Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Jawabannya Dalam Teologi Paulus [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KATA PENGANTAR



Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan rahmat-Nya, kami dapat menyusun makalah yang berjudul kekerasan dalam rumah tangga dalam teologi Paulus tepat pada waktunya. Adapun maksud penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Kristen. Rasa terima kasih kami tidak terkirakan kepada yang terhormat Ibu guru bidang studi selaku pembimbing materi dalam pembuatan makalah ini, serta semua pihak yang telah mendukung dalam penyusunan makalah ini yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu. Harapan kami bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan terhadap kehidupan masyarakat. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dengan keterbatasan yang kami miliki. Tegur sapa dari pembaca akan kami terima dengan tangan terbuka demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ..................................................................................................



i



DAFTAR ISI .................................................................................................................



ii



BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang



..............................................................................................



1



........................................................................................



2



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Apa itu kekerasan?



2.2 Faktor-faktor pendorong terjadinya KDRT 2.3 Tinjauan Alkitab tentang KDRT



.......................................................



2



......................................................................



3



2.4 Hubungan UU Penghapusan KDRT dan Tulisan Paulus (Kolose)



.......................



4



................................................



6



2.6. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga ........................................



7



2.6.1. Perlindungan bagi Korban KDRT ......................................................................



8



2.5 Jawaban KDRT dalam Tulisan Paulus (Efesus)



BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan



.................................................................................................. 12



ii



BAB I PENDAHULUAN



1.1.Latar Belakang Sebelum membahas mengenai tinjauan Alkitabiah dalam teologi Paulus tentang kekerasan dalam rumah tangga, sebaiknya kita melihat terlebih dahulu mengapa kekerasan didalam rumah tangga itu dapat terjadi. Setiap hal yang terjadi didalam keluarga pasti ada pemicunya baik itu dari segi internal maupun eksternal. Tindakan kekerasan dalam rumah tangga bukan lagi hal yang mengherankan melainkan sudah biasa ditelinga kita sebab tidak sedikit orang-orang yang mengalami hal ini.



1



BAB II PEMBAHASAN



2.1 Apa itu kekerasan? Dalam konteks Globalisasi, teologi membutuhkan sebuah pemikiran yang kritis terhadap kekerasan. Berbicara tentang kekerasan dari perspektif teologis tidaklah mudah. Dalam nama Allah, selain ada perdamaian, banyak juga kekerasan yang muncul. Untuk itu teologi tidak cukup sekedar menolak kekerasan begitu saja. Secara eksegetis jelas bahwa kekerasan adalah tindakan manusia yang merusak hubungna manusia dengan Allah dan menghancurkan ciptaannya. Disini, posisi teologis telah jelas. Namun apakah teologi dapat mengerti dan memahami kekerasan? Kekerasan dapat dipahami dan didefinisikan secara luas atau sangat jelas, atau sangat abstrak atau sangat konkret. C.A.J. Coady membedakan kekrasan itu kedalam tiga defenisi yaitu: wide definitions, restricted definitions, dan legitimate definitions. Wide definitions bertolak dari pemikiran bahwa kekrasan itu “ada” dalam organisasi dan dalam kontrol masyarakat. Model kekerasan ini memberikan reaksi atas ketidakadilan atau ketidaksamaan dengan masyarakat (yang diinterpretasikan sebagai kekerasan). Restricted definitions bertolak dari ide bahwa kekerasan selalu menghadirkan luka. Dimana ada luka disitu ada kekerasan. Jika tidak ada luka maka tidak ada kekerasan. Legitimate definitions bertolak dari ide bahwa kekerasan adalah akibat dari aksi yang ilegal. Aksi ini diarahkan pada negara. 1[1]



2.2 Faktor-faktor pendorong terjadinya KDRT Kekerasan dalam keluarga adalah implikasi dari ideologi gender. Hubungan ats bawah yang hiearkis dalam keluarga, membuat pola hubungan itu sendiri menjadi disharmonisasi. Nilai-nilai manusiawi yang semestinya termanifestasikan dalam keluarga menjadi terkaburkan. Kekaburan inilah yang kemudian mengakibatkan berbagai akibat yang bersifat akumulatif, akut, permanen. Tanpa disadari, kalangan perempuan sendiri ikut serta dalam membangun struktur sosial itu, hingga muncul korban diskriminasi ganda. Strauss A. Murray mengidentifikasikan hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (Marital Violence) sebagai berikut : 1.



Pembelaan atas kekuasaan laki-laki Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumberdaya dibandingkan dengan wanita sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita



2.



Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi



2



Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan 3.



Beban pengasuhan anak Istri yang tidak bekerja menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yan tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga



4.



Wanita sebagai anak-anak Konsep wanita sebagai hak milik menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorag bapak melakukan kekerasan terhadap anak agar menjadi tertib



5.



Orientasi peradilan pidana pada laki-laki Posisi wanita sebagai istri didalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.2[2]



2.3 Tinjauan Alkitab tentang KDRT Untuk melihat tinjauan Alkitabiah tentang KDRT kita perlu mendaftarkan kewajiban-kewajiban setiap anggota keluarga: Apa kewajiban orang tua terhadap anak-anak mereka a)



Mengasihi dan memperdulikan mereka, khususnya kalau mereka masih kecil (Yes. 49: 15)



b)



Mendidik dan membimbing mereka didalam Firman Tuhan, prinsip keagamaan, dan memberikan petunjuk-petunuk jalan Tuhan (Ef. 6:4, Ams. 22:6, 2Tim. 3:15)



c)



Mendoakan mereka (Mzm. 101:2,3)



d)



Mengajarkan belajar menghormati, menaati orang tua mereka (Luk. 2:51, Ef. 6:1&4)



e)



Mendorong mereka (1Taw. 28:20, Ams. 19:18, 29:15,17)



f)



Menyediakan keperluan (1Tim. 5:8, 2Kor. 12:14)



g)



Siap menyerahkan kalau memang mereka sudah siap dipisahkan dalam kehidupan yang baru (Kej. 4:1,2; 1Kor. 7:36, 38) Apa kewajiban anak-anak terhadap orang tua mereka



a)



Menghormati (Mal 1:6, Im 19:3)



3



b)



Mendengarkan (Ams 31:28, 1Raj 2:19)



c)



Rajin mendengar (Ams 4:1; 5:1)



d)



Siap (Ef 6:1, Kol 3:20)



e)



Lemah lembut dan sabar (Ibr 12:9, Ams 15:32)



f)



Siap mengikuti (Kel 18:24; Hak 14:2)



g)



Tahu berterima-kasih atas kebaikan terhadapnya (Rut 4:15, Kej 47:12, Ams 23:22)



Apa kewajiban istri terhadap suami a)



Mengasihi mereka lebih dari siapapun orang di dunia (Tit 2:4)



b)



Setia dan tepat (Ibr 13:4, 1Tim 3:11)



c)



Menghormati dan takut menyinggung mereka (Ef 5:33)



d)



Tunduk (Ef 5:22,24)



e)



Peduli untuk menyenangkan mereka (1Kor 7:34)



f)



Membantu menanggung beban (Kej 2:18, Ams 31;27)



g)



Mendengarkan mereka (1Pet 3:1,2) Apa kewajiban suami terhadap istri



a)



Mengasihi istri, sama seperti Yesus mengasihi jemaat (Ef 5:25)



b)



Hidup bersama dengannya (Ef 5:31, 1Pet 3:7, Ams 5:18,19)



c)



Harus lembut terhadap istri, menyiapkan dan menyediakan keperluannya (Ef 5:28,29)



d)



Setia dan benar memelihara perjanjian (Hos 3:3)



e)



Melindungi (1Sam 30:18, 1Pet 4:8)



f)



Peduli untuk menyenangkan (1Kor 7:33)



g)



Mendoakan (1Pet 3:7, Luk 1:6).3[3]



2.4 Hubungan UU Penghapusan KDRT dan Tulisan Paulus (Kolose) Bagi orang Kristen sudah terlebih dahulu mengetahui ketentuan-ketentuan tentang hidup berumah tangga yang baik dan harmonis, terlepas dari segala kekerasan, berlaku kasar, saling menaati, saling menghormati, tidak merendahkan satu terhadap yang lain, tidak ada pembedaan (diskriminasi) didalam rumah tangga. Peringatan rasul paulus dalam Kolose 3:18-25 sudah ada jauh sebelum Indonesia mengatur UU No. 23 Tahun 2004 tentang peghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Apabila kita memahami dan menaati serta melaksanakan apa yang termuat didalam Alkitab tersebut, khususnya Kol. 3:18-25, tentu tidak akan ada tindak kekerasan didalam rumah tangga. Untuk lebih memahami nasehat yang disampaikan rasul Paulus dalam kitab kolose, maka dijabarkan makna dan isi yang terkandung didalamnya:



4



1. Supaya terjadi suasana saling menghormati antara suami istri dan sebaliknya, antara anakanak dan orangtuanya yaitu ayah dan ibunya, para pembantu kepada kepala keluarga serta anggota keluarga yang lain. 2. Supaya terjadi saling mengasihi bagi sesama anggota keluarga yaitu suami, istri, anak, hamba-hamba (pembantu rumah tangga) dan bahkan orang lain yang mungkin tinggal dan menetap didalam keluarga tersebut. 3. Tidak memandang rendah terhadap setiap anggota keluarga atau rumah tangga baik kepala keluarga, anggota rumah tangga yang lain, istri, anak, pembantu RT, orang lain yang tinggal dan menetap didalam keluarga tersebut juga para pekerja yang tinggal bekerja pada rumah tangga tersebut. 4. Tidak saling membedakan antara anggota keluarga (rumah tangga), tidak memandang lebih tua atau lebih muda usianya. 5. Tidak saling melakukan kekerasan dalam bentuk apapun antara salah satu anggota rumah tangga terhadap anggota rumah tangga lainnya. 6. Tidak terjadi pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh anggota rumah tangga yang satu terhadap anggota rumah tangga yang lainnya. 7. Yang sangat penting adalah apapun yang diperbuat/dilakukan oleh setiap anggota rumah tangga harus dengan segenap hati untuk Tuhan. Sebagaimana disebutkan didalam UU KDRT (UU No. 23 Tahun 2004) yang dilengkapi dengan sanksi-sanksi hukum, maka didalam nasehat yang disampaikan oleh rasul Paulus juga mengandung sanksi yang tegas dan termuat didalam Kol. 3:25 yaitu “Barangsiapa berbuat kesalahan tersebut akan menanggung kesalahannya itu, karena Tuhan tidak memandang orang”. Bunyi ayat yang sekaligus sanksi ini dapat diambil maknanya antara lain sebagai berikut : -



Kata menanggung kesalahannya berarti menanggung akibat dari perbuatannya yang salah



dan akan mendapat sanksi hukuman. -



Kata Tuhan tidak memandang orang berarti; Sebenarnya Tuhan adalah Maha Kasih,



Maha Adil, dalam hal ini Tuhan tidak membeda-bedakan umatNya, tidak ada diskriminasi didalam Tuhan. Semua yang melakukan kesalahan akan menerima ganjaran yang sama sesuai perbuatannya. Apabila kita bandingkan dengan ketentuan-ketentuan yang dimuat didalam UU No. 23 Tahun 2004 terhadap Penghapusan KDRT ternyata nasehat dan ketentuan yang disampaikan Rasul Paulus dalam Kolose 3:18-25 jauh lebih lengkap dan padat serta lebih luas jangkauannya dan berlaku ribuan tahun lamanya. uraian mengenai KDRT dari dua buah peraturan yang dibuat dan ditujukan kepada manusia dalam kehidupan rumah tangganya, Peraturan Perundangundangan yang diberlakukan di wilayah negara RI (UU No. 23 Tahun 2004) dan ketentuan



5



(nasehat) yang dimuat didalam Alkitab (khususnya Kolose 3:18-25) berkaitan erat dengan kehidupan rumah tangga berdasar iman Kristen.4[4]



2.5 Jawaban KDRT dalam Tulisan Paulus (Efesus) Kekerasan dalam keluarga mencakup penganiayaan fisik, emosional, dan seksual pada anak-anak, pengabaian anak-anak, pemukulan pasangan, pemerkosaan terhadap istri/suami, dan penganiayaan lansia. Dalam kekerasan keluarga, keluarga yang normalnya merupakan tempat yang aman dan anggotanya merasa dicintai dan terlindung, dapat menjadi tempat yang paling berbahaya bagi korban. 5[5] Kekerasan bukanlah gaya hidup dan cara menyelesaikan masalah dalam keluarga yang berdasrkan firman Tuhan. Setiap bentuk dan ekspresi yang sekalipun bertujuan baik, bila dilakukan dengna jalan kekerasan adalah melawan kehendak Tuhan. “Tuhan menguji orang benar dan orang fasik, dan ia membenci orang yang mencintai kekerasan” (Mzm. 11:5). Rumah tangga merupakan tempat pembelajaran dalam membangun relasi hubungan interpersonal. Paulus menyampaikan dua dasar kehidupan orang Kristen, yaitu mereka menjadi manusia baru (Ef. 4:17-32), dan mereka hidup sebagai anak-anak terang (Ef. 5:1-21). Semakin baik kualitas relasi diantara suami dengan istri, semakin menunjukkan kualitas hubungan dalam rumah tangga tersebut. Hubungna relasi diantara suami istri inilah yang dikatakan Paulus kepada jemaat efesus, “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri seperti Kristus adalah kepala jemaat” (Ef. 5:22-23). Paulus menegaskan bahwa kehidupan sebagai manusia baru adalah kehidupan didalam terang Kristus (Ef. 5:8). Hidup sebagai anak-anak terang dikuasai oleh Roh dan pikiran Kristus menjadikan seseorang mampu menaklukkan diri dibawah kehendak Kristus. Paulus menjelaskan bentuk hubungan perkawinan menggunakan pola hierarki. Hal ini karena latar belakang budaya yahudi, dimana budaya patriarki masih sangat mempengaruhi pemikirannya “rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain didalam takut akan Kristus” (EF. 5:21). Paulus menekankan soal ketaatan yang mengandung unsur rasa hormat bagi posisi yang dituakan dalam Efesus 6:1-9. Sebuah ketaatan dan rasa hormat yang bersumber dari ketulusan. Setiap anggota keluarga perlu mengembangkan sikap ketaatan dan kasih yang menjadi cara berelasi antara suami dan istri. Menurut Paulus hal ini tidak mungkin terjadi



6



sikap arogan: semena-mena, melecehkan, meremehkan, dan tidak menjadi teladan dal;am hubungna rumah tangga. 6[6] Allah Bapa dapat sungguh-sungguh dipertimbangkan sebagai partner dalam kesatuan pasangan suami-istri Kristiani, karena Dialah yang memberkati atau menyucikan serta memberikan kekuatan terus-menerus kepada ikatan perkawinan mereka. Pasangan suami-istri tahu bahwa Allahlah yang menginginkan persatuan mereka, mendirikannya pada cintanya yang tanpa batas dan kesetian-Nya yang kekal, dan melindungiNya melawan segala resiko kesalahpahaman dan perpecahan. Dalam satu dunia yang ditandai dengan kekacauan atau ketidakteraturan dan kekerasan, maka stabilitas seperti itu didalam keluarga Kristiani merupakan aset yang sangat berharga. Keluarga Kristiani diperbaharui terus menerus oleh doa kepada Bapa atas semua anugrahnya, menyinari damai dan kegembiraan kepada semua orang disekitarnya. Kegembiraan seperti itu yang sungguh-sungguh dilandaskan pada iman akan kebangkitan membantu kita untuk membebaskan diri dari diri kita sendiri, dari kecemasan-kecemasan serta kesulitan-kesulitan, dari dunia dosa yang merupakan sumber kesedihan, serta memberikan kebahagiaan sejati didalam keluarga itu.7[7] Kasih adalah obat yang paling ampuh untuk mengatasi semua penyakit perkawinan. Kasih adalah anti perceraian, anti perengkaran, anti pemgkhianatan, anti egoisme, dan lain-lain. Dalam kasih juga sang suami menjalankan fungsinya sebagai kepala rumah tangga, dia menjadi mitra ynag sepadan dan harmonis terhadap sang istri. Dalam kasih yang sama sang istri dapat tunduk kepada suaminya, seperti tunduk kepada Tuhan. Hal ini bukanlah hal yang memberatkan istri, karena kasih yang sejati telah ada padanya (Band. 1Ptr. 3:1; Kol. 3:18).8[8]



2.6. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain: a.



Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.



7



b.



Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.



c.



Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.



d.



Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.



e.



Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.



2.6.1. Perlindungan bagi Korban KDRT. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya. UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya,baik perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya. Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya ruang dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi yang menangani perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah setiap orang yang 8



mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang ada.Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni tindak pidana



penganiayaan,



kesusilaan,



serta



penelantaran



orang



yang



perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih diperlukan UU PKDRT? Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai sifat khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga, korban dan pelakunya terikat hubungan kekerasan atau hubungan hukum tertentu lainnya, serta berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan) dengan penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan pada umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak hanya dilihat dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga. Bagaimanakah bentuk dan cara perlindungan itu, serta bagaimanakah hubungan masingmasing institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu secara konkret dan faktual di lapangan? Itulah pokok persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh masyarakat luas sehingga cita-cita yang hendak dicapai oleh legislator yang terkandung dalam UU PKDRT dapat terwujud sesuai harapan. Bentuk perlindungan Korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi perlindungan itu sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan itu didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT. UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi melakukan



tindakan



hukum



dalam



rangka



pemberian



sanksi



kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT. Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan.



9



Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing: a.



Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.Pemerintah dan masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1 X 24 jam.



b.



Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan kemitraan).



c.



Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.



d.



Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.



e.



Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait. 10



f.



Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.



g.



Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban. Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum implementatif



dan teknis oparasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola dan strategi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur. Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab konvensional seperti disharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang rendah, perangai dan tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier dan pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi. KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka bumi Indonesia adalah perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa Indonesia.



11



BAB III PENUTUP



3.1. Kesimpulan Tindak kekerasan sangat jelas sekali bertentangan dengan kekristenan, apalagi bila hal tersebut terjadi didalam sebuah mahligai rumah tangga. Rumah tangga ataupun suatu keluarga adalah sesuatu yang dibentuk dan diprakarsai oleh Allah bahkan yang mempersatukan manusia didalam mahligai rumah tangga (perkawinan). Tidak ada satu pun aspek pandangan dalam Alkitab bahkan secara khusus dalam teologi Paulus yang menyetujui tentang tindak kekerasan dalam rumah tangga. Tuhan adalah kepala dari rumah tangga itu dan juga dasar membangunnya oleh sebab itu juga apapun yang terjadi didalam rumah tangga itu harus seturut dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Paulus mengatakan dalam tulisannya bahwa kasih adalah cara yang paling ampuh dalam menyelesaikan setiap permasalahan, termasuk juga didalamnya masalah rumah tangga. Kekerasan bukanlah jalan menyelesaikan permasalahan tetapi hal itu akan menambah masalah.



12