Kasus Pelanggaran Kode Etik Bidan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Tugas ini merupakan tugas individu bagi mahasiswa Program studi D4 Kebidanan Poltekkes Kemenkes Surabaya untuk memenuhi tugas mata kuliah Etikolegal Dalam Praktik Kebidanan. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada : 1.



Astuti Setiyani, SST., M.Kes., selaku Ketua Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Surabaya



2.



Dwi Purwanti, S.Kp., SST., M.Kes selaku ketua program studi D4 Kebidanan Poltekkes Kemenkes Surabaya



3.



K. Kasiati, S.Tr.Keb, Sp.Pd., M.Kes selaku dosen pembimbing mata kuliah Etikolegal Dalam Praktik Kebidanan Semester III



4.



Seluruh pihak yang turut membantu dan kerja sama dalam menyelesaikan tugas ini. Saya menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna, oleh karena



itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan tugas ini. Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan tugas ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita, Amin. Surabaya, 9 Oktober 2020



Penulis



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR.............................................................................................ii DAFTAR ISI..........................................................................................................iii Kasus 1 : Bidan melalaikan pasien..........................................................................4 Kasus 2 : Remaja Aborsi Tewas Usai Disuntik Bidan.............................................7 Kasus 3 : Usai Persalinan Organ Wanita Robek....................................................11 Kasus 4 : Bidan Pustu Diduga Lakukan Malpraktek.............................................14 Kasus 5 : Gara-Gara Divakum Bocah 3 Tahun Cuma Bisa Nangis.......................18 Kasus 6 : Kepala dan Tangan Bayi Putus Saat Melahirkan...................................22 Kasus 7 : KPAI Sebut Penahanan Bayi Di Palembang Langgar Kode Etik Bidan26 Kasus 8 : Dedi Mulyadi Ancam Cabut Izin Bidan Desa Nakal.............................29 Kasus 9 : Seorang Bidan Jadi Tersangka Kasus Vaksin Palsu..............................33 Kasus 10 : Jerat Hukum Bagi Bidan yang Membantu Aborsi...............................41 PENUTUP..............................................................................................................48 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................49



iii



4



Kasus 1 : Bidan melalaikan pasien Sumber : RadarMadura.id SAMPANG – Izin praktik bidan Sri Fuji dicabut oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sampang. Keputusan itu dikeluarkan setelah ada rekomendasi dari Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Sampang. Pencabutan izin praktik dikeluarkan karena bidan koordinator di PKM Bunten Barat tersebut dinilai melanggar kode etik kebidanan. Plt Kepala Dinkes Sampang Agus Mulyadi mengatakan, dari hasil kajian menunjukkan bahwa salah satu bidan di Desa Ketapang Barat tersebut terbukti melanggar kode etik kebidanan. Atas dasar itulah pihaknya mengeluarkan kebijakan pencabutan sementara izin praktik. Bidan Sri Fuji dilarang membuka praktik mandiri selama tiga bulan. Terthitung mulai Jumat (10/7) hingga Sabtu (10/10). ”Kita tidak serta merta mencabut izin praktik. Makanya kami gandeng IBI sebagai organisasi profesi dari yang bersangkutan,” katanya kemarin (11/7). Ketua IBI Sampang Rosidah menilai bidan Sri Fuji melanggar kode etik kebidanan. Karena itu pihaknya mengeluarkan rekomendasi pencabutan sementara izin praktik dan pembinaan kepada yang bersangkutan. Rekomendasi tersebut dikeluarkan karena Sri Fuji dianggap menelantarkan pasien.



”Besok (hari ini) kita mau ke Ketapang (tempat praktik Bidan Sri), mau menurunkan plang praktiknya,” ujarnya.



Rosidah menyampaikan, sebelum mengeluarkan rekomendasi, pihaknya sudah mengkaji terlebih dahulu. Termasuk kronologi peristiwa yang terjadi. Menurutnya, sanksi yang diberikan kepada Sri Fuji termasuk kategori sedang. ”Ini kan etika, jadi masuk pelanggaran sedang,” ungkapnya.



5



Pihaknya akan intens memberikan pembinaan kepada bidan praktik mandiri (BPM). Harapannya, kejadian yang serupa tidak terjadi lagi.



Sebelumnya, Sabtu malam (4/7) Zainuri, 28 bersama istrinya Aljannah, 28 mendatangi rumah bidan Sri Fuji di Ketapang Barat. Kedatanganya untuk melahirkan. Setelah menunggu cukup lama, suami bidan Sri Fuji meminta agar mencari bidan lain karena istrinya sedang sakit.



Pada saat itu, kondisi Aljannah tidak memungkinkan untuk dibawa ke bidan lain. Akhirnya, Aljannah melahirkan putrinya di depan pagar rumah bidan Sri Fuji dengan dibantu keluarga.



Kritik : Sangat tidak etis apabila seorang bidan melalaikan tugasnya dan membiarkan pasien melahirkan di depan pagar rumah bidan dan dibantu keluarga pasien pula. Hal tersebut jelas merupakan tindakan penyelewengan kode etik bidan karena ketika sudah pembukaan kala III pasien sudah berupaya untuk datang ke bidan namun bidannya sedang sakit bahkan sang suami menyuruh klien untuk mencari bidan lain disaat pembukaan sudah mencapai kala III. Dalam hal ini bidan yang bersangkutan menurut hokum UU Kesehatan di Indonesia telah melanggar UU No.36 Tahun 2004 Tentang Kesehatan pasal : 1. Pasal 58 ayat (1) huruf a yang berbunyi : “memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan penerima pelayanan kesehatan.” 2. Pasal 60 huruf d yang berbunyi : “Tenaga kesehatan bertanggung jawab untuk mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau kelompok.” 3. Pasal 66 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berkewajiban untuk mematuhi standar profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional.”



6



Bidan juga melanggar peraturan tentang kebidanan yakni Permenkes No. 28 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan yakni : 1. Pasal 28 huruf g : mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional Tindakan klien yang dirugikan dalam hal tersebut sesuai dengan UU No.36 Tahun 2004 Tentang Kesehatan Bab XI Pasal 77 yang berbunyi: “Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugikan kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.” Saran : Sebaiknya sebagai seorang bidan tidak melalaikan pasien dan mementingkan kepentingannya sendiri diatas kepentingan pasien. Apabila ada acara yang melibatkan cuti panjang sebaiknya memberitahu bidan lain untuk menggantikan selama bidan yang memiliki tempat praktik sedang cuti panjang atau sedang ada acara dalam jangka waktu lama dan saat bidan yang memiliki tempat praktik sedang sakit yang menyebabkan bidan tidak dapat memberi pelayanan kesehatan pada klien. Bidan yang bertugas menggantikan bidan yang memiliki tempat praktik menurut UU harus memiliki SIPB dan STRB yang aktif. Permenkes No. 28 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan pasal 43 ayat 1 : “Bidan yang berhalangan sementara dalam melaksanakan praktik kebidanan dapat menunjuk bidan pengganti dan melaporkannya kepada kepala puskesmas setempat.” Permenkes No. 28 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan pasal 43 ayat 2 : “Bidan pengganti sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus memiliki SIPB dan tidak harus SIPB di tempat tersebut.



7



Bidan dapat menjalankan praktik mandiri dan/atau bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan (Pasal 2 ayat (1) Permenkes 1464/2010). Dalam menjalankan praktik-praktik bidan, tentunya bidan yang bersangkutan harus memiliki izin, yaitu Surat Izin Praktik Bidan (SIPB) untuk bidan yang menjalankan praktiknya secara mandiri (bukti tertulis yang diberikan kepada bidan yang sudah memenuhi persyaratan) atau Surat Izin Kerja Bidan (SIKB) untuk bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan (bukti tertulis yang diberikan kepada bidan yang sudah memenuhi persyaratan).



Kasus 2 : Remaja Aborsi Tewas Usai Disuntik Bidan Sumber : news.okezone.com Minggu, 18 Mei 2008 20:00 wib KEDIRI – Kasus aborsi yang berujung kematian terjadi Kediri. Novila Sutiana (21), warga Dusun Gegeran, Desa/Kecamatan Sukorejo, Ponorogo, Jawa Timur, tewas setelah berusaha menggugurkan janin yang dikandungnya. Ironisnya, korban tewas setelah disuntik obat perangang oleh bidan puskesmas. Peristiwa nahas ini bermula ketika Novila diketahui mengandung seorang bayi hasil hubungannya dengan Santoso (38), warga Desa Tempurejo, Kecamatan Wates, Kediri. Sayangnya, janin yang dikandung tersebut bukan buah perkawinan yang sah, namun hasil hubungan gelap yang dilakukan Novila dan Santoso. Santoso sendiri sebenarnya sudah menikah dengan Sarti. Namun karena sang istri bekerja menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Hongkong, Santoso kerap tinggal sendirian di rumahnya. Karena itulah ketika bertemu dengan Novila yang masih kerabat bibinya di Ponorogo, Santoso merasa menemukan pengganti istrinya. Ironisnya, hubungan tersebut berlanjut menjadi perselingkuhan hingga membuat Novila hamil 3 bulan. Panik



melihat



kekasihnya



hamil,



Santoso



memutuskan



untuk



menggugurkan janin tersebut atas persetujuan Novila. Selanjutnya, keduanya mendatangi Endang Purwatiningsih (40), yang sehari-hari berprofesi sebagai



8



bidan di Desa Tunge, Kecamatan Wates, Kediri. Keputusan itu diambil setelah Santoso mendengar informasi jika bidan Endang kerap menerima jasa pengguguran kandungan dengan cara suntik. Pada mulanya Endang sempat menolak permintaan Santoso dan Novila dengan alasan keamanan. Namun akhirnya dia menyanggupi permintaan itu dengan imbalan Rp2.100.000. Kedua pasangan mesum tersebut menyetujui harga yang ditawarkan Endang setelah turun menjadi Rp2.000.000. Hari itu juga, bidan Endang yang diketahui bertugas di salah satu puskesmas di Kediri melakukan aborsi. Metode yang dipergunakan Endang cukup sederhana. Ia menyuntikkan obat penahan rasa nyeri Oxytocin Duradril 1,5 cc yang dicampur dengan Cynaco Balamin, sejenis vitamin B12 ke tubuh Novila. Menurut pengakuan Endang, pasien yang disuntik obat tersebut akan mengalami kontraksi dan mengeluarkan sendiri janin yang dikandungnya. “Ia (bidan Endang) mengatakan jika efek kontraksi akan muncul 6 jam setelah disuntik. Hal itu sudah pernah dia lakukan kepada pasien lainnya,” terang Kasat Reskrim Polres Kediri AKP Didit Prihantoro di kantornya, Minggu (18/5/2008). Celakanya, hanya berselang dua jam kemudian, Novila terlihat mengalami kontraksi hebat. Bahkan ketika sedang dibonceng dengan sepeda motor oleh Santoso menuju rumahnya, Novila terjatuh dan pingsan karena tidak kuat menahan rasa sakit. Apalagi organ intimnya terus mengelurkan darah. Warga yang melihat peristiwa itu langsung melarikannya ke Puskemas Puncu. Namun karena kondisi korban yang kritis, dia dirujuk ke RSUD Pare Kediri. Sayangnya, petugas medis di ruang gawat darurat tak sanggup menyelamatkan Novila hingga meninggal dunia pada hari Sabtu pukul 23.00 WIB. Petugas yang mendengar peristiwa itu langsung menginterogasi Santoso di rumah sakit. Setelah mengantongi alamat bidan yang melakukan aborsi, petugas membekuk Endang di rumahnya tanpa perlawanan. Di tempat praktik sekaligus



9



rumah tinggalnya, petugas menemukan sisa-sisa obat yang disuntikkan kepada korban. Saat ini Endang berikut Santoso diamankan di Mapolres Kediri karena dianggap menyebabkan kematian Novila. Lamin (50), ayah Novila yang ditemui di RSUD Pare Kediri mengaku kaget dengan kehamilan yang dialami anaknya. Sebab selama ini Novila belum memiliki suami ataupun pacar. Karena itu ia meminta kepada polisi untuk mengusut tuntas peristiwa itu dan menghukum pelaku. Kritik : Perbuatan tersebut jelas menyalahi kode etik profesi karena aborsi dilakukan oleh bidan dan tidak ada indikasi patologisnya. Aborsi hanya dapat dilakukan oleh dokter bukan oleh bukan, jika ada kasus patologis darurat yang mengharuskan untuk aborsi sebaiknya bidan merujuk klien ke fasilitas kesehatan yang mumpuni. Akibat perbuatan tersebut, bidan diancam dengan pasal 348 KUHP tentang pembunuhan. Hukuman itu masih diperberat lagi mengingat profesinya sebagai tenaga medis atau bidan. Selain itu, polisi juga menjeratnya dengan UU Kesehatan nomor 23 tahun 1992. Belum diketahui secara pasti sudah berapa lama Endang membuka praktik aborsi tersebut. Pada dasarnya menurut Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, “setiap orang dilarang melakukan aborsi. Larangan dalam Pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan dapat dikecualikan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Dalam UU Kesehatan ada sanksi pidana bagi orang yang melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 UU Kesehatan, yaitu dalam Pasal 194 UU Kesehatan:



10



“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Merujuk pada ketentuan dalam KUHP, si bidan dapat dihukum dengan Pasal 349 KUHP dan Pasal 348 KUHP: Pasal 349 KUHP: “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.” Pasal 348 KUHP: (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Karena sudah ada ketentuan yang mengatur lebih khusus yaitu UU Kesehatan, maka yang berlaku adalah ketentuan pidana dalam UU Kesehatan bagi si bidan. Ini berarti si bidan dapat dihukum karena melanggar Pasal 75 UU Kesehatan dengan ancamana hukuman sebagaimana terdapat dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang telah disebutkan di atas. Saran : Sebaiknya bidan tetap mematuhi kode etik profesi dan tidak tergiur dengan jumlah uang yang ditawarkan oleh orang yang ingin aborsi. Karena semua ciptaan Allah SWT yang memiliki nyawa pasti ingin hidup. Ketika seorang bidan melakukan aborsi, bidan tersebut termasuk dalam kategori pembunuh. Hal



11



tersebut sangat tidak disukai oleh Allah. Sebaiknya menjadi bidan yang teladan dan amanah. Mematuhi semua aturan dalam kode etik, menjadi role model dalam masyarakat, dan menjadi panutan untuk semua. Menjadi bidan tidaklah mudah namun tidak juga sulit. Asalkan kita mematuhi kode etik dan peraturan kebidanan dan menggali serta mengupgrade ilmu kebidanan yang kita miliki dengan sering mengikuti seminar maka insyaAllah kita akan menjadi bidan yang teladan dan menjadi panutan untuk masyarakat. Jadilah bidan yang amanah, yang baik dan tidak menyalahi/melanggar kode etik kebidanan.



Kasus 3 : Usai Persalinan Organ Wanita Robek Sumber : indosiar.com Indosiar.com, Jember – Kasus dugaan malpraktek kembali terjadi. Di Jember Jawa Timur, seorang ibu muda mengalami luka robek di bagian anusnya, hingga tidak bisa buang air. Diduga korban yang kini harus buang air besar melalui organ kewanitannya, disebabkan kelalaian bidan yang masih magang di puskesmas setempat menangani persalinannya. Kini kasus dugaan malpraktek ini ditangani Dinas Kesehatan Kota Jember. Kasus dugaan malpraktek ini dialami Ika Agustinawati, warga Desa Semboro Kidul, Kecamatan Semboro, Jember. Ibu muda berusia 22 tahun ini, menjadi korban dugaan malpraktek, usai menjalani proses persalinan anak pertamanya, Irza Praditya Akbar, yang kini berusia 1 bulan. Diduga karena kecerobohan bidan yang masih magang saat menolong persalinannya di Puskesmas Tanggul, Ika mengalami luka robek di bagian organ vital hingga ke bagian anus. Akibatnya, selain terus-terusan mengalami kesakitan, sejak sebulan lalu korban terpaksa buang kotoran melalui alat kelaminnya. Saat menjalani proses persalinan 3 Februari lalu, korban dibantu oleh beberapa bidan magang, atas pengawasan bidan puskesmas. Namun, salah seorang bidan magang diduga melakukan kesalahan saat menggunting dinding kemaluan korban.



12



Terkait kasus ini pihak Puskesmas Tanggul saat ini belum memberikan keterangan resmi. Namun, Kepala Dinas Kesehatan Kota Jember tengah menangani kasus ini. Jika terbukti terjadi malpraktek, Dinas Kesehatan berjanji akan menjatuhkan sanksi terhadap petugas persalinan tersebut, sesuai ketentuan yang berlaku. (Tomy Iskandar/Sup) Kritik : Permenkes No.28 tahun 2017 pasal 1 ayat 1 bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Permenkes No.28 tahun 2017 pasal 1 ayat 2 praktik kebidanan adalah kegiatan pemberian pelayanan yang dilakukan oleh bidan dalam bentuk asuhan kebidanan. Berdasarkan



kasus



tersebut



telah



dilakukan



episiotomi



hingga



menyebabkan anus pasien robek merupakan tindakan kelalaian bidan. Dalam keterangan berita diatas terdapat salah seorang bidan magang diduga melakukan kesalahan saat menggunting dinding kemaluan korban. Melalui keterangan yang telah dijabarkan bidan puskesmas mengawasi kejadian tersebut. Namun, apabila bidan puskesmas mengawasi saat bidan magang melakukan praktik episiotomy dengan “benar” mungkin tidak terjadi sesuatu. Sebaiknya sebelum bidan magang melakukan tindakan episiotomi, bidan puskesmas memberi wejangan dan memperingati bidan magang untuk lebih hati-hati dan tidak ceroboh. Apabila terjadi kelalaian seperti hal tersebut dapat merugikan pasien karena pasien harus menanggung rasa sakit yang diakibatkan oleh kelalaian tenaga kesehatan. Menurut UU No.36 tahun 2014 pasal 1 ayat 5 tentang tenaga kesehatan kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang Tenaga Kesehatan berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap professional untuk dapat menjalankan praktik. Jadi, dalam hal ini bidan haruslah memiliki kompetensi yang baik dalam pengetahuan dan keterampilan dan menerapkan saat melakukan praktik



kebidanan.



Tidak



lalai



dan



fokus



terhadap



profesinya



serta



mengesampingkan perasaan dan emosi per individu saat menjalankan profesinya.



13



Setiap bidan yang telah lulus dalam pendidikan kebidanan akan mengikuti ujian kompetensi guna mendapatkan sertifikat kompetensi. Menurut UU No.36 Tahun 2014 pasal 1 ayat 7 tentang tenaga kesehatan sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi tenaga kesehatan untuk dapat menjalankan praktik di seluruh Indonesia setelah lulus uji Kompetensi dan dalam ayat 14 terdapat standar prosedur operasional bidan. Standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu dengan memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan standar profesi. Apabila terdapat bidan magang sedang melakukan tindakan yang bisa menyebabkan risiko yang besar, seharusnya bidan puskesmas mengawasi dan memperhatikan apakah yang dilakukan bidan magang sudah memenuhi standar prosedur operasional apa tidak. Menurut Kepmenkes No.369 tahun 2007 seorang bidan harus memiliki keterampilan tambahan untuk menjahit rupture pada vagina. Oleh sebab itu, dalam pemaparan berita tersebut apabila seorang bidan melakukan episiotomi, ia juga harus memiliki kemampuan untuk menjahit vagina sehingga tidak menyebabkan rupture hingga anus. Saran : Untuk bidan magang sebaiknya sebelum melakukan tindakan operasional harus membaca langkah sebelum langsung mengambil tindakan operasional. Bidan magang harus sering membaca literasi tentang asuhan persalinan dan keterampilan yang harus dimiliki saat menolong persalinan, baik ketereampilan yang wajib dikuasai ataupun keterampilan darurat. Sebelum mengambil tindakan, sebaiknya bidan magang berkonsultasi dan bertanya kepada bidan pusekesmas terlebih dahulu karena beliau merupakan bidan senior yang pasti pengalamannya menangani kasus lebih banyak dari bidan magang. Sehingga, apabila bidan magang bertanya dan berkonsultasi pada bidan puskesmas yang lebih senior maka akan bisa mendapatkan solusi atau koreksi tentang rencana tindakan yang akan diambil dalam prosedur asuhan persalinan.



14



Untuk bidan senior sebaiknya apabila ada bidan magang yang akan melakukan tindakan yang sekiranya dapat menyebabkan risiko yang fatal seyogyanya bidan puskesmas mengawasi bidan magang dalam menjalankan asuhan persalinan. Apabila ada langkah/tahap yang kurang tepat sebaiknya lekas dikoreksi dan diberitahu kesalahannya sehingga bidan magang dapat mengetahui apa yang kurang/salah dalam langkah/proses praktiknya. Terlepas dari itu, sebaiknya bidan puskesmas apabila ada bidan magang yang bertanya maka lebih baik dijelaskan hingga bidan magang paham sehingga tidak menimbulkan terjadinya kecelakaan dalam mengambil tindakan. Adanya kolaborasi dan komunikasi yang baik antara bidan magang dan bidan senior sangat menguntungkan dalam pelayanan pasien. Pasien akan merasa tenang, senang dan nyaman dalam pelayanan apabila bidan dapat memberikan pelayanan yang baik dan saling berkolaborasi.



Kasus 4 : Bidan Pustu Diduga Lakukan Malpraktek Sumber : suaramerdeka.com Palembang, CyberNews. Bidan Puskesmas Pembantu (Pustu) Kelurahan 5 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, Kota Palembang, Sumatra Selatan, Yt, diduga melakukan malpraktik sehingga mengakibatkan seorang bayi pasiennya meninggal dunia setelah diobati. Informasi dari Pustu itu, Jumat, menyebutkan, dugaan telah terjadi malpraktik dilakukan bidan Yt, karena setelah memberi obat pasiennya, Paris (3 bulan), justru mengalami kejang-kejang dan tubuhnya membiru. Kondisi tersebut terjadi sekitar setengah jam, usai Paris diberi tiga macam obat oleh bidan tersebut. Kendati bayi itu sempat dibawa ke RSUD Bari Kota Palembang untuk mendapatkan pertolongan, namun tidak lama kemudian ia meninggal dunia. Orang tua bayi itu, Santi (45), membenarkan kejadian yang dialami anaknya tersebut.



15



Namun menurut Kepada Dinas Kesehatan Kota Palembang, Gema Asiani, obat yang diberikan kepada Paris oleh bidan Yt sesuai standar. Menurut Gema, dengan penyakit panas yang diderita pasien itu, bidan bersangkutan memberikan obat yang sesuai, yaitu pil CTM, Paracetamol, dan obat batuk warna merah. Belum diketahui kemungkinan kasus ini akan dituntut keluarga pasien atau tidak, sehingga dapat diproses lebih lanjut atau kedua orang tuanya telah menerima keadaan tersebut. Di Sumsel saat ini telah berjalan program pengobatan gratis, khususnya diperuntukkan bagi warga kurang mampu di daerah ini, sehingga mendorong optimalisasi fungsi puskesmas dan puskesmas pembantu maupun RS pemerintah dan RS swasta jejaring layanan gratis tersebut. Kritik : Menurut saya kejadian yang dialami dalam berita tersebut tidak dapat sepenuhnya menyalahkan bidan karena bidan sudah melakukan prosedur sesuai dengan standar. Bidan menolong persalinan, apabila suhu tubuh bayi naik dan badan bayi panas maka otomatis bidan akan memberikan paracetamol atau obat penurun panas lainnya. Namun kembali pada kondisi fisiologi ibu ketika hamil. Saat sebelum hamil atau sewaktu hamil apakah ibu tersebut melakukan pemeriksaan dan konsultasi kehamilan ke bidan pustu tersebut atau tidak. Sebagai salah satu tenaga kesehatan, bidan dalam menjalankan praktik harus sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya (lihat Pasal 62 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan). Menurut penjelasan Pasal 62 ayat (1) huruf c UU Tenaga Kesehatan, yang dimaksud dengan "kewenangan berdasarkan kompetensi" adalah kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan secara mandiri sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya, antara lain untuk bidan adalah ia memiliki kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan ibu, pelayanan kesehatan anak, dan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.



16



Jika bidan tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan, ia dikenai sanksi administratif. Ketentuan sanksi ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan. Sanksi yang dikenal dalam UU Tenaga Kesehatan adalah sanksi administratif, yakni sanksi ini dijatuhkan jika bidan yang bersangkutan dalam menjalankan praktiknya tidak sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Dengan kata lain, jika memang memberikan obat atau suntikan bukanlah kompetensi yang dimilikinya, maka sanksi yang berlaku padanya adalah sanksi administratif bukan sanksi pidana. Akan tetapi, apabila ternyata pemberian obat atau suntikan itu merupakan suatu kelalaian berat yang menyebabkan penerima pelayanan kesehatan menderita luka berat, maka bidan yang bersangkutan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Sedangkan jika kelalaian berat itu mengakibatkan kematian, bidan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun (lihat Pasal 84 UU Tenaga Kesehatan). Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu berwenang untuk: (Pasal 10 ayat 3 Permenkes 1464/2010): a.



episiotomi;



b.



penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;



c.



penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;



d.



pemberian tablet Fe pada ibu hamil;



e.



pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;



f. fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif g. pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum; h.



penyuluhan dan konseling;



17



i.



bimbingan pada kelompok ibu hamil;



j.



pemberian surat keterangan kematian; dan



k.



pemberian surat keterangan cuti bersalin.



Sedangkan bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak berwenang untuk (Pasal 11 ayat (2) Permenkes 1464/2010): a.



melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini, injeksi Vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0 - 28 hari), dan perawatan tali pusat;



b.



penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk;



c.



penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;



d.



pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah;



e.



pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah;



f.



pemberian konseling dan penyuluhan;



g.



pemberian surat keterangan kelahiran; dan



h.



pemberian surat keterangan kematian.



Tindakan bidan untuk menyelamatkan bayi yang sudah sesuai dengan prosedur bukan merupakan tindakan malpraktik kebidanan. Bidan pustu dalam kasus tersebut sudah memberikan obat yang dibutuhakan bayi dengan benar. Namun tidak diketahui bahwa sebelum melahirkan apakah si ibu periksa di bidan pustu yang sama ataukah periksa di tempat lain sehingga akan mempersulit bidan yang menolong persalinan karena tidak memiliki riwayat rekam medis dari pasien. Saran : Dari teks berita tersebut, saran kepada pasien yaitu apabila periksa kehamilan dan konsultasi kehamilan di bidan A dan sebaiknya melahirkan di bidan A dengan alasan bidan A merupakan bidan yang mengontrol dan mengamati perkembangan janin akan mudah diatasi dibandingkan dengan bidan



18



yang tidak memiliki rekam medik sama sekali karena hal tersebut dapat membingungkan bidan bahkan dapat merugikan bidan. Misalnya jika pada pertolongan persalinan bidan tidak mengerti bahwa ibu tersebut mengalami penyakit jantung, maka akan menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan. Sebaiknya ibu mencari bidan yang sama dengan bidan yang mengontrol kehamilan. Saran untuk bidan dari teks tersebut adalah bidan merupakan pekerjaan yang mulia. Dengan tangan halus seorang wanita, bidan diwajibkan untuk dapat menyelamatkan 2 nyawa sekaligus saat dalam proses persalinan. Hal itu jelas tidak mudah. Sebaiknya apabila ada pasien yang ingin melahirkan dan bukan pasien yang sering mengontrol kehamilan kepada anda, sebaiknya anda meminta rekam mediknya atau dapat menghimbau pasien untuk lebih baik melahirkan di tempat bidan yang mengontrol kehamilan klien. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, alangkah baiknya bidan membaca rekam medik dahulu sebelum membuat tindakan. Karena kita tidak tahu apakah klien tersebut memiliki penyakit bawaan yang dapat menyebabkan komplikasi atau tidak. Hal tersebut sebaiknya dilakukan karena demi menghindari kesalahpahaman klien dan tuntutan yang mungkin akan dilontarkan kepada bidan yang membantu saat persalinan dan untuk jaga-jaga apabila ada suatu hal yang tidak diinginkan dan diluar dugaan. Dokumentsi sangat penting dalam kebidanan.



Kasus 5 : Gara-Gara Divakum Bocah 3 Tahun Cuma Bisa Nangis Sumber : News.detik.com Jakarta – Pulang dan melihat buah hati umumnya menjadi saat yang menggembirakan bagi seorang ibu. Tapi tidak bagi Mesdiwanda. Ibu berumur 35 tahun itu justru selalu menangis jika pulang dan melihat anaknya, Andreas. Andreas, buah hati Mesdiwanda telah berusia 3 tahun 4 bulan. Di usia itu, anak kecil biasanya sudah pintar berlari dan berbicara dengan ceriwis. Namun tidak demikian dengan Andreas. Ia tak ubahnya masih seperti seorang bayi. Hanya bisa tidur dan menangis. Tangan Andreas pun kaku dan tak bisa menggerakkan tubuhnya. Bahkan untuk sekadar menyatakan ingin buang air besar (BAB) atau



19



kecil saja, Andreas tak bisa. “Saya suka sedih kalau sampai di rumah. Saya nggak tega melihat dia belepotan kotoran karena nggak bisa bilang ingin BAB,” tutur Mesdiwanda. Mesdiwanda, Senin (6/9/2004) melaporkan kondisi anaknya itu ke Polda Metro Jaya atas dugaan malpraktek terhadap bidan Herawati di RS Pasar Rebo. Herawati adalah bidan yang membantu kelahiran Andreas pada 21 April 2001 lalu. Ibu yang tinggal Jl. Perintis II Romawi, Cipayung, Jaktim menuturkan, Herawati melakukan vakum sampai 3 kali saat membantu kelahiran Andreas. Akibat vakum itu, kepala Andreas sampai terluka. Dokter Benyamin dari LBH Kesehatan yang mendampingi Mesdiwanda menyatakan, Andreas mengalami kegeseran tempurung kepala akibat vakum sehingga fungsi otaknya terganggu. Cemas dengan kondisi anaknya, Mesdi sempat menemui dokter spesialis anak di RS Pasar Rebo. Dokter itu menganjurkan supaya Andreas dioperasi dan dirujuk ke RSCM. Namun di RSCM, dirujuk lagi supaya operasi di RSPAD Gatot Subroto. Sayangnya ketika ke RSPAD Gatot Subroto, pasangan Mesdi dengan Vimelson Sinaga sudah kehabisan dana. RSPAD memberitahu harus membayar uang muka Rp 10 juta untuk operasi. Sebagai orang yang kerjanya serabutan, pasangan itu tak memiliki biaya sebesar itu. Akhirnya hingga kini Andreas belum juga dioperasi. Di tengah kebingungan itu, keluarga itu akhirnya mengadu ke LBH Kesehatan dan kemudian menggugat bidan Herawati. “Saya minta pertanggungjawaban RS supaya anak saya diobati. Saya ingin anak saya bisa normal seperti anak lainnya,” kata Mesdi sedih. Kritik : Vakum ekstraktor terdiri dari 2 jenis, yaitu vakum yang menggunakan tenaga manusia dan vakum dengan tenaga mesin. Namun, cara penggunaannya kurang lebih sama. Alat ini digunakan dengan cara menempelkan cup vakum ekstraktor ke permukaan kepala bayi saat mulai terlihat keluar dari vagina. Persalinan dengan alat bantu, termasuk vakum, biasanya dilakukan ketika fase kedua persalinan dianggap terlalu lama.



20



Bagi ibu yang baru pertama kali melahirkan, durasi fase kedua persalinan yang normal adalah sekitar 3 jam secara alami atau 4 jam dengan suntik epidural. Sementara itu, bagi ibu yang melahirkan untuk kedua kali atau seterusnya, fase kedua yang dinilai terlalu lama adalah sekitar 1 jam secara alami dan 2 jam dengan suntik epidural. Dari berita tersebut ketika bidan sudah melakukan vakum 3 kali selama proses penggunaan vakum hal tersebut wajar karena sudah sesuai standar dimana maksimal 3 kali bidan melakukan vakum terhadap bayi. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dijelaskan kepada ibu. Utamanya yaitu risiko penggunaan vakum. Bidan juga harus memberitahu ibu tentang langkah-langkah penggunaan vakum extraction. Vakum extraction hanya boleh digunakan saat kondisi tertentu. Berikut merupakan indikasi yang boleh dilakukan saat vakum extraction : Bayi mengalami gawat janin saat ibu mengejan, Ibu sudah merasa sangat lelah dan bayi tidak kunjung lahir, Ibu memiliki kondisi medis tertentu yang membuatnya tidak boleh mengejan terlalu lama, misalnya penyakit jantung atau gangguan pada retina, membutuhkan waktu persalinan yang lama supaya bayi keluar. Risiko bagi ibu saat melakukan vakum extraction adalah Ibu yang melahirkan dengan alat bantu persalinan memiliki risiko mengalami pembekuan atau penggumpalan pada pembuluh darah kaki atau panggul. Untuk mencegahnya, ibu dapat mencoba untuk tetap bergerak setelah melahirkan (apabila sudah diperbolehkan oleh dokter), menggunakan stoking khusus, atau mendapatkan suntikan heparin dari dokter. Terkadang, ibu yang melahirkan dengan bantuan ekstraksi vakum dan mengalami robekan perineum berat, memiliki risiko lebih tinggi mengalami inkontinensia urine atau feses, yaitu kondisi sulit menahan buang air kecil atau buang air besar. Menurut UU No.36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 68 adalah sebagai berikut: (1) Setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan harus mendapat persetujuan.



21



(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat penjelasan secara cukup dan patut. (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang kurangnya mencakup: a. tata cara tindakan pelayanan; b. tujuan tindakan pelayanan yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan, baik secara tertulis maupun lisan. (5) Setiap tindakan Tenaga Kesehatan yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. (6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. Menurut saya dalam kasus tersebut bidan sudah melakukan hal yang benar sesuai dengan prosedur pemakaian vakum extraction yakni maksimal menarik 3 kali saat bayi akan dikeluarkan. Namun dalam laporan berita tersebut tidak disebutkan alasan mengapa bidan menggunakan vakum extraction yaitu indikasi apa saja yang menyebabkan bidan pada akhirnya menggunakan vakum daripada melakukan episiotomi. Menurut pandangan saya bidan tersebut pasti sudah mempertimbangkan mengapa ia harus menggunakan vakum extraction dengan indikasi tertentu, misalkan saat ibu sudah tidak kuat lagi untuk mengejan dan waktu persalinan sudah berlangsung lebih dari 3 jam. Tidak mungkin seorang



22



bidan dengan semaunya sendiri melakukan vakum tanpa persetujuan ibu ataupun keluarga. Pasti bidan juga mengetahui kelemahan menggunakan vakum tersebut. Saran : Untuk ibu apabila ibu sudah mengetahui risiko dari hal tersebut sebaiknya ibu tidak melakukan tuntutan pada bidan. Di awal sebelum melaksanakan prosedur vakum pasti bidan sudah memberitahu tentang risiko, bahaya beserta kelebihannya. Sebagai seorang bidan dalam prosedur kebidanan mewajibkan untuk memberitahu klien sebelum melakukan tindakan. Untuk bidan apabila akan melakukan vakum extraction sebaiknya dilakukan perundingan terlebih dahulu, apabila ada kemungkinan bahwa saat dilakukan vakum akan terjadi hal yang tidak diinginkan contohnya ketika bidan mengetahui bahwa pinggul bawah ibu kecil dan tidak muat untuk bayi yang sekiranya besar maka sebaiknya bidan melakukan rujukan ke rumah sakit dan untuk ibu dilakukan operasi sesar. Ada juga pilihan lain yaitu melakukan perjanjian hitam diatas putih dengan ibu yang bersangkutan ataupun wali yakni suami atau keluarga sehingga apabila ada tuntutan tentang prosedur vakum extraction dan bidan sudah melakukan langkah sesuai dengan prosedur yang ada maka bidan akan dapat bebas dari tuntutan klien karena sudah ada penandatanganan hitam diatas putih. Ibu memperbolehkan bidan melakukan vakum tentunya ibu dan keluarga sudah mempertimbangkan risiko yang telah diberitahu bidan dan menyetujuinya ketika sudah menandatangani perjanjian. Apabila ada sengketa antara bidan dan klien tentang risiko vakum extraction maka hal tersebut menurut pandangan saya bukan salah bidan apabila bidan sudah melakukan cara dan prosedur yang benar sesuai dengan langkah kerja. Oleh karena itu, perlu pertimbangan baik dari ibu maupun keluarga saat akan dilakukan vakum extraction. Daripada mengambil risiko yang besar, lebih baik melakukan operasi sesar yang lebih minim risiko daripada vakum.



Kasus 6 : Kepala dan Tangan Bayi Putus Saat Melahirkan Sumber : Tribunnews.com



23



TRIBUNNEWS.COM, PINRANG - Dua bidan Puskesmas Bunging, Kecamatan Duammpanua, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan masing-masing Bidan Fitri, dan Bidan Berta, hanya dikenakan hukuman sanksi kode etik atas kasus kelahiran bayi di Duammpanua Pinrang beberapa waktu lalu. Diketahui kasus kelahiran bayi di Duammpanua Pinrang, dengan kepala dan tangan terpisah dari tubuh janin, menggemparkan warga Pinrang. Akibat kejadian tersebut, bidan Bertha dan Fitri, selama beberapa hari menjalani pemeriksaan di Satreskrim Polres Pinrang. "Keduanya hanya dikenakan kode etik. Karena keterangan saksi ahli, bayi yang ditanganinya, sudah meninggal dalam rahim sebelum proses lahiran," kata Kapolres Pinrang, AKBP Heri Tri Maryadi, saat dikonfirmasi di ruang kerjanya, Rabu (9/10/2013). Sebelumnya, lima orang petugas puskesmas Desa Bunging, Kabupaten Pinrang diperiksa selama 5 jam oleh penyidik Reskrim Polres Pinrang, Sulawesi Selatan, Senin (30/9/2013) siang hingga sore. Pemeriksaan tersebut, terkait kasus kelahiran seorang bayi dengan kepala dan tangan bayi terputus dari badan. "Berdasarkan laporan keluarga korban soal dugaan malpraktek yang dilakukan pihak Puskesmas Desa Bungin, Kabupaten Pinrang, karena mengakibatkan kepala dan tangan bayi terlepas saat proses persalinan," jelas Kasat Reskrim Polres Pinrang Ajun Komisaris Abdul Karim, Senin. Mereka yang diperiksa polisi antara lain Kepala Puskesmas dr NS dan empat petugas, yakni bidan FA, bidan M, bidan SN, dan perawat SM. Kelimanya diperiksa secara bersamaan. Abdul Karim menjelaskan, kelima petugas puskesmas ini diinterogasi seputar kejadian terlepasnya bagian tubuh bayi sebelum dirujuk ke RSU Lasinrang. "Menurut pengakuan perawat yang diperiksa, kepala bayi memang terlepas saat persalinan di Puskesmas Desa Bunging, namun sang bayi sudah tidak bernyawa di dalam kandungan," jelas Karim.



24



Polisi masih mendalami kasus ini, apakah ada unsur pidana atau tidak. Setelah diperiksa, sejumlah petugas puskesmas tersebut enggan disorot kamera wartawan televisi. Bahkan kepala puskesmas enggan keluar dari ruang penyidik karena takut terkena sorotan kamera wartawan. Editor: Dewi Agustina Kritik : Kejadian tersebut merupakan malpraktik. Bidan tidak melakukan prosedur sesuai dengan asuhan kebidanan selama asuhan kebidanan persalinan dengan baik. Seharusnya bidan harus lebih bijak dalam mengambil tindakan. Dalam kasus tersebut bidan yang terlibat bukan hanya satu orang saja dan seharusnya lebih bisa mengambil keputusan dengan baik dan bijak. Kelalaian bidan seperti ini seringkali terjadi. Di Indonesia banyak sekali pendidikan kebidanan namun ketika membincangkan tentang kualitas perlu sedikit diragukan. Alasannya yaitu karena ada banyak sekolah bidan dan lulusan kebidanan namun kompetensi bidan banyak yang belum sesuai dengan standar kebidanan walaupun sudah mengikuti ujian kompetensi kebidanan. Banyaknya pendidikan bidan di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan kebidanan di Indonesia, seharusnya lulusan bidan juga memiliki kompetensi yang baik, tidak hanya kompetensi pengetahuan saja namun seorang bidan harus memiliki kompetensi praktik yang baik. Dibutuhkan upaya pemerintah untuk mencetak lulusan kebidanan yang berkompeten dengan berbagai usaha. Misalnya menutup pendidikan kebidanan yang akreditasi masih C dan tidak memenuhi standar. Pendidikan kebidanan mempengaruhi kualitas bidan lulusannya. Apabila pendidikan kebidanan dapat memberikan sarana dan prasarana yang baik serta pengajar yang kompeten maka akan dapat mencetak lulusan bidan yang hebat dan berkompeten. Hal tersebut tidak lepas juga dari perilaku individu. Sebagai mahasiswi kebidanan pastinya harus sudah menyiapkan segalanya seperti mental karena pendidikan bidan membutuhkan mental yang kuat, pikiran karena pendidikan kebidanan mengharuskan mahasiswi untuk memiliki wawasan yang luas disamping memiliki keterampilan yang baik, skill dan soft skill yang baik dimana bidan diharuskan memiliki keterampilan yang baik dan kemampuan soft skill yang baik. Selain itu, untuk menjadi bidan tentunya juga harus menyiapkan



25



finansial yang cukup karena tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah kesehatan semuanya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, perlu adanya kolaborasi yang sinergi antara mahasiswi dan pendidikan kebidanan. Dengan terciptanya lulusan bidan yang baik dan kompeten maka akan dapat meminimallisir kasus malpraktik yang marak terjadi di Indonesia. Sebagai tenaga kesehatan, seorang bidan saat lulus wajib mengikuti ujian kompetensi guna mendapat STR yang kemudian akan dapat digunakan untuk mengajukan SIPB yakni Surat Ijin Praktik Bidan. SIPB tersebut dapat digunakan bidan maksimal 2 tempat praktik. Misalkan 1 SIPB diletakkan di puskesmas dan SIPB yang kedua diletakkan di praktik mandiri bidan. Bidan yang melakukan praktik kebidanan harus memiliki SIPB. Menurut UU No.36 tahun 2014 pasal 1 ayat 5 tentang tenaga kesehatan kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang Tenaga Kesehatan berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap professional untuk dapat menjalankan praktik. Jadi, dalam hal ini bidan haruslah memiliki kompetensi yang baik dalam pengetahuan dan keterampilan dan menerapkan saat melakukan praktik



kebidanan.



Tidak



lalai



dan



fokus



terhadap



profesinya



serta



mengesampingkan perasaan dan emosi per individu saat menjalankan profesinya. Setiap bidan yang telah lulus dalam pendidikan kebidanan akan mengikuti ujian kompetensi guna mendapatkan sertifikat kompetensi. Menurut UU No.36 Tahun 2014 pasal 1 ayat 7 tentang tenaga kesehatan sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi tenaga kesehatan untuk dapat menjalankan praktik di seluruh Indonesia setelah lulus uji Kompetensi dan dalam ayat 14 terdapat standar prosedur operasional bidan. Standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu dengan memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan standar profesi.



26



Saran : Untuk bidan, sebaiknya mengikuti seminar dan pelatihan guna mengupgrade ilmu sehingga dapat meminimalisir hal yang tidak diinginkan yang dapat menimbulkan asumsi masyarakat bahwa hal tersebut adalah malpraktik. Mengikuti pelatihan dan seminar secara rutin juga dapat menambah pengetahuan bidan tentang bidang keilmuan kebidanan yang terbaru. Di sisi lain, untuk mengetahui kompetensi yang dimiliki tenaga kesehatan perlu dilakukan pengkajian atau evaluasi tiap bulan, dalam lingkup pelayanan kesehatan sebaiknya ada petugas yang khusus mengontrol kinerja tenaga kerjanya. Hal tersebut juga berguna untuk meminimalisir hal yang tidak diinginkan. Butuh kerjasama dan usaha yang baik antara pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan maksimal kepada klien. Jika terdapat bidan yang melakukan tindakan menyimpang diluar standar praktik profesi bidan dengan unsur ketidaksengajaan maka bidan harus menerima konsekuensi dan sanksi dari organisasi profesi atau pelayanan kesehatan yang terkait. Bukan menghindari masalah, namun menghadapi dan memberikan bukti dokumentasi kebidanan bahwa adanya unsur ketidaksengajaan. Sebagai seorang bidan harus jujur saat memberikan pelayanan kepada klien dan memberikan laporan kepada atasan. Bidan dapat dinilai menjadi bidan yang baik apabila bidan tersebut saat berbuat kesalahan berani mengakuinya dan meminta maaf kepada pihak yang dirugikan atau memberi ganti rugi sebagai kompensasi atas kesalahannya dalam mengambil tindakan saat praktik kebidanan.



Kasus 7 : KPAI Sebut Penahanan Bayi Di Palembang Langgar Kode Etik Bidan Sumber : merdeka.com Merdeka.com - Adanya laporan dugaan penahanan bayi oleh seorang bidan di Palembang berinisial DW mendapat kecaman dari Komisi Perlindungan Perempuan dan anak (KPAI) Palembang. Bidan DW dinilai melanggar kode etik dan sumpah profesi.



27



Ketua KPAI Kota Palembang, Adi Sangadi mengungkapkan, tindakan bidan DW itu sangat tidak terpuji. Tindakannya dinilai sama saja memisahkan orang tua dan anak. Padahal, bayi baru dilahirkan membutuhkan perawatan dan kasih sayang oleh orangtuanya. "Kami kecam tindakan oknum bidan DW. Tak seharusnya dilakukan terhadap pasiennya," ujar Adi, di Palembang, Selasa (17/5). Menurutnya, perbuatan DW harus mendapatkan sanksi hukum sesuai perundangundangan. Sebab, DW telah melanggar etika dan sumpah profesi. "Kalo soal pembayaran, mungkin sedang diupayakan oleh pasien. Tidak perlu ada penahanan bayi seperti itu," jelasnya. Tak hanya sanksi pidana, masih kata Adi, pihak terkait harus mencabut izin praktek bidan DW jika terbukti bersalah. Pemerintah juga diimbau memberikan aturan tegas dan kontrol terhadap setiap klinik atau tempat persalinan agar kejadian serupa tidak terulang. "Cabut izin praktiknya, pemerintah tidak boleh tinggal diam," tandasnya. Sebelumnya, seorang bidan di Palembang berinisial DW dilaporkan ke polisi karena diduga telah menahan bayi pasien karena biaya persalinan belum ditebus. Korban bernama Triani (42) warga Kelurahan Kalidoni, Kecamatan Kalidoni, Palembang, di hadapan petugas, Triani menuturkan, bayinya ditahan terlapor selama empat bulan terakhir sejak kelahiran secara operasi cesar pada 31 Januari 2016 di tempat praktek DW tak jauh dari kediamannya. Alasan penahanan bayi laki-laki itu, kata Triani, lantaran dirinya tidak sanggup membayar biaya persalinan Rp 9 juta dan perawatan Rp 125 ribu per hari, hingga total harus dibayar sebesar Rp 20 juta. Triani juga sempat dipaksa menginap di klinik bidan tersebut selama perawatan selama 40 hari usai persalinan. Begitu sembuh, Triani disuruh pulang sendirian untuk mencari uang. Sementara bayinya masih ditahan sampai biaya persalinan lunas. Korban pun mencicil biaya itu namun belum juga dikembalikan.



28



Triani khawatir, bidan itu akan menjual bayinya jika tidak juga melunasi uang yang diminta. Sebab, bidan itu pernah mencetuskan kalimat banyak orang yang ingin punya anak dan mampu merawat anaknya. Kritik : Tindakan bidan tersebut jelas melanggar kode etik karena seorang bidan apabila menolong persalinan pertama kali yang dilakukan harus tidak memikirkan tentang biaya yang akan dibayar oleh klien namun memikirkan bagaimana cara supaya dapat memberikan pelayanan yang baik. Ketika bayi sudah lahir dengan selamat kemudian hal yang akan dibahas tentunya tentang biaya. Untuk biaya biasanya sudah ditetapkan oleh organisasi profesi bidan yaitu IBI. Menurut pasal 1 ayat 8 organisasi profesi adalah wadah berhimpunnya tenaga kesehatan bidan di Indonesia. Menurut UU No.36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 57 huruf c “tenaga kesehatan dalam memberikan praktik berhak menerima imbalan jasa” dan menurut UU No.36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 58 ayat 1 huruf a yaitu “memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan.” Serta menurut UU No.36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 60 huruf d yaitu “melakukan kendali mutu pelayanan dan kendali biaya dalam menyelenggarakan upaya kesehatan.” Sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila seorang tenaga kesehatan sudah memberikan pelayanan yang terbaik sesuai dengan standar profesi, beliau mendapat hak untuk menerima imbalan jasa sesuai dengan UU yang berlaku. Namun dalam kasus ini berbeda karena adanya “penahanan” bayi karena si ibu tidak dapat membayar biaya persalinan. Hal tersebut bisa dirundingkan, misalkan apabila ibu memiliki BPJS, maka alternatifnya bisa dibayar dengan menggunakan BPJS. Lalu apabila ibu tidak memiliki BPJS alternatif lain menurut saya yaitu dengan cara mencicil. Jadi ibu hanya membayar seadanya saja yang si ibu punya, lalu apabila sudah ada rezeki lagi si ibu dapat membayarkan kekurangan biaya persalinan ke bidan misalkan dengan jaminan KTP atau kartu keluarga yang dilegalisir dan ditandatangani oleh pihak ibu dan bidan apabila pembayarannya dengan cara mencicil dan bunga 0% karena ini adalah praktik bidan, bukan bank.



29



Jadi jangan memberikan bunga apabila ada seorang klien yang cara pembayarannya dengan mencicil. Setiap cicilan dapat diberikan kwitansi dan cap praktik mandiri bidan beserta nomor izin praktik bidan. Lalu apabila ibu hanya memiliki sedikit uang, kekurangannya dapat dibayar digantikan oleh bahan pokok misalkan beras, apabila sang ibu merupakan keluarga dari petani. Yang penting adalah sesuai kesepakatan bersama sehingga tidak menimbulkan “penahanan” bayi karena hal tersebut jelas menyimpang dari kode etik bidan. Saran : Jadi, perlu adanya komunikasi dua arah dan kerjasama antara keluarga pasien dan bidan mengenai pembayaran apabila keluarga pasien tidak mampu membayar dengan jumlah yang sudah ditentukan. Jadi sebagai bidan seharusnya tidak mempersulit klien yang tidak mampu membayar dan sebaiknya tidak melakukan penahanan terhadap bayi.



Kasus 8 : Dedi Mulyadi Ancam Cabut Izin Bidan Desa Nakal Sumber : Pikiranrakyat.com PURWAKARTA, (PR). Bupati Purwakarta mengancam akan mencabut izin praktik bidan desa yang selalu menyarankan kepada pasien untuk operasi caesar di rumah sakit tertentu, dan bidan mendapat keuntungan materi dari rumah sakit yang mendari rujukan itu. Ia menilai tindakan tersebut telah melanggar kode etik kedokteran hingga perlu ditertibkan. Sebelumnya, Dedi mengaku dipusingkan oleh banyaknya laporan masyarakat yang mengeluhkan praktik bidan desa di wilayahnya. Dalam melayani pasien yang akan melakukan persalinan, ada oknum bidan desa kerap kali langsung memberi surat rujukan ke salah satu rumah sakit ibu dan anak (RSIA) di Purwakarta agar dilakukan operasi caesar. Padahal, menurut laporan warga tersebut, sebenarnya persalinan dapat dilakukan secara normal. Rujukan untuk operasi caesar disinyalir karena bidan desa dijanjikan mendapat bayaran sebesar 30 persen per pasien jika merujuk pasien bersalin ke Rumah Sakit tersebut. "Pertama, kita harus membuktikan dahulu kebenaran kelakuan bidan desa tersebut. Kalau benar terjadi maka saya cabut izin praktik kebidanannya sekarang juga,” kata Dedi geram. Ia ditemui di sela-sela peringatan Isra Mi’raj di Taman Maya Datar Purwakarta, Rabu 11 Mei 2016. Menurut Dedi,



30



profesi bidan merupakan pekerjaan yang istimewa apalagi jika statusnya sudah PNS. Ini karena bidan tersebut mendapat penghasilan tambahan dari praktiknya di luar jam kerja sebagai PNS. "Mereka itu diperbolehkan untuk melakukan praktik di wilayahnya. Artinya ada penghasilan tambahan. Kalau masih berharap bayaran dari hasil merujuk pasien, kita cek saja itu termasuk gratifikasi atau bukan. Kalau pelanggaran kode etik itu sudah jelas ya,” ujarnya menambahkan. Ia mengaku mendapat informasi itu dari keluhan masyarakat yang disampaikan melalui SMS center Pemkab Purwakarta. Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Cabang Purwakarta Hj Yeyet mengatakan, IBI masih menelusuri kebenaran kabar itu. Kalau pun ada, ia berdalih bahwa perbuatan tidak terpuji itu dilakukan oleh oknum bidan nakal. Secara Institusi, dia meyakinkan semua pihak bahwa tidak semua bidan melakukan tindakan yang merupakan pelanggaran kode etik itu. Kritik : Menurut UU No.36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 58 ayat 1 huruf a menyatakan bahwa “Tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik wajib memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan.” Menurut UU No.36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 58 ayat 1 huruf e menyatakan bahwa “merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain yang mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai.” Dari 2 pasal tersebut sudah dapat terlihat bahwa setiap bidan harus memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi. Tindakan rujukan dilakukan ketika terdapat kasus yang tidak bisa ditangani sendiri oleh seorang bidan dan mengharuskan untuk merujuk ke pelayanan kesehatan yang mempunyai kompetensi dan kewenangan yang sesuai. Tidak semuanya saat melahirkan harus operasi sesar. Semuanya kembali pada kondisi ibu, kekuatan ibu, ukuran pinggang bawah ibu, dan kondisi patologis janin(bila ada). Kasus yang diutarakan dalam berita diatas merupakan kasus bidan merujuk klien dengan kondisi yang kurang tepat. Seperti masih bisa ditangani sendiri mengapa harus dirujuk. Menurut UU No.36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 60 tenaga kesehatan berkewajiban untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika



31



profesi, mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau kelompok, dan melakukan kendali mutu pelayanan dan kendali biaya dalam menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan menurut UU No.36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 62 ayat 1 tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik harus dilakukan sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya. Seorang bidan pasti harus memiliki kompetensi untuk membantu persalinan di ranah fisiologis karena saat sudah masuk ranah patologis hal tersebut sudah masuk dalam kewenangan dokter dan segera dirujuk ke pelayanan kesehatan yang lebih berwenang dan mumpuni. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan pasal 28 dalam melaksanakan praktik kebidanannya, bidan berkewajiban untuk menghormati hak pasien, memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan, merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan tepat waktu, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan, menyimpan rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan, melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya yang diberikan secara sistematis, mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar



prosedur



operasional;,



melakukan



pencatatan



dan



pelaporan



penyelenggaraan Praktik Kebidanan termasuk pelaporan kelahiran dan kematian, pemberian surat rujukan dan surat keterangan kelahiran dan meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan pasal 46 : (1) Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan/atau Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan praktik bidan sesuai dengan kewenangan masingmasing.



32



(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengikutsertakan organisasi profesi. (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien, dan melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. (4) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik. (5) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; c. pencabutan SIP untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun; atau d. pencabutan SIPB selamanya. Bidan dalam menjalankan tugasnya diharuskan untuk selalu meningkatkan keterampilannya



dengan



mengikuti



pelatihan.



Pemerintah



juga



sudah



menyediakan fasilitas kepada bidan-bidan supaya dapat mengembangkan keterampilannya dan dapat melaksanakan praktik kebidanannya dengan baik. Dari UU dan PMK diatas terdapat korelasi dengan kasus. Saran : Apabila seorang bidan dalam menjalankan praktiknya ingin tenang dan tidak banyak permasalahan maka jadilah bidan yang menjalankan peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah ataupun instansi tempat anda bekerja. Hal tersebut sangat berkaitan dengan citra anda sebagai bidan di mata hokum. Ketika anda sudah pernah tersandung kasus kebidanan, maka citra anda akan berubah dalam pandangan masyarakat.



33



Oleh karena itu, sebagai bidan harus mengupgrade imu dan mengikuti pelatihan secara rutin. Pemerintah juga sudah mengupayakan untuk adanya pelatihan terhadap bidan-bidan. Dengan adanya pelatihan dan workshop maka diharapkan bidan akan dapat menjalankan profesinya sesuai dengan standar profesi yang ditetapkan tiap anggota profesi. Bidan memang memiliki kewenangan untuk merujuk pasien. Namun tidak semua pasien harus dirujuk dan disarankan operasi sesar. Ada indikator mengapa pasien tersebut harus kita rujuk. Seperti contohnya ketika pasien memiliki pinggul bawah yang kecil yang apabila melahirkan dengan normal akan dapat menimbulkan komplikasi, kasus seperti itu harus dirujuk, ibu menderita HIV/AIDS, bayi sungsang, dan masih banyak indikasi lain yang menyebabkan harus merujuk ibu ke rumah sakit untuk persalinan sesar. Indikasi tersebut biasanya indikasi kehamilan patologis, dimana kehamilan patologis bukan ranah bidan namun sudah masuk dalam ranah dokter obgyn. Bidan hanya menangani kasus kehamilan fisiologis saja.



Kasus 9 : Seorang Bidan Jadi Tersangka Kasus Vaksin Palsu Sumber : antaranews.com Jakarta (ANTARA News) – Seorang bbidan berinisal ME ditetapkan sebagi tersangka dalam kasus praktik peredaran vaksin palsu untuk bayi. “Pada Rabu malam (29/6) satu orang ditetapkan sebagai tersangka,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya di Mabes Polri, Jakarta, Kamis. Agung mengatakan ME yang ditangkap di Ciracas, Jakarta Timur itu berperan sebagai tenaga medis yang memberi suntikan vaksin ke bayi sekaligus berperan sebagai distributor vaksin. Selain ME, dua orang lainnya turut ditangkap dalam operasi Rabu malam itu. “Dua orang lainnya ditangkap di Cakung (Jakarta Timur). Keduanya masih diperiksa,” katanya.



34



Dalam kasus ini, diketahui ada empat komplotan pembuat vaksin palsu yakni tersangka P (ditangkap di Puri Hijau Bintaro), tersangka HS (ditangkap di Jalan Serma Hasyim Bekasi Timur), tersangka H dan istrinya R (ditangkap di Kemang Regency) serta tersangka M dan T (ditangkap di Semarang). Agung mengatakan, hingga saat ini ada 17 tersangka yang ditangkap dalam kasus ini. Belasan tersangka itu ada yang berperan sebagai produsen vaksin palsu, pengumpul botol vaksin bekas, pembuat label vaksin, distributot meraup keuntungan Rp20 juta per minggu. Agung mengatakan vaksin-vaksin palsu itu didistribusikan di Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, Semarang (Jawa Tengah), Yogyakarta dan Medan (Sumatera Utara). “Mereka (para pelaku) sudah menggeluti usaha ini sejak tahun 2003,” katanya. Perwata : Anita Permata Dewi Editor : Jafar M Sidik Kritik : Dalam berita tersebut penulisan artikelnya tidak dijelaskan bahwa apa pekerjaan rekan bidan yang berperan sebagai produsen vaksin palsu, pengumpulan botol vaksin bekas, pembuatan label vaksin, dan distributor. Untuk distributor, menurut saya juga tenaga kesehatan karena apabila distributor bukan dari tenaga kesehatan maka vaksin tersebut akan tidak dipercaya orang sedangkan bisnis tersebut sudah berjalan lama sejak 2003. Sehingga menurut asumsi saya pekerjaan tersebut dapat dilakukan oleh anggota tenaga kesehatan. Alasannya yaitu tenaga kesehatan biasanya lebih mengetahui letak dan tempat untuk pembuangan



botol



vaksin,



cara



pengemasan,



cara



menggunakan,



dan



pendistribusian. Sehingga asumsi saya pihak yang saling bekerjasama membuat vaksin palsu tersebut semuanya merupakan tenaga kesehatan. Menurut UU No.36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 58 ayat 1 huruf a “Tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik wajib memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan



35



Penerima Pelayanan Kesehatan.” Arti dalam memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi yaitu sesuai dengan profesinya masing-masing. Misalkan bidan berarti bidan saat memberikan pelayanannya harus sesuai dengan standar profesi kebidanan, untuk dokter harus sesuai dengan standar profesi dokter, untuk perawat harus sesuai standar profesi keperawatan, dan lain sebagainya menurut bidang keilmuan masing-masing. Dalam kasus diatas seharusnya tenaga kesehatan mengindahkan dan mengimplementasikan pasal 60 UU No.36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan. Kesalahan yang terjadi dalam kasus vaksin palsu ini yaitu tenaga kesehatan tidak bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi, tenaga kesehatan tidak mendahulukan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi, dan tidak melakukan kendali mutu pelayanan terhadap masyarakat. Kasus diatas dapat dijerat menurut UU No.36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 69 ayat 1 yaitu “Pelayanan kesehatan masyarakat harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan tidak melanggar hak asasi manusia.” dan pasal 60 : Tenaga Kesehatan bertanggung jawab untuk: a. mengabdikan



diri



sesuai



dengan



bidang



keilmuan



yang



dimiliki;



meningkatkan Kompetensi; b. bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi; c. mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau kelompok; dan d. melakukan



kendali



mutu



pelayanan



dan



kendali



biaya



dalam



menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan pasal 28 huruf g “mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.” Dan pasal 46 adalah sebagai berikut :



36



(1) Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan/atau Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan praktik bidan sesuai dengan kewenangan masingmasing. (2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengikutsertakan organisasi profesi. (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien, dan melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. (4) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik. (5) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; c. pencabutan SIP untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun; atau d. pencabutan SIPB selamanya. Sehingga dapat dikorelasikan bahwa bidan akan mendapat sanksi administratif ketika melakukan pelanggaran terhadap kode etik kebidanan. Sanksi administrative tersebut sesuai dengan PMK 2No.28 tahun 2017 tentang izin penyelenggaran praktik bidan pasal 46 ayat 5. Dalam pasal 46 ayat 1 jelas bahwa pemerintah berhak memberikan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan praktik bidan.



37



Setiap orang yang telah menerima pelayanan kebidanan dari bidan yang memvaksin dengan vaksin palsu maka orang tersebut berhak mendapat ganti rugi dari bidan yang bersangkutan sesuai dengan UU No.36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 77 yang berbunyi “Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.” Namun apabila pihak yang merasa dirugikan melakukan tindakan yang tidak sepatutnya dan melanggar hokum seperti melakukan pengeroyokan kepada bidan hal tersebut dapat merugikan pihak itu sendiri. Dalam UU yang sama pasal 79 juga disebutkan bahwa “Penyelesaian perselisihan antara Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang undangan.” Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 1 ayat 6 hingga ayat 13 yaitu : 6. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. 7. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. 8. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. 9. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan



38



untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. 10. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan kesehatan manusia. 11. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. 12. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan. 13. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/ penyakit. Motif bidan dan orang yang membuat vaksin palsu yaitu membuat vaksin dengan motif pencegahan preventif. Bisa jadi skenario yang dibuat oleh oknum yang tidak bertanggungjawab tersebut adalah promosi kesehatan dan preventif pencegahan penyakit. Sehingga masyarakat bisa tertarik kemudian ingin divaksin atau membeli vaksin palsu tersebut. Dengan ilmu kesehatan yang dipelajari di bangku perkuliahan pasti tenaga kesehatan dapat meyakinkan orang bahwa nakes tersebut ingin melakukan pencegahan penyakit/imunisasi yang bersifat preventif. Tapi sayangnya ilmu tersebut sepertinya disalahgunakan dalam kasus vaksin palsu ini. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 132 ayat (3) dan (4) yaitu : (3) Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi.



39



(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 133 ayat (1) dan (2) yaitu : (1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya. (2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan. Sudah jelas disebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh imuniasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi. Ketika bidan memberikan vaksin palsu, jelas obat tidak akan bereaksi dengan baik sehingga anak dapat terkena penyakit. Pemerintah juga melakukan perlindungan lepada bayi dan anak dan mencegah segala bentuk diskriminasi dan kekerasan yang mengganggu kesehatannya. Untuk kasus vaksin palsu, sangat jelas bisa mengganggu kesehatan anak karena obat vaksin yang diberikan adalah palsu. Menurut UU No.4 ttahun 2019 tentang kebidanan pasal 61 huruf a dan b yaitu Bidan dalam melaksanakan Praktik Kebidanan berkewajiban : a. Memberikan



Pelayanan



Kebidanan



sesuai



dengan



kompetensi,



kewenangan, dan mematuhi kode etik, standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional; b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan lengkap mengenai tindakan Kebidanan kepada Klien dan/ atau keluarganya sesuai kewenangannya; Banyak dicetak lulusan bidan dan banyak sekolah yang menyediakan pendidikan bidan, namun setiap bidan yang sudah lulus dari pendidikan kebidanan belum tentu memiliki kompetensi yang baik meskipun bidan sudah lulus ujian



40



kompetensi yang berlaku untuk semua calon tenaga kesehatan yang berfungsi untuk mendapatkan STR (Surat Tanda Registrasi) yang kemudian dapat digunakan untuk mendapat SIP (Surat Ijin Praktik). Menjadi bidan harus memiliki karakter yang luhur dan baik. Saat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat bidan harus jujur, bukan malah menipu masyarakat demi meraup keuntungan yang besar untuk diri sendiri. Esensi menjadi bidan untuk memberikan konsultasi dini kepada calon pengantin, perencanaan kehamilan, dan pelayanan kesehatan ibu dan anak dimana salah satunya pelayanan kesehatan pemenuhan kebutuhan gizi. Kasus vaksin palsu yang dilakukan bidan telah banyak melanggar UU yang menjadi pedoman bagi tenaga kesehatan. Sanksi yang didapat dari bidan dan oknum yang tidak bertanggungjawab adalah sanksi pidana/sanksi administrative, dan sanksi denda karena telah merugikan banyak orang dan sebagai pertanggungjawaban kepada pihak yang dirugikan. Saran : Apabila saudara menjadi korban kasus vaksin palsu yang dilakukan oleh bidan, saudara berhak menuntut dengan pasal tersebut dan meminta ganti rugi. Dihimbau untuk tidak melakukan tindakan yang anarkis dan memberontak karena hal tersebut malah merugikan pihak yang dirugikan sehingga timbul masalah baru. Untuk itu sebaiknya apabila saudara adalah pihak yang dirugikan, lakukan protes sesuai dengan UU yang berlaku karena negara kita negara hokum yang menjunjung tinggi peraturan perundangan. Tersangka akan diadili sesuai dengan UU yang berlaku. Apabila saudara adalah tenaga kesehatan. Jadilah tenaga kesehatan yang jujur saat menyampaijkan kondisi klien dan dalam memberikan pelayanan kepada klien yang bersangkutan. Kejujuran anda sangat berharga bagi klien yang anda beri pelayanan karena tidak seorangpun yang ingin sakit sehingga bersikaplah seperti anda merangkul klien. Kemudian jadilah tenaaga kesehatan yang amanah dalam memberikan pelayanan kesehatan. Lakukan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi dan standar operasional menurut bidang keilmuan masingmasing. Berikan pelayanan sebaik-baiknya dan jangan menipu klien serta jangan



41



melakukan penarikan tarif setelah melakukan pelayanan kesehatan yang tidak masuk akal dan terlalu mahal karena dapat memberatkan klien.



Kasus 10 : Jerat Hukum Bagi Bidan yang Membantu Aborsi Sumber : Hukumonline.com Sepasang kekasih yang tengah duduk di bangku SMA bernama Romeo (17 tahun) dan Juliet (16 tahun) datang ke bidan Ira untuk melakukan aborsi. Setelah dilakukan anamnesa oleh bidan Ira diketahui usia kandungan Juliet 9 minggu. Juliet mengatakan bahwa ia sedang mengandung janin dari hasil hubungan seks bebas dengan Romeo (bidan Ira dikenal sebagai bidan praktik mandiri sekaligus menyediakan jasa aborsi). Bidan ira menyatakan sanggup dan meyakinkan pada Juliet bahwa ia mampu menggugurkan janin tersebut. Setelah selesai berunding kemudian bidan ira melakukan aborsi. Di tengah proses pengguguran Juliet mengalami perdarahan akibat rubture uteri dan meninggal dunia. Kritik : Pada dasarnya menurut UU No.36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 60 huruf b menyatakan bahwa setiap tenaga kesehatan bertanggungjawab untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi dan pada pasal 62 ayat (1) menyatakan bahwa



Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik harus



dilakukan sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada Kompetensi yang dimilikinya. Bidan tidak berwenang melakukan aborsi. Yang berwenang melakukan aborsi adalah dokter. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan pasal 28 huruf g menyatakan



bahwa



dalam



menjalankan



praktik



kebidanannya,



bidan



bertanggungjawab untuk mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Aborsi yang dilakukan oleh bidan dengan alasan tidak termasuk alasan medis sudah termasuk pelanggaran terhadap standar prosedur operasional. Menurut UU No.4 tahun 2019 tentang kebidanan pasal 61 huruf a menyatakan bahwa bidan dalam melaksanakan praktik kebidanan berkewajiban



42



memberikan pelayanan kebidanan sesuai dengan kompetensi, kewenangan, dan mematuhi kode etik, standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional. Melakukan aborsi tanpa indikasi medis merupakan pelanggaran terhadap kode etik kebidanan seperti yang tertuang dalam pasal tersebut. Aborsi adalah kegiatan pengguguran janin yang ada dalam kandungan. Hal ini sama dengan membunuh bayi yang tidak berdosa. Membunuh manusia saja sudah menyebabkan dosa besar, apalagi membunuh bayi yang tidak berdosa. Dalam semua agama pasti aborsi menjadi larangan karena sama halnya dengan membunuh ciptaan Tuhan. Hal tersebut tercantum dalam pasal 74 ayat (1), (2), dan (3) UU No.36 tahun 2014 tentang kesehatan yang berbunyi : (1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan. (2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam UU tenaga kesehatan diperbolehkan melakukan aborsi apabila keadaan sesuai dengan indikasi legalitas aborsi menurut UU No.36 tahun 2014 tentang kesehatan pasal 75 hingga 77 sebagai berikut : Pasal 75 1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi. 2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita



43



penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. 3. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 76 Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 77 Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak



44



bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam UU Kesehatan ada sanksi pidana bagi orang yang melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 UU Kesehatan, yaitu dalam Pasal 194 UU Kesehatan: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara



paling



lama



10



(sepuluh)



tahun



dan



denda



paling



banyak



Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Berdasarkan ketentuan di atas, dapat kita lihat bahwa UU Kesehatan tidak membedakan hukuman pidana bagi ibu si bayi maupun bidan yang membantu aborsi. Ini berbeda dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Merujuk pada ketentuan dalam KUHP, si bidan dapat dihukum dengan Pasal 349 dan Pasal 348 KUHP: Pasal 349 KUHP: “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.” Pasal 348 KUHP: (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Karena sudah ada ketentuan yang mengatur lebih khusus yaitu UU Kesehatan, maka yang berlaku adalah ketentuan pidana dalam UU Kesehatan bagi si bidan.



45



Ini berarti si bidan dapat dihukum karena melanggar Pasal 75 UU Kesehatan dengan ancamana hukuman sebagaimana terdapat dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang telah disebutkan di atas. Sedangkan bagi si laki-laki, Anda tidak menyebutkan apakah si laki-laki ikut menghasut si perempuan atau tidak. Jika si laki-laki tidak melakukan tindakan apa-apa, maka ia tidak dapat dihukum pidana. Akan tetapi si laki-laki dapat dihukum karena hubungan seks yang dilakukan dengan pacarnya yang masih anak-anak. Yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak - “UU Perlindungan Anak”). Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Pelaku Persetubuhan Karena Suka Sama Suka, Bisakah Dituntut?, orang yang melakukan persetubuhan dengan anak, meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka, dapat dijerat dengan Pasal 81 UU Perlindungan Anak, yang selengkapnya berbunyi: Pasal 81 UU Perlindungan Anak: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Saran : Kepada orang tua sebaiknya memberikan pendidikan seks kepada anak. Memang terdengar tabuh namun pendidikan seks sangat perlu diberikan kepada anak apalagi saat anak memasuki usia remaja. Remaja memiliki keingintahuan yang sangat banyak. Ia akan mencari tahu apa yang membuatnya penasaran. Oleh



46



karena itu perlu adanya peran orang tua untuk memberikan pendidikan seks kepada anak saat anak beranjak remaja untuk mencegah seks bebas dan hal yang tidak diinginkan. Kepada generasi muda seharusnya saudara gigih untuk mengukir prestasi dan membuat bangga negeri. Mengharumkan ibu pertiwi hingga ke penjuru dunia ini. Jangan malah asyik dengan pacaran dan kegiatan yang menimbulkan dampak negatif untuk saudara. Bangunlah mimpi, belajarkan yang giat dan tekun, hindari pacaran yang terlewat batas, perdalam ilmu agama, dan selalu berceritalah kepada orang tua tentang masalah yang saudara alami. Buatlah orang tua saudara seperti teman curhat saudara, dimana ketika saudara membutuhkan saran dan tempat untuk bersandar, orang tua akan dengan senang merangkul saudara. Lakukanlah hal seperti itu supaya terhindar dari perbuatan yang negatif dan tidak bermanfaat serta mencegah timbulnya hal yang tidak diinginkan. Kepada bidan sebaiknya apabila ada klien yang ingin menggugurkan kandungannya meskipun saudara bidan akan dibayar mahal untuk menggugurkan kandungan, tolong jangan membantu untuk menggugurkan karena itu merupakan ciptaan Tuhan. Lalu apabila ada sepasang kekasih dibawah umur yang sudah hamil duluan, sebaiknya bidan memberikan nasihat dan edukasi, mengadakan konseling dengan klien yang bersangkutan dan mediasi kepada kedua orang tuanya. Jangan malah meng “iya” kan dengan iming-iming akan mendapat uang yang banyak. Menggugurkan bayi sama dengan membunuh ciptaan Allah. Jika saudara menggugurkan bayi maka saudara sama dengan membunuh manusia. Tugas bidan bukan untuk membunuh janin dan bukan untuk membunuh masnusia. Tugas bidan adalah menyelamatkan nyawa sang janin dan ibu. Bidan menyelamatkan 2 nyawa sekaligus dalam proses persalinan. Bukan membunuh salah satu dari mereka. Apabila terdapat kondisi patologis, segera rujuk ke rumah sakit terdekat. Ranah bidan adalah kehamilan fisiologis, bukan kehamilan patologis. Yang berwenang untuk mengatasi kehamilan patologis adalah dokter. Yang berhak untuk mengaborsi dengan indikasi tertentu seperti pasal yang sudah tertera tersebut mrupakan wewenang dokter. Bidan tidak berwenang atas hal itu.



47



Jadilah bidan yang baik dan teladan, yang menjalankan tugas profesinya dengan ikhlas dan dengan cinta. Menjadi bidan memang tidaklah mudah, terkadang kita akan diiming-iming oleh tawaran untuk menggugurkan janin. Namun kembali lagi, pada mulanya kita juga sebuah embrio, yang berkembang menjadi janin, kemudian bertumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa saat ini. Janin psasti tidak mau ia harus mati sebelum bisa keluar dari rahim ibu dan melihat indahnya dunia. Sebagai bidan kita harus selalu ingat itu. Berikan pelayanan yang baik dan ramah kepada klien, terapkan 5S (salam, senyum, sapa, sopan dan santu) kepada klien dan selalu patuhi standar pelayanan kebidanan, standar profesi bidan dan kode etik. Semoga dengan menjadi bidan dapat menjadi ladang pahala untuk kita.



PENUTUP



Kesimpulan Etika sebagai salah satu cabang filsafat seringkali dianggap sebagai ilmu yang abstrak dan kurang relevan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak uraian filsafat dianggap jauh dari kenyataan, tetapi setidaknya etika mudah dipahami secara relevan bagi banyak persoalan yang dihadapi. Etika sebagai filsafat moral mencari jawaban untuk menentukan serta mempertahankan secara rasional teori yang berlaku tentang apa yang benar dan yang salah, baik atau buruk, yang secara umum dapat dipakai sebagai suaru perangkat prinsip moral yang menjadi pedoman bagi tindakan manusia. Etika tidak lepas dari kehidupan manusia, termasuk dalam profesi kebidanan membutuhkan suaru sistem untuk mengatur bidan dalam menjalankan peran dan fungsinya. Dalam menjalankan perannya bidan tidak dapat memaksakan untuk mengadaptasi suatu teori etika secara kaku, tetapi harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi saat itu dan berlandaskan pada kode etik dan standar profesi. Saran Tugas ini masih belum mencapai sempurna, sehingga pembaca dapat menambahkan atau menghapus bagian yang kurang. Dan sebagai seorang penyambung lidah, sebaiknya mahasiswa lebih mengembangkan wawasannya mengenai kode etik kebidanan agar mampu menyampaikannya ke orang banyak agar masyarakat luas dapat lebih memahami tentang petunjuk bagi anggota profesi tentang bagaimana mereka harus menjalankan profesinya, yaitu ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota profesi, tidak saja dalam menjalankan tugas profesinya, melainkan juga menyangkut tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat, yang dalam hal ini kode etik profesi kebidanan.



48



DAFTAR PUSTAKA



Kasus 1 : Bidan melalaikan pasien Sumber : RadarMadura.id Kasus 2 : Remaja Aborsi Tewas Usai Disuntik Bidan Sumber : news.okezone.com Kasus 3 : Usai Persalinan Organ Wanita Robek Sumber : indosiar.com Kasus 4 : Bidan Pustu Diduga Lakukan Malpraktek Sumber : suaramerdeka.com Kasus 5 : Gara-Gara Divakum Bocah 3 Tahun Cuma Bisa Nangis Sumber : News.detik.com Kasus 6 : Kepala dan Tangan Bayi Putus Saat Melahirkan Sumber : Tribunnews.com Kasus 7 : KPAI Sebut Penahanan Bayi Di Palembang Langgar Kode Etik Bidan Sumber : merdeka.com Kasus 8 : Dedi Mulyadi Ancam Cabut Izin Bidan Desa Nakal Sumber : Pikiranrakyat.com Kasus 9 : Seorang Bidan Jadi Tersangka Kasus Vaksin Palsu Sumber : antaranews.com Kasus 10 : Jerat Hukum Bagi Bidan yang Membantu Aborsi Sumber : Hukumonline.com



49