Kasus Etika Dalam Praktik Akuntansi Manajemen Dan Akuntansi Keuangan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ETIKA PROFESI AKUNTAN



KASUS ETIKA DALAM PRAKTIK AKUNTANSI MANAJEMEN DAN AKUNTANSI KEUANGAN aa



DISUSUN OLEH: 1. Muh. Taufik Hidayat



A031181005



2. Andriyani Arifuddin



A031181007



3. Prisilia Angelina Tanwil



A031181027



4. Yudhistira Dwi Ardika



A031181338



5. Alfi Adelikend Palilu



A031181508



PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS HASANUDDIN 2020 BAB I



KASUS A. Gambaran Kasus PT. Indofarma (Persero) Tbk PT. Indofarma (Persero) Tbk merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berada di bawah Departemen Kesehatan. Indofarma memproduksi obat-obat esensial dan merupakan produsen obat generik berlogo terbesar di Indonesia. PT. Indofarma (Persero) Tbk sebagai suatu BUMN mempunyai fungsi antara lain sebagai berikut: 1. Menyelenggarakan kemanfaatan umum dibidang farmasi dalam arti yang seluasluasnya terutama dalam bidang pengadaan produk farmasi yang sangat diperlukan oleh sarana kesehatan pemerintah maupun masyarakat umum. 2. Mendapatkan keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan untuk membiayai serta mengembangkan perusahaan dan untuk disumbangkan bagi pembangunan nasional sesuai dengan kemampuan perusahaan. 3. Memperluas pemerataan penyediaan obat khususnya bagi masyarakat golongan menengah ke bawah. 4. Mencukupi kebutuhan obat yang dibutuhkan bagi Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah serta penyediaan obat di desa untuk mendukung Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU). 5. Sebagai Price Leader terhadap obat-obat yang beredar di masyarakat melalui program Obat Generik Berlogo. 6. Meningkatkan penerapan CPOB sebagaimana direkomendasikan oleh WHO sebagai hasil produksi berstandar internasional. Sepanjang perjalanannya, Indofarma sempat tersandung beberapa masalah, di antaranya : Kurun Waktu 2001-2003 Mengutip pada ringkasan kasus yang dibahas dari ranah hukum (Armein, Rizka Ardhianty, 2005), kasus Indofarma ini bermula saat perusahaan yang memproduksi 80% (delapan puluh persen) obat generik itu mengalami kerugian sebesar Rp 20,097 (dua puluh koma sembilan puluh tujuh) miliar pada akhir tahun 2002. Padahal hingga kuartal III tahun yang sama, laba bersih Indofarma mencapai Rp. 88,57 (delapan puluh delapan koma lima puluh tujuh) miliar. Kerugian ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kekeliruan yang dilakukan oleh manajemen pada tahun tahun sebelumnya yang pada akhirnya berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Sebenarnya kerugian ini dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu :



1. Faktor Eksternal a. Adanya perubahan regulasi pemerintah terkait penghapusan subsidi pengadaan obat generik dan penerapan Undang-Undang otonomi daerah yang mengharuskan tender pengadaan obat generik dilakukan secara desentralisasi di tingkat kabupaten atau kota.



b. Persaingan yang sangat ketat antar produsen obat. c. Kasus korupsi pengadaan alat kesehatan penyangga yang melibatkan direktur Indofarma. 2. Faktor Internal a. Pembelian alat kesehatan yang tidak laku dan menyebabkan stok mati (dead stock). Peningkatan persediaan tidak dilakukan berdasarkan perencanaan yang baik dan tidak didukung oleh kebutuhan atau daya serap pasar sehingga menyebabkan over stock yang terlalu lama hingga rusak. Ketika hal ini diketahui, perusahaan melakukan write off dan juga menyebabkan perusahaan mengalami kenaikan biaya yang diperhitungkan dalam cadangan penyisihan nilai persediaan. b. Komposisi portfolio produk bergantung pada obat generik di mana angkanya mencapai 80%. Penurunan penjualan generik akibat peubahan regulasi pemerintah dan kondisi pasar yang over supply selama tahun 2003 menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi Indofarma sendiri. c. Pengembangan obat yang tidak membuahkan hasil. d. Inefisiensi produksi akibat kapasitas menganggur (idle capacity). e. Adanya ekspansi dengan mendirikan anak perusahaan yaitu PT. Indofarma Global Medika (IGM) yang menjadi distributor bagi semua produk Indofarma. Investasi yang dibutuhkan cukup besar sementara harga produk yang telah ditentukan oleh pemerintah menyebabkan margin keuntungan perusahaan kecil. f. Beban usaha mengalami peningkatan sebesar Rp 183,88



miliar yang juga



mendorong meningkatnya kerugian ditambah dengan beban bungan pinjaman sebesar Rp 40,95



miliar. Beban usaha meningkat terkait dengan peraturan



pemerintah mengenai pencabutan subsidi pengadaan obat generik, sedangkan beban bunga pinjaman meningkat dikarenakan pembelian persediaan digunakan sebagai jaminan kepada Bank Mandiri untuk kredit modal kerja sebesar Rp 25



miliar dengan bunga sebesar 19% pada tahun 2002 dan dinaikan menjadi Rp 85miliar dengan bunga 19,5% di tahun 2003. Akibat terjadinya kerugian selama 2 (dua) tahun berturut-turut yaitu tahun 2002 dan 2003, BEJ menjatuhkan sanksi penghentian sementara perdagangan saham perusahaan farmasi tersebut sejak 25 Maret 2004. Oleh karenanya BEJ meminta agar manajemen Indofarma melakukan public expose untuk menjelaskan penyebab perseroan mengalami kerugian yang cukup besar pada tahun 2003 dan rencana penghapus bukuan persediaan kadaluwarsa. Pada tanggal 17 Mei 2004, BEJ mencabut suspen dan memperdagangkan kembali saham Indofarma. Hal ini dikarenakan pada tanggal 14 Mei 2004 manajemen Indofarma telah menyampaikan penegasan mengenai data Laporan Keuangan per 30 Juni 2003 dan per 30 September 2003. Selain itu pada 3 Mei 2004, Indofarma telah menyampaikan penjelasan sebagai tidak lanjut dengan pendapat yang dilakukan di BEJ tentang penghapusbukuan (write off). Atas kejadian tersebut Bapepam melakukan pemeriksaan dan ditemukan sejumlah bukti pelanggaran seperti nilai barang dalam proses dinilai lebih tinggi dari nilai seharusnya dalam penyajian persediaan (overstated) perseroan pada Laporan Keuangan tahun buku 2001. Perusahaan dalam Laporan Keuangan 2001 menyajikan nilai barang yang lebih tinggi dari seharusnya (overstated) dalam persediaan barang dalam proses senilai Rp 28,87 (dua puluh delapan koma delapan puluh tujuh) miliar. Overstated persediaan itu mempengaruhi hargapokok penjualan sehingga laba bersih mengalami penilaian lebih tinggi dengan nilai serupa Rp 28,87 (dua puluh delapan koma delapan puluh tujuh) miliar. Kurun Waktu 2005-2008 Kurun waktu 2005-2008 menjadi kurun waktu yang cukup lama terkait kasus korupsi jajaran direksi Indofarma dalam kaitannya tender kementerian kesehatan. Sampai dengan tahun 2011 pun masih disibukkan dalam agenda peradilan kasus terkait. Cuplikan dalam media merdeka, mantan Direktur Pemasaran PT Indofarma Tbk, Muhammad Naguib dituntut hukuman pidana penjara selama 3 tahun dan denda Rp 500 juta dengan subsider tiga bulan kurungan oleh jaksa penuntut umum. Dalam tuntutannya, JPU menilai Naguib terbukti menyalahgunakan kewenangannya sehingga menyebabkan kerugian negara dan



disertai adanya keuntungan korporasi dan orang lain dalam proyek pengadaan alat kesehatan untuk penanggulangan bencana di Kementerian Kesehatan tahun anggaran 2005. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi, mengirimkan harga penawaran dengan menaikkan terlebih dahulu sekitar 12-15 persen dari harga sebenarnya. Alhasil, PT Indofarma diuntungkan sebesar Rp 1,8 miliar dan PT Mitra Medidua menerima keuntungan sebesar Rp 4,4 miliar. Namun, negara dirugikan sekitar Rp 6,2 miliar dari total pengadaan sebesar Rp 15,2 miliar. Tidak berfokus pada permasalahan hukum yang ada, penulis memfokuskan pada perlakukan Indofarma yang menggunakan keuangan persero untuk membiayai kegiatan bantuan hukum bagi pejabat yang terlibat kasus korupsi. Catatan buku besar perusahaan menunjukkan adanya pembayaran Uang Muka Konsultan Hukum Tahun 2008 sebesar Rp 3,8 miliar. PT INAF menunjuk Konsultan Hukum Sulistio Anggraeni & Associates Law Firm (SAA) untuk memberikan jasa pelayanan hukum tetap bagi kepentingan PT INAF sesuai perjanjian No.001/Indofarma-SAA/I/2008 tanggal 8 Januari 2008 berlaku sampai dengan 8 Januari 2009. Kemudian diperpanjang dengan perjanjian No.002/Indofarma– SAA/I/2009 tanggal 19 Januari 2009 berlaku sampai dengan 19 Januari 2010. Dari hasil pemeriksaan atas pengeluaran biaya jasa bantuan hukum kepada SAA, diketahui pengeluaran minimal sebesar Rp 1,7 miliar untuk kepentingan pegawai yang telah menjadi terdakwa dalam kasus korupsi, belum dibuatkan perjanjian kesanggupan untuk menggantinya. B. Gambaran Kasus PT. Asian Agri Group PT. Asian Agri Group merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit, cokelat dan karet yang memilik lahan 150 ribu hektar. Perusahaan tersebut pada awal tahun 2007 diduga telah melakukan transfer pricing. Berawal dari kejahatan yang dilakukan oleh Vincentius Amin Sutanto dalam melakukan penggelapan uang perusahaan senilai US$3,1 juta dengan cara membuat surat fiktif perintah transfer ke bank Fortis (Singapura) berasal dari rekening Asian Agri Abadi Oils & Facts Ltd (Britis Virgin Island) di bank itu. Merasa terancam oleh pemilik perusahaan karena perbuatannya, kemudian Vicentius menyebarkan informasi bahwa telah terjadi upaya bertahun-tahun dari kelompok usaha



Raja Garuda Mas untuk memanipulasi pembayaran pajak ke negara. Jumlahnya tak kecil, jika ditotal sejak 2002, konon jumlah pajak yang tak dibayarkan mencapai sekitar Rp 1,1 Triliun. Angka ini didapat dari perhitungan jumlah pajak penghasilan (PPh) badan Asian Agri sebesar 30% dari profit perusahaan yang sengaja ditransfer ke luar negeri. Manipulasi pajak dilakukan lewat transfer keuntungan ke perusahaan afiliasi Asian Agri diluar negeri seperti Hongkong, British Virgin Island, Makao dan Mauritius dengan menggunakan tiga pola, yaitu: pembuatan biaya fiktif, transaksi hedging fiktif dan transfer pricing. Langkah yang paling sering digunakan oleh PT Asian Agri adalah dengan mengenakan biaya fiktif lengkap dengan bon-bon fiktif untuk kepentingan auditor. Setiap tahunnya, jumlah biaya fiktif ini mencapai US$10-20 juta. Mekanisme lain adalah melalui mekanisme transfer pricing. Yaitu menjual produk ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga rendah, sebelum menjualnya kembali ke pembeli rill dengan harga pasar sesungguhnya. 1. Biaya Fiktif Modusnya adalah dibuat berbagai jenis biaya fiktif di belasan anak perusahaan asian agri group yang disebut biaya Jakarta (pembuatan jalan, pembersihan rumput, kontraktor dll). Biaya kenyataannya tak dibayar tapi disetorkan ke rekening pribadi atas nama Haryanto Wisatra/Eddy Lukas (Harrel) dan Eddy Lukas/Djoko Oetomo (Eldo). Selanjutnya ditransfer ke perusahaan investasi (offshore company) di luar negeri. 2. Transfer Pricing Transaksi dibuat sedemikian rupa (perusahaan Indonesia jual di harga rendah dan beli di harga tinggi, sebaliknya perusahaan asing jual di harga tinggi dan beli di harga rendah). Sehingga perusahaan Indonesia selalu rugi dan perusahaan luar negeri selalu untung. Akibatnya ada transfer uang dari perusahaan Indonesia ke luar negeri. Contoh transaksi yang dilakukan antara lain: Transaksi 1 PT Inti Indosawit Subur menjual 3.500,34 metrikton CPO ke Twin Bonus Edible Oil & Facts Ltd (Hongkong) seharga US$370/MT atau senilai total US$ 1.295.125,8 (invoiceNo.10018/I/10/02/04). Twin Bonus menjual CPO itu ke Global Advence (Makao) seharga US$ 375/MT atau senilai total US$ 1.303.876,65 (invoice Nomor 101051908, twin-I). Keuntungan yang dibukukan US$ 8.750,85.



Global Advance (Makao) kemudian menjual CPO itu ke M/s Manickam Enterprise (India) dengan harga US$ 445/MT atau senilai total US$ 1.555.901,13 (invoce No.GAO/310/16/03210101). Keuntungan yang dibukukan sebesar US$ 265.024,48. Transaksi 2 PT Supra Matra Abadi menjual 2.500 MT palm Kernel oil (PKO) ke Twin Bonus Edible oil & Facts Ltd (Hongkong) dengan harga US$460/MT atau senilai total US$ 1.150.000 (invoiceNo.09602/I/21/14/05). Twin Bonus kemudian menjual PKO tersebut ke Asian Agri Abadi Oil & Fats Ltd (BVI) dengan harga US$ 462,5 /MT atau senilai total US$ 1.156.250 (invoice No.09138005 Twin-I). keuntungan yang dibukukan US$ 6.250. AAAOF (BFI) kemudian menjual PKO ke Palmaco Oil Mill Sdn Bhd (Malaysia) seharga US$ 535 /MT atau senilai total US$ 1.310.750 (invice No.10001/I/95/14/05). Keuntungan yang dibukukan US$ 154.500.



Untuk



melakukan berbagai transaksi ke luar negeri, didirikan perusahaan di



Hongkong, British Virgin Island , dan Makao yang diduga fiktif dikarenakan: a. Di perusahaan Hongkong hanya ditempatkan staf penerima telepon, nomor telepon berbeda-beda tetapi nomor faksimili sama menggunakan hunting line east gade Ltd di 2701 Glouceste Tower the Landmark Hongkong. b. Pemegang otoritas tanda tangan rekening bank perusahaan di Hongkong dan Makao sama Dari laporan audit di Hongkong diketahui sebelum 2004, perusahaan-perusahaan itu non aktif. Padahal laporan Asian Agri Group dilaporkan hampir semua ekspor CPO dijual ke perusahaan Hongkong, diduga ini transaksi sepihak yang tidak dilaporkan di Hongkong.



BAB II PEMBAHASAN A. PT. Indofarma (Persero) Tbk Diawali dengan melihat tinjauan keuangan kurun waktu 1999-2003, kondisi perusahaan memiliki growth sales yang sangat baik akan tetapi pencapaian yang baik tidak diimbangi oleh laba yang dihasilkan. Terbukti adanya kerugian yang sangat ekstrim di periode 2002-2003 yang tak luput sebagai akibat kesalahan-kesalahan direksi dalam pelaporan keuangannya.



Sebut saja, overstated pada penilaian persediaan barang “work in process”. Kejadian ini merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan Pasar Modal (UUPM dan peraturan Bapepam) dan Pedoman Standar Akuntan Akuntansi Keuangan (PSAK). Berdasarkan peraturan Bapepam Nomor VIII.G7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan yang bertanggung jawab dalam penyajian Laporan Keuangan adalah manajemen dari Emiten atau Perusahaan Publik (Direksi). Oleh karenanya tindakan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab dari Direksi yang menjabat pada saat Laporan Keuangan tersebut dikeluarkan.



Sanksi yang diberikan oleh Bapepam merupakan kewajiban dari Direksi yang menjabat pada waktu itu secara bersama-sama (tanggung renteng). Tidak jelas apa yang menjadi latar belakang dari Bapepam hanya memberikan sanksi administratif berupa membayar denda pada kasus ini. Dalam press release-nya, Bapepam hanya menyebutkan bahwa telah terjadi penilaian barang yang lebih tinggi dari harga seharusnya. Dengan demikian tidak diketahui apakah tindakan tersebut merupakan suatu kesengajaan atau tidak dari manajemen untuk memberikan Laporan Keuangan dengan kinerja yang bagus kepada publik. Sehingga publik akan menanamkan atau tidak modalnya terhadap perusahaan farmasi tersebut. Kalau tindakan ini merupakan satu hal yang disengaja dan diketahui oleh manajemen Indofarma jelas merupakan suatu kejahatan di Pasar Modal. B. PT. Asian Agri Group Berbicara mengenai transfer pricing, secara Standar Akuntansi Keuangan hanya didasarkan pada PSAK no 7 mengenai “Pengungkapan Pihak-Pihak Berelasi” ataupun IAS 24 terkait “Related Parties Disclosure”. Akan tetapi, di Indonesia tidak hanya IAI saja yang mengeluarkan aturan dalam kaitannya transfer pricing, melainkan peraturan perpajakan turut mengaturnya, seperti berikut ini: 1. Undang-Undang no. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo. Undang-Undang no. 36 tahun 2008, pasal 18 ayat (4) terkait hubungan istimewa. 2. Pasal 18 ayat (3a) UU PPh, mengatur tentang kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement/APA) , yaitu kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihakpihak yang mempunyai hubungan istimewa. Keuntungan dari kesepakatan ini adalah memberi kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak serta tidak dilakukan koreksi bagi Wajib Pajak yang melakukan kesepakatan. 3. Kewajiban dokumen, pelaporan dan pembukuan transfer pricing (PP 80 Tahun 2007 Pasal 16 ayat (2) , Pasal 19 PER 43/PJ/2010) 4. Perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty), melakukan pertukaran informasi dan melakukan renegosiasi tax treaty. 5. Pemeriksaan transfer pricing, pedoman khusus pemeriksaan transfer pricing: Surat Edaran Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Nomor : S-153/PJ.04/2010 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-04/PJ.7/1993. 6. PER-43/PJ/2010, penerapan prinsip kewajaran dan kewajiban usaha (arm’s length price) karena penentuan harga tidak wajar dengan melakukan analisis kesebandingan,



menentukan metode transfer pricing yang tepat dan keharusan mendokumentasikan serta menyimpan buku dan catatan. C. Kaitan Dengan Kode Etik Profesi Akuntan Dari pembahasan kedua kasus tersebut, dapat dilihat bahwa sebenarnya masingmasing permasalahan telah memiliki peraturan yang jelas dalam pengaturannya. Seharusnya, perusahaan-peraturan terkait menggunakan peraturan tersebut menjadi dasar bagi perusahaan dalam menjalankan bisnisnya. Akan tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Di dalam kasus yang terjadi, peran akuntan di dalam perusahaan sangat nyata bahwa mereka juga turut ambil bagian pada operasi perusahaan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh seorang akuntan seperti terdapat di dalam Kode Etik Profesi Akuntansi berdasar pada IFAC bagian 100.5. Prinsip tersebut mencakup integritas, objektivitas, kompetensi serta kecermatan dan kehati-hatian, kerahasiaan, dan sikap profesional. Akan tetapi dalam kedua kasus tersebut, akuntan perusahaan banyak melanggar prinsip dasarnya. Prinsip integritas dimana seharusnya akuntan tegas dan jujur dalam melaksanakan profesinya, jelas dilanggar ketika perusahaan menyajikan laporan keuangannya tidak dalam kondisi yang sebenarnya. Baik penyajian overstated dalam laporan keuangan Indofarma, dan transfer pricing yang tidak seharusnya pada kasus Asian Agri. Akuntan perusahaan di dalam kasus juga jelas kurang objektif dan tidak berhati-hati. Prinsip profesional nyata bahwa dilanggar oleh akuntan melihat peraturan terkait penyajian menyangkut permasalahan dalam kasus telah diatur pada peraturan yang berlaku. Kode etik untuk profesi akuntan di dalam perusahaan secara khusus, dapat dilihat pada IFAC bagian C yang mengatur mengenai Akuntan Profesional di dalam Bisnis. Pada bagian 300.5 telah disebutkan, seharusnya akuntan di dalam perusahaan mendorong menciptakan budaya kerja yang berdasarkan etika profesi. Di mana lebih lanjut disebutkan pada bagian 300.6, akuntan tidak boleh dengan secara sengaja merusak integritas, objektivitas, atau reputasi profesi sehingga menjadi tidak sejalan dengan prinsip dasar etika profesi. Namun di dalam kasus ini, akuntan di dalam masing-masing perusahaan telah melanggar prinsip dasar ini sejak awal, sehingga mereka menjadi bagian yang berperan di dalam kasus yang dihadapi oleh perusahaan dan tidak dapat membangun budaya kerja yang beretika di dalam perusahaan.



Ketika menemui suatu permasalahan terkait etika di dalam perusahaan, seharusnya akuntan baik secara individu maupun bersama – sama dengan koleganya, baik secara formal maupun tidak formal, wajib untuk mempertimbangkan banyak faktor dalam kaitan penyelesaian permasalahan etika yang ada di perusahaan. Dan apabila dalam penyelesaiannya tetap tidak menemukan jalan keluar, maka sebaiknya akuntan berkonsultasi dengan perusahaan atau bahkan meminta nasihat profesional dari organisasi profesi yang relevan bahkan penasihat hukum tanpa mengabaikan prinsip kerahasiaan sesuai dengan yang telah diatur pada IFAC bagian 100.17 hingga 100.22. Meskipun demikian, akuntan perusahaan mungkin menghadapi ancaman intimidasi dimana ada tekanan bahwa akuntan perusahaan bekerja untuk perusahaan sehingga obyektifitasnya terpengaruhi. Hal ini yang menjadi tantangan bagi akuntan internal perusahaan, terutama akuntan yang terlibat di dalam perusahaan yang memiliki kasus seperti Indofarma dan Asian Agri yang diangkat oleh penulis. Lebih lanjut untuk akuntan di dalam perusahaan telah di atur di dalam bagian 300.13 hingga 300.15, dan bahkan pada bagian 300.15 di sebutkan bahwa apabila situasi memang sangat tidak memungkinkan untuk penyelesaian permasalahan yang sesuai dengan etika, maka sebaiknya akuntan profesional memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan terkait. Pada 320.3 disebutkan bahwa akuntan profesional dalam menyajikan informasi wajib untuk : 1. Mengungkapkan secara jelas, jenis aset, kewajiban, serta transaksi bisnis yang terjadi, 2. Mencatat dan mengklasifikasikan informasi secara benar dan tepat waktu, 3. Menyajikan semua fakta yang material, secara akurat dan lengkap. Pada kasus yang terjadi, akuntan profesional di dalam perusahaan tidak melakukan halhal ini. Meskipun ada ancaman yang signifikan, seharusnya akuntan melepaskan diri dari permasalahan tersebut.



BAB III PENUTUP Kesimpulan Permasalahan etika terkait akuntansi keuangan dan akuntansi manajemen melibatkan pihak akuntan profesional di dalam internal perusahaan. Kode Etik untuk akuntan yang bergerak pada bidang ini terdapat di dalam IFAC bagian C. Akuntan yang berada di dalam internal perusahaan tentunya sangat berperan di dalam budaya kerja perusahaan, bahakan disebutkan pula bahwa seharusnya akuntan di dalam perusahaan bergerak aktif untuk mendorong pembangunan budaya kerja yang memegang etika di dalam perusahaan. Akan tetapi akuntan profesional tidak terlepas dari ancaman yang ada dengan bekerja di dalam perusahaan. Akuntan profesional yang bekerja di dalam lingkungan internal perusahaan juga memikul beban berat untuk memegang teguh prinsip dasar etika dan juga independensinya. Apabila akuntan tidak dapat melakukannya, maka akuntan akan dapat dengan mudah terlibat di dalam permasalahan yang ada pada perusahaan.