Karil Ilmu Hukum Ut 2021.2. [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENEGAKAN HUKUM PIDANA BAGI PELAKU KEKERASAN/PELECEHAN SEKSUAL DALAM LINGKUP KELUARGA PADA DAERAH PADAT PENDUDUK DI DKI JAKARTA



KARYA ILMIAH



Nama



: INDRA MULIA



NIM



: 030900549



Email



: [email protected]



UNIT PROGRAM BELAJAR JARAK JAUH UNIVERSITAS TERBUKA JAKARTA FAKULTAS HUKUM ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS TERBUKA TAHUN 2021



1



ABSTRAK Alasan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang membuat perempuan dan anak menjadi korban kebiadaban seksual dan bagaimana penegakan hukum bagi pelaku seksual terhadap perempuan dimana dengan menggunakan strategi pemeriksaan yang sah dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai tempat wanita dan anak muda sebagai makhluk tak berdaya dan rendah. Dengan begitu banyaknya terjadi kekerasan/pelecehan seksual terhadap perempuan terutama anak perempuan didaerah padat penduduk terutama di daerah tempat penulis tinggal yaitu di daerah padat penduduk di daerah Propinsi DKI Jakarta maka persoalan-persoalan



ini



membuat



penulis



merasa



perlu



untuk



mempelajari



dan



menuangkannya kedalam bentuk karya ilmiah berjudul: “Penegakan Hukum Pidana Bagi Pelaku Kekerasan/Pelecehan Seksual Pada Lingkup Keluarga Pada Daerah Padat Penduduk Di DKI Jakarta”. Klarifikasi aktivis perempuan di mana kebiadaban/provokasi seksual terhadap perempuan merupakan hasil konstruksi sosial dan sosialisasi di mata publik yang berfokus dan menitikberatkan pada kepentingan dan sudut pandang laki-laki, sekaligus secara bersamaan menganggap wanita sebagai jenis kelamin yang lebih rendah dan kurang penting daripada pria. Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan/pelecehan seksual terhadap perempuan diatur dalam KUHP yaitu: Merusak kesusilaan di depan umum (Pasal 281, 283, 283 bis); Perzinahan (Pasal 284); Pemerkosaan (Pasal 285); Pembunuhan (Pasal 338); Pencabulan (Pasal 289, 290, 292, 293 (1), 294, 295 (1)). Secara khusus, Pasal 285 tentang Perkosaan merupakan hal yang secara signifikan mengguncang perempuan sebagai korban kebrutalan seksual karena mereka menanggung malu seumur hidup dan umumnya mempengaruhi daya tahan mereka sehingga bahaya disiplin yang diberikan adalah 12 (dua belas) kali. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perilaku Pelecehan di rumah, pelaku kejahatan seksual diberikan persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 46, Pasal 47 dan Pasal 48 dengan ancaman pidana penjara 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda pokok sebesar Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan sebesar Rp. 500.000.000,00. Selanjutnya pelaku kejahatan seksual/pemukulan terhadap perempuan akan dijerat dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2016 khususnya pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara paling lama 20 tahun dan pidana penjara minimal 10 tahun. Perpu ini juga menetapkan tiga persetujuan tambahan, yaitu mutilasi sintetik, pernyataan kepribadian kepada masyarakat pada umumnya, dan pembuatan alat pengenal elektronik. Kata kunci: kekerasan seksual; pelecehan seksual; perempuan; 2



PENDAHULUAN Tindakan asusila yang seringkali disebut moral offences dan pelecehan secara seksual yang seringkali kita sebut sexual harassment adalah 2 (dua) bentuk pelanggaran kesusilaan yang tentunya bukan hanya merupakan permasalahan hukum tetapi telah menjadi masalah didunia.1 Para pelaku mulai dari kelompok golongan ekonomi menengah atau kelompok ekonomi rendah apalagi tidak berpendidikan akan tetapi sudah kesemua strata sosial baik dari strata sosial terendah maupun sampai strata sosial yang paling tinggi. Perilaku ini bisa terjadi diperusahaan, perkantoraan dan tempat dimana berpeluang menjadikan seseorang berlainan jenis berkomunikasi atau dapat pula terjadi dikeluarga terutama sekali daerah padat penduduk dimana dalam satu rumah kontrakan kecil terdapat beberapa anggota keluarga sehingga kontak fisik sering terjadi dikala sedang beraktifitas disiang hari ataupun sedang beristirahat/tidur dimalam hari. Dengan begitu banyaknya terjadi kekerasan/pelecehan seksual terhadap perempuan terutama anak perempuan didaerah padat penduduk terutama di daerah tempat penulis tinggal yaitu di daerah padat penduduk di daerah Propinsi DKI Jakarta maka persoalan-persoalan ini membuat penulis merasa perlu untuk mempelajari dan menuangkannya kedalam bentuk karya ilmiah berjudul: “Penegakan Hukum Pidana Bagi Pelaku Kekerasan/Pelecehan Seksual Pada Lingkup Keluarga Pada Daerah Padat Penduduk Di DKI Jakarta”. Dalam hukum pidana Indonesia tidak ada istilah kebiadaban terhadap wanita, namun kenyataannya hal tersebut semakin terjadi di Indonesia. Akibatnya, hingga saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara eksplisit mengarahkan untuk mengakhiri jenisjenis kekejaman terhadap perempuan, khususnya perempuan muda. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Pembuangan Perilaku Agresif di Rumah (PKDRT) adalah undang-undang yang berlaku saat ini. Lalu pertanyaannya mengapa perempuan sering menjadi korban?, Perlindungan hukum bagaimanakah yang seharusnya dapat diberikan?, Lalu bagaimanakah penegakan hukum bagi pelaku?. Saya melakukan penelitian ini melalui strategi yuridis standarisasi atau penelitian hukum perpustakaan yang menganalisis bahan pustaka atau data opsional, lebih spesifiknya merujuk pada bahan hukum primer KUHP, UU No.23 Tahun 2004 dan bahan hukum dekunder yakni Karya Tulis hukum dan beberapa pendapat hukum dari para pakar.



1.RomliiAtma sasmita, KapitaaSelekta Hukum PidanaadannKriminologi, MandarrMaju, Bandung,11995, hlm. 103



3



PEMBAHASAN A. KEKERASAN SEKSUAL DALAM LINGKUP KELUARGA TERUTAMA ANAK PEREMPUAN. Berdasarkan data dan informasi yang saya dapat dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan terpublikasikan pada tanggal 06 Maret 2020, bahwa para pelaku kekerasan secara seksual itu berasal dari keluarga dan hubungan personal dari para korban. Ternyata terbanyak dilaporkan adalah sang pacar yaitu sebesar 1.675 kasus lalu pelaku kekerasan seksual lainnya dalam dilakukan oleh sang ayah kandung dan ayah tiri tentunya. Untuk ayah kandung dan paman mencapai 370 dan 316 kasus. Selanjutnya para suami terlapor sebanyak 190 kasus. Ayah tiri dan saudara/kerabat juga memiliki angka tinggi yaitu sebesar 173 dan 121 kasus. Kekerasan kepada anak terutama anak perempuan yaitu kekerasan fisik, psikologi, sosial dan juga kekerasan secara seksual. Demonstrasi tidak etis terhadap anak muda akan lebih sering memperkuat hubungan seksual secara tidak wajar dan tidak disukai. Kekerasan yang dilakukan seperti pemerkosaan, penganiayaan, stimulasi oral pada klitoris, stimulasi oral pada penis dan pemerkosaan secara paksa. Kekerasan seksual terhadap anak terutama meliputi ; 1. Tindakan dengan sengaja menyentuh, mencium dan meraba organ intim seksual anak; 2. Memperlihatkan atau mempertontonkan kepada anak media atau benda porno; 3. Tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak; 4. Menunjukkan alat kelamin pada anak dan hal lainnya yang bersifat merangsang. Maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan suatu tindakan yang disengaja dan dapat memberikan dampak buruk pada kondisi fisik dan psikologis anak. Kepadatan penduduk juga menjadi faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual pada anak karena kondisi sosial di permukiman padat penduduk memang menjadi ancaman yang sangat menakutkan bagi anak-anak, khususnya dalam hal kerentanan terhadap kekerasan seksual. Kepadatan penduduk merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual pada anak perempuan, karenanya respons cepat pihak kepolisian dalam menangani kasus kejahatan seksual pada anak terutama anak perempuan harus segera ditingkatkan. Perbaikan lingkungan sosial perkotaan memang sangat dibutuhkan sekarang ini, masyarakat yang tinggal di permukiman padat penduduk perlu menjadi fokus pemerintah daerah untuk pemberian sosialisasi. Permukiman yang padat dan mayoritas dihuni oleh masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah tersebut memiliki beragam persoalan sosial yang mengancam anak-anak tersebut terutama di daerah tempat tinggal saya di Propinsi DKI Jakarta. Contoh kasus yaitu sebuah keluarga kurang harmonis yang mana 4



seorang ibu sering meninggalkan anak berdua dengan ayahnya, dan tingkat stress yang cukup tinggi akibat sempitnya ruang hidup di sana seorang anak dengan kondisi tersebut rentan menjadi korban kekerasan fisik dan seksual karena keluarga terdekat pun tidak menjamin akan rasa aman bagi anak terutama anak perempuan. Di Propinsi DKI Jakarta 80% pelaku kekerasan seksual terhadap anak terutama anak perempuan merupakan orang-orang yang sudah saling mengenal sebelumnya, bahkan termasuk kakek dan ayah kandung. Dari sudut pandang pelaku dapat dilihat penyebab kekerasan seksual pada anak yaitu faktor internal dan eksternal. a. Faktor Internal, yaitu faktor yang ada pada setiap diri dari individu dan hubungan kejahatan seksual yakni ; faktor biologis, faktor moral dan faktor kejiwaan. b. Faktor Eksternal, yaitu faktor yang terdapat dari luar sisi pelaku yaitu ; 1. Media Massa, merupakan sarana informasi dalam kehidupannseksual. Media massa pulalah yang banyak mewarnai dramatisasi umumnya digambarkan tentang kepuasan pelaku. 2. Ekonomi, akan berpengaruh kepada seseorang dengan pendidikan yang rendah maka secara ekonomi akan cenderung mendapatkan pekerjaan yang tidak layak dan dengan keadaan ekonomi yang rendah maka peningkatan kriminalitas termasuk kejahatan seksual akan terjadi. 3. Sosial Budaya, kasus kejahatan asusila atau pemerkosaaan sangat berkaitan pada aspek sosial budaya karena modernisasi berkembang budaya saling terbuka dan pergaulan bebas. 4. Faktor eksternal lainnya adalah lingkungan padat penduduk dimana rumah saling menempel dan berdekatan sehingga kontak fisik sering terjadi ini merupakan faktor pendorong sering terjadinya kekerasan/pelecehanan seksual pada lingkungan sekitar. Lingkungan keluarga adalah lingkungan dimana dua atau lebih seorang individu yang terikat oleh hubungan suatu perkawinan dan setiap anggota keluarga akan saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Fungsi keluarga menurut Friedman (1998) terbagi; fungsi efektif, sosialisasi, reproduksi, ekonomi dan perawatan atau pemeliharaan kesehatan. Macam-macam peranan dalam keluarga menurut (Istiati, 2010) : 1. Peranan ayah sebagai kepala keluarga, pendidik dan pelindung, mencari nafkah, serta pemberi rasa aman bagi anak serta istrinya dan sebagai anggota dari kelompok sosialnya



5



sebagai anggota masyarakat di lingkungan dimana mereka tinggal sehingga peran ayah sangat sentral dalam melindungi anggota keluarganya dari tindakan kekerasan seksual. 2. Peranan Ibu sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya sebagai pelindung dari anakanak saat ayah sedang tidak ada dirumah, mengurus rumah tangga serta dapat berperan juga sebagai pencari nafkah. 3. Peranan anak-anak adalah melakukan peranan sosial yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak-anak itu sendiri baik secara mental, fisik, sosial dan spiritual. B. PENEGAKAN HUKUM PIDANA BAGI PELAKU KEKERASAN/PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN. Saat ini belum ada perubahan yang mendasar terjadi dibandingkan dengan beberapa dekade lalu karena tidak terlalu dirasakan perbedaanya karena diskriminasi gender belum sepenuhnya disingkirkan didalam kehidupan manusia itu sendiri. Rupa-rupa instrumen internasional mampu mendorong pergerakan untuk menerima dan mengadopsi sebuah komunitas internasional dalam lingkup domestik kesejumlah peraturan hukum UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Melihat keadaan masyarakat yang dipacu oleh bangunan sosial politik akan menarik perhatian didalam lingkungan internasional yaitu tindakan asusila kepada anak. Kekerasan kepada anak telah menjadi perhatian komuniti international yang merumuskan yakni Conventionnthe Elimination of all Forms of Discrimination Againnst Women. The Economic and Social Council adalah sebuah Resolusi Tahun 1984 No.14 tertanggal 14 Mei 1984 mengenai kekerasan secara seksual didalam sebuah keluarga agar bidang ini memasukkan anggaran program tahun 1986-1987 untuk Branch for the Advancement of Women, Center for Social Development and Humanitarian Affairs of The United Nation. Kasus-kasus kekerasan terhadap anak dalam keluarga dipublikasikan mencakup minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang, kekerasan fisik, stres kejiwaan, gila, under development, dipendensi ekonomi, frustasi, faktor-faktor budaya dan ketidaksetaraan struktural. Di Indonesia tidak ada istilah hukum kekerasan terhadap perempuan, walau fakta bahwa semakin marak tindakan kekerasan itu sendiri. Kekurangan undang-undang yang secara eksplisit mengatur pembuangan jenis-jenis kekejaman seksual terhadap perempuan. Yang dimanfaatkan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang 6



Pengakhiran Perilaku Agresif di Rumah (PKDRT). Dalam KUHP ada beberapa aksi unjuk rasa yang masuk dalam klasifikasi “kebrutalan seksual”, lebih spesifiknya: merugikan tolerabilitas publik (Pasal 281, Pasal 283, Pasal 283 bis); Perselingkuhan (Pasal 284); Penyerangan (Pasal 285); Pembunuhan (Pasal 338); Percabulan (Pasal 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293 ayat (1), Pasal 294, Pasal 295 (1)), jelas yang paling menyiksa adalah jenis kekejaman seksual sebagai penyerangan karena penyerangan ini meninggalkan rasa malu dan luka yang sangat dalam dan tidak dapat dilihat oleh korban saja sehingga mempengaruhi keberadaan orang yang bersangkutan. Jenis kekejaman seksual, khususnya penyerangan, telah diarahkan dalam Pasal 285 KUHP tentang hubungan seksual yang terjadi bukan atas keinginan bersama, yang dibatasi oleh satu pihak. Korban merasa benar-benar dan mentalnya diremehkan, keganasan selesai dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya, korban mengalami hambatan mental dan kondisi ketidakmampuan lainnya, sehingga tidak mengingkari apa yang telah terjadi, tidak memahami dan tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. korban telah ditemui. Dibandingkan perumusan KBBI, frasa perkosa sebagai ‘menundukkan’, ‘memaksa’, ‘kekerasan’, ‘menggagahi’ 2. Memperkosa itu sendiri memilki makna luas karena tidak ada batasan bagi para pelaku, para korban maupun pada bentuk kekerasan lainnya. Persamaan KUHP berkenaan kata memaksa dengan kekerasan, Sehingga dalam perkembangannya, para perumus Rancangan KUHP saat ini tidak menganggap penyerangan sebagai masalah yang benar-benar jujur, tetapi juga termasuk kekejaman dan kekejaman yang dipandang sebagai pelanggaran dan pengingkaran terhadap kebebasan umum, khususnya perempuan. Dengan pengertian dalam Pasal 489 R-KUHP yang tidak mengenal perbuatan korupsi dan pelanggaran yang tidak wajar dan perincian yang lebih luas, khususnya komponen-komponen yang menyertainya: 1. Seorang laki-laki dan perempuan; Bersetubuh; Bertentangan dengan kehendaknya; 2. Tanpa persetujuan; Atau dengan persetujuan yang dicapai melalui ancaman; atau ia percaya bahwa pelaku itu adalah suaminya; atau usia perempuan di bawah 14 tahun; 3. Memasukkan alat kelamin kedalam anus atau mulut perempuan; atau 4. Menusukan barang yang bukan bagian tubuh ke dalam dubur atau oral wanita. Berdasakan Pasal 489 R-KUHP diatas ada beberapa perubahan cukup mendasar dan tidak diperkenankan persetubuhan dapat dilakukan terhadap perempuan dengan ancaman kekerasan saja, tetapi bisa oleh hal seperti dibawah ini ; ___________________________________________________________________________ 7



2.Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana Dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Alumni, Bandung, 2000, hlm-85.



1. Dengan memperdaya korban untuk berspekulasi bahwa pelakunya adalah pasangannya; 2. Demonstrasi yang dilakukan terbatas pada persetubuhan maupun dalam berbagai jenis kekejaman seksual yang sudah sering terjadi di mata publik. 3. Penyerangan tidak dibatasi di luar ikatan perkawinan dengan pelakunya tetapi juga termasuk penyerangan terhadap pasangan oleh isterinya, yang dikenal sebagai penyerangan suami istri yang juga diatur dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Pembukaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT huruf 'c' menyatakan bahwa: “korban KDRT yang sebagian besar perempuan harus mendapat perlindungan dari negara dan masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan dan/atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.”3 Harapan UUPKDRT Nomor 23 Tahun 2004 adalah agar masyarakat luas lebih mampu melaksanakan hak dan kewajibannya dalam lingkup rumah tangga sesuai dengan asas agama yang mereka anut. Penegak hukum dan aparat terkait dalam penanganan korban KDRT akan lebih peka dan tanggap dalam penanganan kasus KDRT untuk pencegahan, perlindungan dan keadilan.4 Pasal 5 UUPKDRT No.23/2004 menyatakan:5 “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan. dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : Kekerasan fisik; Kekerasan psikologis; kekerasan seksual; atau Pengabaian rumah tangga. Kekerasan seksual menurut Pasal 8 UUPKDRT No.23 Tahun 2004 dinyatakan sebagai:6 1. Seks terbatas dilakukan terhadap individu yang tinggal dalam lingkup keluarga; 2. Hubungan seksual yang dibatasi terhadap satu individu sebatas keluarganya dengan orang lain untuk tujuan bisnis atau alasan tertentu.



____________________________________________________________________________________________________ 3. Nanda Yunisa, UURI No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), edisi lengkap, Permata Press, tanpa tahun, hlm. 1 Nanda Yulisa, Loc-Cit, hlm. 1 4. Maidin Gultom, Op-Cit, hlm. 16



8



5.Nanda Yulisa, Loc-Cit, hlm. 4 6.Nanda Yulisa, Op-Cit, hlm. 5



PENUTUP Kesimpulan Informasi yang saya terima dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan yang telah menyebar ke publik bahwa pelaku kebiadaban seksual mulai dari hubungan keluarga dan individu adalah



yang



paling



umum



diumumkan.



Komnas



Perempuan



dalam



laporannya



mengungkapkan bahwa bahkan ayah dan paman bukanlah pembela kebiadaban seksual dalam keluarga. Kekejaman seksual terhadap wanita dan anak-anak dibangun dalam kerangka nilai yang menempatkan wanita dan anak-anak sebagai makhluk yang tidak berdaya dan kelas dua. Penjelasan lain adalah kualitas korban itu sendiri. Kekejaman seksual yang dialami oleh korban disebabkan oleh perilaku korban yang kadang-kadang disambut secara tidak sengaja atau bahwa korban memiliki kualitas karakter tertentu yang membuatnya cenderung melakukan kebrutalan seksual. Mengingat klarifikasi seorang aktivis perempuan bahwa kebrutalan seksual terhadap perempuan merupakan hasil dari desain dan sosialisasi sosial di mata publik yang berfokus dan menitikberatkan pada kepentingan dan sudut pandang lakilaki sekaligus menganggap perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah dan kurang penting daripada laki-laki. Persyaratan hukum pidana terhadap pelaku kekejaman seksual terhadap perempuan diatur dalam KUHP, khususnya: Merugikan Perkosaan secara paksa (Pasal 281, Pasal 283, Pasal 283 bis); Perselingkuhan (Pasal 284); Penyerangan (Pasal 285); Pembunuhan (Pasal 338); Kata-kata kotor (Pasal 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293 (1), Pasal 294, Pasal 295 (1)). Pasal 285 tentang penyerangan mengguncang korban karena ia harus menanggung aib dan aib seumur hidupnya yang akan sangat mempengaruhi daya tahan korban dengan tujuan bahaya hukuman yang diberikan adalah 12 (dua belas) lama. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perilaku Pelecehan di dalam rumah, pelaku kekejaman seksual diberikan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47 dan Pasal 48 dengan ancaman pidana penjara 4 (empat) kali lama dan paling lama 20 ( dua puluh) lama dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (500.000.000 rupiah). Juga pelaku kejahatan seksual terhadap remaja putri akan dipidana dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Perpu No.1 Tahun 2016 khususnya pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara paling lama 20 tahun dan pidana penjara minimal 10 tahun. Perpu ini juga menetapkan tiga dukungan



9



tambahan, yaitu pengebirian majemuk, pernyataan kepribadian kepada masyarakat umum, dan pembuatan alat pengenal elektronik. Saran Sosialisasi akan UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT harus segera dilaksanakan karena UU tersebut secara jelas menyebutkan bentuk-bentuk kekerasan yang dapat terjadi pada anak agar masyarakat mengetahui dan memahami klasifikasi kekerasan terhadap anak dan perempuan khususnya kekerasan seksual. yang khusus untuk kekerasan. Pelaku kejahatan seksual mendapatkan hukuman penjara yang sangat berat dan denda yang besar, serta tentang Pemerkosaan dengan akibat yang menyertainya yang sangat mengerikan bagi seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Demikian pula sosialisasi Perpu No.1/2016 khususnya ancaman kebiri yang akan diberikan kepada pelaku kejahatan/pelecehan seksual terhadap anak perempuan harus gencar dilakukan untuk meminimalisir terjadinya kekerasan seksual terhadap anak perempuan.



10



DAFTAR PUSTAKA Harkrisnowo, Harkristuti., Hukum Pidana Dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Alumni, Bandung, 2000 Romli Atma sasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, MandarMaju, Bandung, 1995 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. Nanda Yunisa, UURI No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), edisi lengkap, Permata Press, tanpa tahun, hlm. 1 Nanda Yulisa, LocCit, hlm. 1



11