Kasus Fobia Kucing [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Saya mengambil hasil penelitian ini dari skripsi peneliti, Yuni Rosita, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul skripsinya “PELAKSANAAN KONSELING BEHAVIORAL DALAM MENGATASI PHOBIA KUCING SEORANG KLIEN DI RASAMALA 2 MENTENG DALAM TEBET JAKARTA SELATAN.” Awal pertama kali subjek terkena fobia kucing, ia berusia kurang lebih 2 tahun. Ia mengalami peristiwa traumatik di usia tersebut ketika seekor kucing melompati wajahnya. Pada saat fobia menerpa, ciri-ciri fisik yang timbul dari subjek adalah takut dan langsung lari jika bertemu dengan kucing walaupun dalam jarak yang cukup jauh. Fobia subjek terhadap kucing tidak pada keseluruhan dari tubuh kucing itu, melainkan hanya pada bagian-bagian tertentu saja, yaitu bulu dan kuku. Keadaan subjek sebelum diberikan konseling adalah subjek merasa fobia terhadap kucing, baik dalam bentuk asli maupun dalam bentuk gambar, baik dari jauh apalagi dekat, sehingga subjek sama sekali tidak dapat melakukan kontak dengan kucing baik dalam bentuk sebenarnya maupun dalam gambar. Peneliti membagi tahapan konseling dalam lima tahap, dimana pada tiga tahapan awal peneliti membentuk hubungan dengan subjek dan menentukan tujuan juga mengeksplorasi pilihan konseling pada subjek. Pada tahap konseling keempat, peneliti menangani masalah subjek dengan teknik mengubah perilaku (behavioral modivication), desensitisasi sistematis yang ada pada tahap ini yang dilakukan beberapa kali. Dalam prosedur ini peneliti mendapatkan daftar stimulus yang membangkitkan kecemasan dari klien seperti lima poin dibawah ini yang dilakukan pada subjek. 1. Menonton Kucing (Kartun dan Film Dokumenter) Setelah pada pertemuan pertama peneliti menjelaskan kucing bukan hewan peliharaan yang berbahaya, di pertemuan selanjutnya peneliti mengajak subjek menonton kartun tentang kucing. Subjek pun tidak menunjukkan adanya ciri-ciri fisik, behavioural, dan kognitif yang timbul. Lalu, di pertemuan ketiga peneliti mengajak subjek menonton film dokumenter tentang kucing, subjek pun mulai terlihat gelisah, gugup, tangan dan kakinya gemetar, banyak berkeringat, telapak tangan yang berkeringat, dan mengadukan ke peneliti bahwa ia merasa pening, lalu meminta izin pulang ke rumah. Setelah pertemua ketiga, subjek masih merasa belum nyaman. Pada pertemuan ini peneliti hanya menanyakan tentang apa yang dipikirkan subjek, lalu memberikan pengertian bahwa hal-hal yang dikhawatirkannya tidak mencederai dirinya maupun menyakitinya. Pada pertemuan selanjutnya, subjek masih tidak mau diajak untuk menonton kembali, sehingga peneliti meyakinkan subjek bahwa menonton dari tv tidak membahayakan dirinya. Subjek pun akhirnya setuju, tetapi tidak dilakukan dalam waktu dekat. Dua minggu kemudian, subjek kembali menonton dengan



peneliti memeluk dirinya saat ia menonton untuk memberi rasa aman. Selama film ditayangkan peneliti masih melihat ciri-ciri fisik masih dialami oleh subjek walaupun subjek tidak merasa pening. Peneliti kemudian mengakhiri film pada pertengahan, karena melihat subjek yang mulai menunjukkan gejala-gejala untuk menghindar dan pulang ke rumah.



2. Bermain Boneka Kucing Peneliti mulai mencoba menghilangkan rasa cemas dan takut subjek yang masih ada saat menonton film dokumenter kucing tersebut dengan melakukan pengalihan dengan melakukan wawancara mengenai persoalan kucing. Peneliti menanyakan apakah suatu saat subjek mau mempunyai peliharaan seperti kucing? Pertemuan ini diselingi dengan bermain-main boneka-boneka kucing. Peneliti melihat tidak ada ciri-ciri fisik fobia yang timbul ketika subjek bermain dengan boneka kucing yang dipegangnya. Setelah adanya pengalihan, di pertemuan selanjutnya peneliti kembali mencoba mengajak subjek menonton film dokumenter kucing tersebut. Peneliti melihat ciri-ciri fisik yang timbul hanya keringat yang keluar dari tangan. Pada pertemuan selanjutnya, peneliti mewawancarai subjek mengenai apa yang dirasakan ketika menonton film dokumenter tentang kucing pada hari kemarin. Subjek pun menjawab bahwa ia merasa nyaman walaupun masih merasa ada ketakutan.



3. Melihat Kucing Secara Langsung Pada pertemuan selanjutnya, peneliti membawa seekor anak kucing dan mengelus bulu-bulunya. Subjek hanya memperhatikan peneliti dari jarak 2 meter dan kemudian ciri-ciri fisik kembali timbul sampai muncul rasa pening dan subjek menghindar dengan kembali ke rumahnya. Peneliti pun mengulang kembali pada pertemuan selanjutnya. Namun, jarak subjek dengan objek fobianya berjarak jauh, yaitu 5 meter. Peneliti menanyakan kepada subjek apa ia merasa pening, subjek menjawab tidak, tetapi tangannya berkeringat. Peneliti terus meyakinkan subjek bahwa kucing bukan hewan yang membahayakan manusia. Subjek masih terlihat ragu dan masih menjaga jarak. Pada pertemuan selanjutnya, peneliti masih kembali melakukan hal yang sama seperti pertemuan sebelumnya, namun jarak subjek dengan objek fobia di dekatkan pada jarak 2 meter. Kali ini, peneliti kembali melihat munculnya ciri-ciri fisik fobia, namun rasa pening tidak dialami subjek.



4. Menyentuh Bulu Kucing Dengan Perantara



Pada pertemuan ini, peneliti memberikan tongkat dan kemudian meminta subjek untuk menyentuh bulu dari kucing yang peneliti pegang dengan tongkat tersebut. Subjek tanpa ragu- ragu memegang tongkat sambil dituntun tongkatnya oleh peneliti, kemudian dilepaskan oleh peneliti ketika mulai menyentuh bulu kucing tersebut. Subjek tampak gugup dan berkeringat, tetapi kemudian ia mulai terbiasa dan terlihat kegugupan serta keringatnya mulai berkurang. Pada pertemuan selanjutnya, peneliti mulai menuntun tangan subjek yang dilapisi sarung tangan untuk menyentuh bulu kucing. Sempat terlihat ciri-ciri fisik fobia yang keluar walaupun tidak timbul rasa pening. Peneliti masih kembali mengulang seperti di pertemuan keempat belas (menyentuh bulu kucing dengan sarung), dan kali ini subjek mulai tenang dan menikmati. Pada pertemuan keenam belas, peneliti melakukan wawancara dengan subjek mengenai apa yang dirasakan ketika berinteraksi dengan objek fobianya walaupun tidak langsung. subjek menjawab bahwa ia mulai merasa berkurang rasa takutnya dibanding pada waktu sebelum konseling. Peneliti kemudian menyatakan bahwa pada pertemuan ketujuh belas, ia bersama peneliti akan bersentuhan dengan objek fobianya secara langsung tanpa adanya perantara. Peneliti kemudian menanyakan kepada subjek apakah ia bersedia? Agak lama, subjek kemudian menjawab bahwa ia bersedia.



5. Menyentuh Bulu Kucing Tanpa Perantara Untuk pertama kalinya subjek memegang bulu kucing tanpa harus memakai perantara, baik tongkat maupun sarung tangan. Pada awalnya, peneliti masih memegang tangan subjek. Peneliti melihat masih ada ciri-ciri fisik fobia yang keluar dari subjek walaupun tidak timbul rasa pening. Peneliti melihat subjek sangat gugup dan merasakan tangan subjek berkeringat cukup banyak. Peneliti meyakinkan subjek untuk merasa rileks saja saat menyentuh dan mengelus kucing. Sekitar setengah jam berlalu, peneliti melihat subjek mulai sedikit menikmatinya walaupun terlihat masih gugup dan tangan masih banyak mengeluarkan keringat. Peneliti kemudian mengakhiri pertemuan. Pada pertemuan kedelapan belas, peneliti melakukan wawancara dengan subjek dan menanyakan perasaan yang dialaminya saat menyentuh bulu kucing secara langsung. Subjek menjawab bahwa ia merasa takut dan masih khawatir saat mengelus bulu kucing walaupun ketakutan dan kekhawatiran tersebut mulai berkurang. Pada pertemuan kesembilan belas, peneliti kembali mengajak subjek untuk mengelus bulu kucing secara langsung. Kali ini, peneliti tidak menuntun tangannya tetapi masih tetap memegang kucingnya. Subjek masih belum bereaksi, ia terdiam beberapa saat. Peneliti memberikan isyarat kepadanya agar segera menyentuhnya, setelah menyentuh bulu kucing tersebut peneliti langsung



menghentikannya. Peneliti kemudian mewawancarai subjek, dan subjek menjawab ia mulai bisa menikmatinya. Pada pertemuan selanjutnya, peneliti masih kembali mengajak subjek untuk mengelus bulu kucing secara langsung tanpa dituntun. Kali subjek menyentuhnya selama kurang lebih setengah jam walaupun kucing masih dipegang peneliti. Tidak ada ciri-ciri fisik yang keluar selain terlihat masih ada kegugupan dan keringat masih keluar dari telapak tangannya. Peneliti kemudian menghentikan pertemuan. Pada pertemuan kali ini, peneliti meminta subjek mengelus bulu kepala kucing yang sedang tidur. Subjek tampak gugup dan terlihat ragu. Kemudian peneliti memberikan peragaan kepada subjek dan menuntun tangan subjek untuk menyentuh bulu kepala kucing tersebut. Peneliti masih melihat keringat keluar dari telapak tangannya dan terlihat subjek masih gugup. Baru saja tangan saja menyentuh bulu kepala kucing yang sedang tertidur, peneliti menghentikannya. Untuk pertemuan terakhir, peneliti memberikan jeda waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar satu minggu dari pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan ini, peneliti menanyakan mengenai apa yang dirasakan subjek ketika menyentuh bulu kepala kucing yang sedang tertidur. Subjek menjawab bahwa ada sedikit kecemasan, ketakutan, dan gugup, tetapi ketika melihat peneliti begitu menikmati dan dapat melakukannya, ia pun mencoba untuk menghilangkan rasa kecemasan, ketakutan, dan gugupnya. Pada pertemuan ini, peneliti menyatakan kepada subjek bahwa ia akan sembuh dari rasa fobia terhadap kucing jika dapat menyentuh langsung bulu kepala dari kucing yang sedang tidur dengan waktu yang cukup lama, yaitu seperempat jam. Kemudian subjek perlahan-lahan mulai menyentuh bulu kepala kucing dan ia pun mulai mengelusnya sampai seperempat jam. Peneliti hanya melihat subjek sedikit gugup dan tangannya sedikit berkeringat.



Pada tahap kelima, peneliti menyatakan kepada subjek bahwa ia telah berhasil menghilangkan fobia kucing walau masih belum penuh. Peneliti kemudian mengakhiri konselingnya dengan menyarankan agar ia mulai akrab untuk bermain-main dengan kucing walau rasa ketakutan masih tetap ada.



Sumber: Rosita, Yulia. 2008. “Pelaksanaan Konseling Behavioral Dalam Mengatasi Phobia Kucing Seorang Klien Di Rasamala 2 Menteng Dalam Tebet Jakarta Selatan”. Skripsi. Fakultas Dakwah Dan Komunikasi. UIN Syarif Hidayatullah: Jakarta