Ke Simp Ulan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Defenisi Aset/Kekayaan Negara



Salah satu tujuan Negara Indonesia sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penjabaran lebih lanjut dari tujuan tersebut ditegaskan alam pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 merupakan sendi utama bagi tata perekonomian Indonesia yang pada hakekatnya merupakan tata ekonomi yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila.



Pengertian Keuangan Negara dalam UU No.17 tahun 2003 adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uangn maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Defenisi keuangan negara yang diatur dalam UU No.17 tahun 2003 diderivasi dari teori negara Kesejahteraan (Welfare State) yang secara eksplisit dianut dalam UUD Negara RI 1945, sejak dari pembukaan hingga pasal-pasalnya . Pembentuk UUD 1945 yang diwarnai pemikiran negara kesejahteraan (welfare state) mencita-citakan pembentukan suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan mampu memajukan kesejahteraan umum dan seterusnya. Defenisi keuangan negara dalam Pasal 1 butir 1 UU No.17 tahun 2003 tersebut menggunakan defenisi yang luas untuk mengamankan kekayaan negara yang bersumber dari uang rakyat yang diperoleh melalui pajak, retribusi maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Komitmen tersebut terlihat dari defenisi keuangan negara dalam UU No.17 tahun 2003 yang menggunakan sistem defenisi yang bersifat luas/komprehensif.1



Pengelolaan Aset Menurut Dodi, D. Siregar (2004), pengelolaan aset merupakan suatu proses perencanaan, pengadaan, pengelolaan dan perawatan, hingga penghapusan suatu sumber daya yang dimilki individu atau organisasi secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan individu atau organisasi tersebut.Menurut Nurcholis, (2011:94) pengelolaan kekayaan desa dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas dan kepastian nilai. Pengelolaan kekayaan desa harus berdayaguna dan berhasilguna untuk meningkatkan pendapatan desa. Pengelolaan kekayaan desa harus mendapatkan persetujuan dari BPD. Biaya pengelolaan kekayaan desa dibebankan pada 1



Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Perusahaan Negara/Daerah dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Penjelasan UU No.17 tahun 2003 butir ke-3 tentang Keuangan Negara



anggaran pendapatan dan belanja desa. Kekayaan desa dikelola oleh pemerintah desa dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan,dan pelayanan masyarakat desa. Lalu Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 Bab II Pengelolaan Pasal 7, menyebutkan bahwa Pengelolaan aset Desa meliputi: perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pelaporan, penilaian, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Dalam hal ini, pengertian aset desa sama maknanya dengan konsep kekayaan. Dalam persepektif pembangunan berkelanjutan aset yakni; 1. Sumber daya alam, adalah semua kekayaan alam yang dapat digunakan dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. 2. Sumber daya manusia, adalah semua potensi yang terdapat pada manusia seperti pikiran, seni, keterampilan, dan sebagainya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan bagi dirinya sendiri maupun orang lain atau masyarakat pada umumnya. 3. Infrastruktur, adalah sesuatu buatan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana untuk kehidupan manusia dan sebagai sarana untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan semaksimalnya, bik untuk saat ini maupun keberlanjutan dimasa yang akan datang. Aset (atau aktiva dalam akuntansi) memiliki pengertian sebagai sumber daya atau kekayaan yang dimiliki oleh suatu entitas. Aset tersebut diperoleh dari peristiwa di masa lalu dan diharapkan akan memberikan manfaat dimasa yang akan datang. 2 Aset itu adalah semua hak yang dapat digunakan dalam operasi perusahaan. Yang dapat dimasukkan ke dalam aset salah satunya adalah gedung atau bangunan.3 Manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset adalah potensi dari aset tersebut untuk memberikan sumbangan, baik langsung maupun tidak langsung, dalam bentuk arus kas dan setara kas pada perusahaan. Potensi tersebut dapat berbentuk sesuatu yang produktif dan merupakan bagian dari aktivitas operasional perusahaan4



Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Sistem Akuntansi Pemerintahan, Aset tetap merupakan aset yang menjadi milik organisasi/perusahaan dan dipergunakan secara terus-menerus dalam kegiatan menghasilkan barang dan jasa organisasi/perusahaan. Dalam PSAP No. 07 tentang Akuntansi Aset Tetap menjelaskan bahwa Aset Tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Aset tetap merupakan suatu bagian utama aset pemerintah, dan karenanya signifikan dalam penyajian neraca. Aset tetap diakui pada saat manfaat ekonomi masa depan dapat diperoleh dan nilainya dapat ditukar dengan handal. Dalam PSAP No. 07 dijelaskan untuk dapat diakui sebagai aset tetap harus dipenuhi kriteria sebagai berikut:



2



https://bursanom.com/pengertian-aset/ https://id.wikipedia.org/wiki/Aset 4 Wawan Zulmawan, Panduan Praktis Kerjasama Aset Pemerintah, TNI & BUMN, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2017, hal.4 3



1. 2. 3. 4. 5.



Berwujud Mempunyai masa manfaat lebih dari dua belas bulan Biaya perolehan aset dapat diukur secara andal Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasi normal entitas; dan Diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk digunakan.



Aset tetap dinilai dengan biaya perolehan. Apabila penilaian aset tetap dengan menggunakan biaya perolehan tidak memungkinkan maka nilai aset tetap didasarkan pada nilai wajar pada saat perolehan. Pengukuran dapat dipertimbangkan bila terdapat transaksi pertukaran dengan bukti pembelian aset yang dikonstruksi/dibangun sendiri, suatu pengukuran yang dapat diandalkan atas biaya dapat diperoleh dari transaksi pihak eksternal dengan entitas tersebut untuk perolehan bahan baku, tenaga kerja dan biaya lain yang digunakan dalam proses konstruksi. Barang berwujud yang memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai suatu aset tetap dan dikelompokkan sebagai aset tetap, pada awalnya harus diukur berdasarkan biaya perolehan. Bila aset tetap diperoleh dengan tanpa nilai, biaya aset tersebut adalah sebesar nilai wajar pada saat aset tersebut diperoleh. Suatu aset tetap mungkin diterima pemerintah sebagai hadiah atau donasi. Sebagai contoh, tanah mungkin dihadiahkan ke pemerintah daerah oleh pengembang dengan tanpa nilai yang memungkinkan pemerintah daerah untuk membangun tempat parkir, jalan, ataupun untuk tempat pejalan kaki. Suatu aset juga mungkin diperoleh tanpa nilai melalui pengimplementasian wewenang yang dimiliki pemerintah Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016, Barang Milik Daerah adalah semua kekayaan daerah baik yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun yang berasal dari perolehan lain yang sah baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur atau ditimbang termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan kecuali uang dan surat-surat berharaga lainnya. Menurut M. Yusuf (2010:13 ) Barang Milik Daerah merupakan salah satu unsur penting dalam rangka penyelanggaran pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat, oleh karena itu harus dikelola dengan baik dan benar sehingga akan terwujud pengelolaan barang daerah yang transparan, efisien, akuntabel dan adanya kepastian nilai yang dapat berfungsi sesuai dengan pokok dan fungsi dari pemerintah daerah. Salah satu manisfestasi pelaksanaan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang menjadi tuntutan masyarakat adalah terwujudnya suatu sistem pengelolaan kekayaan daerah yang memadai, informatif, transparan, dan akuntabel (Suwanda, 2015). Koridor pengelolaan barang milik daerah memberikan acuan bahwa barang milik daerah harus digunakan semaksimal mungkin mendukung kelancaran tupoksi pelayanan, dan memberikan manfaat kontribusi penerimaan bagi daerah. Pengelolaan barang milik daerah masih menjadi permasalahan klasik di berbagai daerah. Ketidakpedulian terhadap pengelolaan dan pemeliharaan barang milik daerah yang tidak teratur, tertib dalam melaksanakan ketentuan pengelolaan barang milik daerah dapat terlihat dari catatan atas opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap keuangan pemerintah daerah yang hampir setiap tahun masih didominasi masalah penyajian aset tetap. Permasalahan yang sering terjadi di pemerintah daerah adalah belum diterapkannya secara benar aturan pengelolaan barang milik daerah yang berakibat pada proses perencanaan pengangaran pengadaan barang yang tidak sesuai dengan peruntukannya, penggunaan barang milik daerah yang tidak sesuai penetapan penggunaan, kemudian pemerintah daerah tidak melakukan kapitalisasi terhadap biaya-biaya yang menambah harga perolehan aset tetap. Barang-barang yang dibiarkan dan tidak terpelihara diambil alih oleh pihak lain, bahkan aset



tetap/BMD tidak dapat ditelusuri keberadaannya serta kehilagan aset tetap tidak terdeteksi. Barang yang tidak dikembalikan ke SKPD oleh pejabat yang telah pensiun, dan ada juga aset warisan daerah Kabupaten induk yang diserahkan kepada daerah yang dimekarkan tidak didukung dengan rincian data yang informatif dan tidak disertai bukti kepemilikan (Halim, 2013). Praktik pengelolaan dan penanganannya yang belum optimal, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 dan Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang pengelolaan barang milik daerah yang terdiri dari 11 tahapan untuk mengatur dan menjawab berbagai permasalahan tersebut. Menurut Soleh dan Rochmansjah (2010), dari tahapantahapan pengelolaan barang milik negara/daerah tersebut dapat disederhanakan menjadi: (1) adanya perencanaan yang tepat, (2) pelaksanaan secara efisien dan efektif dan (3) pembinaan, pengawasan dan pengendalian



Agenda nasional tentang pembenahan pengelolaan aset negara ini, yang akan melahirkan dan berhubungan dengan berbagai produk UU, harus didasarkan pada landasan filosofis yang sama, yaitu tiga ayat pertama dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Idealnya, dari pasal 33 itulah kemudian diturunkan berbagai produk Undang-Undang di sektor ekonomi dan keuangan tidak boleh bertentangan dengan spirit yang terkandung di dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam konteks agenda nasional pembenahan pengelolaan kekayaan negara, maka dari Pasal 33 UUD 1945 tersebut dapat diturunkan tiga paket UU baru, masing-masing adalah UU tentang Kekayaan Negara, UU tentang Pertanahan, dan UU tentang Penilai. Kenapa harus ada tiga paket UU tersebut? Pertama, UU Kekayaan Negara diperlukan karena selama ini memang belum ada payung hukum yang mengatur masalah kekayaan negara dan pengelolaannya. Selain itu pengaturan masalah kekayaan negara masih tersebar di berbagai produk UU yang satu sama lain bisa berbeda atau bertentangan. Sementara itu, dengan aset dan kekayaan yang demikian besar, Indonesai belum memiliki sistem pengelolaan kekayaan negara yang baik dan utuh, mulai dari masalah inventarisasi seluruh potensi aset, administrasi aset, hingga pemanfaatannya. Dengan demikian, sangat banyak aset atau kekayaan negara yang tidak bertuan, entah berada dimana, entah dikuasai siapa, entah dimanfaatkan siapa. Kedua, UU Pertanahan diperlukan karena semua aset atau kekayaan negara secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan masalah tanah. Dan selama ini, Indonesia juga belum memiliki sistem yang baik di bidang pengelolaan tanah sebagai aset negara. Upaya pengadministrasian dan pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, misalnya, tidak akan pernah beres sebelum ada UU Pertanahan yang merupakan amanat dari Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Ketiga, UU Penilai diperlukan karena ia akan menjadi landasan hukum bagi kegiatan penilaian terhadap seluruh aset atau kekayaan negara. Selama ini, kita masih buta perihal seberapa besar sebenarnya kekayaan bangsa Indoensia. Bagaimana kita akan melakukan penilaian terhadapa seluruh kekayaan negara yang tersebar diseluruh penjuru negeri. Semua potensi aset yang dimiliki bangsa Indonesia tidak akan bisa dimanfaatkan secara maksimal



tanpa terlebih dulu dilakukan penilaian secara benar. Itulah pentingnya negara ini memeiliki UU Penilai. Ketiga paket UU tersebut dapat menjadi landasan dan dasar hukum pembenahan dan pengaturan pengelolaan aset negara. Namun, baik dalam proses penyusunannya maupun setelahnya, harus dilakukan review, harmonisasi atau sinkronisasi dengan UU lain, terutama UU untuk bidang ekonomi dan keuangan. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan akan ada sejumlah revisi atau amandemen terhadap UU yang tidak sinkron. Sebagai contoh, mesti ada harmonisasi atau sinkronisasi anatar UU Kekayaan Negara dengan UU BUMN, UU BPK atau UU Keuanagan Negara.5



Mengacu pada potensi yang terkandung dalam harta kekayaan negara berupa bangunan, tanah, dan kekayaan alam serta berbagai aset lainnya, tentunya, aspek pengelolaan menjadi hal yang sangat penting. Kepentingan tersebut semakin terasa, di saat kondisi ekonomi nasional sedang krisis dan sangat membutuhkan dana untuk memutar roda perekonomian. Selain dari pinjaman luar negeri, kebutuhan pendanaan tersebut ternyata hanya dapat diandalkan dari penjualan dan pemanfaatan harta kekayaan negara. Berkaitan dengan hal itu, peran dan kepentingan pengelolaan harta kekayaan negara (asset management) dalam kerangka reformasi ekonomi nasional sangat penting. Begitu pentingnya harta kekayaan negara dalam kerangka reformasi ekonomi sangat terkait dengan berbagai program penyehatan ekonomi yang sedang dijalankan Pemerintah. Adapun peran dan kepentingan pengelolaan harta kekayaan negara dalam kerangka reformasi ekonomi nasional adalah :6 -



-



Membantu program penyehatan kondisi makro ekonomi, terutama dalam peningkatan penerimaan negara melalui arahan privatisasi/penjualan aset dan strategi peningkatan investasi potensi sumber daya alam (kehutanan, perkebunan dan pertambangan). Dapat juga dilakukan melalui upaya optimalisasi pemanfaatan aset negara dengan peningkatan kemampuan teknologi dan inovasi, seperti teknologi untuk inventarisasi dan pengelolaan aset, teknologi eksploitasi dan pengolahan, maupun teknologi lainnya. Sebagai contoh, keberadaan suatu Sistem Manajemen Aset Negara (SIMA Negara) akan sangat membantu dalam strategi investasi untuk pemanfaatan potensi harta kekayaan negara. Adapun kaitannya dengan transparansi kebijakan ekonomi nasional, pengelolaan harta kekayaan negara dapat menjadi acuan (benchmark) dengan blue print strategi yang jelas dan menyeluruh (holistic) dalam rangka membentuk transparansi, indepedensi, dan profesionalitas pengelolaan harta kekayaan negara.



5



Doli D.Siregar,Transformasi Perusahaan Negara Kelas Dunia, Sinergi Manajemen Aset (SIMA): Jakarta, 2002, hal 74 6



Doli D Siregar, Optimalisasi Pemberdayaan Harta Kekayaan Negara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, Hal.171



Dalam strategi pengelolaan harta kekayaan negara, ada beberapa aspek yang perlu dipikirkan untuk dijadikan agenda penting, yakni: -



-



Optimalisasi strategi pengelolaan harta kekayaan negara sebagai arahan dan acuan dalam proses pengelolaan mulai dari identifikasi dan inventarisasi nilai dan potensi aset, pemberlakuan sistem dan mekanisme pengelolaan yang transfaran, efisien, dan optimal, serta pengawasan dan penendalian pemanfaatan aset yang transparan, independen, dan efisien. Menunjukkan sikap profesional dalam pengelolaan harta kekayaan negara yang diwujudkan dengan kemampuan mengelola aset (asset management skill) dan upaya pelibatan berbagai profesi atau keahlian yang terkait. Dalam hal ini, akan sangat penting menggunakan jasa keahlian nasional yang mampu menjamin manfaat dan kepentingan harta kekayaan negara bagi seluruh rakyat. Hal ini semakin penting dalam berbagai program penyehatan ekonomi pemerintah karena sangat sedikit jasa keahlian nasional yang dilibatkan, terutama dalam proses penjualan maupun likuidasi harta kekayaan negara. Keberadaan jasa keahlian nasional ini dapat menjadi counter opinion untuk menjaga obyektifitas dan keamanan nilai serta potensi harta kekayaan negara.



Pengertian aset secara umum menurut Siregar (2004: 178) adalah barang (thing) atau sesuatu barang (anything) yang mempunyai nilai ekonomi (economic value), nilai komersial (commercial value) atau nilai tukar (exchange value) yang dimiliki oleh badan usaha, instansi atau individu (perorangan). Istilah properti seringkali melekat dengan istilah lain untuk memberikan pengertian yang lebih jelas secara hukum, yaitu real estate dan real property dimana keduanya mempunyai makna yang berbeda meskipun ada juga yang menyebutnya sebagai sinonim dalam lingkup tertentu. Selanjutnya, Real estate is the physical land and appurtenances affixed to the land, e.g., structure. Real estate bersifat tidak bergerak (immobile) dan berwujud (tangibel), yang termasuk dalam pengertian ini adalah tanah, semua benda yang secara alami sebagai bagian dari tanah, seperti pepohonan dan barang mineral dan juga segala sesuatu yang dibangun oleh manusia seperti bangunan, jaringan dan lain sebagainya. Manajemen Aset Daerah Sutaryo, SE, M.Si, Ak-Jurusan Akuntansi FE UNS Real property merupakan kumpulan atas berbagai macam hak dan interest yang ada dikarenakan kepemilikan atas satuan real estate, meliputi hak untuk menggunakan, menyewakan, memberikan kepada orang lain atau tidak. Properti selain sebagai investasi, juga merupakan aset (Witter et al., 2004). Pengertian aset adalah sesuatu yang memiliki nilai. Real estate sebagai komponen utama dari aset daerah, oleh pemerintah daerah selanjutnya harus dapat dimanfaatkan sebagai aset yang produktif dan berguna sehingga berdampak positif dalam pembangunan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. Dalam neraca keuangan daerah aset dapat menjadi modal bila dapat menghasilkan pendapatan. Namun masih banyak daerah yang belum menyadari peran dan potensi pengelolaan aset secara cermat. Sasaran akhir atau tujuan utama pengelolaan aset adalah terjadinya optimalisasi dalam pemanfaatan aset daerah. Kenyataan sampai saat ini aset daerah masih dikelolah seadanya, sebatas inventarisasi (pencatatan akuntansi). Kondisi pemanfaatan terhadap aset daerah



tersebut membuktikan bahwa aset daerah sebagai sumber daya lokal daerah menunjukkan utilitasnya yang masih rendah, hal ini terjadi karena di hampir seluruh Pemerintahan di Indonesia karena belum ada pemahaman pengelolaan aset daerah secara utuh. Menurut Siregar (2004) bahwa optimalisasi pengelolaan aset itu harus memaksimalkan ketersediaan aset (maximize asset availability), memaksimalkan penggunaan aset (maximize asset utilization), dan meminimalkan biaya kepemilikan (minimize cost of ownership). Untuk mengoptimakan suatu aset dapat dilakukan melalui Highest and Best Use Analysis, Siregar (2004). Hal ini dapat dilakukan dengan meminimalisasi atau menghilangkan hambatan atau ancaman atas pengelolaan aset-aset tersebut. Sehingga optimalisasi dari suatu aset yang berstatus idle capacity bisa dilakukan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa optimalisasi aset bertujuan untuk mengidentifikasi aset, untuk mengetahui aset yang perlu dioptimalkan dan bagaimana cara mengoptimalkan aset tersebut. Pada akhirnya diperoleh rekomendasi yang berupa sasaran, strategi, dan program untuk mengoptimakan aset yang diteliti. Beberapa hal yang menjadi penyebab kurangnya optimalisasi/pemanfaatan aset daerah adalah: 1. Kurangnya tertib administrasi dalam inventarisasi aset, sehingga pengelola aset sendiri terkadang tidak mengetahui keberadaan asetnya. 2. Kurang lengkapnya bukti kepemilikian aset, terutama untuk tanah dan atau bangunan, sehingga ketika akan dikerjasamakan dengan pihak ketiga akan mempengaruhi minat mitra kerjasama. 3. Kesulitan dalam menilai aset daerah yang akan dikerjasamakan. 4. Regulasi yang mengatur sistem dan prosedur lelang dalam menentukan mitra kerjasama belum diatur dengan detail. Banyak pengelola aset daerah lebih memilih aman daripada berurusan dengan penegak hukum karena masih adanya peraturan lelang yang multi tafsir. 5. Keterbukaan informasi oleh Pemerintah dalam mengoptimalkan aset yang akan dikerjasamakan belum sepenuhnya dapat menggambarkan informasi terhadap potensi kerjasama pemanfaatan aset daerah Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa optimalisasi aset merupakan suatu pelaksanaan kerja manajemen aset dalam rangka penggunaan dan pemanfaatan aset yang bertujuan untuk mengoptimalkan aset. Untuk dapat mengoptimalkan penggunaan dan pemanfaatan suatu aset, harus dicari faktor penyebab ketidakoptimalan penggunaan dan pemanfaatan aset tersebut. Faktor-faktor penyebab ini dapat meliputi berbagai aspek diantaranya legal, fisik, nilai ekonomi dan faktor lainnya. Optimalisasi aset ini diharapkan dalam waktu singkat akan menghasilkan penggunaan dan pemanfaatan aset yang efektif dan efisien. Potensi aset yang dimiliki oleh daerah sebisa mungkin harus dikembangkan, maka dari itu Pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan pengelolaan dan memanfaatkan aset tetapnya khususnya tanah dan bangunan dengan cara mendayagunakan potensi aset tetap tersebut dengan menfokuskan pada pemanfaatan aset. Hal ini tentunya dapat dilakukan sesuai peraturan yang berlaku. Setiap daerah biasanya memiliki aset yang berada di bawah penguasaannya, namun cukup banyak aset yang belum dioptimalkan dalam rangka meningkatkan pendapatan Pemerintah. Kerjasama pemanfaatan dilakukan melalui pelaksanaan tender (lelang) kecuali untuk



keperluan pelaksanaan kegiatan khusus seperti penggunaan tanah milik daerah untuk kebun binatang (pengembangbiakan dan pelestarian satwa langka). Dalam kata kunci kedua disebutkan adanya jangka waktu pelaksanaan kerja sama pemanfaatan. Ketentuan jangka waktu kerja sama pemanfaatan ini memberikan kepastian bahwa setelah perjanjian kerja sama ini berakhir maka aset daerah (tanah dan bangunan) tersebut harus dikembalikan kepada Pemerintah



ASET Dalam dunia pemerintahan, aset dikenal sebagai barang, barang itu milik negara ataupun milik daerah. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, barang dibedakan menjadi: a. Barang Milik Negara, yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari perolehan lain yang sah. b. Barang Milik Daerah, yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) atau berasal dari perolehan lain yang sah yaitu: 1) Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenisnya 2) Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dai perjanjian/kontrak 3) Barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau 4) Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.



Pemerintah dalam berbagai literatur Hukum Administrasi Negara dikatakan menyelenggarakan tugas yang istimewa (bestuurszorg), yaitu sebagai wujud konkrit dari negara yang bertugas menyelenggarakan kesejahteraan rakyat seluas-luasnya. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga yang secara sah mempresentasikan Negara agar fungsi negara dapat dijelmakan secara konkrit, pemerintah memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai lembaga hukum publik maupun sebagai hukum privat. Sebagai lembaga hukum publik, pemerintah berhasil merealisasikan tugas hukum publik negara berdasar aturan-aturan hukum publik. Sedangkan sebagai lembaga hukum privat, pemerintah berkedudukan hukum seperti subjek hukum privat (naturlijk/rechts-persoon), bertindak atas dasar hukum privat dan mengikatkan



diri pada konsekuensi-konsekuensi hukum privat yang timbul sebagai akibat perbuatan hukumnya.7 Menurut pandangan yang dianut di Perancis, Kepunyaan Privat adalah barang-barang yang dimiliki oleh Negara/Pemerintah seperti: tanah, rumah dinas pegawai, gedung-gedung, perusahaan negara, dan sebagainya. Hukum yang mengatur privat domein berlaku sama seperti hukum yang mengatur kepunyaan perdata biasa warga masyarakat (gewone burgerlijke eigendom). Kepunyaan Publik, adalah barang-barang yang disediakan untuk dipakai oleh publik, misalnya jalan-jalan umum, lapanga-lapangan, jembatan-jembatan, pelabuhan, dan sebagainya. Kepunyaan Publik adalah segala barang yang dengan langsung dipergunakan untuk penyelenggaraan kepentingan publik (voor openbare dienst). Kepunyaan publik tidak diatur dengan sistem hukum yang berlaku seperti kepemilikan perdata biasa, tetapi oleh peraturan-peraturan hukum tersendiri/khusus (hukum mengenai domein publik).8 Barang milik Daerah adalah semua kekayaan daerah baik yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun yang berasal dari perolehan lain yang sah baik yang bergerak mauoun tidak bergerak, beserta bagian-bagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur dan ditimbang termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan kecuali uang dan surat-surat berharga lainnya.9 Pengertian Barang Milik Daerah atau aset milik daerah berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Barang Milik Daerah adalah meliputi: barang yang diperoleh melalui hibah atau sumbangan yang sejenis, barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian atau kontrak, barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum mengikat. Dalam lain hal aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial dimasa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangaan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang diperlihara karena alasan sejarah dan budaya.10 Menurut Permendagri Nomor 19 tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, Barang Milik Daerah (BMD) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan Belanja Daerah atau perolehan lainnya yang sah antara lain: barang yan diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis, barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; atau, barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.



7



Tjandra Ridwan, Hukum Sarana Pemerintahan, Hal.95 Tjandra Ridwan, Op.Cit. Hal 96 9 Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri 2013, Hal.3 10 Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), Hal 50 8



3. GLOBALISASI Pada era global dewasa ini, sebagian besar negara di dunia mencoba untuk membangun perekonomiannya dan melakukan ekspansi kegiatan ekonomi ke berbagai negara, khususnya ke negara berkembang. Dengan melakukan ekspansi bisnis maka negara tersebut dapat terus eksis dalam kegiatan perkenomian dan perdagangan internasional. Munculnya kecenderungan globalisasi di bidang ekonomi ataupun perdagangan pada saat ini tidak dapat dihindarkan lagi. Terjadinya globalisasi ditandai dengan semakin transparannya dunia. Seolah-olah negara berdaulat menjadi tanpa batas dengan negara berdaulat yang lain di dunia ini, telah mengubah wajah kehidupan perekonomian di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Globalisasi ekonomi dengan pasar bebasnya mau tidak mau akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dalam waktu dekat. (Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, PT Citra Aditya Bakti,Bandung, 2006, hlm 150)



Perkembangan ekonomi internasional dengan kecenderungan globalisasi, jelas berpengaruh pada perkembangan hukum nasional. Relevansi hukum nasional dalam menghadapi perkembangan perekonomian tidak hanya terbatas pada kapasitasnya sebagai perangkat yuridis-formal, tetapi juga mencakup fungsinya sebagai basis keadilan dan pranata kedaulatan (Dumairy, 1992:213-214). (POLITIK HUKUM NASIONAL DAN HEGEMONI GLOBALISASI EKONOMI)



Arus globalisasi yang melanda dunia dewasa ini telah terjadi perubahan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, terutama pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Perubahan yang terjadi itu dengan sendirinya terjadi pula pada perubahan hukum, karena kebutuhan masyarakat akan berubah secara kuantitatif dan kualitatif. Permasalahan yang timbuldalam perubahan hukum itu adalah sejauh mana hukum bisa sesuai dengan perubahan tersebut dan bagaimana tatanan hukum itu agar tidak tertinggal dengan perubahan masyarakat. Segala akibat dari arus globalisasi yang melanda dunia dewasa ini ialah perubahan tata nilai dalam kehidupan masyarakat yag menimbulkan berbagai problematika sehingga perlu diatur oleh aturan hukum sebagai law making dan perlu penegakan hukum sebagai law enforcement. Menurut Soerjono Soekanto, perubahan dalam kehidupan masyarakat adalah segala perubahan yang terjadi dalam institusi-institusi sosial yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola prilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat tersebut.11



11



Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1999, hal.12



Globalisasi ekonomi berdampak kepada globalisasi hukum, hukum yang dibuat harus dapat mengantisipasi kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi. Kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi dalam era globalisasi akan berdampak pada timbulnya kapitalisme dengan semangat asas individual. Sudah tentu bertentangan dengan asas kebersamaan dan kekeluargaan yang tersebut dalam Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena hukum yang harus dilahirkan harus dapat mengimbangi hukum-hukum yang bersifat liberal yang mengutamakan kemerdekaan individu, tidak ada diskriminasi, persamaan di muka hukum, perlindungan terhadap individu, kesejahteraan semua orang sesuai dengan kehidupan yang layak. Dalam menghadapi arus globalisasi yang terjadi saat ini hendaknya hukum harus berperan dalam mendukung perkembangan ekonomi yang mampu menciptakan tiga hal, yakni stability, predictability, dan fairness. Fungsi hukum sebagai stability (stabilitas) merupakan potensi hukum, hukum untuk mengimbangkan dan mengakomoditas kepentingan, sedangkan fungsi hukum untuk meramalksn (predictability) ialah akibat dari suatu kebijakan yang diambil untuk mengantisipasi yang terjadi dimasa yang akan datang. Aspek keadilan (fairness) menjadi sangat penting guna menghindari pernikahan kepentingan nasional dari kepentingan-kepentingan negara maju.12



Kesejahteraan Tingkat kepuasan dan kesejahteraan adalah sebuah hubungan yang tidak dapat dipisahkan karna saling berkaitan. Yang dimana tingkat kepuasan merujuk kepada individu atau kelompok, yang mana pada tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan kelompok masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agrerat dari kepuasan individu – individu. Menurut Suud (2006), kondisi sejahtera biasanya merujuk kepada kondisi social, sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non material. Berdasarkan definisi kesejahteraan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kesejahteraan social sebagai suatu keadaan, kesejahteraan sebagai suatu kegiatan atau pelayanan dan kesejahteraan sebagai ilmu.



Hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam semua aspek kehidupan, baik dalam aspek kehidupan social, kehidupan politik, budaya, pendidikan dan yang cukup penting adalah fungsi dan peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi inilah justru hukum sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi yang terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi dilain pihak sehingga konflik antara sesama warga dalam memperebutkan sumbersumber ekonomi tersebut akan sering terjadi. Namun demikian berdasarkan pengalaman umat manusia sendiri, peranan hukum tersebut haruslah terukur sehingga tidak mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan ekonomi. Semua perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak mungkin terjadi apabila manusia tidak mempunyai kesempatan dan keluasan untuk berpikir dan berkreasi. Karenanya diperlukan 12



Abdul Manan, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hal.89



berbagai bentuk aturan yang mengatur bagaimana manusia agar bisa melaksanakan kegiatannya dengan aman, tidak saling mengganggu atau bahkan saling menghancurkan sehingga kesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan menjadi terhambat. Dengan demikian diperlukan peranan hukum yang bertujuan untuk melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan ekonomi sehingga dinamika kegiatan ekonomi dapat diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Hukum bukan hanya dapat membatasi dan menekan saja, akan tetapi juga memberi kesempatan bahkan mendorong masyarakat untuk menemukan berbagai penemuan yang dapat menggerakkan kegiatan perekonomian suatu negara. Sebagaimana diketahui bahwa Ilmu hukum adalah ilmu yang termasuk dalam kelompok ilmu praktis dengan menempati kedudukan istimewa dalam klasifikasi ilmu dengan alasan karena sifatnya sebagai ilmu normatif yang mengandung sifat khas tersendiri. Obyek telaahannya juga berkenaan dengan tuntutan berprilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuatan publik.2 Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan keberadaannya. Sehingga sangat jelas, jika kondisi hukum suatu bangsa itu efektif, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah untuk dilaksanakan. Namun, sebaliknya jika hukum tidak mampu berperan secara efektif, maka dapat dipastikan akan berdampak buruk terhadap pembangunan ekonomi. 2 Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm.16 Kondisi ini tentu berlaku pula bagi Indonesia sebagai sebuah negara yang sedang giat-giatnya melakukan pembangunan ekonomi. Apalagi, tatkala Indonesia menyatakan diri dalam konstitusinya sebagai negara hukum (rechtstaat). Dari sini tersirat pula bahwa Indonesia menghendaki dua hal; Pertama, hukum diharapkan dapat berfungsi; dan Kedua, dengan hukum dapat berfungsi, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah untuk direalisasikan. Sejalan dengan pemikiran tersebut, jika dikaji dari sisi politik hukum acapkali pembentukan hukum, khususnya hukum ekonomi tak selalu sinkron dengan harapan-harapan tersebut. Sebagai faktor yang menjadi pemicu tidak adanya kesinkronan ini karena banyak kepentingan yang berkembang di seputar pembentukan hukum. Politik hukum yang berkembang berupa adanya tarik menarik antara kepentingan nasional dan asing, sehingga hukum yang dapat dijadikan sarana bagi pembangunan ekonomi akan menjadi sia-sia karena yang dikedepankan justru kepentingan asing yang dominan. Perkembangan globalisasi ekonomi dan kerjasama ekonomi di dunia internasional sedikit banyak telah menggambarkan adanya polarisasi dalam artian substansi permasalahan di bidang hubungan ekonomi sebagai dampak dari upaya pengaturan yang dilakukan oleh Negara-negara ataupun pelaku ekonomi Negara-negara maju. Upaya pengaturan baik secara global melalui World Trade Organization (selanjutnya disingkat dengan WTO), regional melalui berbagai kerjasama sekawasan serta bilateral melalui berbagai kerjasama bilateral ternyata tidak mengurangi munculnya berbagai penyimpangan dari norma-norma yang telah disepakati. Merupakan suatu keharusan bagi suatu negara tatkala merumuskan suatu peraturan perundang-undangannya senantiasa memperhatikan pada aspek kepentingan nasional (national interests). Untuk dapat mencapai hal demikian, maka faktor politik hukum akan sangat menentukan. Bagi beberapa negara pola pemikiran ini menjadi sarana yang cukup efektif. Berangkat dari persoalan tersebut di atas, peranan politik hukum dalam konteks hukum sangat memegang peranan yang sangat strategis. Melalui pendekatan politik hukum, hukum



yang dibentuk pun setidaknya akan banyak Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 933



memperhatikan kepada kepentingan nasional. Pengertian kepentingan nasional bukan berarti dimaknai dalam arti yang sempit, namun kepentingan nasional merupakan titik tolak dalam upaya memasuki dunia global. Dari prinsip kepentingan nasional pemerintah selanjutnya mengambil langkah strategis dalam upaya meraup manfaat ekonomi dan manfaat ekonomi tersebut dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia sendiri bukan oleh bangsa lain yang menikmati hasil dari pembentukan hukum tersebut. Dengan kenyataan tersebut, sudah sewajarnya apabila pemerintah dalam menjalankan orientasi politik hukum lebih mengedepankan pembentukan instrumeninstrumen hukum yang terkait dengan permasalahan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam upaya melakukan perkembangan dalam pembangunan nasional terutama yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, secara umum dapat dijelaskan bahwa keterkaitan antara regulasi /pengaturan sistem dan pelaksanaan kegiatan perekonomian di Indonesia sebagai upaya untuk menjaga stabilitas sistem perekonomian di Indonesia akan berkorelasi pula dengan Hukum Ekonomi secara keseluruhan. Karena, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia menyangkut pemikiran hukum dan kaidah-kaidah hukum dalam sistem ekonomi Indonesia yang terarah (Verwaltungswirtschaft), sedangkan Hukum Ekonomi Sosial Indonesia menyangkut pemikiran hukum dan kaidah-kaidah hukum yang memikirkan bagaimana dapat meningkatkan kesejahteraan Warga Negara Indonesia sebagai perseorangan, dan tetap memelihara harkat dan martabat kemanusiaan manusia Indonesia, serta tetap menjunjung tinggi hak-hak hidup yang sama dari pihak yang lemah dalam sistem ekonomi yang terarah tersebut. Dengan demikian, konsep dasar pemikiran Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia adalah Ekonomi Indonesia dalam arti pembangunan dan peningkatan ketahanan ekonomi nasional secara makro, sedangkan dasar pemikiran Hukum Ekonomi Sosial adalah kehidupan Ekonomi Indonesia yang berperikemanusiaan dan pemerataan pendapatan, dimana setiap Warga Negara Indonesia berhak atas kehidupan dan pekerjaan yang layak. 934 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012 Dalam hubungan tersebut, maka segala usaha pembangunan ekonomi Indonesia bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan tiap-tiap dan masing-masing Warga Negara Indonesia, sehingga pembangunan ekonomi Indonesia harus menjunjung tinggi hak-hak hidup manusia yang asasi.3 3 CFG. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1988, hlm. 50. 6 Lili



Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 127. 7 Ibid. 8 Chairijah, Peran Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada Pelatihan Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2008. hlm. 4-5. 9 Endang Sutrisno, Opcit, hlm. 104-105.



Indonesia sebagai Negara hukum (Rechtsstaat/the rule of law), sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen ke 4) bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagaimana diketahui bahwa ide dasar negara hukum Indonesia tidaklah terlepas dari ide dasar tentang „rechtsstaat” atau Negara Hukum yang dianut oleh Belanda yang meletakkan dasar



perlindungan hukum bagi rakyat pada asas legalitas, yaitu semua harus bersifat positif, hal tersebut berarti hukum harus dibentuk secara sadar.8 Dalam suatu rechtsstat yang modern, fungsi peraturan perundang-undangan bukanlah hanya memberikan bentuk kepada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dan hidup dalam masyarakat, dan Undang-Undang bukanlah hanya sekedar produk fungsi negara di bidang pengaturan. Selanjutnya, peraturan perundang-undangan adalah salah satu metoda dan instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan. Dalam praktik memang demikian yang dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang, karena saat ini kekuasaan pembentuk Undang-Undang adalah terutama memberikan arah dan menunjukkan jalan bagi terwujudnya cita-cita kehidupan bangsa melalui hukum yang dibentuknya.9 10 Moh.



Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 7. 11 Ibid. 12 Khusus dalam hal ekonomi diperjelas lagi dalam Pasal 27 ayat (2) berbunyi; tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sedangkan Pasal 33 berbunyi; 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh Negara;



Sistem ekonomi di Indonesia adalah Sistem Ekonomi Pancasila yang lahir dalam jantung bangsa yakni Pancasila dan UUD-45 beserta tafsirannya. Karena itu, sistem ekonomi Pancasila bersumber langsung dari Pancasila khususnya sila kelima, yaitu : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan amanat Pasal 27 ayat (2), Pasal 33-34 UUD-45 (Amandemen ke 4). Sila kelima ini menjelaskan bahwa semua orientasi berbangsa dan bernegara, politik ekonomi, hukum, sosial dan budaya, adalah dijiwai semangat keadilan menyeluruh dan diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia.12 Dengan 3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; 4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional; 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-Undang. 13 Ady Kusnadi, Penelitian Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional), FH-UNPAD, 2008, hlm. 189. 14 Djuhaendah Hasan, Fungsi Hukum Dalam Perkembangan Ekonomi Global, Bandung, 2008, hlm. 23. demikian, keberadaan sistem Ekonomi Pancasila sudah ada dengan Pancasila sebagai landasan idiilnya dan UUD1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Dalam pembangunan hukum nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap tujuan yang ingin dicapai, sehingga pembangunan hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat bersinergi mencapai tujuan yang disepakati secara nasional. Selanjutnya, pembinaan hukum nasional diarahkan untuk mencapai tujuan terbentuk dan berfungsinya sistem hukum nasional,13 demikian pula yang terdapat dalam pengaturan hukum ekonomi khususnya yang berkaitan dengan pengaturan semua kegiatan perekonomian di Indonesia. Dalam pembangunan ekonomi akan sangat berpengaruh pada perkembangan Hukum dan Perkembangan bidang ekonomi yang keduanya tidak akan berjalan dengan maksimal tanpa dilandasi oleh Peraturan Perundangan-undangan yang baik. Pengaturan hukum berkaitan erat dengan pembangunan pada umumnya dan khususnya bagi pembangunan ekonomi.14 Di Indonesia konsepsi pembaharuan hukum yaitu hukum sebagai sarana pembaharuan dalam pembangunan masyarakat (Mohtar Kusumaatmadja, yang diilhami oleh konsep “law as a tool of social engineering” Roscoe Pound) telah memberikan peran penting kepada hukum



dalam pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi. Konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat, hukum harus tampil di depan dan memberi arah dalam pembaharuan dan pembangunan. Pembangunan hukum harus dapat mengantisipasi pembangunan masyarakat 938 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012 ke depan. Dengan demikian pembaharuan hukum dan pembentukan hukum harus melihat ke depan, pembentukan hukum tidak boleh hanya untuk kepentingan hari ini tetapi harus memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi untuk waktu yang akan datang seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi.15 Dalam perkembangannya Hukum Ekonomi Indonesia kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan Hukum perdagangan internasional yang merupakan bidang hukum yang berkembang dengan cepat, dan ruang lingkupnya pun cukup luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi perdagangan yang kompleks. 15 Ibid, hlm. 24 16 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 1. 17 Soerjanto Poespowardojo, Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Budaya Sebuah Pendekatan Filsafat, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 60. Kompleksnya hubungan atau transaksi perdagangan internasional disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi) sehingga transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung dengan cepat, hal tersebut tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi yang disebut dengan e-commerce. 16 Untuk memahami kegiatan ekonomi sebagai suatu rangkaian pembangunan ekonomi Indonesia, selain dilihat dari kajian normatif, juga dapat dikaji secara filosofis agar dapat memberikan penjelasan mengenai gejala-gejala fisik atau sosial yang terjadi atas dasar pengaturan hukum yang telah dirumuskan dan ditetapkan. Dapat dijelaskan misalnya, jatuhnya batu, bukan lagi dijelaskan karena hakikat batu yang memang cenderung dan seharusnya menyatu dengan asalnya yaitu bumi, locus naturalis, melainkan melalui teori-teori gravitasi yang dibangun dari hukum-hukum yang menguraikan keteraturan-keteraturan dalam berbagai gejala alam.17 Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 939. Cara pandang demikian yang kemudian membuat orang terhindar dari penafsiran hukum secara legalistik. Apa dan bagaimana hukum tersebut seharusnya berlaku, dapat dirumuskan dengan tingkat keakuratan yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai landasan Pembangunan Ekonomi. Namun demikian, untuk dapat memahami hakekat hukum yang semaksimal mungkin dibutuhkan alat penafsiran yang menggunakan metode ilmiah (scientific method).18 18 Anthony T. Kronman, The Lost Lawyer Failing Ideals of the Legal Profession, Harvard University Press, Cambridge, 1993, hlm. 229. 19 Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Little Brown Co, Boston, 1983, hlm. 120. 20 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia & LEKNAS-LIPI, Jakarta, 1984, hlm. 4 21 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi Dan Aksiologi Pengetahuan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007, hlm. 18. Menurut Richard Posner, dari keseluruhan ilmu sosial yang metodenya pernah digunakan untuk menjelaskan hukum, ilmu ekonomilah yang paling menjanjikan, karena universalitas dan karena ketepatannya, dan dengan menggunakan disiplin ekonomi maka konsep-konsep hukum dapat dijelaskan secara kualitatif sehingga memiliki akurasi yang lebih maksimal.19 Secara umum keseluruhan yang menjelaskan keterkaitan diantara beberapa konsep dalam ilmu pengetahuan yang berkembang akan dikembalikan pada pola berfikir yang bertumpu secara filosofi. Dapat dijelaskan bahwa filsafat dan ilmu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, sebab keduanya saling melengkapi serta terkait erat. Ilmu tidak lepas dari peranan



filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat eksistensi filsafat.20 Hubungan antara filsafat dengan ilmu bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Adapun ciri-ciri keilmuan tersebut didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap ketiga pertanyaan pokok, yaitu : 21 a. Apakah yang ingin kita ketahui? ; b. Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan?; c. Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita? 940 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012



Dapat dianalisis bahwa filsafat mempelajari masalah-masalah tersebut di atas dengan sedalam-dalamnya dan hasil dari pengkajiannya merupakan dasar bagi eksistensi ilmu. Ketiga pertanyaan mendasar tersebut akhirnya berujung pada masalah ontologi yang membahas mengenai apa yang ingin kita ketahui dan seberapa jauh kita ingin tahu. Kemudian bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan mengenai objek tersebut ? dan untuk menjawab pertanyaan tersebut maka digunakan pendekatan epistimologi yakni teori pengetahuan. Akhirnya dalam menjawab pertanyaan ketiga tentang nilai kegunaan dan nilai pengetahuan tersebut maka digunakan pendekatan axiologi yakni teori tentang nilai.22 Jadi setiap bentuk pemikiran manuia pada dasarnya dapat dikembalikan dalam dasar-dasar ontologi, epistimologi serta axiologi dari pemikiran yang bersangkutan. Analisis kefilsafatan dengan mendasarkan diri pada ketiga landasan tersebut akhirnya dapat membawa pada hakikat pemikiran manusia, sehingga akan mempelajari ilmu ditinjau dari titik tolak yang sama guna memperoleh deskripsi yang sedalam-dalamnya. 22 Ibid, hlm. 22-23 23 Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 4 24 Tim Dosen Filsafat Ilmu-Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm.7. Dari sudut gambaran filsafat ilmu terhadap ilmu hukum dapat diketahui bahwa sebagai ilmu dan dari landasan axiologi, ilmu hukum juga memiliki kemanfaatan untuk kepentingan umat manusia. Filsafat memiliki banyak makna, akan tetapi filsafat juga dapat diartikan sebagai suatu cara berfikir yang radikal dan menyeluruh, serta mengupas sesuatu sedalamdalamnya.23 Tidak ada satupun dalam hidup ini terlepas dari pengamatan kefalsafahan, sehingga tidak ada satu pernyataanpun sekalipun sederhana yang diterima begitu saja tanpa pengkajian secara seksama. Fislsafat mempertanyakan dan mengkaji segala sesuatu dari kegiatan berfikir dari awal hingga akhir secara mendalam hingga menyentuh pada suatu hal yang paling hakiki tentang sesuatu.24 Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 941



Filsafat juga dapat berarti pandangan hidup. Sebagai ilmu, filsafat merupakan suatu proses yang terus bergulir dan tidak pernah mengenal kata selesai. Sebaliknya, Filsafat sebagai pandangan hidup merupakan suatu produk (nilai-nilai atau sistem nilai) yang diyakini kebenarannya dan dapat dijadikan pedoman berprilaku oleh suatu individu atau masyarakat.25 Filsafat Ilmu sendiri merupakan bagian dari cabang filsafat secara keseluruhan, melalui filsaf ilmu dapat dilakukan telaahan secara filosofi yang berkehendak untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang hakikat ilmu.26 Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistimologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah).27 25 Ibid. 26 The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Edisi Ke-Dua Diperbaharui), Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm.9 27 Jujun S. Suriasumantri, Filsfat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, hlm. 33. 28 Meuwissen, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum (terjemahan B. Arief Sdharta), Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 55. Suatu kajian yang mendasarkan pada karakteristik dan kepribadianya, maka Ilmu Hukum yang memiliki karakter yang khas merupakan Ilmu tersendiri (sui generis). Ilmu Hukum yang merupakan kajian dogmatik memiliki suatu karakteristik sendiri yang tidak dapat dibandingkan (diukur dan dinilai) dengan bentuk ilmu lain yang manapun. Ilmu Hukum memiliki berbagi ciri sebagai berikut :28 a) Ilmu Hukum memiliki suatu sifat empirik analitikal, yang berarti bahwa ia memberikan suatu pemaparan dan analisis tentang isi (dan struktur) dari Hukum yang berlaku; b) Ilmu Hukum mensistematisasi gejala-gekala hukum yang dipaparkan dan dianalisis; c) Ilmu Hukum menginterpretasi hukum yang berlaku; d) Ilmu Hukum menilai hukum yang berlaku (relatif bersifat normatif). Hal tersebut mengandung arti bahwa tidak hanya objeknya terdiri atas kaidah-kaidah, akan tetapi Ilmu hukum memiliki suatu dimensi pengkaidahan (menetapkan norma). Jadi, dogmatika hukum bebas nilai, dan secara langsung berkaitan dengan ide hukum (cita hukum), dengan perwujudan “tujuan” dari hukum. Ilmu Hukum Dogmatik dalam penilaian-penilaian dan keputusan-keputusannya mau memberikan sumbangan pada realisasi dari tujuan ilmu hukum yakni keadilan dan kebebasan; 942 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012



e) Berkaitan dengan arti praktikal dari Ilmu Hukum Dogmatik, berkaitan erat dengan dimensi normatif. Ilmu Hukum sebagai ilmu yang sui generis (tersendiri) dengan kualitas keilmiahannya, cukup sulit jika dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu, baik cabang ilmu pengetahuan alam, cabang ilmu pengetahuan sosial maupun cabang ilmu pengetahuan humaniora. Namun demikian, berdasarkan karakteristik keilmuan, maka menurut Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum pada akhirnya termasuk dalam kelompok ilmu praktis yaitu praktis normologis sebagai Ilmu Normatif.29 29 Ibid, hlm. 113. 30 Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Opcit, hlm. 4. 31 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 14. Selanjutnya, juga dijelaskan oleh Lili Rasjidi, bahwa salah satu pengaruh yang paling menonjol dari perkembangan Ilmu Hukum adalah dominasi pendekatan mekanis analitis dalam epistimologi Ilmu Hukum.30 Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa dalam kajian Ilmu Hukum akibatnya adalah dominannya teori-teori hukum normatif di dalam khasanah dan ruang lingkup bidang Ilmu Hukum secara keseluruhan. Sebagai suatu sistem ajaran, disiplin hukum mencakup antara lain : ajaran yang menentukan apakah yang seharusnya dilakukan (preskriptif); dan ajaran yang senyatanya dilakukan (deskriptif) di dalam hidup. Selanjutnya unsur-unsur hukum mencakup: unsur Idiil serta unsur riil, yang keduanya mencakup hasrat susila dan rasio manusia, hasrat susila menghasilkan asas-asas hukum (rechtsbeginzelen), misalnya : tidak ada hukuman tanpa kesalahan. Kemudian rasio manusia menghasilkan pengertian-pengertian hukum (rechtsbegrippen) misalnya : subjek hukum, hak dan kewajiban.31



Prinsip-prinsip hukum berupa kepastian dan keadilan hukum dimaksudkan sebagai nilai-nilai dasar mengenai apa yang dikehendaki manusia dari keberadaan dan keberlakuan hukum.33 Hukum dengan nilai-nilainya hendak mewujudkan bahwa kehadirannya dimaksudkan untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dalam konteks tersebut, nilai-nilai dasar dari hukum dimaksudkan sebagai nilai instrumental, yaitu hukum tersebut bernilai sebagai sarana untuk mencapai tujuan kebahagiaan dan keadilan dalam masyarakat. Hukum merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat, namun demikian dalam hukum biasanya nilai-nilai tersebut digambarkan sebagai berpasangan, akan tetapi tidak jarang pula bertentangan. Nilai-nilai tersebut, misalnya : ketertiban dan ketentraman, kepastian hukum dan kesebandingan, kepentingan umum dan kepentingan individu.34 Dengan demikian, tidak adanya keserasian dan harmonisasi Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 945



diantara nilai-nilai tersebut yang terdeskripsikan dalam masyarakat akan mengganggu tujuan dan jalannya proses penegakkan hukum. Fokus utama dari pertentangan sebenarnya terletak pada persoalan bagaimana hukum positif dengan jaminan kepastiannya dapat mewujudkan nilai-nilai moral, khususnya keadilan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan bentuk keadilan apakah yang diharapkan dan atau seharusnya menjadi landasan dalam hukum buatan manusia tersebut yang khususnya terdapat dalam hukum positif. Hak mempunyai hubungan dengan kewajiban sebagai refleksi keseimbangan dalam hidup bermasyarakat, keseimbangan tersebut yang dapat mewujudkan perpaduan antara keadilan hukum, keadilan sosial dan keadilan moral terwujud. Jadi keadilan merupakan bagian utama dari cita hukum. Pandangan tentang keadilan menurut konsep Aristoteles35 , dibedakan antara keadilan distributif yakni : mempersoalkan bagaimana negara atau masyarakat membagi atau menebar keadilan kepada orang-orang sesuai dengan kedudukannya, sedangkan keadilan komutatif merupakan keadilan yang tidak membedakan posisi atau kedudukan orang perorang untuk mendapatkan perlakukan hukum yang sama. Dimana, kedua bentuk keadilan tersebut tetap harus mengikuti azas persamaan. 35 Ibid. 36 John Rawls, Teori Keadilan, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2005, hlm. 50-51. John Rawls mengkonsepsikan keadilan sebagai fairness, yang mengandung azas-azas bahwa orang yang merdeka dan rasional yang berkeinginan untuk mengembangkan kepentingankepentingan hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat-syarat yang fundamental bagi masyarakat.36 Dengan demikian, keadilan menjadi fairness (wajar, alamiah) apabila tatanan yang ada dapat diterima oleh semua orang secara adil, melalui penerimaan dengan ikhlas dari semua unsur golongan, kelompok, ras, etnik, agama tanpa tekanan, yang dapat menciptakan masyarakat yang berkeadilan. 946 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012



Tanpa kelengkapan instrumen hukum dengan cita-cita luhur, keadilan akan menjadi sulit tercapai. Oleh karenanya hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang melekat pada hukum pada hakikatnya merupakan komitmen hukum dalam melindungi kepentingan orang per orang. 2. Peranan Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi Di Indonesia. Pada era global pembangunan hukum ditandai dengan kecenderungan tuntutan kebutuhan pasar yang dewasa ini semakin mengglobal. Dalam kondisi semacam itu, produk-produk hukum yang dibentuk lebih banyak bertumpu pada keinginan pemerintah, karena tuntutan pasar. Tuntutan kebutuhan ekonomi telah mampu menimbulkan perubahan-perubahan yang amat fundamental baik dalam hal fisik maupun sosial politik dan budaya yang mapu melampaui pranata-pranata hokum yang ada. Produk hukum yang ada lebih meangarah pada upaya untuk memberi arahan dalam rangka menyelesaikan konflik yang berkembang dalam kehidupan ekonomi.37 Pembangunan hukum yang tertuju pada kehidupan perekonomian saat ini harus mampu mengarah dan memfokuskan pada aturan-aturan hukum yang diharapkan mampu memperlancar roda dinamika ekonomi dan pembangunan yang tidak melepaskan diri dari sistem demokrasi ekonomi dengan mengindahkan akses rakyat untuk mencapai efisiensi dan perlindungan masyarakat golongan kecil. 37 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3IS, Jakarta, 2001, hlm 9. 38 R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lectures on Jurisprudence, Liberty Fund, Indianapolis, 1982, hlm. 9. Adam Smith (1723-1790) melahirkan ajaran mengenai Keadilan (justice), yang menyatakan bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian (the end of justice is to secure from injury).38 Ajaran Smith tersebut menjadi dasar hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara hukum dan ekonomi, dan antara ekonomi dengan politik mempunyai hubungan yang Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 947



erat, dan kemudian dikenal dengan istilah ekonomi-politik (political economy).39 Adapun salah satu tujuan dari ekonomi-politik adalah menyediakan sejumlah daya bagi negara atau pemerintah agar mampu menjalankan berbagai tugas dan fungsinya dengan baik, dimana ekonomi-politik berusaha untuk merumuskan bagaimana memakmurkan rakyat dan pemerintah sekaligus. Dalam era global eksistensi hukum dipandang penting, karena perubahan di berbagai bidang menuntut adanya norma atau rule of law dapat memberikan arahan pada cita-cita mulia sebagaimana pertama kali ide liberalisasi perdagangan lahir yang menghendaki adanya pemerataan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat dunia yang selama ini dianggap tidak adil akibat praktik kolonialisme. 39 Adam Smith, An Inqury into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, Penguin Book, London, 1979, hlm. 397. 40 David M. Trubek, “2002-2003, ELRC Annual Report : Law and Economic Development : Critiques and Beyond” disampaikan pada Spring Conference Harvard Law School, April 13-14 2003, hlm. 1. 41 Ibid. David M. Trubek (Guru Besar dari University of Wisconsin) menyatakan bahwa “rule of law” merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan akan memberikan dampak yang luas bagi “reformasi” sistem ekonomi di seluruh dunia, yang berdasarkan pada teori apa yang dibutuhkan untuk pembangunan dan bagaimana peranan hukum dalam perubahan ekonomi.40 Pentingnya dikaji kembali teori hukum sebagai dasar dalam pembangunan dan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi tidak lain karena secara umum pelaku ekonomi dalam memandang kegiatan perekonomian hanya pada pendekatan satu sisi saja, hal tersebut dapat dilihat pada kebijakan yang diterapkan oleh International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), dirasakan telah mengakibatkan kebijakan ekonomi menjadi tidak terkontrol yang kemudian terjadinya market shock.41 Liberalisasi pasar keuangan tanpa disertai peraturan hukum yang efektif dan memadai akan menyebabkan terjadinya instabilitas ekonomi dan dapat memicu suku 948 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012



bunga tinggi yang pada gilirannya akan menyulitkan sektor riil dan pelaku ekonomi menengah ke bawah. Selanjutnya Trubek juga menyatakan bahwa pada saat ini setiap negara membutuhkan suatu upaya yang sistematis untuk memahami keterkaitan antara hukum, sosial, ekonomi dan politik, jika tidak bisa dilakukan secara komprehensif, konsistensi dan koherensi, akan berdampak pada terjadinya krisis hukum (crisis of law).42 42 David M. Trubek, “Toward a Social Theory of Law : An Essay on the Study of Law and Development”, The Yale Law Journal, (Vol. 82, 1 November 2000), hlm. 2. 43 Kartharina Pistor dan Philip A. Wellon, et al, Asian Development Bank, The Rule of Law and Legal Institutions in Asian Economic Development 1960-2000, Oxford University Press, New York, 2001, hlm. 25. 44 Soerjanto Poespowardojo, Opcit, hlm. 85 Berdasarkan pendapat tersebut diatas, jika dikaitkan dengan dengan kondisi di Indonesia, landasan hukum yang digunakan dalam pembangunan ekonomi perlu dikaji kembali, dimana dalam memerankan hukum untuk pembangunan ekonomi Indonesia ke depan hukum tidak saja bersifat formalis akan tetapi hukum harus dibuat secara sistematis dan komprehensif (in concert) agar mempunyai arah dan tujuan yang jelas sesuai dengan apa yang akan dicapai dan instrumen yang digunakan untuk dapat mencapainya. Hal tersebut sejalan dengan analisis The European Bank for Reconstruction and Development (EBRD)43 berkenaan dengan infrastruktur hukum pada negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia serta transition economies yang menunjukkan korelasi cukup signifikan antara efektifitas sistem hukum dan pertumbuhan ekonomi. Dalam analisis dan kajian EBRD tersebut memperlihatkan pula keberhasilan reformasi perekonomian tergantung pada berfungsinya sistem hukum dengan baik. Burg’s menyatakan bahwa ada 2 (dua) unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi agar sistem ekonomi dapat berfungsi dengan maksimal, yakni :44 a. Stabilitas (stability), dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing; Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 949



b. Meramalkan/Memprediksi (predictability), berfungsi untuk memprediksi akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya akan menjadi sangat penting bagi negara yang sebagian besar rakyatnya memasuki hubungan-hubungan ekonomi yang melampaui lingkungan sosial dan tradisional. Berdasarkan konsep tersebut di atas, yakni diantara kedua unsur tersebut harus diperhatikan juga aspek yang paling penting yaitu “aspek keadilan” (“fairness”) seperti perlakukan yang sama dan standart pola tingkah laku pemerintah, yang diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan. Setiap Negara membutuhkan landasan filosofis berbangsa dan bernegara. Atas landasan filosofis tersebut disusunlah visi misi dan tujuan Negara. Bagi Indonesia sendiri, landasan filosofis negara adalah Pancasila. Untuk itu Pancasila harus dilihat secara utuh sebagai suatu national guideness serta national standard, norm and principles yang di dalamnya juga memuat sekaligus human rights dan human responsibility, yang pada sisi lain Pancasila juga berguna sebagai margin of appreciation45, sebagaimana yang juga harus diimplementasikan dalam pelaksanaan Hukum Ekonomi di Indonesia. Dengan demikian Hukum Ekonomi di Indonesa dalam wujud Margin of Appreciation dijadikan tolak ukur bagi pembenaran terhadap norma-norma hukum yang diberlakukan sehingga nilai utama Pancasila sebagai Ideologi bangsa yaitu kebersamaan dengan bentuk ideal kebersamaan hidup bermasyarakat, adalah masyarakat kekeluargaan, sehingga dalam bidang ekonomi, ideologi Pancasila menghendaki kebersamaan (kekeluargaan Demokrasi Ekonomi Pasal 33 UUD 1945), yang diwujudkan melalui Negara Kesejahteraan. 45 Muladi, Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia (Seminar Nasional Dalam Rangka Dies Natalis ke- 40 Universitas Pancasila), Jakarta 7 Desember 2006, hlm. 11-12. Dalam dunia yang makin menempatkan liberalisme sebagai arus utama pemikiran untuk mendatangkan kesejahteraan, Indonesia bergerak semakin jauh dari cita-cita membangun Negara Kesejahteraan, di dunia ini sekarang 950 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012



dan kedepan liberalisme ekonomi dengan cirri ekonomi pasar bebas digunakan semakin luas. Namun dalam Negara kesejahteraan meskipun prinsi-prinsip ekonomi pasar diberlakukan kesejahteraan menjadi unsur penting tujuan bernegara. Hal tersebutlah yang membedakan dengan Negara yang menganut ekonomi pasar murni, dimana kesejahteraan bersama sekedar menjadi hasil sampingan, bukan tujuan. Penekanan yang harus mendapatkan perhatian adalah bahwa pengembangan dalam ilmu hukum Indonesia, pada akhirnya tidak hanya sekedar alih pengetahuan tentang hukum dan bukan pula sekedar pelatihan ketrampilan untuk menjalankan hukum tetapi juga termasuk di dalamnya pendidikan nilai-nilai yang menjadi basis sistem hukum nasional yang hendak dibangun dan bagi Indonesia nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai Pancasila. Selanjutnya, Pemerintah Indonesia harus berhati-hati dalam memilih dan melaksanakan strategi pembangunan ekonomi. Ada peringatan “teoritis” bahwa ilmu ekonomi Neoklasik dari Barat memang cocok untuk menumbuhkembangkan perekonomian nasional, tetapi tidak cocok atau tidak memadai untuk mencapai pemerataan dan mewujudkan keadilan sosial. Amanah Pancasila akan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang seharusnya dijadikan pedoman mendasar dari setiap kebijakan pembangunan ekonomi dan pengembangan hukum sebagai landasan pembagunan ekonomi. Nilai-nilai Pancasila yang relevan dan perlu diacu adalah sila terakhir, yakni keadilan sosial. Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial. Semangat nasionalisme ekonomi dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri. Demokrasi konomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan, serta usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat. Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 951



Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana terjadi pemerintah Orde Baru yang sangat kuat dan stabil, memilih strategi pembangunan berpola “konglomeratisme” yang menomorsatukan pertumbuhan ekonomi tinggi dan hampir-hampir mengabaikan pemerataan. Hal inilah yang merupakan strategi yang berakibat pada “terjadinya krisis moneter” yang terjadi pada Tahun 1997 saat awal reformasi politik, ekonomi, sosial, dan moral. Sebagaimana yang dihadapi dunia saat ini, dimana dengan adanya krisis keuangan global saat ini telah mengakibatkan sistem hukum ekonomi di beberapa negara tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya secara efektif. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan mengancam kesinambungan perekonomian nasional. Krisis keuangan secara global yang saat ini terjadi di wilayah Amerika, Eropa maupun Asia pada dasarnya secara khusus bersumber dari masih lemahnya kualitas sistem keuangan yang ada di secara global di dunia. Reformasi keuangan yang terjadi pada awal Tahun 1980 an ternyata hanya memberikan peningkatan kuantitas lembaga-lembaga keuangan dan kuantitas aliran modal yang masuk (capital inflow) ke suatu Negara. Kondisi seperti ini, juga dilakukan oleh Indonesia pada saat itu, khususnya jika dikaitkan dengan liberalisasi perbankan yang berawal pada Tahun 1988 dimana kondisi tersebut merupakan salah satu faktor pemicu lemahnya sistem keuangan, khususnya pada sektor Lembaga Perbankan. Terjadinya gejolak di pasar uang, pasar valas dan pasar modal serta meningkatnya ketidakpastian (uncertainty) dapat mengabikatkan semakin memburuknya kinerja Lembaga Keuangan yang pada gilirannya dapat mengakibatkan runtuhnya kestabilan sektor keuangan. Secara keseluruhan jika kondisi krisis global yang terjadi pada saat ini tidak segera diantisipasi dan ditangani secara serius dan komprehensif oleh Pemerintah Indonesia maka akan berdampak pada krisis keuangan yang 952 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012



semakin mendalam. Selanjutnya, kondisi tersebut tidak saja berdampak pada buruknya aspek likuiditas perbankan, akan tetapi juga pada solvabilitas dan rentabilitas dari lembaga perbankan secara nasional, mengingat lembaga perbankan merupakan pasar yang sangat dominan dalam industri keuangan di Indonesia46, maka secara sistematis sektor keuangan dapat mengalami kelumpuhan kembali sebagaimana kondisi yang terjadi kurun waktu Tahun 1997-1998 yang lalu. Mepertimbangkan dari dampak dan kerugian yang demikian besar terhadap kondisi perekonomian suatu Negara sebagai akibat dari instabilitas sistem keuangan tersebut serta langkah-langkah penyelesaian krisis (crisis resolution) yang juga membutuhkan waktu cukup lama, maka sudah saatnya stabilitas sistem keuangan fungsinya dioptimalkan dan perlunya kordinasi yang efektif dan komprehensif baik dari pihak pemerintah dan Bank Sentral sebagai pengambil kebijakan publik di setiap belahan negara-negara di dunia pada saat ini, termasuk di Indonesia pasca krisis keuangan dan perbankan Tahun 1997-1998. Akan tetapi, kondisi yang ada pada saat ini khususnya di Indonesia, belum maksimalnya konsepkonsep pemikiran secara yuridis maupun institusional (legal and institutional framework) dari masing-masing instutisi yang bertanggung jawab secara menyeluruh dalam menjaga stabilitas sistem keuangan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam upaya melakukan perkembangan dalam pembangunan nasional terutama yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, secara umum dapat dijelaskan bahwa keterkaitan antara regulasi / pengaturan sistem pengamanan keuangan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia akan berkorelasi pula dengan peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi secara keseluruhan. Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang hukum dan politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. 46 Mengutip pendapat Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, S.H., bahwa Lembaga Perbankan merupakan jantungnya perekonomian di Indonesia. Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 953. Srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal. Pembangunan ekonomi di suatu negara, secara khusus di Indonesia, bahwa hukum memiliki peranan yang besar untuk memberi peluang pembangunan ekonomi. Pelaksanaan roda pemerintahan yang demokratis, dengan menggunakan hukum sebagai instrumen yang efektif dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang komprehensif, akan membawa negara menuju masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang di cita-citakan. Bagi Indonesia menciptakan persatuan, menggalakkan pembangunan dan mewujudkan kesejahteraan harus di lakukan secara bersamaan. Kondisi tersebut, dapat memberi peluang dalam terciptanya keharmonisan dalam pencapaian tujuan pembangunan ekonomi. Pada pelaksanaan pembangunan ekonomi harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, sehingga dapat memberi pengaruh bagi warga negara untuk bekerja lebih giat lagi, karena prestasi mereka dilindungi dan di jamin oleh hukum, sehingga dengan sendirinya hasil kerja tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.



NEGARA HUKUM Pengertian negara hukum menurut Wirjono Prodjodikoro, adalah suatu negara yang didalam wilayahnya terdapat keadaan: a. semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah, dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku. b. semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturanperaturan hukum yang berlaku.Selanjutnya, gagasan negara hukum juga dikemukakan oleh Immanuel Kant, yang memahami negara hukum sebagai de nachwaker staat atau nachtwachtherstaat (negara jaga malam), yang tugasnya adalah menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Konsep negara hukum di Eropa Kontinental yang dikemukakan oleh Immanuel Kant tersebut, dikenal pula sebagai negara hukum liberal (Padmo Wahjono, “Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia”, makalah, hlm 2, September 1998 sebagimana dikutip dalam Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, Cetakan Kedua, September 2004, hlm 89.) Dikatakan negara hukum liberal karena konsep Kant bernafaskan paham liberal yang menentang kekuasaan absolut para raja pada waktu itu. Sedangkan pendapat yang dikemukakan Frederich Julius Stahl adalah bahwa negara hukum ditandai oleh 4 (empat) unsur pokok yaitu:1. pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;2. negara didasarkan pada prinsip atau teori trias politica;3. pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur); dan4. adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechmatige overheidsdaad). Konsep atau gagasan negara hukum yang dikemukakan oleh Stahl tersebut dinamakan sebagai negara hukum formil, karena lebih meneankan pada keberadaan aspek pemerintahan yang berdasarkan undangundang.18Konsep negara hukum mempunyai kaitan erat dengan perwujudan adanya hukum sebagai suatu sistem yang menjadi tulung punggung (back bone) sekaligus mata rantai atau benang merah yang mengatur segala hak dan kewajiban termasuk batasan tugas dan kewenangan dari setiap institusi kenegaraan dan juga yang menyangkut warga negara atau masyarakatnya.



RULE OF LAW Negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan konstitusionalisme terhadap sistem kekuasaan yang absolut. Negara Hukum dalam kepustakaan Indonesia sering diterjemahkan rechtsstaat atau the rule of law. Paham rechtsstaat mulai populer di Eropah sejak Abad XIX, meskipun pemikiran tentang itu sudah lama ada.3 Sedangkan paham the rule of law populer setelah diterbitkan buku Albert Venn Dicey pada tahun 1885, dengan judul Introduction to Study of



the Law of the Constitution.4 Paham rechtsstaat lahir karena menentang absolutisme, yang sifatnya revolusioner, dan bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut civil law. Walaupun demikian, perbedaan keduanya dalam perkembangannya tidak dipersoalkan lagi karena mengarah pada tujuan yang sama, yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia.5 3 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsipprinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, (Surabaya: Bina Ilmu, , 1987), hlm.72. 4 Ibid. 5 Ibid. Selanjutnya, Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Negara hukum adalah negara yang di dalam penyelenggaraannya berdasarkan pada hukum atau aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa, sedangkan dalam arti material adalah negara juga turut serta secara aktif untuk kesejahteraan rakyatnya (welfare state),13 atau dikenal dengan nama negara kesejahteraan yang kemudian dikenal dengan nama verzorgingsstaat, atau disebutnya sociale rechtsstaat (negara hukum sosial). Dalam pengertian modern, pemerintah dituntut untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. The Rule of Law dalam referensi yang ada memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda dengan Negara Hukum. Demikian juga dalam kepustakaan Indonesia, istilah Negara Hukum merupakan penterjemahan langsung dari Rechstaat.13 Rule of Law juga memiliki pengertian yang sama dengan negara hukum. Hal ini dikemukakan oleh Sunaryati Hartono dengan ungkapan sebagai berikut:”Oleh sebab itu, agar supaya tercipta suatu negara hukum yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan The Rule Of Law itu harus diartikan dalam arti yang materiil. “ Satjipto Raharjo mengemukakan pandangan dari Friedman tentang Rule of Law sebagai berikut : a. Secara formil rule of law dirumuskan sebagai berikut : “.....dimaksudkan sebagai kekuasaan publik yang terorganisasi, yang berarti bahwa setiap sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada hoerarki, perintah merupakan rule of law” b. Secara materiil, rule of law dirumuskan : “.....dalam arti materil atau ideologi mencakup ukuran-ukuran tentang hukum yang baik dan kurang baik.



13



Pernyataan ini dikuatkan dengan pendapat para pakar hukum Indonesia : Dengan timbulnya gagasangagasan pokok yangdirumuskan dalam konstitusi-konstitusi dari abad IX itu, maka timbul juga istilah Negara Huku (Rechstaat). O.Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, hlm.31. Yang sudah kita kenal lebih lama adalah pengertian Rechstaat atau negara hukum atau untuk enain kata-kata dala Penelasan Undang-Undang Dasar 1945, negara yag berdasarkan atas hukum. Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yuridi Normatif tentang Unsur-Unsurnya, Hal.31



Definisi negara kesejahteraan (welfare state) sangatlah luas dan beragam. Di satu sisi defi nisi negara kesejahteraan adalah keterlibatan negara dalam menyediakan pekerjaan penuh bagi rakyat. Pekerjaan adalah sumber pendapatan rakyat, jika negara dapat menyediakan pekerjaan secara penuh maka kemiskinan rakyat akan berkurang dan rakyat akan sejahtera. Secara etimologis istilah negara kesejahteraan ini dapat dimaknai sebagai suatu negara yang memberikan jaminan berupa tunjangan sosial (social security benefi ts) yang luas seperti pelayanan kesehatan oleh negara, pensiun atau tunjangan hari tua, tunjangan sakit dan pengangguran, dan lain sebagainya (Pass dan Lowes, tt). Secara singkat, istilah negara kesejahteraan didefinisikan sebagai suatu negara yang mana pemerintahan negara dianggap bertanggung jawab menjamin standar kesejahteraan hidup minimum bagi setiap warga negaranya (Husodo, 2006). Negara kesejahteraan ini merupakan sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Negara yang dimaksud di sini adalah suatu agency (alat) yang mengatur suatu masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubunganhubungan antar manusia. Menurut Esping-Andersen, negara kesejahteraan bukanlah suatu konsep yang menggunakan pendekatan baku. Negara kesejahteraan pada umumnya diidentikkan dengan ciri-ciri yang mengikutinya yakni pelayanan dan kebijakan sosial yang disediakan oleh negara kepada warganya, seperti pelayanan kesehatan, tunjangan pensiun, pengurangan kemiskinan, transfer pendapatan. Sehingga keduanya antara negara kesejahteraan dan kebijakan sosial sering diidentikkan bersama. Akan tetapi pada dasarnya kuranglah tepat karena kebijakan sosial tidaklah mempunyai relasi biimplikasi dengan negara kesejahteraan. Kebijakan sosial bisa diterapkan dengan tanpa adanya negara kesejahteraan, sedangkan negara kesejahteraan akan selalu membutuhkan kebijakan sosial untuk mendukung keberadaannya (Esping-Andersen, 1990) Suatu negara bisa digolongkan sebagai negara kesejahteraan apabila terdapat empat pilar utama, yaitu: 1) social citizenship; 2) full democracy; 3) modern industrian relation systems; serta 4) rights to education and the expansion of modern mass education systems. Keempat pilar tersebut harus diupayakan terdapat dalam negara kesejahteraan karena negara wajib memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai penganugerahan hak-hak sosial kepada warganya yang berdasarkan atas basis kewarganegaraan dan bukan atas dasar kinerja atau kelas sosial (Triwibowo dan Bahagijo, 2006). Dengan syarat-syarat ekonomi, sosial dan politik tersebut di atas, tidak semua negara dengan penduduk yang berpendapatan tinggi tidak dapat dianggap sebagai negara kesejahteraan. Negara kesejahteraan mengacu pada peran pemerintah yang bertanggungjawab dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian. Dengan demikian, negara diharapkan mampu menjalankan tanggungjawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya (Esping-Andersen, 1990; Triwibowo dan Bahagijo, 2006). Dalam konteks ini, negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai “penjaminan hak-hak sosial” (the granting of social rights) kepada warganya (Triwibowo dan Bahagijo, 2006). Semua perlindungan sosial yang dibangun dan didukung negara tersebut sebenarnya dibiayai oleh masyarakatnya melalui produktifi tas ekonomi yang semakin makmur dan merata, sistem perpajakan dan asuransi, serta investasi sumber daya manusia (human investment) yang terencana dan melembaga. Konsep ini dipandang sebagai bentuk keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat setelah mencuatnya bukti-bukti empirik mengenai kegagalan pasar (market failure) pada masyarakat kapitalis dan kegagalan negara (state failure) pada masyarakat sosialis



(Husodo, 2006). Oleh karena itu, meskipun menekankan pentingnya peran negara dalam pelayanan sosial, negara kesejahteraan pada hakekatnya bukan merupakan bentuk dominasi negara. Melainkan, wujud dari adanya kesadaran warga negara atas hak-hak yang dimilikinya sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Negara diberi mandat untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak warga negara. Dalam perspektif politik, negara kesejahteraan adalah suatu negara atau pemerintahan yang mempromosikan kesejahteraan umum (public welfare) melalui berbagai macam program seperti kesehatan, pendidikan, kompensasi pengangguran, jaminan pensiun, perumahan, dan lain-lain. Sedangkan dalam perspektif ekonomi, negara kesejahteraan adalah suatu sistem ekonomi yang mengkombinasikan keunggulan-keunggulan kapitalisme dan sosialisme dalam model penguasaan kepemilikan pribadi yang dipraktekkan suatu pemerintah untuk membuat suatu perundang-undangan tentang program yang luas mengenai kesejahteraan sosial dan masyarakat Negara Indonesia ialah negara hukum, ketentuan ini dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRITahun1945),pada Pasal 1 ayat (3). Sebagai negara hukum Indonesiamemilikikewajibanuntukmelindungi segenap rakyat Indonesia, termasuk mengatur kemanfaatan semuaaspek kehidupan agar mampu memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyatIndonesia.Negara hukum Indonesia didasarkan pada konsep negara kesejahteraan(walfare state),yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini merupakan amanah konstitusipada Pasal 33 ayat (3)yang menyatakanbahwa,”bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat”. Tujuan negara kesejahteraan(welfarestate) untuk menjamin hak-hak warga negara pada era modern sekarang ini,memiliki ketergantungan pada ketersediaan sumber daya alam. Kondisi ketersediaan sumber daya alam menjadi faktor yang menentukan dalam memenuhi hak-hak dasar warga negara.Salah satu sumber daya alam yang sangat penting dalam menjaminkesejahteraan dalam negara hukum Indonesia di era globalisasi sekarang ini adalah tanah.Keberadaan tanah menjadi sumber daya alam yang penting bagi negara Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), padaPasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa,“semua tanah dalam wilayah Negara Indonesia adalah tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia”.Selanjutnya dalamPasal 6 UUPAmenyatakanbahwa, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Pasal tersebut selanjutnya dinyatakan sebagai salah satu asas hukum tanah yangdiistilahkan asas fungsi sosial hak atas tanah. Keberadaan asas fungsi sosial hakatas tanah dalam hukum tanah menjadi landasan fundamental bagi terwujudnya tanah yang bermanfaat bagi sebesarbesar kemakmuran rakyat di negara kesejahteraan.



WELFARE STATE



Negara Indonesia ialah negara hukum, ketentuan ini dijamin dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Pasal 1 ayat (3). Sebagai negara hukum Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi segenap rakyat Indonesia, termasuk mengatur kemanfaatan semua aspek kehidupan agar mampu memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara hukum Indonesia didasarkan pada konsep negara kesejahteraan (walfare state), yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini merupakan amanah konstitusi pada Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa, ”bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tujuan negara kesejahteraan (welfarestate) untuk menjamin hak-hak warga negara pada era modern sekarang ini, memiliki ketergantungan pada ketersediaan sumber daya alam. Kondisi ketersediaan sumber daya alam menjadi faktor yang menentukan dalam memenuhi hak-hak dasar warga negara. Tujuan Negara Indonesia terdapat pada alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945), yaitu : “.....melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial....”14 Rumusan Pembukaan UUD 1945 tersbut menyampaikan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum. Ini menunjukkan jika para pendiri negara (the founding Fathers) mencita-citakan negara Indonesia menjadi negara kesejahteraan (Welfare State). Sesuai dengan perencanaan pembangunan nasional, pembangunan nasional mencakup semua bidang kehidupan dalam wilayah negara Republik Indonesia, termasuk agama, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan dan keamanan. Dalam kaitannya dengan tujuan negara mewujudkan kesejahteraan rakyat, pembangunan nasional di bidang ekonomi sangat penting karena berdampak langsung pada upaya meningkatkan taraf hidup rakyat melalui penciptaan lapangan kerja dan menekan angka pengangguran. Dalam pembangunan ekonomi, peranan negara sangat penting dan bahkan di berbagai tempat pembangunan ekonomi bisa hampir identik dengan kegiatan Pemerintah dalam pembangunan.15 Supaya pembangunan ekonomi memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, maka pelaksanaannya harus berpedoman pada UUD 1945 sebagai landasan konstitusional perekonomian nasional. Menurut Jimly Asshiddiqie, Pasal 33 UUD 1945



14



Tujuan bernegara yang pertama dan keempat bersifat eksternal yang mencakup tujuan eksternal pasif dan defensif, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan tujuan yang bersifat eksternal aktif, yaitu ikut melaksanakan ketertiban duniaberdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sedangkan tujuan yang bersifat internal adalah tujuan kedua dan ketiga, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Jakarta : Penerbit buku Kompas, 2010, hal.10 15 M. Dawam Rahardjo, Nasionalisme Sosialisme dan Pragmatisme; Pemikiran ekonomi Politik Sumitro Djodjohadikusumo, Jakarta, LP3ES, 2017, hal.89



adalah landasan konstitusional perekonomian dan merupakan dasar demokrasi ekonomi.16 Jimly Asshiddiqie juga mengingatkan bahwa semua haluan konstitusional mengenai perekonomian nasional haruslah dibaca dalam persfektif kesejahteraan sosial mengingat negara Republik Indonesia adalah Negara Kesejahteraan (Welfare State).



Politik Hukum di Bidang Ekonomi dan Pelembagaan Konsepsi Welfare State di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Konsepsi negara kesejahteraan diadopsi di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya di dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, dengan menempatkan frase ‘memajukan kesejahteraan umum’ sebagai salah satu cita negara Republik Indonesia. Setelah mengalami perubahan, UUD 1945 mengamanatkan implementasi demokrasi ekonomi, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Di dalam demokrasi ekonomi tersebut diperkenalkan sebuah asas efisiensi-berkeadilan yang ditengarai sebagai senyawa sistem ekonomi kapitalis yang mengusung jiwa neoliberalisme. Dari analisis yang dilakukan penulis, penulis menemukan bahwa beberapa unsur neoliberalisme telah larut ke dalam kebijakan-kebijakan hukum di bidang ekonomi Indonesia, yaitu privatisasi, aturan pasar, deregulasi, dan pemotongan pengeluaran publik



Welfare State Kunci pokok dalam negara kesejahteraan adalah isu mengenai jaminan kesejahteraan rakyat oleh negara. Mengenai hal ini, Jurgen Habernas berpendapat bahwa jaminan kesejahteraan seluruh rakyat merupakan hal pokok bagi negara modern. Selanjutnya menurut Habernas, jaminan kesejahteraan seluruh rakyat yang dimaksud diwujudkan dalam perlindungan atas the risk of unemployment, accident, ilnes, old age, and death of the breadwinner must be covered lagerly through welfare provisions of the state.17 Dalam hakekatnya, Negara kesejahteraan dapat digambarkan keberadaannya sebagai pengaruh dari hasrat manusia yang mengharapkan terjaminnya rasa aman, ketentraman dan kesejahteraan agar tidak jatuh kedalam kesengsaraan. Alasan tersebut dapat digambarkan sebagai motor penggerak sekaligus tujuan bagi manusia untuk senantiasa mengupayakan berbagai cara demi mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Sehingga ketika keinginan tersebut telah dijamin dalam konstitusi suatu negara, maka keinginan tersebut harus dijamin dan negara wajib mewujudkan keinginan tersebut. Dalam konteks ini, negara ada dalam tahapan sebagai negara kesejahteraan.



16



Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal.137. Gianfranco Poggi, The Developments of the modern state “sosiological Introduction, California: Standford University Press, 1992, Hal.126 17



Negara Kesatuan republik indonesia juga menganut faham Negara Kesejahteraan. Hal ini ditegaskan oleh para perintis kemerdekaan dan para pendiri negara Kesatuan republik Indonesia . Prinsip Welfare State dalam UUD 1945 dapat ditemukan rinciannya dalam beberapa pasal, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi. Dengan masuknya perhal kesejahteraan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia dapat dikatakan sebagai konstitusi ekonomi (economic constitution) dan bahkan konstitusi sosial (social constitution) sebagaimana juga terlihat dalam konstitusi Negara Rusia, Cekoslowakia, Albania, Italia, Belarusia, Iran, Suriah dan Hongaria. Sejauh menyangkut corak muatan yang diatur dalam UUD 1945, nampak dipengaruhi oleh corak penulisan konstitusi yang lazim ditemui pada negara-negara sosialis.18 Di dalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus Bab XIV yang didalamnya memuat pasal 33 tentang sistem perekonomian dan pasal 34 tentang kepedulian negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak terlantar) serta sistem jaminan sosial. Ini berarti Kesejahteraan Sosial sebenarnya merupakan flatform sistem perekonomian dan sistem sosial di Indonesia. Sehingga sejatinya Indonesia dalah negara yang menganut faham welfare state. Negara Hukum Latar belakang pencantuman pernyataan negara Indonesia dalah Negara Hukum dalam batang tubuh UUD 1945 merupakan buah kesepakatan fraksi-fraksi di MPR bahwa salah satu prinsip yang dijadikan pegangan bersama untuk dicapaikan kesepakatan mengenai agenda perubahan UUD 1945 adalah bahwa penjelasan UUD 1945 ditiadakan dari naskah konstitusi dan prinsip-prinsip dan norma yang terdapat didalamnya dimuat menjadi rumusan pasal-pasal dalam UUD 1945. Prinsip negara hukum dalam penjelasan UUD 1945 dimuat menjadi rumusan Pasal 1 ayat (3) karena sifatnya yang sangat mendasar dan fundamental.19 Konsepsi negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno. Plato dalam bukunya the statesman dan the law mengatakan bahwa untuk mewujudkan negara yang ideal maka perlu menempatkan supremasi hukum. Sejalan dengan plato, konsepsi negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya. 20 Dalam tataran negara hukum modern, konsep negara hukum di negara Eropa Kontinental dikenal dengan istilah “rechtsstaat” yang dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, dan Fichte. Menurut Stahl, konsep negara hukum mencakup 4 (empat) elemen penting, yaitu: 1. Perlindungan Hak Asasi Manusia 2. Pembagian kekuasaan 18



19



Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, Hal.124



Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta; Sinar Grafika, 2009, hal. 12-13 20 Moh. Kusnadi dan Bintan R.Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008, hal.131



3. Pemerintah berdasarkan Undang-Undang; dan 4. Adanya peradilan tata usaha negaraq atau administrasi21 Sementara itu di Negara Anglo Saxon, konsepsi negara hukum dipelopori oleh A.V. Dicey yang mengetengahkan konsep “the rule of law” dalam bukunya “An Introduction to the study of the law of the constitution” yang diterbitkan tahun 1985. Dicey mengungkapkan 3 (tiga) arti dari “the rule of law”, yaitu: “....we mean the first place that no man is punishable or can lawfully be made to suffer in body or good except for a district breach of law established in the ordinary legal manner before the ordinary courts of the land.....We mean in the second place, when we speak of “the rule of law” as a characteristic of our country, not only that with us no man is above the law, but (which is different thing) that here, every man, whatever be his rank or conditions, is subject to the ordinary law of the realm and amenable to jurisdiction of ordinary tribunals.....There remains yet a third and a different sense in which “rule of law” or the predominance of the legal spirit may be described as a special attribute of English institutions. We may say that the constitution is pervaded by the rule of law on the ground that the general principles of the constitution (as for the example the right to personal liberty, or the right of public meeting) are with us teh result of judicial decisions determining the rights of private persons in particular cases brought before the courts; whereas under many foreign constitutions the security (such as it is) given to the rights of individuals results, or appears to result, from the general principles of the constitution.”22 Konsep the rule of law yang dikemukakan Dicey tersebut, para ahli hukum menyimpulkan 3 (tiga) ciri penting the rule of law, yaitu: 1. Supremasi Hukum (supremacy of law) dalam arti semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi 2. Persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan (equality before the law); dan 3. Segal tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan (due process of law) Konsep negara hukum menurut pandangan Muhammad Yamin adalah negara yang menjalankan pemerintahan tidak menurut kemauan orang-orang yang memegang kekuasaan, melainkan menurut aturan yang tertulis dan dibuat oleh badan-badan perwakilan dengan secara jalan sah.23 Sementara itu menurut Subekti, sebagai suatu negara hukum berarti negara Republik Indonesia: a. Menjunjung tinggi HAM dan menjamin segala warga negaranya bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; dan 21



Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi. Op.Cit, hal.130 Tom Bingham, The Rule Of Law, london: Penguin Books, 2011, hal.3-4 23 Muhammad Yamin, Prokklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, tanpa kota : Djambatan, 1969, hal.74 22



b. Menjunjung tinggi asas peradilan yang bebas, dalam arti tidak tunduk kepada kekuasaan lain yang manapun24 Salah satu ciri negara hukum adalah adanya perlindungan terhadap warga negaranya. Di negara Indonesia hal itu tercermin dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbuni: “....membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia.” Selanjutnya dalam Pasal 28D UUD 1945 (setelah amandemen kedua) disebutkan hak setiap orang untuk mendapatkan perlindungan, yang selengkapnya berbunyi sebagai barikut: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Rumusan Pasal 28D UUD 1945 tersebut merupakan hasil dari amandemen UUD 1945 dimana menurut Bagir Manan, konsepsi perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi lebih impresif dengan perumusan aturan-aturan baru mengenai HAM dalam Pasal 28A hingga Pasal 28J pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. 25 Walaupun UndangUndang Dasar 1945 tidak menyebutkan secara eksplisit perlindungan terhadap nasabah



Sementara itu, Lawrence Freidman menyebut lima fungsi dari sistem hukum. Pertama, sebagai sistem kontrol. Dengan kata lain, sistem hukum berkaitan dengan perilaku yang mengontrol. Kedua, fungsi hukum sebagai penyelesaian sengketa (dispute settlement). Dengan kata lain sistem hukum adalah agen pemecah konflik dan juga agen penyelesaian sengketa. Ketiga, fungsi redistribusi (redistributive function) atau fungsi rekayasa sosial (social engineering). Fungsi ini mengarahkan penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana yang ditentukan oleh pemerintah. Keempat, hukum berfungsi sebagai pemelihara sosial (social maintenance). Kelima, hukum berfungsi mengawasi penguasa itu sendiri.26



Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat selalu berkembang (berubah), karena hal tersebut merupakan fenomena yang wajar dalam masyarakat. Perubahan sosial hanya bisa diamati, diketahui, atau dikemukakan oleh seseorang melalui pengamatan mengenai susunan, struktur, 24



R.Subekti, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP, Jakarta: Pradnya Paraminta, 1984, hal.10 Menurut Bair Manan dan Susi Dwi Harijanti, ketentuan-ketentuan HAM dalam UUD 1945 pasca amandemen memperlihatkan beberapa kelemahan dari berbaai aspek, termasuk jenis-jenis HAM. Secara teori, terdapat dua jenis HAM, yaitu hak-hak substantif (substantive rights) dan hak-hak prosedural (procedural rights). Pengaturan HAM yang ada dalam UUD 1945 sebagian besar berkaitan dengan hak-hak substantif. Sedangkan hak-hak prosedural belum terlihat padahal pengaturan hak-hak prosedural dipandang perlu karena pemenuhan hak-hak substantif sangat tergantung pada pemenuhan hak-hak prosedural. Lihat Bagir Manan & Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, Jakarta : Rajawali Pers, 2014, hal. 248-249 26 Lawrence Friedman, 2001, American Law an Introduction, Second Edition, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, PT Tata Nusa, Jakarta, hal. 11-18. 25



dan institusi suatu perikehidupan tertentu dimasa lalu, dan sekaligus membandingkannya dengan susunan, struktur, dan institusi suatu perikehidupan di masa kini, tidak ada masyarakat yang tidak berubah, semua masyarakat bersifat dinamis, hanya laju dinamikanyalah yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, walau dikenal juga masyarakat statis dan masyarakat dinamis.27 Perkembangan (perubahan) masyarakat biasanya diidentikkan dengan pembangunan. Umumnya orang beranggapan bahwa pembangunan adalah kata benda netral yang maksudnya adalah suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrastruktur masyarakat, dan sebagainya. Dengan pemahaman seperti itu, pembangunan disejajarkan dengan kata “perubahan sosial”.28 Hukum yang berkembang dalam masyarakat bukanlah hukum yang statis melainkan hukum yang dinamis. Sesungguhnya sistem hukum bukanlah semata cuma seperangkat aturan statis melainkan refleksi yang senantiasa berubah-ubah dari perkembangan terutama hubungan keragaman karakteristik sosial yang hidup dalam masyarakat baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, baik perubahan secara cepat maupun perubahan secara lambat. Sejalan dengan pemikiran bahwa hukum adalah reflektif dari keragaman karakterisitik sosial, maka tidak ada hukum yang tidak mengalami perubahan dan perubahan itu senantiasa produk konflik.29 Perumusan kebijakan tata ruang kota sangat penting untuk dapat menentukan arah pengaturan penggunaan lahan daerah perkotaan sesuai dengan pendekatan ekonomi yang digunakan untuk masing-masing ukuran kota optimal. Untuk kota-kota yang pengukuran optimalnya berdasarkan prinsip biaya minimum maka pola tata guna lahan yang diperlukan harus dilakukan dengan cara sangat efisien agar biaya pengelolaan kota menjadi minimum. Akan tetapi, untuk kota optimal yang pengukurannya berdasarkan prinsip maksimum keuntungan bersih maka penggunaan lahan juga harus diarahkan pada perwujudan lingkungan perumahan dan fasilitas pelayanan sosial yang menyenangkan. Sedangkan untuk kota-kota optimal yang pengukurannya didasarkan pada prinsip keuntungan masksimum, pola penggunaan lahan yang diperlukan seharusnya sesuai dengan keperluan bisnis, baik di bidang industri, perdagangan dan jasa. (Analisis Ekonomi Regional dan Penerapannya di Indoensia; Sjafrizal; Rajawali Pers, Depok; 2018; hal 354) Tidak dapat disangkal bahwa pembangunan ekonomu kota merupakan unsur penting dalam pembangunan wilayah. Alasannya jelas karena kota umumnya merupakan pusat kegiatan ekonomi sektor modern, yaitu industri, perdagangan dan jasa. Kegiatan ini mempunyai kaitan yang erat dengan sektor pertanian, baik sebagai penyedia bahan baku maupun sebagai pasar. Ini berarti terdapat kaitan yang erat antara perekonomian kota dengan wilayah yang umumnya merupakan daerah pertanian. Karena itu, mengikuti pemikiran Francois Perroux tidak salah kiranya bila banyak literatur ilmu ekonomi regional mengatakan bahwa kota disamping pusat pelayanan, juga berfungsi sebagai pusat pertumbuhan (growth pole) yang 27



Sabian Utsman. Dasar-dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat. Pustaka Pelajar Yokyakarta. 2009. H. 201. Lihat juga Abdulsyani. Sosiologi Skematika Teori dan Terapan . Bumi Aksara. Jakarta. H. 162 yang mengemukakan bahwa perubahan-perubahan akan nampak setelah tatanan sosial dan kehidupan masyarakat yang lama dapat dibandingkan dengan tatanan dan kehidupan masyarakat yang baru 28 Mansour Fakih. Runtuhnya Teori Pembangunan dan globalisasi. Insist Press. Yokyakarta. 2009. H. 9 29 Sabian Utsman. Op. Cit. h.188



dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah tertentu (Friedman and alonso, 1976, dan Benjamin Higgins and Donald J.Savoie, 1995, Bab 6) ((Analisis Ekonomi Regional dan Penerapannya di Indoensia; Sjafrizal; Rajawali Pers, Depok; 2018; hal 374) Sama halnya dengan kabupaten dalam era otonomi kota diberikan kewwenangan yang sangat besar untuk menggali dan mengelola potensi ekonomi yang dimilikinya. Dalam hal ini, pembangunan ekonomi kota harus mengacu kepada fungsinya baik sebagai pusat pertumbuhan ekonomi maupun pusat pelayanan masyarakat, tidak hanya bagi warga kota, tetapi juga penduduk bagi wilayah sekitarnya. Ini berati bahwa perumusan kebijaksanaan pembangunan kota perlu disusun secara tekait dan terpadu dengan memperhatikan arah dan kebijaksanaan pembangunan kabupaten sekitarnya dan provinsi dimana kota itu berada. Dibandingkan dengan pembangunan kabupaten, aspek tata ruang dan pengaturan penggunaan tanah (land use) menjadi sangat penting dalam pembangunan kota. Alasannya jelas karena luas tanah yang tersedia di kota unumunya relatif kecil, sementara jumlah penduduknya cukup besar sehingga kepadatan penduduk menjadi sangat tinggi. Dalam situasi yang demikian, penataan ruang dan pengaturan penggunaan lahan menjadi hal yang sangat penting dan strategis. Disampung aspek transportasi, perumahan dan lingkungan hidup juga merupakan suatu hak cukup serius dalam pembangunan kota. Karena itulah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan kota perlu dibedakan dengan kebijaksanaan pembangunan kabupaten.



4. PEMANFAATAN BMN Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Optimalisasi adalah berasal dari kata dasar optimal yang berarti terbaik, tertinggi, paling menguntungkan, menjadikan paling baik, menjadikan paling tinggi, pengoptimalan proses, cara, perbuatan mengoptimalkan (menjadikan paling baik, paling tinggi, dan sebagainya) sehingga optimalisasi adalah suatu tindakan, proses, atau metodologi untuk membuat sesuatu (sebagai sebuah desain, sistem, atau keputusan) menjadi lebih/sepenuhnya sempurna, fungsional, atau lebih efektif. Menurut Machfud Sidik berkaitan dengan Optimalisasi suatu tindakan/kegiatan untuk meningkatkan dan Mengoptimalkan. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan. Dalam jangka pendek kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi terhadap obyek atau sumber pendapatan daerah yang sudah ada terutama melalui pemanfaatan teknologi informasi. Dengan melakukan efektivitas dan efisiensi sumber atau obyek pendapatan daerah, maka akan meningkatkan produktivitas PendapatanAsli Daerah (PAD) tanpa harus melakukan perluasan sumber atau obyek pendapatan baru yang memerlukan studi, proses dan waktu yang panjang. Dukungan teknologi informasi secara terpadu guna mengintensifkan pajak mutlak diperlukan dari sistem pelayanan pajakyang dilaksanakan cenderung tidak optimal,



Masalah ini tercermin pada sistem dan prosedur. Perlu adanya batasan waktu dan penentuan tata cara pelaksanaan.



Dalam rangka perbaikan proses bisnis organisasi yang diperlukan secara terus menerus untuk memberikan kontribusi nyata mewujudkan kesejahteraan rakyat, diperlukan akselerasi/percepatan menciptakan konsep mekanisme meningkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dapat beriringan dengan bisnis proses pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) sehubungan pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga Negara (K/L) selaku pengguna BMN dibawah kebijakan dan binaan, pengawasan dan pengendalian Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) selaku Pengelola Barang.



Terhadap BMN tanah dan/atau bangunan tersebut secara umum dan BMN yang menghasilkan PNBP tersebut, telah dilakukan pengelolaan dengan baik dan mempunyai dasar hukum yang memadai, dalam konteks ini adalah terkait penggunaan BMN yang efektif dan efisien menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pengelolaan BMN Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas Dan Fungsi K/L, dan BMN yang dapat menghasilkan PNBP melalui pelaksanaan ketentuan pemanfaatan BMN misalnya terkait sewa BMN dalam PMK Nomor 57/PMK.06/2016. Kontrol terhadap penggunaan dan pemanfaatan BMN sehubungan pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan oleh K/L, terkait PMK tersebut dititikberatkan pada BMN yang dilakukan pemanfaatan karena tidak digunakan untuk operasional dan/atau BMN Idle yakni “BMN tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan menyelenggarakan tugas dan fungsi K/L” dan “BMN tanah dan/atau bangunan yang digunakan tidak sesuai tugas dan fungsi K/L”. BMN idle berasal dari BMN terindikasi idle yang diketahui saat diterbitkan Surat Permintaan Klarifikasi Tertulis dari Pengelola Barang kepada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang mengenai adanya BMN terindikasi idle. Surat dimaksud bergantung pada pada adanya sumber informasi BMN terindikasi idle sebagaimana ditentukan PMK tersebut Pasal 7 yaitu “laporan pengawasan dan pengendalian (wasdal), informasi tertulis/laporan semesteran dan tahunan dari Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang, laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), laporan hasil pengawasan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), informasi dari media masa, dan laporan masyarakat”. Terhadap BMN Idle dimaksud dapat dioptimalkan dengan cara penggunaan oleh K/L lain atau dilakukan pemanfaatan untuk menambah PNBP (misal sewa BMN).



Pada tanggal 28 Desember 2011, Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.06/2011 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara/Lembaga. Peraturan tersebut merupakan jawaban dari banyaknya aset negara berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak atau belum digunakan secara optimal. Barang Milik Negara (BMN) idle menurut peraturan ini adalah BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga (K/L). Adapun kriteria dari BMN idle, meliputi:



1. BMN yang sedang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi K/L dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun sejak terindikasi idle. 2. BMN yang digunakan, tetapi tidak sesuai dengan tugas dan fungsi K/L. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) selaku pelaksana fungsional atas kewenangan dan tanggung jawab Menteri Keuangan selaku Pengelola BMN dapat membantu meringankan beban belanja negara sekaligus menambah pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari pengelolaan BMN idle tersebut. Penggunaan BMN idle oleh K/L yang membutuhkan tanah dan/atau bangunan merupakan salah satu cara meringankan beban belanja negara. Sebagai contoh, di wilayah kerja suatu KPKNL terdapat aset yang terindikasi idle karena tidak digunakan dalam penyelenggaran tugas dan fungsi dengan nilai sebesar Rp10 milyar. Sedangkan menurut data LBMN-KD, pada suatu KPKNL terdapat mutasi tambah pada akun tanah adalah sebesar Rp100 milyar. Bila proses pengelolaan BMN idle tersebut dilaksanakan dengan tertib, pengeluaran belanja modal untuk penambahan tanah dapat dihemat sebesar nilai BMN idle pada daerah tersebut sehingga negara hanya perlu mengalokasikan dana sebesar Rp90 milyar. BMN idle yang telah diserahkan kepada Pengelola Barang dapat memberikan kontribusi pendapatan negara dari PNBP melalui mekanisme pemanfaatan BMN. DJKN yang memiliki instansi vertikal dapat menambah pendapatan negara dengan cara memasang tanda penguasaan atas tanah yang berisi informasi Kanwil DJKN/KPKNL yang menguasai tanah idle tersebut dan tanda yang berisi peluang untuk dimanfaatkan oleh pihak ketiga. Dengan cara itu, tanah yang menganggur tersebut tidak akan membebani APBN dengan biaya pengamanan dan pemeliharaannya sekaligus memberikan kontribusi Pendapatan Negara Bukan Pajak. Pada peraturan ini diatur juga mengenai sanksi bagi Pengguna Barang yang tidak menyerahkan BMN yang ditetapkan sebagai BMN idle berupa: 1. Pembekuan dana pemeliharaan BMN atas tanah dan/atau bangunan yang telah ditetapkan sebagai BMN idle. Ketentuan ini perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bersama antara DJKN selaku Pengelola Barang dan DJPBN selaku Pengelola Anggaran sehingga dapat diimplementasikan oleh KPKNL dan KPPN selaku Kuasa Pengelola Barang/Anggaran. 2. Penundaan penyelesaian atas usulan pemanfaatan, pemindahtanganan, atau penghapusan BMN yang diajukan oleh Pengguna Barang. Di samping peraturan mengenai pembekuan dana pemeliharaan BMN, diperlukan juga keseragaman prosedur kerja dan bentuk surat yang berkaitan dengan pengelolaan BMN idle seperti Laporan Pelaksanaan Investigasi atau Penelitian. Selain itu, untuk efisiensi pelaksanaan peraturan ini, wewenang dan tanggung jawab dari Pengelolaan BMN idle yang dipegang oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara dapat didelegasikan kepada instansi vertikal, berdasarkan wilayah kerja maupun berdasar nilai BMN yang terindikasi idle, seperti memberikan kewenangan pengelolaan BMN idle sampai dengan lima milyar rupiah ke KPKNL, sampai dengan sepuluh milyar rupiah ke Kanwil DJKN.



Dengan demikian, Pengelolaan BMN idle secara tepat, efektif, dan optimal untuk penyelenggaran tugas dan fungsi K/L, dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat melalui penghematan belanja negara dan memberikan kontribusi pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Pola optimalisasi penerimaan negara melalui pengelolaan aset dapat dilakukan melalui skema sewa, kerja sama pemanfaatan, bangun guna serah, bangun serah guna, dan lainnya. Sementara pola optimalisasi penghematan belanja dapat dilakukan dengan skema pengalihan aset idle pada suatu Kementerian/Lembaga kepada instansi lain yang membutuhkan baik untuk pelaksanaan tugas dan fungsi maupun mendukung program prioritas pemerintah. Pengelolaan aset negara memiliki peran yang semakin strategis dalam mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan secara serius sedang berupaya untuk mengoptimalkan peran tersebut, sehingga aset negara tidak lagi dipandang sebagai sumber daya pasif, namun secara produktif dapat dikelola dan dikembangkan untuk kepentingan masyarakat. Strategi yang akan digunakan untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan melakukan pembangunan basis data aset yang aktual dan akurat, serta menjalankan strategi pengelolaan aset berbasis prinsip the highest and best use. Harapannya, setiap nilai aset yang dimiliki oleh negara ini dapat memberikan imbal balik/return yang positif sesuai dengan potensi terbaik atas aset tersebut. Kementerian Keuangan adalah memastikan bahwa aset negara telah digunakan secara optimal. Indikator kinerja “rasio utilisasi aset terhadap total aset tetap” merupakan indikator yang dipilih untuk memantau utilisasi/penggunaan atas aset negara. Selain bertujuan untuk memastikan tertib administrasi/pencatatan aset, indikator ini juga dapat memberikan informasi tentang seberapa nilai aset yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, nilai aset yang under capacity sehingga dapat dimanfaatkan/dikerjasamakan dengan pihak ketiga, nilai aset yang diserahkan kepada pihak lain dalam rangka pelaksanaan progam pemerintah (hibah), atau nilai aset yang digunakan sebagai penyertaan modal negara. Artinya, melalui indikator ini, pertumbuhan portofolio nilai aset berikut utilisasinya senantiasa dipantau. Kementerian Keuangan mulai mengukur kinerja pengelolaan aset ditinjau dari seberapa besar manfaat ekonomi yang diperoleh dari pengelolaan aset negara. Manfaat ekonomi tersebut diukur dari nilai penerimaan negara dan nilai penghematan belanja yang dihasilkan dari kegiatan pengelolaan aset. Melalui pengukuran ini, diharapkan aset yang dimiliki oleh negara tidak hanya sebatas pada penggunaan, namun juga dikelola secara optimal dan profesional sehingga nantinya juga berkontribusi dalam mendukung kapasitas keuangan negara. Pola optimalisasi penerimaan negara melalui pengelolaan aset dapat dilakukan melalui skema sewa, kerja sama pemanfaatan, bangun guna serah, bangun serah guna, dan lainnya. Sementara pola optimalisasi penghematan belanja dapat dilakukan dengan skema pengalihan aset idle pada suatu Kementerian/Lembaga kepada instansi lain yang membutuhkan baik untuk pelaksanaan tugas dan fungsi maupun mendukung program prioritas pemerintah. Pengelolaan aset negara memiliki peran yang semakin strategis dalam mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan secara serius sedang berupaya untuk mengoptimalkan peran tersebut, sehingga aset negara tidak lagi dipandang sebagai sumber daya pasif, namun secara produktif dapat dikelola dan dikembangkan untuk kepentingan masyarakat. Strategi yang akan digunakan untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan



melakukan pembangunan basis data aset yang aktual dan akurat, serta menjalankan strategi pengelolaan aset berbasis prinsip the highest and best use. Harapannya, setiap nilai aset yang dimiliki oleh negara ini dapat memberikan imbal balik/return yang positif sesuai dengan potensi terbaik atas aset tersebut. (Ditulis untuk memenuhi bahan masukan Laporan Kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2016)Editor: Andar Ristabet HesdaDiolah dari berbagai sumber



aset bersejarah dikarenakan kepentingan budaya, lingkungan, dan sejarah.67 Secara yuridis-normatif, Barang Milik Negara terbagi atas tiga, yaitu: 1. Yang dikelola sendiri oleh pemerintah disebut Barang Milik Negara, misalnya tanah dan bangunan Kementerian/Lembaga, mobil milik Kementerian/Lembaga. 2. Dikelola pihak lain disebut kekayaan negara dipisahkan, misalnya penyertaan modal negara berupa saham di BUMN, atau kekayaan awal di berbagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang dinyatakan sebagai kekayaan terpisah berdasarkan UUpendiriannya. 3. Dikuasai negara berupa kekayaan potensial terkait dengan bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai negara selaku organisasi tertinggi, misalnya, tambang, batu bara, minyak, panas bumi, aset nasionalisasi eks asing, dan cagar budaya. 2. Pengelolaan Barang Milik Negara .Peraturan Menteri Keuangan No.171/PMK.05/2007. Tentang Sistem Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat 67



Optimal 1 Era baru dalam pengelolaan Barang Milik Negara mulai nampak antara lain setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara, yang diiringi dengan dibentuknya unit kerja baru yakni Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang khusus menangani pengelolaan Barang Milik Negara di bawah kendali Kementerian Keuangan Republik Indonesia, sehingga dalam rangka menjamin terlaksananya tertib administrasi dan tertib pengelolaan Barang Milik negara diperlukan adanya kesamaan persepsi dan langkah secara integral dan menyeluruh dari unsur-unsur yang terkait dalam pengelolaan Barang Milik Negara. Oleh karena itu, pengelolaan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam PP. No.27 Tahun 2014 Pasal (3), dilaksanakan berdasarkan asas-asas sebagai berikut: 30 1. Asas Fungsional Pengambilan keputusan dan pemecahan masalah-masalah di bidang pengelolaan Barang Milik Negara dilaksanakan oleh pengelola dan/atau pengguna Barang Milik Negara sesuai fungsi, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing.



30



Pasal 3 ayat (1) PP.No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara.



2. Asas Kepastian hukum Pengelolaan Barang Milik Negara harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan serta asas kepatutan dan keadilan. 3. Asas Transparansi menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang dalam rangka pencapaian efisiensi dan efektifitas pengelolaan Barang Milik Negara. Hasil perencanaan kebutuhan tersebut merupakan salah satu dasar dalam penyusunan neraca anggaran pada kementerian/ lembaga. Perencanaan anggaran yang mencerminkan kebutuhan riil Barang Milik Negara selanjutnya menentukan pencapaian tujuan pengadaan barang yang di perlukan dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah.



Bentuk pemanfaatan Barang Milik Negara berdasarkan Pasal 27 PP. No. 27 Tahun 2014 adalah berupa:781. Sewa 2. Pinjam Pakai 3. Kerja sama Pemanfaatan 4. Bangun guna serah/bangun serah guna;atau 5. Kerja sama penyediaan infrastruktur Kriteria pemanfaatan Barang Milik Negara adalah sebagai berikut:791. Pemanfaatan Barang Milik Negara berupa tanah dan/ atau bangunan dilaksanakan oleh Pengelola Barang. 2. Pemanfaatan Barang Milik Negara berupa tanah dan/ atau bangunan yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Kementerian/ Lembaga dilakukan oleh Pengguna Barang dengan persetujuan pengelola Barang3. Pemanfaatan Barang Milik Negara selain tanah dan/ atau bangunan di laksanakan oleh Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang. Pengertian Pemanfaatan Barang Milik Negara Pemanfaatan sebagaimana yang diatur dalam PP. No. 27 Tahun 2014 adalah pendayagunaan BMN/D yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementrian/lembaga dan/atau optimalisasi barang milik negara dengan tidak mengubah status kepemilikan. Istilah pendayagunaan barang milik negara terkandung makna bahwa tujuan pemanfaatan barang milik negara adalah optimalisasi pemanfaatan barang milik negara guna mendorong peningkatan peningkatan penerimaan negara31. Pemanfaatan yang dimaksud harus sesuai dengan kriteria pemanfaatan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 26 PP. No .27 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:32 1. Pemanfaatan Barang Milik Negara/ Daerah dilaksanakan oleh: a. Pengelola Barang, untuk Barang Milik Negara yang berada dalam penguasaannya; b. Pengelola Barang dengan persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota, untuk Barang Milik Daerah yang berada dalam penguasaan Pengelola Barang; c. Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang, untuk Barang Milik Negara yang berada dalam penguasaan Pengguna barang; d. Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang, untuk Barang Milik Daerah berupa sebagian 31



Andi Prasetiawan Hamzah dan Arvan Carlo Djohansjah.2010. Modul Pemanfatan Barang Milik Negara. Departemen Keuangan RI, Badan Pendidikan Dan Pelatihan Keuangan Pusdiklat Kekayaan Negara Dan Perimbangan Keuangan, Jakarta. Hlm.5 32



.PP.No.27 Tahun 2014 op.cit Pasal 26



tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh Pengguna Barang, dan selain tanah dan/atau banguan. 2. Pemanfaatan Barang Milik Negara/ Daerah dilaksanakan berdasarkan pertimbangan tekhnis dengan memperhatikan kepentingan negara/ daerah dan kepentingan umum. Bentukbentuk pemanfaatan barang milik negara/daerah dapat dilakukan dengan cara33: a. Sewa, yaitu pemanfaatan BMN/BMD oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dengan menerima imbalan uang tunai. b. Pinjam Pakai, yaitu penyerahan penggunaan barang antara Pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah dan antarPemerintah daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir di serahkan kembali kepada Pengelola Barang. c. Kerjasama Pemanfaatan, yaitu pendayagunaan BMN/BMD oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan Negara bukan pajak. d. Bangun Guna Serah, yaitu pemanfaatan BMN/BMD berupa tanah ke pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian di dayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah di sepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. e. Bangun Serah Guna, yaitu pemanfaatan BMN/BMD berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk di dayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah di sepakati. Pemanfaatan Barang milik negara melalui sewa dilaksanakan terhadap Barang Milik Negara yang berada pada Pengelola Barang, Pengguna Barang, dan Barang Milik Negara yang sudah di serahkan oleh Pengguna Barang kepada Pengelola Barang. Pertimbangan untuk menyewakan barang milik negara adalah untuk mengoptimalkan pemanfaatan barang milik negara yang belum/tidak dipergunakan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan, menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, atau mencegah penggunaan barang milik negara oleh pihak lain secara tidak sah.



Negara dalam menjalankan fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan (TEORI KESEJAHTERAAN) bagi rakyatnya dengan berperan sebagai aparat pemerintah, sangatlah memerlukan sarana dan prasarana dalam berbagai aktivitas demi menunjang terlaksananya roda pemerintahan. Sarana dan prasarana yang dimaksudkan salah satunya adalah gedung perkantoran, karena dari situlah segala aktivitas pemerintahan dalam rangka pemberian pelayanan pada masyarakat dilakukan mulai dari membuat perencanaan program kerja sampai kepada pertanggungjawaban kenerja yang telah dilakukannya. Namun tidak semua Kementrrian/ Lembaga tersebut mempunyai gedung perkantoran tetap sehingga terkadang Kementerian /Lembaga tersebut terpaksa harus menyewa atau menumpang pada instansi lain. Mengantisipasi hal tersebut, Kementerian/ Lembaga diperkenankan untuk mengusulkan pembangunan gedung perkantoran kepada pemerintah melalui Kementerian/lembaga masingmasing. Dan apabila disetujui, langkah selanjutnya adalah mengajukan proposal dengan Rincian Anggaran Biaya (RAB) yang dibuat oleh konsultan perencanaan dan diketahui oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) sebagai unsur tekhnis yang mengerti dan mengetahui tentang 33



Pemanfaatan Barang Milik Negara diperoleh dari http//barang-miliknegara.blogspot.com/2012/04/pemanfaatan-barang-milik-negara



seluk beluk suatu perencanaan pembangunan. Pengadaan sarana perkantoran untuk Kementerian/Lembaga dilakukan sesuai dengan tingkat kebutuhan masing-masing, karena tidak sedikit kantor yang sudah terbangun dengan biaya yang cukup tinggi namun pada kenyataannya tidak dipergunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Kementrrian/Lembaga, hal ini terjadi karena adanya perencanaan yang kurang matang dan boleh jadi akibat adanya rasionalisasi pegawai dan bahkan merger (penggabungan) dua kantor menjadi satu, sehingga apabila pengadaan sarana perkantoran tersebut tidak tepat sasaran dan tidak dilakukan secara hati-hati serta tidak memperhatikan tingakat kebutuhan masing-masing Kementerian/lembaga maka akan menjadi mubadzir dan pada akhirnya akan membebani APBN baik dari segi pengadaannya maupun pada segi pemeliharaannya. Karena pembangunan sarana dan prasarana perkantoran dilakukan dengan menggunakan dana APBN, maka hal tersebut dikategorikan sebagai Barang Milik Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 UU.No.1 Tahun 2004 jo Pasal 1 angka 1 PP.No.27 Tahun 2014 yang berada di bawah penguasaan negara dan dikelola oleh pemerintah melalui Kementerian/Lembaga. Namun karena sarana dan prasarana perkantoran tersebut belum atau tidak dipergunakan dalam rangka tugas pokok Kementerian/ Lembaga maka dapat dimanfaatkan baik oleh Kementrian/ Lembaga yang bersangkutan maupun pihak ketiga dalam bentuk sewa. Pemanfaatan yang dimaksud adalah pendayagunaan Barang Milik Negara (BMN) yang belum atau tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Kementerian/ Lembaga atau optimalisasi Barang Milik Negara dengan tidak mengubah status kepemilikan. Salah satu bentuk pemanfaatan yang dimaksud adalah dengan cara sewa menyewa yaitu pemanfaatan Barang Milik Negara oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai. Peraturan hukum yang mengatur mengenai pemanfaatan Barang Milik Negara adalah UU.No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara jo PP. No. 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagai petunjuk pelaksana, dan sebagai petunjuk tekhnis Menteri Keuangan sebagai Pejabat yang berwenang dalam melakukan pengelolaan terhadap Barang Milik Negara menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No.57/PMK.06/2016 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sewa Barang Milik Negara, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas Dan Fungsi Kementerian/ Lembaga. Pasal 4 PP.No.27 Tahun 2014, memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan selain menjadi Bendahara Umum Negara juga sebagai Pengelola Barang Milik Negara, yang berwenang dan bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan, mengatur dan menetapkan pedoman Pengelolaan Barang Milik Negara, namun kewenangan dan tanggung jawab tersebut sebagian di delegasikan kepada Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang. sehingga segala kebijakan yang menyangkut pemanfaatan Barang Milik Negara ada pada Pengelola Barang, Pengguna Barang, dan Kuasa Pengguna Barang, dan secara tekhnis di laksanakan oleh kantor operasional Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, terdapat sejumlah variabel yang berpengaruh terhadap Pemanfaatan Barang Milik Negara melalui Sewa. Variabel-variabel tersebut perlu diketahui dan ditata sedemikian rupa sehingga jelas substansinya. Dari penataan itu dapat diketahui berbagai variabel yang ada seperti variabel bebas (independent variabel) dan variabel terikat (dependent variabel). Sejumlah variabel bebas memiliki pengaruh secara langsung terhadap variabel terikat, yakni terwujudnya pemanfaatan Barang Milik Negara yang transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, semua variabel bebas perlu diuraikan secara tegas dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Hakikat pemberian kesempatan kepada pengguna barang atas rencana pemanfaatan Barang Milik Negara idle sebelum 3 tahun sejak dinyatakan terindikasi idle, sebagai variabel bebas pertama dalam penelitian ini, di latar belakangi oleh suatu pemikiran bahwa tujuan



pemanfaatan Barang Milik Negara melalui sewa dilakukan untuk mengoptimalisasi pemanfaatan Barang Milik Negara yang belum atau tidak di pergunakan sesuai tugas pokok dan fungsi Kementerian/lembaga, memperoleh fasilitas yang diperlukan dalam rangka menunjang tugas dan fungsi instansi pengguna barang, dan mencegah penggunaan barang milik negara oleh pihak lain secara tidak sah. Akan tetapi tujuan tersebut di batasi oleh Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas Dan Fungsi (Idle) Kementerian/Lembaga yang mengatur bahwa; “meskipun BMN telah masuk dalam kriteria idle namun belum dapat di serahkan kepada Pengelola Barang sebelum 3 tahun sejak terindikasi idle. Hal inilah yang mengakibatkan Barang Milik Negara berpotensi untuk di salahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan Barang Milik Negara di luar dari tujuan yang sebenarnya, sehingga berakibat pada kerugian negara. Indikator pemberian kesempatan kepada pengguna barang adalah efektivitas pemanfaatan barang milik negara, efisiensi pengeluaran keuangan negara, dan optimalisasi penerimaan keuangan negara. 2. Bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa. Variabel bebas kedua yang memiliki peranan yang cukup menentukan dalam Pemanfaatan Barng Milik Negara idle adalah bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan pemanfaatan barang milik negara idle. Bentuk pengawasan yang dilakukan terhadap pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa adalah pengawasan internal, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh pejabat yang berada dalam organisasi itu sendiri dalam arti eksekutif. Artinya yang melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa adalah pengelola barang, pengguna barang/kuasa pengguna barang. Oleh karena pengelola barang, pengguna barang/ kuasa pengguna barang juga pengguna barang milik negara, maka objektifitasnya sangat diragukan, sehingga keberadaan pengawas eksternal sangat diharapkan. Indikator bentuk pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara adalah pengawasan internal, pengawasan eksternal dan strategi pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara. 3. Tanggung jawab pengguna barang dan pengelola barang terhadap indikasi penyimpangan atas pemanfaatan barang milik negara idleyang dapat merugikan keuangan negara, ditempatkan sebagai variabel bebas ketiga dengan pertimbangan bahwa barang milik negara adalah barang yang diperoleh atas biaya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga harus dikelola dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, karena hasil dari pemanfaatan tersebut merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Oleh karena itu, apabila terjadi penyimpangan atas pemanfaatan tersebut yang berakibat pada kerugian negara maka seharusnyapenyimpangan tersebut dipertanggungjawabkan. Indikator tanggung jawab pengguna barang dan pengelola barang atas indikasi penyimpangan pemanfaatan barang milik negara adalah tanggung jawab menurut hukum Administrasi, tanggung jawab menurut Hukum Perdata, dan tanggung jawab menurut hukum Pidana. 4. Terwujudnya Pemanfaatan BMN yang transparan dan akuntabel. Mengenai hubungan variabel secara keseluruhan dapat dilihat dalam bagan kerangka fikir sebagai berikut: Terwujudnya pemanfaatan Barang Milik Negara yang transparan dan akuntabel ditempatkan sebagai variabel terikat. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa apabila pemanfaatan Barang dapat dilaksanakan dengan baik maka tentunya dapat mewujudkan pemanfaatan Barang Milik negara yang transparan dan akuntabel.



Pemanfaatan Optimalisasi pemanfaatan aset merupakan optimalisasi terhadap penggunaan aset disamping meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, menghasilkan pendapatan dalam bentuk uang dan juga dapat mensejahterakan masyrakat. Pemanfaatan aset dalam struktur pendapatan desa termasuk dalam rincian objek hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan desa yang tidak dipisahkan. Dalam pemanfaatan atau pendayaagunaan aset –aset yang ada di DesaKrayan Bahagia tersebut belum dikatakan maksimal. Karena dalam hal ini kurang dimanfaatkannya aset –aset desa yang ada, kurang ada pembinaan secara khusus kepada aparat desa yang bertugas untuk mendampingi masyrakatnya. Jika dapat dilihat secara kasat mata, manfaat dari tanah kas desa ini dapat mendapatkan pendapatan desa dan dapat membantu perekonomian masyarakat desa. Dan pemerintah desa juga tidak melakukan sebuah pembinaan terhadap masyarakat –masyarakat di desa untuk mengatahui apa saja aset desa. Sehingga pemerintah desa dan masyarakat desa bisa saling berkesinambungan untuk bekerja sama dalam pemanfaatan aset desa tersebut guna untuk menambah pendapat di desa yang bertujuan untuk menunjung kebutuhan desa.



Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Barang Milik Daerah (BMD) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 menyebutkan bahwa aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, sosial, maupun politik Bagi pengguna informasi akuntansi, nilai BMD/aset yang tersaji dalam laporan keuangan pemerintah akan digunakan untuk menganalisa kondisi keuangan pemerintah. Jika BMD/aset yang sudah rusak dan tidak digunakan lagi atau BMD yang sudah hilang dan tidak dihapuskan namun masih tetap dilaporkan dalam laporan keuangan, maka pengambilan keputusan yang didasarkan pada informasi tersebut tentu tidak tepat. Berkaitan dengan BMD yang sudah rusak atau hilang, salah satu tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah terkait dengan permasalahan tersebut adalah tindakan penghapusan BMD (Conway, et.al 2006).



Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) masih menjadi permasalahan klasik di lingkungan Instansi Pemerintah. Ketidakpedulian atas pentingnya pengelolaan dan pemeliharaan aset yang belum efektif, dapat terlihat dari catatan atas opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang hampir setiap tahun masih didominasi oleh masalah pengelolaan BMD. Permasalahan yang sering ditemukan BPK berdasarkan elemen siklus pengelelolaan BMD antara lain: 1) belum komprehensifnya kerangka kebijakan, 2) persepsi tradisional yang tidak mengedepankan potensi pemanfaatan aset publik bagi pemasukan daerah, 3) inefisiensi, 4) keterbatasan data, 5) keterbatasan SDM (Mardiasmo, et.al 2012).



Mengingat pentingnya Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) bagi pemerintah daerah serta besarnya pengeluaran Negara terkait dengan pengelolaan BMD tersebut, maka sudah



menjadi keharusan bagi Pemerintah untuk melakukan pengelolaan aset/ barang milik daerah secara professional, efektif dan mengedepankan aspek-aspek ekonomis agar pengeluaran biaya-biaya dapat tepat sasaran, tepat penggunaan, tepat penerapan dan tepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengelolaan BMD sebetulnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Manajemen Keuangan dan secara umum terkait dengan adiministrasi pembangunan daerah khususnya yang berkaitan dengan nilai aset, pemanfaatan aset, pencatatan nilai aset dalam neraca, maupun dalam penyusunan prioritas dalam pembangunan.Permasalahan aset menjadi permasalahan yang harus segera diatasi, dimana aset Negara maupun daerah adalah tanggung jawab bersama pemerintah selaku pengelola dan masyarakat sebagai stakeholder (Kaganova & Mckelllar 2006).34



Pemanfaatan barang milik daerah dilaksanakan oleh pengelola barang dengan persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota untuk barang milik daerah yang berada dalam penguasaan pengelola barang dan pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang untuk barang milik daerah berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang, dan selain tanah dan/atau bangunan. Pemanfaatan barang milik daerah dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintah daerah. Biaya pemeliharaan dan pengamanan barang milik daerah serta biaya pelaksanaan yang menjadi objek pemanfaatan dibebankan pada mitra pemanfaatan. Pendapatan daerah dari pemanfaatan barang milik daerah merupakan penerimaan daerah yang wajib disetorkan seluruhnya ke rekening kas umum daerah. Barang milik daerah yang menjadi objek pemanfaatan dilarang dijaminkan atau digadaikan. Barang milik daerah yang merupakan objek retribusi daerah tidak dapat dikenakan sebagai objek pemanfaatan barang milik daerah. Bentuk pemanfaatan barang milik daerah berupa: 1) Sewa Barang milik darah yang dapat disewakan berupa: a) Tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada Gubernur/Bupati/Walikota. b) Sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang. c) Selain tanah dan/atau bangunan. 2) Pinjam pakai Pinjam pakai barang milik darah dilaksanakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah rangka penyelenggara pemerintah. Objek pinjam pakai meliputi barang milik daerah berupa sebagian atau keseluruhan tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan yang berbeda pada pengelola barang/pengguna barang. 3) KSP (Kerja Sama Pemanfaatan) KSP atas barang milik daerah dilaksanakan apabila tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam APBD untuk memenuhi biaya operasional, pemeliharaan, dan/atau perbaikan yang diperlukan terhadap barang milik daerah yang 34



JIBEKA Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi Asia ISSN 2620-875X (Online) ISSN 0126-1258 (Print) http://jurnal.stie.asia.ac.id



55 |JIBEKA Hal. 53-65



dikerjasamakan. Mitra KSP ditetapkan melalui tender, kecuali untuk barang milik daerah yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung. Pihak yang dapat menjadi mitra KSP barang milik darah meliputi: a) Badan usaha milik negara b) Badan usaha milik daerah c) Swasta, kecuali perorangan. 4) BGS (Barang Guna Serah) atau BSG (Barang Serah Guna) Pihak yang dapat melakukan BGS/BSG adalah pengelola barang. Pihak yang dapat menjadi mitra BGS/BSG meliputi: badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, swasta kecuali perorangan, dan/atau badan hukum lainnya. Objek BGS/BSG meliputi: a) Barang milik daerah berupa tanah yang berada pada pengelola barang. b) Barang milik daerah berupa tanah berada pada pengguna barang. 5) KSPI (Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur) Objek KSPI atas barang milik daerah meliputi: a) Tanah dan/atau bangunan. b) Sebagian tanah dan/atau bangunan masih digunakan. c) Selain tanah dan/atau bangunan.



Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah adalah peraturan termuktahir untuk pengelolaan barang sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah berikut dengan peraturan perubahannya, dan merupakan ketentuan umum yang ditindaklanjuti pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Peraturan ini adalah peraturan terbaru yang mengganikan peraturan-peraturan yan ada sebelumnya dan dihapus serta dinyatakan tidak lagi berlaku dengan kelahiran peraturan ini. Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) adalah pendayagunaan BMN/D yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan/atau optimalisasi BMN/D dengan tidak mengubah status kepemilikan dan dilaksanakan oleh: a. Pengelola Barang, untuk BMN yang berada dalam penguasaannya b. Pengelola Baran dengan persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota, untuk BMD yang berada dalam penguasaan Pengelola Barang c. Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang, untuk BUMN yang berada dalam penguasaan Pengguna Barang, atau d. Pengguna Barang dengan persetujuanPengelola Barang untuk BMD berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh Pengguna Barang, dan selain tanah dan/atau bangunan.



Pemanfaatan BMN/D ini dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara/daerah dan kepentingan umum. Selain itu tentunya juga harus mempertimbangkan manfaat dari pemanfaatan itu sendiri termasuk manfaat buat dunia usaha dan masyarakat.35 Adapun bentuk-bentuk pemanfaatan BMN/D ini adalah : a. b. c. d. e.



Sewa Pinjam Pakai Kerjasama Pemanfaatan Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna Kerjasama Penyediaan Infrastruktur



Demikian pula yang terjadi dalam implementasi kebijakan pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN) saat ini, walaupun beberapa peraturan yang mendukung implementasi kebijakan pemanfaatan BMN telah lama dikeluarkan, namun masih banyak pemanfaatan BMN yang belum dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang ada. Sesuai peraturan yang berlaku, untuk melaksanakan pemanfaatan BMN harus terlebih dulu ada penetapan status penggunaan barang yang diajukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan pemanfaatan BMN tentu tidak bisa lepas dari peran aktif pengguna barang/kuasa pengguna barang, karena inisiatif untuk melaksanakan pemanfaatan BMN berawal dari pengguna barang/kuasa pengguna barang yang paling mengetahui terhadap aset yang dikuasainya. adanya keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh pengelola barang untuk memberikan sanksi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pemanfaatan BMN, maka prinsip-prinsip utama good governance yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat perlu untuk ditingkatkan, karena bisa menjadi pendukung utama terhadap keberhasilan implementasi kebijakan pemanfaatan BMN. Selama ini, pengguna barang/kuasa pengguna barang kurang begitu tanggap jika ada surat permintaan konfirmasi pemanfaatan BMN dari pengelola barang, namun mereka akan langsung bereaksi secara cepat jika terdapat temuan dari pemeriksa eksternal (BPK dan BPKP) dan pemeriksa internal (Itjen). Menurut penulis, setelah dilaksanakannya inventarisasi dan penilaian oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara pada tahun 2007 sampai dengan 2009, setidaknya Kantor Pelayanan Kekayaan Negara di daerah telah memiliki gambaran awal tentang aset negara mana saja yang belum/ tidak digunakan secara optimal. Implementasi kebijakan tentang pemanfaatan BMN akan efektif apabila ada transparansi tentang kebijakan, baik dari pembuat kebijakan maupun pelaksana kebijakan kepada masyarakat. Penerapan transparansi akan mendorong partisipasi dari masyarakat untuk ikut serta maupun melakukan pengawasan terhadap kebijakan, sehingga implementasinya lebih akuntabel. Keterbukaan dalam implementasi kebijakan memudahkan bagi pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan maupun masyarakat untuk saling berinteraksi ataupun melakukan sosialisasi. Perlu dibuat aturan yang mewajibkan pengguna barang/ kuasa pengguna barang untuk mengumumkan secara terbuka kepada masyarakat 35



Wawan Zulmawan, Panduan Praktis Kerjasama Aset Pemerintah, TNI & BUMN, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2017, hal.6



melalui media cetak ataupun elektronik mengenai BMN yang bisa disewa beserta tarif sewanya. Dan jika diperlukan, khusus untuk aset yang terletak di lokasi yang strategis bisa dilakukan dengan cara lelang untuk menetapkan penyewa dengan tarif sewa tertinggi, sehingga dapat dihasilkan penerimaan negara yang lebih optimal. Transparansi dan akuntabilitas adalah dua hal yang saling terkait, jika implementasi kebijakan pemanfaatan BMN dilaksanakan secara transparan, maka secara otomatis implementasi akan berjalan lebih akuntabel. Transparannya pemanfaatan BMN akan mendorong masyarakat untuk ikut serta mengawasi proses pemanfaatan BMN, sehingga mendorong bagi pengelola barang maupun pengguna barang/kuasa pengguna barang untuk bekerja lebih akuntabel. Akuntabilitas dalam implementasi kebijakan pemanfaatan BMN menuntut adanya keterbukaan yang akan mendorong adanya partisipasi dan berakibat pada kejelasan transmisi informasi komunikasi mengenai kebijakan yang dijalankan. Partisipasi dapat membangun komunikasi yang baik, karena kebijakan akan dapat diimplementasikan secara efektif ketika pelaksana kebijakan mengerti dan memahami terhadap suatu kebijakan. Ketika partisipasi berjalan dengan baik maka tuntutan masyarakat agar kebijakan berjalan secara efektif akan berpengaruh langsung maupun tidak langsung kepada struktur birokrasi untuk bisa memberikan pelayanan yang lebih baik. Demikian pula dengan penerapan akuntabilitas dalam pelaksanaan kebijakan, akan berdampak pada perbaikan organisasi untuk lebih efektif dalam bekerja dengan pertanggungjawaban yang jelas baik kepada pembuat kebijakan maupun kepada mayarakat.



Optimalisasi pemanfaatan aset desa merupakan optimalisasi terhadap penggunaan aset disamping meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, menghasilkan pendapatan dalam bentuk uang dan juga dapat mensejahterakan masyrakat. Pemanfaatan aset dalam struktur pendapatan desa termasuk dalam rincian objek hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan desa yang tidak dipisahkan. Dalam pemanfaatan atau pendayaagunaan aset – aset yang ada di Desa Krayan Bahagia tersebut belum dikatakan maksimal. Karena dalam hal ini kurang dimanfaatkannya aset – aset desa yang ada, kurang ada pembinaan secara khusus kepada aparat desa yang bertugas untuk mendampingi masyrakatnya. Jika dapat dilihat secara kasat mata, manfaat dari tanah kas desa ini dapat mendapatkan pendapatan desa dan dapat membantu perekonomian masyarakat desa. Dan pemerintah desa juga tidak melakukan sebuah pembinaan terhadap masyarakat – masyarakat di desa untuk mengatahui apa saja aset desa. Sehingga pemerintah desa dan masyarakat desa bisa saling berkesinambungan untuk bekerja sama dalam pemanfaatan aset desa tersebut guna untuk menambah pendapat di desa yang bertujuan untuk menunjung kebutuhan desa.



mengalokasikan BMN Idle kepada Kementerian/Lembaga yang membutuhkan dan meminta kepada pengguna barang agar BMN yang tidak digunakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian/ lembaga untuk segera diserahkan kepada pengelola barang.142 Sebagai contoh, di wilayah kerja Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) terdapat BMN yang terindikasi idle karena tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dengan nilai Rp.10 milyar, sedangkan menurut Data Laporan Barang Milik Negara (LBMN) di wilayah KPKNL yang lain terdapat kebutuhan pengadaan



tanah/bangunan sebesar Rp.100 milyar. Apabila proses pemanfaatan BMN idle tersebut dilaksanakan dengan tertib, maka pengeluaran belanja modal untuk pengadaan tanah/bangunan dapat dihemat sebesar nilai BMN idle pada daerah tersebut sehingga negara hanya perlu mengalokasikan dana sebesar Rp.90 milyar.143 Demikian pula jika BMN idle tersebut dimanfaatkan dengan cara disewakan kepada pihak ketiga, maka negara dapat diuntungkan dalam dua hal yaitu; mendapatkan hasil sewa sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penghematan biaya karena negara tidak perlu lagi mengeluarkan dana untuk pemeliharaan terhadap gedung/bangunan yang sudah ada.144Disinilah peran dan tanggung jawab Menteri Keuangan selaku pejabat yang diberi mandat oleh presiden selain sebagai bendahara umum negara 142 . Hasil Penelitian pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Makassar, tanggal 18 Mei 2016. 143 .Hasil wawancara dengan KASI Pengelolaan Kekayaan Negara, KPKNL Makassar, tanggal 12 Mei 2016 144 .Ibid Profil DJKN... 135 juga sebagai pengelola Barang Milik Negara yang berwenang dan bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan Barang Milik Negara, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2006 Tentang perubahan keempat atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Kementerian Keuangan Republik Indonesi yang memberikan tugas kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara untuk merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara dan lelang. Tugas tersebut merupakan pelimpahan sebagian kewenangan Menteri Keuangan selaku pengelola barang kepada Direktoran Jenderal Kekayaan Negara sebagai unit organisasi yang khusus menangani Barang Milik Negara dibawah kendali Kementerian keuangan.145 Kriteria BMN idle sebagaimana diatur dalam PMK .No. 250/PMK .06/2011 adalah BMN yang sedang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, atau BMN yang digunakan tetapi tidak sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, dan BMN yang termasuk dalm kriteria idle inilah yang dapat dimanfaatkan oleh pengelola barang untukKementerian/Lembaga yang belum mempunyai tanah dan bangunan dalam rangka menyelenggarakan tugas pokok dan fungsinya maupun 145 .Media kekayaan Negara, Pengelolaan BMN Idle, Edisi No.07 Tahun III/2012.hal.20 136 dimanfaatkan oleh pihak ketiga dalam bentuk sewa. Namun apabila Kementerian/ Lembaga telah memiliki atau menyusun perencanaan untuk menggunakan atau memanfaatkan BMN yang sedang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga (idle)sebelum berakhirnya tahun ketiga dan perencanaan pemanfaatannya telah ada sebelum berakhirnya tahun kedua terhitung sejak BMN terindikasi sebagai BMN idle maka BMN tersebut tidak termasuk sebagai BMN idle, dan kepada pengelola barang harus memberikan kesempatan kepada pengguna barang untuk memanfaatkan BMN tersebut sebelum berakhirnya tahun ketiga sejak BMN tersebut dinyatakan idle.146Hakikat pemberian kesempatan kepada pengguna barang untuk memanfaatkan Barang Milik Negara idle dimaksudkan agar dapat: 1. mengefektifkan pemanfaatan Barang Milik Negara dalam arti seluruh BMN idle digunakan sepenuhnya untuk mendukung pelayanan pemerintah kepada masyarakat; 2. mengefisiensi pengeluaran keuangan negara baik dari biaya pengadaan maupun biaya pemeliharaan serta pengamanan; 3. mengoptimalisasi penerimaan keuangan negara dari pemanfaatan BMN idle dalam bentuk sewa. Hal ini sangat diperlukan guna menjamin bahwa sumber daya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan menekan biaya-biaya yang timbul seminimal mungkin, sehingga pemanfaatan barang milik negara tersebut dapat 146 .PMK.No.250/PMK.06/2011, Pasal.3



137 memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi negara dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Maksud tersebut di atas didukung oleh Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 Tentang pengelolaan Barang Milik Negara yang mengatur bahwa; “pengelolaan Barang Milik Negara meliputi perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, pemusnahan, penghapusan, penatausahaan, dan pembinaan, pengawasan dan pengendalian, yang dilaksanakan ber dasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas dan kepastian nilai”. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, pengguna barang wajib melaporkan dan menyerahkan Barang Milik Negara idle kepada pengelola barang agar pengelola barang dapat memanfaatkan Barang Milik Negara tersebut untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang membutuhkan atau memanfaatkannya dalam bentuk sewa kepada pihak ketiga.147 Kewajiban pengguna barang untuk menyerahkan Barang Milik Negara idle dikecualikan apabila pengguna barang mempunyai rencana untuk menggunakan BMN idle tersebut sebelum berakhirnya tahun ketiga dan dinyatakan melalui permohonan tertulis yang diajukan oleh pengguna 147.PMK.No.250/PMK.06/2011.Pasal 2 138 barang kepada pengelola barang terhitung sejak BMN tersebut terindikasi sebagai BMN idle.148Pengecualian tersebut perlu diatur mengingat bahwa tidak semua tanah/bangunan yang tidak digunakan pada saat ini adalah BMN idle, ada kemungkinan bahwa pengguna barang karena telah memiliki rencana pemanfaatan atas BMN tersebut maka BMN yang sebenarnya idle ikemudian dinyatakan oleh pengguna barang sebagai BMN tidak idle dan mengusulkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian/Lembaga atau memasukkannya dalam Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) dengan tujuan agar tetap memperoleh anggaran pemeliharaan dari pemerintah ataupun karena kewenangannya pengguna barang tidak melaporkan adanya BMN idle di Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya, sehingga pengguna barang dapat bebas memanfaatkan BMN tersebut dengan cara menyewakannya kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan pengelola barang. Kondisi tersebut di atas, sebagaimana yang dkemukakan oleh Nur Huseng149 (Kepala seksii Pengelolaan BMN Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta IV) bahwa: “Meskipun Menteri Keuangan bertanggung jawab atas pengelolaan Barang Milik Negara, namun penatapan status BMN pada Kementerian/Lembaga apakah termasuk kategori idle atau bukan merupakan kewenangan pengguna barang atas BMN di Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya, sehingga ada kemungkinan karena telah direncanakan untuk dimanfaatkan maka BMN tersebut dinyatakn idle oleh pengguna barang, meskipun sebenarnya tidak idle”. 148 ,ibid PMK.No.250/PMK.06/2011.Pasal 3 (2). 149.Hasil wawancara pada tanggal 8 Februari 2016. 139 Oleh karena Kementerian Keuangan selaku pengelola barang tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan status BMN pada Kementerian/Lembaga apakah termasuk dalam kategori idle atau bukan, dengan alasan bahwa tidak ada peraturan yang mengaturnya, maka sebagai pengelola barang yang bertanggung jawab atas pengelolaan Barang Milik Negara tidak mampu berbuat banyak apabila pengguna barang tidak melaporkan bahwa di Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya terdapat BMN dalam kategori idle, sehingga pengguna barang dapat dengan bebas memanfaatkan BMN idle tersebut, padahal dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK. 06/2011 jelas diatur bahwa pengguna barang wajib menyerahkan barang milik negara idle kepada pengelola barang. Artinya, barang milik negara idle hanya boleh dimanfaatkan oleh pengguna barang setelah diserahkan atau dilaporkan kepada pengelola barang. Salah satu alasan yang menyebabkan pengguna barang tidak melaporkan dan menyerahkan BMN idle tersebut kepada pengelola barang, sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Nur, (Kepala bidang Tata Usaha Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan150adalah: “Karena pengguna barang pada



saat sekarang belum membutuhkan penggunaan BMN idle dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, namun akan menggunakan BMN idle tersebut dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya dimasa yang akan datang, sehingga apabila dilaporkan atau diserahkan ke pengelola barang maka status penggunaan 150 . Hasil wawancara, tanggal 2 Mei 2017 140 akan dialihkan ke pengguna barang lain atau dimanfaatkan dalam bentuk sewa kepada pihak ketiga, dan ditakutkan di masa depan akan sulit untuk mengadakan barang yang dibutuhkan”. Pernyataan serupa dikemukakan oleh Hamdan, (Kasubag Umum Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan)151 bahwa; “jika pengguna barang melaporkan atau menyerahkan BMN idle kepada pengelola barang, maka pengguna barang akan kehilangan kesempatan untuk menggunakan sendiri BMN idle tersebut jika sewaktu-waktu akan digunakan”. Banyaknya jumlah BMN yang teridikasi idle namun tidak diserahkan kepada pengelola barang dinyatakan oleh Sigit (staf Pengelolaan Barang Milik Negara, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta IV) bahwa:152“Terdapat banyak BMN idle namun tidak dilaporkan oleh pengguna barang, sehingga pengelola barang tidak dapat memanfaatkan BMN tersebut baik terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga maupun dimanfaatkan oleh pihak ketiga dalam bentuk sewa, karena BMN yang dapat dimanfaatkan adalah BMN idleyang telah diserahkan kepada pengelola barang”. Data mengenai BMN idle yang tidak dilaporkan kepada pengelola barang dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini. 151 . Hasil wawancara, tanggal 11 Mei 2017 152 .Hasil wawancara, tanggal 9 Februari 2016 141 Tabel 1 : Data BMN Idle yang tidak dilaporkan kepada pengelola barang Pada 5 (lima) Kementerian/Lembaga.153NOKementerian/ Lembaga Jenis BMN IDLE Luas 1 Kemen.Pendidikan dan Kebudayaan 4 bidangTanah 20.874 m2 2 Mahkamah Agung 2 bidangTanah/bgn 14.287 m2/ 8 3 Kemen.Perum.Rakyat 6 bidangTanah 32.572 m2 4 Kemen.Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 3 bidangTanah 18.427 m2 5 Badan Pengkajian dan penerapan Tekhnologi 6 bidang Tanah/bgn 42,81 m2/ 6 Sumber : Laporan Barang Milik Negara (LBMN) pada 5 (lima) Kementerian/Lembaga Tahun 20102015, diolah oleh Kementerian Keuangan Data pada tabel tersebut di atas, menunjukkan bahwa BMN idlemenurut Laporan Barang Milik Negara (LBMN) pada 5 (lima) Kementerian/Lemabag, sebanyak 15 bidang tanah seluas 128.97 m2 dan 14 unit bangunan, dan semuanya belum dilaporkan kepada pengelola barang. Data tersebut belum termasuk BMN yang terindikasi idle pada aplikasi Sistem Informasi Manajemen Akuntansi Terpadu (SIMANTAP) sebanyak 554 bidang tanah, dan yang tidak diinput statusnya sampai dengan 31 Desember 2016 sebanyak 5.263 bidang tanah seluas 298.444.199,00 m2.154 BMN idle yang sudah tercatat dalam Laporan Barang Milik Negara (LBMN) pada 5 (lima) Kementerian/Lembaga, seharusnya sudah dimanfaatkan oleh pengelola barang untuk Kementerian/Lembaga yang 153 .Laporan Barang Milik Negara (LBMN) pada 5 (lima) Kementerian/Lembaga Tahun 2010-2015. 154 .Data diperoleh dari Hasil Penelitian pada Kantor Pusat DJKN Jakarta, tanggal 16 Februar 143 yang dimilikinya untuk memanfaatkan BMN idle berdasarkan peraturan yang telah ada, sepertidari hasil inventarisasi dan identifikasi BMN idle yang meliputi hasil pelaksanaan pengawasan dan pengendalian oleh pengelola barang, laporan dari pengguna barang/kuasa pengguna barang, hasil penertiban BMN, laporan barang pengguna/kuasa pengguna semesteran dan tahunan, laporan rekapitulasi hasil inventarisasi dari Kementerian/Lembaga, laporan hasil audit aparat pengawas fungsional pemerintah, informasi dari media massa, baik cetak maupun elektronik, dan/atau laporan masyarakat,156 namun demikian, kewenangan tersebut belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh pengelola barang untuk menetapkan adanya BMN idle, karena selama ini DJKN sebagai pelaksana fungsional atas sebagian kewenangan



Menteri Keuangan dalam pengelolaan BMN baru menggunakan laporan pengguna barang/kuasa pengguna barang untuk menetapkan status BMN idle, sehingga tidak mengetahui apakah semua pengguna barang telah melaporkan BMN idle kepada pengelola barang.157 Agar kewenangan tersebut di atas, dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh pengelola barang dalam menetapkan adanya BMN idle, maka menurut hemat penulis seharusnya pengelola barang menindaklanjutinya dengan melakukan konfirmasi tertulis, pemantauan, penelitian, dan apabila diperlukan dapat melakukan investigasi. Apabila hasil konfirmasi menunjukkan bahwa BMN tersebut benar adalah BMN idle maka 156 .Op. Cit. PMK. 250/PMK.06/2011. Pasal 6 157 . Hasil Penelitian Pada Kanwil DJKN Sulselbartra, tanggal 4 April 2016 144 dilakukan penetapan yang ditindaklanjuti dengan serah terima BMN antara pengguna barang dan pengelola barang, namun apabila hasil konfirmasi menyimpulkan bahwa BMN tersebut bukan dikategorikan sebagai BMN idle, maka harus disampaikan kepada pengguna barang. Prosedur tersebut di atas juga telah diatur dalam Pasal 4 (2) PMK No .250/PMK .06/2011, yang memberi kewenangan dan tanggung jawab kepada pengelola barang untuk menindaklanjutu segala sumber informasi terkait BMN idle dalam hal:158a. meminta klarifikasi tertulis terhadap pengguna barang/kuasa pengguna barang. b. melakukan investigasi terhadap penggunaan dan pemanfaatan BMN yang terindikasi sebagai BMN idle. c. melakukan penelitian terhadap informasi dan klarifikasi tertulis pengguna barang/kuasa pengguna barang d. menetapkan BMN sebagai BMN idle. e. melakukan pengecekan administratif dan pengecekan fisik atas BMN idle yang akan diserahkan oleh pengguna barang. f. mengenakan dan mencabut sanksi kepada pengguna barang. g. melakukan penatausahaan BMN idle h. melakukan pengawasan, pengendalian, pengamanan dan pemeliharaan terhadap BMN idle yang telah diserahkan oleh pengguna barang. i. menyusun dan mengelola anggaran pengamanan dan pemeliharaan BMN idle. j. melakukan penetapan status penggunaan, pemanfaatan, atau pemindahtanganan atas BMN idle;dan k. melakukan penghapusan BMN idle. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian penulis, kewenangan dan tanggung jawab pengelola barang terhadap BMN idle belum terlaksana dengan baik, karena selain belum memanfaatkan segala sumber informasi yang ada terkait adanya BMN idle, pengelola barang 158 .OP.Cit.PMK.N0.250/PMK.06/2011.Pasal 4 (2) 145 seringkali tidak menindaklanjuti adanya laporan dari pengguna barang mengenai adanya BMN idle. Alasannya adalahi tidak ada ketentuan yang mengatur secara tegas pengelola barang untuk lebih proaktif dalam mengidentifikasi BMN idle. Selain itu belum ada ketentuan yang mengatur pengguna barang untuk melakukan inventarisasi BMN idle, belum ada monitoring dari pengelola barang, demikian pula sampai saat ini tidak pernah diberlakukan sanksi bagi pengguna barang apabila tidak melaporkan adanya BMN idle pada Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya, padahal Pasal 27 PMK No. 250/PMK. 06/2011 dengan jelas mengatur mengenai sanksi bagi pengguna barang yang tidak menyerahkan BMN yang ditetapkan sebagai BMN idle berupa:1591. Pembekuan dana pemeliharaan BMN atas tanah dan/atau bangunan yang telah ditetapkan sebagi BMN idle. 2. Penundaan penyelesaian atas usul pemanfaatan BMN yang diajukan oleh pengguna barang. Kenyataan tersebut di atas, menurut hemat penulis menunjukkan bahwa Kementerian Keuangan sebagai pengelola barang hanya pasif dalam hal pemanfaatan Barang Milik Negara idle sehingga ada kecenderungan pemanfaatan Barang Milik Negara tidak efektif, hal ini nampak terhadap banyaknya jumlah BMN idle yang tidak diserahkan oleh Kementerian/Lembaga kepada pengelola barang seperti yang diuraikan 159.op.cit, PMK.No.250/PMK.06/2011. Pasal 27 146 pada tabel 1 (satu) di atas. Kondisi tersebut dipertegas oleh Hariyanto, (Kasi Penilaian BMN, KPKNL Makassar) bahwa;160” “Pemanfaatan BMN idle belum efektif dilaksanakan, karena selain adanya kewenangan yang begitu luas bagi pengguna barang untuk menentukan sendiri status BMN yang ada dalam penguasaannya, juga jumlah BMN yang terlalu banyak,



sementara Kementerian Keuangan selaku pengelola barang belum merampungkan inventarisasi seluruh jumlah BMN yang ada di seluruh Kementerian/Lembaga”. Padahal sebagai pengelola barang Menteri Keuangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) PP. No. 27 Tahun 2014 berwenang dan bertanggung jawab dalam hal :161a. Merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan Barang Milik Negara; b. Meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan Barang Milik negara; c. Menetapkan status penguasaan dan penggunaan Barang Milik Negara; d. Mengajukan usul pemindahtanganan Brang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan yang memerlukan persetujuan Dewan perwakilan Rakyat. e. Memberikan keputusan atas usul pemindahtanganan Barang Milik Negara yang berada pada pengelola Barang yang tidakmemerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sepanjang dalam batas kewenangan menteri Keuangan. f. Memberikan pertimbangan dan meneruskan usul pemindahtanganan Barang Milik Negara yang tidak memerlukan persetujuan Dewan perwakilan Rakyat kepada Presiden; g. Memberikan persetujuan atas usul pemindahtanganan Barang Milik Negara yang berada pada pengelola barang yang tidakmemerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sepanjang dalam batas kewenangan Menteri Keuangan; h. Menetapkan penggunaan, pemanfaatan, atau pemindahtanganan Barang Milik Negara yang berada pada pengelola barang; 160 . Hasil wawancara, Tanggal 2 April 2016 161 .Op.Cit.PP.No.27 Tahun 2014. 147 i. Memberikan persetujuan atas usul pemanfaatan Barang Milik Negara yang berada pada pengguna barang; j. Memberikan persetujuan atas usul pemusnahan dan penghapusan Barang Milik Negara; k. Melakukan kordinasi dalam pelaksanaan Inventarisasi Barang Milk Negara dan menghimpun hasil Inventarisasi; l. Menyusun laporan Barang Milik Negara; m. Melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan Barang Milik Negara, dan n. Menyusun dan mempersiapkan laporan rekapitulasi Barang Milik Negara/Daerah kepada presiden. Kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan kepada Menteri Keuangan, ternyata tidak membawa dampak yang signifikan terhadap pemanfaatan BMN idle khususnya pemanfaatan yang berupa sewa menyewa, karena dalam pelaksanaannya pemanfaatan BMN idle berupa tanah dan bangunan bagi Kementerian/Lembaga yang membutuhkan baru sekitar 10% dari total BMN idle dan BMN yang teridentifikasi idle dan telah diserahkan kepada pengelola barang.162 Demikian pula dalam hal pemanfaatan BMN idle dalam bentuk sewa, dalam berbagai kasus seringkali mengabaikan prosedur sewa menyewa sebagaimana yang diatur dalam PMK. No.57/PMK.06/2016.. Kondisi tersebut menurut hemat penulis mengharuskan PP. No. 27 Taun 2014 Jo Peraturan Menteri Keuangan No. 250/PMK .06/2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara Idle didukung dari sisi kebijakan dengan tidak memberikan kewenangan yang begitu luas kepada pengguna barang untuk memanfaatkan sendiri BMN yang berada dalam penguasaannya, 162 . Hasil Penelitian Pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Makassar, tanggal 10 April 2016 148 melainkan menjadi suatu keharusan bagi pengguna barang untuk segera memberi laporan secara tertulis mengenai adanya BMNidle kepada pengelola barang. Sebaliknya pengelola barang harus lebih aktif memonitoring dan menginventarisir seluruh BMN yang ada pada Kementerian/Lembaga, dengan demikian keberadan BMN idle lebih mudah diketahui oleh pengelola barang. 2.Efisiensi Pengeluaran Keuangan Negara. Dalam rangka akuntabilitas penataan keuangan negara, maka penyusunan keuangan negara harus mengacu pada norma dan prinsip efisiensi pengeluaran keuangan negara. Efisiensi pengeluaran keuangan negara dimaknai bahwa dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat.163 Pengertian efisiensi menurut Mulyamah dalam Arifin P.Soeria Atmadja,164 adalah merupakan suatu ukuran dalam membandingkan rencana penggunaan masukan dengan penggunaan yang direalisasikan. Sedangkan menurut SP.Hasibuan,165efisiensi



adalah perbandingan yang terbaik antara input (masukan) dan output (hasil antara keuntungan dengan sumber-sumber yang dipergunakan), seperti halnya juga hasil optimal yang dicapai dengan penggunaan sumber yang terbatas. 163 .www.stialan.ac.id > artikel.Akuntabilitas Keuangan Negara- STIA LAN Jakarta. 164 .Arifin P.Soeria Atmadja.(2013). Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.3 165 .ibid.Arifin P.Soeria Atmadja, hal.5 149 Sedangkan pengertian efisiensi yang penulis maksudkan dalam desertasi ini adalah tidak untuk membandingkan antara input dan output, akan tetapi lebih pada berkurangnya atau ditiadakannya alokasi atau realisasi pembiayaan negara melalui APBN, namun seluruh kegiatan tersebut tetap dapat direalisasikan, artinya efisiensi pembiayaan yang semula dibebankan kepada negara melalui APBN menjadi beban pihak lain, seperti dalam pemanfaatan BMN idle yang tidak dipergunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga kemudian dialihkan kepada Kementerian/Lembaga yang membutuhkan sehingga dapat mengurangi anggaran pada pos-pos pengeluaran APBN, seperti pada biaya pengadaan BMN baru. Demikian pula efisiensi terhadap biaya pemeliharaan dan biaya pengamanan BMN dialihkan kepada pihak ketiga selaku mitra pemerintah melalui bentuk-bentuk pemanfaatan BMN idle dengan cara sewa, sehingga pemerintah tidak perlu lagi menganggarkan dana untuk biaya pemeliharaan, biaya pengamanan, maupun biaya renovasi karena biaya-biaya itu sudah menjadi tanggung jawab pihak ketiga sebagai penyewa. Prinsif efisiensi pengeluaran keuangan negara harus mempertimbangkan dua hal yaitu:1661. Accountability, akuntabilitas pengeluaran keuangan negara adalah kewajiban pemerintah untuk memberikan pertanggungjawaban, 166.Mc Kinney, Jerome B.1986. Effektive Financial Management In Public an Non Profit Agencia A Pratical and Integrated Approach. Connecticut:Greenwood Press Inc.hlm.224 150 menyajikan dan melaporkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait atas penggunaan uang publik kepada pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut (DPR dan masyarakat luas). Aspek penting yang harus dipertimbangkan oleh para manajer pemerintah adalah:a) Aspek legalitas pengeluaran negara yaitu setiap transaksi pengeluaran yang dilakukan harus dapat dilacak otoritas legalnya; b) Pengelolaan (stewardship) atas pengeluaran negara yang baik, perlindungan aset fisik dan finansial, mencegah terjadinya pemborosan dan salah urus. Adapun prinsip-prinsip akuntabilitas pengeluaran negara adalah: 1) Adanya sistem akuntansi dan sistem kemampuan negara yang dapat menjamin bahwa pengeluaran negara dilakukan secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) Pengeluaran negara yang dilakukan dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan; dan, 3) Pengeluaran negara yang dilakukan dapat berorientasi pada pencapaian visi, misi, hasil dan manfaat yang akan diperoleh. 2. Value for Money, pengeluaran negara harus berdasarkan konsep value for maney, yaitu: a) Ekonomi, adalah praktek pembelian barang dan jasa pada kualitas yang diinginkan dan pada harga terbaik yang memungkinkan. Sesuatu kegiatan operasional dikatakan ekonomis bila dapat menghilangkan atau mengurangi biaya yang dianggap tidak perlu; b) Efisiensi, yaitu rasio yang membandingkan antara output yang dihasilkan terhadap input yang digunakan. Proses kegiatan operasional dapat dikatakan dilakukan secara efisien apabila suatu target kinerja tertentu dapat dicapai dengan menggunakan sumber daya dan biaya yang serendah-rendahnya; dan, c) efektivitas. Yaitu merupakan kaitan atau hubungan antara keluaran suatu pusat pertanggungjawaban dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Efektivitas dalam pemerintahan dapat diartikan penyelesaian kegiatan tepat pada waktunya dan di dalam batas anggaran yang tersedia. Kedua



prinsip tersebut di atas menurut hemat penulis berkaitan erat dengan apa yang telah diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PP. No .27 Tahun 2014 bahwa; “Pengelolaan Barang Milik Negara dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas dan kepastian nilai. Artinya, bahwa setiap pengadaan barang milik negara sudah pasti akan menyerap anggaran yang begitu besar, dan tentunya anggaran tersebut berasal dari APBN, sehingga pengadaan tersebut harus jelas peruntukannya, transparan dari segi pengadaannya serta mempunyai aspek legalitas dari segi hukum. Demikian pula terhadap aspek ekonomis atas pengadaan barang milik negara tentunya harus tetap diperhatikan agar jangan sampai membebani keuangan negara. Misalnya, gedung atau bangunan yang telah dibangun seharusnya dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk tugas pokok Kementerian/ Lembaga, dan jika tidak digunakan oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan maka seharusnya dialihkan untuk Kementerian/Lembaga 153 yang tidak dikelola secara profesional sebagaimana dijumpai dalam manajemen sektor swasta, sehingga ada keinginan untuk memasukkan kerangka kerja sektor swasta ke dalam sektor publik di mana nilai-nilai akuntabilitas, profesionalisme, transparansi, dan economic of scalemenjadi kerangka kerja utmanya Setiap tahun trilyunan rupiah disediakan untuk pengadaan barang dan jasa yang akan digunakan untuk menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga.168 Namun berapa BMN hasil dari pengadaan barang dan jasa yang dapat dimanfaatkan secara efisien dan efektif, serta apakah BMN tersebut sudah bermanfaat atau tidak dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas pokok Kementerian/Lembaga.169 Pertanyaan tersebut di atas merupakan gambaran umum yang ada pada Kementerian/Lembaga yang kurang memerhatikan dan menganalisis kemanfaatan dari suatu pengadaan Barang Milik Negara, padahal Barang Milik Negara yang kurang maksimal dalam penggunaannya akan menjadi suatu pemborosan karena membebani negara baik dari segi pengadaan maupun pemeliharaan. Kondisi tersebut semakin terasa ketika negara melakukan penghematan di berbagai bidang untuk membiayai roda pemerintahan yang membutuhkan anggaran yang besar dari tahun ke tahun. Untuk menghindari pemborosan perlu diadakan pembatasan-pembatasan kebutuhan terhadap pengadaan barang dan jasa dengan menentukan secara tepat mengenai tipe dan spesifikasi barang atau jasa yang dibutuhkan oleh 168 .Media Keuangan Negara, Transparansi Informasi Kebijaka Fiskal, Voume VIII No. 71/ Juli 2013, Hal.10 169 .Ibid 154 suatu Kementerian/Lembaga melalui suatu perencanaan kebutuhan dan penganggaran, disamping mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara yang teridikasi idle. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran sebagai salah satu siklus pengelolaan Barang Milik Negara yang memegang peranan penting dalam rangka menghindari pemborosan keuangan negara adalah:170 kegiatan merumuskan rincian kebutuhan Barang Milik Negara untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang dalam rangka pencapaian efisiensi dan efektifitas pengelolaan Barang Milik Negara. Hasil perencanaan kebutuhan tersebut merupakan salah satu dasar dalam penyusunan neraca anggaran pada kementerian /lembaga. Perencanaan anggaran yang mencerminkan kebutuhan riil Barang Milik Negara selanjutnya menentukan pencapaian tujuan pengadaan barang yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah171. Pasal 9 ayat (1) PP.No.27 Tahun 2014 mengatur bahwa;172” Perencanaan kebutuhan Barang Milik Negara disusun dalam neraca kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja setelah memperhatikan ketersediaan barang milik negara yang ada dengan berpedoman pada standar barang, standar



kebutuhan, dan standar harga 170 .Op.Cit. PP.No 27 Tahun 2014, Pasal 1 Ayat (8) 171 .Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara. 172 .Pasal 9 ayat (1) PP .No. 27 Tahun 2014 155 yang ditetapkan oleh pengelola barang setelah berkordinasi dengan instansi atau dinas tekhnis terkait”. Sedangkan dalam Pasal 10 ayat (1) PP.No.27 Tahun 2014 mengatur bahwa;173 “Pengguna barang menghimpun usul rencana kebutuhanbarang yang diajukan oleh kuasa pengguna barang yang berada di bawah lingkungannya, dan selanjutnya menyampaikan usul rencana kebutuhan barang milik negara kepada pengelola barang”. Selanjutnya Pasal 10 ayat (2) PP. No. 27 Tahun 2014 mengatur bahwa;174 “Pengelola barang beserta pengguna barang membahas usul tersebut dengan memerhatikan data barang pada pengguna barang dan/atau pengelola barang untuk ditetapkan sebagai Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara (RKBMN). Perencanaan kebutuhan dan penganggaran BMN merupakan hal yang sangat penting, karena perencanaan ini memungkinkan Kementerian/Lembaga melakukan efisiensi belanja pemeliharaan dan belanja modal serta optimalisasi penerimaan melalui identifikasi potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN idle. Namun DJKN yang merupakan salah satu unit eselon satu pada Kementerian Keuangan yang diberi wewenang untuk mengelola Barang Milik Negara baru memulai perannya sebagai pengelola barang pada lingkup penggunaan Barang Milik Negara, sementara dalam lingkup perencanaan kebutuhan dan penganggaran, serta pengadaan, sampai saat ini DJKN tidak diberi wewenang apapun 173. Pasal 10 ayat (1) PP.No.27 Tahun 2014 174 . Pasal 10 ayat (2) PP. No.27 Tahun 2014 156 untuk intervensi. Hal ini berarti DJKN sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan penganggaran barang milik negara yang mengakibatkan DJKN tidak mengetahui berapa barang milik negara yang dibutuhkan oleh kementerian/lembaga, dan berapa jumlah barang milik negara yang telah dimanfaatkan oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan. Kondisi tersebut sangat memungkinkan pemborosan keuangan negara baik dari segi pengadaan maupun pemeliharaan. Proses perencanaan kebutuhan dan penganggaran Barang Milik Negara selama ini dirumuskan sendiri oleh pengguna barang (dalam hal ini adalah Kementerian/Lembaga masing-masing), dan persetujuan penganggarannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan. Implikasinya, tidak ada mekanisme kontrol yang memadai terhadap Kementerian/ Lembaga dalam merumuskan barang apa saja yang memang benar-benar Kementerian/ Lembaga itu butuhkan. Kondisi ini mengakibatkan adanya Kementerian/ Lembaga yang memiliki tanah/bangunan yang berlebih (idle) dan tidak digunakan untuk tugas dan fungsi Kementerian/ Lembaga, sementara terdapat pula Kementerian/ Lembaga yang masih menyewa ruang kerja kepada pihak ketiga. Hal ini tentu saja akan berdampak pada terjadinya inefektivitas, inefisiensi, dan tidak optimalnya pengelolaan Barang Milik Negara. Alokasi anggaran dan realisasi belanja modal dan belanja barang mengalami peningkatan selama kurung waktu 5 (lima) tahun terakhir. Belanja modal mengalami peningkatan dari Rp.29,17 (11,10%) triliun pada 157 tahun anggaran 2010 menjadi Rp. 75,87 (28,88%) trilyun pada tahun anggaran 2015. Sedangkan belanja barang juga menunjukkan peningkatan dari Rp. 32.89 (10,76%) trilyun pada tahun anggaran 2010 menjadi Rp. 80,67 (26,40%) trilyun pada tahun anggaran 2015. Peningkatan tersebut mengharuskan Kementerian/Lembaga melakukan efisiensi angaran pemeliharaan dan pengadaan BMN, dengan mengoptimalkan potensi penerimaan negara melalui pemanfaatan BMN idle yang ada pada pengguna barang.175 Pemanfaatan Barang Milik Negara sebagai cara lain untuk mengefisiensi pengeluaran negara dilakukan terhadap Barang Milik Negara idle. Pemanfaatan tersebut dapat dilakukan dengan cara menyewakannya kepada pihak ketiga atau dimanfaatkan oleh Kementerian/Lembaga yang membutuhkan, karena pada faktanya terdapat Kementerian/Lembaga yang mempunyai BMN berlebih (idle), namun terdapat pula Kementerian/Lembaga yang masih menyewa ruang kerja



kepada pihak ketiga. Untuk hal ini, pengelola barang harus menempatkan posisinya dalam mengalokasikan BMN idle kepada Kementerian/ Lembaga yang membutuhkan, sehingga Kementerian/ Lembaga yang bersangkutan tidak perlu mengalokasikan dana untuk pembangunan gedung baru. Hal ini tentu saja dapat berdampak terhadap efisiensi pengeluaran, karena selain mengurangi biaya pemeliharaan juga dapat meminimalisir pembangunan gedung baru. 175 .Hasil Penelitian Pada Kantor Pusat DJKN Jakarta, Tanggal 11 Februari 2016. 158 Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian awal penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun pengelola barang telah mengetahui mengenai adanya BMN idle, namun pengelola barang belum dapat memanfaatkan BMN idle tersebut baik dalam bentuk sewa maupun memberikannya pada Kementerian/Lembaga yang membutuhkan karena pengguna barang belum melaporkannya sebagai BMN idle, atau pengguna barang telah melaporkan kepada pengelola barang namun karena pengguna barang sudah mempunyai rencana pemanfaatan terhadap BMN idle tersebut sebelum berakhirnya tahun ketiga sejak dinyatakan terindikasi idle, maka pengelola barang harus memberikan kesempatan tersebut kepada pengguna barang. Kondisi ini tentu saja belum bisa mengefisiensi pengeluaran negara karena selain BMN idle tersebut masih membutuhkan biaya pemeliharaan, juga alokasi anggaran untuk pembangunan gedung baru tidak dapat dihindarkan. Menurut Marwan Hamdal (Kasi Pengelolaan BMN, Kantor Pelayanan Kekayan Negara Dan Lelang Makassar) bahwa:176“Seandainya pengguna barang tidak mempunyai rencanapemanfaatan terhadap BMN idle, maka pengelola barang dapat memanfaatkan BMN tersebut untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang membutuhkan, sehingga dari pemanfaatan tersebut negara dapat menghemat biaya pemeliharaan dan belanja modal untuk pembangunan gedung baru. Hal serupa juga dikemukakan oleh Edi Sugianto, (Kepala Seksi Penilaian, KPKNL Makassar) bahwa:177176 .Hasil wawancara ,Tanggal 11 Maret 2016. 177 .Hasil wawancara , Tanggal 13 Maret 2016. 159 “ Pengguna barang yang telah mempunyai rencana pemanfaatan BMN idle seharusnya mengoptimalkan pemanfaatan BMN tersebut agar dapat menghemat anggaran pemeliharaan dan belanja modal untuk pembangunan gedung baru bagi Kementerian/Lembaga yang status masih menyewa”. Data mengenai BMN idle berupa tanah dan bangunan yang sudah dilaporkan oleh pengguna barang yang ada pada 5 Kementerian/lembaga namun tidak dimanfaatkan untuk pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kementerian/Lembaga, dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:178Tabel 2: Data BMN Idle yang telah dilaporkan oleh Pengguna Barang kepada pengelola barang pada 5 (lima) Kementerian/Lembaga NoK./L Jns Bmn idle Letak Lokasi Luas/ Unit Nilai dlm RP 1 Pertahanan (AU) Tanah Jl.U.Sumiharjao 50.000 m2 5 M 2 Hkm & Ham Tnh/Bgn L.P Kls I Mks/ Jl.S.Alauddin 30.000 m2/52.4M/1.5M 3 Kesehatan Tnh/Bgn RS.Haji/ JL.A.Kadir 15.000 m2/31.2M/900.Jt 4 Agama Tnh/Bgn Kanwil Kemen. Agama 500 m2/2 1M/300 Jt 5 Perhubungan (Perhub Darat) Tanah/BgnJl.P.Kemerdekaan1000 m2/3 2 M/300 Jt Total 96.500 m2/1311.6M2/ 2.9 M Sumber: LBMN 5 Kementerian 2012-2015, diolah oleh Kementerian Keuangan Data pada tabel 2 (dua) tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 3 tahun hanya ada 5 Kementerian yang telah melaporkan adanya BMN idle, masing-masing Kementerian Pertahanan (Angkatan 178 .Sumber data, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Makassar. 160 Udara) yang memiliki BMN idle berupa tanah dengan nilai Rp 5 miliar, Kementerian Hukum Dan HAM memiliki BMN idle berupa tanah/bangunan dengan nilai Rp. 3,9 miliar, Kementerian Kesehatan memiliki BMN idle berupa tanah/bangunan dengan nilai Rp. 2,1 miliar, Kementerian Agama yang memiliki BMN idle dengan nilai Rp.1,3 miliar, Kementerian Perhubungan (Perhub.Darat) memiliki BMN idle dengan nilai Rp.2,3 miliar.



Total BMN idle berupa tanah yang ada pada 5 Kementerian adalah 96,500 m2 dengan nilai Rp.11,6 miliar, dan BMN idle berupa bangunan sebanyak 13 unit dengan nilai Rp. 2,9 miliar. Keseluruhan BMN idle tersebut masih dikuasai oleh pengguna barang, karena meskipun telah dilaporkan idle namun pengguna barang telah mempunyai rencana pemanfaatan atas BMN idle tersebut, sehingga dengan rencana itu pengelola barang tidak memasukkannya sebagai kriteria BMN idle dan memberi kesempatan kepada pengguna barang untuk memanfaatkannya sampai berakhirnya tahun ketiga sejak dinyatakan idle oleh pengguna barang dan perencanaan itu sudah ada 1 Tahun sejak dinyatakan idle. Rencana pemanfaatan yang dimaksudkan sebagaimana yang dikemukakan oleh Didin Ardiansyah, (Kasubag Umum Dinas Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan)179 adalah untuk kebutuhan kantin dan koperasi bagi pegawai Kementerian Perhubungan. Kondisi tersebut di atas sebenarnya tidak perlu terjadi, apabila DJKN sebagai pelaksana fungsional atas sebagian kewenangan Menteri Keuangan selaku pengelola barang melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b PMK No. 250/PMK. 06/2011 bahwa;36 “Pengelola barang berwenang dan bertanggung jawab untuk melakukan investigasi terhadap penggunaan dan pemanfaatan BMN yang terindikasi sebagai BMN idle.” Selanjutnya Pasal 9 ayat (1) PMK .No. 250/PMK. 06/2011 mengatur bahwa:37 “Pengelola barang melakukan pemantauan terhadap realisasi pelaksanaan perencanaan pemanfaatan sesuai klarifikasi tertulis pengguna barang/kuasa pengguna barang”. Pemantauan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 9 ayat (1) PMK. NO. 250/PMK. 06/2011, lebih lanjut diatur pada ayat (2) huruf a dan b bahwa pemantauan antara lain dilakukan melalui cara: a. Meminta laporan perkembagan realisasi pelaksanaan perencanaan, termasuk dokumen terkait yang diperlukan. b. Melakukan pemantauan secara langsung dalam bentuk peninjauan lapangan. Faktanya adalah, pengelola barang telah memberikan kewenangan dan tanggung jawab sepenuhnya kepada pengguna barang atas rencana pemanfaatan BMN idle yang dilaporkan oleh pengguna barang, sehingga dengan kewenangan tersebut pengguna barang seolah-olah memiliki kekuasan penuh atas pemanfaatan BMN idle yang ada pada Kementerian/Lembaga bersangkutan, sementara monitoring dan pengawasan dari pengelola barang tidak berjalan sebagaimana mestinya, serta tidak ada peraturan yang mengatur mengenai keharusan bagi pengguna barang untuk melaporkan segala hal yang menyangkut pemanfaatan BMN idle, sehingga rencana pemanfaatan BMN idle banyak disalahgunakan oleh pengguna barang seperti: (1) Menyewakan BMN idle tersebut kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan pengelola barang. Misalnya, BMN idle berupa tanah dengan luas 20.000 m2 milik Kementerian Pertahanan (AU) yang letaknya di JL Perintis kemerdekaan 18 Makassar,di sewakan kepada pedagang kaki lima. Demikian pula BMN idle berupa tanah dan bangunan di lingkungan eks Asrama Haji Kanwil Kementerian Agama Jl. Perintis Kemerdekaan 16 Makassar Provinsi Sulawesi Selatan, disewakan kepada Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Furqan milik Kementerian Agama. (2) Menetapkan tarif sewa yang jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari tarif yang ditetapkan dalam prosedur sewa menyewa sebagaimana yang diatur dalam PMK .No. 57/PMK. 06/2016 Tentang Tata Cara Sewa Menyewa Barang Milik Negara, misalnya, tarif sewa BMN ditetapkan sebesar Rp. 42.000.000,00, sementara tarif sewa berupa tanah yang ada di lokasi penyewaan BMN tersebut sekitar 50-55 juta pertahun dengan luas yang sama. 36 37



Op.Cit.PMK No.250/PMK.06/2011. Pasal 4 Ayat (2) huruf b Ibid.Pasal 9 Ayat (1). 184 .Ibid.ayat (2) huruf a dan b.



Artinya tarif BMN yang ditetapkan jauh lebih rendah dari harga pasar, sehingga potensi kerugian negara sangat mungkin terjadi karena penetapan harga sewa yang rendah. Atau sebaliknya menetapkan harga sewa yang jauh lebih tinggi dari harga pasar, seperti harga sewa BMN ditetapkan sebesar Rp. 100.000.000, sementara harga pasaran yang ada di lokasi penyewaan BMN tersebut sekitar 70-80 juta pertahun dengan luas yang sama, sehingga potensi kerugian negara sangat mungkin terjadi, dimana tidak ada orang yang akan menyewa karena harga sewanya jauh lebih tinggi dari harga pasar. Idealnya adalah penetapan tarif sewa seharusnya menggunakan data pasar sebagai data pembanding, dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi daerah, serta kelayakan BMN yang akan disewakan. (3) Menggunakan biaya pemeliharaan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, sehingga BMN idle yang rusak berat dibiarkan tanpa dilakukan perbaikan. Misalnya ada biaya pemeliharaan yang dianggarkan untuk BMN idle pada Kementerian/Lembaga, tetapi biaya pemeliharaan tersebut direvisi atau dipergunakan untuk kepentingan lain, seperti belanja barang atau belanja tak terduga lainnya. Kondisii tersebut menyebabkan kerugian negara yang sangat besar, karena selain BMN tersebut tidak dapat berkontribusi pada penerimaan negara bukan pajak, juga tidak mampu mengefisiensi pengeluaran keuangan negara, bahkan BMN idle tersebut tetap membebani negara dari segi pemeliharaan. Menurut hemat penulis, seharusnya pengelola barang tidak lagi memberi kesempatan kepada pengguna barang untuk merencanakan sendiri pemanfaatan BMN idle yang telah dilaporkannya, akan tetapi pengelola barang mengambil alih BMN idle tersebut untuk dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya seperti mengalihkan BMN idle kepada Kementerian/ Lembaga yang membutuhkan, ataumemanfaatkan dalam bentuk sewa kepada pihak ketiga, karena apabila pengguna barang masih diberi kesempatan untuk merencanakan sendiri atas pemanfaatan BMN idle maka pengelola barang akan kesulitan dalam melakukan kontrol terhadap BMN idle tersebut, hal ini disebabkan pengguna barang tidak transparan dalam melakukan pemanfaatan BMN idle, demikian pula jika BMN idle tersebut di sewakan kepada pihak ketiga hasilnya tidak dimasukkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan juga apabila BMN idle telah habis masa perencanaannya, ada kecenderungan pengelola barang kurang tegas untuk menarik kembali BMN idle tersebut. Optimalisasi Penerimaan Keuangan Negara Pengertian optimal dalam disertasi ini dimaksudkan, semakin banyaknya penerimaan negara yang dapat dihasilkan dari pengelolaan BMN sebagai implikasi dari optimalisasi pemanfaatan BMN yang tidak digunakan atau sedang tidak digunakan untuk pelaksanaan pelayanan tugas dan fungsi suatu Kementerian/Lembaga. Namun demikian, tidak berarti bahwa negara secara nyata mengkomersialisasi BMN, melainkan mengoptimalkan penggunaan BMN yang sudah ada dan sedang tidak digunakan dalam pelaksanaan pelayanan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dengan sekaligus mengurangi beban negara dalam memelihara dan mengamankan BMN, karena pada dasarnya efisiensi pengeluaran maupun optimalisasi penerimaan negara yang dihasilkan dalam pengelolaan BMN merupakan refleksi dari pelaksanaan fungsi pelayanan dan fungsi budgeter pengelolaan BMN. Pemanfaatan BMN idle sebagai bagian dari pengelolaan BMN sebagaimana yang diatur dalamt PP .No. 27 Tahun 2014 dimaknai sebagai pendayagunaan BMN yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, baik dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun serah guna, dan bangun guna serah dengan tidak mengubah status kepemilikan. Hal penting yang perlu diketahui dalam definisi tersebut adalah terbukanya suatu opsi bagi pemerintah dalam hal ini Kementerian/Lembaga selaku pengguna barang untuk dapat meningkatkan potensi penerimaan negara melalui salah satu bentuk pemanfaatan



BMN tersebut. Sewa menyewa BMN sebagai salah satu bentuk pemanfaatan BMN yang akan memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara merupakan suatu model dalam pelaksanaan kemitraan bisnis antara pemerintah dengan pihak swasta. Kemitraan ini ditinjau dari aspek ekonomi akan menguntungkan negara, selain berkurangnya biaya pemeliharaan atas BMN, pemerintah juga diuntungkan dengan adanya kontribusi dalam bentuk sewa, juga kontribusi dalam bentuk fasilitas sebagai hasil dari pelaksanaan sewa menyewa. Keuntungan pemerintah apabila BMN disewakan kepada pihak ketiga selain adanya pemasukan negara dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak, juga negara tidak perlu lagi mengeluarkan biaya pemeliharaan atas BMN yang bersangkutan karena seluruh biaya pemeliharaan dan pengamanan BMN akan ditanggung oleh pihak penyewa, hal ini telah diatur dalam Pasal 9 huruf c PMK.No.57/PMK.06/2016 bahwa; “Penyewa/ calon penyewa memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN yang disewa selama jangka waktu sewa.” Selanjutnya Pasal 45 ayat (3) PMK.No.57/PMK.06/2016 mengatur bahwa;” Seluruh biaya pemeliharan termasuk biaya yang timbul dari pemakaian dan pemanfaatan BMN menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pihak penyewa.” Demikian pula adanya keuntungan bagi pemerintah dari segi kontribusi yang diberikan oleh penyewa berupa fasilitas sebagai hasil dari pelaksanaan sewa BMN, karena tidak menutup kemungkinan penyewa mengubah bentuk atau menambah bangunan BMN yang disewa sesuai dengan selera atau keinginan penyewa, sehingga BMN yang semula bentuknya sangat sederhana bisa menjadi lebih mewah, dan tentunya nilai ekonomis dari BMN tersebut akan bertambah, dan perubahan atau tambahan bangunan yang dilakukan oleh penyewa menjadi BMN. Ketentuan mengena hal tersebut diatur dalam Pasal 46 ayat (1) PMK. No. 57/PMK. 06/2016 bahwa; “Selama jangka waktu sewa, penyewa atas persetujuan pengelola barang/ pengguna barang dapat mengubah bentuk BMN tanpa mengubah konstruksi dasar bangunan, dengan ketentuan bagian yang ditambahkan pada bangunan tersebut menjadi BMN.” Selanjutnya Pasal 46 ayat (2) PMK. No.57/PMK .06/2016 mengatur bahwa; “ Dalam hal pengubahan bentuk BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan adanya penambahan, bagian yang ditambahkan tersebut disertakan dalam Berita Acara Serah Terima pada akhir sewa untuk ditetapkan menjadi BMN.” Pemberian kesempatan atas pemanfaatan BMN idle kepada Kementerian/ Lembaga sebelum berakhirnya 3 tahun sejak dinyatakan idle, bertujuan agar Kementerian/Lembaga sebagai pengguna barang dapat mengoptimalkan pemanfaatan BMN idle tersebut, karena hasil dari pemanfaatan tersebut akan menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun pada saat ini, optimalisasi penerimaan negara melalui pemanfaatan BMN idle belum menjadi perhatian utama bagi Kementerian/ Lembaga, penyebabnya tidak terlepas dari belum adanya keinginan dari para pengurus BMN di tingkat Kementerian/Lembaga untuk melakukan penataan BMN idle melalui pengajuan permohonan persetujuan atas pemanfaatan BMN idle yang ada di lingkungannya kepada Menteri Keuangan dalam hal ini DJKN selaku pengelola barang. “Tidak optimalnya penerimaan negara bukan pajak dari hasi sewa BMN, disebabkan eksistensi DJKN sebagai pengelola barang milik negara masih relatif baru yang memulai perannya sebagai pengelola barang milik negara masih dalam tahap inventarisasi dan penilaian terhadap barang milik negara yang ada pada Kementerian atau lembaga.” Demikian pula mekanisme penetapan BMN idle dan upaya pemanfaatannya masih belum optimal, penyebabnya adalah BMN idle harus diserahkan kepada pengelola barang untuk dilakukan upaya pengelolaan lebih lanjut. Namun, tidak semua Kementerian/Lembaga mematuhi ketentuan ini. Seringkali terdapat BMN yang secara de facto memang idle, namun oleh Kementerian/Lembaga diklaim masih dibutuhkan untuk kegiatan operasional. Akibatnya



tentu saja BMN yang sesungguhnya idle terpaksa tidak didayagunakan oleh pengelola barang secara optimal dalam bentuk apapun. Bahkan dengan adanya pemanfaatan BMN idle justru dapat menimbulkan masalah bagi Kementrian/Lembaga yang telah melakukan pemanfaatan BMN idle tanpa persetujuan DJKN selaku pengelola barang, karena dinilai tidak memberikan kontribusi yang maksimal bagi negara serta tidak adanya kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada dibidang pengelolaan BMN. Diketahui bahwa rata-rata Kementerian/Lembaga memiliki realisasi PNBP pemanfaatan BMN-nya tidak konkruen dengan total aset tanah dan bangunan yang dimiliki, bahkan cenderung realisasi PNBP-nya kecil padahal aset tanah dan gedungnya besar. Rendahnya keuntungan yang secara langsung diperoleh dari pemanfaatan BMN idle oleh pemerintah menunjukkan bahwa pemanfaatan BMN idle dengan cara sewa belum dapat memberikan kontribusi yang optimal terhadap penerimaan negara bukan pajak. Belum optimalnya PNBP dari aktivitas pemanfaatan BMN idle dengan cara sewa disebabkan oleh karena “Kementerian/Lembaga tidak taat terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena seringkali Kementrrian/Lembaga menyewakan BMN idle dengan tarif atau prosedur yang tidak semestinya. Serta DJKN selaku pengelola barang terkesan bersifat menunggu permohonan”. “Salah satu hambatan utama dalam pemanfaatan BMN idle adalah tidak koperatifnya Kementerian/Lembaga untuk menyerahkan BMN idle kepada pengelola barang. Kementerian/Lembaga seringkali berupaya untuk menahan aset idle tersebut agar tetap berada dalam penguasaannya, dampaknya peluang untuk dilakukannya upaya pemanfaatan menjadi kecil, karena Kementerian/Lembaga dalam praktek memiliki kontrol yang amat besar terhadap pemanfaatan BMN yang ada dalam kekuasaannya, sementara pengelola barang bersifat cenderung pasif yakni baru akan bertindak apabila ada permohonan dari Kementerian/lembaga.” Dominannya Kewenangan Kementerian/Lembaga selaku pengguna barang dalam pemanfaatan BMN idle membutuhkan kontrol dan pengawasan yang memadai dari pengelola barang. Dalam mengendalikan sistem tersebut, maka salah satu alternatif agar kontrol dan pengawasan dapat berjalan adalah melalui upaya pemeriksaan secara rutin dan kontinyu, karena dari semua tahap dalam siklus pengelolaan BMN, tahap pembinaan, pengawasan, dan pengendalian merupakan hal yang paling tepat untuk menjaga agar Kementerian/Lembaga benar-benar mengoptimalkan BMN yang ada dalam kekuasaannya. Oleh karena itu, agar dapat mengoptimalisasi penerimaan negara, pemanfaatan BMN tidak cukup apabila hanya mengedepankan aspek tertib hukum, tertib administrasi, dan tertib fisik saja, tetapi harus mampu menunjang APBN,38 artinya BMN yang ada mampu memberikan pendapatan sehingga berkontribusi pada pos penerimaan dalam APBN. Peraturan tentang pemanfaatan BMN memang telah mengakomodir beberapa alternatif pemanfaatan aset seperti sewa, bangun guna serah, bangun serah guna, dan kerjasama pemanfaatan. Namun demikian, alternatif itu masih belum dilakukan secara optimal karena DJKN selaku pengelola barang terkesan bersifat menunggu permohonan. Hal yang sangat diharapkan adalah meningkatkan keuntungan dari pemanfaatan BMN idle, paling tidak, keuntungan tersebut tidak terlalu tertinggal dari sektor komersil. Oleh karena itu, menurut hemat penulis langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengoptimalkan PNBP adalah; pertama memastikan agar Kementerian/lembaga aktif dan secara patuh mendayagunakan BMN yang dimilikinya secara optimal melalui kegiatan pembinaan, pengawasan, dan 38



Media Kekayaan Negara, Mengukur Kinerja BMN Bangunan dan Gedung, Edisi No.06 Tahun II/2015. Hlm.22.



pengendalian oleh DJKN. Kedua, intensifikasi fungsi pengelolaan terhadap BMN idle, dimana DJKN rutin melakukan pemeriksaan dokumen dan fisik BMN sehingga mempertajam perannya dalam menetapkan BMN idle. Selain itu, hal lain yang perlu dilakukan adalah komersialisasi BMN idle yang memiliki manfaat ekonomi, seperti dengan menerbitkan portofolio BMN yang akan disewa, merumuskan target PNBP dari pemanfaatan BMN yang juga dapat menjadi acuan Kementerian/Lembaga dalam penetapan indikator kinerja pengelolaan BMN, serta secara aktif berupaya mendayagunakan BMN, seperti membuat papan iklan atau pengumuman untuk BMN yang akan dimanfaatkan. Keempat penghapusan BMN yang tak lagi memiliki nilai guna melalui pemindahtanganan atau pemusnahan. Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian tersebut di atas, maka teori kebijakan publik yang dikemukakan oleh Thomas Dye yang menyatakan bahwa kebijakan publik sebagai sebuah pilihan yang diambil oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, menurut hemat penulis tidak dapat dijadikan sebagai pisau analisis dalam memecahkan rumusan masalah pertama, karena teori kebijakan publik yang dikemukakan oleh Thomas Dye seolah-olah memberi kesan keraguan dan ketidakseriusan pemerintah dalam melaksanakan pemanfaatan terhadap barang milik negara, dimana pemerintah masih diberi pilihan untuk mengambil kebijakan atau tidak mengambil kebijakan, sementara dalam faktanya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemanfaatan barang milik negara belum mampu mengakomodir segala persoalan yang muncul di lapangan, sehingga mengharuskan pemerintah untuk segera mengambil kebijakan dalam mengatasi persoalan yang ada karena barang milik negara merupakan salah satu sektor yang sangat potensial dalam menyumbang APBN, sehingga pemerintah harus mempunyai kesungguhan, ketegasan dan keyakinan dalam mengurusnya. Akan tetapi apabila teori kebijakan publik beriorentasi pada sebuah keputusan dari berbagai aktor yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dikemukakan oleh William Jenkins, maka menurut hemat penulis teori tersebut tepat untuk dijadikan sebagai pisau analisis, karena Kementerian Keuangan selaku pengeloa barang dan pimpinan Kementerian/Lembaga selaku pengguna barang seharusnya mempunyai misi dan visi yang sama dalam melaksanakan pemanfaatan terhadap barang milik negara, dimana hasil dari pemanfaatan barang milik negara tersebut merupakan Penerimaan Negara Bukan pajak yang dapat disumbangkan kedalam APBN. B. Bentuk pengawasan Terhadap Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara dalam Bentuk Sewa Menyewa. 1. Pengawasan Intenal Salah satu kegiatan pengelolaan barang milik negara adalah pemanfaatan barang milik negara yang berkaitan erat dengan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga maupun Laporan Keuangan pemerintah pusat dan juga daerah, sehingga aspek-aspek yang terkait dalam pengelolaan barang milik negara sudah seharusnya menjadi perhatian penting baik bagi instansi pemerintah pusat maupun instansi pemerintah daerah.39 Terkait dengan hal tersebut, aspek pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara sebagai salah satu siklus dalam pengelolaan barang milik negara memegang fungsi strategis dan urgen dalam mengoptimalisasi pemanfaatan barang milik negara sebagai bagian dari keuangan negara. Pasal 3 PP.N0.27 Tahun 2014 Tentang pengelolaan Barang Milik Negara mengatur bahwa kegiatan pengelolaan barang milik negara meliputi kegiatan perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan dan pengawasan. Dari berbagai kegiatan tersebut beberapa kegiatan sudah memiliki aturan pelaksanaan atau aturan tekhnis yang disusun oleh 39



Makalah Pengelolaan Barang Milik Negara, disampaikan dalam RAKERNAS Ke-2 Kementerian Keuangan RI, Di Bali Tanggal 25-29 Januari 2016.hlm.4



pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Keuangan. Aturan tekhnis tersebut berbentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang memiliki lingkup mengatur instansi Pemerintah Pusat. Khusus mengenai pengawasan pemanfaatan barang milik negara diatur dalam PMK. Nomor 244/PMK.06/2012 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Barang Milik negara, yang merupakan penjabaran dari Pasal 90 sampai dengan Pasal 95 PP. No .27 Tahun 2014 yang mengatur masalah pengawasan dan pengendalian barang milik negara. Arti dari kegiatan pengawasan tidak bisa didapatkan dari Peraturan Menteri Keuangan tersebut, sehingga arti kata pengawasan hanya dapat diketahui dari beberapa referensi terkait dengan pengelolaan keuangan maupun pengelolaan barang milik negara. Pengawasan barang milik negara mengandung pengertian proses penetapan ukuran keberhasilan dan pengambilan tindakan yang mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan aturan yang berlaku dalam rangka terwujudnya manajemen aset yang baik. Intinya adalah bahwa kegiatan pengawasan merupakan proses untuk menetapkan ukuran kinerja dan mengambil tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang yang telah ditetapkan. Pengertian pengawasan barang milik negara sebagaimana yang dikemukakan di atas mengandung dua hal penting yakni sasaran pengawasan BMN dan substansi dari tujuan pengawasan BMN. Sasaran pengawasan BMN yaitu “proses penetapan ukuran keberhasilan BMN serta pengambilan tindakan yang mendukung pencapaian hasil yang diharapkan”, sedangkan substansi dari tujuan pengawasan BMN yaitu “tercapainya tujuan pengelolaan BMN yang telah ditetapkan sesuai dengan aturan yang berlaku dalam rangka terwujudnya manajemen aset”. Kegiatan pelaksanaan pengawasan barang milik negara berdasarkan PMK.Nomor 244/PMK .06/2012 dilaksanakan terhadap pengelolaan barang milik negara dan terhadap pejabat/pegawai yang melakukan pengelolaan/pengurusan barang milik negara, sehingga di dalam PMK ini dibedakan menjadi dua garis besar terkait pelaksanaan pengawasan, yaitu pelaksanaan pengawasan dalam lingkup wewenang pengelola barang, serta pelaksanaan pengawasan dalam lingkup wewenang dan kewajiban sebagai pengguna barang/kuasa pengguna barang, Kedua pelaksanaan pengawasan inilah yang dimaksud dalam disertasi ini sebagai bentuk pengawasan internal, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri, dalam hal pemanfaatan barang milik negara maka pengelola barang/ dan pengguna barang/kuasa pengguna barang sebagai pihak pengawas internal yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pemanfaatan barang milik negara, serta pengawas internal pemerintah yang berasal dari Inspektorat Jenderal (IRJEN) masingmasing Kementerian/lembaga. a. Pengawasan oleh Pengguna Barang/ Kuasa Pengguna Barang Pengguna barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik Negara. Menteri/Pimpinan lembaga selaku pimpinan Kementerian/Lembaga adalah pengguna barang milik negara berwenang dan bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan atas penggunaan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya. Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya dan selanjutnya disebut sebagai pengawas internal dalam hal pemanfaatan barang milik negara dilakukan terhadap barang milik negara yang digunakan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang milik negara dan yang digunakan sementara oleh pengguna barang lainnya, serta barang milik negara yang dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas dan fungsi pengguna barang. Pelaksanaan pemantauan atas pemanfaatan barang milik negara yang dilakukan pengguna barang/kuasa penguna barang setelah mendapatkan persetujuan dari pengelola barang, serta telah dilaksanakan sesuai dengan persetujuan dari pengelola barang. Sedangan kegiatan penertiban barang milik negara yang dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang merupakan tindakan lanjutan dari kegiatan pemantauan apabila diketahui adanya ketidaksesuaian antara pelaksanaan



pemantauan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta adanya surat permintaan penertiban barang milik negara dari pengelola barang, terkait dengan kondisi dan situasi yang didapati dalam setiap kegiatan pemanfaatan barang milik negara. Apabila saat pemantauan pengguna barang/kuasa pengguna barang mendapati kondisi-kondisi yang mengharuskan untuk melakukan tindakan yang diperlukan, maka sesegera mungkin pengguna barang/kuasa pengguna barang melaksanakan tindakan lanjutan dari pemantauan tersebut, yaitu melakukan tindakan penertiban atas kondisi yang ditemukan. Misalnya, apabila pengguna barang/kuasa pengguna barang dalam pelaksanaan pemantauan atas pemanfaatan barang milik negara menemukan kondisi seperti; bentuk pemanfaatan yang tidak sesuai dengan persetujuan pengelola barang, jenis usaha untuk sewa tidak sesuai dengan keputusan pengguna barang atau tidak sesuai dengan kontrak yang dilakukan oleh pihak ketiga, atau apabila pengguna barang menemukan bahwa pemanfaatan yang dilakukan belum mendapat persetujuan pengelola barang, maka hasil pemantauan tersebut, pengguna barang diharuskan untuk melakukan penertiban sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, dengan kata lain bahwa kegiatan penertiban dilaksanakan apabila pengguna barang mendapatkan ketidaksesuaian antara kegiatan pemanfatan barang milik negara dengan peraturan yang ada saat kegiatan pemantauan. Ada 4 (empat) tujuan utama penertiban barang milik negara, yaitu: (1) melakukan pemutakhiran pembukuan barang milik negara pada Sistem informasi Manajemen Keuangan Barang Milik Negara (SIMAK BMN), (2) mewujudkan penatausahaan Barang Milik Negara di seluruh satuan kerja (Satker) instansi Pemerintah Pusat, (3) menyajikan koreksi nilai aset tetap pada laporan keuanagan Kementerian/Lembaga, dan (4) melakukan tindak lanjut penatausahan dan pengelolaan Barang Milik Negara yang tertib dan optimal. Termasuk dalam objek penertiban barang milik negara saat ini adalah aset yang dikuasai oleh Kementerian/Lembaga, termasuk yang berada pada satker Badan Layanan Umum (BLU), seperti aset yang berasal dari dana Dekonsentrasi dan Tugas pembantuan, aset eks BPPN, aset Bank dalam Likuidasi, aset bekas milik asing/Cina, aset eks Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS), dan aset lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai barang milik negara. Arah penertiban barang milik negara adalah agar pemanfaatan barang milik negara di setiap pengguna barang menjadi lebih akuntabel dan transparan, sehingga barang milik negara tersebut mampu dioptimalkan pemanfaatannya untuk menunjang fungsi pelayanan kepada masyarakat, dan dimungkinkan fungsi budgeter dalam pemanfaatan barang milik negara agar dapat memberikan kontribusi bagi penerimaan keuangan negara. Oleh karena itu, pemanfaatan barang milik negara harus diawasi dan dikendalikan secara ketat agar tidak terjadi salah urus, kehilangan dan tidak termanfaatkan, sehingga untuk meningkatkan fungsi pengawasan tersebut peran pengawas interen pemerintah sangat penting. Tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang atas hasil pemantauan dan penertiban adalah meminta aparat pengawasan interen pemerintah dalam hal ini Inspektorat Jenderal (IRJEN) masing-masing Kementerian/Lembaga sebagai pengguna barang atau Badan Pengawas Keuangan Dan Pembangunan(BPKP) untuk melakukan audit atas hasil pemantauan dan penertiban berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku jika ditemukan adanya penyimpangan dalam hal pemanfaatan barng milik negara, dan bahkan bisa melakukan upaya hukum apabila hasil audit terbukti terdapat penyimpangan yang melibatkan pengguna barang/kuasa pengguna barang dan pengelola barang serta pihak ketiga. c. Pengawasan oleh Pengelola Barang. Pengawasan barang milik negara oleh pengelola barang yang selanjutnya juga disebut sebagai pengawas internal atas pemanfaatan



barang milik negara dilaksankan oleh Direktur jenderal, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayan Negara (Kanwil DJKN), dan Kepala Kantor Pelayanan Kekayan Negara dan lelang (KPKNL) Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Pengelola barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan barang milik negara. Apabila pelaksanaan pengawasan barang milik negara yang ada pada ranah pengguna barang lebih bertumpu pada kuasa pengguna barang, maka pengawasan dalam lingkup pengelola barang, peran Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) sangat besar, karena KPKNL merupakan unit pengelola barang yang dalam pelaksanaan tugasnya berinteraksi langsung dengan kuasa pengguna barang masingmasing Kementerian/lembaga. Khusus untuk pemanfaatan barang milik negara, yang telah mendapatkan surat penetapan/persetujuan/keputusan dari pengelola barang, maka pengawasan dilakukan oleh pihak pengelola barang yang mengeluarkan surat penetapan/persetujuan/keputusan dimaksud. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pengawasan yang dilakukan oleh pengelola barang atas pemanfaatan barang milik negara berupa pemantauan dan investigasi. Pemantauan oleh pengelola barang atas pemanfaatan barang milik negara terdiri atas pemantauan priodik yang dilaksanakan minimal 1 tahun sekali, serta pemantauan insidentil yang dilaksanakan sewaktu-waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diterima laporan tertulis dari masyarakat atau informasi dari media massa. Investigasi dapat dilakukan oleh pengelola barang, apabila dari hasil pemantauan terdapat indikasi adanya penyimpangan, investigasi tersebut dilakukan untuk mengumpulkan barang bukti atau informasi yang dapat membuat terang dan jelas mengenai suatu permasalahan untuk dilakukan penyelesaian dan penertiban, dan apabila dari hasil investigasi terdapat indikasi kerugian negara, maka Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan dapat meminta aparat pengawas interen Pemerintah untuk melakukan audit. Mekanisme pengawasan mengenai pemanfaatan barang milik negara sebagaimana yang diatur PP. No.27 Tahun 2014 jo PMK.No.244/PMK.06/2012 bahwa pengelola barang, pengguna barang/ kuasa pengguna barang adalah pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara yang ada pada kementerian/ lembaga yang dipimpinnya, dan kedua peraturan tersebut jelas mengatur mengenai kewenangan masing-masing dalam hal melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara. Akan tetapi pengawasan yang dimaksud dalam kedua peraturan tersebut hanya pengawasan internal dan bukan pengawasan eksternal, yakni pengawasan yang dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang dan pengelola barang, namun sepertinya pengawasan yang dilakukan oleh pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang sebagai pengawas internal terhadap pemanfaatan barang milik negara tidak efektif. Pengelola barang dan pengguna barang/ kuasa pengguna barang sebenarnya merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas pengawasan pemanfaatan barang milik negara, karena merekalah yang paling dekat dan paling mengetahui mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan barang milik negara yang ada pada Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya, sehingga dengan alasan itu pula undang-undang memberi kewenangan kepada pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang untuk melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara. Akan tetapi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara yang dilakukan oleh pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang tidak efektif, oleh karena pengguna barang sebagaimana yang diatur dalam PMK 244/PMK.06/2012



hanya sebatas melakukan pemantauan dan penertiban terhadap pemanfaatan barang milik negara, sementara pengelola barang hanya berwenang melakukan investigasi atas hasil pemantauan dan penertiban yang dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang tanpa adanya sanksi dan alur pertanggung jawaban yang jelas apabila hasil investigasi tersebut ternyata merugikan keuangan negara, apalagi keduanya merupakan pengguna barang milik negara sekaligus sebagai pengawas dalam pelaksanaan pengawasan atas pemanfatan barang milik negara, dimana objektivitas keduanya sangat sulit untuk dipertanggunjawabkan. Terkait dengan hal tersebut, Arifin P.Soeria Atmadja menyatakan bahwa; 40“apabila dilihat dari perspektif prinsip akuntansi yang harus berpegang teguh pada asas inkompatible , maka fungsi pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab dalam satu instansi atau lembaga akan berdampak negatif dan kontra produktif terhadap objektivitas dan efektivitas hasil pemeriksaan yang dapat mengarah pada Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme (KKN)”. Kelemahan lain terkait dengan pelaksanaan pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara menurut Andi Rivai (Kasi Pengelolaan Kekayaan Negara KPKNL Makassar) adalah: “Kelemahan dalam Pengawasan dan Pengendalian pemanfaatan barang milik negara disebabkan oleh dua hal yaitu; (1) belum adanya Surat Keputusan (SK) bagi pengawas pengelola BMN yang didukung oleh Standar Operasional Prosedur (SOP) pembukuan BMN, dan standar operasional prosedur pemanfaatan BMN. (2) alur pertanggung jawaban tidak memberikan kepastian karena laporan hasil pemantauan dan penertiban yang dilakukan pengguna barang serta laporan hasil pemantauan dan investigasi yang dilakukan oleh pengelola barang pada akhirnya dilaporkan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola barang, dimana Menteri Keuangan tidak lain adalah sebagai pengguna barang sekaligus sebagai pengelola barang, dan juga sebagai pengawas atas pemanfaatan barang milik negara.” Alternatif lain yang dapat ditempuh agar pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara berjalan secara efektif adalah dengan menerapkan model pengawasan berjenjang. Tujuan dari penerapan model pengawasan berjenjang ini adalah untuk menghilangkan segala bentuk inefisiensi dan inefektivitas dalam pelaksanaan pengawasan, karena pemeriksaan yang terlalu luas menimbulkan rentang kendali yang terlalu sulit dijangkau, meskipun dilengkapi dengan sumber daya manusia yang andal dan profesional. Akibatnya, pengawasan dan pertanggungjawabannya kemungkinan besar akan tidak efektif apalagi optimal.247 Selanjutnya kelebihan penerapan mekanisme pengawasan berjenjang adalah: 1. menjadikan pengawasan lebih efektif dan efisien Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai, melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan dapat juga mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang 40



Arifin P.Soeria Atmadja. 2000. Kedudukan Dan Fungsi BEPEKA Dalam Struktur Ketatanegaraan RI,PEMERIKSA,Majalah Triwulan BEPEKA,Jakarta, Maret 2000 No.46 hlm 11.



terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut. Oleh karena itu teori Pengawasan sebagaimana yang dikemukakan oleh George R Tery yang menyatakan pengawasan adalah proses penentuan apa yang harus dicapai, dan apa yang sedang dilakukan untuk perbaikan dalam pelaksanaan pekerjaan agar selaras dengan standar dapat dijadikan sebagai pisau analisis dalam membantu mengkaji permasalahan mengenai bentuk pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara, karena pengawasan sesungguhnya bertujuan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan berjalan sesuai dengan rencana yang digariskan dan apa kesulitan serta kelemahan-kelemahan dalam bekerja, kemudian mencari jalan keluar untuk menyelesaikannya. Kegiatan pengawasan pada umumnya dilaksanakan oleh pimpinan secara terus menerus atau berkala dalam rangka melakukan pemantauan, pemeriksaan, penilaian dan perbaikan agar bawahan dapat bekerja secara efektif, efisien, dan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari pelaksanaan pengawasan tentunya dibutuhkan suatu tekhnik yang benar. Adapaun tekhnik pengawasan yang dapat dilakukan meliputi: 41 (1) pemantauan, (2) pemeriksaan, (3) penilaian, (4) perbaikan. Hasilnya harus dapat menunjukkan sampai dimana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan barang milik negara, pengawasan merupakan salah satu cara untuk menjaga agar barang milik negara dapat dimanfaatkan secara efektif, efisien dan optimal sehingga tidak terjadi pemborosan keuangan negara. Peran pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang dalam melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara sangat menentukan karena keduanya yang paling dekat dan sangat mengetahui mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan pemanfaatan barang milik negara, namun karena posisi keduanya selain sebagai pengawas juga sebagai pengguna barang milik negara, sehingga objektifitas dan independensinya tidak dapat menjamin untuk dapat melakukan pengawasan secara optimal. Harapan satu-satunya yang masih dapat dijamin objektifitas dan independensinya adalah pengawas eksternal. Namun karena BPK merupakan satu-satunya pengawas eksternal pemerintah yang melakukan pemeriksaan terhadap tanggung jawab dan pengelolaan keuangan negara yang mempunyai jangkauan dan wewenang yang begitu luas, maka menurut hemat penulis tidak mungkin akan menghasilkan pemeriksaan atau pengawasan yang efektif dan efisien, meskipun BPK dilengkapi sumber daya manusia yang begitu banyak. Dan sejatinya pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari penyelewenagan dan penyimpangan atas tujuan yang ingin dicapai akan sangat sulit untuk dilaksanakan.



C. Tanggung Jawab Pengelola Barang dan Pengguna Barang atas Indikasi Penyimpangan Terhadap Pemanfaatan Barang Milik Negara dalam Bentuk Sewa Menyewa Tanggung Jawab yang akan dibahas dalam disertasi ini adalah tanggung jawab pengelola barang dan pengguna barang/ kuasa pengguna barang atas indikasi penyimpangan yang dilakukan terhadap pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa untuk menguji apakah ada atau tidak penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pengelola barang dan pengguna barang/ kuasa pengguna barang adalah AsasAsas Umum Pemerintahan yang baik terutama larangan penyalahgunaan kewenangan. Pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang adalah pejabat yang diberi kewenangan berdasarkan delegasi untuk melakukan pengelolaan barang milik negara dengan cara pemanfaatan dalam bentuk sewa menyewa, sehingga dengan kewenangan yang diberikan, pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang dibebani tanggung 41



www. teori pengawasan.unicom.ac.id



jawab, baik berupa tanggung jawab jabatan maupun tanggung jawab pribadi apabila dalam melaksanakan kewenangannya ternyata menimbulkan kerugian terhadap pihak lain termasuk kerugian pada negara. Adanya tanggung jawab jabatan disebabkan jabatan dilekati fungsi, tugas, dan kewenangan, sehingga dengan fungsi, tugas, dan kewenangan tersebut, maka pemikul tanggung jawab adalah jabatan (instansi) dan bukan pejabat. Pejabat berdasarkan ketentuan hukum hanya menjalankan tugas dan wewenang, dan atas dasar wewenang yang diberikan, pejabat tersebut dapat melakukan tindakan hukum, yakni tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu. Sedangkan tanggung jawab pribadi dimungkinkan apabila tindakan hukum pejabat itu mengandung unsur penyalahgunaan wewenang atau sewenang-wenang sehingga akibat hukum yang timbul dari tindakan hukum tersebut merugikan pihak lain atau subjek hukum lain, atas dasar itu maka kepada pejabat yang merugikan pihak lain dibebani tanggung jawab. Selanjutnya, asas yang mendasari tanggung jawab pemerintah adalah bahwa negara dan pemerintah berkewajiban menjamin dan melindungi hak-hak warga negara, sedangkan asas yang mendasari pemberian ganti rugi oleh pemerintah adalah bahwa pemerintah tidak boleh melakukan tindakan yang merugikan warga negara. Pengecualian dari asas ganti rugi ini adalah misi publik yang diemban pemerintah, dalam arti pemerintah tidak dibebani kewajiban memberikan ganti rugi ketika tindakan yang dilakukan itu dalam rangka melaksanakan tugas-tugas publik atau kepentingan umum yang didalamnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pemberian ganti rugi dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut. Sedangkan tanggung jawab pribadi dimungkinkan ketika pejabat yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas dan wewenang jabatan menyimpang atau bertentangan dengan norma hukum tertulis atau norma hukum tidak tertulis, atau bahkan secara sadar telah melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) karena dipengaruhi oleh berbagai faktor dan kepentingan baik kepentingan sendiri, keluarga, korporasi, maupun kepentingan lainnya yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau pihak lain, sehingga atas dasar perbuatan melanggar hukum itu menimbulkan hak gugat bagi pihak yang dirugikan. Dalam hal pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa, pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang sebagai pejabat yang diberi kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan diindikasikan telah menyalahgunakan kewenangannya dalam melakukan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Adanya kerugian negara sebagai akibat penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan barang milik negara tampak jelas bahwa yang dimanfaatkan adalah barang milik negara yang perolehannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan yang melakukan pemanfaatan adalah pejabat negara dalam hal ini adalah pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang sebagai wakil pemerintah yang diberi kewenangan untuk melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara. Sedangkan kerugian negara itu sendiri sebagaimana yang diaturi Pasal 1 angka 22 UU .No. 1 Tahun 2004 adalah;”kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Oleh karena itu, apabila pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang melakukan penyalahgunaan kewenangan dan bertindak secara subjektif dengan maksud menguntungkan diri sendiri, kelompok atau golongan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, maka kepadanya dibebankan tanggung jawab pribadi karena telah melakukan perbuatan melanggar



hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1365 BW bahwa;”Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”Bahkan dalam Pasal 99 ayat (1) dan (2) PP.No.27 Tahun 2014 mengatur bahwa; (1) Setiap kerugian negara akibat kelalaian, penyalahgunaan atau pelanggaran hukum atas pengelolaan barang milik negara diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap pihak yang mengakibatkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) terhadap laporan hasil pemeriksaan atas pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa Tahun Anggaran 2010 sampai dengan semester 1 Tahun 2014, ditemukan Indikasi penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang dalam pelaksanaan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa dengan kasus sebagai berikut: 1. Pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa atas aset tetap yang telah dicatat oleh Sekertaris Jenderal Kementerian Agama (Setjen Kemenag) berupa bangunan koperasi seluas 144 m2 senilai Rp.38.200.000,00,- dan bangunan kantin seluas Rp.606.000.000,00,- yang terletak di JL. Inspeksi kali Ciliwung dan bukan merupakan aset Kementerian Agama. Kedua bangunan tersebut telah dimanfaatkan untuk kegiatan usaha, yaitu koperasi dan kantin, namun tidak dilengkapi dengan perjanjian sewa menyewa atas pemanfaatan barang milik negara tersebut. Hasil pemanfaatan atas biaya sewa bangunan ditarik oleh Koperasi Pegawai Kementerian Agama dari pihak-pihak penyewa dan tidak disetorkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 2. Pemanfaatan barang milik negara melalui sewa menyewa atas aset tetap berupa gedung/bangunan tahun 2014 milik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Syarif Hidayatullah) pada 16 lokasi untuk keperluan kantin, cafetaria, koperasi, dan usaha foto copy. Pemanfaatan barang milik negara tersebut diikat dengan surat perjanjian sewa yang berlaku Januari sampai dengan Desember 2013. Hasil cek fisik tanggal 11 September 2014 menunjukkan bahwa dari 16 lokasi yang disewakan, 15 lokasi yang belum didukung surat perpanjangan perjanjian sewa tahun 2014 dengan nilai sewa pertahun sebesar Rp.45.000.000,00,- dan diantaranya terdapat 13 lokasi yang biaya sewanya belum dibayar oleh penyewa sehingga belum disetorkan ke kas negara sebagai PNBP. 3. Perjanjian sewa tanah untuk Anjungan Tunai Mandiri (ATM) BNI seluas 92 m2 pada Kantor Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Makassar, Sulawesi Selatan dengan nilai sewa per tahun senilai Rp.45.000.000,-. Perjanjian sewa tersebut tidak di dukung dengan perjanjian sewa antara pengguna barang dalam hal ini Kementerian 208 terlalu rendah, PNPB dari pemanfaatan tidak disetor ke Kas Umum Negara. Sehingga total kerugian negara mencapai Rp.109,33 miliar. 7. Hasil Pemanfaatan terhadap Gedung Balai Sudirman yang terletak di JL.Dr.Saharjo Jakarta Selatan dan Lapangan Golf oleh Denma Mabes TNI-Ad tidak disetor ke Kas Umum Negara sebagai PNBP 8. Pemanfaatan barang milik negara berupa sewa terhadap tanah seluas 316 m2 untuk usaha futsal oleh Mabes TNI Jl.Warung Buncit Raya No.301 Jakarta Selatan yang tidak didukung dengan perjanjian sewa, dan hasil sewa tidak



masuk ke Kas Umum Negara sebagai PNBP. Rekomendasi BPK kepada pengguna barang atau pengelola barang atas hasil temuannya adalah sebaga berikut: 1. BPK memerintahkan agar pengguna barang dalam melaksanakan kewenangan dan tanggung jawabnya dalam pengajuan permohonan penyewaan barang milik negara kepada Menteri Keuangan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Dan penerbitan keputusan pelaksanaan sewa barang milik negara setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan selaku pengelola barang. 2. BPK memerintahkan para petugas yang ditunjuk oleh pengguna barang dalam pemanfaatan barang milik negara supaya memedomani ketentuan tentang pemanfaatan barang milik negara, termasuk dalam pemanfaatan PNBP hasil penyewaan barang milik negara yang digunakan langsung oleh pengelola barang sebesar Rp.2.271.966.612,00,- miliar serta memungut dan menyetorkan PNBP sebesar Rp.388.558.000,00,- ke Kas Umum Negara. Hasil temuan BPK, kemudian diikuti dengan pemberian rekomendasi oleh BPK kepada pengelola barang atau pengguna barang, karena kondisi tersebut di atas sangat tidak sesuai dengan PP.No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara khususnya Pasal 4,6, dan 7 209 yang mengatur tentang tanggung jawab dan kewenangan pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang. Juga kejadian tersebut di atas, telah melanggar Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57/PMK.06/16 Tentang Tata Cara Sewa Barang Miik Negara antara lain Pasal 8 yang mengatur tentang kewenangan dan tanggung jawab Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna barang. Selain itu, pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa yang dilakukan oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga selaku pengguna barang, juga melanggar Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas Dan Fungsi Kementerian/ Lembaga. Adanya pelanggaran terhadap ketiga peraturan tersebut di atas, Jika diklasifikasi maka setidaknya ada 4 jenis temuan yang menjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara. Pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kesalahan dalam melakukan pencatatan barang milik negara.Kementerian Agama melalui Sekertaris Jenderal Kementerian Agama sebagai pengguna barang, telah mencatat aset yang diakui miliknya dalam daftar inventaris barang berupa bangunan koperasi seluas 144 m2 dengan nilai Rp. 38.200.000,00,- dan bangunan kantin seluas 300 m2 senilai Rp. 606.000.000,00,-. Namun ternyata aset tersebut bukan 210 aset dari Kementerian Agama berdasarkan hasil investigasi dari Kementerian Keuangan selaku pengelola barang melalui bidang pengelolaan Barang Milik Negara.256Kondisi tersebut diakui oleh Kepala Seksi Pengelolaan Barang Milik Negara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta IV Sigit Wibowo yang menyatakan bahwa; ”Kesalahan yang sering terjadi pada Kementerian/Lembaga terhadap pencatatan barang milik negara dalam daftar inventarisasi barang, karena adanya informasi yang salah mengenai jenis, jumlah, dan status barang milik negara.257 Kondisi tersebut, juga menyebabkan para Menteri/ Pimpinan Lembaga sering salah dalam mengambil keputusan dan perlakuan yang menyimpang. Menurut Suryanto, mantan Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara dan Sistim Informasi (PKNSI), sebagaimana dilansir oleh Koran tempo,19 Juli 2015 menyatakan;258“Pengambilan keputusan yang salah terjadi karena Menteri/Pimpinan Lembaga menerima informasi yang tidak akurat mengenai barang milik negara yang berada dalam penguasaannya sehingga menimbulkan proses pengambilan keputusan menjadi tidak tepat. Ketidak akuratan informasi tersebut bisa bersumber dari bottom level management dimana informasi yang diberikan kepada top level management tidak benar, informasi yang tidak benar itu dapat menyangkut jenis, jumlah, dan status aset. Sedangkan perlakuan



menyimpang muncul karena keinginan menguasai barang milik negara untuk dijadikan milik pribadi. Informasi atas barang milik negara dibuat tidak benar dengan cara merekayasa informasi seperti barang milik negara yang tidak tercatat atau tercatat tapi status dan kondisinya dilaporkan tidak benar, sehingga membuka peluang bagi oknum-oknum tertentu untuk mengambil alih barang milik negara tersebut. Kondisi ini bisa lebih diperparah jika pimpinan tidak mengambil langkah-langkah strategis dan tepat dalam pengamanan barang milik negara, lebih ironis lagi jika oknum pimpinan ikut terliabt di dalamnya”. 256 .Hasil Penelitian Pada Kantor KPKNL Jakarta, tanggal, 10 Februari 2016 257 .ibid.Hasil Penelitian 258 .Koran Tempo,19 Juli 2015 211 Pemberian informasi yang salah mengenai jenis, jumlah, dan status barang milik negara, sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pengguna barang taat pada ketentuan mengenai pengelolaan barang milik negara, seperti yang diatur dalam Pasal 84 ayat (2) PP.No 27 Tahun 2014 bahwa;259“Pengguna barang/kuasa pengguna barang harus melakukan pendaftaran dan pencatatan barang milik negara yang status penggunaannya berada pada pengguna barang/ kuasa pengguna barang ke dalam daftar barang pengguna/daftar barang kuasa pengguna menurut penggolongan dan kodefikasi barang.” Selanjutnya dalam Pasal 85 ayat (1) PP.No.27 Tahun 2014 diatur bahwa; “pengguna barang melakukan Inventarisasi barang Milik Negara paling sedikit 1 (kali) dalam 5 (lima) tahun”. Sementara ayat (2)mengatur bahwa; “ pengguna barang menyampaikan laporan hasil Inventarisasi kepada pengelola barang paling lama 3 (tiga) bulan setelah selesainya inventarisasi”.260 Jadi tujuan dilakukannya pendaftaran dan inventarisasi adalah, agar pengguna barang/kuasa pengguna barang mengetahui jenis, jumlah, dan status barang milik negara terutama yang menjadi kewenangan dan penguasaannya. Oleh sebab itu, menurut Sigit Wibowo (Kasi Pengelolaan Barang Milik Negara KPKNL Jakarta IV) bahwa261; ”agar tidak terjadi kesalahan informasi, maka setiap pengguna barang/kuasa pengguna barang hendaknya selalui memperbaharui data mengenai jenis, jumlah, dan status barang milik negara yang berada dalam penguasaannya, karena jika terjadi kesalahan data, akibatnya akan 259 . Pasal 84 ayat (2) PP.No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara i260 .Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2) PP.No.27 Tahun 2014. 261 .Hasil wawancara, tanggal 27 April 2015 212 berpengaruh pada pengambilan keputusan dalam pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk apapun”. 2. Barang Milik Negara yang dimanfaatkan dalam bentuk sewa tidak termasuk dalam kriteria barang milik negara idle. Yang dimaksud barang milik negara idle menurut Pasal 1 angka 2 PMK.No.250/PMK.06/2011 adalah; Barang Milik Negara yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang berupa tanah dan/ atau bangunan.262Selanjutnya kriteria barang milik negara idle sebagaimana yang diatur oleh Pasal 3 PMK.No.250/PMK.06/2011 adalah; barang milik negara yang sedang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, atau barang milik negara yang digunakan tetapi tidak sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, sehingga apabila dalam suatu Kementerian/Lembaga terdapat barang milik negara yang masuk dalam kriteria barang milik negara idle,sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 tersebut di atas, maka pengguna barang wajib menyerahkan barang milik negara idle tersebut kepada pengelola barang untuk ditetapkan mengenai status penggunaan, pemanfaatan, atau pemindahtanganan atas barang milik negara idle tersebut. Jadi barang yang dapat dimanfaatkan dalam bentuk sewa adalah barang milik negara yang termasuk dalam kriteria barang milik 262 .Pasal 1 angka 2 PMK.No.250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas Dan Fungsi Kementerian/Lembaga. 213 negara idle, dan telah diserahkan kepada pengelola barang. Adapun terhadap barang milik negara yang telah dimanfaatkan dalam bentuk sewa oleh pengguna barang, menurut Sigit Wibowo (Kepala Seksi Pengelolaan Barang Milik Negara Kantor Pelayanan Kekayaan



Negara dan Lelang Jakarta IV), bahwa;263“jika memang barang milik negara yang telah dimanfaatkan dalam bentuk sewa oleh pengguna barang masuk dalam kriteria idle, maka sudah pasti tercatat dalam laporan rekapitulasi hasil inventarisasi dari Kementerian/Lembaga yang disampaikan kepada pengelola barang, akan tetapi hasil temuan BPK tersebut setelah dilakukan pemantauan dan investigasi oleh pengelola barang, diketahui belum tercatat pada laporan rekapitulasi hasil inventarisasi pengelola barang, dan juga belum ada bukti berita acara serah terima antara pengelola barang dan pengguna barang mengenai barang milik negara yang telah dimanfaatkan oleh Kementerian yang bersangkutan”. Jadi barang milik negara yang telah dimanfaatkan dalam bentuk sewa oleh Kementerian berdasarkan hasil temuan BPK, bukan termasuk kriteria barang milik negara idle, dan tidak seharusnya dimanfaatkan oleh pengguna barang dalam bentuk apapun seperti sewa menyewa, kerja sama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna. 3. Pengguna barang telah melakukan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa tanpa persetujuan pengelola barang. Barang milik negara yang akan dimanfaatkan oleh pengguna barang dalam bentuk sewa harus dengan persetujuan pengelola barang. Oleh karena itu, apabila pengguna barang hendak melakukan pemanfaatan barang milik negara yang ada dalam penguasaannya, maka harus 263 .Op. Cit. Hasil wawancara. 214 memperhatikan ketentuan Pasal 8 ayat (1) PMK.No.57/PMK.06/2016 Tentang Tata Cara Sewa Barang Milik Negara bahwa:264(1) Menteri/ Pimpinan Lembaga selaku pengguna barang memiliki kewenangan dan tanggung jawab: a. mengajukan permohonan persetujuan sewa BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan atau BMN selain tanah dan/atau bangunan kepada pengelola barang; b. menerbitkan keputusan pelaksanaan sewa BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan atau BMN selain tanah dan/atau bangunan, setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang; c. melakukan sewa BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan atau BMN selain tanah dan/atau bangunan, setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang; d. menandatangani perjanjian sewa BMN berupa sebagian tanah dan/ atau bangunan atau selain tanah dan/atau bangunan, setelah mendapat persetujuan pengelola barang; e. melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan sewa berupa sebagian tanah dan/ atau bangunan atau selain tanah dan/ atau bangunan; f. melakukan penatausahaan BMN yang disewakan; g. melakukan penyimpanan dan pemeliharaan dokumen pelaksanaan sewa; h. menetapkan ganti rugi dan denda yang timbul dalam pelaksanaan sewa BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan atau BMN selain tanah dan/atau bangunan; i. melakukan penatausahaan atas hasil dari sewa BMN; Fakta dari hasil temuan BPK menunjukkan bahwa ternyata pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk 264 .Op.Cit. Pasal 8 215 sewa belum mendapat persetujuan dari pengelola barang. Hal ini dapat dibuktikan adanya kejanggalan yang terjadi di lapangan seperti, pelaksanaan sewa yang tidak didukung dengan perjanjian sewa secara tertulis antara pengguna barang dan pihak penyewa, padahal dalam Pasal 11 ayat (1 ) huruf b PMK.No.57/PMK.06/2016 mengatur bahwa;265”penyewaan barang milik negara dituangkan dalam perjanjian yang ditandatangani oleh penyewa dan pengguna barang untuk BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang status penggunaannya berada pada pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang”. Selanjutnya dalam Pasal 29 ayat (8) PP.No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara mengatur bahwa;266’Sewa barang milik negara dilaksanakan berdasarkan perjanjian, yang sekurang-kurangnya memuat: a. Para pihak yang terikat dalam perjanjian; b. Jenis, luas, atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu; c. Tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu sewa; d. Hak dan kewajiban para pihak. Selain itu, uang sewa tidak dibayarkan sekaligus oleh penyewa kepada pengguna barang sebagai pihak penyewa, melainkan diangsur sesuai dengan



kesepakatan, padahal dalam Pasal 12 ayat (1) PMK. No.57/PMK.06/2016 jelas mengatur mengenai pembayaran sewa 265 .Pasal 11 ayat (1) huruf b PMK.NO.57/PMK.06/2016 266 .Pasal 29 ayat (8) PP.No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara bahwa;”pembayaran uang sewa dilakukan secara sekaligus paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan perjanjian”.267 Artinya, uang sewa tidak boleh diangsur dan harus langsung di setor ke kas umum negara. 4. Hasil Pembayaran uang sewa tidak disetorkan ke Kas Umum Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pasal 29 ayat (9) PP.No.27 Tahun 2014 mengatur bahwa;268”Hasil sewa barang milik negara merupakan penerimaan negara dan seluruhnya wajib disetorkan ke rekening Kas Umum Negara”. Selanjutnya Pasal 29 ayat (10) PP. No.27 Tahun 2014 mengatur bahwa;269”Penyetoran uang sewa harus dilakukan sekaligus secara tunai paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum ditandatanganinya perjanjian sewa barang milik negara”.Artinya ada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi oleh pihak penyewa sebelum menandatangani perjanjian sewa, yaitu” (1) menyetor uang sewa sekaligus secara tunai ke Kas umum negara, (2) penyetoran uang tersebut dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan perjanjian sewa. Keharusan untuk menyetorkan uang sewa tersebut ke Kas Umum Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak diatur pula dalam UU.No.20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Pasal 4 bahwa;270“ Seluruh Penerimaan Negara 267 .Pasal 12 ayat (1) PMK.No.57/PMK.06/2016. 268268 .Pasal 29 ayat (9) PP.No.27 Tahun 2014 269 .ibid ayat (9) 270 .Pasal 4 UU.No.20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukann Pajak. 217 Bukan Pajak wajib disetor ke Kas Negara.” Jadi ada 2 (dua) pelanggaran dalam pelaksanaan pemanfaatan barang milik negara yang dilakukan oleh pengguna barang, yaitu tidak menyetorkan hasil sewa barang milik negara ke Kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak dan menerima hasil sewa tidak sekaligus secara tunai dari penyewa. Adanya temuan BPK terhadap indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh pengguna barang dalam memanfaatkan barang milik negara dalam bentuk sewa apabila ditinjau dari norma pemerintahan dan norma perilaku aparat mengandung cacat hukum. Cacat hukum apabila ditinjau dari norma pemerintahan karena tidak sesuai dengan prosedur, dimana tindakan yang dilakukan oleh pengguna barang melanggar berbagai peraturan perundang-undangan berkenaan dengan pemanfaatan barang milik negara. Sedangkan cacat hukum apabila ditinjau dari norma prilaku aparat karena mengandung unsur maladministrasi yang berupa penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir), mencakup diskriminasi yang tidak adil, tindak kekerasan, menyesatkan warga masyarakat mengenai hak-haknya, tidak memberitahukan secara layak tentang hak-haknya atau tidak menjelaskan alasan-alasan yang mendasari keputusan, kesewenang-wenangan, dan penyalahgunaan kewenangan”.271 Sedangkan cacat hukum karena tidak sesuai dengan prosedur dapat diartikan sebagai suatu ketidaksempurnaan atau 271 .S.A De.Smith.1973 Constitutional And Administrative Law, Second Edition, Penguin Education, England. Hlm.629. 218 ketidaklengkapan hukum, baik suatu peraturan, perjanjian, kebijakan atau suatu hal lainnya.272 Oleh karena itu menurut hemat penulis, tindakan atau perbuatan pemerintah yang mengandung cacat hukum karena kesalahan prosedur sehingga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ataupun cacat hukum karena mengandung unsur maladministrasi berupa penyalahguaan kewenangan membawa konsekuensi tanggung jawab pribadi yang dapat melahirkan hak gugat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Secara hukum, Terdapat 3 (tiga) bentuk tanggung jawab pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang atas dugaan penyimpangan yang dilakukan dalam melaksanakan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa yang diindikasikan sebagai kerugian pada keuangan negara. Tanggung Jawab tersebut adalah; Tanggung Jawab menurut hukum administrasi, Tanggung Jawab menurut hukum perdata, dan



Tanggung Jawab menurut hukum pidana. 1. Tanggung Jawab menurut Hukum Administrasi Pemanfaatan barang milik negara adalah pendayagunaan barang milik negara yang tidak digunakan untuk penyelenggaran tugas dan fungsi Kementerian/lembaga atau optimalisasi barang milik negar dengan tidak mengubah status kepemilikan. Salah satu bentuk pemanfaatan barang 272 . Yahya Harahap.2006, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.16 219 milik negara adalah dalam bentuk sewa, yaitu, pemanfaatan barang milik negara oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai.273 Pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa hanya dapat dilakukan terhadap barang milik negara idle, yaitu barang milik negara yang sedang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, atau barang milik negara yang digunakan tetapi tidak sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerin/Lembaga.274 Kegiatan pemanfaatan barang milik negara idledalam bentuk sewa yang terkait langsung dengan bidang hukum administrasi adalah mengenai prosedur dan tata cara pelaksanaan sewa barang milik negara yang intinya mengatur tugas pengelola barang dan pengguna barang selaku pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara, serta hak dan kewajiban pihak penyewa. Oleh karena prosedur dan tata cara sewa melibatkan dua pihak, yakni pengelola barang/ pengguna barang dan pihak penyewa, maka hukum administrasi negara mengatur hubungan hukum keduanya mulai dari proses pengajuan sewa oleh penyewa kepada pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguan barang sampai dengan menetapkan keputusan pelaksanaan penyewaan oleh pengelola barang. Dalam proses tersebut, pengelola barang dan pengguna barang bertindak sebagai pejabat negara yang mewakili negara sebagai badan hukum, dan bukan mewakili negara sebagai individu atau 273 .Pasal 1 ayat (10) dan (11) PP.No 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara. 274 .Pasal 3 PMK.No.250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara pengelolaan Barang Milik Negara Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas Dan Fungsi Kementerian/Lembaga. 220 pribadi, sehingga semua keputusan yang dikeluarkan dalam proses tersebut merupakan keputusan pejabat negara atau publik. Mengingat bahwa keputusan pengelola barang dan pengguna barang merupakan keputusan pejabat negara, maka apabila ada pihak yang dirugikan seperti pihak penyewa atau masyarakat, akibat dikeluarkannya keputusan tersebut, maka dapat mengajukan gugatan pembatalan secara tertulis atas keputusan tersebut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi, sebagaimana diatur dalam pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha negara, yaitu: “Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi”. Jadi apabila mengacu pada Pasal 53 UU.No.9 Tahun 2004, pihak yang memikul tanggung gugat terhadap gugatan atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan pengelola barang dan pengguna barang sebagai pejabat negara dalam kapasitas selaku wakil badan hukum ditujukan pada badan hukumnya, yaitu badan hukum pemerintah. Dengan kata lain, badan hukum dibebani tanggung gugat atas hal yang dilakukan organ-organnya, bilamana organ dalam kedudukannya sebagai organ itu telah melakukan perbuatannya demi menunaikan tugas yang diberikan 221 kepadanya, atau dalam lingkungan formil dari wewenangnya.275Akan tetapi organ yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi, bilamana organ tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan statuta atau peraturan rumah tangga badan hukum, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan sikap kecermatan yang seharusnya dilakukan terhadap pihak yang dirugikan.276 Terhadap temuan



BPK yang mengandung indikasi kerugian negara yang dilakukan oleh pengelola barang dan pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa, secara administrasi dapat mengacu pada UU.No.15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan UU.No 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pasal 10 ayat (1) UU.No.15 Tahun 2006 mengatur bahwa; “Badan Pemeriksa Keuangan menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”. Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (2) mengatur bahwa; “penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK”. Sedangkan Pasal 10 ayat (3) 275 .Ridwan HR,2014, Diskresi Dan Tanggung Jawab Pemerintah, FH UII Press, Yogyakarta, hlm.170 276. Ibid Ridwan HR, hlm 171 223 rekomendasi yang telah ditindaklanjuti tersebut, tentunya BPK tidak perlu lagi melakukan pemeriksaan investigatif untuk mengungkap lebih jauh adanya unsur pidana di dalamnya, dan tentunya BPK tidak perlu lagi melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum untuk selanjutnya dilakukan penyidikan.277 Kecuali dalam waktu 60 hari ternyata rekomendasi BPK tidak ditindaklanjuti dalam bentuk pengembalian kerugian negara oleh para pihak sebagaimana disebutkan dalam rekomendasi BPK, Maka berlaku Pasal 64 ayat (1) UU.No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan; ”Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara dapat dikenakan sanksi adminstratif dan/atau sanksi pidana”. Berarti jika lewat batas waktu 60 hari tidak selesai ditindak lanjuti maka BPK akan melakukan pemeriksaan investigatif dan hasilnya dilaporkan kepada penegak hukum. 2. Tanggung Jawab menurut Hukum Perdata Hukum perdata mengatur hubungan hukum antara pengguna barang dengan pihak penyewa sejak penandatanganan surat perjanjian sewa sampai dengan berakhirnya perjanjian sewa. Dalam proses ini pihak yang menyewakan barang milik negara adalah negara yang diwakili oleh pemerintah dalam hal ini pengguna barang atau pengelola barang, sedangkan pihak penyewa adalah; Badan Usaha Milik Negara, Badan 277 . Pasal 8 ayat (3),(4) UU.No.15 Tahun 2006 Tentang BPK. 224 Usaha Milik Daerah, Swasta, Unit penunjang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan/negara, dan Badan Hukum lainnya. Pengertian sewa menyewa berdasarkan Pasal 1548 BW adalah; “Suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu.” Sedangkan sewa barang milik negara menurut Pasal 1 angka 11 PP.No.27 Tahun 2014 dan Pasal 1 angka 7 PMK.No.57/PMK.06/2016 adalah;”pemanfaatan barang milik negara oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai”. Berdasarkan definisi tersebut, maka jelas terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, dimana pihak yang satu dan pihak yang lainnya setuju untuk melaksanakan sesuatu seperti yang telah diperjanjikan. Atas dasar perjanjian itu pula, membuat para pihak merasa diikat satu sama lain, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak untuk memenuhi janji tersebut. Apabila mencermati prosedur dan tata cara sewa barang milik negara sebagaimana yang diatur dalam PP.No. 27 Tahun 2014 dan PMK.No.57/PMK.06/2016, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara sewa barang milik negara dengan sewa menyewa pada umumnya, karena sewa menyewa pada umumnya para pihak bebas menentukan kehendakanya, sedangkan pada sewa menyewa barang milik negara terdapat prosedur baku yang akan menentukan sah 225 atau tidaknya perjanjian yang dilakukan oleh pengelola barang atau pengguna dengan pihak penyewa, dan syarat baku itu harus ditaati oleh keduanya, seperti pada penyewaan



barang milik negara yang ada pada pengelola barang, penyewaan baru dapat dilaksanakan apabila pengelola barang telah melakukan penelitian mengenai kemungkinan penyewaan barang milik negara yang ada dalam pengelolaannya yang didasarkan pada kebutuhan pengelola barang untuk melakukan penyewaan, dan kemungkinan kelayakan penyewaan berdasarkan permintaan pihak penyewa. Sedangkan penyewaan barang milik negara yang ada pada pengguna barang baru dapat dilaksanakan apabila telah diketahui dan disetujui oleh pengelola barang. Demikian pula terhadap penyewa, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti; membayar uang sewa secara sekaligus paling lambat 2 hari kerja sebelum ditandatanganinya surat perjanjian sewa, membayar seluruh biaya-biaya yang timbul dari perjanjian termasuk biaya pemeliharaan, biaya yang timbul dari pemakaian dan pemanfaatan, serta penyewa bersedia untuk tidak menggunakan barang milik negara yang disewakan untuk peruntukan selain dari yang telah ditetapkan pengelola barang atau pengguna barang sesuai dengan perjanjian sewa. Yang pasti adalah bahwa keduanya harus tunduk pada ketentuan yang mengatur mengenai sewa menyewa barang milik negara, dan keduanya harus mengetahui dan memahami mengenai syarat-syarat baku yang telah ditetapkan, sehingga keduanya pun tidak salah dalam melakukan kesepakatan, karena tujuan 226 dilakukannya penyewaan adalah tidak lain hanya untuk mengoptimalkan pemanfaatan barang milik negara yang belum atau tidak dipergunakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara, serta mencegah penggunaan barang milik negara oleh pihak lain secara tidak sah. Oleh karena itu, penyewaan barang milik negara dilakukan sepanjang tidak merugikan negara dan tidak mengganggu pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara. Jadi intinya adalah, baik pengguna barang atau pengelola barang sebagai pihak yang menyewakan maupun siapa saja yang bertindak sebagai pihak penyewa wajib melakukan pengamanan dan pemeliharaan terhadap barang milik negara yang disewakan agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang dalam pemanfaatan maupun penggunaan barang milik negara. Selain syarat baku yang telah disebutkan di atas, kedua belah pihak yakni pengelola barang atau pengguna barang sebagai pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa, juga harus memperhatikan ketentuan Pasal 1320 BW yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, yang intinya harus memuat mengenai adanya kesepakatan, kecakapan, hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Khusus syarat kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak, maka tidak terjadi perjanjian. Akan tetapi, walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat kemungkinan bahwa kesepakatan yang 227 telah dicapai tersebut mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut.278 Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut, akibat hukum yang dimaksud adalah hak dan kewajiban antara keduanya, atau dengan kata lain apa yang menjadi hak bagi penyewa akan menjadi kewajiban bagi yang menyewakan, demikian pula sebaliknya apa yang menjadi kewajiban penyewa tentunya akan menjadi hak bagi pihak yang menyewakan. Oleh karena itu, agar hak dan kewajiban tersebut dapat diakui secara hukum, maka harus pula dilaksanakan sesuai dengan hukum. Terkait dengan fakta dari hasil temuan BPK atas pelaksanaan sewa menyewa barang milik negara, apabila hendak mengetahui mengenai pihak yang bertanggung jawab apabila ada kerugian negara, dan apakah penyewa mempunyai hak untuk menggugat atas kerugian yang dideritanya berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata atau dengan alasan onrechtmatige overheidsdaad yang dilakukan oleh pengguna barang selaku pihak yang menyewakan jika tiba-tiba dilakukan pemutusan perjanjian. Untuk mengetahui hal itu, maka yang pertama harus dinilai adalah apakah ketika dilakukan perjanjian pengguna barang bersama dengan



pihak penyewa telah melaksanakan standar baku yang berlaku atas penyewaan barang milik negara, dan 278 .Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak & Perancangan Kontarak, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.17 228 apakah keduanya telah mematuhi syarat sah perjanjian sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1320 BW. Jika menganalisis fakta dari hasil temuan BPK sebagaimana yang telah diuraikan di atas, nampak bahwa pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa tidak mematuhi prosedur dan tata cara sewa barang milik negara sebagaimana yang diatur dalam PP.No.27 Tahun 2014 dan PMK.No.57/PMK.06/2016. Terhadap penyewaan tersebut, selain melanggar prosedur dan tata cara sewa barang milik negara, juga telah melanggar Pasal 1320 BW tentang syarat sah perjanjian khususnya pada syarat objektif, dan sebagai konsekuensinya pelaksanaan perjanjian yang dilakukan oleh pengguna barang dengan pihak penyewa menjadi batal demi hukum, artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, dengan demikian pihak penyewa tidak dapat menuntut pengguna barang sebagai pihak yang menyewakan atas kerugian yang dideritanya, baik dalam kapasitas pengguna barang sebagai wakil dari badan hukum maupun dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Akan tetapi tuntutan ganti rugi terhadap pengguna barang atas penyimpangan yang dilakukan tetap harus diproses, dan jika terbukti melakukan kesalahan maka pengguna barang harus bertanggung jawab untuk mengembalikan seluruh kerugian negara berdasarkan Pasal 1365 BW. Selain tuntutan ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 BW, Penyelesaian kerugian negara diatur pula dalam Pasal 59 ayat (2) 229 dan (3) UU. No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 59 ayat (2) mengatur; “bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat laian yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut” Selanjutnya, Pasal 52 ayat (3) mengatur; Setiap pimpinan kementerian negara/ lembaga/ kepala satuan kerja perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun. Pengaturan mengenai penyelesaian ganti kerugian tersebut diatur lebih lanjut oleh Pasal 62 ayat (1), dan Pasal 63 UU.No1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 62 ayat (1) mengatur; pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, dan Pasal 63 mengatur; pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/ pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota. 3. Tanggung Jawab menurut Hukum Pidana. Dalam hukum pidana, parameter tanggung jawab pidana adalah asas kesalahan, yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld).279 Dalam doktrin, untuk adanya kesalahan harus melakukan perbuatan hukum, mampu bertanggung jawab, perbuatan itu 279 .Amiruddin,2010, Korupsi Dalam Pengadaan Barang Dan jasa, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm.94. 230 dilakukan dengan sengaja atau kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf.280Namun dalam praktik, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa konstruksi, parameter ini tidak mutlak harus terpenuhi semua, seperti unsur mampu bertanggung jawab. Oleh sebab itu, parameter untuk adanya tanggung jawab pidana dalam pengadaan barang dan jasa adalah melakukan perbuatan melawan hukum dan melakukan penyalahgunaan wewenang, dan penyalahgunaan wewenang ini hanya dapat dilakukan oleh pejabat atau badan pemerintah.281 Paket undang-undang tentang keuangan negara, yaitu UU. No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan UU.No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, serta UU.No.15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan



tanggung Jawab Keuangan Negara, mengatur dengan jelas mengenai sanksi pidana terhadap penyimpangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU.No.17 Tahun 2003 mengatur: (1) Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undangundang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai ketentuan undang-undang. (2) Pimpinan unit organisasi Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang 280 . ibid., hlm 96 281 .Russel Butarbutar,2015, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah,Gramata Publishing, Bekasi, hlm.174. 232 menegaskan; ”apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, ketentuan tersebut disyaratkan adanya terlebih dahulu pemeriksaan investigatif oleh BPK yang menemukan adanya indikasi pidana terhadap perbuatan yang merugikan keuangan negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13 UU.No.15 Tahun 2004, dan terhadap ketentuan Pasal 13 tersebut terdapat pertentangan dengan Pasal 8 ayat (3) UU.No.15 Tahun 2006 Tentang BPK, yang mengatur bahwa; “dalam hal pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut, dan ayat (4) mengatur, laporan BPK tersebut dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Artinya tidak diperlukan pemeriksaan lain berupa pemeriksaan investigatif jika ternyata hasil pemeriksaan BPK ditemukan adanya indikasi pidana terhadap kerugian keuangan negara, karena pemeriksaan investigatif dilakukan berkenaan adanya dugaan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU. No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU. No. 31 Tahun 1999. Adanya pertentangan dari bunyi pasal kedua undang-undang tersebut di atas, berdampak pada kebijakan yang berkaitan dengan 233 pengembalian kerugian negara. Hal ini diakui oleh Ngakan Putu Tagel, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Sulawesi Selatan, Barat, Dan Tenggara (KANWIL DJKN SULSEBARTRA), berdasarkan hasil wawancara, Tanggal 4 April 2016 mengatakan;283“selama ini yang ditempuh oleh DJKN dalam menyikapi laporan hasil pemeriksaan BPK apabila ada indikasi kerugian negara akibat adanya penyimpangan yang dilakukan oleh pengguna barang maupun pengelola barang adalah fokus pada pengembalian kerugian negara, disamping pemberian hukuman disiplin berat yaitu pemberhentian, dan untuk sanksi pidana, sampai saat ini belum ada yang diproses ke pengadilan. salah satu alasannya adalah adanya multitafsir dalam UU.No.1 Tahun 2004, UU.No.15 Tahun 2004, dan UU,No,15 Tahun 2006 dalam hal pemberian sanksi. Selain ketiga paket undang-undang tentang keuangan negara yang disebutkan di atas, tanggung jawab pidana terhadap kerugian keuangan negara juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diantaranya Pasal 423 KUHP mengatur; “Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Selanjutnya dalam Pasal 345 KUHP mengatur; “Seorang pejabat yang dengan langsung maupun tidak langsung sengaja turut serta dalam pemborongan, penyerahan atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian, dia ditugaskan untuk mengurus dan mengawasinya, diancam dengan



pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak delapan belas ribu rupiah”. 283 .Hasil wawancara dengan Ka.Kanwil Sulselbartara, Tanggal 4 April 2016 234 Masih terkait dengan sanksi pidana atas kerugian negara sebagai akibat dari penyimpangan yang dilakukan oleh pengelola barang atau pengguna barang atas pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 TentangTindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR), BAB II Pasal 2 ayat (1) mengatur;284”setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat ) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Selanjutnya Pasal 3 UU. No. 31 Tahun 1999 mengatur;285“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 4 UU. No .31 Tahun 1999 mengatur; ”pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3. Adanya berbagai aturan yang mengatur mengenai sanksi pidana atas kerugian negara sebagai akibat adanya indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh pengelola barang atau pengguna barang, dapat dijadikan 284 .Pasal 2 Ayat (1) UU.No.31 Tahun 1999. Tentang Tindak Pidana Koripsi 285 .Pasal 3 UU.No.31 Tahun 1999 235 sebagai pintu masuk bagi aparat penegak hukum untuk melakukan bebagai tindakan baik berupa pengamanan, pengusutan, maupun penyelidikan atas adanya indikasi penyimpangan terhadap pemanfaatan barang milik negara. Ketiga bentuk pertanggungjawaban yang telah dikemukakan di atas, apabila dikaitkan dengan tanggung jawab pengelola barang dan pengguna barang atas indikasi penyimpangan terhadap pemanfaatan barang milik negara pada faktanya cenderung tidak terlaksana dengan baik terutama dalam hal tanggung jawab pidan, karena sampai saat ini Indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh pengelola barang dan pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara dalam bentuk sewa belum ada yang diproses sampai ke pengadilan. Hal ini disebabkan kewajiban administrasi pengelola barang dan pengguna barang yang diindikasikan melakukan penyimpangan atas pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa dianggap sudah selesai apabila yang bersangkutan telah menindaklanjuti rekomendasi dari laporan hasil pemeriksaan BPK berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Demikian pula terhadap pertanggungjawaban perdata, jika pengelola barang telah mengembalikan seluruh kerugian keuangan negara akibat penyimpangan yang dilakukan berdasarkan Pasal 1365 BW, Pasal 59 ayat (2) dan (3) UU. No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, maka dianggap pertanggung jawaban perdatanya telah selesai, sehingga dengan terlaksananya kedua 236 pertanggungjawaban tersebut, maka kepada pengelola barang dan pengguna barang tidak perlu lagi dilaporkan atas dugaan melakukan tindak pidana korupsi. Jika mengacu pada 3 paket undang-undang tentang keuangan Negara, yakni UU. No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU. No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dan UU. No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan tanggung Jawab keuangan Negara, serta peraturan lain seperti Pasal 345, dan Pasal 423 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU. No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU .No. 31 Tahun 1999, maka tidak ada alasan bagi aparat penegak hukum untuk tidak memproses secara pidana terhadap



indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh pengelola barang dan pengguna barang atas pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa, karena dalam praktek yang dilakukan selama ini adalah jika yang bersangkutan telah mengembalikan kerugian keuangan negara, maka kewajibannya dianggap telah selesai, dan kepada yang bersangkutan tidak dilaporkan lagi kepada pihak yang berwenang (aparat Penegak hukum). Padahal pengembalian keuangan negara merupakan pintu masuk bagi aparat penegak hukum untuk memproses lebih lanjut mengenai ada atau tidaknya tindak pidana yang dilakukan oleh pengelola barang atau pengguna barang sebagai pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa. 237 Teori tanggung jawab hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisis tentang kesediaan dari subjek hukum atau pelaku tindak pidana untuk memikul biaya atau kerugian atau melaksanakan pidana atas kesalahannya maupun karena kealpaannya. Teori ini dikembangkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa seorang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi bila perbuatannya bertentangan. Teori tanggung jawab hukum dijadikan sebagai pisau analisis dalam membahas rumusan masalah ketiga dalam disertasi ini, atas dasar pembagian tanggung jawab yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam teori tradisionalnya yang membagi pertanggung jawaban menjadi dua yaitu pertanggung jawaban individu dan pertanggung jawaban kolektif. Menurut Hans Kelsen pertanggung jawaban individu adalah pertanggung jawaban terhadap pelanggaran yang dilakukan sendiri, sedangkan pertanggung jawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Terhadap pembagian pertanggungjawaban seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam teori tradisionalnya, jika dikaitkan dengan pertanggung jawaban atas penyimpangan terhadap pemanfaatan barang milik negara yang dapat merugikan keuangan negara dapat dibebankan kepada pengguna barang dan pengelola barang secara pribadi dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara yang diberi kewenangan untuk 238 melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara jika dalam pelaksanaan pemanfaatan barang milik negara tersebut telah melakukan tindakan diluar dari kewenangannya. Akan tetapi tindakan pengelola barang dan pengguna barang dapat dipertanggungjawabkan oleh jabatannya jika telah melakukan tindakan sesuai dengan kewenangan yang diberikan. 239 BAB VPENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Pemberian kesempatan kepada pengguna barang atas rencana pemanfaatan BMN idle sebelum 3 (tiga) tahun sejak dinyatakan terindikasi idle belum efektif, efisien, dan optimal, sehingga belum dapat berkontribusi terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal tersebut disebabkan oleh karena pengelola barang memberikan kewenangan penuh atas rencana pemanfaatan barang milik negara idle kepada pengguna barang, sehingga dengan kewenangan tersebut pengguna barang memiliki kekuasaan penuh atas barang milik negara yang ada pada Kementerian/ Lembaga yang dipimpinnya, disamping itu tidak ada peraturan yang mengatur mengenai keharusan bagi pengguna barang untuk melaporkan adanya barang milik negara idle, karena sampai saat ini Kementerian Keuangan selaku pengelola barang masih fokus pada inventarisasi barang milik negara sehingga terkesan mengabaikan pemanfaatannya. Teori kebijakan publik tidak dapat dijadikan sebagai pisau analisis dalam memecahkan rumusan masalah pertama, karena 241 sebagai pisau analisis dalam membantu mengkaji permasalahan mengenai bentuk pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara, karena pengawasan sesungguhnya bertujuan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan berjalan sesuai dengan rencana yang



digariskan dan apa kesulitan serta kelemahan-kelemahan dalam bekerja, kemudian mencari jalan keluar untuk menyelesaikannya 3. Paket Undang-Undang tentang Keuangan Negara dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya telah cukup untuk memproses pengguna barang dan pengelola barang terhadap indikasi penyimpangan atas pemanfaatan barang milik negara idle yang dapat merugikan keuangan negara, sehingga tanggung jawab keduanya dapat dilakukan dalam tiga bentuk yaitu; tanggung jawab menurut hukum administrasi, tanggung jawab menurut hukum perdata, dan tanggung jawab menurut hukum pidana. Teori tanggung jawab hukum dijadikan sebagai pisau analisis dalam membahas rumusan masalah ketiga dalam disertasi ini, atas dasar pembagian tanggung jawab yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam teori tradisionalnya yang membagi pertanggung jawaban menjadi dua yaitu pertanggung jawaban individu dan pertanggung jawaban kolektif B. Saran 1. Agar pemanfaatan barang milik negara idle dapat efektif, efisien, dan optimal, hendaknya kewenangan pengguna barang atas 242 rencana pemanfatan BMN idle dibatasi, karena dengan kewenangan tersebut pengguna barang memiliki kekuasaan penuh atas pemanfaatan barang milik negara, mengakibatkanKementerian Keuangan sebagai pengelola barang kehilangan fungsinya untuk melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara. 2. Oleh karena luasnya jangkauan dan kewenangan yang dimiliki BPK dalam melakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadappemanfaatan BMN sebagai bagian dari tanggung jawab pemeriksaan dan pengelolaan keuangan negara, Hendaknya BPKP dan IRJEN diberi kewenangan khusus sebagai pengawas eksternal yang independen dalam melakukan pengawasan terhadappemanfaatan BMN. 3. Hendaknya aparat penegak hukum lebih aktif menindak pejabat yang diduga melakukan penyimpangan atas pemanfaatan barang milik negara, karena paket Undang-Undang tentang Keuangan Negara dan peraturan perundang-undangan lainnya telah cukup dijadikan sebagai payung hukum untuk memproses adanya indikasi penyimpangan atas pemanfaatan barang milik negara.