebalan gambut berkisar antara 0,5 hingga 16 meter yang terbentuk dari sisa-sisa vegetasi hutan rawa yang membusuk menjadi bahan yang berwarna kecoklatan. Gambut ini mempunyai sifat jenuh air, bereaksi masam, miskin bahan mineral terutama kapur, air berwarna hitam kecoklatan dan terdapat rhizopoda. Kadar hara N, P dan K cukup tinggi. Gambut Topogin adalah gambut yang terbentuk pada depresi topografi rawa terutama di Pulau Jawa. Daerah penyebaran gambur topogin adalah tidak luas dan setempat-setempat, misalnya di Rawa Pening, Rawa Lakbok, Rawa Jatiroto, Deli, Kalimantan Selatan dan Pangandaran. Gambut Pegunungan adalah gambut yang terbentuk di dataran tinggi pegunungan, dengan kondisi iklim hampir sama dengan iklim daerah sedang dan dengan vegetasi dominan adalah tanaman tingkat



rendah. Di Indonesia gambut Pegunungan dapat dijumpai di dataran tinggi Dieng, puncak Papandayan, dan Pangrango. Vegetasi utama di Gambut Pengunungan tersebut adalah Hydrophyta dan Cyperaceae. Klasifikasi gambut berdasarkan bahan induk dapat digolongkan menjadi Gambut Endapan, Gambut Berserat dan Gambut Berkayu. Gambut Endapan adalah akumulasi bahan organik diperairan dalam sehingga pada umumnya dijumpai dibagian bawah dari suatu profil organik. Gambut endapan dibentuk dari bahan tanaman yang mudah dihumifikasikan. Gambut endapan tidak disenangi sebagai tanah karena sifat fisiknya yang tidak menguntungkan sehingga gambut ini tidak diusahakan. Gambut endapan berasal dari campuran tanaman leli air, rumputan air, hornworth, plankton, dan lainnya. Gambut Berserat adalah akumulasi bahan organik berbagai sedge, lumut-lumutan, hepnum, reed dan rumpulan lainnya, latifolia dan angustifolia. Sejumlah gambut berserat sering dijumpai pada rawa dimana gembut endapan berada. Gambut ini mempunyai sifat fisik yang baik akibat sifat serat dan filamennya. Gambut berserat dapat juga dijumpai dipermukaan dari akumulasi bahan organik. Gambut Berkayu adalah gambut dengan bahan penyusun utamanya adalah pohon-pohonan desidius, konifer dan tumbuhan dibawahnya. Pohon-pohonan banyak tumbuh di daerah rawa, sehingga gambut ini banyak dijumpai di lahan rawa. Gambut berkayu berwarna coklat atau hitam bila basah, dan warna ini sangat tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut berkayu terbentuk dari sisa pohon, semak dan tumbuhan lainnya



E. Rawa Luas lahan basah di dunia diperkirakan sekitar 242,80 juta hektar, di antaranya 114,90 juta hektar berada di kawasan Asia. Lahan rawa lebak secara umum masuk dalam istilah lahan basah, tetapi tidak berarti lahan basah hanyalah lahan rawa. Yang dimaksud dengan lahan basah meliputi daerah rawa, paya, gambut, atau badan perairan lainnya, baik alami maupun buatan, yang airnya mengalir atau tergenang, bersifat tawar, payau atau salin, termasuk kawasan tergenang, yang minimal mempunyai jeluk enam meter (Konvensi Ramsar, 1971). Kawasan rawa sesungguhnya merupakan ekosistem yang spesifik dan mempunyai keunikan tersendiri sehingga pola pengguna lahan harus memperhatikan manfaat dan azaz guna ekosistem secara optimal (Barchia, 2006). Rawa ialah suatu bagian daratan, yang sepanjang tahunnya jenuh air atau tergenang air. Lahan ini sepanjang tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air (water logged) atau tergenang. Selanjutnya menurut Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1991 yang dinamakan lahan rawa



adalah genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat dan mempunyai ciri-ciri khusus baik fisik, kimia maupun biologi. Topologi lahan rawa diklasifikasikan dengan beragam sistem. Berdasarkan ekosistem, lahan rawa dicirikan oleh dua ekosistem utama, yaitu ekosistem hutan dan ekosistem yang berkaitan dengan air. Ekosistem hutan, yang memiliki komposisi tanah dan kondisi air, flora dan fauna yang spesifik : a) hutan rawa payau atau hutan bakau, b) hutan rawa gambut, dan c) hutan rawa non gambut/air tawar. Ekosistem yang berkaitan dengan air, yaitu : a) sungai yang membawa air tawar, b) muara, termasuk hamparan lumpur pasang sureut dengan kombinasi air tawar dan asin yang menciptakan kondisi payau, c) sistem pasir, (pasir, rumput/ganggang laut) termasuk daerah pantai, rumput dasar laut dan rumput laut yang keseluruhannya dengan sumber air asin. Kawasan rawa terbentang 2 ekosistem lahan utama, yaitu ekosistem pasang surut dan ekosistem rawa lebak. Berdasarkan imbangan antara kekuatan arus sungai dan air pasang dari laut, lahan rawa dibedakan menjadi 3 zone, yaitu Zona I: lahan rawa pasang surut air salin/payau dengan fisiografi utamanya adalah gambut dan marin, Zona II; lahan pasang surut air tawar dengan fisipografi utamanya adalah aluvial, gambut dan marin, dan Zona III; lahan rawa bukan pasang surut atau rawa lebak dengan fisiografi utamanya adalah aluvial dan gambut. Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm (Noor, 2007). Berdasarkan topografi, dalam dan lama genangan, lahan rawa lebak dibedakan dalam 3 katagori, yaitu: 1) Lebak dangkal atau lebak pematang, lahan ini biasanya teletak disepanjang tanggul alam sungai dengan topografi relatif tinggi dan genangan kurang dari 50 cm dengan lama genangan kurang dari 3 bulan. 2) Lebak tengahan, lahan ini biasanya terletak di antara lebak dalam dan lebak pematang kedalaman genangan antara 50 – 100 cm. Genangan bisa terjadi 3 – 6 bulan 3) Lebak dalam, lahan yang terletak di sebelah dalam menjauhi sungai, merupakan suatu cekungan dengan genangan lebih dari 100 cm dengan lama genangan lebih dari 6 bulan. . Rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah atau agak basah dengan curah hujan antara 2000-3000 mm per tahun dengan jumlah bulan basah antara 6-7 bulan dan 3-4 bulan kering. Bulan basah adalah bulan yang mempunyai curah hujan bulanan lebih dari 200 mm dan bulan kering adalah bulan yang mempunyai curah hujan bulanan kurang dari 100 mm. Agih (distribition) curah hujan di beberapa wilayah rawa lebak menunjukkan perbedaan yang terkait dengan ketinggian tempat dari permukaan laut dan vegetasi yang tumbuh (Noor, 2007).



F. Tanah Sulfat Masam Bahan sulfidik (pirit) merupakan hasil endapan marin. pirit terbentuk melalui serangkaian proses kimia, geokimia, dan biokimia secara bertahap. Ion-ion sulfat yang banyak terkandung dalam air laut oleh ayunan pasang diendapkan pada dataran-dataran pantai dan sebagian menjorok memasuki mintakat pasang surut. Besi yang merupakan penyusun mineral silikat dalam bahan induk tanah bersenyawa dengan sulfat. Pada dasarnya, persenyawaan antara sulfat dengan besi inilah yang membentuk pirit (Noor, 2004). Pembentukan pirit dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain (1) tingginya kandungan bahan organik, (2) suasana yang anaerob, (3) jumlah sulfat terlarut, da, (4) kadar besi terlarut (Dent, 1986). Pada tanah-tanah mineral rawa sering terjadi keracunan, antara lain oleh alumunium (Al), besi (Fe3+), sulfida (H2S), karbondioksida (CO2), dan asam-asam organik yang tinggi. Kadar Al pada tanah mineral rawa berkaitan dengan oksidasi pirit. Suasana yang sangat masam mempercepat pelapukan mineral alumino-silikat akibat perusakan kisi dari mineral tipe 2:2 (seperti monmorilonit) menjadi mineral tipe 1:1 (kaolinit) dengan membebaskan dan melarutkan Al yang lebih banyak (Notohadikusumo, 2000). Menurut klasifikasi tanah Badan Makanan dan Pertanian Dunia (FAO – Unesco, 1994), tanah sulfat masam dibagi menjadi tiga jenis yaitu Thionic Fluvisol, Thionic Gleysol, dan Thionic Histosol. Istilah fluvi (fluviatil) menunjukkan arti sebagai hasil endapan (marin), gley menunjukkan kadar lempung yang tinggi, sedangkan histo menunjukkan adanya lapisan gambut diatas permukaan. Tanah sulfat masam ditandai warna tanah yang kelabu, bersifat mentah, dan kemasaman sedang sampat tinggi (Breemen dan Pons, 1978). Identifikasi dan mengenal tanah sulfat masam dapat dilakukan di lapangan secara cepat, mudah dan sederhana (Notohadiprawiro, 1985). Warna matriks tanah pada lahan sulfat masam umumnya cokelat gelap untuk lapisan atas dan abu-abu (grey) untuk lapisan bawah yang menunjukkan adanya pirit. Warna coklat gelap menunjukkan tingginya kadar bahan organik, sedangkan warna abu-abu mencerminkan tingginya kadar mineral kaolinit (Breemen, 1982). Warna matriks tanah sulfat masam mempunyai hubungan dengan ada tidaknya pirit. Warna abu-abu gelap kehijauan (5Y 4/1) menunjukkan adanya pirit dan warna semakin gelap menunjukkan kadar pirit yang semakin tinggi (Noor, 2004).



III. PELAKSANAAN PENELITIAN



A. Tempat dan Waktu Kegiatan lapangan pada penelitian ini dilakukan di lahan hutan rawa Desa Cinta Jaya Kecamatan Pedamaran Kabupaten OKI. Analisis contoh tanah dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Biologi Tanah dan Kimia Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Penelitian ini dimulai bulan September sampai dengan Desember 2007.



Skala 1 : 430.000



Gambar 1. Lokadi Desa Cinta Jaya



B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) contoh tanah yang akan dianalisis, 2) kantung plastik, 3) kertas label, 4) larutan Hydrogen Peroksida 30%, 5) kertas pH, dan 6) tali karet.



Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) global position system (GPS), 2) kompas, 3) foto citra lokasi penelitian, 4) kamera, 5) meteran, 6) bor gambut, 7) bor belgi, 8) buku Munsell, 9) pisau lapangan, dan 10) Alat tulis.



C. Metode Penelitian Dalam penelitian ini kegiatan lapangan dibagi menjadi dua tahap yang terdiri atas kegiatan prasurvai dan survai utama. Kegiatan prasurvai atau survai pendahuluan dilakukan untuk mengetahui gambaran umum lokasi penelitian dan masyarakat Desa Cinta Jaya. Survai utama dilakukan dengan pengamatan lahan dan tanah pada setiap titik pengamatan, yang dilanjutkan dengan analisis tanah di laboratorium. Penelitian ini menggunakan metode survai tingkat semi detail, dengan luas area yang diamati 250 hektar yang ditentukan berdasarkan foto citra dan dengan meninjau lokasi secara langsung. Dalam penelitian ini, titik pengamatan sebanyak sepuluh titik yang ditentukan secara sengaja dengan sistem transek, dengan menentukan koordinat menggunakan alat bantu GPS.



Skala 1 : 100.000



Skala 1 : 170.000



Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian dan Titik Pengamatan



D. Cara Kerja Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan, pelaksanaan kegiatan lapangan, kegiatan laboratorium dan analisa data dan pembuatan laporan. 1. Persiapan Pada tahap persiapan dilakukan kegiatan yang meliputi studi pustaka dan pengumpulan literatur serta persiapan alat yang akan digunakan. 2. Kegiatan Lapangan Pada tahap pelaksanaan kegiatan di lapangan dilakukan dua tahap yaitu kegiatan prasurvai atau survai pendahuluan dan survai utama. Kegiatan pra survai ini dilakukan untuk mengetahui desa yang akan menjadi lokasi penelitian, interaksi masyarakat desa dengan hutan rawa gambut, informasi tentang lokasi penelitian, akses menuju lokasi pengamatan dan waktu tempuhnya. Untuk memperoleh informasi di atas dilakukan dengan cara wawancara dengan perangkat desa, dan beberapa penduduk desa setempat. Sedangkan dalam kegiatan survai utama adalah untuk pengamatan tanah dan keadaan lingkungan. Pengamatan tanah dan pengambilan sampel dilakukan pada setiap titik pengamatan yang sudah ditentukan, sedangkan pengamatan lingkungan dilakukan di sekitar lokasi titik pengamatan. Hal- hal yang diamati dalam kegiatan ini adalah: vegetasi dominan, ketebalan gambut, hidrologi lahan (genangan dan atau muka air tanah), pengelolaan lahan, tingkat kemasaman tanah di lapangan, tingkat kematangan gambut, serta keberadaan pirit (dengan uji menggunakan peroksida (H 2O2) 30%). Titik pengamatan ditentukan berdasarkan citra lansat Desa Cinta Jaya dan sekitarnya. Pengamatan titiktitik menggunakan sistem transek. Penelitian ini menggunakan dua transek yang masing-masing memiliki panjang 2,5 km. Tiap transek terdiri dari lima titik pengamatan dan jarak antar transek 500 m. Pengamatan dan pengambilan sampel tanah gambut dengan menggunakan bor gambut. Pengeboran dan penggamatan dilakukan hingga kedalaman lima meter. Sedangkan untuk gambut yang memiliki kedalaman kurang dari lima meter, pengeboran dan pengamatan dilakukan hingga mencapai lapisan mineral. Pengambilan sampel tanah gambut pada kedalaman satu meter teratas dan satu meter terbawah.



(a) (b) Gambar 3. (a) skema pengambilan sampel gambut. (b) bor gambut



3. Analisis Tanah Analisis contoh tanah dilakukan di laboratorium oleh analisator untuk mengukur pH tanah, N total, C organik, Na, DAL, dan Kadar abu. Hasil analisis laboratorium akan sangat berguna untuk menentukan pengelolaan lahan, pengaruh pasang surut air laut terhadap lahan, dan tingkat kematangan gambut pada lokasi penelitian.



4. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam kegiatan penelitian ini meliputi : a. Keadaan umum daerah penelitian meliputi iklim (curah hujan), geografis, vegetasi dan topografi, b. Ketebalan dan tingkat kematangan gambut, c. Tinggi genangan air, d. Data hasil analisis sifat kimia tanah gambut pH tanah, N total, C organik, Na, DAL serta Kadar abu.



5. Pengolahan Data dan Pembuatan Laporan Data yang diperoleh dari hasil pengamatan lapangan dan analisis laboratorium di-intepretasi agar dapat disajikan secara deskriptif dalam bentuk skripsi. Informasi ini diharapkan dapat digunakan untuk membantu penyusunan kemampuan lahan, perencanaan dan kebijakan penggunaan lahan.



Pada lokasi penelitian suhu udara rata-rata 26,8o C. Suhu udara dipengaruhi oleh ketinggian wilayah dari permukaan laut. Semakin rendah wilayah dari permukaan laut, maka suhu udara akan semakin tinggi. Data suhu udara dapat dilihat pada Gambar... dan lampiran ... Gambar 2. Grafik Rata-rata Suhu Udara Tahunan



Berdasarkan data curah hujan selama 10 tahun (1997 – 2006) yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kenten untuk wilayah Kecamatan Pedamaran diketahui bahwa lokasi penelitian memiliki curah hujan 2244,16 mm/tahun. Berdasarkan kerangka acuan CSR/FAO (1983), jumlah bulan kering dapat ditentukan dengan melihat curah hujan bulanan yang kurang dari 75mm, sehingga dari data curah hujan yang ada dapat diketahui bahwa pada lokasi penelitian bulan baah terjadi sepanjang tahun dengan bulan kering sebanyak satu bulan, yaitu pada bulan agustus.



Grafik Tahunan



Curah



Hujan



Grafik Curah Hujan Bulanan



IV. HASIL DAN PEMBAHASAN



No. 1.



Sampel



Kedalaman



Tanah Gambut



(cm)



1



0 – 100



Vegetasi



Kemasaman (pH)



Purun tikus



3,67



300 – 400 2.



4



3.



6



4.



9



0 – 100



3,61 Purun tikus, Pakis,



3,74



200 – 300



tumbuhan semak



3,38



0 – 100



Perpat, purun tikus,



3,59



400 – 500



tumbuhan semak, Pakis



3,51



0 – 100



Purun tikus, Pakis,



3,43



400 – 500



tumbuhan semak



3,75



pH, Dari hasil analisis tanah, terlihat bahwa tanah gambut bereaksi sangat masam baik pada lapisan atas maupun lapisan bawahnya. Menurut Jones (1984), nilai pH rendah itu disebabkan oleh asam-asam



organik, pirit (senyawa sulfur), dan ion hidrogen dapat ditukar (H-dd) yang tinggi terkandung dalam tanah gambut. Menurut Buckman dan Brady (1982), secara umum kompleks koloid gambut dipengaruhi oleh hidrogen yang menyebabkan pH tanah gambut lebih rendah daripada tanah mineral.



No. 1. 2.



Sampel



Kedalaman



Kemasaman



C-Organik



N-Total



Tanah Gambut



(cm)



(pH)



(%)



(%)



1



0 – 100



3,67



35,59



0,73



300 – 400



3,61



31,48



0,69



0 – 100



3,74



27,96



0,76



200 – 300



3,38



26,12



0,67



0 – 100



3,59



32,75



0,76



400 – 500



3,51



32,01



0,73



0 – 100



3,43



36,06



0,79



400 – 500



3,75



30,91



0,58



4



3.



6



4.



9



C-Organik, dari hasil analisis contoh tanah dan berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah PPT (1983) menunjukkan kandungan C-organik yang sangat tinggi. Tingginya kandungan C-organik menunjukkan akumulasi bahan organik yang tinggi (seresah). Terlihat dari data hasil analisis, tanah bagian atas memiliki kandungan C-organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah bagian bawahnya. Hal ini



dilkarenakan tanah bagian atas telah terdekomposisi lebih lanjut dari tanah di bawahnya, karena terjadi pengeringan setiap musim kemarau terutama pada kemarau panjang.



N-total, Hasil analisis contoh tanah menunjukkan kadar N-total (%) termasuk dalam kriteria tinggi hingga sangat tinggi. Sumber Nitrogen yang utama adalah bahan organi, Nitrogen dalam tanah berasal dari bahan organik tanah (Hardjowigeno, 1995). Dari hasil analisis yang diperoleh terlihat bahwa kandungan N-total pada tanah lapisan atas lebih tinggi dari tanah lapisan bawahnya. Lebih rendahnya kandungan N-total pada lapisan bawah gambut dikarenakan keadaan yang selalu jenuh air.



No. 1. 2. 3. 4.



Sampel



Kedalaman



Na



Ec



Tanah Gambut



(cm)



(me/100 g)



(mhos)



1



0 – 100



0,44



0,810



300 – 400



0,33



1,090



0 – 100



0,33



0,890



200 – 300



0.44



1,710



4 6 9



0 – 100



0,33



1,350



400 – 500



0,55



1,260



0 – 100



0,44



1,140



400 – 500



0,55



1.410



Na, Kadar Na berkisar antara kriteria rendah sampai sedang. Ec, Berdasarkan hasil analisis contoh tanah lokasi penelitian termasuk dalam topologi salin ringan (500 >500 >500 >500



-20 0 -30 - 50 -50 -50 -10 -5 -5



Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, ketebalan gambut pada lokasi penelitian berkisar dari gambut tengahan hingga sangat dalam. Gambut terdalam pada titik pengamatan 6,7,8,9, dan 10 (lebih dari 5 m). Gambut tengahan terdapat pada titik pengamatan 3, gambut dalam terdapat pada titik pengamatan 2 dan 4, dan gambut sangat dalam berada pada titik pengamatan 1,5,6,7,8,9, dan 10.



Rawa, lokasi penelitian termasuk lahan rawa lebak tengahan. Tinggi genangan dapat mencapai lebih dari 100cm pada saan nusim hujan. Nanun pada saat pengamatan dilakukan permukaan air tanah di bawah permukaan gambut, hal ini dikarenakaan musim kemarau. Warna, warna gambut lapisan atas lebih gelap dari lapisan bawahnya hal ini dikarenakan bagian atas gambut lebih terdekomposisi, dan sebagian lokasi pengamatan telah terbakar.



Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Sifat tanah



SR



R



S



T



ST



C-organik (%)



5,00



N-total (%)



0,75



Nisbah C/N



25



P2O5-Bray (µg



g-1)



35



KTK (cmol (+)



kg-1)



40



K-dd (cmol (+)



kg-1)



1,00



kg-1)



1,00



Mg-dd (cmol (+) kg-1)



8,00



Ca-dd (cmol (+) kg-1)



20



Kejenuhan basa (%)



70



Kejenuhan Al (%)



60



SM



M



AM



N



AB



B



8,5



Na-dd (cmol (+)



pH – H2O



Keterangan : SM = Sangat Masam M = Masam AM = Agak Masam N = Netral AB = Agak Basa B = Basa SR = Sangat Rendah R = Rendah ST = Sangat Tinggi S = Sedang T = Tinggi



Sumber : Pusat Penelitian Tanah, 1983.



VI. KESIMPULAN DAN SARAN



A. Kesimpulan 1. Lahan gambut di lokasi penelitian bervariasi dari gambut tengahan hingga sangat dalam. 2. Kesuburan termasuk rendah dengan reaksi tanah sangat masam dan tingkat kematangan gambut rendah antara fibrik hingga hemik. 3. sebagian besar lahan gambut Cinta Jaya telah terbuka akibat penebangan dan terbakaran 4. vegetasi didominasi oleh purun tikus, pakis (Stenochama polushis) dan perpat (Sonneratia sp). B. Saran Lahan gambut Cinta Jaya termasuk dalam kawasan konservasi, diperlukan sosialisasi tentang manfaat lahan gambut.