Keadilan Dalam Ekonomi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEADILAN DALAM EKONOMI Tulus Tambunan Kadin Indonesia-JETRO, 2006 I. Pendahuluan Salah satu dari tiga pilar kekuatan yang mempengaruhi keadaban publik adalah sektor ekonomi atau kominitas bisnis, dan fairness atau keadilan menjadi kunci dalam kegiatan poros kedua ini karena menyangkut masalah pembagian barang dan jasa yang terbatas kepada semua orang. Dasar teori ekonomi adalah bagaimana setiap orang memaksimalkan keuntungan atau kegunaan atau memenuhi kebutuhannya dari barang dan jasa yang terbatas. Penekanan dalam paradigma ini adalah “maksimalisasi” dan “terbatas”. Bagi seorang konsumen atau pengguna barang dan jasa, tingkat kegunaan diukur dengan tingkat kepuasan, kesehatan, kenyamanan, keamanan, atau kesejahteraan. Misalnya, dengan anggaran yang terbatas, seseorang berusaha mendapatkan rumah baru yang memberinya kenyamanan yang paling maksimum. Sedangkan bagi seorang penghasil barang dan jasa atau produsen, tingkat kegunaan diukur dengan tingkat profit atau pendapatan. Dengan pendidikan yang dimilikinya, setiap orang akan mencari pekerjaan yang memberikannya pendapatan paling tinggi, atau dengan modal dan tenaga kerja yang ada, seorang produsen berusaha membuat barang atau jasa sebaik mungkin agar menghasilkan keuntungan paling tinggi baginya. Karena kelangkahan selalu muncul dalam ekonomi (atau dalam kehidupan manusia secara umum), kekayaan atau kepemilikan barang dan jasa tidak pernah bisa dilepaskan dari keadilan. Keadilan atau ketidakadilan tidak akan menjadi suatu masalah apabila barang dan jasa atau sumber daya yang ada berlimpah hingga tidak ada harganya, seperti air laut, angin dan mata hari, atau apabila di suatu wilayah yang sangat luas dan sangat kaya akan sumber daya alam hanya ada segelintir manusia. Semakin langka barang dan jasa atau sumber daya (sementara, jumlah penduduk bertambah terus), semakin besar masalah distribusi, yang berarti semakin besar masalah keadilan di dalam ekonomi. Keadilan juga merupakan suatu topik penting dalam etika. Seperti yang dapat dikutip dari Bertens (2000) sebagai berikut: sulit sekali untuk dibayangkan orang atau instansi yang berlaku etis tetapi tidak mempraktekkan keadilan atau bersikap tak acuh terhadap ketidakadilan (hal.85). Dari sudut pandang ekonomi adalah menyangkut etika bisnis, karena bisnis adalah kegiatan ekonomi. Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah tukar-menukar, jualbeli, memproduksi-memasarkan, bekerja-mempekerjakan, dan interaksi lainnya dengan tujuan memperoleh keuntungan. Dari sudut pandang ekonomi, bisnis yang bagus adalah bisnis yang menghasilkan keuntungan paling besar. Namun, etika bisnis menjadi relevan pada saat bisnis dinilai dari sudut pandang moral. Misalnya, demi mengejar keuntungan sebesar mungkin, sebuah perusahaan membayar upah sangat murah kepada pekerjapekerjanya, atau agar produktivitas dapat ditingkatkan perusahaan tersebut mengganti tenaga manusia dengan mesin atau robot sehingga mem-phk-kan semua buruhnya. Kadin Indonesia-Jetro, 2006



1



www.kadin-indonesia.or.id



Dari uraian singkat diatas didapat suatu gambaran yang jelas bahwa keadaban publik dilihat dari aspek ekonominya adalah menyangkut pendistribusian secara adil barang dan jasa ke semua orang sesuai proporsinya masing-masing. Ketidakadilan dalam ekonomi terjadi dalam berbagai aspek, mulai dari ketimpangan dalam pembagian tanah pertanian, kesempatan kerja, sistem penggajian hingga kesempatan mendapatkan pendidikan. Semua ini akhirnya bermuara pada kemiskinan. Dalam kata lain, ketidakadilan dalam ekonomi erat kaitannya dengan masalah kemiskinan dan kesenjangan. Adalah mustahil untuk mengatakan bahwa suatu bangsa sangat beradab apabila di negara tersebut sebagian besar penduduknya sangat miskin, buruh sangat tertindas, sebagian besar petaninya adalah petani gurem, dan banyak industri mengerjakan buruh anak-anak yang dibayar sangat murah (eksploitasi anak-anak).



II. Etika Bisnis dan Keadilan. Bisnis adalah kegiatan ekonomi, atau ekonomi adalah kegiatan bisnis. Dari sudut pandang ekonomi, bisnis yang baik adalah yang selalu menghasilkan keuntungan besar. Di dalam teori produsen (teori ekonomi mikro), dikatakan bahwa setiap pengusaha mencari keuntungan sebesar mungkin dengan biaya seminimum mungkin. Maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi, dan ini merupakan cita-cita, atau dasar dari perkembangan kapitalisme liberal yang tumbuh pesat sejak era merkantilisme pada abad ke 18 lalu. Ini juga yang mendorong negara-negara di Eropa Barat melakukan ekspansi ke Afrika, Timur Tengah dan Asia, seperti halnya Belanda ke Indonesia yang diawali dengan misi dagang dari V.O.C. yang akhirnya menjajah Indonesia. Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, maka dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Karena, setiap perusahaan/pengusaha akan berproduksi dengan cara mengeksploitasi pekerja-pekerjannya; kalau bisa tidak mengeluarkan satu senpun biaya yang berarti buruhburuhnya tidak digaji. Hingga saat ini banyak sekali kasus yang dapat dilihat yang merefleksikan dasar pemikiran bisnis kapitalis. Beberapa contoh dapat disebut di sini. Pertama, salah satu atau bahkan dapat dikatakan sebagai motivasi utama dari perusahaan-perusahaan di negara-negara industri maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara sedang berkembang adalah mencari tenaga kerja murah. Kedua, banyak perusahaan di Indonesia lebih suka memakai buruh lepas atau kontrakan daripada pegawai tetap demi keuntungan perusahaan. Ketiga, banyak perusahaan-perusahaan di sektor industri manufaktur di Indonesia dan dibanyak negara lainnya melakukan subcontracting dengan pemasok-pemasok skala kecil, bukan karena ingin berbagi keuntungan dengan mereka melainkan untuk mengurangi biaya produksi dan sekaligus menggeser resiko bisnis akibat perubahan pasar secara tiba-tiba ke para pemasok-pemasok tersebut. Sedangkan dari sudut pandang moral, bisnis yang selalu membuat keuntungan besar tidak selalu dianggap sebaga bisnis yang bagus, apabila keuntungan tersebut didapat dengan cara ketidakmanusiaan seperti misalnya Kadin Indonesia-Jetro, 2006



2



www.kadin-indonesia.or.id



membayar upah yang sangat murah atau dengan cara penipuan, misalnya memakai bahan baku yang rendah kualitasnya tanpa pengetahuan konsumen, seperti dalam kasus tahu dengan memakai bahan pengawet formalin. Kasus formalin ini merupakan satu contoh konkrit dari suatu sikap pengusaha/pelaku bisnis yang telah melanggar etika dalam bisnis atau yang umum disebut etika bisnis. Tetapi apakah etika bisnis itu sendiri? Menurut Keraf (1998) etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yang luas, Keraf mengatakan bahwa etika ..........dapat dirumuskan sebagai refleksi krisis dan rasional mengenai: (a) nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia; dan mengenai (b) masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima. (hal.15). Jadi, secara sederhana etika bisnis dapat dirumuskan sebagai cara-cara yang baik, yang manusiawi dalam melakukan bisnis, atau melakukan bisnis sesuai norma-norma moral yang umum diterima. 1 Masalah etika bisnis tidak hanya pada tingkat pengusaha/perusahaan secara individu, tetapi juga pada tingkat nasional, baik yang dilakukan oleh masyarakat secara umum atau pemerintah. Yang dilakukan oleh masyarakat, misalnya penjualan dan pembelian kaset bajakan seperti yang terjadi dalam kasus kaset musik hasil Live Aid yang dipimpin oleh Bob Geldof dan diselenggarkan serentak di stadion F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat, dan di stadion Wembley di London, Inggris, pada 13 Juli 1985. Konser amal ini bertujuan untuk mengumpulkan dana untuk membantu korban kelaparan di Ethiopia, Afrika. Beberapa waktu kemudian muncul kaset-kaset rekaman konser tersebut di sejumlah negara di Timur Tengah dan juga di Indonesia. Di Indonesia, kaset-kaset tersebut mencantumkan made in Indonesia, dan bahkan ada yang memakai pita cukai Indonesia. Menurut berita dari Tempo (14 dan 12 Desember 1985), diperkirakan ada 10 perusahaan rekaman di Indonesia yang terlibat di dalam pembajakan kaset tersebut. Sedangkan pelanggaran etika bisnis yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini bisa dilihat misalnya adalah dalam kasus pembagian lahan pertanian. Walaupun Indonesia memiliki Undang-Undang Agraria dan UUD 1945 Pasal 33 menekankan keadilan dalam ekonomi, sejak pemerintahan Orde Baru hingga saat ini tidak ada usaha mencegahan terhadap “perampasan” tanah milik petani oleh masyarakat kaya. Akibatnya, seperti yang akan dibahas nanti, berdasarkan Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 (paling akhir), jumlah keluarga tani tanpa lahan atau dengan lahan kurang dari 0,5 hektar (disebut petani gurem) meningkat terus. 1 Menurut Keraf (1998), ada tiga norma umum. Pertama, norma sopan santun, atau yang juga disebut norma etiket, adalah norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah manusia, misalnya menyangkut sikap dan perilaku seperti bertamu, makan dan minum, bicara, berpakaian, dll. Kedua, norma hukum, yakni norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, norma moral, yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia yang baik dan adil. Norma moral ini digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai baik buruknya atau adil tidaknya suatu sikap atau tindakan manusia di dalam suatu masyarakat.



Kadin Indonesia-Jetro, 2006



3



www.kadin-indonesia.or.id



Jadi, dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa bicara etika bisnis adalah bicara soal kegiatan bisnis yang tidak merugikan salah satu pihak atau menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Keraf (1998), ada tiga sasaran dan lingkup pokok etika bisnis. Pertama, etika bisnis sebagai etika profesi 2membahas berbagai prinsip, kondisi, dan masalah yang terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Sasaran kedua dari etika bisnis adalah untuk menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas sebagai pemilik aset umum seperti lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis siapa pun juga. Ketiga, etika bisnis pada tingkat makro, yakni berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Secara konktrit, etika bisnis ini atau disebut juga etika ekonomi berbicara soal praktek-praktek monopoli, oligopoli, kolusi, dan semacamnya yang snagat mempengaruhi tidak saja sehat-tidaknya suatu ekonomi tetapi juga baik tidaknya praktek-praktek bisnis di suatu negara. Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa etika bisnis sebenarnya adalah bicara mengenai keadilan, dan dalam hal ini adalah keadilan distributif. Menurut Bertens (2003), berdasarkan keadilan ini negara atau pemerintah harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat. Konkritnya dalam aspek sosialekonomi adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan dengan pendapatan yang baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya “keadilan membagi”. Ketidakadilan muncul apabila misalnya pemerintah mengistimewakan orang-orang tertentu yang tidak mempunyai hak khusus, seperti misalnya dalam mendapatkan proyek-proyek pembangunan atau izin impor seperti banyak terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Nepotisme adalah salah satu cara untuk melanggar keadilan distributif. Sedangkan menurut Keraf (1998), prinsip dasar keadilan distributif adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap adil bagi semua warga negara. Dengan kata lain, keadilan distributive menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-hasil pembangunan. (hal. 142). Tetapi sekarang pertanyaannya adalah: apa yang menjadi dasar pembagian yang adil itu, apakah sama rata atau sesuai peran dan sumbangan masingmasing orang? Dalam menjawab pertanyaan ini, Bertens (2000) melihat pada beberapa teori keadilan distributif. Pertama, teori egalitarianisme yang mengatakan bahwa pembagian bisa dikatakan adil jika semua orang mendapat bagian yang sama. Jadi, dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa membagi dengan adil berarti membagi rata. Jika ada satu orang kebagian lebih kecil, maka pembagian belum sepenuhnya adil. Pemikiran ini juga merupakan keyakinan umum masyarakat Perancis dalam revolusinya menumbangkan monarki absolut dan feodalisme pada abad ke 18 dan revolusi Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence pada tahun 1776 yang menegaskan ”All men are created equal”. Pemikiran ini juga yang melandasi sistem pemilihan umum dibanyak 2 Keraf (1998) menjelaskan ada empat prinsip etika profesi. Pertama, prinsip tanggung jawab, baik terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya, maupun atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Kedua, prinsip keadilan, yakni dalam melakukan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya. Ketiga, prinsip otonom, yaitu kalangan profesional diberikan kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Keempat, prinsip integritas moral, yakni kalangan profesional dituntut untuk melakukan tugas profesinya sesuai norma-norma yang ada (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya).



Kadin Indonesia-Jetro, 2006



4



www.kadin-indonesia.or.id



negara-negara maju dengan sistem ”one person one vote”. Kedua, teori sosialistis yang memilih prinsip kebutuhan setiap orang sebagai dasar pemikirannya. Menurut teori ini, kehidupan masyarakat adil, jika kebutuhan semua warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Secara konkret, sosialisme terutama memikirkan masalah-masalah pekerjaan bagi kaum buruh dalam konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme mengenai keadilan, dikenal dua prinsip, yakni bagaimana beban atau hal-hal yang berat harus dibagi, yakni hal-hal yang menuntut pengorbanan dari semua warga masyarakat, dan bagaimana hal-hal yang enak untuk diperoleh harus diberikan sesuai kebutuhan. Contoh dari prinsip pertama tersebut misalnya adalah setiap warga punya hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, termasuk orang-orang cacat, namun orang-orang yang menyandang cacat badan harus diberi pekerjaan yang cocok dengan kemampuan mereka, tidak seberat beban yang diberikan kepada pekerja-pekerja dengan kondisi tubuh yang prima. Sedangkan contoh dari prinsip kedua itu adalah misalnya gaji atau upah dikatakan adil jika sesuai dengan kebutuhan pekerja. Ketiga, teori liberalistis yang menganggap pembagian atas dasar kebutuhan sebagai cara yang tidak adil. Menurut teori ini, pembagian harus didasarkan pada usaha-usaha bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang tidak berusaha tidak mempunyai hak pula untuk memperoleh sesuatu. Jadi yang bekerja keras mendapat lebih banyak dibandingkan yang malas bekerja. Jadi, penekanan dari teori ini adalah prestasi yang dilihat sebagai perwujudan pilihan bebas seseorang. Tentu ada masalah serius dengan teori ini, pada saat seseorang tidak bisa berprestasi karena cacat atau orang yang menganggur diluar kemauannya sendiri, dan sebagainya. Dua teori pertama tersebut dalam prakteknya mempunyai masalah, terutama dalam ekonomi. Dalam teori pertama, ini artinya upah yang diterima seorang buruh pabrik sama dengan pendapatan dari pimpinan perusahaan. Walaupun seseorang berprestasi jauh lebih bagus dibandingkan orang lain, gaji mereka tetap sama, dan ini tentu sesuatu yang tidak adil. Demikian juga masalah dengan teori kedua. Keadilan distributif yang dianut oleh ekonomi sosialis adalah di mana semua orang dijamin kebutuhan ekonominya secara relatif sama terlepas dari sumbangan dan peran atau prestasinya bagi kehidupan bersama atau perusahaan. Ini pun sistem distribusi yang tidak adil, karena setiap warga akan diberi jatah sesuai dengan kebutuhan hidupnya, sekalipun prestasinya sangat rendah. Jadi, sistem pembagian sama rata malahan menimbulkan ketidakadilan.3 Keadilan distributif sering juga dianggap sebagai kata lain dari keadilan sosial, walaupun banyak yang tidak sependapat dengan ini. Misalnya, von Hayek (1995) menolak pemakaian istilah “keadilan sosial”. Menurutnya, keadilan sosial harus dibedakan dengan keadilan distributive. Menurut Magnis-Suseno (1986, 87) dan Brrtens (1997, 2000), cara yang paling baik untuk menguraikan keadilan sosial adalah membedakannya dengan keadilan individual. Dua macam keadilan ini berbeda, karena pelaksanaannya berbeda. Bertens (2000) menjelaskan sebagai berikut: Pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa juga 3



Lihat lebih lanjut pembahasan mengenai adil tidaknya keadilan distributif berdasarkan pembagian sama rata di Keraf (1993, 1998).



Kadin Indonesia-Jetro, 2006



5



www.kadin-indonesia.or.id



beberapa orang) saja. Dalam pelaksanaan keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja tidak berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung dari struktur-struktur masyarakat di bidang sosial-ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Keadilan sosial tidak terlaksana, kalau struktur-struktur masyarakat tidak memungkinkan. Karena itu di sini orang berbicara juga tentang ketidakadilan struktural dan kemiskinan struktural. (hal.92). Menurut Bertens (1997, 2000), jika keadilan artinya adalah memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan dan hak-hak sosial lainnya, maka keadilan sosial terwujud, bila hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terlaksana, bila hak-hak individual terpenuhi. Lebih lanjut, Bertens (2000) menjelaskan Keadilan individual sering kali dapat dilaksanakan dengan sempurna. Karena kompleksitas masyarakat modern, keadilan sosial tidak pernah dapat dilaksanakan dengan sempurna. Setiap perubahan dalam masyarakat, seperti misalnya dinaikkannya pajak, bisa mengakibatkan ketidakadilan struktural untuk golongan tertentu. ............Keadilan sosial merupakan cita-cita yang bisa dihampiri semakin dekat, tapi tidak pernah bisa direalisasikan dengan sempurna. (hal.93-94). Jadi yang dimaksud di sini adalah bahwa di satu masyarakat atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik dari pada di masyarakat lain, seperti misalnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara Skandinavia yang pelayanan sosialnya sangat baik. Tetapi praktis tidak ada satu masyarakat atau negara pun di mana tidak ada masalah keadilan sosial.



III. Ekonomi Berazas Pancasila Keadilan dalam ekonomi juga pada dasarnya merupakan peradaban ekonomi Indonesia yang dibangun atas asas Pancasila. Diantara lima sila, sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sila kemanusian yang adil dan beradab, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tiga sila yang sifatnya paling asasi. Dari sini muncul ungkapan yang sudah menjadi baku “masyarakat yang adil dan makmur”. Dua pengertian ini tidak bisa dilepaskan, melainkan saling melengkapi satu sama lain dan bersama-sama mensyaraktan kehidupan masyarakat Indonesia yang baik



Keadilan tidak akan tercapai jika tidak tersedia barang yang cukup untuk memenuhi



kebutuhan hidup semua warga, sedangkan di sisi lain, kemakmuran tidak akan menjamin tercapainya keadilan jiga barang yang tersedia tidak dibagikan secara merata keseluruh warga masyarakat (Bertens, 2000). Keadilan dalam ekonomi sering dikaitkan dengan pengertian demokrasi ekonomi. Menurut Hatta, untuk mencapai rakyat adil sejahtera diperlukan selain demokrasi politik juga demokrasi ekonomi yang berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi ekonomi seperti ini yang cocok dengan kehidupan asli masyarakat Indonesia yang biasa bermusyawarah untuk mufakat (Karman, 2006). Keadilan dalam perekonomian Indonesia juga ditegaskan di dalam pidato Supomo dalam penyusunan naskah persiapan UUD 1945, seperti yang dikutip dari Suwarno (1993), Dalam negara yang berdasarkan integralistik, Kadin Indonesia-Jetro, 2006



6



www.kadin-indonesia.or.id



yang berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem “sosialisme negara” (staatssocialisme). Perusaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh negara sendiri, akan tetapi pada hakekatnya negara yang akan menentukan dimana dan dimasa apa dan perusahaan apa yang akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan lepada sesuatu badan hukum prive atau kepada seseorang, itu semua tergantung dari pada kepentingan negara, kepentingan rakyat seluruhnya.…… Begitupun tentang hal tanah. Pada hakekatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yang penting untuk negara akan diurus oleh negara sendiri. Melihat sifat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat pertanian, maka dengan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hidup dari kaum tani dan negara harus menjaga supaya tanah pertanian itu tetap dipegang oleh kaum tani. Dalam lapangan ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan djuga oleh karena kekeluargaan itu sifatnya masyarakat Timur, yang harus kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong menolong, sistem koperasi hendaknya dipakai sebagai salah satu dasar ekonomi Negara Indonesia (hal. 105-106). Di dalam UUD 1945, kehidupan masyarakat dalam bidang sosial-ekonomi diatur oleh pasal-pasal 27 ayat 2, pasal 33, dan pasal 34. Dinyatakan di dalam pasal-pasal tersebut bahwa setiap warganegara Indonesia berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini artinya setiap warganegara Indonesia harus mendapatkan pekerjaan agar dia dapat memperoleh penghidupan yang layal. Bahkan sesuai pasal-pasal ini, kalaupun ada warganegara Indonesia yang tidak mendapatkan pekerjaan (menganggur), dia tetap mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan layak. Ini berarti, jika ia bekerja, ia berhak mendapatkan upah yang manusiawi, dalam arti dengan upah tersebut ia dapat hidup layak. Sedangkan, bagi pengangguran, pemerintah mempunyai tanggung jawab penuh dalam memberikan kehidupan layak baginya. Norma ini ditegaskan di dalam pasal 34 yang mengatakan bahwa orang miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Di dalam ayat 1 pasal 33, dikatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dan kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Walaupun di dalam ayat ini disebut secara eksplisit koperasi, namun di dalam realitas, asas kekeluargaan bisa juga dipraktekkan dalam bentuk-bentuk usaha non-koperasi. Seperti yang dijelaskan oleh Suwarno (1993) sebagai berikut, ….dapat juga dengan usaha-usaha moderen dengan pengaturan sedemikian rupa, sehingga usaha-usaha yang dapat diurus oleh kelompok-kelompok masyarakat yang kurang kuat dalam permodalan hendaknya diserahkan kepada mereka itu tidak semuanya diusahakan oleh yang kuat permodalannya, sehingga menjadi konglomerat yang menguasai cabang-cabang produksi dari hulu sampai hilar tanpa sisa sedikit pun untuk tempat usaha kelompok yang lemah permodalannya. Kecuali itu asas kekeluargaan dapat juga diterapkan dalam pengelolaan perusahaan besar, yaitu dengan memberi upah sedemikian rupa, sehingga para buruh mampu membeli saham perusahaan cukup berarti. (hal.135). Kadin Indonesia-Jetro, 2006



7



www.kadin-indonesia.or.id



Tetapi, memang dalam kenyataannya, keadilan ekonomi seperti yang diamanatkan oleh Pasal 33 tersebut, sulit sekali direalisasikan. Seperti yang dapat dikutip dari Karman (2006), ongkos bernegara terlalu besar merampas kemakmuran yang seharusnya milik rakyat. Elite politik mengadaikan kekayaan negeri kepada para kapitalistik. Pemerintah kehilangan peran vital dalam mengelola sendiri kekayaan alam.......Perekonomian bangsa berjalan di luar amanat konstitusi.........Pemerintah membiarkan anomali kebijakan ekonomi. Petani diberlakukan seperti pelaku industri manufaktur yang harus berjuang dalam sistem mekanisme pasar. Meski kita negara agraris, petani tidak menikmati subsidi. Walhasil, setelah berusaha payah menanam padi, nilai tukar hasil produksi petani tak sebanding ongkos produksi dan biaya hidup sehari-hari (hal.6) Praktek-praktek ketidakadilan dalam ekonomi, baik yang dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi maupun oleh pembuat kebijakan, yang tidak sesuai dengan ekonomi berazas Pancasila selama ini telah menimbulkan banyak permasalahan dalam perekonomian nasional, mulai dari tingkat makro hingga mikro yang menghasilkan antara lain kemiskinan dan kesenjangan.



IV. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan (yang dimaksud dengan kesenjangan ekonomi) merupakan dua masalah besar di banyak negara sedang berkembang (NSB), tidak terkecuali Indonesia. Dikatakan besar karena, apabila dua masalah ini berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan menimbulkan konsukwensi politik dan sosial yang sangat serius. Suatu pemerintahan bisa jatuh karena amukan rakyat miskin yang sudah tidak tahan lagi menghadapi kemiskinan mereka. Bahkan kejadian tragedi Mei 1998 menjadi suatu pertanyaan (hipotesis) hingga saat ini: andaikan tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia tinggi sama seperti misalnya di Belanda atau Jepang, mungkinkah mahasiswa akan begitu ngotot berdemonstrasi hingga akhirnya membuat rejim Soeharto jatuh atau, mungkinkah masyarakat Jakarta bisa diprovokasi hingga melakukan kerusuhan pada bulan Mei 1998 tersebut? Walaupun perkembangan dari tingkat kemiskinan (persentase dari jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan) dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan menunjukkan suatu tren yang menurun sejak Orde Baru hingga sekarang, masih adanya kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di dalam negeri mencerminkan masih adanya ketidakadilan di dalam perekonomian nasional. Hal ini, sebagian, disebabkan oleh masih adanya kegiatankegiatan bisnis yang tidak bermoral, atau yang melanggar etika bisnis (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di atas), dan, sebagian lainnya, disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak terlalu mendepankan keadilan sosial, atau yang sering dituding tidak berpihak pada orang miskin..



IV.1 Paradigma Trickle down Effects



Kadin Indonesia-Jetro, 2006



8



www.kadin-indonesia.or.id



Di Indonesia, pada awal pemerintahan Orde Baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana pembangunan ekonomi sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa, khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan hanya di sektor-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan apa yang dimaksud dengan trickle down effects. 4Didasarkan pada kerangka pemikiran tersebut, pada awal periode Orde Baru hingga akhir tahun 1970-an strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Soeharto lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat pembangunan ekonomi nasional dimulai di pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan seperti pelabuhan, jalan raya dan kereta api, telekomunikasi, kompleks industri, gedung-gedung pemerintahan/administrasi negara, kantor-kantor perbankan, dan infrastruktur pendukung lainnya lebih tersedia di Jawa (khususnya Jakarta dan sekitarnya) dibandingkan di propinsi-propinsi lain di Indonesia. Pembangunan pada saat itu juga hanya terpusatkan di sektor-sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai tambah (NT) yang tinggi. Pemerintah percaya bahwa nantinya hasil daripada pembangunan itu akan “menetes” ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya. Memang paradigma pembangunan yang dianut pemerintahan Orde Baru tersebut dapat dipahami, dan bahkan dapat dikatakan itu merupakan satu-satunya strategi yang tetap sesuai kondisi ekonomi Indonesia yang pada awal periode Orde Baru sangat buruk. Bagaikan banyak orang ingin makan roti, tetapi rotinya hanya satu potong kecil. Jika satu potong roti yang kecil tersebut dibagikan sama rata ke semua orang, tentu tidak akan membuat mereka kenyang. Oleh karena itu, rotinya harus diperbanyak dulu, baru setelah itu dibagikan secara rata ke semua orang. Masalahnya dalam era Orde Baru adalah bahwa pada saat pembangunan yang terpusatkan di Jawa dan hanya di sektor-sektor tertentu sudah cukup pesat, efek menetes kebawahnya ternyata relatif kecil (kalau tidak bisa dikatakan sama sekali tidak ada), atau proses mengalir ke bawahnya sangat lambat. Walaupun perlu diakui bahwa tingkat kesenjangan di Indonesia selama Orde Baru relatif kecil untuk ukuran internasional dan tingkat kemiskinan mengalami penurunan yang cukup signifikan (hal ini akan dijelaskan lebih lanjut di Bagian IV.2) Sebenarnya, menjelang akhir tahun 1970-an, pemerintah sudah mulai menyadari buruknya kualitas pembangunan yang dihasilkan dengan strategi tersebut. Oleh karena itu, sejak Pelita III strategi pembangunan mulai dirubah: tidak lagi hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi peningkatan kesejahteraan masyarakat juga menjadi tujuan penting daripada pembangunan. Sejak itu perhatian mulai diberikan pada usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya lewat pengembangan industri-industri padat karya, pembangunan perdesaan, dan modernisasi sektor pertanian. Hingga menjelang terjadinya krisis ekonomi, sudah banyak dilaksanakan program-program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi (kalau tidak bisa menghilangkan sepenuhnya) jumlah orang miskin dan ketimpangan pendapatan antara kelompok miskin dan kelompok kaya di tanah air. Efek “cucuran kebawah” merupakan salah satu topik penting di dalam literatur mengenai pembangunan ekonomi di NSB pada dekade 1950-an hingga 1960-an. Argumentasi teori yang menghasilkan kesimpulan bahwa akan terjadi efek “cucuran ke bawah” dikembangkan pertama kali oleh Arthur Lewis (1954), dan diperluas oleh Ranis dan Fei (1968) dan lainnya. 4



Kadin Indonesia-Jetro, 2006



9



www.kadin-indonesia.or.id



Program-program tersebut antara lain adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT), pengembangan industri kecil dan rumah tangga (khususnya di perdesaan), program Keluarga Sejahtera, program Keluarga Berencana (KB), program Makanan Tambahan Bagi Anak Sekolah Dasar, program Transmigrasi, kebijakan Upah Minimum Regional (UMR) atau Propinsi (UMP), dan Jaringan Pengaman Sosial.



IV.2 Tren Perkembangan Kemiskinan dan Kesenjangan Sejak Orde Baru IV.2.1 Kemiskinan Pada awal Orde Baru (tahun 1966), rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia hanya sekitar 50 dollar AS per tahun, dan lebih dari 80% dari populasi hidup di perdesaan dan sebagian besar dari jumlah ini bekerja di sektor pertanian, yang kebanyakan adalah petani kecil atau marjinal dan buruh tani. Sekitar 60% dari anak-anak di Indonesia tidak bisa menulis dan membaca dan hampir 65% dari penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Pada tahun 1969 pemerintah mulai melaksanakan pembangunan dengan mencanangkan Repelita I, dan sejak itu dengan kebijakan ekonomi terbuka, investasi dan bantuan keuangan dari luar negeri membanjiri Indonesia. Dalam beberapa tahun saja inflasi yang sempat mencapai 500% lebih menjelang jatuhnya pemerintahan Soekarno dapat ditekan hingga 1 digit dan pertumbuhan ekonomi meningkat, yang pada tahun 1980-an hingga 1997 sebelum krisis, Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 7%. Dengan suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, pendapatan per kapita meningkat, dan dengan didukung oleh berbagai kebijakan dan program terutama di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pembangunan ekonomi perdesaan, sejumlah indikator sosial menunjukkan perbaikan yang sangat nyata. Pendapatan rata-rata per kapita per bulan meningkat dari US$ 940 pada tahun 1970 ke hampir US$ 2900 pada tahun 2000; jumlah bayi yang meninggal pada saat lahir berkurang dari 90 dari 1000 anak yang lahir hidup pada tahun 1980 ke 42 menjelang akhir 90-an; harapan hidup juga membaik dari 55 pada awal 80-an ke 66 pada akhir 90-an; persentase anak yang terdaftar di sekolah-sekolah pendidikan dasar hingga menengah meningkat; dan penduduk yang bisa membaca dan menulis membaik secara signifikan; (Tabel 1). Pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan tersebut juga memberi suatu kontribusi yang besar terhadap pengurangan kemiskinan selama Orde Baru. Seperti yang ditunjukkan oleh statistik resmi di Tabel 2, 5persentase kemiskinan menurun dari 40% ke sekitar 17,5% selama 1976-1996, dan penurunan terbesar terjadi selama periode



Angka di Tabel 2 didasarkan metode Head Count Index, yang umum digunakan untuk menghitung penduduk miskin. Menurut metode ini, penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah suatu batas, yang disebut garis kemiskinan. Garis kemiskinan di Indonesia adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang untuk memenuhi hidup minimumnya, baik itu kebutuhan hidup minimum makanan seperti beras, umbi-umbian, ikan dan sebagainya, maupun kebutuhan hidup bukan makanan seperti perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan sebagainya. Di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), seseorang dapat dikatakan hidup sehat apabila telah dapat memenuhi enerjinya minimal sebesar 2100 kilo kalori per hari. Mengacu kepada ukuran tersebut, maka batas miskin untuk makanan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan minimum enerjinya sebesar 2100 kilo kalori per hari. Dalam menghitung kebutuhan hidup minimum makanan, standar kebutuhan hidup minimum 2100 kilo kalori per hari didasarkan pada konsumsi makanan dari penduduk kelas marjinal, yaitu penduduk yang hidupnya sedikit di atas estimasi 5



Kadin Indonesia-Jetro, 2006



10



www.kadin-indonesia.or.id



70s hingga awal 80s dengan 13 persentase poin, sedangkan selama periode 1981-93 laju penurunannya hanya sekitar 16 persentase point. Pada saat krisis ekonomi 1997/98, kemiskinan mengalami peningkatan yang substansial karena banyaknya pekerja yang di-PHK-kan akibat banyaknya perusahaan yang terhimbas krisis. Pada tahun 1998, pada saat krisis mencapai titik klimaksnya, tingkat kemiskinan nasional tercatat sebesar 24,23%, dan setelah itu cenderung menurun terus. Pada tahun 2005, kemiskinan di Indonesia sekitar hampir 16% dari jumlah penduduk, dan ini masih lebih tinggi dibandingkan angka terendah yang pernah dicapai pada masa Orde Baru. Tabel 1: Beberapa Indikator Sosial di Indonesia dan Beberapa NSB Lainnya, 1970-2000 Awal Periode



Akhir Periode



Rata-rata per kapita GDP (dalam 1999 PPP$)* - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan



Indikator



1970 940 875 1 051



2000 2 882 4 413 2 216



Meninggal pada saat bayi (per 1.000 bayi yang lahir hidup) - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan - Negara-negara berpendapatan rendah & menengah



1980 90 55 119 86



1999 42 35 74 59



Harapan hidup pada saat lahir (tahun) - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan - Negara-negara berpendapatan rendah & menengah



55 65 54 60



66 69 63 64



Rasio pendaftaran pendidikan dasar (%)** - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan - Negara-negara berpendapatan rendah & menengah



107 111 77 96



113 119 100 107



Rasio pendaftaran pendidikan sekunder (%)** - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan - Negara-negara berpendapatan rendah & menengah



29 44 27 22



56 69 49 59



Buta huruf (% dari penduduk berumur 15 dan di atas)*** - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan - Negara-negara berpendapatan rendah & menengah



13(L), 27(P) 13(L), 29(P) 41(L), 66(P) 22(L),39(P)



9(L),19(P) 8(L),22(P) 34(L),58(P) 18(L),32(P)



Catatan: * Data adalah tiga tahun rata-rata, terpusat pada tahun yang ditunjukkan di atas. ** Data paling akhir adalah untuk 1997, bukan 1999. *** L=lelaki, P=perempuan Sumber: Balisacan dkk. (2002).



Masalah kesejahteraan ekonomi tidak hanya bicara soal berapa banyak orang miskin tetapi juga berapa banyak penduduk yang hampir miskin. Suatu negara yang presentase penduduk miskinnya rendah tidak selalu berarti awal garis kemiskinan yang diperoleh berdasarkan garis kemiskinan sebelumnya yang disesuaikan dengan tingkat inflasi. Penduduk pada kelompok tersebut disebut penduduk referensi (BPS, 2005).



Kadin Indonesia-Jetro, 2006



11



www.kadin-indonesia.or.id



tingkat kesejahteraan di negara tersebut tinggi jika jumlah penduduknya yang masuk kategori hampir miskin lebih besar daripada jumlah penduduk kayanya. Di Indonesia, jumlah dan presentase penduduk hampir miskin pada tahun 2005 (Februari) disajikan di Tabel 3. Mereka yang tergolong hampir miskin dikategorikan sebagai kelompok yang rentan terperosok menjadi miskin apabila terjadi gejolak ekonomi dan sosial, seperti crisis ekonomi 1997/98 lalu, atau kenaikan harga BBM bulan Oktober 2005 lalu. Tabel 2: Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase dari Populasi yang Hidup di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia: 1976-2005 Tahun 1976 1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005



Tingkat miskin (%) Perkotaan Perdesaan National 38,8 40,4 40,1 30,8 33,4 33,3 29,0 28,4 28,6 28,1 26,5 26,9 23,1 21,2 21,6 20,1 16,1 17,4 16,8 14,3 15,1 13,4 13,8 13,7 13,4 19,8 17,5 21,9 25,7 24,2 19,4 26,03 23,4 14,6 22,4 19,1 9,8 24,8 18,4 14,5 21,1 18,2 13,6 20,2 17,4 12,1 20,1 16,7 11,4 19,5 15,97



Jumlah orang miskin (juta orang) Perkotaan Perdesaan Nasional 10,0 44,2 54,2 8,3 38,9 47,2 42,3 9,5 32,8 9,3 31,3 40,6 9,3 25,7 35,0 9,7 20,3 30,0 9,4 17,8 27,2 8,7 17,2 25,9 34,01 9,4 24,6 49, 5 17,6 31,9 15,6 32,3 48,0 38,7 12,3 26,4 37,9 8,6 29,3 38,4 13,3 25,1 12,2 25,1 37,3 11,4 24,8 36,1 22,7 35,1 12,4



Sumber: BPS



Table 3: Jumlah dan Persentase Penduduk Hampir Miskin di Indonesia, 2005 (Februari) Daerah Perkotaan Perdesaan Nasional Sumber: BPS



Jumlah (juta) 7,9 18,3 26,2



Persentase 8,7 15,2 11,97



Dapat dilihat bahwa jumlah penduduk hampir miskin di Indonesia hingga awal 2005 tercatat sebanyak 26,2 juta orang yang sebagian besar terdapat di daerah perdesaan. Lebih besarnya jumlah orang miskin dan hampir miskin di daerah perdesaan adalah hasil dari pembangunan ekonomi yang timpang selama ini. Kesempatan kerja, khususnya di sektor-sektor yang menghasilkan nilai tambah dan pendapatan/gaji tinggi seperti industri, konstruksi, perbankan dan perdagangan moderen jauh lebih besar di daerah perkotaan daripada di perdesaan. Di perdesaan kesempatan kerja masih didominasi oleh sektor pertanian yang menghasilkan nilai tambah dan upah relatif rendah. Ada dua hal lain yang juga harus diperhatikan dalam membahas soal kemiskinan di Indonesia, yakni kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan. Kedalaman kemiskinan menunjukkan rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap batas miskin (garis kemiskinan), sedangkan keparahan kemiskinan menunjukkan



Kadin Indonesia-Jetro, 2006



12



www.kadin-indonesia.or.id



ketimpangan pengeluaran dari penduduk paling miskin, atau yang makin jatuh di bawah garis kemiskinan. 6 Semakin besar nilai kedua indeks ini di sebuah negara mencerminkan semakin seriusnya persoalan kemiskinan di negara tersebut. Tabel 4 menunjukkan indeks kedalaman kemiskinan (P1) di Indonesia mengalami penurunan dalam periode setelah krisis hingga 2005. Pada tahun 1999 tercatat sebesar 4,33 dan 2,78 pada tahun 2005. Keadaan ini menandakan bahwa pada periode tersebut di Indonesia terus terjadi penurunan besarnya rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap batas miskin. Dalam kata lain, rata-rata pengeluaran kaum miskin di Indonesia cenderung meningkat atau mendekati garis kemiskinan (BPS, 2005). Tabel 4: Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Indonesia, 1999-2005 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Sumber: BPS



Perkotaan 3,52 1,89 1,74 2,59 2,55 2,18 2,05



Perdesaan 4,84 4,68 4,68 3,34 3,53 3,43 3,34



Nasional 4,33 3,51 3,42 3,01 3,13 2,89 2,78



Kecenderungan menurunnya indeks kedalaman kemiskinan juga terlihat baik di perkotaan maupun di perdesaan, namun laju penurunan di perkotaan terlihat lebih fluktuatif. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh efek langsung yang lebih besar dari dinamika ekonomi nasional terutama kenaikan inflasi yang dirasakan oleh penduduk miskin di perkotaan daripada di perdesaan. Walaupun secara umum, indeks kedalaman kemiskinan di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Dalam kata lain, jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin perkotaan dengan garis kemiskinan perkotaan relatif lebih dekat dibandingkan dengan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin di perdesaan dengan garis kemiskinan perdesaan. Berikut, Tabel 5 menyajikan nilai indeks keparahan kemiskinan (P2) di Indonesia yang juga menunjukkan tren yang menurun selama periode yang sama. Pada tahun 1999 tercatat 1,23 dan menjadi 0,76 pada tahun 2005. Perkembangan ini menandakan bahwa selama periode tersebut ketimpangan pengeluaran penduduk miskin di indonesia secara umum semakin berkurang, atau kondisi ekonomi penduduk miskin semakin membaik. Penurunan ini juga terjadi di perkotaan dan perdesaan namun penurunannya di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Karena indeks kedalaman kemiskinan di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan (lihat Tabel 4), maka dengan sendirinya indeks keparahan kemiskinan di perdesaan juga lebih tinggi dibandingkan di perkotaan; 6



Kedalaman kemiskinan diukur dengan Poverty Gap Index (P1), yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masingmasing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai P1 semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap kemiskinan. Keparahan kemiskinan diukur dengan Poverty Severity Index (P2 ), yang adalah jumlah dari kedalaman kemiskinan (P1) tertimbang di mana penimbangnya sebanding dengan kedalaman kemiskinan itu sendiri. Dengan mengkuadratkan P1 , P2 secara implisit memberikan penimbang yang lebih pada unit observasi yang makin jauh di bawah garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks ini, berarti semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin (BPS, 2005).



Kadin Indonesia-Jetro, 2006



13



www.kadin-indonesia.or.id



bahkan lebih tinggi daripada di tingkat nasional. Ini merupakan indikasi bahwa tingkat ketimpangan dalam distribusi pengeluaran penduduk miskin di perdesaan lebih besar daripada di perkotaan. Misalnya pada tahun 1999, P2 di perdesaan tercatat hampir 1,4 dibandingkan 0,98 di perkotaan atau 1,23 di Indonesia secara total, dan pada tahun 2005 perbandingannya adalah masing-masing 0,89, 0,60, dan 0,76. Tabel 5: Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Indonesia, 1999-2005 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Sumber: BPS



Perkotaan 0,98 0,51 0,45 0,71 0,74 0,58 0,60



Perdesaan 1,39 1,39 1,36 0,85 0,93 0,90 0,89



Nasional 1,23 1,02 0,97 0,79 0,85 0,78 0,76



Kemiskinan antar propinsi disajikan di Tabel 6. Dapat dilihat bahwa tingkat kemiskinan dan perubahannya bervariasi menurut propinsi, dan variasi ini disebabkan oleh perbedaan antar propinsi dalam banyak hal yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat, seperti laju pertumbuhan ekonomi dan sifatnya (yakni apakah padat tenaga kerja atau modal), kondisi infrastruktur, tingkat pendidikan dan kesehatan, khususnya dari kelompok masyarakat berpendapatan rendah, dan implementasi dari program-program anti kemiskinan dari pemerintah pusat. Lebih dari 55% dari jumlah orang miskin di tanah air terdapat di pulau Jawa, yang memang merupakan pusat kemiskinan di Indonesia, dan hal ini erat kaitannya dengan angka kepadatan penduduk yang juga di pulau Jawa paling tinggi dibandingkan di propinsi-propinsi lainnya. Fakta ini memberi kesan adanya suatu korelasi positif antara kepadatan penduduk (jumlah penduduk dibagi luas wilayah) dan tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Semakin tinggi jumlah penduduk per km2, atau per hektar, semakin sempit ladang untuk bertani atau lokasi untuk membangun pabrik atau melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya, semakin kecil kesempatan kerja dan sumber pendapatan, yang berarti juga semakin besar persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Hipotesa ini bisa benar tentu dengan asumsi bahwa mobilisasi penduduk antardaerah tidak tinggi. Ada dua hal yang menarik dari data di tabel ini. Pertama, Jawa merupakan pusat kemiskinan di Indonesia Kawasan Barat (IKB), sedangkan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) di Indonesia Kawasan Timur (IKT). Paling besarnya kemiskinan di propinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta tersebut erat kaitannya dengan kenyataan bahwa tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia adalah di dua wilayah tersebut. Sedangkan di Nusa Tenggara lebih dikarenakan oleh tingkat pembangunan yang rendah, bukan karena kepadatan penduduk karena jumlah penduduk di wilayah tersebut relatif sedikit. Kedua, sebagian dari propinsipropinsi di Indonesia mengalami penurunan sedangkan propinsi-propinsi lainnya mengalami peningkatan



Kadin Indonesia-Jetro, 2006



14



www.kadin-indonesia.or.id



kemiskinan selama periode yang diteliti, dan laju penurunan/peningkatan bervariasi per propinsi, yang erat kaitannya dengan kinerja perekonomian regional yang juga bervariasi menurut propinsi. Selain dalam bentuk banyaknya orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sebagai suatu persentase dari jumlah populasi, besarnya kemiskinan di suatu wilayah dapat juga diukur dengan sejumlah variabel lain seperti jumlah rumah tangga yang membayar listrik (PLN), yang memiliki kendaran bermotor, yang memiliki sambungan telepon, yang memakai air PAM, yang punya rumah dengan lantai ubin, atau yang memiliki sanitasi yang baik per 1000 rumah tangga. BPS dkk. (2004), membuat suatu indeks yang disebut Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) yang terdiri dari lima (5) unsur utama, yakni suatu proporsi dari jumlah populasi yang diperkirakan tidak mencapai usia 40 tahun, yang buta huruf, yang tidak memiliki akses terhadap air bersih dan sarana kesehatan, dan balita kurang gizi (Tabel 7). Variasi antar propinsi dalam kelima indikator sosial ini erat kaitannya dengan perbedaanperbedaan antar propinsi dalam fasilitas-fasilitas kesehatan dan pendidikan yang baik, di satu sisi, dan akses masyarakat dari semua golongan terhadap fasilitas-fasilitas tersebut, di sisi lain, dan pendapatan masyarakat dalam nilai riil. Sedangkan adanya variasi tersebut mencerminkan tidak meratanya pembangunan ekonomi dan sosial antar propinsi di Indonesia. Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Propinsi: 2000, 2001 dan 2002 Propinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Bangka Belitung Jakarta Jabar Jateng Yogyakarta Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultengg Gorontalo Maluku Maluku Utara Irian Jaya/Papua



Jumlah (000) 2000 1.491,8 482,5 485,6 504,9 1.338,0 249,0 2.017,8 416,1 6.658,4 6.513,6 1.035,8 7.845,4 176,8 1.070,5 1.425,9 1.095,0 213,7 385,3 393,6 365,9 503,2 1.198,0 419,2 970,9



2001 1.359,7 643,3 491,6 480,4 1.113,8 308,5 1.674,1 127,9 247,5 3.532,3 6.856,7 767,6 7.508,3 1424,0 248,4 1.175,5 1.317,5 728,5 215,4 357,5 349,7 213,2 530,5 1.296,3 457,5 253,0 418,8 110,1 900,8



2002 1.199,9 1.883,9 496,4 722,4 326,9 1.600,6 372,4 1.650,7 106,2 286,9 4.938,2 7.308,3 635,7 7.701,2 786,7 221,8 1.145,8 1.206,5 644,2 231,4 259,8 313,0 229,3 564,6 1.309,2 463,8 274,7 418,8 110,1 984,7



% 2000 13,05 11,43 10,38 21,15 17,37 17,83 30,43 4,96 15,40 21,16 33,39 22,77 5,68 28,13 36,52 29,42 11,97 13,03 16,30 13,03 24,51 15,44 23,88 46,35



2001 11,73 15,16 10,06 19,71 16,07 21,65 24,91 13,28 3,14 15,34 22,07 24,53 21,64 17,24 7,87 30,43 33,01 19,23 11,72 11,92 14,04 10,67 25,29 16,50 25,20 29,74 34,79 14,03 41,80



2002 29,8 15,8 11,6 13,7 13,2 22,3 22,7 24,1 11,6 3,4 13,4 23,1 20,1 21,9 9,2 6,9 27,8 30,7 15,5 11,9 8,5 12,2 11,2 24,9 15,9 24,2 32,1 34,8 14,0 41,8



Indonesia



37.256,9**



37.108,4***



38.394,1



18,95**



18,40***



18,2



Keterangan: *= hasil estimasi berdasarkan KOR Susenas tahun 2000 dan 2001; **=tanpa Aceh dan Maluku; ***=tanpa Aceh Sumber: BPS (2001).dan BPS dkk. (2004).



Kadin Indonesia-Jetro, 2006



15



www.kadin-indonesia.or.id



Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah jelas bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selama periode Orde Baru dan yang mulai positif lagi sejak 1999 berperan sangat besar terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia selama ini. Tentu hubungan negatif antara laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan yang dialami Indonesia tersebut tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi adalah satu-satunya yang diperlukan untuk mengentaskan kemiskinan. Dalam kata lain, pertumbuhan ekonomi adalah suatu faktor yang sangat penting bagi penurunan kemiskinan, tetapi bukan satu-satu faktor penentu. Kebijakan-kebijakan yang “pro-miskin” baik yang sifatnya langsung seperti memberikan kompensasi penurunan subsidi BBM kepada kaum miskin, modal kerja kepada pengusaha-pengusaha mikro dan kecil, dan subsidi pendidikan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, maupun yang sifatnya tidak langsung seperti proyek-proyek pembangunan infrastruktur padat karya, pembangunan desa-desa tertinggal (seperti IDT pada era Orde Baru), dan modernisasi sektor pertanian sangat



Kadin Indonesia-Jetro, 2006



16



www.kadin-indonesia.or.id



Tabel 7:. Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) menurut Propinsi, 1998, 1999 dan 2002 Propinsi



Penduduk yang diperkirakan tidak mencapai usia 40 tahun (%) 1999



Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Bangka Belitung Jakarta Jabar Jateng Yogyakarta Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultengg Gorontalo Maluku Maluku Utara Irian Jaya/ Papua



12,7 13,5 16,2 12,4 14,2 16,2 16,6 15,4



Indonesia



2002



Angka buta huruf usia dewasa (%)



1999



61,5 47,9 46,4 71,8 57,3 59,7 59,2 54,4



28,8 11,6



10,5



6,9 4,2 5,3 4,4 6,3 6,6 7,4 8,2



17,8 15,2



15,0



11,7 31,5 19,5 18,6 10,4 24,5 10,7 12,0 21,2 11,7 17,0 13,1



1999



4,2 3,9 4,9 3,5 5,3 5,9 7,0 7,0 8,3 1,8 6,9 14,3 14,1 16,8 6,2 15,8 22,2 15,9 13,1 3,6 6,7 4,8 1,2 6,7 16,5 11,8 4,8 3,7 4,2 26,9



12,6 13,3 15,2 12,0 13,9 16,0 16,3 15,2 16,0 6,7 18,0 10,9 6,7 15,3 21,7 9,5 27,3 19,2 18,1 10,2 23,9 10,2 8,4 20,1 11,3 16,8 18,5 16,2 20,7 16,8



7,9 18,2 11,7 8,2 16,2



2002



Penduduk tanpa akses terhadap air bersih (%)



2,2 7,8 15,2 14,5 18,7 17,3 27,2 19,6 16,8 5,2 7,2 6,5 2,8 7,4 16,8 12,9 4,2



2002



Penduduk tanpa akses terhadap sarana kesehatan (%) 1999 37,6 20,9 21,7 39,2 21,5 28,9 24,8 34,5



54,5



48,5 41,8 42,4 58,9 47,4 52,7 45,0 45,9 48,9 30,3 53,0 39,8 38,9 36,7 55,8 27,8 52,3 46,8 78,5 66,7 41,5 37,3 35,7 53,8 45,1 41,3 62,4 43,9 43,2 61,6



51,9



44,8



40,2 62,1 47,8 48,9 43,0 34,2 62,5 41,9 78,4 68,2 46,7 35,8 44,5 51,7 49,1 43,6 52,1



2002



IKM



1999



2002



28,3



31,3



28,4 24,8 23,4 25,1 22,7 27,7 22,7 23,9 25,2 13,2 23,0 21,0 16,1 21,7 25,1 17,3 30,2 28,9 38,0 30,7 25,5 19,1 17,8 28,9 24,6 25,8 32,4 22,9 27,9 30,9



30,0



25,8



25,2



22,7



36,0 21,6



23,1



23,8



1999 31,4 24,5 24,4 32,3 26,3 27,3 27,1 27,9



35,6 35,3 34,0 27,9 32,9 26,4 30,0 29,1



14,9 17,5 38,2 43,3 26,2 16,2 19,6 26,1 30,2 26,0 21,3



2002



IKM



35,2 33,0 28,0 18,4 25,0 28,2 26,4 24,2 21,1 23,2 21,5 25,0 16,9 25,5 20,5 18,7 37,8 38,8 33,2 31,9 30,2 21,5 21,9 29,6 29,1 28,3 42,0 29,3 29,6 28,3



38,0 30,4 27,6 29,7 23,1 36,0 22,0 29,8 35,3 2,9 19,0 20,9 7,7 22,2 23,5 19,8 21,6 32,8 50,1 33,6 27,3 22,2 18,4 36,8 27,3 37,4 32,7 26,1 42,2 36,1



2,0 22,4 17,1 8,6 17,1



Peringkat



Balita kurang gizi (%)



23,7 27,2 30,5 17,3 30,7 21,0 39,7 38,7 42,0 30,5 29,0 31,9 25,8 34,9 33,9 27,1 29,3



15,5 26,9 23,2 18,5 23,4 18,7 33,7 29,5 38,7 29,0 24,4 20,6 22,7 28,4 26,3 22,9 24,7



Sumber: BPS dkk (2004).



Kadin Indonesia-Jetro, 2006



17



www.kadin-indonesia.or.id



1999



2002



23 11 10 24 13 17 16 18



23 15 12 16 9 21 8 13 18 1 11 6 22 27 17 3 26 24 30 27 19 5 4 25 14 20 29 10 22 29



1 15 7 2 8 3 25 21 26 20 9 4 5 19 14 6 12 22



diperlukan agar pertumbuhan ekonomi mempunyai suatu dampak positif yang berarti bagi pengurangan kemiskinan. Sebagai perbandingan, Tabel 8 menunjukkan kemiskinan di sejumlah negara di Asia dan Tabel 9 menyajikan perbandingan hasil penghitungan proporsi populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan di sejumlah NSB berdasarkan garis kemiskinan nasional dan dengan pendekatan Bank Dunia yakni berdasarkan pengeluaran 1 dan 2 dollar AS per hari. Dari Tabel 8, dapat dilihat bahwa Indonesia merupakan negara yang laju penurunan kemiskinan per tahun cukup tinggi relatif dibandingkan di negara-negara lain di tabel tersebut, sedangkan pada tahun 1960an Indonesia merupakan negara termiskin setelah Filipina dan Bangladesh. Pada tahun 1960 sebanyak 60% dari jumlah penduduk saat itu hidup di bawah batas miskin, dan pada tahun 2000 menjadi 14.6%. Perkembangan ini menandakan bahwa usaha-usaha pemerintahan pada era Orde Baru relatif sangat berhasil dalam mengurangi kemiskinan di dalam negeri. Ini yang membuat Indonesia dipakai sebagai salah satu contoh success story dalam pengentasan kemiskinan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di NSB. Tabel 8. Tingkat Kemiskinan di Indonesia dan Beberapa Negara Asia lainnya, Berdasarkan Garis-Garis Kemiskinan Nasional, 1970-2000 Negara



Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional yang berlaku/Indeks HC (%) 1970 1980 1990 2000



China 33,0 28,0 10,1 Korea Selatan 23,0 10,0 8,2 (1993) Indonesia 60,0 29,0 16,8 Malaysia 18,0 9,0 6,1 (1989) Filipina 61,6 (1971) 59,7 (1985) 45,2 (1991) Thailand 26,0 17,0 18,0 Viet Nam .. 75,0 (1988) 58,0 (1993) Bangladesh 71,0 (1973/74) 52,3 (1983/84) 49,7 (1991/92) India 55,6 48,4 (1978) 40,9 (1992) Nepal .. 41,4 (1984/85) .. Pakistan 54,0 (1961) 29,1 (1986/87) 26,1 (1990/91) Sri Lanka 37,0 (1963) 27,3 (1985/86) 22,4 (1990/91) Keterangan; di dalam kurung adalah tahun yang menjadi ukuran. Sumber: Indonesia: BPS; untuk Negara-negara lain tersebut: ESCAP & UNDP (2003).



4,6 11,6 (1999) 14,6 8,1 (1999) 40,0 14,2 37,0 (1998) 39,8 26,1 (1999/2000) 44,6 (1995/96) 32,6 22,9 (1995/96)



Rata-rata pertumbuhan (%) 1980s 1990s -6,4 -1,4 -4,8 -3,6 -4,0 0,6 -4,5 -0,6 -1,1 .. -2,6 -3,6



-5,4 6,9 8,8 3,3 -1,3 -2,1 -7,2 -2,3 -4,5 .. 2,9 0,4



Sedangkan dari Tabel 9, satu hal yang sangat menarik adalah bahwa sebenarnya besarnya kemiskinan di suatu negara sangat tergantung pada garis kemiskinan yang ditentukan sebelumnya. Seperti yang dapat dilihat, pada saat garis kemiskinan adalah 1 dollar AS per hari, banyak negara yang menunjukka angka kemiskinan yang relatif rendah; namun pada saat batas miskin dinaikkan ke 2 dollar AS per hari, tingkat kemiskinan di negara-negara tersebut meningkat cukup signifikan. Di Indonesia, dengan memakai batas miskin 1 dollar AS per hari, jumlah orang miskin, yakni mereka yang pengeluarannya per hari lebih kecil dari 1 dollar AS (atau sekitar Rp 9000 dengan kurs rata-rata Rp 9000 per dollar AS), tercatat sekitar 7,5% dari jumlah populasi; namun pada saat batas miskin di naikkan 100% (atau sekitar Rp18.000 per hari), tingkat kemiskinan di Indonesia naik drastis ke 52,4%. Tabel 9: Kemiskinan di Sejumlah NSB; data terakhir (%) 18



Negara



Tahun survei



Tingkat kemiskinan nasional berdasarkan garis kemiskinan Nasional



Tahun survei



Tingkat kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan internasional Di bawah US$1/hari Di bawah US$2/hari



Albania 11,8 2002 25,4 2002