Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT Kimia Farma Kel. 9 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KASUS MANIPULASI LAPORAN KEUANGAN PT. Kimia Farma Tbk.



Disusun oleh : KELOMPOK 9 1. DIVLA A. C. FAAH (1810020062) 2. ALAN D. TAMEON (1810020059) Kelas : 5B PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS NUSA CENDANA KOTA KUPANG 2020



KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. karena telah melimpahkan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Makalah ini kami buat dengan segala kekurangannya, namun dikandung harapan sebagai bahan pembelajaran karena masalah yang akan di bahas dalam makalah ini mengenai “Kasus Manipulasi Laporan Keuangan di Indonesia yaitu PT. Kimia Farma Tbk.” Karya ini bertujuan untuk memenuhi tugas akhir semester mata kuliah Teori Akuntansi. Demikian yang dapat kami sampaikan, ada pun kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang kiranya membangun sebagai bahan masukan kami dalam menyusun makalah selanjutnya. Dan kami mohon maaf apabila dalam membuat makalah ini terdapat kekurangan, karena kami menyadari, bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Dan tak lupa pula kami ucapkan terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.



Kupang, Desember  2020



Penyusun             



       



Daftar Isi Kata Pengantar.........................................................................................................................  Daftar isi...................................................................................................................................  BAB I Pendahuluan.................................................................................................................  1.1  Latar Belakang......................................................................................................  1.2  Rumusan Masalah.................................................................................................  1.3  Tujuan....................................................................................................................  BAB II Pembahasan.......................................................................................................           2.1 Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT.Kimia Farma Tbk...............................  2.3  Kronolosi Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT.Kimia Farma Tbk..............  2.3 Analisis Kasus dari Sisi Etika Profesi..................................................................  2.4 Langkah-langkah yang diambil agar kasus tidak terulang.................................   BAB III Penutup............................................................................................................ ......   3.1 Simpulan..................................................................................................... ......   3.2 Saran..................................................................................................................  Daftar Pustaka.......................................................................................................................... 



BAB I PENDAHULUAN



1.1    Latar Belakang Pada awalnya Kimia Farma adalah perusahaan industri farmasi pertama di Indonesia yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1817. Nama Kimia Farma pada awalnya adalah NV Chemicalien Handle Rathkamp & Co. Berdasarkan kebijaksanaan nasionalisasi atas eks perusahaan Belanda di masa awal kemerdekaan, pada tahun 1958, Pemerintah Republik Indonesia melakukan penyatuan sejumlah perusahaan farmasi menjadi PNF (Perusahaan Negara Farmasi) Bhinneka Kimia Farma. Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1971, bentuk badan hukum PNF diubah menjadi Perseroan Terbatas, sehingga nama perusahaan berubah menjadi PT Kimia Farma (Persero). Pada tanggal 4 Juli 2001, PT Kimia Farma (Persero) kembali mengubah statusnya menjadi perusahaan publik, PT Kimia Farma (Persero) Tbk, dalam penulisan berikutnya disebut Perseroan. Bersamaan dengan perubahan tersebut, Perseroan telah dicatatkan pada Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (sekarang kedua bursa telah merger dan kini bernama Bursa Efek Indonesia). Dengan pengalaman selama puluhan tahun Kimia Farma  Perseroan telah berkembang menjadi perusahaan dengan pelayanan kesehatan terintegrasi dan terpercaya  di Indonesia. Kimia Farma Perseroan kian diperhitungkan kiprahnya dalam pengembangan dan pembangunan bangsa, khususnya pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku



yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar. Aktivitas manipulasi pencatatan laporan keungan yang dilakukan manajemen tidak terlepas dari bantuan akuntan. Akuntan yang melakukan hal tersebut memberikan informasi yang menyebabkan pemakai laporan keuangan tidak menerima informasi yang fair. Akuntan sudah melanggar etika profesinya.



1.2    Rumusan Masalah 1.    Bagaimanakah kronologi terjadinya kasus manipulasi laporan keuangan PT.Kimia Farma Tbk.? 2.    Apa langkah-langkah yang harus dilakukan agar kasus serupa tidak terulang ?



1.3    Tujuan 1.    Untuk mengetahui dan memahami kronologi terjadinya kasus manipulasi laporan keuangan PT.Kimia Farma Tbk. 2.    Dapat merumuskan langkah-langkah yang yang harus dilakukan agar kasus serupa tidak terulang



BAB II PEMBAHASAN



1. Sejarah Kimia Farma Kimia Farma adalah perusahaan industri farmasi pertama di Indonesia yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1817. Nama perusahaan ini pada awalnya adalah NV Chemicalien



Handle



Rathkamp



&



Co.



pada tahun



1958,



Pemerintah



Republik



Indonesia melakukan peleburan sejumlah perusahaan farmasi menjadi PNF (Perusahaan Negara Farmasi) Bhinneka Kimia Farma. Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1971, bentuk badan hukum PNF diubah menjadi Perseroan Terbatas, sehingga nama perusahaan berubah menjadi PT Kimia Farma (Persero). Sejak tanggal 4 Juli 2001 Kimia Farma tercatat sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Berbekal tradisi industri yang panjang selama lebih dari 187 tahun dan nama yang identik dengan mutu, hari ini Kimia Farma telah berkembang menjadi sebuah perusahaan pelayanan kesehatan utama di Indonesia yang kian memainkan peranan penting dalam pengembangan dan pembangunan bangsa dan masyarakat. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mewujudkan prinsip-prinsip good corporate governance guna memperbaiki kinerja perusahaan, khususnya BUMN di Indonesia adalah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP117/M-MBU/2002, tentang Penerapan Praktik good corporate governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pasal 2 yang mewajibkan BUMN menerapkan good corporate governance secara konsisten.



2. Gambaran Kasus tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Sehingga KAP yang mengaudit diminta untuk melakukan audit ulang. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan Pembahasan Dari Sisi Akuntan Publik cukup mendasar.



3. Kronologis LK per 31 Desember 2001 tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar. Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selanjutnya, diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang menyatakan bahwa Kementrian BUMN memutuskan penghentian proses disvestasi saham milik Pemerintah di PT KAEF setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated) dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002. Dimana tindakan ini terbukti melanggar Peraturan Bapepam No. VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan poin 2 – khusus huruf M – Perubahan Akuntansi dan Kesalahan Mendasar, poin 3) Kesalahan Mendasar, sebagai berikut :



“Kesalahan mendasar mungkin timbul dari kesalahan perhitungan matematis, kesalahan dalam penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan interpretasi fakta dan kecurangan atau kelalaian.” Pihak



Bapepam



selaku



pengawas



tentang kasus PT.Kimia Farma. Dalamrangka



pasar



modal



mengungkapkan



restrukturisasi PT.Kimia Farma



Tbk,



Ludovicus Sensi W selaku partner dari KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa yang diberikan tugas untuk mengaudit laporan keuangan PT.Kimia Farma untuk masa lima bulan yang berakhir 31 Mei 2002, tidak menemukan dan melaporkan adanya kesalahan dalam penilaian persediaan barang dan jasa dan kesalahan pencatatan penjualan untuk tahun yang berakhir per 31 Desember 2001. Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan dalam harian Kontan yang menyatakan bahwa kementrian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik pemerintah di PT.Kimia Farma setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002. 4. Pihak – Pihak yang Terlibat Direktur Utama PT. Kimia Farma Tbk, Gunawan Pranoto. Pimpinan Bapepam, Herwi Dayatmo Kepala Biro Hukum Bapepam, Robinson Simbolon Dan KAP HTM, auditor LK PT. Kimia Farma 



Akuntan Pada saat 31 Desember 2001 akuntan belum menemukan kesalahan pencatatan



atas LK. Pada audit interm 2002 akuntan menemukan kesalahan pencatatan atas laporan keuangan, namun tidak melaporkan kepada pihak berwenang. Baperpam bekerjasama dengan Direktorat Akuntansi dan Jasa Penilai Dirjen Lembaga Keuangan mencari bukti – bukti atas keterlibatan akuntan publik dalam kesalahan pencatatan LK pada PT Kimia Farma Tbk. Untuk tahun 2001. KAP HTM terbukti tidak ikut terlibat secara langsung dalam skandal manipulasi yang dilakukan oleh manajemen, namun sebagai auditor independen KAP HTM seharusnya mampu mendeteksi adanya ketidakwajaran penyajian laporan keuangan klien. 



Manajemen Setelah dilakukan audit ulang, laba bersih 2001 seharusnya hanya sekitar



Rp100 miliar, mengoreksi audit sebelumnya yang mencatat laba sebesar RP132,3 miliar.



Mantan direksi PT Kimia Farma Tbk. Telah terbukti melakukan pelanggaran dalam kasus dugaan penggelembungan (mark up) laba bersih laporan keuangan perusahaan milik negara untuk tahun buku 2001. 5. Sebab dan Akibat Penyebab terjadinya manipulasi LK PT Kimia Farma Tbk adalah pihak Direksi lama PT Kimia Farma memiliki tendensi untuk meningkatkan laba perusahaan dengan praktik yang tidak sehat dan melanggar peraturan (mark up) dan Lalainya pihak auditor dalam mendeteksi terjadinya kecurangan dan rekayasa dalam LK PT Kimia Farma. Akibat dari kejadian tersebut adalah LK PT Kimia Farma Tbk tahun 2001 overstated, Pemakai laporan keuangan tidak menerima informasi yang fair, Citra dan reputasi auditor menurun, Pemegang saham PT Kimia Farma secara aklamasi menyetujui tidak memakai lagi jasa HTM sebagai akuntan publik 6. Penyelesaian Kasus Sanksi dan Denda Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan Pasal 102 Undang – Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal jo, Pasal 61 PP No. 45 tahun 1995 jo, Pasal 64 PP No, 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal maka PT Kimia Farma Tbk. Dikenakan sanksi administratif berupa denda yaitu sebesar Rp. 500.000.000,Sesuai Pasal 5 Huruf n Undang – Undang No. 8 Tahun 1995 tentang pasar modal, maka: 



Direksi Lama PT Kimia Farma periode 1998 – 2002 diwajibkan membayar sejumlah Rp1.000.000.000,- untuk disetor ke kas Negara,, karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas LK 2001.







Saudari Ludovicus Sensi W. Rekan KAP Hans Tuankotta dan Mustofa selaku auditor PT Kimia Farma Tbk diwajibkan untuk membayar sejumlah Rp1.000.000.000,- untuk disetor ke kas Negara, karena atas resiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba tersebut. Meskipun telah dilakukan prosedur audit sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) , dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan. Tetapi, KAP HTM tetap diwajibkan membayar denda karena dianggap telah gagal



menerapkan Persyaratan Prefesional yang disyaratkan di SPAP SA Seksi 110 – Tanggung jawab & Fungsi Auditor Independen, paragraf 04 Persyaratan Profesional, dimana disebutkan bahwa persyaratan profesional yang dituntut dari Auditor Independen adalah orang yang memiliki pendidikan dan pengalaman berpraktik sebagai auditor independen.



Keterkaitan Akuntan Terhadap Skandal PT Kimia Farma Tbk. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) melakukan pemeriksaan atau penyidikan baik atas manajemen lama direksi PT Kimia Farma Tbk. ataupun terhadap akuntan publik Hans Tuanakotta dan Mustofa (HTM). Dan akuntan publik (Hans Tuanakotta dan Mustofa) harus bertanggung jawab, karena akuntan publik ini juga yang mengaudit Kimia Farma tahun buku 31 Desember 2001 dan dengan yang interim 30 Juni tahun 2002. Pada saat audit 31 Desember 2001 akuntan belum menemukan kesalahan pencatatan atas laporan keuangan. Tapi setelah audit interim 2002 akuntan publik Hans Tuanakotta Mustofa (HTM) menemukan kesalahan pencatatan alas laporan keuangan. Sehingga Bapepam sebagai lembaga pengawas pasar modal bekerjasama dengan Direktorat Akuntansi dan Jasa Penilai Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi para akuntan publik untuk mencari bukti-bukti atas keterlibatan akuntan publik dalam kesalahan pencatatan laporan keuangan pada PT. Kimia Farma Tbk. untuk tahun buku 2001. Namun dalam hal ini seharusnya akuntan publik bertindak secara independen karena mereka adalah pihak yang bertugas memeriksa dan melaporkan adanya ketidakwajaran dalam pencatatan laporan keuangan. Dalam UU Pasar Modal 1995 disebutkan apabila di temukan adanya kesalahan, selambat-lambamya dalam tiga hari kerja, akuntan publik harus sudah melaporkannya ke Bapepam. Dan apabila temuannya tersebut tidak dilaporkan maka auditor tersebut dapat dikenai pidana, karena ada ketentuan yang mengatur bahwa setiap profesi akuntan itu wajib melaporkan temuan kalau ada emiten yang melakukan pelanggaran peraturan pasar modal. Sehingga perlu dilakukan penyajian kembali laporan keuangan PT. Kimia Farma Tbk. dikarenakan adanya kesalahan pencatatan yang mendasar, akan tetapi kebanyakan auditor mengatakan bahwa mereka telah mengaudit sesuai dengan standar profesional akuntan publik. Akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa ikut bersalah dalam manipulasi laporan keuangan, karena sebagai auditor independen akuntan publik Hans



Tuanakotta & Mustofa (HTM) seharusnya mengetahui laporan-laporan yang diauditnya itu apakah berdasarkan laporan fiktif atau tidak.



Keterkaitan Manajemen Terhadap Skandal PT Kimia Farma Tbk Mantan direksi PT Kimia Farma Tbk. Telah terbukti melakukan pelanggaran dalam kasus dugaan penggelembungan (mark up) laba bersih di laporan keuangan perusahaan milik negara untuk tahun buku 2001. Kantor Menteri BUMN meminta agar kantor akuntan itu menyatakan kembali (restated) hasil sesungguhnya dari laporan keuangan Kimia Farma tahun buku 2001. Sementara itu, direksi lama yang terlibat akan diminta pertanggungjawabannya. Seperti diketahui, perusahaan farmasi terbesar di Indonesia itu telah mencatatkan laba bersih 2001 sebesar Rp 132,3 miliar. Namun kemudian Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai, pencatatan tersebut mengandung unsur rekayasa dan telah terjadi penggelembungan. Terbukti setelah dilakukan audit ulang, laba bersih 2001 seharusnya hanya sekitar Rp 100 miliar. Sehingga diperlukan lagi audit ulang laporan keuangan per 31 Desember 2001 dan laporan keuangan per 30 Juni 2002 yang nantinya akan dipublikasikan kepada publik. Setelah hasil audit selesai dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Hans Tuanakotta & Mustafa, akan segera dilaporkan ke Bapepam. Dan Kimia Farma juga siap melakukan revisi dan menyajikan kembali laporan keuangan 2001, jika nanti ternyata ditemukan kesalahan dalam pencatatan. Untuk itu, perlu dilaksanakan rapat umum pemegang saham luar biasa sebagai bentuk pertanggungjawaban manajemen kepada publik. Meskipun nantinya laba bersih Kimia Farma hanya tercantum sebesar Rp 100 miliar, investor akan tetap menilai bagus laporan keuangan. Dalam persoalan Kimia Farma, sudah jelas yang bertanggung jawab atas terjadinya kesalahan pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan laba terlihat dimark up ini, merupakan kesalahan manajemen lama.



Kesalahan Pencatatan Laporan Keuangan Kimia Farma Tahun 2001 Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai kesalahan pencatatan dalam laporan keuangan PT Kimia Farma Tbk. tahun buku 2001 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di pasar modal. Kesalahan pencatatan itu terkait dengan adanya rekayasa keuangan dan menimbulkan pernyataan yang menyesatkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.



Bukti-bukti tersebut antara lain adalah kesalahan pencatatan apakah dilakukan secara tidak sengaja atau memang sengaja diniatkan. Tapi bagaimana pun, pelanggarannya tetap ada karena laporan keuangan itu telah dipakai investor untuk bertransaksi. Seperti diketahui, perusahaan farmasi itu sempat melansir laba bersih sebesar Rp 132 miliar dalam laporan keuangan tahun buku 2001. Namun, kementerian Badan Usaha Milik Negara selaku pemegang saham mayoritas mengetahui adanya ketidakberesan laporan keuangan tersebut. Sehingga meminta akuntan publik Kimia Farma, yaitu Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) menyajikan kembali (restated) laporan keuangan Kimia Farma 2001. HTM sendiri telah mengoreksi laba bersih Kimia Farma tahun buku 2001 menjadi Rp 99 milliar. Koreksi ini dalam bentuk penyajian kembali laporan keuangan itu telah disepakati para pemegang saham Kimia Farma dalam rapat umum pemegang saham luar biasa. Dalam rapat tersebut, akhirnya pemegang saham Kimia Farma secara aklamasi menyetujui tidak memakai lagi jasa HTM sebagai akuntan publik.



7. Pembahasan Kelompok Menurut kelompok kami, Keterkaitan Manajemen Risiko Etika disini adalah pada pelaksanaan audit oleh KAP HTM selaku badan independen, kesepakatan dan kerjasama dengan klien (PT Kimia Farma Tbk.) dan pemberian opini atas laporan keuangan klien. Dalam kasus ini, jika dipandang dari sisi KAP HTM, maka urutan stakeholder mana ditinjau dari segi kepentingan stakeholder adalah: 1. Klien atau PT Kimia Farma Tbk. 2. Pemegang saham 3. Masyarakat luas Dalam kasus ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan dihentikannya jasa audit mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP HTM semata yang tidak mampu melakukan review menyeluruh atas semua elemen laporan keuangan, tetapi lebih karena kesalahan manajemen Kimia Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan penggelembungan nilai persediaan.



Kasus yang menimpa KAP HTM ini adalah risiko inheren dari dijalankannya suatu tugas audit. Sedari awal, KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan besar akan ada risiko manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma, mengingat KAP HTM adalah KAP yang telah berdiri cukup lama. Risiko ini berdampak pada reputasi HTM dimata pemerintah ataupun publik, dan pada akhirnya HTM harus menghadapi konsekuensi risiko seperti hilangnya kepercayaan publik dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan pendapatan jasa audit, hingga yang terburuk adalah kemungkinan di tutupnya Kantor Akuntan Publik tersebut. Diluar risiko bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada kemungkinan dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam manipulasi laporan keuangan. Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak terlibat dalam kasus manipulasi tersebut, namun hal ini bisa saja terjadi. Sesuai dengan teori yang telah di paparkan diatas, manajemen risiko yang dapat diterapkan oleh KAP HTM antara lain adalah dengan mengidentifikasi dan menilai risiko etika, serta menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stakeholder. 1. Mengidentifikasi dan menilai risiko etika Dalam kasus antara KAP HTM dan Kimia Farma ini, pengidentifikasian dan penilaian risiko etika dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut: A.) Melakukan penilaian dan identifikasi para stakeholder HTM HTM selayaknya membuat daftar mengenai siapa dan apa saja para stakeholder yang berkepentingan beserta harapan mereka. Dengan mengetahui siapa saja para stakeholder dan apa kepentingannya serta harapan mereka, maka KAP HTM dapat melakukan penilaian dalam pemenuhan harapan stakeholder melalui pembekalan kepada para auditor senior dan junior sebelum melakukan audit pada Kimia Farma. B) Mempertimbangkan kemampuan SDM HTM dengan ekspektasi para stakeholder, dan menilai risiko ketidak sanggupan SDM HTM dalam menjalankan tugas audit. C) Mengutamakan reputasi KAP HTM



Yaitu dengan berpegang pada nilai-nilai hypernorm, seperti kejujuran, kredibilitas, reliabilitas, dan tanggung jawab. Faktor-faktor tersebut bisa menjadi kerangka kerja dalam melakukan perbandingan. Tiga tahapan ini akan menghasilkan data yang memungkinkan pimpinan KAP HTM dapat mengawasi adanya peluang dan risiko etika, sehingga dapat ditemukan cara untuk menghindari dan mengatasi risiko tersebut, serta agar dapat secara strategis mengambil keuntungan dari kesempatan tersebut. 2. Menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stakeholder KAP HTM dapat melakukan pengelompokan stakeholder dan meratingnya dari segi kepentingan, dan kemudian menyusun rencana untuk berkolaborasi dengan stakeholder yang dapat memberikan dukungan dalam penciptaan strategi, yang dapat memenuhi harapan para stakeholder HTM. Terkait dengan kasus yang terjadi pada PT Kimia Farma, kasus tersebut juga telah melakukan penyimpangan terhadap Teori etika profesi yakni Teori Agensi dan Manajemen Laba. Pertama, Teori Agensi dapat dipandang sebagai suatu versi dari game theory (Mursalim, 2005), yang membuat suatu model kontraktual antara dua atau lebih orang (pihak), dimana salah satu pihak disebut agent dan pihak yang lain disebut principal. Principal mendelegasikan pertanggungjawaban atas decision making kepada agent, hal ini dapat pula dikatakan bahwa principal memberikan suatu amanah kepada agent untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati. Wewenang dan tanggungjawab agent maupun principal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama. Kontrak kerja ini bertujuan supaya agent dan principal dapat memaksimumkan utility masing-masing dengan informasi yang dimiliki. Tetapi di satu sisi, agent memiliki informasi yang lebih banyak (full information) dibanding dengan principal di sisi lain, sehingga menimbulkan adanya asimetry information. Asimetry information merupakan suatu kondisi dimana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham dan stakeholder



pada



umumnya sebagai pengguna informasi (user). Karena manajer lebih superior dalam menguasai informasi dibanding pihak lain (pemilik atau pemegang saham), maka memberikan kesempatan kepada manajer untuk bertindak oportunis, yaitu memperoleh keuntungan pribadi. Sedangkan Manajemen Laba merupakan suatu intervensi dengan maksud



tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan (judgment) dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan, dengan tujuan untuk memanipulasi besaran (magnitude) laba kepada beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak) yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan. Menurut Watts dan Zimmerman (tahun 1986), ada berbagai motivasi yang mendorong dilakukannya manajemen laba. Teori akuntansi positif (Positif Accounting Theory) mengusulkan tiga hipotesis motivasi manajemen laba, yaitu: (1) hipotesis program bonus (the bonus plan hypotesis), (2) hipotesis perjanjian hutang (the debt covenant hypotesis), dan (3) hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis).