Kebudayaan Tolaki [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEBUDAYAAN



TOLAKl



TIDAK DIPERJUALBELIKAN Proyek Bahan Pustaka Lokal Konten Berbasis Etnis Nusantara Perpustakaan Nasional, 2011



SERI ETNOGRAFI INDONESIA NO: 3



KEBUDAYAAN TOLAKI



oleh Abdurrauf Tarimana



Perpustakaan Nasional Republik Indonesia



Balai Pustaka



Perum Penerbitan dan Percetakan BALAI PUSTAKA BP No. 3444 CL-04 Hak pengarang dilindungi undang-undang Cetakan pertama Cetakan kedua



301.2 Tar k



- 1989 - 1993



Tariiuana, A b d u r r a u f Kebudayaan Tolaki / oleh Abdurrauf Tarimana. — cet 2. — Jakarta : Baiai Pustaka, 1993. X, 423 hlm. : ilus. ; bibl. ; indeks. ; 21 cm. — (Seri BP no. 3444). (Seri Etnografi Indonesia no. 3) 1. Kebudayaan Indonesia-Tolaki. I. Judul. II. Seri. ISBN



979 — 4 0 7 — 1 9 6 — X



Perancang kulit: Koenljaraningrat



KATA PENGANTAR



Kalo adalah sentra dari keterpaduan segala unsur kebudayaan suku bangsa Tolaki yang diam di wilayah daratan propinsi Sulawesi Tenggara, tepatnya di kabupaten Kendari d a n Kolaha. Sebenarnya Kalo adalah lambang yang tetap d i p a n d a n g keramat dan sakral oleh semua anggota suku bangsa tadi, d a n selalu tampil dalam berbagai bentuk upacara ritual. Bagi mereka, Kalo mencangkup seluruh p e r w u j u d a n adat istiadat, mulai dari sistem kehidupan sosial - ekonomi yang bercorak tradisional, sistem budaya yang menyangkut bahasa, seni dan keagamaan, sampai pada sistem pengkonsepsian untuk m e m a n d a n g manusia dalam kaitan eratnya dengan alam semesta. Usaha membedah kebudayaan suku bangsa Tolaki oleh A. Tarim a n a pantas kita hargai. M a n f a a t n y a akan besar sekali demi kepentingan nasional. Setidak-tidaknya, pembaca akan tahu bahwa ternyata ada suku bangsa Tolaki yang berdiam di Sulawesi sebagai salah satu dari sekian ratus suku bangsa yang memadu dalam bangsa Indonesia. Bagaimanapun, kebudayaan suku bangsa Tolaki adalah kebu dayaan bangsa Indonesia juga. Balai Pustaka



5



SERI E T N O G R A F I INDONESIA



Sudah Terbii. 1. Dr. Junus Melalatoa, Kebudayaan Gayo (1982) 2. P r o f . Dr. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (1984) 3. Dr. Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki (1989) Akan



Terbit:



P r o f . Dr. Koentjaraningrat, Kebudayaan-Kebudayaan di Irian Jaya. P r o f . Dr. Ny. Tapiomas Ichromi, Dr. H. Nooy-Palm, Dra. Ny. Priyanti P a k a n , Kebudayaan Toraja. Dr. S. Ekojati, Kebudayaan Sunda. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, Kebudayaan Bati. Drs. Hans Daeng, Kebudayaan-Kebudayaan di Flores.



6



Untuk: Kedua Almarhum Ayah dan Ibu yang tercinta, Istri yang kekasih, dan Anak-anakku, harapanku.



7



PRAKATA



Ketika saya mengantar Dr. P.M. Lawalata ke lapangan terbang Wolter Mongonsidi hendak kembali ke U j u n g P a n d a n g setelah mengajar seminggu lamanya di Universitas Haluoleo di Kendari, beliau m e n g a n j u r k a n saya untuk menemui Professor Dr. Koentjaraningrat dengan maksud studi promosi dalam bidang antropologi pada Universitas Indonesia di J a k a r t a . Atas a n j u r a n itu saya ke Jakarta dan berhasil dapat menemui Professor Dr. Koentjaraningrat pada akhir Desember 1976. Sebelumnya saya tidak kenal beliau secara langsung kecuali melalui karya-karya tulis beliau. Saya mulai belajar pada Jurusan Antropologi Fakultas Sastra UI pada 28 Pebruari 1977 berdasarkan panggilan beliau selaku Ketua Jurusan Antropologi pada waktu itu. P a d a 10 Januari 1979 saya dinyatakan oleh Ketua Jurusan Antropologi telah memenuhi syarat untuk meneruskan studi d o k t o r ini. Saya kembali ke Kendari m e n g a d a k a n penelitian lapangan. Mulai menulis disertasi ini sejak awal 1980 atas bimbingan beliau bersama Dr. Parsudi Suparlan mulai September 1981. Sebelum disertasi ini selesai ditulis, Ketua P r o m o t o r memberi kesempatan kepada saya untuk memperluas pengetahuan saya dalam sub bidang antropologi simbolik di bawah bimbingan Professor Dr. J . J . Fox, Professorial



Fellow Research School of Pasific Sludies Deparlmenl of Anthropology, A N U , C a n b e r r a , Auslralia selama tiga bulan mulai 11 Oktober 1982 sampai 10 Januari 1983, yang beliau bertindak membimbing saya selaku anggota p r o m o t o r . T a n p a beliau-beliau selaku p r o m o t o r adalah tidak mungkin disertasi ini berwujud seperti ini, sehingga saya secara sadar sungguh-sungguh merasa berutang budi yang tidak dapat dibalas dengan bentuk apa pun, 9



kecuali ucapan penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya. Selama studi lebih kurang empat semester di J u r u s a n Antropologi tersebut di atas, saya telah secara langsung m e n d a p a t k a n t a m b a h a n pengetahuan dari Professor Dr. K o e n t j a r a n i n g r a t , Professor Dr. H a r s j a W. Bachtiar, Dr. S. Budhisantoso, Dr. J. Vredenbregt, Dr. Parsudi Suparlan, Dr. Nico Kalangi, Dr. E . K . M . Masinambouw, Dr. M. J u n u s Melalatoa, Dra. Meutia Swasono, Drs. Suleiman, Drs. A m r i Marsali, M . A . , dan D r a . Yamine, M . A . ; Beliau-beliau inilah yang memberikan dasar-dasar pengetahuan saya sehubungan dengan disertasi ini, sehingga sudah sewajarnya jikalau saya pada saat ini m e n g h a t u r k a n banyak terima kasih. Jasa-jasa baik dari para karyawan P e r p u s t a k a a n Fakultas Sastra dan Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial UI, Museum Pusat, dan Arsip Nasional di J a k a r t a , Perpustakaan Pusat U N H A S di U j u n g Pandang, Perpustakaan U N H A L U di Kendari, dan terakhir pada Australian National University Library, A N U , di C a n b e r r a , semuanya turut menentukan penyelesaian disertasi ini. Kepada mereka saya mengirimkan salam dan terima kasih. Demikian juga Letjen Edy Sabara selaku G u b e r n u r Kepala Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara, yang saya adalah staf beliau, telah memberikan izin tugas belajar program d o k t o r ini berikut bantuan biaya dalam meringankan beban biaya sendiri; demikian pula G u b e r n u r Anumerta Drs. Abdullah Silondae yang saat itu selaku Rektor Universitas Haluoleo, dan Drs. La Ode Malim, Rektor Universitas Haluoleo berikutnya, yang saya pada waktu itu adalah dosen tetap dalam statusnya sebagai universitas swasta, telah memberikan izin tugas belajar ini berikut fasilitas yang ada. T a n p a ketiga beliau ini adalah mustahil bagi saya untuk menyusun disertasi ini, sehingga sudah seyogyanya saya sebagai anak mengucapkan banyak terima kasih yang sedalam-dalamnya dan setinggi-tingginya terhadap mereka sebagai orang tua. Kepada pimpinan Universitas Haluoleo Negeri, Professor E. Agussalim M o k o d o m p i t , M . A . , yang telah memberikan izin meninggalkan 10



lugas untuk pergi ke Australia dalam rangka studi ini tak lupa saya menghaturkan banyak terima kasih yang tak terhingga. Akhirnya kepada kawan-kawan mahasiswa dalam 1KA jurusan Antropologi Fakultas Sastra UI yang telah memberikan partisipasinya kepada saya selama di J a k a r t a , dan para mahasiswa U N H A L U yang telah m e m b a n t u saya dalam penelitian lapangan di Kendari dan di Kolaka, serta loyalitas dari kawan-kawan mahasiswa ANU di C a n b e r r a asal Indonesia, bagi saya adalah sangat berharga yang tidak dapai saya balas. J a k a r t a , 19 Agustus 1985 A.T.



I1



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR PRAKATA



5 9



I. P E N D A H U L U A N



19



1. Latar Belakang 2. Fokus d a n R u a n g Lingkup 3. Kerangka Teori d a n Konsep-Konsep yang Digunakan 4. Studi L a p a n g a n 5. Uraian Singkat Isi Disertasi II. G A M B A R A N U M U M 1. Lingkungan Alam Sulawesi Tenggara 2. Asal Mula d a n Persebaran Orang Tolaki 2.1. Asal Mula O r a n g Tolaki d a n Berdirinya Kerajaan 2.2. Wilayah Persebaran Orang Tolaki 3. Administrasi Pemerintafian di Sulawesi Tenggara . . 3.1. P e m e r i n t a h a n Z a m a n Kolonial Belanda d a n • P e n d u d u k a n Jepang 3.2. Administrasi Pemerintahan di Sulawesi Tenggara Dewasa ini 4. K e p e n d u d u k a n di Sulawesi Tenggara 5. H u b u n g a n O r a n g Tolaki dengan Suku-Suku Bangsa Lain di Indonesia III. B A H A S A T O L A K I



19 20 25 37 44 46 46 50 50 54 55 55 58 61 63 66



1. Beberapa Ciri Khas Bahasa Tolaki



66 13



PNRI



2. Bahasa Tolaki d a n Persebarannya 3. P e n g g u n a a n Bahasa Tolaki dan Sistem Penggolongannya 4. Bahasa Tolaki sebagai Alat Ekspresi dan Komunikasi dan H u b u n g a n n y a dengan Kalo IV. M A T A P E N C A H A R I A N O R A N G T O L A K I



TEKNOLOGI



TRADISIONAL



74



78 79 79 82 83 85 88 89 92 94 95



ORANG



TOLAKI 1. 2. 3. 4. 5.



70



78



1. C o r a k Kehidupan E k o n o m i 2. Bercocok T a n a m , Berburu d a n Beternak, serta Meramu 2.1. Bercocok T a n a m di L a d a n g 2.2. M e n a n a m Padi di Sawah 2.3. Berkebun T a n a m a n J a n g k a P a n j a n g 2.4. Berburu d a n Beternak 2.5. M e r a m u 3. Konsep Pemilikan 4. T u k a r M e n u k a r dan Redistribusi 5. Integrasi Berbagai Sistem E k o n o m i 6. Asas Mata Pencaharian Orang Tolaki dan H u b u n g annya dengan Kalo V. SISTEM



70



98



Jenis Alat-alat Bahan Dasar P e m b u a t a n dari Tiap Alat-Peralatan . Teknik P e m b u a t a n dari Alat-Peralatan Bentuk dari Tiap Alat-Peralatan Asas Teknologi Tradisional O r a n g Tolaki dan H u b u n g a n n y a dengan Kalo



VI. O R G A N I S A S I S O S I A L O R A N G T O L A K I 1. Sistem Kekerabatan 1.1. Tipe Sistem Kekerabatan Orang Tolaki 1.2. Keluarga Inti dan Kelompok Kekerabatan . . . . 1.3. Lingkaran H i d u p 1. Kelahiran 14 PNRI



98 102 103 104 106 108 108 108 116 124 124



2. P e r k a w i n a n 3. Kematian 2. Sistem Politik dan Stratifikasi Sosial 2.1. Organisasi Politik K e r a j a a n 2.2. Komuniti dan Pola P e m u k i m a n 2.3. Stratifikasi Sosial Tradisional d a n Masa Kini .



141 166 179 179 193 198



3. Sistem Kekerabatan d a n Organisasi Politik dan Stratifikasi Sosial Orang Tolaki dan H u b u n g a n n y a dengan Kalo 204 3.1. P e r a n a n Kalo dalam U p a c a r a 205 3.2. P a n d a n g a n - p a n d a n g a n Orang Tolaki terhadap Kalo sebagai Simbol 206 VII. K O S M O L O G I D A N S I S T E M K E A G A M A A N



217



1. Alam Semesta dan Isinya, dan Asal Manusia 2. T u h a n , Dewa, dan Manusia 3. Dunia Nyata d a n Dunia Gaib: Kekuatan Sakti dan Kekuatan Sosial 3.1. Konsepsi Orang Tolaki Mengenai Kekuatan Sakti 3.2. Konsepsi Orang Tolaki mengenai Kekuatan Sosial



217 226



234



4. U p a c a r a - U p a c a r a Keagamaan 4.1. Sistem U p a c a r a Keagamaan Orang Tolaki . . . . 4.2. Fungsi U p a c a r a p a d a Orang Tolaki



235 235 239



231 232



5. H u b u n g a n A n t a r a Kosmologi dan Sistem Keagamaan Orang Tolaki dengan Kalo 241 6. A g a m a Islam dan Lain-lain A g a m a di Sulawesi Tenggara 243 VIII. K E S E N I A N T R A D I S I O N A L O R A N G T O L A K I . . . .



245



1. Seni Sebagai Ekspresi Keagamaan 2. Prinsip-prinsip P e n a t a a n dan Perhiasan R u a n g . . . . 3. Bentuk-bentuk Kesenian 3.1. Seni Disain dan Seni Rias Tradisional



245 247 255 255 15



PNRI



3.2. Seni Vokal, Seni Instrumental, dan Seni Sastra Tradisional 256 3.3. Seni Tari Tradisional 258 4. H u b u n g a n A n t a r a Kesenian O r a n g Tolaki dengan Kalo 261 IX.



KLASIFIKASI S I M B O L I K D A L A M K E B U D A Y A A N TOLAKI 1. Klasifikasi D u a 1.1. Klasifikasi 1.2. Klasifikasi 1.3. Klasifikasi 1.4. Klasifikasi tumbuhan 1.5. Klasifikasi an



262 263 Dua p a d a Manusia 263 Dua p a d a A l a m 267 Dua p a d a Masyarakat 271 D u a pada Binatang dan T u m b u h 274 Dua p a d a P e k e r j a a n d a n Permain..276



2. Lain-lain Klasifikasi Simbolik: Klasifikasi Tiga d a n Klasifikasi Lima 277 3. Percerminan Klasifikasi D u a , Klasifikasi Tiga, dan Klasifikasi Lima p a d a Kalo 279 X. F U N G S I K A L O



283



1. Kalo Sebagai Ide dalam Kebudayaan d a n Sebagai Kenyataan dalam Kehidupan Orang Tolaki 2. Kalo sebagai Fokus dan Pengintegrasi Unsur-unsur Kebudayaan Tolaki 3. Kalo sebagai P e d o m a n H i d u p untuk Terciptanya Ketertiban Sosial dan Moral 4. Kalo sebagai Pemersatu u n t u k pertentangan Konseptual dan Sosial dalam Kebudayaan Tolaki d a n dalam Kehidupannya XI. RINGKASAN DAN P E N U T U P



283 288 293



294 298



BIBLIOGRAFI



313



LAMPIRAN-LAMPIRAN



331



16 PNRI



LAMPIRAN



LAMPIRAN



I : Beberapa Mitos 1. Mitos O h e o 2. Mitos Wekoila 3. Mitos O n g g a b o 4. Mitos P a s a ' e n o



331 331 340 341 345



II : Bunyi Bahasa Tolaki 1. Bunyi Vokal 2. K o n s o n a n



347 347 348



LAMPIRAN



III : Ciri-ciri M o r f o l o g i d a n Semantik



LAMPIRAN



IV : Struktur Kalimat



LAMPIRAN



LAMPIRAN



348 .' 355



V : C o n t o h Kata d a n Kalimat dalam Bahasa Tolaki yang M e n u n j u k k a n Ciri-ciri Penggolongan Bahasa Tolaki 1. Penggolongan Bahasa Tolaki Menurut Lapisan Sosial Pemakainya . 2. Beberapa C o n t o h Kata dan Kalimat yang Biasa Dipakai oleh Seseorang Orang tua, Ulama, J u r u Bicara A d a t , d a n Seorang D u k u n VI : Doa-doa



Membuat



dan



357



358



Memasang



Jerat LAMPIRAN



357



359



VII : D o a Memasang Cincin Hidung Kerbau



360



L A M P I R A N VIII : Kerangka Teknologi Orang Tolaki . . .



362



L A M P I R A N I X . A : P a r a d i g m a Istilah Kekerabatan dalam Bahasa Tolaki



368



L A M P I R A N I X . B : Keterangan L a m p i r a n I X . A



372



LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN



X : Mantera M e m a n d i k a n U p a c a r a Kelahiran



Bayi



dalam 374



XI : Dialog D u a J u r u Bicara dalam Upacara Perkawinan



374



XII : Bunyi A k a d Nikah, Ijab Qabul, dan Ta'lik



381 17



PNRI



L A M P I R A N XIII : Kata-kata P a m i t a n O r a n g Meninggal dengan Keluarga yang Ditinggal (Disampaikan oleh Keluarga Dekatnya) .



382



L A M P I R A N XIV : Kata-kata P e n y a m b u t a n T e r h a d a p Pengantin P e r e m p u a n oleh Pihak Mertuanya



384



LAMPIRAN



XV : Teks P e n y u m p a h a n Seorang Mokole (Raja)



385



L A M P I R A N XVI : Kata-kata P e n y a m b u t a n Seorang R a j a



387



L A M P I R A N XVII : M a n t e r a - m a n t e r a Bagi K e m a k m u r a n d a n Kesejahteraan Negeri d a n Penduduknya



388



GLOSARI INDEKS DAFTAR NAMA INFORMAN



396 415 423



18 PNRI



I



PENDAHULUAN



1. L A T A R B E L A K A N G Kalau ditinjau bibliografi Kennedy, akan tampak bahwa karangan-karangan tentang manusia dan kebudayaan di Indonesia sangat banyak. N a m u n kalau bibliografi itu ditinjau lebih mendalam akan t a m p a k bahwa amat banyak karangan mengenai kebudayaan suku-suku bangsa tertentu, tetapi sangat kurang mengenai kebudayaan beberapa suku bangsa lain tertentu. Di antara kebudayaan suku-suku bangsa yang kurang dideskripsi adalah kebudayaan suku bangsa Tolaki. Dalam bibliografi Kennedy hanya disebut 14 judul mengenai kebudayaan Tolaki.*) Dalam zaman p e m b a n g u n a n di negara kita dewasa ini kita masih merasakan kurangnya pengetahuan tentang kebudayaan suku-suku bangsa di Indonesia ini. Sumber untuk pengetahuan itu adalah tulisan etnografi, terutama etnografi yang ditulis sekarang. Dalam rangka apa yang terurai di atas, pengetahuan mendalam mengenai kebudayaan Tolaki, ialah salah satu di antara suku-suku bangsa di Indonesia yang kini kurang dikenal, menjadi sangat penting. Orang Tolaki yang akan dibicarakan di sini adalah suatu suku bangsa yang mendiami wilayah-wilayah daratan dari Kabupaten Kendari d a n Kabupaten Kolaka, yaitu dua kabupaten dari empat kabupaten di Propinsi Sulawesi Tenggara. Dua kabupaten lainnya adalah Kabupaten Buton dan Kabupaten M u n a yang terletak di



*) Lihat R. 116-117)



Kennedy, el al.,



Bibliography of Indonesian Peoples and Cuhures (1955:



19 PNRI



bagian kepulauan dari propinsi ini. Orang Tolaki, baik mereka yang tinggal di desa-desa dan hidup dari bertani tradisional, maupun mereka yang tinggal di kota dan hidup sebagai pegawai atau sebagai pengusaha, sampai sekarang rupa-rupanya masih memandang penting dalam kebudayaannya suatu lambang pusat yang keramat yang disebut kalo. Dalam menyusun etnografi mengenai kebudayaan Tolaki ini, saya akan secara khusus memberi perhatian kepada lambang yang keramat ini.



2. FOKUS DAN RUANG L I N G K U P Hal yang ingin saya tunjukkan adalah, sampai berapa jauh kalo dalam kebudayaan Tolaki dapat dianggap sebagai pusat yang mengaitkan menjadi satu, unsur-unsur yang ada dalam kebudayaan Tolaki sebagai suatu sistem yang terintegrasi. Saya ingin menunjukkan proses pengintegrasian itu pada tingkat-tingkat yang berbeda-beda dan lapangan yang berbeda-beda seperti lapangan sosial, ekonomi dan politik. Kemudian saya juga ingin menunjukkan fungsi kalo dalam kehidupan upacara dan ritus serta dalam kesenian, dan akhirnya juga fungsi kalo sebagai simbol yang mengekspresikan konsepsi orang Tolaki mengenai alam semesta dan isinya. Secara harfiah kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana pelaku membentuk lingkaran. Sebagai benda lingkaran kalo dibuat dari rotan, dan a d a j u g a berbagai jenis kalo yang dibuat dari bahan lain, yaitu: emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu, dan dari kulit kerbau. Adapun cara membuat benda-benda itu menjadi berbentuk lingkaran sehingga disebut kalo pada dasarnya adalah dengan jalan mempertalikan atau mempertemukan kedua ujung dari bahan-bahan tersebut pada suatu simpul. Suatu jenis kaloyang dibuat dari bahan tertentu dari bahan-bahan tersebut di atas, ada yang digunakan untuk beberapa keperluan, dan ada yang digunakan hanya untuk satu keperluan. 20 PNRI



Berdasarkan bahan pembuatannya dan tempat penggunaannya maka kalo itu banyak jenisnya. Kalo dari rotan itu ada yang disebut kalo sara, yaitu kalo yang digunakan sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara pelantikan raja di zaman kerajaan, upacara penyambutan adat bagi para pejabat pemerintah yang berkunjung ke daerah atau ke desa-desa, upacara perdamaian atas suatu sengketa, alat bagi sejumlah tokoh adat untuk menyampaikan sesuatu soal yang penting kepada raja, alat untuk menyampaikan undangan pesta keluarga. Kalo sara ini dalam penggunaannya dilengkapi dengan wadah anyaman dari tangkai daun palam, dan kain putih sebagai alas dari wadah tersebut. Jenis kalo lain yang dibuat dari rotan ada yang disebut kalo tusa i tonga, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat tiang tengah rumah. Ada juga kalo yang disebut kalo holunga, yaitu kalo yang dipakai untuk mengikat hulu parang, alat-alat produksi lainnya, serta senjata. Ada juga kalo yang disebut kalo o wongge, yaitu kalo sebagai pengikat dan penguat aneka-ragam wadah; ada yang disebut kalo ohotai, kalo o taho, kalo ohopi, yaitu macam-macam kalo yang digunakan untuk menangkap ayam hutan dan anekaragam burung; dan ada yang disebut kalo o oho, yaitu kalo yang digunakan untuk menangkap kerbau liar, kuda, dan anuang; serta ada yang disebut kalo selekeri, yaitu kalo yang digunakan sebagai cincin hidung kerbau. Kalo dari emas disebut kalo eno-eno, yaitu kalo yang digunakan sebagai alat upacara sesaji, alat tebusan atas pelanggaran janji untuk melangsungkan upacara peminangan gadis dalam rangkaian perkawinan, sebagai salah satu dari mas kawin, dan dipakai sebagai kalung perhiasan bagi wanita. Kalo dari besi disebut kalo kalelawu, yaitu kalo yang digunakan sebagai cincin hidung kerbau, seperti halnya dengan kalo selekeri tersebut di atas. Kalo dari perak disebut kalo sambiala, kalo bolosu, dan kalo o langge, yaitu kalo yang masing-masing dipakai perhiasan dada, perhiasan pada pergelangan tangan, dan perhiasan pada pergelangan kaki, baik bagi anak-anak maupun bagi gadis remaja. Kalo dari benang ada yang disebut kalo kale-kale, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat pergelangan tangan dan kaki bayi; 21 PNRI



dan ada yang disebut kalo ula-ula, yaitu kalo yang digunakan sebagai alat pekabaran tentang adanya orang meninggal. Kalo dari kain putih disebut kalo lowani, yaitu kalo yang dipakai di kepala sebagai tanda berkabung; dan kalo dari kain biasa disebut kalo usu-usu, yaitu kalo yang dipakai di kepala sebagai pengikat dan penutup kepala bagi orang tua. Kalo dari akar atau kulit kayu disebut kalo pebo, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat pinggang bagi orang dewasa; dan yang khusus dari akar bahar disebut kalo kalepasi, yaitu kalo yang dipakai sebagai perhiasan bagi orang dewasa; serta kalo dari akar hawa disebut kalo parahi atau kalo mbotiso, yaitu kalo yang digunakan sebagai tanda atau patok pemilikan tanah hutan untuk selanjutnya diolah menjadi sebuah ladang atau kintal. Kalo dari daun pandan disebut kalo kalunggalu, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat kepala bagi gadis remaja. Kalo dari bambu disebut kalo kinalo, yaitu kalo .yang digunakan sebagai penjaga kintal dan tanaman yang ada di dalamnya. Akhirnya kalo dari kulit kerbau disebut kalo parado, yaitu kalo yang digunakan untuk menangkap kerbau liar. Kalo sebagai cara-cara mengikat yang melingkar disebut mowewei (membelitkan), mombali (melingkari); dan sebagai pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana pelaku membentuk lingkaran disebut metaboriri (duduk melingkar dalam keadaan makan bersama), meobu-obu (duduk melingkar dalam merundingkan sesuatu secara bersama-sama), metomusako (berdiri berkeliling dalam menangkap ternak, dan dalam melakukan tarian masai), dan modinggu (menumbuk padi secara bersama-sama dengan mengelilingi sebuah lesung sambil membunyikan lesung dan alu). Konsep kalo dalam kebudayaan Tolaki sangat luas ruang lingkupnya. Menurut para informan kalo itu secara u m u m meliputi o sara (adat-istiadat), khususnya sara owoseno Tolaki atau sara mbu'uno Tolaki, yaitu adat pokok, yang merupakan sumber dari segala adat-istiadat orang Tolaki yang berlaku dalam semua aspek kehidupan mereka. Kalo sebagai adat pokok dapat digolongkan ke dalam apa yang disebut: (1) sara wonua, yaitu adat pokok 22 PNRI



dalam pemerintahan; (2) sara mbedulu, yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya; (3) sara mbe'ombu, yaitu adat pokok dalam aktivitas agama dan kepercayaan; (4) sara mandarahia, yaitu adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan; dan (5) sara monda'u, mombopaho, mombakani, melambu, dumahu. meotioti, yaitu adat pokok dalam berladang, berkebun, beternak, berburu, dan menangkap ikan. Adat pokok dalam pemerintahan mengatur dan menetapkan hak dan kewajiban, fungsi dan tugas seorang raja dan aparatnya, mengatur dan menetapkan struktur organisasi dan personalia untuk menyelenggarakan pemerintahan, dan mengatur hak rakyat dan kewajiban terhadap raja dan negeri, dan mengatur hubungan antara raja dan rakyat. Adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya mengatur hubungan antar anggota keluarga inti, antar anggota kelompok kerabat, dan antar golongan bangsawan dan bukan bangsawan. Dalam adat pokok kekeluargaan dan persatuan ini tercakup apa yang disebut sara mberapu, yaitu adat perkawinan, yang mengatur dan menetapkan tatacara memilih j o d o h , mana yang boleh dan mana yang terlarang, tatacara melamar, peminangan, dan pernikahan, tatacara memilih tempat menetap sesudah nikah, menetapkan jenis warisan dan bingkisan bagi pengantin, soal perceraian dan tanggung jawab pemeliharaan anak sesudah perceraian. Juga dalam adat pokok kekeluargaan dan persatuan ini tercakup apa yang disebut merou, yaitu aturan sopan santun yang harus ditaati oleh seseorang dalam mengujar kata-kata dan membuat isyarat kepada seseorang lainnya untuk menyampaikan maksudnya. Ada pokok dalam aktivitas agama dan kepercayaan ialah mengatur dan menetapkan tempat-tempat upacara, alat-alat upacara, tatacara berdoa, perlakuan terhadap dukun, dan penyelenggaraan upacara keagamaan. Dalam adat pokok ini tercakup apa yang disebut mombado, yaitu adat pantang untuk melakukan halhal yang terlarang oleh ajaran agama dan kepercayaan. Pantangan itu adalah misalnya: kawin dengan saudara kandung, menganiaya 23 PNRI



hewan bagi suami yang istrinya sementara baru mulai mengandung, memaki-maki hama t a n a m a n . Adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan mengatur bagaimana cara-cara pengambilan bahan, proses persiapannya, dan proses pembuatannya. Dalam adat pokok ini tercakup apa yang disebut mepori, yaitu ketelitian, ketekunan dalam mengerjakannya demikian pula hal cara-cara pemanfaatan hasil keahlian dan keterampilan sehingga tahan lama dalam pemakaiannya. Keahlian dan keterampilan itu adalah misalnya: memandai parang dan alat-alat produksi dan senjata, menganyam tikar, membuat alat-alat tenda dan tirai untuk perhiasan kamar. Adat pokok dalam pertanian, bercocok tanam, menggembala kerbau, berburu, dan menangkap ikan, masing-masing mengatur dan menetapkan cara-cara memilih lokasi perladangan, cara mengolah menurut fase-fasenya, cara-cara menanam dan memelihara tanaman, cara memetik hasil, dan cara-cara pemanfaatan hasil; cara-cara memelihara kerbau, cara-cara menggembalakan kerbau, tatacara pembagian daging ternak potong; cara-cara berburu dan memasang jerat dan perangkap, tatacara pembagian daging buruan; cara-cara membuat alat-alat penangkap ikan, cara-cara menangkap ikan, dan tatacara pembagian hasil tangkapan kepada para anggota keluarga. Dalam adat bercocok tanam tercakup apa yang disebut o wua, yaitu adat-istiadat yang harus ditaati oleh petani agar tanamannya dapat tumbuh subur, berbuah lebat, dan apa yang disebut o lawi, yaitu adat-istiadat yang harus ditaati oleh petani agar padinya dapat memproduksi lebih, bernilai tambah. Dalam adat beternak, berburu, dan menangkap ikan tercakup apa yang disebut o sapa, yaitu adat-istiadat yang harus ditaati oleh penggembala, pemburu, dan penangkap ikan, agar kerbaunya dapat berkembang biak, agar usaha perburuannya dan penangkapan ikannya senantiasa berhasil secara berkelanjutan. Tampak gejala di sini bahwa kalo itu pada orang Tolaki menyangkut seluruh adat-istiadatnya dalam segala wujudnya. Dengan demikian kalo dalam kebudayaan Tolaki bisa dikaitkan dengan bahasa, sistem teknologi tradisional, sistem ekonomi tradi24 PNRI



sional, organisasi sosial tradisional, religi, dan kesenian mereka secara keseluruhan. Di atas telah disebut bahwa kalo juga merupakan simbol. Kalo sebagai simbol mengekspresikan konsepsi orang Tolaki mengenai unsur manusia, unsur alam, unsur masyarakat, dan unsur kebudayaannya, dan juga mengekspresikan komunikasi antara manusia dengan unsur-unsur tersebut di atas. Kecuali itu kalo juga melambangkan persatuan antara segala hal yang bertentangan dan tampak bertentangan dalam alam sekitar manusia. Kalo dengan artinya sebagai benda lingkaran yang dipakai atau digunakan dalam berbagai keperluan upacara, sebagai cara-cara mengikat yang melingkar, sebagai pertemuan atau kegiatan bersama, sebagai konsep yang bermakna adat-istiadat, dan sebagai simbol yang mengekspresikan konsepsi orang Tolaki mengenai manusia dan alam semesta dengan isinya, dan kebudayaan orang Tolaki secara keseluruhan inilah yang merupakan ruang lingkup dari tulisan ini dalam usaha saya m e n u n j u k k a n bahwa kalo orang Tolaki itu adalah fokus*' yang dapat mengintegrasikan unsurunsur yang ada dalam kebudayaan Tolaki. Dalam disertasi ini data yang disajikan dalam bab-bab berikutnya mencoba memperlihatkan dan membuktikan bahwa kalo adalah fokus yang mengintegrasikan kebudayaan Tolaki. Penyajian data tersebut dapat dilakukan karena penggunaan kerangka teori untuk analisanya. 3. KERANGKA TEORI DAN K O N S E P - K O N S E P YANG DIGUNAKAN Dalam perpustakaan antropologi, masalah integrasi kebudayaan *) Dengak ku/o sebagai lokus kebudayaan Tolaki di sini saya maksud unsur kebudayaan yang merupakan suatu unsur pusat dalam kebudayaan Tolaki, sehingga mendominasi banyak aktivitas atau pranata lain dalam kehidupan masyarakatnya. Fokus kebudayaan dari suatu masyarakat, oleh R. Linton (1936: 402-404) disebut cullurul interest atau social interes!, yaitu suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak amat digemari warga masyarakatnya sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat yang bersangkutan (lihat Koentjaraningrat 1981: 230).



25 PNRI



telah didekati oleh para ahli, dengan mempergunakan kerangka teori: (1) struktural-fungsional (Malinowski 1922; Radcliffe-Brown 1922; De Josselin de Jong 1934: Levi-Strauss 1962); (2) antropologi-psikologi (Benedict 1934); dan (3) teori mengenai simbol sebagai sarana untuk integrasi (Geertz 1973).*) B. Malinowski mengembangkan suatu teori untuk menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia, yaitu teori yang disebutnya afunctional theory ofculture atau suatu teori fungsional tentang kebudayaan. Teori beliau ini mengambil gagasan yang menggunakan gagasan dasar dari learning theory atau teori belajar dalam psikologi. Beliau berkenalan dengan teori belajar itu karena pergaulannya dengan ahliahli psikologi aliran behaviorisme seperti N.E. Miller dan J. Dollard di Universitas Yale, Amerika Serikat, ketika beliau berkunjung di sana selama setahun pada 1942. Teori belajar ini melatarbelakangi pemikiran beliau menghubungkan serangkaian unsur kebudayaan dengan serangkaian kebutuhan dasar dalam naluri manusia, dan teori ini diuraikan oleh beliau dalam buku yang berjudul A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944).**] Inti dari teorinya adalah pendirian bahwa segala aktivitas kebudayaan itu tidak lain, bermaksud memenuhi dan memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Sebagai contoh, salah satu unsur kebudayaan itu adalah misalnya kesenian, yang terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan k e i n d a h a n . Demikian juga misalnya, ilmu pengetahuan timbul karena manusia ingin memenuhi kebutuhannya akan tahu. Namun ada banyak juga aktivitas kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa macam kebutuhan manusia. Dengan teori itu, kata Malinowski, seorang peneliti dapat menganalisa dan *) Tidak semua acuan tersebut saya baca sendiri tetapi saya kutip melalui karya-karya Koentjaraningrat 1964: 60-78: 1975: 135-165; 1980: 160-243. Kecuali itu saya baca karya-karya dari A . R . Radcliffe-Brown 1922 (1979: 188-204); B. Malinowski 1922 (1972: 509-518); 1944 (1954); demikian C. Levi-Strauss (1966: 135-216; 1979- 31-54)R.F. Benedict 1934: 1-51; C. Geertz 1973: 87-141; 1983: 73-146); dan P. Suparlan 1981V11-X1V.



**) Buku ini baru terbit setelah beliau meninggal.



26 PNRI



menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia. Jikalau teori fungsional tentang kebudayaan dari Malinowski dikembangkan berdasarkan teori tentang belajar dalam psikologi, maka teori social-slructure atau struktur sosial dari A.R. Radcliffe-Brown dikembangkan berdasarkan teori-teori tentang gejala alam dalam ilmu alam. Radcliffe-Brown berpendirian, bahwa kalau ilmu antropologi itu mau maju sebagai ilmu, antropologi harus mengembangkan suatu pendekatan dan metodologi yang serupa dengan pendekatan dan metodologi yang dipergunakan oleh ilmu-ilmu alam dan eksakta. Dalam kehidupan masyarakat terjadi banyak kejadian sosial dan gejala sosial yang menurut pola-pola tertentu dan pola-pola itu dapat dikembalikan kepada unsur-unsur hubungan yang paling asasi dari kehidupan masyarakat yaitu social structure atau struktur sosial. Suatu uraian yang jelas mengenai apa yang dimaksudkan oleh Radcliffe-Brown dengan istilah social struclure itu diberikannya dalam pidato pengukuhannya sebagai ketua lembaga antropologi Royal Anlhropological Inslitute o f G real Britain and Ireland dalam tahun 1939.*' Dalam pidato beliau yang berjudul On Social Structure itu beliau menerangkan bahwa: 1. Masyarakat yang hidup di tengah-tengah alam semesta ini terdiri dari serangkaian gejala-gejala sosial, sebagaimana halnya dalam alam semesta ini yang terdiri dari gejala-gejala alam. 2. Masyarakat yang hidup juga merupakan suatu kias dari gejala alam, yang dapat dipelajari dengan menggunakan metodologi yang sama seperti yang digunakan untuk mempelajari gejalagejala alam. 3. Suatu masyarakat yang hidup merupakan juga suatu sistem sosial, yang mempunyai struktur seperti halnya bumi, organisma, makhluk atau molekul. 4. Ilmu sosial yang mempelajari struktur dan sistem-sistem sosial dalam kehidupan masyarakat adalah sama halnya dengan ilmu geologi yang mempelajari struktur kulit bumi. *) Judul On Social Structure ini juga dimuai dalam bukunya Structure anti Function in Primitive Society (1952: 188-204).



27 PNRI



5. Sualu struktur sosial merupakan total dari jaringan hubungan antara person-person dan kelompok-kelompok person, yaitu suatu total jaringan hubungan yang terdiri dari dua dimensi. Dua dimensi itu adalah hubungan diadik, yaitu hubungan antara pihak kesatu (seorang person atau suatu kelompok person) dengan pihak kedua (person atau kelompok person lainnya); dan hubungan diferensial, yaitu hubungan antara satu pihak dengan beberapa pihak yang berbeda-beda, atau sebaliknya. 6. Bentuk dari suatu struktur sosial adalah tetap, dan kalau berubah, proses perubahan itu biasanya sangat lambat, sedangkan wujud dari struktur sosial, yaitu person-person atau kelompok-kelompok person yang ada di dalamnya, selalu berubah dan berganti. Perubahan dari suatu struktur sosial dapat terjadi karena akibat perang atau revolusi. 7. W u j u d dari struktur dapat diobservasi oleh seorang peneliti masyarakat di lapangan, tetapi analisanya harus sampai pada pengertian tentang bentuknya yang bersifat lebih abstrak. 8. Seorang ahli ilmu sosial yang mendeskripsikan suatu struktur sosial, baik dalam dimensi diadik m a u p u n dalam dimensi diferensialnya, dapat mengerti latar belakang kehidupan kekerabatan, ekonomi, religi, mitologi, dan sektor-sektor lain dalam kehidupan masyarakat yang menjadi pokok perhatiannya. Teori struktur sosial ini oleh Radcliffe-Brown sendiri belum semuanya dapat diterapkannya sampai beliau meninggal, kecuali dalam analisanya mengenai sistem kekerabatan unilineal dan upacara agama beserta mitologinya, dalam tiga macam masyarakat, yaitu masyarakat berburu di A n d a m a n dan Australia, dari masyarakat peternak dan petani di Afrika. Analisa dan keterangan beliau mengenai tiga macam masyarakat tersebut, masing-masing diuraikannya dalam buku-bukunya: The Andamans Is/anders (1922), The Social Organizalion of Australian Tribes (1930-1931), dan A f rica n System of Kinship and Marriage (1950). Teori struktur sosial tidak hanya berkembang dalam ilmu antropologi di Inggris dan di Amerika, tetapi juga berkembang dalam ilmu antropologi di Indonesia melalui sarjana-sarjana antropologi dari negeri Belanda, yang pada umumnya mengadakan 28 PNRI



penelitian lapangan di banyak masyarakat di Indonesia. orang sarjana antropologi bangsa Belanda, yang dikenal bangkan teori struktur sosial, ialah J . P . B . de Josselin Beliau menggunakan istilah "sociaate struktuur" untuk an yang sama dengan struktur sosial.



Salah semengemde Jong. pengerti-



Teori de Josselin de Jong sociaate struktuur atau struktur sosial untuk penyelidikan masyarakat dan kebudayaan di Indonesia bersumber dari teori F.D.E. van Ossenbruggen tentang sistem federasi lima desa di Jawa yang dikenal dengan sebutan sistem macafat, dan juga melalui pandangan W . H . Rassers tentang struktur masyarakat Jawa dalam bentuk moiety. Menurut De Josselin de Jong struktur sosial yang dirumuskan oleh Rassers itu merupakan asas organisasi dari masyarakat semua suku bangsa di Nusantara. Perincian dari pandangannya mengenai struktur sosial di Indonesia itu adalah sebagai berikut: 1. Pada zaman dahulu masyarakat-masyarakat di Indonesia terdiri dari beberapa persekutuan yang berdasarkan ikatan kekerabatan, yang disebut dan (klen), yang kadang-kadang berdasarkan kaidah keturunan patrilineal,kadang-kadang kaidah matrilineal, dan yang biasanya bersifat e.xogam, yang diatur menurut adat yang disebut circulerend comnubium atau asymetrisch comnubium, yaitu adat perkawinan di mana klen A mengambil gadis dari klen B, klen B mengambil gadis dari klen C, dan klen C mengambil gadis dari klen A, sehingga membentuk lingkaran. Jumlah klen paling sedikit harus tiga, dan tentu dapat ditambah dengan jumlah tak terbatas. 2. Dalam susunan kemasyarakatan maka klen pemberi gadis harus dianggap lebih tinggi daripada klen penerima gadis. 3. Sehubungan dengan adat perkawinan tadi ada suatu adat pertukaran harta benda. Pihak pemberi gadis memberi bendabenda yang bersifat wanita sedangkan pihak laki-laki memberikan benda-benda yang bersifat pria kepada pihak lawannya. 4. Seluruh jumlah klen tadi terbagi ke dalam dua golongan, yang disebut moiety atau paruh masyarakat, yaitu golongan yang 29 PNRI



saling bersaingan dalam hal tertentu dan yang saling kerja sama dalam hal lainnya. 5. Seseorang individu menjadi anggota dari dua persekutuan, yakni: persekutuan klen dan persekutuan paruh masyarakat. Biasanya seseorang individu menjadi anggota dari dua persekutuan tersebut melalui garis salah satu dari kedua orang tuanya. Kalau ia menjadi anggota klen melalui garis ayah, maka ia menjadi anggota paruh masyarakat melalui garis ibu, atau sebaliknya. Sistem keanggotaan tersebut berdasarkan prinsip keturunan dubbel-anilaterai 6. Perpecahan dari masyarakat di dalam berbagai persekutuan tadi itu biasanya diliputi oleh suatu faham persatuan, yang diletakkan pada salah satu kelompok keluarga yang dianggap tertua dan dianggap keturunan langsung dari nenek moyang yang pertama, asal dari seluruh rumpun suku bangsa. 7. Susunan masyarakat dalam bentuk kedua paruh masyarakat dalam kombinasi dengan susunan klen-klen, menyebabkan adanya penggolongan masyarakat yang menjadi dasar untuk mengklasifikasikan semua pengertian yang ada dalam semesta sekitar manusia. Dasar klasifikasi adalah dua paruh masyarakat. Paruh yang satu diasosiasikan dengan pengertian lakilaki, dan paruh yang lain dengan pengertian perempuan. Klasifikasi simbolik atas laki-laki dan perempuan inilah yang menjadi dasar dari semua klasifikasi yang ada mengenai alam sekitar manusia, seperti klasifikasi atas langit dan bumi, laut dan gunung, api dan air, dan seterusnya. 8. Sistem klasifikasi tersebut erat bersangkut paut dengan suatu sistem nilai. Satu paruh masyarakat dengan segala hal yang diklasifikasikan ke dalamnya dianggap oleh adat lebih baik, lebih tinggi, lebih kuat, lebih terhormat dan sebagainya daripada segala hal yang diklasifikasikan ke dalam paruh lawannya. 9. Seluruh susunan kemasyarakatan tadi berhubungan erat dengan religi karena tiap-tiap persekutuan di dalam masyarakat dianggap keturunan dari sejenis binatang atau tumbuhan yang dihormati dengan berbagai upacara keagamaan dan 30 PNRI



10.



11.



12.



13.



14.



pantangan atau tabu, yang merupakan kompleks kepercayaan yang oleh Josselin de Jong disebut totemisme. Upacara-upacara keagamaan yang penting itu merupakan serangkaian upacara inisiasi dalam lingkaran hidup individu, mulai dari sejak lahirnya sampai matinya. Upacara-upacara keagamaan tadi diperkuat oleh adanya himpunan kesusastraan mitologi mengenai beberapa tokoh pahlawan yang melambangkan kedua paruh masyarakat tadi. Tokok-tokoh pahlawan tadi dianggap penjelmaan dari dewa-dewa, sehingga tokoh-tokoh pahlawan itu merupakan tujuan pemujaan dari semua upacara keagamaan yang dilakukan. Dewa-dewa itu biasanya dipandang terdiri atas dua atau tiga dewa atau dua atau tiga golongan dewa. Dewa yang pertama mewakili aspek baik dan hidup, dewa yang kedua mewakili aspek buruk dan maut. Sepasang dewa itu sungguhpun berlawanan sifatnya, namun dianggap sangat erat bersangkut paut, karena keduanya pada hakikatnya hanya merupakan dua aspek dari dewa yang ketiga, ialah dewa tertinggi dan pencipta alam. Dewa yang mewakili aspek buruk dan maut mengandung di dalam dirinya sifat-sifat dualistis. Selain ia diasosiasikan dengan kematian, dengan bumi, dengan keburukan, sehingga ia dianggap dekat dengan manusia, ia juga adalah anggota dari alam dewata sehingga dekat kepada hal-hal yang tinggi dan baik. Sifat dualistis dari dewa ini tampak di dalam mitologi, di dalam diri seseorang tokoh yang seringkali berlaku sebagai perantara dunia manusia dengan alam dewata. Susunan dewa-dewa di dalam kepercayaan rakyat mempengaruhi susunan pimpinan masyarakat yang seringkali melambangkan tokoh-tokoh dewa-dewa tersebut di atas.



Rumusan mengenai sociaate struktuur kebudayaan di Indonesia yang diuraikan oleh Josselin de Jong itu, memang tampak tak jauh berbeda dengan teori Rassers mengenai inti kebudayaan Jawa yang dianalisanya melalui berbagai adat-istiadat orang Jawa. 31 PNRI



Konsep De Josselin de'Jong yang terurai di atas, dikemukakannya dalam karangannya yang terkenal De Maleische Archipe! ats Ethnologisch Studieveld (1935). Selama menjadi guru besar antropologi pada Universitas Leiden, dalam kuliah-kuliahnya, ia menga n j u r k a n para mahasiswanya untuk menguji hipotesanya itu. Dengan a n j u r a n n y a itu maka ada beberapa ahli antropologi di negeri Belanda dan di Indonesia muridnya yang melaksanakan penelitian mengenai berbagai daerah di Indonesia, antara lain: J . P . Duyvendak, yang meneliti organisasi sosial masyarakat Seram di Maluku; P . A . E . van W o u d e n , C. N o o t e m b o m , M . M . Nicholspeyer, yang meneliti beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur; H . J . Fredericy dan R.E. Down yang meneliti organisasi sosial di Sulawesi Selatan dan Tengah; H. Scharer yang meneliti Kalimantan; Koes S a r d j o n o , yang meneliti mitologi anak gembala di Jawa; dan lain-lain (Koentjaraningrat 1980: 205-207). C. Levi-Strauss dalam menerapkan teori struktural-fungsional, mempunyai konsep yang disebut konsep "segitiga kuliner". Konsep ini bersumber dari logika berpikir dalam filsafat. Ia berpendirian bahwa cara-cara berpikir elementer dari akal manusia itu cenderung untuk mengklasifikasikan alam dan masyarakat sekitarnya ke dalam dua golongan berdasarkan ciri-ciri yang kontras, bertentangan, atau kebalikannya, yaitu suatu cara yang disebut binary opposition (oposisi pasangan). Klasifikasi atas dua golongan itu adalah misalnya: bumi-langit, hidup-maut, manusiabinatang, manusia-dewa, pria-wanita, atau hitam-putih, kirikanan, depan-belakang, kerabat-orang luar dan sebagainya. Konsep elementer pembagian ke dalam dua golongan yang sifatnya relatif itu telah menimbulkan konsep akan adanya golongan ketiga yang dapat menempati kedua kedudukan dalam kedua pihak dari suatu pasangan binari. Pihak ketiga itu dalam cara berpikir bersahaja dianggap merupakan suatu golongan antara yang memiliki ciri-ciri dari kedua belah pihak, n a m u n tidak bercampur, melainkan saling terpisah dalam keadaan yang berlainan. Dengan demikian timbullah gagasan rangkaian segitiga, misalnya: manusia-roh halus-dewa, hidup-maut-hidup di akhirat, bumi-gunung32 PNRI



langit, dan sebagainya. Konsep ini digunakan oleh Levi-Strauss dalam menganalisa sistem kekerabatan dan mitologi. Konsep Levi-Strauss yang terurai di atas diterangkannya dalam bukunya yang berjudul The Savage Mind (1962), dan di dalam bunga rampainya Struclural Anlhropology (1963). Bukunya yang memuat analisanya tentang sistem kekerabatan dari enam suku bangsa, yakni: Trobriand, Sinai, Debu, Kabutu, Cherkesa dan Tonga, adalah buku yang berjudul The Elementary Slructures of Kinship (1969); sedangkan bagaimana caranya menganalisa mitologi itu termuat di dalam bukunya yang berjudul The Siriicmrcil Study ofMyth (1955). Meskipun ketiga tokoh struktural-fungsional: Malinowski, Radcliffe-Brown, dan Levi-Strauss, mempunyai kesamaan dalam memandang masyarakat manusia dan kebudayaannya sebagai kompleks unsur-unsur yang saling terkait antara satu sama lain oleh adanya suatu asas masyarakat dan kebudayaan, tetapi masing-masing saling berbeda. Jika Malinowski memandang asas dari kompleks unsur-unsur kebudayaan itu terletak pada fungsinya sebagai upaya manusia dalam rangka memenuhi dan memuaskan kebutuhan-kebutuhannya, maka Radcliffe-Brown memandang asas dari kompleks unsur-unsur masyarakat itu terletak pada struktur sosial yang melandasi tingkah laku interaksi manusia dengan sesamanya dalam kehidupannya sehari-hari yang nyata, baik yang bersifat timbal-balik langsung maupun tak langsung. Sedangkan pada pandangan Levi-Strauss, baik asas dari kompleks unsur-unsur masyarakat maupun asas dari kompleks unsur-unsur kebudayaan, terletak pada sistem berpikir universal dari manusia dan yang abstrak dan sering terpendam dalam sub sadarnya. Pendekatan antropologi-psikologi yang dilakukan oleh R.F. Benedict ialah mengembangkan konsep " p o l a k e b u d a y a a n " yang bersumber dari pengetahuannya mengenai psikologi dan psikoanalisa. Dengan konsepnya itu ia memandang bahwa kebudayaankebudayaan manusia tidak hanya sebagai suatu himpunan dari unsur-unsur saja yang terlepas satu sama lain, tetapi sebagai suatu kompleks unsur yang saling terjaring, yang mengandung arti dan memancarkan suatu watak atau jiwa. Arti watak atau jiwa yang 33 PNRI



terkandung di dalam segala adat-istiadat, cita-cita, anggapananggapan, pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan emosi-emosi dari sebagian besar individu dalam masyarakat itu adalah suatu kesatuan. Jiwa dan watak tersebut itulah yang dimaksudkan oleh Benedict dengan pauern of culture atau " p o l a k e b u d a y a a n . " Konsepnya tentang pola kebudayaan ini digunakannya dalam penelitiannya mengenai tiga suku bangsa, yaitu: suku bangsa Pueblo di New Mexico, suku bangsa Dobu di Pulau Trobriand dan suku bangsa Kwakiutl di pantai utara barat Amerika. Konsep Benedict yang terurai di atas termuat di dalam bukunya yang berjudul Patlems of Culture (1934). Selain itu ia juga menulis sebuah buku hasil penelitian dengan menggunakan konsepnya itu, ialah bukunya mengenai pola kebudayaan Jepang dalam zaman Perang Pasifik, yang berjudul The Chrysantliemun and Sword (1946). Kini kedua buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Pendekatan lain dari integrasi kebudayaan, ialah pendekatan antropologi-religi. Salah satu pendekatan antropologi-religi adalah kerangka lima komponen dari religi yang dikembangkan oleh Koentjaraningrat, ahli antropologi Indonesia yang banyak menulis mengenai teori antropologi sejak tahun lima puluhan (1958) sampai dewasa ini (1980). Konsep dan kerangka lima komponen dari religi yang dikembangkan oleh Koentjaraningrat tersebut di atas berasal dari teori dan konsep E. Durkheim (1912) tentang asas religi. Menurut Durkheim asas atau inti dari suatu religi adalah emosi keagamaan yang bersumber pada kesadaran kolektif para warga klen, dan sebaliknya kesadaran kolektif mengintensifkan emosi keagamaan yang ditimbulkan dalam upacara-upacara totem yang bersifat saere (keramat) itu.*' Berdasarkan teori dan konsep Durkheim tersebut, maka untuk keperluan analisa antropologi dan sosiologi, Koentjaraningrat *) Teori dan konsep E. Durkheim tentang asas religi diuraikannya di dalam karyawan sana berjudul Les lormes Elementuires r/e la Vie Relif-ieuse (1912) dan kini buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Ihe elemenlary forms of the religious life (1962) oleh Joseph Ward Swain.



34 PNRI



memecah konsep religi itu ke dalam lima k o m p o n e n yang mempunyai peranannya sendiri-sendiri, tetapi m e r u p a k a n bagian-bagian dari suatu sistem yang berkaitan erat satu dengan lain. Kelima k o m p o n e n itu adalah: (1) emosi keagamaan; (2) sistem keyakinan; (3) sistem ritus dan upacara; (4) peralatan ritus dan upacara; dan (5) u m a t agama. Emosi keagamaan merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia, yang menyebabkan manusia mempunyai serba religi. Menurut Koentjaraningrat, k o m p o n e n emosi keagamaan inilah yang m e r u p a k a n k o m p o n e n u t a m a dari gejala religi, yang m e m b e d a k a n suatu sistem religi dari semua sistem sosial budaya yang lain dalam masyarakat manusia. Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia menyangkut keyakinan d a n konsepsinya tentang sifat-sifat T u h a n , w u j u d dari alam gaib (kosmologi), terjadinya .alam d a n dunia (kosmogoni), zaman akhirat (ecsyatologi), wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam, dewadewa, roh j a h a t , h a n t u , dan makhluk-makhluk halus lainnya. Kecuali itu sistem keyakinan juga menyangkut sistem nilai dan sistem n o r m a yang mengatur tingkah laku manusia. Sistem keyakinan tersebut biasanya terkandung dalam kesusastraan suci, baik tertulis m a u p u n lisan, yang isinya berupa a j a r a n doktrin, tafsiran, serta penguraiannya; d a n juga berupa dongeng-dongeng suci dan mitologi dalam bentuk prosa dan puisi. Semua kesusastraan suci, dongeng suci dan mitologi di atas menceritakan dan melukiskan kehidupan roh, dewa, dan makhluk-makhluk halus dalam dunia gaib lainnya. Sedangkan sistem ritus dan upacara berwujud aktivitas dan tind a k a n manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap T u h a n , dewa, roh nenek moyang, dan makhluk halus lainnya, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan T u h a n dan penghuni dunia gaib lainnya itu. Aktivitas dan tindakan kebaktian dimaksud biasanya berlangsung berulang-ulang, baik tiap hari, tiap musim, m a u p u n kadang-kadang saja. Suatu ritus atau upacara biasanya terdiri dari suatu kombinasi aktivitas dan tindakan, seperti: berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, m a k a n bersama, 35 PNRI



menari dan menyanyi, berprosesi, berseni-drama suci, berpuasa intoxikasi, bertapa, dan bersamadi. Dalam melaksanakan ritus dan upacara biasanya dipergunakan aneka ragam sarana dan peralatan, seperti: tempat dan gedung pemujaan (masjid, langgar, gereja, pagoda, stupa dan lain-lain), patung dewa, patung orang suci, alat bunyi-bunyian suci, lonceng dan lain-lain), dan para pelaku upacara seringkali harus mengenakan pakaian yang juga dianggap mempunyai sifat suci (jubah pendeta, jubah biksu, mukemah dan lain-lain). Komponen kelima dari sistem religi adalah umatnya, atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus serta upacara itu. Adapun kerangka lima komponen sistem religi dari Koentjaraningrat yang terurai di atas terdapat di dalam buku beliau yang berjudul Sejarah Teori Antropologi (1980: 80-83). Akhirnya ada teori mengenai simbol sebagai sarana integrasi unsur-unsur kebudayaan yang antara lain dikembangkan oleh C. Geertz. Ahli antropologi Amerika yang banyak menulis mengenai Indonesia ini, memandang setiap unsur-unsur suatu kebudayaan juga sebagai suatu sistem simbol, dan ada satu unsur di antara banyak unsur kebudayaan, yang berfungsi sebagai pusat yang mengintegrasikan unsur-unsur lainnya, yakni unsur upacara. Geertz berkata: upacara dengan sistem-sistem simbol yang terdapat di dalamnya berfungsi sebagai pengintegrasi etos kebudayaan dan pandangan hidup. Konsep "integrasi sistem-sistem simbol" ini digunakan oleh Geertz dalam menganalisa beberapa unsur kebudayaan Jawa dan kebudayaan Maroco (Geertz 1973; 1983). Dengan " s i m b o l " di sini dimaksud oleh Geertz sesuatu yang dapat berupa sebagai: benda, peristiwa, kelakuan atau tingkah laku seseorang, dan berupa ucapan-ucapan (Geertz 1973: 91-94).*» Sedangkan unsur-unsur kebudayaan sebagai sistem-sistem simbol



*) Definisi dan keterangan-keterangan yang lain mengenai simbol itu dapat juga dilihat: A . N . Whitehead 1928: 12-15; L.A. White 1940: 451-463; 1949: 22-39; E. Cassirer 1944: 25; 1955: 60; S.K. Langer 1951: 60; M. Eliade 1952; 47-166; 1957: 136-138; G. ReichelDolmatoff 1971: 94-124; R. Firth 1975: 77-79; R . H . Hook 1979: 267-292; S.T. Achen 1981; dan T. Chetwynd 1982.



36 PNRI



telah diuraikan oleh Geertz, dalam bukunya yang berjudul Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology (1983). Dengan berbagai kerangka teori dan konsep-konsep ini, saya melihat bahwa pada kebudayaan Tolaki ada sistem-sistem simbol yang berfokus pada simbol utama atau simbol penting yang menjadi pengintegrasi sistem-sistem simbol, yang beroperasi pada tingkat-tingkat yang berbeda-beda, yang tercermin baik pada tingkat upacara maupun pada tingkat kehidupan di luar upacara. Simbol utama yang saya maksud di sini adalah kalo orang Tolaki. Kalo pada tingkat upacara berfungsi mengungkapkan sesuatu atau beberapa aspek integrasi antara orientasi nilai budaya, etos atau jiwa kebudayaan dan pandangan hidup manusia penganut kebudayaan yang bersangkutan, yang merupakan unsur-unsur yang paling hakiki bagi eksistensi kebudayaan manusia, berfungsi juga untuk mengungkapkan kaitannya dengan simbol-simbol lain yang digunakan manusia, dan berfungsi juga untuk menjembatani hubungan timbal-balik antara manusia dengan lingkungan sosialnya, dan dengan lingkungan alam sekitarnya. Kalo pada tingkat kehidupan biasa di luar upacara berfungsi mewujudkan asas-asas pembagian dua dan pembagian liga yang tercermin dalam bentuk kategori-kategori simbolik dua dan tiga, dan berfungsi juga sebagai unsur tertinggi dari unsur-unsur serta sub unsur kebudayaan Tolaki yang lain, sehingga menyebabkan semua unsur kebudayaannya saling berkaitan satu dengan yang lain. Dengan perkataan lain, kalo sebagai ide dalam kebudayaan Tolaki adalah lambang dari orientasi nilai budayanya, etosnya dan pandangan hidupnya, dan lambang dari bahasanya sebagai alat ekspresi dan komunikasi, demikian halnya sistem ekonomi, sistem teknologi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem religi, dan kesenian.



4. STUDI L A P A N G A N Lokasi Penelitian. Pengumpulan bahan-bahan mengenai beberapa unsur kebudayaan Tolaki dalam rangka penulisan disertasi 37 PNRI



ini, saya lakukan pada beberapa lokasi, yaitu p a d a delapan buah desa dalam wilayah Kabupaten Kendari d a n Kabupaten Kolaka. Lima buah desa terletak di Kabupaten Kendari, dua desa di antaranya dalam kota, yaitu: Kemaraya d a n Wua-wua; dan tiga desa lainnya di daerah pedalaman, yaitu: Tawanga, Sambeani, dan Meraka. Tiga buah desa terletak di Kabupaten Kolaka, satu desa di antaranya dalam kota, yaitu Watuliandu, dan dua desa lainnya di daerah pedalaman, yaitu W u n d u l a k o d a n Mowewe (lihat Peta 1). Penetapan lokasi penelitian secara selektif tersebut, saya lakukan atas pertimbangan b a h w a desa-desa tersebut merupakan contoh dari banyak desa yang paling dominan didiami oleh orang Tolaki. Para Informan. Saya juga memilih sejumlah informan dengan cara demikian, yaitu beberapa camat dan kepala desa dari kalangan orang Tolaki sebagai pejabat pemerintah; dan sejumlah tokoh adat, yang disebut putobu (bekas kepala distrik), tonomotuo (bekas kepala kampung), pabitara (bekas hakim adat), dan tolea (juru bicara dalam urusan perkawinan); serta sejumlah d u k u n , yang disebut mbuakoi (dukun umum), mbusehe ( d u k u n padi), dan mbuowai (dukun penyakit). Selain dari beberapa informan tersebut, saya juga memilih enam i n f o r m a n kunci, ialah A. H a m i d H a s a n , Arsjamid, dan Husen A. Chalik, masing-masing tinggal di kota Kendari; dan A b d . Rachim, Nehru D u n d u , dan Mangarati, masing-masing tinggal di Kolaka.*' Penetapan enam informan kunci tersebut juga didasarkan p a d a pertimbangan bahwa mereka adalah orang Tolaki yang terpandang banyak mengetahui seluk beluk kalo dan beberapa hal yang ada hubungannya dengan unsur-unsur kebudayaan Tolaki.



*) Identitas dari para informan tersebut tercantum dalam Daftar Nama Informan (lihat hlm. 473-414)



38 PNRI



Sumber: Dibuat berdasarkan Rencana Penelitian Lapangan PETA.



1.



LOKASI PENELITIAN



39 PNRI



Data Ktnografi. Sebagai orang Tolaki pada dasarnya saya tentu memiliki pengetahuan secara umum mengenai masyarakat dan kebudayaan Tolaki. Perhatian secara khusus mengenai kalo ini timbul sejak saya bekerja dalam p a m o n g p r a j a di daerah ini mulai tahun 1965 dan sebagai anggota DPRD-1 pada 1971-1976; di waktu itu, saya selalu mengadakan kunjungan di tempat pada hampir semua desa di Sulawesi Tenggara. Namun kegiatan penelitian saya mengenai kalo yang pada mulanya bersifat eksploratif itu nanti dimulai pada 1976, yakni ketika menjelang persiapan saya untuk memulai studi S3 dalam bidang antropologi. Pengumpulan data secara lebih mendalam berlangsung selama sembilan bulan dari Pebruari sampai September j 979,.) Untuk mengungkapkan apa makna simbolik kalo bagi orang Tolaki berdasarkan kerangka teori dan konsep yang saya gunakan, maka saya tidak mengumpulkan semua sub unsur dari unsur kebudayaan dalam kehidupan sosial-budaya orang Tolaki, tetapi saya membatasi diri pada unsur-unsur yang penting untuk dikaitkan dengan kalo, dan pada mengenai lingkungan alam, asal mula dan persebaran orang Tolaki, mengenai kerajaan dan identitas orang Tolaki, mengenai penduduk dan perkiraan jumlah orang Tolaki, serta mengenai kontaknya dengan suku bangsa lain. Bahan mengenai kalo yang dikumpulkan adalah meliputi, antara lain: asal mula kalo dan perkembangannya, arti istilah kalo



*)



Istilah "etnografi" berasal dari ethnos (suku bangsa, bangsa), dan graphein (pelukisan), yang berarti "pelukisan tentang bangsa-bangsa," suatu istilah yang umum dipakai di Eropa Barat untuk menyebut " b a h a n keterangan yang termaktub dalam karangan-karangan tentang masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa, serta segala metode untuk mengumpulkan dan mengumumkan bahan itu" (Koentjaraningrat 1979: 22). Data etnografi mengenai suku bangsa Tolaki yang pernah ditulis oleh orang Belanda dan Jerman itu saya muat pada Bibliografi. Bahan-bahan tersebut sempat saya kumpulkan dalam bentuk fotocopy yang saya peroleh sebagian di Musium Pusat Jakarta, dari teman saya orang Belanda Dinah Bergink dari Amsterdam, dan sebagian lagi dari Lihrary Store, ANU Canberra, Australia, ketika saya beberapa bulan belajar di sana. Saya melaksanakan pengumpulan data tersebut, setelah saya dinyatakan memenuhi syarat oleh Ketua Jurusan Antropologi Fakultas Sastra UI untuk meneruskan studi Sj ini pada 10 Januari 1979.



40 PNRI



itu sendiri, bahan pembuatannya, bentuk, macam, dan bagianbagiannya, penggunaan dan peranannya dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Tolaki, proses upacara di mana kalo itu digunakan, makna simbolik pada kalo, baik dalam konteks upacara maupun di luar upacara, dan sikap orang Tolaki terhadap kalo masa kini. Beberapa unsur kebudayaan Tolaki yang penting untuk dikaitkan langsung dengan kalo adalah: (1) bahasa dan alat komunikasi, yang meliputi bahan mengenai ciri-ciri menonjol dari bahasa ini menurut wilayah geografi dan menurut lapisan sosial pemakainya; (2) sistem ekonomi, yang meliputi mata pencaharian, sistem teknologi dan produksi, konsep dan sistem pemilikan, tukarmenukar dan redistribusi, dan integrasi berbagai sistem ekonomi; (3) sistem teknologi pembuatan alat-peralatan dan perlengkapan hidup, yang meliputi jenis alat-peralatan dan perlengkapan hidup, bahan dasar pembuatannya, dan teknik pembuatannya; (4) organisasi sosial, yang meliputi sistem kekerabatan, komuniti dan pola pemukiman, stratifikasi sosial, serta organisasi kerajaan dan pemerintahan masa kini; (5) sistem pengetahuan, yang meliputi konsepsi-konsepsi mengenai T u h a n , dewa, roh, kesaktian, alam, manusia, hidup dan maut, serta hari akhirat; (6) sistem religi, yang meliputi agama, sistem keyakinan, dan sistem upacara; dan (7) kesenian, yang meliputi jenis kesenian, alat-alat kesenian, dan beberapa motif perhiasan. Dalam pengumpulan bahan-bahan terurai di atas, saya telah menempuh tiga macam teknik, yakni: (1) observasi biasa dalam mengamati misalnya: jalannya upacara-upacara dan rentetan kegiatan di dalamnya; (2) wawancara bebas dan mendalam mengenai banyak hal, antara lain mengenai arti, makna simbol-simbol dalam kalo, baik dalam konteks upacara maupun di luar upacara dalam kehidupan ke hari-hari, demikian simbol-simbol lainnya; dan (3) mengedarkan daftar pertanyaan untuk dijawab oleh responden dalam rangka saya mensurvei mengenai sikap orang Tolaki masa kini terhadap kalo, dengan teknik sampling. Sesuatu atau beberapa hal yang belum jelas yang berkaitan dengan gejala yang diamati, saya catat untuk dijadikan salah satu 41 PNRI



rangkaian dari hal-hal yang perlu saya wawancarakan dengan inf o r m a n . Wawancara dengan seorang informan, selain saya lakukan di rumahnya, juga dilakukan di rumah kepala desa, dan juga sewaktu-waktu wawancara itu saya lakukan di rumah saya sendiri. Khususnya untuk mengisi jawaban responden atas daftar pertanyaan yang saya siapkan, saya mendapat bantuan dari beberapa mahasiswa Unhalu, yang sebelumnya saya latih dalam cara berhadapan dengan responden. Kartu catatan, alat potret dan alat rekaman adalah alat-alat yang saya gunakan untuk mencatat bahan-bahan observasi dan informasi, menfoto peristiwa upacara dan alat-alat upacara, dan merekam mantera-mantera atau doa-doa.



Survei mengenai Sikap Orang Tolaki Masa kini terhadap nilai dan Peranan Kalo. Dalam usaha mengumpulkan bahan mengenai sikap orang Tolaki terhadap nilai kalo dan peranannya, setelah suku bangsa ini mengalami nilai-nilai baru sebagai akibat dari dinamika sosial dan perubahan budaya,*» saya menggunakan metode kuesioner dan untuk itu perlu menyusun sampel dari orang Tolaki. Cara menyusun sampel itu adalah dengan menetapkan suatu sampel yang sangat minimal, yang saya tarik berdasarkan tabel Confident Belt for Proportiom dengan probabilitas 95% dan batas eror 4% (Koentjaraningrat 1977:135) dalam stratifikasi: jenis kelamin pria—wanita (50% : 50%); beragama Islam—Protestan (91% : 9%); tingkat umur pemuda—orang tua (67% : 33%); dan tingkat pendidikan tidak terpelajar (tidak sekolah dan tidak tamat SD) dan terpelajar (tamat SD, tamat S L T P / S L T A , sarjana) yang berbanding (93% : 7%).**) Perincian jumlah responden dari tiap stratifikasi terurai di atas, saya cantumkan dalam Bagan 1. Jumlah responden 384 dimaksud ter-



*) Mengenai adanya dinamika perubahan budaya dari suatu suku bangsa lihat buku Malinowski, The Dynamics of Cuitural Change (1961). **) Prosentase-prosentase perbandingan antara dua-dua stratifikasi di atas, saya susun berdasarkan komposisi jumlah penduduk Sulawesi Tenggara (menurut jenis kelamin, agama, umur, tingkat pendidikan) pada 1980 (Sulawesi Tenggara Dalam Angka 1980).



42 PNRI



sebar pada delapan desa di lokasi penelitian. Di lima desa di Kabupaten Kendari berjumlah 248 (62,5%) responden, dan di tiga



desa di Kabupaten Kolaka berjumlah 136 (37,5%).*) BAGAN 1.



JUMLAH RESPONDEN (MENURUT JENIS KELAMIN, AGAMA, UMUR, DAN TINGKAT PENDIDIKAN)



Keterangan: N = Jumlah Responden; Pr = Pria; Wn = Wanita; Is = Islam; Kr = Kristen Protestan; Pm = P e m u d a (20-39 th); Ot = Orang tua (40 th ke atas); Tt = Tidak terpelajar (tidak sekolah, tidak tamat SD); T = Terpelajar (tamat SD, Tamat S L T P / S L T P , Sarjana).



*) Demikian juga prosentase perbandingan antara jumlah responden di Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka, saya tarik berdasarkan jumlah penduduknya masingmasing (Sulawesi Tenggara dalam Angka 1980).



43 PNRI



5. U R A I A N S I N G K A T ISI DISERTASI Isi disertasi ini terdiri atas 11 bab. Sesudali uraian mengenai pendahuluan pada bab I kemudian disusul dengan uraian mengenai gambaran umum Sulawesi Tenggara dalam bab II, bab-bab berikutnya mulai dari bab III sampai bab VIII adalah uraian-uraian mengenai tujuh unsur kebudayaan Tolaki, yaitu bahasa, mata pencaharian, sistem teknologi tradisional, sistem kekerabatan, sistem politik dan stratifikasi sosial, kosmologi dan sistem-sistem keagamaan, dan kesenian. Bab IX mengenai sistem klasifikasi simbolik, bab X mengenai fungsi kalo, dan bab XI adalah penutup. Pada pendahuluan saya kemukakan latar belakang, fokus dan ruang lingkup, beberapa teori dan konsep sebagai pendekatan, dan metode pengumpulan data. Sedangkan pada gambaran umum Sulawesi Tenggara saya memberikan uraian mengenai lingkungan alam Sulawesi Tenggara, asal mula dan persebaran orang Tolaki, administrasi pemerintahan di Sulawesi Tenggara, dan mengenai kontak hubungan dengan dunia luar. G a m b a r a n umum ini dapat merupakan bahan bagi pengenalan pertama mengenai orang Tolaki sebelum kita memasuki uraian-uraian selanjutnya mengenai kebudayaan dan kalo orang Tolaki itu. Uraian mengenai bahasa Tolaki berkisar pada beberapa ciri khas mengenai fonem, m o r f e m , dan sintaksis bahasa Tolaki; bahasa Tolaki dan persebarannya; penggunaan bahasa Tolaki dan sistem penggolongannya; dan kalo sebagai bahasa simbolik. Uraian mengenai mata pencaharian orang Tolaki berkisar mengenai bercocok tanam di ladang, menanam padi di sawah, berkebun tanaman jangka panjang, berburu dan beternak, hak atas pemilikan, tukar menukar redistribusi benda-benda ekonomi, integrasi berbagai sistem ekonomi, dan asas mata pencaharian orang Tolaki yang saya hubungkan dengan kalo. Uraian mengenai sistem teknologi tradisional orang Tolaki berkisar pada jenis alat-peralatan, bahan dasar pembuatan dari tiap alat-peralatan, tehnik-tehnik dan upacara pembuatannya, dan asas teknologi tradisional orang Tolaki yang dikaitkan dengan 44 PNRI



kalo. Uraian mengenai sistem kekerabatan dan sistem politik dan stratifikasi sosial berkisar pada tipe sistem kekerabatan orang Tolaki, keluarga inti dan kelompok kekerabatan, dan lingkaran hidup; dan sistem politik kerajaan, pola-pola pemukiman, stratifikasi sosial, dan sistem politik dikaitkan dengan kalo. Uraian mengenai kosmologi dan sistem-sistem keagamaan meliputi konsepsi-konsepsi orang Tolaki mengenai alam semesta dan isinya, dan asal manusia; demikian mengenai Tuhan, dewa, roh, dan manusia; dunia nyata dan dunia gaib: kekuatan sakti dan kekuatan sosial; dan mengenai sistem-sistem keagamaan dan upacara-upacaranya; dan hubungan antara sistem keagamaan orang Tolaki dengan kalo. Uraian mengenai kesenian tradisional orang Tolaki berkisar pada seni sebagai ekspresi keagamaan, prinsip-prinsip penataan dan perhiasan ruang, dan bentuk-bentuk kesenian, serta hubungan antara kesenian orang Tolaki dengan kalo. Uraian mengenai sistem klasifikasi simbolik orang Tolaki meliputi klasifikasi simbolik dua dan tiga, dan kalo sebagai simbol dari klasifikasi dua dan tiga. Uraian khusus mengenai kalo meliputi kalo sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam kehidupan orang Tolaki, sebagai fokus kebudayaan dan pengintegrasi unsur-unsur kebudayaan Tolaki, sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban moral dan sosial, dan sebagai pemersatu atau mediator untuk pertentangan-pertentangan atau yang bertentangan. Uraian penutup merupakan pernyataan dan penjabaran dari apa yang telah dibahas dalam bab-bab terdahulu, telah m e n u n j u k k a n bahwa kalo adalah fokus kebudayaan Tolaki yang berfungsi sebagai pengintegrasi unsur-unsur kebudayaan Tolaki itu. Dalam kesimpulan itu saya juga menunjukkan bagaimana implikasi pentingnya kalo sebagai fokus kebudayaan bagi studi-studi mengenai dinamika dan perubahan kebudayaan, atau bagi studi-studi lainnya mengenai kebudayaan, atau bagi studi-studi lainnya mengenai kebijaksanaan program-program pembangunan berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori menyangkut integrasi kebudayaan.



45 PNRI



II GAMBARANUMUM



1. L I N G K U N G A N A L A M S U L A W E S I T E N G G A R A O r a n g Tolaki mendiami wilayah daerah Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka di Sulawesi Tenggara. Keduanya adalah masing-masing bekas wilayah Kerajaan Konawe dan Kerajaan Mekongga. Dalam kedua wilayah kabupaten ini terdapat 22 kecamatan, 210 buah desa. Dua kabupaten lainnya dari empat kabupaten di Sulawesi Tenggara adalah Kabupaten Buton dan Kabupaten M u n a . Dua kabupaten tersebut pertama berada pada wilayah daratan Sulawesi Tenggara, dan dua kabupaten berikutnya berada pada wilayah kepulauan di bagian selatan (Pemda Sultra 1977-1978). Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara ini berada pada posisi 120° 45 dan 124° 6' B.T. dan pada posisi 3° dan 6° L.S. Sebagai bagian dari wilayah Kepulauan Indonesia dan bagian dari Pulau Sulawesi, wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Tengah dan Propinsi Sulawesi Selatan pada sebelah utara, Laut Banda pada sebelah timur, Laut Flores pada bagian selatan, dan Teluk Bone pada bagian barat (lihat Peta 2). Luas wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara meliputi 38.140 km-, suatu wilayah yang c u k u p luas untuk suatu jumlah penduduk yang sangat kurang (831.554 jiwa), di mana luas wilayah Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka meliputi 26.110 km 2 dengan penduduk 371.445 jiwa yang di dalamnya termasuk orang Tolaki. P e r m u k a a n bumi wilayah propinsi ini, khususnya wilayah Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka terdiri dan ditandai oleh gunung-gunung dan lembah daratan yang luas, yang ditutupi 46 PNRI



P E T A 2: Geografi Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka



47 PNRI



hutan lebat tetapi juga belukar dan alang-alang akibat perladangan liar oleh penduduk; sedangkan wilayah Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna terdiri dari pulau-pulau yang mengandung batu karang dan ditumbuhi hutan bakau. Pada hampir seluruh wilayah propinsi ini mengalir sungai-sungai yang bermuara pada pantaipantai laut yang cukup indah untuk obyek pariwisata. Sama halnya dengan lain-lain daerah di Indonesia, daerah ini mengalami musim h u j a n dalam waktu antara bulan Desember sampai Mei, dan musim kemarau pada bulan Juni sampai Nopember setiap tahun. Namun kadang-kadang dialami adanya musim kemarau panjang dan hujan lokal. Suhu rata-rata antara 25° —27° C; curah hujan pada musim hujan rata-rata 2000 mm dan pada musim kemarau rata-rata 500 mm, sedangkan hari hujan rata-rata 13 hari pada musim hujan, dan rata-rata enam hari pada musim kemarau (Treffers 1914: 195; Pemda Sultra 1977 — 1978; Kadit Agraria Sultra 1977-1978). Dipandang dari sudut kekayaan alam wilayah Sulawesi Tenggara dapat dipandang memang kaya. Kekayaan ini berupa: kekayaan hutan, kekayaan laut, sungai dan rawa, dan kekayaan bahan mineral. Dari sekian banyak kekayaan alam tersebut di atas saya perlu menyebut beberapa di antaranya yang dipandang khas bagi daerah Sulawesi Tenggara, yakni: (1) jenis-jenis kayu mahal seperti kayu jati, kayu hitam (ebony), kayu bayam (intsiabyuga), dan kayu damar (agaiha spp); (2) berbagai jenis ikan seperti ikan cakalang (auxistezard), ikan teri (Stolephorus), cumi-cumi, serta hasil laut lainnya; teripang, agar-agar, mutiara; dan (3) berbagai jenis bahan tambang seperti nikkel dan aspal (Treffers 1914: 188-200; Pemda Sultra 1977: 10). Topografi tanah tampak berbukit-bukit bersambung dengan pegunungan, yang di tengahnya ada danau; ditumbuhi hutan lebat berwarna kelabu, tanahnya kemerahan yang merupakan kompleks tanah yang subur, permukaan tanah yang sedikit bertingkattingkat dan berombak-ombak, dan lembah daratan yang dikelilingi oleh gunung (lihat Peta 3). Orang Tolaki pada umumnya suka memilih tempat pemukiman pada lokasi-lokasi tertentu di daratan yang "tidak jauh dari 48 PNRI



Sumber: Direktorat Agraria Propinsi Sulawesi



Tenggara,



1980



PETA 3. T O P O G R A F I T A N A H DI KABUPATEN KENDARI DAN DI KABUPATEN KOLAKA PROPINSI SULAWESI T E N G G A R A



49 PNRI



gunung, dekat sebuah sungai dan ada juga yang tinggal tidak j a u h dari pantai. Daratan luas ditumbuhi hutan rimba, di sana hidup sejumlah jenis hewan buruan seperti: rusa, anuang, ayam hutan, dan hewan ternak seperti: kerbau, kuda, kambing, maupun hewan yang sewaktu-waktu menjadi musuh mereka dan hama tanaman seperti: ular, babi, dan kera. Gunung-gunung penuh dengan berbagai jenis kayu yang berguna bagi kebutuhan mereka sehari-hari dan untuk kebutuhan perdagangan. Sungai dan rawa penuh dengan ikan tawar yang dapat dimanfaatkan, juga berperanan sebagai prasarana transportasi. Sewaktu-waktu sungai yang besar seperti Konawe 'eha dan Lasolo dapat banjir dan meluap di musim h u j a n dan tidak jarang menghanyutkan kompleks pemukiman mereka. Areal alang-alang yang begitu luas sebagai akibat perladangan liar oleh penduduk, menyebabkan sewaktuwaktu timbul erosi. Lingkungan hidup yang demikian potensinya itu, dan kurang mendapat kunjungan dari luar, kecuali petugas dari pemerintah, menyebabkan orang Tolaki hidup secara terisolasi, sedangkan jarang ada orang Tolaki yang merantau ke daerah lain seperti orang Buton, Muna, atau orang Bugis misalnya.* 2. ASAL M U L A D A N P E R S E B A R A N O R A N G TOLAKI 2.1. Asal Mula Orang Tolaki dan Berdirinya Kerajaan Dari manakah asal mula orang Tolaki dan kapankah mereka bermukim di daratan Sulawesi Tenggara ini, belum dapat kita ketahui secara pasti, walaupun kita bisa membuat suatu dugaan. Untuk hal itu saya menggunakan empat buah cerita rakyat, yakni: (1) Oheo, yang menceritakan bahwa orang pertama nenek moyang suku bangsa Tolaki berasal dari Pulau Jawa, khususnya dari daerah kaki Gunung A r j u n a , kemudian kawin dengan Ana-



*) Lingkungan alam tempat pemukiman orang Buton, orang M u n a , demikian orang Bugis di Bone, yang kurang potensinya untuk pertanian itu, menyebabkan bahwa ada di antara mereka yang harus hidup sebagai nelayan dan pelajar.



50 PNRI



wai Nggu/uri, salah seorang dari tujuh gadis bidadari bersaudara yang berasal dari langit; (2) Pasa'eno, yang menceritakan bahwa ia adalah putra dari Wesande, seorang wanita tanpa suami, yang menjadi hamil karena minum air yang tertampung pada daun ketika ia memotong pandan di hutan rimba di pegunungan hulu Sungai Mowewe (Kruijt 1922: 694; Van der Klift 1925: 68-69); (3) Wekoila dan Larumbatangi, yang menceritakan tentang dua orang bersaudara kandung wanita-pria, yang turun dari langit dengan menumpang pada sehelai sarung (Treffers 1914: 203; Kruijt 1921: 962); dan (4) Onggabo, yang menceritakan tentang seorang lakilaki raksasa yang berasal dari sebelah timur melalui Sungai Konawe'eha, dan yang datang di Olo-Oloho, ibu kota pertama kerajaan Konawe, dan kawin dengan Elu, cucu Wekoila (Treffer 1914).*» Hasil analisa yang akan lebih mendekati kebenaran mengenai bahan-bahan tersebut, secara obyektif hanya dapat dicapai apabila dilakukan penelitian kerja sama dengan para ahli linguistik, filologi, dan arkeologi. Namun demikian untuk sementara saya menduga bahwa orang Tolaki itu datang ke wilayah daratan Sulawesi Tenggara ini dari arah utara dan timur. Mungkin mereka yang datang dari arah utara itu berasal dari Tiongkok Selatan yang melalui Pilipina Kepulauan Mindanao, Sulawesi Utara, Halmahera dan Sulawesi bagian timur, terus memasuki muara Sungai Lasolo atau Sungai Konawe'eha dan akhirnya memilih lokasi pemukiman pertama di hulu sungai itu, yakni pada suatu lembah yang luas, yang dinamakan Ando/aki (Sarasin 1905: 374; Kruijt 1921: 428). Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolahianga (orang dari langit).**» Mungkinkah yang dimaksudkan di sini dengan istilah "langi't" adalah kerajaan langit, yakni Cina seperti yang dimaksudkan oleh M. Granat (Needhan 1973: 53). Kalau



*) Teks lengkap dari keempat cerita rakyat itu tercantum dalam Lampiran I). **) Istilah Tolangianga terdiri dari kata asal hianga yang berarti "langit, kayangan," to berarti " O r a n g , " dan Ia adalah awal dari suatu nama. Jadi Tolangianga berarti orang langit, turun dari langit (Keterangan dari Informan: A. Hamid Hasan).



51 PNRI



demikian maka mungkinkah kata hiu yang dalam bahasa Cina berarti " l a n g i t " dihubungkan dengan kata heo (Tolaki) yang berarti "ikut pergi ke langit." Mereka yang datang dari arah selatan mungkin berasal dari Pulau Jawa melalui Buton dan Muna dan memasuki muara Sungai Konawe'eha, d a n ' t e r u s memilih lokasi pemukiman di Toreo, di L o n d o n o , dan di Besulutu. Seperti apa yang telah disebutkan di atas menurut cerita mitologi, Kerajaan Konawe dan Kerajaan Mekongga masingmasing didirikan oleh dua orang bersaudara kakak-adik, ialah Wekoila dan Larumbalangi. Pusat Kerajaan Konawe mula-mula berlokasi di Olo-Oloho di pinggir Sungai Konawe'eha di desa Uepai yang sekarang, kemudian pindah ke U n a ' a h a . Adapun Kerajaan Mekongga, mula-mula berlokasi di Bende, dan kemudian pindah ke Wundulako. Mula-mula raja bergelar Mokole,"] tetapi lama kemudian untuk Raja Mekongga, gelar itu berubah menjadi Bokea.**] Kerajaan Konawe pernah tenggelam karena wabah penyakit yang digambarkan sebagai keganasan biawak raksasa dan kerbau berkepala dua, yang menghabiskan manusia di Konawe, demikian juga kekalutan dalam Kerajaan Mekongga digambarkan sebagai keganasan burung garuda. Dalam situasi demikian datanglah Latuanda, seorang dukun, dan menyelamatkan penduduk dari wabah yang digambarkan sebagai pembunuh biawak dan kerbau tersebut. Sementara itu tibalah Onggabo yang mengawini gadis, sisa wabah, bernama Elu,



*) Gelar mokole ini tidak hanya dipakai oleh orang Tolaki, tetapi juga oleh orang Mori, orang Bungku, orang Luwu di Baibunta, dan Morenene. Menurut orang tua-tua istilah mokole berasal dari kata kole yang berarti " p e r a h u " , dengan awalan mo. Ada juga yang berpendapat lain ialah bahwa gelar itu berasal dari kata mokolelei yang berarti " m a m p u mengunjungi orang b a n y a k . " Moko berarti " d a p a t " , lelei berarti "mengunjunginya atau mengelilinginya," dan ada pula yang mengatakan bahwa gelar itu berasal dari kata oleo yang berarti " m a t a h a r i " dengan awalan moko menjadi moko'oleo yang kemudian berubah menjadi mokole, maksudnya " o r a n g yang sifatsifatnya identik dengan m a t a h a r i " . **) Istilah bokeo berarti " b u a y a , " maksudnya seseorang raja yang ditakuti karena kekuasaannya, laksana takutnya orang terhadap buaya. Ada juga berpendapat bahwa istilah yang berarti buaya ini, maksudnya adalah raja yang menguasai wilayah pinggir laut.



52 PNRI



gelar Kambuka Sioropo Korembutanodan dari perkawinan itu lahirlah putra-putri Onggabo yang keturunannya kemudian meneruskan babat tanah Konawe. Mereka dikenal oleh penutur silsilah raja-raja sebagai nama-nama yang tersusun dengan tata urut sebagai berikut, yaitu: Sangia Mbina'uti, Sangia Inato, dan Sangia NggiboburuSituasi yang sama terjadi di Mekongga di mana penduduk negeri Mekongga diselamatkan oleh Larumbalangi setelah ia memimpin usaha pemulihan kekalutan yang digambarkan sebagai pembunuhan burung kongga (garuda) itu. Jadilah ia raja pertama Kerajaan Mekongga, dan diteruskan kemudian oleh cucu-cucunya, yang berturut-turut bernama Mumualo, LombaLombosa a t a u Sangia Nilulo, dan Laduma a t a u Sangia Nibandera*** (Kruijt 1922: 692). Hal yang sukar diketahui dengan pasti adalah masa pemerintahan dari tiap raja tersebut. Suatu kekecualian adalah Raja Sangia Ngginoburu dan Raja Sangia Nibandera yang masa pemerintahan-



*) Elu berarti "yatim-piatu, sisa satu-satunya"; kambuka ialah ijuk, maksudnya rambut wanita"; sioropo ialah sembilan depa panjangnya, maksudnya " r a m b u t yang paling panjang dari seorang gadis yang cantik rupawan"; dan korembutano adalah turunan Raja Konawe dari dinasti Wekoila. **) Istilah sangia berarti " d e w a , " yang dipakai untuk menyebut seorang raja setelah mangkat. Menurut kepercayaan orang Tolaki roh seorang raja setelah meninggal pergi ke langit dan berdiam di sana sebagai dewa langit. Istilah mbina'uti berasal dari kata pau yang berarti " p a y u n g , " dengan sisipan in dan akhiran ti menjadi pina'uti atau mbina'uti setelah kata ini didahului oleh kata sangia, yang berarti raja yang dipayungi, maksudnya raja yang selalu dipayungi di mana-mana ia pergi, Istilah inato berasal dari kata ate yang berarti " a t a p " dengan awalan in menjadi inato yang berarti " d i a t a p i , " maksudnya raja yang setelah mangkat, mayatnya disimpan dalam sebuah rumah khusus, seperti yang dimaksudkan oleh Sarasin (1905: 352) sebagai Totenhaus bei Meraka. Istilah nginoburu berasal dari kata keburu yang berarti " k u b u r " dengan sisipan in menjadi konoburu atau ngginoburu setelah kata ini didahului oleh kata sangia, yang berarti raja yang dikuburkan menurut aturan Islam. Kuburan raja tersebut masih ada sekarang di Una'aha, ibu kota Kerajaan Konawe. ***) Raja Laduma dengan gelar Sangia Nibandera, maksudnya: raja yang diberi hadiah bendera dari Datuk Luwu atas jasanya membantu Kerajaan Luwu memenangkan peperangan antara Kerajaan Luwu dan Kerajaan Sopeng. Sedangkan istilah laduma itu sendiri berasal dari kata duma yang berarti " j u m a d , " maksudnya: Laduma adalah raja pertama Mekongga yang menganut agama Islam. Demikian dikisahkan oleh raja-raja di Mekongga. Bendera tersebut masih tersimpan oleh ahli warisnya di Wundulako.



53 PNRI



nya dapat diperkirakan p a d a zaman Islam berdasarkan cerita sej a r a h setempat, bahwa kedua R a j a Tolaki itu adalah raja-raja yang pertama setelah meninggal dikubur secara Islam.*» Hingga kini k u b u r a n dari kedua raja tersebut masih ada dan dipelihara oleh t u r u n a n n y a . Sebelum d u a kerajaan ini berdiri, telah ada beberapa kerajaan kecil, yaitu: Padangguni, Besulutu, T a m b o s u p a , Wawolesea, L a m b o d a n Konde'eha. Menurut para penutur silsilah raja-raja, hingga kini masih terdapat sisa-sisa peninggalan dari kerajaank e r a j a a n kecil tersebut, baik sebagai peninggalan arkeologi m a u p u n etnografika, misalnya reruntuhan istana R a j a Wawolesea di Toreo. Menurut cerita sejarah kerajaan-kerajaan ini bubar karena peperangan antara satu sama lain atau karena serangan dari k e r a j a a n lain di luar Sulawesi Tenggara, misalnya peperangan antara Padangguni dengan Besulutu, yang menyebabkan timbulnya Kerajaan Konawe, antara Wawolesea dengan Kerajaan Banggai, dan antara L a m b o dengan K o n d e ' e h a yang menyebabkan timbulnya Kerajaan Mekongga.



2.2. Wilayah Persebaran Orang Tolaki Dari Andolaki inilah orang Tolaki kemudian terpencar ke utara sampai Routa, ke barat sampai Konde'eha liwat Mowewe dan L a m b o kemudian ada yang sampai di Mekongga, ke selatan sampai di Olo-Oloho atau Konawe liwat Ambekaeri d a n Asinua, dan ke timur sampai di L a t o m a dan Asera. Orang Tolaki yang bermukim pertama di L a n d o n o dan Besulutu kemudian menyebar kewilayah sebelah timur meliputi wilayah m u a r a Sungai Konawe'eha dan Sungai Lasolo, ke wilayah sebelah selatan meliputi wilayah Kendari selatan di P u ' u n g g a l u k u , Tinanggea, Kolono, dan M o r a m o , dan ada yang menyeberang ke Pulau Wawoni'i (Pingak



1963). Orang Tolaki yang berdiam di wilayah Kerajaan Mekongga di Kabupaten Kolaka sekarang m e n a m a k a n dirinya orang Mekong-



*) Cerita sejarah ini dikisahkan oleh A. Hamid Hasan.



54 PNRI



ga, dan mereka yang berdiam di wilayah Kerajaan Konawe, yakni bagian wilayah Kabupaten Kendari sekarang* menamakan dirinya orang Konawe, dan mereka yang berdiam di wilayah pesisir hulu Sungai Konawe'eha bagian utara Kerajaan Konawe dan bagian utara Kerajaan Mekongga menamakan dirinya orang To Laiwui (lihat Peta 4). 3. ADMINISTRASI P E M E R I N T A H DI SULAWESI TENGGARA 3.1. Pemerintahan Zaman Kolonial Belanda dan Pendudukan Jepang Mula datangnya Belanda di Sulawesi Tenggara ini, khususnya di tanah Tolaki ini dan kerja sama dengan Raja Konawe bersama dengan rakyatnya diawali dengan suatu kontrak pada hari Senin, 21 Desember 1885, suatu kontrak yang ditandatangani oleh masingmasing pihak Belanda, ialah Bensbach dan Faber van Straten, dan pihak Tolaki, ialah Raja Laiwui, Sapati, dan Kapitan (IG 1888: 165-171). Menurut kisah orang-orang tua di kalangan orang Tolaki kontrak ini diadakan dalam rangka menenangkan hati rakyat yang tidak menerima kedatangan Belanda di daerahnya. Dua puluh tahun kemudian ialah tahun 1905 orang Tolaki melanjutkan perlawanan terhadap Belanda yang berakhir 1916 dengan diadakannya perjanjian 1917. Perjanjian ini ditandatangani oleh masing-masing pihak: pihak Belanda, oleh G.G. van Reil dan T.B. Houdhar; dan pihak orang Tolaki, oleh Sao-Sao, La Tombili, dan Rakawula. Sao-Sao diangkat menjadi Raja Laiwui (1917-1928) yang kemudian digantikan oleh putranya Tekaka (1928-1955). Ketika Belanda datang di daerah ini, kedua kerajaan tersebut telah lama mengalami kekalutan. Tidak dilantiknya mokole baru, pengganti Mokole Lakidende gelar Sangia Ngginoburu setelah mangkat dan pemerintahan kerajaan dijalankan oleh Sulemandara, menyebabkan dua wilayah kerajaan, yakni wilayah sebelah timur di Ranome'eto dan wilayah sebelah barat di Latoma memisahkan diri lepas dari pusat Kerajaan di U n a ' a h a . Mereka tidak 55 PNRI



PETA 4: Persembahan Orang Tolaki



56 PNRI



mau tunduk terhadap kepemimpinan Sulemandara. Demikian halnya pada Kerajaan Mekongga setelah tidak adanya pengganti Bokeo Laduma gelar Sangia Nibandera, wilayah Kerajaan Mekongga bagian sebelah utara juga berontak. Kondisi negatif demikian d i m a n f a a t k a n oleh Belanda untuk menguasai. Berhasillah Belanda m e m b u j u k Sao-Sao, Sapati di Ranome'eto untuk bersatu dengan Belanda m e m a d a m k a n perlawanan orang Tolaki terhadap Belanda. Sebagai jasanya, ia menjadi Raja Laiwui, suatu kerajaan baru untuk menenggelamkan Kerajaan Konawe. Struktur wilayah Kerajaan Konawe sebagai SiwoleMbatohu dan Pitu Dula Batu serta Tolu Mbulo Anakia Mbutobu*] dirubah menjadi sebagai wilayah-wilayah distrik. Gelar Mokole sebagai gelar raja diganti dengan gelar sangia. Jabatan sapati tetap, hanya beralih wilayah dari Ranome'eto ke Abuki, demikian halnya jabatan ponggawa dari berlokasi di T o n g a ' u n a beralih ke Po'asia. Jabatan-jabatan lainnya semuanya ditiadakan. Pada tingkat wilayah kampung, yakni jabatan tonomotuo, pabitara, posudo tetap dipertahankan sebagai pemangku adat, dan untuk urusan pemerintahan umum diangkat Kepala Kampung, dan Sareang sebagai Wakil Kepala Kampung. J a b a t a n - j a b a t a n : lama/aki, o ladu, mbu'akoi, mbuowai, mbusehe**) tidak lagi merupakan pimpinan resmi tetapi sisa sebagai pemangku adat. Jabatan-jabatan resmi dalam struktur Kerajaan Konawe yang ditiadakan tersebut karena pejabat-pejabatnya nyata-nyata menentang Belanda, sed a n g k a n j a b a t a n - j a b a t a n yang tetap d i p e r t a h a n k a n adalah mereka yang berjasa terhadap Belanda, paling kurang karena mereka mengakui penunjukan Sao-Sao, Sapati di Ranome'eto selaku Raja Laiwui oleh Belanda. Jepang mendarat di Kendari 24 Januari 1942. Terjadi pertempuran antara tentara Jepang dengan sisa-sisa Belanda yang masih tinggal di Kendari. Berkuasalah Jepang di daerah ini sampai 14 Agustus 1945. Setelah Jepang kalah pada Sekutu pada 1945, N1CA masuk di Kendari. Kembalinya Belanda di daerah ini seba*) Arti dari istilah-istilah Tolaki ini lihat hlm. 181-187 **) Arti istilah-istilah Tolaki ini lihat hlm. 181-182.



57 PNRI



gai NICA ditentang oleh penduduk. Dengan senjata rampasan dan dengan semangat heilio dari Jepang, penduduk mengadakan perlawanan terhadap NICA dalam rangkaian perjuangan Republik Indonesia mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada masa pendudukan Jepang di daerah ini hampir tak ada perubahan, kecuali berupa penggantian beberapa istilah wilayah kekuasaan dan jabatan penguasa ke dalam istilah bahasa Jepang, misalnya: istilah afdeeling diganti dengan istilah ken, demikian onderafdeeling diganti dengan istilah bun ken, yang masingmasing nama jabatannya adalah Ken Kan Rikan, dan Bun Ken Kan Rikan. Istilah distrik atau onderdistrik diganti dengan istilah gun, demikian istilah kampung, diganti dengan istilah son, yang masing-masing nama jabatannya adalah Gunco, dan Sonco (lihat IDKD 1980: 3). Dalam zaman kekuasaan Belanda dan Jepang, baik Kerajaan Konawe maupun Kerajaan Mekongga menjadi hancur. Kerajaan Konawe tenggelam dan muncul kerajaan baru yang diberi nama Kerajaan Laiwui, yang kemudian merupakan bagian dari Afdeeling Buton en Laiwui di Bau-Bau. Kerajaan Laiwui sendiri beribu kota di Kendari. Kerajaan Mekongga dimasukkan ke dalam Afdeeling Luwu en Mekongga di Palopo. Kerajaan Mekongga sendiri beribu kota di Kolaka.



3.2. Administrasi Pemerintahan di Sulawesi Tenggara Dewasa Ini Sejak 27 April 1964 Sulawesi Tenggara terbentuk sebagai propinsi berpisah dari Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara, dengan ibu kotanya Kendari.*' Sejak terbentuknya hingga sekarang propinsi ini terdiri dari empat kabupaten, yaitu Kabupaten Kendari dengan ibu kota Kendari, Kabupaten Buton dengan ibu kota Bau-Bau, Kabupaten Kolaka dengan ibu kota Kolaka, dan Kabupaten Muna dengan ibu kota Raha.



*) Sulawesi Tenggara terbentuk sebagai propinsi dengan Perpu Nomor 2 Talnm 1%4 juncto Undang-undang N o m o r 13 Tahun 1964.



58 PNRI



Pada saai itu keempat kabupaten dari propinsi ini hanya terdiri atas 40 kecamatan, dan 391 desa, 4 ) dengan perincian sebagai berikut: (1) Kabupaten Kendari 12 kecamatan, yakni, Tinanggea, Lainea, W a w o n i ' i , M o r a m o , R a n o m e ' e t o , Lambuya, W a w o t o b i , S a m p a r a , Kendari, Lasolo U n a ' a h a , dan Asera; (2) Kabupaten Buton 15 kecamatan, yakni: Binongko, T o m i a , Kaledupa, Wangiwangi, Lasalimu, Pasar W a j o , Sampolawa, Batauga, Wolio, Kapuntori, G u , Mawasangka, Kabaena, Poleang, dan Rumbia; (3) Kabupaten Kolaka 6 kecamatan, yakni: W u n d u l a k o , Tirawuta, Mowewe, Kolaka, Lasusua, dan Pakue; dan (4) Kabupaten M u n a 7 kecamatan, yakni: Tiwori Kepulauan, Kabawo, Lawa, T o n g k u n o , Katobu, W a k o r u m b a , dan Kulisusu. Kini jumlah 40 kecamatan itu telah dimekarkan menjadi 45 kecamatan, yakni: 3 kecamatan di Kabupaten Kendari: M a n d o n g a , Poasia, dan Sorupia; dan 2 kecamatan di Kabupaten Buton, yakni: Betoambari, dan Surawolio. Demikian juga j u m l a h desa mengalami pemekaran pada setiap tahun sehingga jumlah 391 desa pada 1967 menjadi 696 desa pada 1982, dengan perincian: di Kabupaten Kendari 257 desa, di Kabupaten Buton 210 desa, di Kabupaten Kolaka 119 desa, dan di Kabupaten Muna 110 desa (STDA 1982: 10-14). G u b e r n u r Kepala Daerah sebagai administrator dan kepala pemerintahan sejak terbentuknya propinsi ini telah dijabat berturut-turut oleh J. Wayong, La Ode Hadi dan J a c o b Silondae selaku Wakil G u b e r n u r , E. Sabara, Abdullah Silondae, dan kini sedang dijabat oleh Alala. J. Wayong dari Sulawesi Utara, Arifin Sugianto dari Sulawesi Selatan, dan lain-lainnya dari Sulawesi Tenggara. Pimpinan DPRD-I selaku unsur pemerintah daerah sejak terbentuknya propinsi ini telah dijabat berturut-turut oleh: Sjafiuddin (ketua) dan M u h . D j a f a r (wakil ketua); La Ode Manarfa (ketua) dan A. Hamid Hasan (wakil ketua); Abdullah Silondae (ketua), Madjid J u n u s dan La Ode Maliki (masing-masing wakil ketua); dan kini sementara dijabat oleh: Madjid J u n u s (ketua), *) Jumlah ini adalah hasil penggabungan dari 2013 kampung yang letaknya sangat terpencil dan jarang penduduknya.



59 PNRI



Amir Sayito dan La Ode Abdul Aziz (wakil-wakil ketua). Dalam menjalankan fungsi-fungsi administrasi pemerintahan dan tugas-tugas pembangunan di daerah ini, baik unsur pemerintah daerah m a u p u n ' u n s u r aparat pusat di daerah, banyak mengalami h a m b a t a n , kesulitan, dan tantangan sebagai akibat dari kondisi sosial-budaya dan ekonomi masyarakat setempat yang masih terkebelakang. Dengan kondisi sosial-budaya dan ekonomi di sini saya maksud tingkat pendidikan yang masih rendah, sikap mental tradisional, sistem perekonomian rakyat tradisional, letak pemukiman penduduk yang terpencar-pencar, alat komunikasi dan transportasi yang terbatas, dan kurangnya tenaga manusia untuk mengolah potensi alam yang ada. Kondisi keterbelakangan tersebut disadari oleh pimpinan pemerintahan setempat sehingga tampaknya dalam menjalankan tugas-tugas administrasi pemerintahan dan pembangunan di daerah ini kondisi yang dimaksud dijadikannya cambuk bagi usaha-usaha mengejar ketinggalan. Jika J. W a j o n g baru dapat melakukan rehabilitasi-rehabilitasi sarana pemerintahan desa, sarana pendidikan, dan sarana perekonomian rakyat karena rusak akibat kekacauan sebelumnya selama lebih kurang 10 tahun, kemudian dilanjutkan oleh La Ode Hadi, maka E. Sabara, gubernur pada periode Repelita I dipandang oleh masyarakat Sulawesi Tenggara sebagai pimpinan pemerintahan yang telah dapat meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi pembangunan daerah ini selanjutnya. E. Sabara menitikberatkan pembangunan di daerah ini pada sektor transmigrasi dan pemukiman penduduk, serta sektor pendidikan tinggi. E. Sabara dianugerai suatu gelar tradisional yang disebut Mandarano Wonua oleh DPRD-I Sulawesi Tenggara. Abdullah Silondae selaku gubernur berikutnya hanya melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh E. Sabara. Satu hal yang agak spesifik dalam menjalankan tugas administrasi pemerintahan dan pembangunan di daerah



*) Mandarano Wonua itu berarti: " O r a n g yang ahli dalam pemerintahan di Sulawesi Tenggara." Penganugrahan gelar ini ditetapkan dalam Keputusan DPRD-I Sulawesi Tenggara Nomor 2 Tahun 1979.



60 PNRI



ini adalah gagasan dari Alala, Gubernur Kepala Daerah sekarang, yaitu apa yang disebut "Gersamata" (Gerakan Desa M a k m u r Merata), yaitu suatu gagasan yang oleh Alala dititikberatkan pada usaha nyata dalam meningkatkan produktivitas ekonomi rakyat di pedesaan, dengan memakai pendekatan yang sesuai dengan potensi di desa yang bersangkutan dalam menetapkan sasarannya, dan pendekatan yang terintegrasi dalam pelaksanaannya oleh pemerintah daerah dan unsur-unsur dinas dan jawatan di daerah bersama-sama dengan warga masyarakat desa itu sendiri. Gagasan ini dirumuskan oleh Alala secara sadar karena ia bertekad untuk membawa masyarakat Sulawesi Tenggara ini siap "tinggal l a n d a s " pada Repelita VI mendatang.*' Aparat pemerintah sebagai pelayan u m u m masyarakat dalam menjalankan tugas-tugas administrasi pemerintahan dan operasional pembangunan di daerah ini pernah kurang memperhatikan f a k t o r adat-istiadat setempat sehingga a k i b a t n y a warga masyarakat setempat tidak begitu aktif berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan. Hal ini segera disadari oleh pemerintah setempat, dan kini hambatan itu telah mulai diatasi. 4. K E P E N D U D U K A N DI SULAWESI T E N G G A R A Data sensus dan statistik Daerah Sulawesi Tenggara 1961 m e n u n j u k k a n bahwa jumlah penduduk Propinsi Sulawesi Tenggara itu hanya meliputi 559.595 jiwa. Sampai 1982 jumlah itu mencapai 1.009.538 jiwa, yang tersebar dalam wilayah-wilayah di keempat kabupaten, yaitu: di Kabupaten Kendari 340.441 jiwa, di Kabupaten Buton 331.057 jiwa, di Kabupaten Kolaka 159.796 jiwa, dan di Kabupaten M u n a 178.244 jiwa. Jumlah penduduk di Sulawesi Tenggara itu kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk propinsi-propinsi lain di Indonesia. Di Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka jumlah itu hanya meliputi 200.237 jiwa di mana di dalamnya termasuk orang Tolaki (Tabel 1). Rata-rata laju pertumbuhan penduduk di Sulawesi Tenggara



*) Gagasan ini diuraikan oleh Alala, di dalam Buku Gerakan Desa M a k m u r Merata (GERS A M A T A ) di Sulawesi Tenggara (1984).



61 PNRI



selama 10 t a h u n pertama 1961 — 1971 adalah 2 , 5 % ; dan 10 tahun terakhir 1971 — 1981 adalah 3 , 1 % . Laju p e r t u m b u h a n penduduk demikian tidak hanya karena kelahiran tetapi terutama masuknya transmigrasi Jawa dan Bali, yang sampai 1982 telah mencapai jumlah 91.933 jiwa. J u m l a h penduduk di Sulawesi Tenggara dibandingkan dengan luas wilayahnya 38.140 km 2 m e n u n j u k k a n kepadatan penduduk per-km 2 adalah 15 jiwa (1961), 19 jiwa (1971), dan 25 jiwa (1980). P e n d u d u k di daerah ini lebih banyak tersebar di wilayah Kabupaten Buton dan M u n a daripada di Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka (STDA 1982): 16-29). P e n d u d u k Sulawesi Tenggara terdiri atas penduduk asli, yaitu orang Tolaki yang bermukim di daratan Sulawesi Tenggara, di wilayah Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka; orang Buton dan orang M u n a yang masing-masing bermukim di Kepulauan T A B E L 1. JUMLAH PENDUDUK DAERAH PROPINSI (MENURUT KABUPATEN DAN TAHUN) Kabupaten Tahun



Buton



Muna



Kendari



Kolaka 5



1



2



3



4



1961 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982



252.262 300.434 301.274 291.668 295.330 293.862 304.337 306.308 305.028 311.793 317.124 323.195 331.057



111.766 154.024 155.035 156.585 157.837 156.914 163.646 163.772 165.291 164.561 174.057 176.801 178.244



159.478 189.968 197.871 203.908 205.410 217.065 247.564 251.191 255.888 270.023 306.675 331.423 340.441



Sumber: Sulawesi Tenggara Dalam Angka (1982: 17).



62 PNRI



35.088 69.694 77.533 92.508 98.671 100.529 109.772 110.529 118.291 122.657 144.446 155.220 157.796



Jumlah 6 559.595 714.120 731.713 744.669 757.248 768.370 825.319 831.554 844.498 869.034 942.302 986.639 1.009.538



Buton dan M u n a ; dan sejumlah penduduk pendatang dari Sulawesi Selatan (Bugis, Makasar, T o r a j a ) , dari Sulawesi Utara (Minahasa dan Sangir), dari Sulawesi Tengah (Bungu dan Mori), dari A m b o n , dan dari Pulau Jawa d a n Bali sebagai transmigran. Penduduk pendatang itu pada u m u m n y a bermukim di kota-kota pada keempat kabupaten di Sulawesi Tenggara. Kecuali penduduk transmigran memilih tempat p e m u k i m a n pada wilayah Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka. Untuk mengetahui jumlah dari tiap variasi penduduk itu dengan pasti adalah mustahil, karena data statistik suku bangsa, baik pada kantor desa m a u p u n pada kantor sensus tidak ada. N a m u n demikian khusus untuk jumlah orang Tolaki sebagai suatu perkiraan dapat saja ditetapkan dengan menggunakan data etnis Sensus 1930 (Volkstelling 1930) di mana orang Tolaki pada saat itu berjumlah sekitar 102.619 orang (2,46% dari jumlah penduduk Sulawesi Selatan dan Tenggara 1930) dan yang dapat dihitung dengan menggunakan standar rata-rata kenaikan penduduk sampai 1961 (1,05%) dan sampai 1977 (2,04%). Dengan demikian jumlah orang Tolaki hingga 1978 diperkirakan berkisar 147.333 jiwa (40% dari jumlah penduduk Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka). P a d a 1913 pernah dicatat adanya 13.560 orang wajib p a j a k p a d a 16 distrik dalam wilayah Kerajaan Laiwui atau Kabupaten Kendari sekarang (Treffers 1914 : 202). Dengan bertambahnya jumlah p e n d u d u k Sulawesi Tenggara ini menjadi 941.634 jiwa (BPS 1980 : 190 — 191) dan dengan jumlah penduduk Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka yang menjadi 450.863 jiwa, m a k a dengan sendirinya j u m l a h orang Tolaki mengalami k e t a m b a h a n pula, ialah kira-kira menjadi 150.427 jiwa. 5. HUBUNGAN ORANG TOLAKI B A N G S A LAIN DI I N D O N E S I A



DENGAN



SUKU-SUKU



L a m a sebelum ada campur tangan pemerintah j a j a h a n Belanda di. Sulawesi Tenggara dalam 1885, orang Tolaki telah biasa mengadakan hubungan dengan daerah-daerah Bungku, Mori, 63 PNRI



Moronene, M u n a , Buton, Tarnate, A m b o n dan Timor. Sesudah itu juga ada hubungan dengan orang T o r a j a , Bugis, Makassar, Minahasa, dan orang Jawa yang datang sebagai transmigran. Kontak dengan suku bangsa lain itu menjadi lebih intensip setelah Indonesia merdeka hingga dewasa ini dengan masuknya penduduk dari Pulau Jawa dan Bali sebagai transmigran sejak 1967. Di kalangan orang Tolaki tua-tua masih biasa terdengar suatu ungkapan yang menggambarkan adanya hubungan-hubungan itu, demikian bunyinya: uluno o Goa, worokono o Bone, wotoluno Konawe, huleno Wolio, kareno Tarinate, yang artinya: kepalanya Goa, lehernya Bone, tubuhnya Konawe, jantungnya Wolio, kakinya Tarnate. Ada juga yang menambahkan dengan ponduno o Luwu, panino Mandara, yang artinya: mulutnya Luwu, sayapnya Mandar. Apa makna ungkapan ini masih harus diselidiki lebih lanjut. Menurut orang Tolaki ungkapan ini menggambarkan seekor ayam yang mereka namakan manu rasa wula (ayam jantan keemasan), yang dipotong dan dibagi oleh Sawerigading dengan cara demikian.^ Menurut hemat saya, ayam jantan keemasan melambangkan kekuasaan Sawerigading yang dibagi-bagikan kepada putra-putranya yang menjadi raja pada tiap wilayah tersebut ataukah simbol watak dan kepribadian dari tiap suku-bangsa ini, dan ataukah bahwa kebudayaan suku-suku bangsa di Sulawesi dan Maluku ini merupakan satu kebudayaan yang telah saling pengaruh-mempengaruhi karena faktor teritorial, histori, dan secara mitologi oleh ikatan k e k e l u a r g a a n dari dinasti Sawerigading. Kedatangan suku-suku bangsa tersebut di tanah Tolaki ini selain karena motif mencari nafkah melalui perdagangan dan pertanian, juga untuk mengajarkan agama Islam. Dalam rangka itu terutama orang Bungku, Buton, Bugis dan Makasar dari Selayar, yang datang mengajarkan kepandaian mengaji Al Quran kepada penduduk. Adapun orang Cina yang juga datang ke daerah ini,



*) Ungkapan ini sering saya dengar dari H. Hasan di Ambaipua, H. Masnur P u u w a t u di Mandonga, Lowa di W u n d u l a k o , M u h a m m a d Saleh di Mowila, L a t a m o r o di RateRate, W u t o g o di Tawanga, dan Labawo di Pehanggo.



64 PNRI



memilih tempat di pinggir pantai misalnya: di Lasolo, di Tinanggea, di Wolo untuk membuka toko dan membeli hasil hutan dan hasil laut, berupa rotan, damar, kulit hewan, tanduk, agar-agar, dan ikan teripang (Treffers 1914: 188-200) Seperti halnya dengan adat beberapa suku bangsa di Nusantara antara lain: orang Batak, T o r a j a , Dayak, dan beberapa suku bangsa di Irian, pada orang Tolaki ada unsur adat yang disebut oleh Belanda "koppensnellen" (mengayau, penggal kepala). Dalam rangka kontak antara suku bangsa sering terjadi peristiwa perang. Namun perang itu berakhir dengan suatu perdamaian yang menghasilkan suatu ikatan persahabatan. Dalam banyak cerita sejarah dari kalangan orang tua-tua masih diperoleh keterangan mengenai hal ini (Sarasin 1905: 374-375); Schuurmans 1934: 211). Pada dasarnya orang Tolaki tidak suka merantau ke negeri lain secara perseorangan atau dalam bentuk satu keluarga kecuali apabila mengikuti pemimpin atau rajanya yang pindah, seperti yang terjadi ketika Haluoleo pergi ke Muna dalam proses kepindahannya ke Buton untuk menjadi Sultan di sana. Haluoleo membawa 40 keluarga orang Tolaki dan bermukim di salah satu desa di Muna, yaitu desa Konawe. Pada zaman Belanda, karena tidak senang terhadap p e n j a j a h , ada yang mengungsi ke Pulau Banggai dan ke propinsi Sulawesi Tengah bagian Timur. Tadulako, yang kini menjadi nama universitas di Sulawesi Tengah, kata orang Tolaki, adalah nama seorang panglima perang orang Tolaki yang menetap di Sulawesi Tengah.*' Kini telah banyak orang Tolaki pergi merantau untuk menempuh pendidikan, menjadi pegawai, atau masuk tentara, misalnya di Ujung Pandang, Manado, Ambon, Surabaya, Jakarta; dan ada juga wanita Tolaki yang pergi ke negeri Belanda untuk mengikuti suaminya orang Belanda yang menjadi tentara.



*) Kisah mengenai Tadulako ini berasal dari informan A. Hamid Hasan, dan Abdullah (bekas Camat Ranome'eto Kabupaten Kendari).



65 PNRI



III BAHASA TOLAKI 1. BEBERAPA CIRI KHAS BAHASA TOLAKI Penelitian terhadap bahasa Tolaki belum banyak dilakukan oleh para Sarjana, kecuali H. van der Klift yang pernah menulis karangan dengan judul Mededeelingen overde tua/ van Mekongga (1918),"' dan suatu naskah yang ditulis oleh M . J . Gouveloos dengan judul Spraakkunsl der Tolaki*") yang tak diterbitkan. Saya sendiri, atas permintaan Lembaga Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, pernah menulis sebuah karangan yang berjudul Imbuhan dalam Bahasa Tolaki (1973) untuk menjadi bahan seminar yang pada waktu itu diadakan di Jakarta. Atas biaya Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Sulawesi Selatan, J . F . Pattiasina dkk. telah meneliti bahasa Tolaki ini dan menulis dua karangan dengan judul Struktur Bahasa Tolaki (1978), dan Morfologi dan Sintaksis Bahasa Tolaki (1982).***' Dari beberapa bahan hasil penelitian tersebut, khususnya penelitian saya sendiri dan Pattiasina dkk. ada suatu kesimpulan sementara sebagai berikut: 1. Ciri-ciri fonologi dalam bahasa Tolaki itu adalah ciri-ciri yang menunjukkan bahwa bahasa ini adalah bahasa vokalis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fonem vokal dalam bahasa Tolaki terdiri atas lima vokal tunggal (V), yaitu:



*) Judul itu berarti: "catatan-catatan tentang bahasa M e k o n g g a " . Orang Mekongga adalah orang Tolaki di Kolaka. **) Judul itu berarti: " T a l a Bahasa T o l a k i " . ***) Kedua karangan ini masih dalam bentuk naskah stensil.



66 PNRI



Contoh penggunaan dalam kata dari tiap fonem tersebut di atas tercantum dalam Lampiran II. 1. Penggunaan fonem vokal dalam *) Vokal: ii, ee, aa, oo, dan uu, dalam penulisan kata-kata dalam Bahasa Tolaki yang terdapat dalam karangan ini, ditulis dalam b e n t u k ! , e, a, 5, u. **) Model pengelompokkan fonem konsonan di atas, saya mengikuti model K.L. Pike (1963: 7).



67 PNRI



silabe tampak dalam struktur satu kata (KV), dua suku kata (KVKV, VKV, KVV), tiga suku kata (KVKVKV, VKVKVKV, KVVKVKV, KVKVVKV, dan KVKVKVV). Ciri vokalis itu terutama terlihat dalam penggabungan fonem vokal dalam suku kata yang bisa berjumlah dua, tiga, dan empat suku kata. 2. Di dalam pembentukan kata maka yang digunakan adalah imbuhan (affixes) yang terbagi atas awalan