Kasus Arbitrase [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KASUS ARBITRASE NASIONAL SENGKETA KEPEMILIKAN SAHAM TELEVISI PENDIDIKAN INDONESIA (TPI) ANTARA PT BERKAH KARYA BERSAMA (BKB)



Uraian Kasus Sengketa itu awalnya disepakati akan diselesaikan di jalur arbitrase namun kemudian mbak Tutut membawanya ke pengadilan dengan alasan ada faktor Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Padahal dalam aturan arbitrase, jika dua pihak sudah bersepakat ke arbitrase maka apapun dan siapapun tidak bisa mengintervensinya. Karena jalur itu berlaku “Pacta Sun Servanda “ atau Kesepakatan adalah sesuatu yang harus dinjunjung tinggi. Karena itu sebenarnya, majelis arbitrase yang memeriksa perkara tersebut sebenarnya bisa terus memeriksa sengketa bisnis dengan mengabaikan pemeriksaan di pengadilan. Yang dapat menentukan kewenangan dari Majelis arbitrase hanyalah Majelis arbitrase itu sendiri. Majelis arbitrase dapat menentukan validitas dari klausula arbitrase dan menyatakan mempunyai kewenangan (yurisdiksi) untuk memeriksa dan memutus suat perkara arbitrase. Dengan pengabaian yurisdiksi arbitrase atas sengketa-sengketa bisnis yang mempunyai klausul arbitrase, menyebabkan Indonesia dikategorikan sebagaiarbitration unfriendly state. Pemerintah dan Mahkamah Agung RI harus memberi perhatian khusus tentang banyaknya pengabaian proses dan putusan arbitrase perdagangan, kalau tidak akan mengakibatkan minat investor asing untuk beroperasi dan menanam modal di Indonesia menjadi pupus. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI juga harus segera menertibkan para advokat yang mempersulit proses arbitrase perdagangan, yang seringkali disebut sebagai para trouble makerlawyer. UU Advokat yang baru harus dapat memperbaiki pelatihan dan ujian advokat (bar examination), dengan tujuan meningkatkan mutu para advokat kita sehingga mereka dapat berkiprah di forum arbitrase baik nasional maupun internasional, entah sebagai advokat (counsel) ataupun sebagai arbiter (arbitrator). Peran negara c.q. pemerintah dalam penertiban atau pendidikan, pelatihan, disiplin dan perilaku advokat sangat diperlukan atau kita akan terkucilkan dari pergaulan internasional, khususnya di bidang bisnis dan perdagangan internasional dan profesi hukum (legal profession). Kalau pemerintah tidak dapat menjamin penegakan hukum, maka para investor (asing) akan berpaling ke negara-negara tujuan investasi lain yang lebih menawarkan kepastian hukum dan Indonesia harus puas dengan hanya menjadi tujuan investasi sekunder. Pemerintah harus mampu menghilangkan stigma Indonesia sebagai negara yang tidak ramah terhadap arbitrase (arbitration unfriendly state). Peran Menteri Perdagangan, Ketua BKPM, Menko Perekonomian dan Menteri Hukum dan HAM RI sangat diharapkan dalam pembenahan bidang arbitrase perdagangan nasional dan internasional di Indonesia.



Putusan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atas sengketa kepemilikan TPI antara PT Berkah Karya Bersama (BKB) dengan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) otomatis menggugurkan putusan Mahkamah Agung (MA). Hal ini sesuai dengan perjanjian awal investasi, yaitu jika kedua pihak bersengketa akan diselesaikan di BANI sehingga pengadilan tidak berhak mengadilinya. Pakar hukum acara Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Ibnu Sina mengatakan adanya dua putusan mengenai sengketa kepemilikan TPI tidak perlu dibingungkan. Menurut dia, berdasarkan perjanjian investasi awal sudah seharusnya putusan BANI-lah yang digunakan. ”Putusan BANI yang digunakan karena memang klausul perjanjian awal investasi diselesaikan di BANI,” ujarnya. Seperti diketahui, sengketa kepemilikan saham TPI akhirnya berakhir. BANI memenangkan PT BKB dan menyatakan Tutut bersalah serta harus membayar kerugian Rp510 miliar. Putusan yang dibacakan hakim arbitrase Priyatna itu juga mengesahkan kepemilikan saham dari PT BKB yang kemudian dialihkan kepada PT MNC Tbk. ”Jadi BANI telah mengeluarkan putusan yang menyatakan kepemilikan saham 75% oleh PT Berkah yang kemudian dimiliki MNC Tbk sah,” kata kuasa hukum PT Berkah Andi Simangunsong seusai mengikuti sidang arbitrase beberapa waktu lalu. Dalam putusannya, BANI juga mengatakan Tutut telah beriktikad buruk dan melanggar perjanjian bisnis. Selain itu, hakim menghukum anak sulung mantan Presiden Soeharto tersebut untuk membayar kerugian kelebihan pembayaran yang pernah dibayarkan PT BKB. Putusan BANI ini berbeda dengan putusan MA yang memenangkan kubu Tutut. Diduga ada kejanggalan dalam putusan MA yang diketuai hakim agung M Saleh dan hakim anggota Hamdi dan Abdul Manan tersebut. Sebab langkah MA yang memutus kasus TPI tersebut kontroversial dan melanggar UU NO 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa karena kasusnya telah ditangani BANI. Apalagi kedua pihak yang bersengketa sejak awal telah bersepakat untuk menyelesaikan kasus TPI lewat jalur BANI sehingga pengadilan tak berhak mengadilinya. Lebih lanjut Ibnu Sina mengungkapkan adanya putusan BANI secara langsung akan membuat putusan MA tidak berlaku lagi. Dengan demikian tidak ada alasan bagi pihak yang bersengketa untuk tidak menjalankan putusan BANI.



KASUS ARBITRASE INTERNASIONAL ARBITRASE PERTAMINA DAN PT. LIRIK PETROLEUM



Uraian Kasus Pada tanggal 27 Februari 2009, arbitrator (dalam UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase menggunakan peristilahan “arbiter”) dari International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, Perancis, dalam final award memutuskan bahwa Pertamina dan Pertamina EP diharuskan membayar ganti rugi 34,49 juta dollar AS atau sekitar Rp 344,9 miliar kepada PT. Lirik Petroleum. PT. Lirik Petroleum adalah mitra Pertamina dalam pengelolaan lapangan Lirik lewat mekanisme badan operasi bersama atau join operating body (JOB) pada tahun 1995 Kasus ini berawal pada tahun 1995-1996 yang pada waktu itu Pertamina, selain bertindak sebagai “pemain”, juga sebagai Regulator (yang setelah keluarnya UU 20/2001 tentang Migas hingga saat ini dilakukan oleh BP Migas). Pada saat itu PT. Lirik Petroleum mengajukan rencana pengembangan (Plan of Development/POD) kepada Pertamina terhadap 4 lapangan minyak, yaitu North Pulai, South Pulai, Molek, dan Lirik. Dari keempat lapangan minyak tersebut, hanya Lirik yang menurut penilaian Pertamina komersial. Penentuan komersialitas ini perlu karena nantinya Pemerintah yang akan membayar cost recovery terhadap PT. Lirik Petroleum. Merasa dirugikan, PT. Lirik Petroleum mengajukan gugatan untuk meminta ganti kerugian karena hanya satu lapangan minyak yang disetujui oleh Pertamina ke arbitrase ICC di Paris, Perancis. Anita Kolopaking, Kuasa hukum lirik, menyatakan bahwa pemilihan ICC sebagai forum penyelesaian sengketa sesuai dengan ketentuan yang ada dalam kontrak. Proses pelaksanaan arbitrase pertama dan kedua dilaksanakan di Jakarta, dan yang ketiga dan selanjutnya dilaksanakan secara teleconference dan putusan arbitrasenya sendiri dilaksanakan oleh ICC yang berkedudukan di Paris. Arbitrase ICC telah membacakan partial award tertanggal 22 September 2008 dan final award tertanggal 27 Februari 2009 dalam perkara antara PT Lirik Petroleum dan PT Pertamina dan Pertamina EP. Dalam final award majelis arbitrase memutuskan, memerintahkan, dan menetapkan antara lain PT Pertamina dan Pertamina EP diwajibkan membayar ganti rugi total US$34.495.428 kepada PT Lirik Petroleum. Jumlah itu terdiri dari US$34.172.178 sebagai ganti rugi atas pelanggaran terhadap Enhanced Oil Recovery Contract, US$25.311.940 untuk masalah ditolaknya komersialitas atas 3 lapangan minyak yang lain, US$8.722.569 untuk masalah kegagalan jalur pipa, dan US$137.669 untuk masalah klaim dalam membayar, serta US$323.250 untuk biaya yang dikeluarkan PT Lirik Petroleum dalam proses arbitrase.



Pada tanggal 21 April 2009, atau hari ke 53 setelah putusan dibacakan, PT. Lirik Petroleum kemudian, melalui kuasa hukumnya, mendaftarkan putusan arbitrase tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar putusan arbitrase tersebut dapat dilaksanakan. Di pihak lain, yaitu Pertamina dan Pertamina EP, pada tanggal 11 Mei 2009 mengajukan pembatalan terhadap putusan arbitrase tersebut. Ketua Tim Kuasa hukum dari Pertamina dan Pertamina EP, M. Yahya Harahap, menyatakan bahwa pengajuan pembatalan putusan arbitrase dilakukan atas dasar putusan arbitrase itu bertentangan dengan ketertiban umum, melanggar asas ultra petita, mengandung cacat kontroversi, serta melanggar Pasal 59 (1) huruf a UU No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Putusan Indonesia, melalui dikeluarkannya Keppres No. 34 tahun 1981, telah menjadi anggota dalam Konvensi New York 1958 tentang Penerimaan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, yang mana atas dasar article 3 konvensi tersebut Indonesia harus menerima dan melaksanakan putusan arbitrase asing yang akan dilaksanakan atau dieksekusi di wilayahnya. Berdasarkan Pasal 66 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase maka ada beberapa syarat suatu putusan arbitrase asing/internasional dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia: 



Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. Indonesia dan Perancis, negara dimana putusan dijatuhkan, terikat dalam perjanjian multilateral yaitu pada konvensi New York 1958, yang mana Perancis telah meratifikasi konvensi tersebut pada 26 Juni 1958.







Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Putusan arbitrase dalam kasus ini merupakan putusan atas permohonan ganti rugi oleh PT. Lirik Petroleum dalam bidang kegiatan usaha hulu migas yang dalam klasifikasi hukum di Indonesia masuk dalam lingkup hukum perdagangan (commercial law)







Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Masalah ketertiban umum (Public Order/Public Policy) adalah sesuatu yang sudah cukup lama diperdebatkan oleh ahli hukum, khususnya dalam hukum perdata internasional. Tidak adanya ketentuan yang baku mengenai batas-batas suatu ketertiban umum selalu menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing secara tidak langsung memberikan definisi dari ketertiban umum di Indonesia yaitu sebagai sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia.



Yang menjadi pertanyaan adalah apakah sendi asasi itu? Sejauh apakah pelanggaran terhadap sendi-sendi asasi itu? Beberapa ahli hukum menyatakan bahwa dengan ditabraknya sendi asasi negara akan menimbulkan kegoncangan yang luar biasa hebat dari suatu negara. Adanya putusan arbitrase mengharuskan Pertamina dan Pertamina EP membayar ganti kerugian kepada PT. Lirik Petroleum tampaknya masih terlalu jauh untuk dikatakan sebagai putusan yang menggoncangkan ssendi-sendi asasi di Indonesia. 



Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada tanggal 21 April 2009 PT. Lirik Petroleum mengajukan permohonan untuk melaksanakan putusan arbitrase. Termohon yaitu Pertamina dan Pertamina EP berpendapat bahwa permohonan yang diajukan telah telah lewat waktu yaitu 53 hari dari 30 hari yang ditentukan berdasarkan Pasal 59 ayat (1) UU 30/1999 tentang Arbitrase. Memperhatikan penjelasan sebelumnya yang mana arbitrase ini dapat dikatakan merupakan arbitrase internasional maka pasal ini tidak berlaku dalam kasus ini, karena pasal 59 ayat (1) masuk ke dalam BAB IV Bagian Pertama dari UU 30/1999 tentang Arbitrase Nasional. Atas dasar hal tersebut maka arbitrase yang dimaksud dalam pasal 59 (1) adalah arbitrase nasional. Sehingga PT. Lirik Petroleum tidak terikat oleh pasal tersebut kapan mendaftarkan putusan arbitrase tersebut.







Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksankaan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini tidak melibatkan langsung Negara Republik Indonesia, karena Pertamina dan Pertamina adalah badan usaha yang menjalankan usahnya, walaupun dimiliki oleh negara dalam hal ini. Hal ini berbeda dengan kasus arbitrase yang terkait dengan proses divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara langsung berhadapan dengan Pemerintah Republik Indonesia.



Atas dasar telah memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 66 UU 30/1999 maka seharusnya putusan arbitrase dalam kasus ini dapat dilaksanakan dalam wilayah hukum Republik Indonesia. Pihak Pertamina dan Pertamina EP menyatakan bahwa akan mengajukan pembatalan atas dasar putusan arbitrase itu bertentangan dengan ketertiban umum, melanggar asas ultra petita, mengandung cacat kontroversi, serta melanggar Pasal 59 (1) huruf a UU No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Harus dibedakan mana yang pembatalan (annulment) dan penolakan (refusal), karena keduanya memiliki akibat hukum yang berbeda, pembatalan mengakibatkan hilangnya putusan tersebut sedangkan penolakan mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya putusan, tetapi putusan tersebut tetap ada. Sehingga pada dasarnya, langkah untuk mengajukan pembatalan adalah kurang tepat, karena PN Jakarta Pusat tidak memiliki kompetensi untuk memeriksan pengajuan pembatalan putusan arbitrase internasional atau apabila dianggap sebagai putusan arbitrase nasional, PN Jakarta Pusat juga tidak memiliki kompetensi untuk membatalkan.