Kasus Mata - Bella [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laporan Kasus Medik Dokter Internsip



SEORANG LAKI LAKI 39 TAHUN DENGAN TRAUMA MATA SEMBURAN BISA ULAR



Pembimbing dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M Disusun Oleh dr. Bella Syahnarissa Aziza



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KESEHATAN KABUPATEN SEMARANG RSUD AMBARAWA 2017



LAPORAN KASUS SEORANG LAKI LAKI 39 TAHUN DENGAN TRAUMA MATA SEMBURAN BISA ULAR Topik



: Ilmu Penyakit Mata



Kasus



: Trauma Mata Semburan Bisa Ular



Oleh



: dr. Bella Syahnarissa Aziza



Pembimbing



: dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M



Objektif



: Kegawat-daruratan



Deskripsi



: Seorang laki-laki 39 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan mata kabur dan nyeri setelah mata disembur oleh ular.



Tujuan



: Mampu mengidentifikasi dan melakukan penanganan pada kasus trauma akibat semburan bisa ular pada mata.



Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka dan Kasus Cara Membahas : Diskusi



Ambarawa, Pembimbing dokter internship,



dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M



ii



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.............................................................................................



i



LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................



ii



DAFTAR ISI ........................................................................................................



iii



BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................



1



A. Latar Belakang .........................................................................................



1



B. Tujuan .......................................................................................................



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................



3



Trauma Semburan Bisa Ular pada Mata ..............................................................



3



1. Definisi ......................................................................................................



3



2. Epidemiologi .............................................................................................



3



3. Anatomi Media Refraksi ...........................................................................



4



4. Fisiologi Media Refraksi ...........................................................................



5



5. Patofisilogi ................................................................................................



6



6. Diagnosis ..................................................................................................



8



7. Penatalaksanaan ........................................................................................



9



BAB III LAPORAN KASUS ..............................................................................



11



A. IDENTITAS .............................................................................................



11



B. DATA DASAR .........................................................................................



11



1. Anamnesis ..........................................................................................



11



2. Pemeriksaan Fisik ..............................................................................



12



3. Diagnosis Kerja ..................................................................................



14



4. Rencana Awal ....................................................................................



14



5. Catatan Perkembangan .......................................................................



15



BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................



16



DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................



17



iii



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata sebagai indra penglihat. Trauma okuli merupakan salah satu penyebab yang sering menyebabkan kebutaan unilateral pada anak dan dewasa muda, karena kelompok usia inilah yang sering mengalami trauma okuli yang parah. Dewasa muda (terutama laki-laki) merupakan kelompok yang paling sering mengalami trauma okuli. Secara umum trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli perforans dan trauma okuli non perforans. Sedangkan klasifikasi trauma okuli berdasarkan mekanisme trauma terbagi atas trauma mekanik (trauma tumpul dan trauma tajam), trauma radiasi (sinar inframerah, sinar ultraviolet, dan sinar X) dan trauma kimia (bahan asam dan basa). Trauma semburan bisa ular merupakan bagian dari trauma kimia. Bisa



digunakan



oleh



ular



untuk



membunuh



mangsa



dan



mempertahankan diri. Bisa ini umumnya dimasukkan lewat gigitan ular, namun beberapa jenis ular kobra mengembangkan kemampuan untuk menyemburkan untuk mempertahankan diri. Semburan pertahanan diri ini dapat mengeluarkan bulir bisa dan mengenai mata hewan atau manusia yang mengancam ular dengan akurasi tinggi. Bulir bisa ini dapat menyebar dan meluas menjadi semburan yang lebih halus dengan jarak yang lebih jauh sehingga memperlebar area kontak dengan target. Kerusakan yang ditimbulkan pada trauma mata akibat semburan bisa ular beragam tergantung dari volume bisa yang masuk ke mata, waktu dari terpapar bisa dengan penanganan, dan penangan pertama. Walaupun jarang mengancam nyawa tapi kerusakan yang timbul jika tidak ditangani secara tepat akan menimbulkan beberapa kompikasi dari keratitis hingga dapat menimbulkan kebutaan. Trauma mata akibat bisa ular ini sedikit mendapat 1



perhatian. Hal tersebut dapat dilihat dari sedikitnya laporan klinis dan literatur yang menjelaskan efek bisa ular pada mata. Namun meski sedikit yang terdokumentasi, trauma mata akibat bisa ular ini menjadi masalah medis pada beberapa negara tropis. Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai trauma mata akibat semburan bisa ular pada laki-laki usia 39 tahun.



B. Tujuan 1. Tujuan Umum Mengetahui manajemen pasien dengan trauma semburan bisa ular pada mata. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui penanganan awal pasien dengan trauma semburan bisa ular pada mata. b. Mengetahui penanganan lanjut untuk pasien dengan trauma semburan bisa ular pada mata.



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA TRAUMA AKIBAT SEMBURAN BISA ULAR PADA MATA



1.



Definisi Semburan bisa ular diketahui sebagai metode pertahanan ular dan trauma pada mata akibat bisa ular belum banyak dilaporkan. Terdapat 2 jenis famili dari ular berbisa yaitu Viperine dan Colubrine. Untuk jenis Viperine contohnya seperti viper/ular tanah yang memiliki taring yang dapat bergerak juga mengeluarkan racun yang bersifat hemolitik hingga neurotoksik. Sedangkan untuk jenis Colubrine contohnya adalah ular cobra yang memiliki taring yang kuat dan memiliki racun bersifat neurotoksik. Mekanisme semburan ular telah dipelajari sebelumnya. Dalam sepersekian detik saat rahang terbuka, dengan didahului desisan, bisa ular memancar keluar hingga jarak 2 kaki dan selanjutnya menyebar menjadi semburan. Racun dari semua ular dan kalajengking bersifat iritan kuat pada mata. Absorbsinya pada konjuntiva cukup sedikit. Untuk penatalaksanaan awal terhadap trauma pada mata adalah irigasi sesegera mungkin. Dari penelitian diketahui semakin cepat irigasi dilakukan prognosisnya semakin baik. Dari beberapa kasus lain, kebutaan dapat terjadi akibat kekeruhan kornea yang diperberat oleh infeksi sekunder. Toksisitas luar biasa pada bisa ular disebabkan oleh reaksi enzim. Cairan ini terdiri dari banyak kandungan yang terbesar adalah air dan garam sebesar 65-80%. Zat-zat beracun terdiri dari kolinesterasi yang bersifat neurotoksin dan lesitinase yang bersifat bersifat sitolitik dan pembentuk pembekuan darah. Bisa cobra berupa cairan kuning yang bersifat asam lemah. Toksisitasnya dapat berkurang apabila dididihkan selama beberapa jam. Trauma semburan bisa ular merupakan bagian dari trauma kimia. Trauma kimia pada mata merupakan salah satu keadaan kedaruratan oftalmologi karena dapat menyebabkan cedera pada mata, baik ringan, berat bahkan sampai kehilangan penglihatan. Trauma ini terjadi akibat terpaparnya bahan kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak struktur 3



bola mata. Trauma kimia diakibatkan oleh zat asam dengan pH < 7 ataupun zat basa pH > 7. Tingkat keparahan trauma dikaitkan dengan jenis, volume, konsentrasi, durasi pajanan, dan derajat penetrasi dari zat kimia tersebut. Mekanisme cedera antara asam dan basa sedikit berbeda. Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan yang terjadi dalam laboratorium, industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertanian, dan peperangan memakai bahan kimia serta paparan bahan kimia dari alat-alat rumah tangga. Setiap trauma kimia pada mata memerlukan tindakan segera. Irigasi daerah yang terkena trauma kimia merupakan tindakan yang harus segera dilakukan.



2.



Epidemiologi Berdasarkan data CDC tahun 2000 sekitar 1 juta orang di Amerika Serikat mengalami gangguan penglihatan akibat trauma. 75% dari kelompok tersebut buta pada satu mata, dan sekitar 50.000 menderita cedera serius yang mengancam penglihatan setiap tahunnya. Setiap hari lebih dari 2000 pekerja di amerika Serikat menerima pengobatan medis karena trauma mata pada saat bekerja. Lebih dari 800.000 kasus trauma mata yang berhubungan dengan pekerjaan terjadi setiap tahunnya, dibandingkan dengan wanita, laki-laki memiliki rasio terkena trauma mata 4 kali lebih besar. Dari data WHO tahun 1998 trauma okular berakibat kebutaan unilateral sebanyak 19 juta orang, 2,3 juta mengalami penurunan visus bilateral, dan 1,6 juta mengalami kebutaan bilateral akibat cedera mata. Sebagian besar (84%) merupaka trauma kimia. Kejadian trauma sembur bisa ular di Amerika Serikat cukup jarang. Umumnya terjadi pada orang yang memiliki pekerjaan dengan lingkungan alam liar yang memungkinkan adanya paparan dengan ular seperti penjaga kebun binatang. Trauma semburan bisa ular dapat menyebabkan trauma kimia dengan manifestasi yang beragam, dari konjungtivitis ringan dan inflamasi kornea, ulkus kornea hingga perforasi dan yang paling berat adalah kebutaan.



4



3.



Anatomi Mata Mata merupakan alat indra yang terdapat pada manusia. Secara konstan mata menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk, memusatkan perhatian pada objek yang dekat dan jauh serta menghasilkan gambaran yang kontinu yang dengan segera dihantarkan ke otak.



Gambar 1. Anatomi Mata Struktur dan fungsi mata 1.



Sklera (bagian putih mata) : merupakan lapisan luar mata yang berwarna putih dan relatif kuat.



2.



Konjungtiva : selaput tipis yang melapisi bagian dalam kelopak mata dan bagian luar sklera.



3.



Kornea : struktur transparan yang menyerupai kubah, merupakan pembungkus dari iris, pupil dan bilik anterior serta membantu memfokuskan cahaya.



4.



Pupil : daerah hitam di tengah-tengah iris.



5.



Iris : jaringan berwarna yang berbentuk cincin, menggantung di belakang kornea dan didepan lensa; berfungsi mengatur jumlah cahaya yang masuk ke mata dengan cara merubah ukuran pupil.



6.



Lensa : struktur cembung ganda yang tergantung diantara humor aqueus dan vitreus; berfungsi membantu memfokuskan cahaya ke retina. 5



7.



Retina : lapisan jaringan peka cahaya yang terletak di bagian belakang bola mata; berfungsi mengirimkan pesan visual melalui saraf optikus ke otak.



8.



Saraf optikus : kumpulan jutaan serat saraf yang membawa pesan visuil dari retina ke otak.



9.



Humor aqueus : cairan jernih dan encer yang mengalir diantara lensa dan kornea (mengisi segmen anterior mata), serta merupakan sumber makanan bagi lensa dan kornea; dihasilkan oleh prosesus siliaris.



10.



Humor vitreus : gel transparan yang terdapat di belakang lensa dan di depan retina (mengisi segmen posterior mata).



4.



Fisiologi Media Refraksi Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui oleh berkas cahaya saaat menuju retina. Sifat tembus cahaya kornea disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avascular, dan deturgesens. Deturgesens atau keaadaan dehidrasi relatif jaringan korne, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada dalam mekanisme dehidrasi, dan kerusakan pada endotel jauh lebih serius dibandingkan kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan, yang cenderung bertahan lama karena terbatasnya potensi perbaikan



fungsi



endotel.



Kerusakan



pada



epitel



biasanya



hanya



menyebabkan edema lokal sesaat pada stroma kornea yang akan menghilang dengan regenerasi sel-sel epitel yang cepat. Tidak semua cahaya yang melewati kornea mencapai fotoreseptor peka cahaya karena adanya iris, suatu otot polos tipis berpigmen yang membentuk struktur seperti cincin di dalam aqueous humour. Lubang bundar di bagian tengah iris tempat masuknya cahaya ke bagian dalam mata adalah pupil. Iris mengandung dua kelompok jaringan otot polos, satu sirkuler dan yang lain radial. Karena serat-serat otot memendek jika berkontraksi, pupil mengecil apabila otot sirkuler berkontraksi yang terjadi pada cahaya terang untuk mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke mata. Apabila otot radialis 6



memendek, ukuran pupil meningkat yang terjadi pada cahaya temaram untuk meningkatkan jumlah cahaya yang masuk (Sherwood, 2001). Untuk membawa sumber cahaya jauh dan dekat terfokus di retina, harus dipergunakan lensa yang lebih kuat untuk sumber dekat. Kemampuan menyesuaikan kekuatan lensa sehingga baik sumber cahaya dekat maupun jauh dapat difokuskan di retina dikenal sebagai akomodasi. Kekuatan lensa bergantung pada bentuknya, yang diatur oleh otot siliaris. Otot siliaris adalah bagian dari korpus siliaris, suatu spesialisasi lapisan koroid di sebelah anterior. Pada mata normal, otot siliaris melemas dan lensa mendatar untuk penglihatan jauh, tetapi otot tersebut berkontraksi untuk memungkinkan lensa menjadi lebih cembung dan lebih kuat untuk penglihatan dekat. Serat-serat saraf simpatis menginduksi relaksasi otot siliaris untuk penglihatan jauh, sementara sistem saraf parasimpatis menyebabkan kontraksi otot untuk penglihatan dekat.



Gambar 2. Media Refraksi 5.



Patogenesis Ular dibagi menjadi beracun dengan tidak beracun. Ular beracun terdiri tiga jenis: elapids (neurotoksik), ular laut (miotoksik) dan vipers (vaskulotoksik). Namun pada beberapa jenis ular memiliki racun bisa yang mengandung gabungan dari 3 jenis racun, diketahui dari salah satu penelitian yang mendapatkan pasien dengan gejala yang gabungan dari efek miotoksik, neurotoksik dan vaskulotoksik dengan derajat yang berbeda-beda.



7



Penelitian di Afrika Barat, telah diidentifikasi ular yang dapat menyemburkan bisa yaitu Naja nigricollis dan Naja Mosambica dari famili elapids. Ular ini dapat menyemburkan bisa hingga 5 meter dan tepat mengenai mata pemangsanya. Ini disebabkan kekuatan dari kontraksi otot masseter dan racunnya dikeluarkan melalui celah pada taringnya. Bisa dari ular kobra mengandung cytotoxin, cardiotoxin, beberapa enzim termasuk phospholipase A2 (PLA2) dan “three-finger fold” neurotoxin (64%) . Yang sering disebut faktor lisis langsung, racun racun tersebut merupakan faktor hemolisis yang relatif lemah. Namun dari data yang ada menunjukkan racun bisa ular dapat merusak membran yang menyebabkan kemosis. Kardiotoksin adalah kandungan yang dapat melisiskan membran diketahui bertanggung jawab dapat menyebabkan erosi kornea dan kemosis konjungtiva. Toksin lain yaitu phospholipase



A2, bekerja secara sinergi



dengan kardiotoksin, namun bila sendiri phospholipase A2 tidak berefek pada okular. Selain inflamasi pada konjungtiva dan kelopak mata, racun bisa ular dapat menyebabkan cidera kornea yang perlu diperhatikan karena potensinya pada gangguan visual. Edema kornea disebabkan kombinasi dari hambatan pompa natrium dan kalium oleh kardiotoksin dan keluarnya histamin dan asetilkolin akibat bisa ular, sehingga menghasilkan influks cairan, vasodilatasi dan absorbsi airmata yang hipotonik secara berlebihan. Progresi edema kornea menjadi keruh dan cair ini disebabkan adanya kandungan kolegenase dan proteinase pada bisa ular. Pada penelitian terhadap N. nigricollis kerusakan yang diakibatkan racun pada bisa ular disebabkan dua hal yaitu efek vesikular dan nekrotisnya dan akibat timbulnya mediator inflamasi seperti prostaglandin dan leukotrien. Selain itu kandungan bisa ular yang mengandung protein bioaktif dapat memberikan efek destruktif lokal. Efek paparan dari bisa ular pada permukaan mata menimbulkan manifestasi edema jaringan lunak periokular, konjungtivitis dan erosi epitel kornea. Ini memungkinkan cidera okular dapat progresif ke struktur yang lebih dalam dengan kerusakan visual yang lebih signifikan apabila tidak langsung mendapat penanganan. Variasi toksin dan 8



fraksi protein dari bisa ular pada spesies kobra yang berbeda menentukan besarnya perbedaan toksisitas pada mata. Contohnya pada penelitian ular Naja atra dilaporkan menyebabkan keratokonjungtivitis, sedangkan pada Naja nigricollis dapat menyebabkan ulserasi kornea dan uveitis anterior. Efek okular akibat bisa ular bergantung pada durasi paparan permukaan okular dengan bisa ular. Efek langsung adalah nyeri berat pada mata dan mata berair. Lesi yang memungkinkan pada mata adalah edema korna, kemosis, konjungtivitis, epifora, blefarospasme, dan ulkus kornea. Efek sistemik pada manusia akibat semburan bisa ular belum dilaporkan. 6.



Diagnosis Bisa ular kobra disemburkan pada saat mempertahankan diri, melalui bagian atas depan taring dan kekuatan kontraksi kuat otot maseter. Kobra menyemburkan bisa dengan agresif melalui gerakan kepala yang cepat, selanjutnya menyerang setidaknya 1 mata. Meskipun banyak spasies kobra dapat menyemburkan bisa dan sebagian pawang ular telah menggunakan pelindung mata pada saat bekerja, namun laporan toksisitas akibat semburan bisa ular pada mata oleh spesies “penyembur” tetap ada seperti spesies Naja nigricollis, Naja mossambica, dan Hemachatus haemachatus di Afrika juga Naja sumatrana dan Naja atra di Asia. Untuk menegakkan diagnosis trauma okuli sama dengan penegakan diagnosis pada umumnya, yaitu dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan segera sesudah cedera. Harus dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat progresif lambat atau timbul mendadak. Harus dicurigai adanya benda asing intraokular apabila terdapat riwayat memalu, mengasah, atau ledakan. Pada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenai proses terjadi trauma, benda apa yang mengenai mata tersebut, bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata tersebut apakah dari depan, samping atas, bawah dan bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata. Perlu ditanyakan pula berapa besar benda yang mengenai mata dan bahan benda tersebut apakah terbuat dari kayu, besi atau bahan lain. Apabila terjadi penurunan penglihatan, ditanyakan apakah penurunan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan. Ditanyakan juga kapan terjadinya trauma. Apakah trauma disertai dengan keluarnya darah dan rasa sakit dan apakah sudah dapat pertolongan sebelumnya.



9



Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum terlebih dahulu diperiksa, karena 1/3 hingga ½ kejadian trauma mata bersamaan dengan cedera lain selain mata. Untuk itu perlu pemeriksaan neurologis dan sistemik mencakup tanda-tanda vital, status mental, fungsi, jantung dan paru serta ekstremitas. Selanjutnya pemeriksaan mata dapat dimulai dengan: 1.



Menilai tajam penglihatan, bila parah: diperiksa proyeksi cahaya, diskriminasi dua titik dan defek pupil aferen.



2.



Pemeriksan motilitas mata dan sensasi kulit periorbita. Lakukan palpasi untuk mencari defek pada tepi tulang orbita.



3.



Pemeriksaan permukaan kornea : benda asing, luka dan abrasi



4.



Inspeksi konjungtiva: perdarahan/tidak



5.



Kamera okuli anterior: kedalaman, kejernihan, perdarahan



6.



Pupil: ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya (dibandingkan dengan mata yang lain)



Gambar 3. Gambaran mata kiri dengan pewarnaan floresein menunjukkan adanya erosi epitel



Dari anamnesis bisa kita dapatkan dari pasien. Kasus terbanyak diketahui penyebabnya adalah pasien memiliki pekerjaan yang memungkinkan paparan dengan ular, sehingga umumnya genusnya diketahui. Waktu terjadinya serangan juga perlu diketahui. Untuk mengobservasi kemungkinan adanya proses lokal atau sistemik yang berkembang. Beberapa hal yang perlu diperhatikan: 



Deskripsi dari ular atau bila memungkinkan mengambil gambar dari ular, sehingga dapat menentukan kandungan bisa. 10







Menilai waktu terjadinya dan onset dari gejala yang tampak.







Edema, nyeri dan parestesi lokal mungkin ditemukan.







Gejala sistemik seperti mual, pingsan dan gangguan menelan hingga bernafas.







Menanyakan adanya riwayat alergi obat maupun antibiotik untuk menentukan tatalaksana yang diberikan.



Untuk pemeriksaan fisik dibutuhkan pemeriksaan fisik menyeluruh. Perlu diperhatikan pasien yang mengalami serangan akut butuh dilakukannya stabilisasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan : 



Tanda-tanda vital: stabilisasi umum pada pasien serangan akut, seperti airway breathing dan circulatian.







Destruksi jaringan lokal







Gejala sistemik : hipotensi, petekie, epistaksis, hemoptisis



Chun et al., mengamati 10 kasus trauma mata akibat semburan bisa ular dan menyimpulkan laporan klinis yang terjadi pada tabel. Tabel 1. Laporan kronologis tanda dan gejala klinis pasien semburan bisa ular



11



7.



Penatalaksanaan Trauma akibat semburan bisa ular tergolong dalam kasus trauma kimia mata yang merupakan kegawat daruratan mata. Penanganan pertama memegang peranan penting karena semakin lama mata terpapar bisa ular maka semakin luas kerusakan yang terjadi, semakin banyak komplikasi, dan meningkatkan resiko kebutaan. Pertolongan pertama yang terpenting dalam kasus ini adalah irigasi mata sedini mungkin selama 15 – 30 menit, kelopak mata atas dan bawah juga tidak lupa untuk dibalik untuk menghilangkan partikel yang terperangkap pada fornik. Irigasi yang diberikan dapat mengencerkan dan mengeluarkan bisa ular yang terpapar pada mata. Hal ini menentukan dalam meminimalisir kerusakan yang dapat terjadi. Telah diketahui bahwa bisa ular mengandung gabungan dari



bahan kimia, yang harus dibilas melalui irigasi. Irigasi dapat menggunakan normal saline (0,9% NaCl) yang merupakan standart untuk irigasi. Pasien berbaring dengan posisi supine dan infus set telah disiapkan untuk irigasi langsung mata setelah sebelumnya mata telah diteteskan tetes mata anestesi topikal, dan juga diletakkan cawan ginjal untuk menampung air yang telah terkontaminasi. Selain irigasi mata dapat pula diberikan analgesik dengan vasokontriktor dengan aktifitas midriasis yang lemah (seperti epinephrine) dan anastesi topikal terbatas (seperti tetracaine), eksklusi abrasi kornea dengan pewarnaan flouresin dengan pemeriksaan slitlamp dan pemberian antibiotik topikal profilaksis. Antibiotik topikal (contohnya kloramfenikol) dapat digunakan pada pasien dengan erosi kornea ekstensif untuk mencegah infeksi sekunder. Pemberian sikloplegik topikal ditujukan untuk mencegah sinekia posterior, spasme silier dan mengurangi nyeri. Antihistamin dapat di berikan jika terdapat keratokonjungtivitis alergi. Bebrapa dokter spesialis mata merekomendasikan untuk menutup mata dengan kasa setelah penanganan awal. Heparin telah digunakan untuk tatalaksana trauma semburan bisa ular pada mata. Penggunaannya berdasarkan fakta kardiotoksin pada bisa ular dapat berikatan dengan molekul heparin dan sehingga menyebabkan inaktifnya kardiotoksin. Topikal vasokonstriktor dan penutup mata juga dapat mengurangi nyeri. Bila menganut pedoman WHO yang diterbitkan pada 2010 menyarankan untuk tidak menggunakan SABU topikal maupun IV dan juga kortikosteroid topikal. Aktivitas kolegenase 12



kornea meningkat pada penggunaan steroid topikal dan bila disertai adanya defek epitel dapat menyebabkan pencairan kornea. Pada penelitian lain steroid topikal diberikan setelah pemulihan permukaan epitel untuk mencegah terjadinya symblepharon, namun pengguanaanya masih kontroversial. Penggunaan SABU menurut penilitian tidak memberikan manfaat. Untuk



pencegahan



dapat



diberikan



edukasi



pada



pekerjaan



yang



memungkinkan terpapar dengan ular seperti pawang ular untuk dapat menggunakan kacamata google, selanjutnya juga selalu mencuci tangan dengan menggunakan air dan sabun setelah terpapar dengan bisa ular.



13



BAB III LAPORAN KASUS



A. IDENTITAS Nama



: Tn. T



Umur



: 39 tahun



Jenis kelamin



: Laki-laki



Alamat



: Genting 4/1 Jambu



Pekerjaan



: Petani



Agama



: Islam



Tanggal masuk RS



: 19 Maret 2017



Ruang



: IGD



B. DATA DASAR 1.



Anamnesis (Autoanamnesis dengan pasien tanggal 19 Maret 2017 pada jam 15.28 di IGD RSUD Ambarawa)



Keluhan Utama Kedua mata nyeri



Riwayat Penyakit Sekarang Pada tanggal 19 Maret 2017 terdapat seorang laki laki berusia 39 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan mata terasa nyeri setelah terkena semburan bisa ular sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Saat itu pasien sedang di sawah nampak ular berwarna kecoklatan dengan bentuk kepala seperti sendok. Saat pasien berjarak sekitar 2 meter dengan ular, tiba tibaular tersebut menyemburkan bisa yang mengenai mata kanan dan kiri pasien lalu ular tersebut lari ke semak belukar. Sesaat setelah terkena semburan bisa ular tersebut pasien mengeluh mata terasa nyeri, panas, berair dan susah untuk dibuka. Sebelum dibawa ke IGD RSUD Ambarawa pasien membersihkan ke2 matanya menggunakan air keran. Kemudian pasien 14



langsung diantar oleh keluarga ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.



Riwayat Penyakit Dahulu 



Riwayat alergi tidak ada







Riwayat trauma pada mata sebelumnya disangkal







Riwayat darah tinggi disangkal







Riwayat kencing manis disangkal



Riwayat Sosial Ekonomi : 



2.



Biaya pengobatan ditanggung BPJS non PBI



Pemeriksaan Fisik (19 Maret 2017 pk 15.28 di IGD RSUD Ambarawa) Status Praesens Keadaan umum : baik Kesadaran



: compos mentis



TV



: TD



: 128/84 mmHg



N



: 96 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup



RR



: 20 x / menit



T



: 36,8°C (aksiler)



Kepala



: mesosefal



Kulit



: sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit cukup



Telinga



: discharge (-/-)



Hidung



: discharge (-/-), nafas cuping hidung (-)



Mulut



: bibir pucat (-),



Tenggorokan



: T1-1, hiperemis (-), uvula di tengah, faring hiperemis (-)



Leher



: JVP R+0 cm, deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar getah bening leher dan kelenjar tiroid (-), kaku kuduk (-)



15



Toraks



: bentuk normal, simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-), sela iga melebar (-), iga mendatar (-)



Cor



: I Pa



: ictus cordis tidak tampak : ictus cordis teraba di SIC V, 2 cm medial linea midclavicularis sinistra



Pulmo



Pe



: konfigurasi jantung normal



Aus



: BJ I & II murni, gallop (-), bising (-)



: I



: simetris saat statis maupun dinamis



Pa



: stem fremitus kanan = kiri



Pe



: sonor di semua lapangan paru



Aus



: suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)



Abdomen Inspeksi



: datar, venektasi (-)



Auskultasi



: bising usus (+) normal



Perkusi



: timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)



Palpasi



: supel, hepar dan lien tidak teraba



Ekstremitas



:



Superior



Inferior



- Oedem



-/-



-/-



- Sianosis



-/-



-/-



- Cap.refill