Kasus PUA [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



I.



PENDAHULUAN Masalah ginekologi yang banyak dijumpai dan dikeluhkan oleh seorang wanita adalah perdarahan uterus abnormal.



Penyebab perdarahan uterus abnormal



berbeda-beda menurut kelompok umur dan masa kehidupan seorang wanita. Perdarahan uterus abnormal adalah setiap perdarahan abnormal dalam hal frekuensi, lama dan volumenya pada wanita dalam usia reproduksi. Penyebab perdarahan uterus abnormal bermacam-macam, yaitu komplikasi kehamilan, perdarahan uterus disfungsional, kelainan organik (polip endometrium, mioma uteri, hiperplasia endometrium), pengaruh hormonal dan keganasan.2,3 A. Mioma uteri Mioma uteri ialah neoplasma jinak, berasal dari otot uterus, yang dalam kepustakaan ginekologi juga terkenal dengan istilah-istilah fibromioma uteri, leiomioma uteri ataupun uterine fibroid. Mioma uteri merupakan salah satu tumor yang sering ditemukan pada wanita masa reproduksi. Tumor ini sering ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan rutin pelvis maupun ultrasonografi pelvis.1,2,3 Mioma uteri sering ditemukan pada wanita usia reproduksi (20-25%). Pada usia lebih dari 35 tahun kejadiannya lebih tinggi, yaitu mendekati angka 40%. Tingginya kejadian mioma uteri antara usia 35 tahun dan usia 50 tahun menunjukkan adanya hubungan kejadian mioma uteri dengan estrogen. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarche. Setelah menopause angka kejadian sekitar 10%. Di Indonesia, ditemukan 2,39 – 11,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat. Di Amerika Serikat dari 650.00 histerektomi yang dilakukan pertahun, sebanyak 27% (175.000) disebabkan karena mioma uteri. Berdasarkan angka kejadian residif dari mioma uteri sebanyak 15% (4 – 10%), maka sebanyak 10% (3 – 21%) harus dilakukan operasi lagi. 4,5,6,7 Etiologi yang pasti terjadinya mioma uteri hingga kini belum diketahui. Namun bila melihat mioma uteri banyak ditemukan pada usia reproduksi dan kejadiannya rendah pada usia menopause, maka diduga stimulasi estrogen



2



sangat berperan untuk terjadinya mioma uteri. Ichimura mengatakan bahwa hormon ovarium dipercaya menstimulasi pertumbuhan mioma karena adanya peningkatan insidennya setelah menarke dan pada kehamilan pertumbuhan tumor ini makin besar namun menurun setelah menopause. Pukka menemukan bahwa reseptor estrogen pada mioma uteri lebih banyak didapatkan dibandingkan dengan miometrium normal. Pada setiap individu terdapat variasi pertumbuhan mioma bahkan diantara nodule mioma pada uterus yang sama. Perbedaan ini berkaitan dengan jumlah reseptor estrogen dan reseptor progesteron. Meyer dan De Snoo mengemukakan patogenesis mioma uteri dengan teori cell nest atau genitoblast. Pendapat ini lebih lanjut diperkuat oleh hasil penelitian Miller dan Lipschutz yang mengutarakan bahwa terjadinya mioma uteri itu tergantung pada sel-sel otot imatur yang terdapat pada cell nest yang selanjutnya dapat dirangsang terus-menerus oleh estrogen. 8,9,10 Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi atas 4 jenis, yaitu mioma submukosum, mioma intramural, mioma subserosum, mioma intraligamenter.



Lokasi mioma



yang paling sering adalah jenis intramural (54%), diikuti oleh jenis subserosum (48,2%), jenis submukosum (6,1%) dan jenis intraligamenter (4,4%).1,5 Gejala yang ditimbulkan oleh mioma uteri tergantung dari lokasi tumor, besarnya massa tumor, perubahan dan komplikasi dari mioma uteri. Gejalagejala tersebut dapat digolongkan sebagai berikut: 1.



Perdarahan abnormal Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya berupa hipermenorea atau



meno- metrorhagia. 2.



Rasa nyericc



3.



Gejala dan tanda penekanan



Gejala dan tanda penekanan yang terjadi berupa polakisuria, inkontinensia urin, hidroureter atau hidronefrosis, obstipasi dan edema tungkai.



3



Hanya lebih kurang 20-50% saja mioma uteri yang menimbulkan keluhan, sedangkan sisanya tidak mengeluh keluhan apapun. 1,11,12 Diagnosis mioma uteri ditegakkan berdasarkan: 1. Pemeriksaan klinis berupa anamnesis dan pemeriksaan fisik/ginekologi Pada palpasi abdomen, didapatkan massa di daerah simfisis atau abdomen bagian bawah dengan konsistensi padat-kenyal, berdungkul, tidak nyeri, berbatas tegas, dan mudah digerakkan bila tidak ada perlengketan. Pada pemeriksaan bimanual, didapatkan tumor yang menyatu atau berhubungan dengan uterus dan sondage uterus lebih besar. 2. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu dilatasi dan kuretase, pemeriksaan PA dari bahan operasi, pemeriksaan laboratorium, tes kehamilan, pemeriksaan ultrasonografi dan pemeriksaan radiologi BNO/IVP bila mioma besar. 1,5,13 Penatalaksanaan mioma uteri secara umum adalah: 1. Konservatif, dilakukan observasi, pengobatan hormonal 2. Operatif, berupa miomektomi atau histerektomi 3. Radioterapi.1,5,14 Endometriosis adalah satu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat diluar kavum uteri. Jaringan ini yang terdiri dari kelenjar-kelenjar dan stroma terdapat di dalam miometrium ataupun di luar uterus. Bila jaringan endometrium terdapat di dalam miometrium disebut endometriosis interna (adenomiosis) dan bila di luar uterus disebut endometriosis eksterna.5,15 Adenomiosis secara klinis lebih banyak kesamaannya dengan mioma uteri. Adenomiosis lebih sering ditemukan pada multipara dalam masa premenopause. Frekuensi adenomiosis berkisar antara 10 – 47%.5,15 Diagnosis adenomiosis dapat diduga, apabila pada wanita berumur sekitar 40 tahun dengan banyak anak, keluhan menoragia dan dismenorea makin menjadi dan ditemukan uterus yang membesar simetrik dan berkonsistensi



4



padat. Akan tetapi diagnosis yang pasti baru bisa dibuat setelah pemeriksaan uterus waktu operasi atau sesudah diangkatnya pada opersi tersebut. 5,15 B. Hiperplasia endometrium Hiperplasia endotrium (HE) merupakan suatu kelompok proliferasi yang berbeda-beda/heterogen yang mana sebagian akan merupakan prekursor dari karsinoma endometrium. Proliferasi merupakan respon terhadap stimulasi estrogen dan metaplasia adalah sebagian besar suatu perubahan sitoplasma. Proliferasi abnormal dikenal dari perubahan struktur kelenjar endometrium dibanding dengan proliferasi normal.27,28 Kelainan HE perlu mendapat perhatian karena telah banyak fakta yang membuktikan bahwa HE merupakan lesi awal dari adenokarsinoma endometrium. 27,288 Penelitian epidemiologis telah mengidentifikasi berbagai faktor terjadinya karsinoma endometrium. Kebanyakan hasil penelitian konsisten mengatakan bahwa faktor resiko yang mengakibatkan terjadinya karsinoma endometrium adalah pemakai estrogen sebagai terapi pengganti, paritas rendah, dan kegemukan . Resiko tinggi juga bisa berhubungan dengan menars dini, menopause yang lambat, hipertensi dan penyakit gula.29 International Society of Gynocologic Pathologic (ISGP) telah mempromosikan satu klasifikasi dari HE yang telah diterima secara luas. Gambaran mendasar dari klasifikasi ini adalah pemisahan dari hiperplasia kedalam bentuk nonatipia dan atipia. Komplekssitas dari kelenjar merupakan hal yang kedua.



Simplekss dan komplekss didasarkan atas luas dan



banyaknya komplekssitas kelenjar. Gambaran perbedaannya dan padatnya elemen kelenjar. Hiperplasia simplekss ditandai dengan kelenjar yang berdilatasi atau kistik dengan bentuk bundar atau ireguler, peningkatan rasio kelenjar terhadap stroma tanpa pemadatan kelenjar dan tidak ada atipia sitologi, sedang hiperplasia komplekss ditandai dengan arsitektur yang



5



komplekss (penetrasi dan pelipatan) kelenjar yang padat dengan stroma yang lebih sedikit.28 Para penulis yang mengatakan bahwa resiko perubahan HE menjadi keganasan berkaitan dengan adanya dan beratnya atipia sitologi. Kurman et al melaporkan hasil kuretase 170 penderita dengan HE yang tidak diterapi yang dievaluasi selama 13,4 tahun, didapatkan, progresif menjadi karsinoma sebanyak 1% penderita HE simpel,



3% dengan HE komplekss atipia.



Kebanyakan hiperplasia tetap stabil (18%) atau regressi 74 %. 28 Walaupun hiperplasia endometrium dapat terjadi oleh berbagai stimulasi, tetapi stimulasi oleh estrogen merupakan yang paling sering. Berbagai faktor resiko yang telah diidentifikasi adalah estrogen pengganti terapi, paritas rendah, infertilitas, kegemukan, menars cepat, menopause yang lambat, hipertensi, dan diabetes millitus. Sedang faktor penghambat dihubungkan dengan kontrasepsi oral, merokok, dimana baik faktor risiko maupun faktor penghambat umumnya bekerja melalui mediasi efek estrogen pada proliferasi endometrium. Faktor protektif pada pil kontrasepsi, tergantung pada dosis progestin, bukan tergantung pada dosis estrogen. Sedangkan merokok dihubungkan



dengan pengaruhnya



terhadap



absorbsi, distribusi



dan



metabolisme hormonal.29 HE terjadi baik pada perempuan premenopause maupun pascamenopause, tetapi etiologi dasarnya sama, ialah umumnya rangsangan terus menerus oleh estrogen terhadap endometrium tanpa dipengaruhi oleh progesteron.24 Pada perempuan pascamenopause HE biasanya akibat rangsangan estrogen endogen tanpa dihambat oleh progesteron, tetapi sumber estrogen tidak selalu berasal dari ovarium. Konversi hormon androstenedione menjadi estron pada jaringan lemak/perifer adalah sumber utama estrogen pada perempuan



pascamenopause



dengan



pendarahan



uterus.



HE



pada



pascamenopause kebanyakan bermanifestasi sebagai pendarahan uterus abnormal. Walaupun HE atau keganasan selalu dicurigai pada perempuan pasca menopause dengan pendarahan sebagai penyebab, sejauh ini



6



kebanyakan disebabkan oleh atropi pada kelompok umur tersebut. Pada suatu penelitian terhadap perempuan pascamenopause dengan pendarahan, terdapat 7% karena keganasan endometrium, 25% Oleh berbagai jenis hiperplasia, 56% oleh atropi. Khas pada perempuan dengan hiperplasia atau karsinoma adalah mempunyai keluhan perdarahan pervaginam yang hebat, sedang perempuan dengan atropi endometrium datang dengan spotting. Ovarium perempuan pascamenopause, pada hilus tetap memproduksi sejumlah kecil hormon steroid, terutama testosteron dan estrogen dalam jumlah kecil atau tidak sama sekali.24 Perubahan endometrium menjadi kanker akibat rangasangan estrogen yang lama sering melewati tahap hiperplasia. Estrogen mungkin merupakan unsur promosi yang berperan dalam peningkatan aktivitas mitotik, dimana estrogen telah diketahui merupakan mitogen (stimulasi deviasi sel). Hal ini disebabkan akibat dari kemampuan estrogen merangsang tranformasi dari protein siklin D yang bertanggungjawab terhadap stimulasi deviasi seluler. Tidak ada laporan secara ilmiah dari penelititan yang mengatakan bahwa estrogen adalah mutagenik atau karsinogenik.28,29 Patogenesis yang mendasari semua kejadian HE adalah rangsangan estrogen yang berlebihan dan terus menerus baik endogen maupun eksogen terhadap endometrium tanpa dihambat oleh progestron. Rangsangan estrogen yang berlebihan ini memacu proliferasi endometrium secara berlebihan tanpa dihambat oleh pengaruh progestron. Rangsangan estrogen yang berlebihan tanpa dihambat oleh pengaruh progesteron yang secara siklik menyebabkan pelepasan jaringan endometrium dimana yang tertinggal sebagian sel dan kelenjar untuk melanjutkan berkembang dan berproliperasi.28,29 Pemakaian estrogen secara luas pada perempuan perimenopause atau pascamenopause, tidak diragukan lagi berbagai keuntungan dari penggunaan estrogen tersebut termasuk penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler dan pencegahan osteoporosis. Tetapi pemakaian estrogen itu sendiri banyak dihubungkan dengan peningkatan resiko terjadinya perubahan



7



endometrium menjadi adenokarsinoma, pada beberapa penelitian pemakaian hormon estrogen tanpa diimbangi dengan progesteron, menyebabkan endometrium bertumbuh dan proliferasi. Akibatnya bervariasi tergantung pada dosis dan lamanya pemakaian. Pemakaian yang lama dan terus menerus dari hormon estrogen akan menyebabkan stimulasi dan kerusakan pada fase proliferasi dan menyebabkan hiperplasia.30,31 Pada pemakaian estrogen tersendiri (tanpa progesteron), terjadinya HE pada pemakaian 2 tahun adalah 40%. Dengan penambahan progesteron sintetis atau alamiah, HE dapat ditekan menjadi 2-4%.31 Pada beberapa perempuan dengan pemakaian estrogen terus menerus menyebabkan terjadinya hiperplasia atipik dan adenokarsinoma. Lama pemakaian paling sedikit 2-3 tahun, ditemukan pada pasien yang berkembang ke adenokarsinoma. Resiko paling tinggi pada pemakaian 10 tahun atau lebih. Lama pemakaian tampaknya lebih penting dari pada dosis pemakaian. Jika berkembang jadi adenokarsinoma, biasanya dalam bentuk derajat rendah atau inflasi superfisial, tetapi derajat tinggi juga bisa terjadi.31 Pertimbangan terpenting dalam penatalaksanaan hiperplasia endometrium adalah usia, paritas dan gambaran histologis dari proses hiperplasi. Pasien usia perimenopause II. REKAM MEDIK A. Anamnesis 1. Identifikasi Nama



: Ny. T



Umur



: 40 tahun



Suku bangsa



: Palembang



Agama



: Islam



Pendidikan



: S1



Pekerjaan



: PNS



Alamat



: Ki merogan RT 24 Palembang



8



MRS



: 24 Mei 2004 pukul 10.00 WIB



2. Riwayat perkawinan Kawin 1 kali, lama 7 tahun, umur suami 37 tahun 3. Riwayat Reproduksi Menars 12 tahun, haid tidak teratur sejak 12-4-2004 HPHT: 12 – 4 – 2004 sampai sekarang 4. Riwayat kehamilan/melahirkan P2A1 : 1. Abortus 2. Perempuan, 5 tahun, SC 3. Perempuan, 3 tahun, SC 5. Riwayat penyakit dahulu 6. Riwayat gizi/sosioekonomi Cukup 7. Anamnesis Khusus Keluhan utama: Menstruasi lama dan banyak Riwayat perjalanan penyakit: Sejak kurang lebih 4 minggu sebelum masuk rumah sakit os mengeluh menstruasi lama dan banyak, tidak berhenti sampai sekarang, banyaknya 2 – 3 kali ganti pembalut perhari. Selama ini riwayat menstruasi teratur, 1 bulan sekali selama 7 hari, tidak ada riwayat perdarahan memanjang, tetapi 6 bulan terakhir menstruasi memang dirasakan lebih banyak dari biasanya, riwayat nyeri haid tidak ada. Riwayat adanya benjolan diperut tidak dirasakan. Riwayat keputihan tidak ada, riwayat perdarahan post coital tidak ada, riwayat trauma tidak ada. Nyeri perut tidak ada, nafsu makan biasa. Riwayat pemakaian kontrasepsi tidak ada. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal. Riwayat penurunan berat badan tidak ada. Riwayat BAB dan BAK tidak ada keluhan. Riwayat pernah dilakukan operasi miomektomi pada tahun 1997.



9



B. Pemeriksaan Fisik 1. Status Present a. Keadaan umum Kesadaran



: Kompos mentis



Tipe badan



: Astenikus



Berat badan



: 45 kg



Tinggi badan



: 150 cm



Tekanan darah



: 120/80 mmHg



Pernafasan



: 20 kali/menit



Suhu



: 37°C



b. Keadaan khusus Kepala



: Konjunctiva anemis, sklera tidak ikterik



Leher



: Tekanan vena jugularis tidak meningkat, massa tidak ada



Toraks



: Jantung dalam batas normal, paru-paru: sonor, vesikuler normal, ronki tidak ada



Abdomen



: Dinding perut datar, lemas, pelebaran vena tidak ada, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan



tidak



ada,



bising



usus



normal



(pemeriksaan abdomen untuk ginekologi pada status ginekologi) Ekstremitas



: Edema tidak ada, varises tidak ada, refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-



2. Status Ginekologi a. Periksa luar Inspeksi



: Perut datar, asimetris, vulva dan uretra tidak ada kelainan



10



Palpasi



: Dinding perut lemas, teraba fundus uteri setinggi ½ pusat – simfisis, permukaan rata, konsistensi padat, nyeri tekan tidak ada



Perkusi



: Timpani, pekak di atas fundus uteri, tanda cairan bebas tidak ada



Auskultasi b. Inspekulo



: Bising usus normal : Portio tak livide, massa (-), OUE tertutup sondage 10cm antefleksi, fluksus(+) darah tak aktif, flour (-), erosi (-), laserasi (-), polip (-)



c. Colok vagina



:



Porsio kenyal, OUE tertutup, korpus uteri sesuai kehamilan 16 minggu, konsistensi padat, permukaan rata, nyeri tekan (-), adneksa parametrium kanan-kiri lemas, nyeri tekan (-), massa (-), nyeri goyang porsio (-), cavum douglas tak menonjol.



d. Colok dubur



: Tonus sfingter ani baik, mukosa licin, ampula kosong, massa intralumen tidak ada, korpus uteri sebesar kehamilan 16 minggu, padat.



Gambar:



11



C. Pemeriksaan Lain 1. Laboratorium (13-5-2004) Darah rutin Hb



: 7 g%



(12 – 18 g%)



Lekosit



: 5.400 mm3



(5000 – 10.000 mm3)



LED



: 80 mm/jam



( 45 tahun, dilakukan histerektomi totalis dan salfingoooforektomi bilateralis.17 Pada penderita ini miomanya telah memberikan gejala perdarahan



pervaginam abnormal yang mengakibatkan anemia. Dari pemeriksaan bimanual didapatkan ukuran mioma sesuai kehamilan 16 minggu. Pada penderita ini fungsi reproduksi tidak diperlukan lagi karena umur penderita 46 tahun dengan mempunyai 2 orang anak yang hidup. Sehingga pada penderita ini perlu dilakukan terapi operatif berupa histerektomi totalis dan salfingoooforektomi bilateralis. Tindakan operatif berupa pengangkatan ke 2 ovarium pada penderita ini akan menyebabkan menopause artificial yang disebabkan hilangnya fungsi folikel ovarium, sehingga dapat timbul keluhan klimakterium. Keluhan yang terjadi pada wanita menopause adalah merupakan manifestasi klinik dari menurunnya sampai habisnya kadar estrogen dalam tubuh sebagai akibat tidak berfungsinya ovarium yang dapat terjadi karena pengangkatan kandungan dan kedua indung telur. Karena keluhan yang terjadi disebabkan hilangnya estrogen maka sangatlah logis bahwa untuk menghilangkan keluhan tersebut haruslah diberikan estrogen yang lebih dikenal sebagai terapi sulih hormon (TSH) Keadaan seperti ini apakah perlu pemberian TSH masih belum ada kesepakatan. Maksud TSH adalah untuk menggantikan hormon dalam tubuh yang sudah berkurang, agar dapat mengembalikan fungsi fisiologik seorang wanita. Berapa lama pemakaian TSH ini, tidak ada ketentuan pasti. Selama penderita merasa nyaman dan tidak timbul efek samping yang serius, maka TSH dapat digunakan bertahun-tahun, bahkan 10 sampai 20 tahun. 19,20



19



VI. KESIMPULAN 1.



Diagnosis penyakit pada penderita ini adalah menometrorhagia ec. suspek mioma uteri dengan anemia sedang dan didiagnosis banding dengan menometrorhagia ec. suspek adenomiosis dengan anemia sedang.



2.



Tindakan yang akan dilakukan adalah intervensi bedah berupa histerektomi totalis disertai salpingoooforektomi bilateral.



3.



Pemberian terapi sulih hormon pasacoperasi pada kasus ini masih memungkinkan apabila ditemukan keluhan klimakterium.



RUJUKAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.



Joedosepoetro MS. Tumor-tumor jinak pada alat-alat genital. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu kandungan. Edisi pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1991; 281-192 Sjamsuddin S, Nuranna L. Tumor ginekologi. Dalam: Marjono BA. Catatan kuliah obgin plus+FKUI. Edisi Pertama. Jakarta: FTMD, 1999: 159-162 Doyle K. Leiomyomatous uterus. In: Frederickson HL, Willein-Haug L. Ob/gin secret. Second edition. Boston-Massachusett: Bokk promotion & service co.Ltd, 1997; 30-31 Sakala EP. Board review series obstetrics and gynecology. Baltimore: Williams & Wilkins, 1997; 309-313 Baziad A. Endokrinologi ginekologi. Edisi Kedua. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2003: 82102, 151-157 Ichimura T, Kawamura N, Ito F, Shibata S, Minakuchi K, et al. Correlation between the growth of uterine leiomyomata and estrogen and progesterone receptor content in needle biopsy specimens. Fertil Steril 1998; 70: 967-971 Schwartz SM. Epidemiology of uterine leiomyomata. Clin Obstet Gynecol 1998; 44: 316-326 Thomas EJ. The aetiology and pathogenesis of fibroids. In: Shaw RW. Uterine fibroids. New Jersey: The Parthenon Publishing Group, 1992; 1-8 Stewart EA, Nowak RA. Leiomyoma-related bleeding: a classic hypothesis updated for the molecular era. Hum Repro 1996; 2: 295-306 Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical gynecologic endocrinology and infertility. Sixth Edition. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins, 1999: 149-153 Hillard PA. Benign diseases of the female reproductive tract: symptoms and signs. In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA. Novak’s Gynecologic. Twelfth Edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 1996; 359-361 Stovall DW. Clinical symptomatology of uterine leiomyomas. Clin Obstet Gynecol 1998; 44: 365-371 West CP. Uterine fibroids: clinical presentation and diagnostic techniques. In: Shaw RW. Uterine fibroids. New Jersey: The Parthenon Publishing Group, 1992; 35-45 Thompson JD, RockJA. Leiomyomata uteri and myomectomy. In: Rock JA, Thompson JD. Te Linde’s operative gynecology. Eighth Edition. Philadelphia: Lippincott Raven, 1997; 731-770 Prabowo RP. Endometriosis. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu kandungan. Edisi pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1991; 259-261 Suyono B. Pemeriksaan ultrasonografi pada uterus. Dalam: POGI. Ultrasonografi dasar obstetri ginekologi. Palembang: Kursus dasar USG dan KTG pra PIT XII, 2001; 9-10 Laboratorium Obstetri dan ginekologi. Standar pelayanan profesi. Palembang: FK Unsri, 1985: 100-102



20



18. Baziad A, Affandi B. Panduan Menopause. Edisi pertama. Jakarta: POGI/PERMI, 1997: 1-10 19. Guarnaccia MM, Rein MS. Traditional surgical approaches to uterine fibroids: abdominal myomectomy and hysterectomy. Clin Obstet Gynecol 1998; 44: 385-399 20. Soehartono DS. Terapi sulih hormon. Dalam: PERMI. Kumpulan makalah PIT XII POGI Malang. Malang: PERMI, 2002; 1-35



KASUS



21



MIOMA UTERI YANG AKAN DILAKUKAN HISTEREKTOMI TOTALIS DAN SALPINGOOOFOREKTOMI BILATERAL



UJIAN TAHAP AKHIR PESERTA PPDS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI



KURNIAWAN



BAGIAN / DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RS dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG RABU, 19 MEI 2004