Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan berumah tangga akan tidak lepas dari suatu permasalahan. Setiap keluarga tentunya memiliki cara yang berbeda-beda dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi. Alangkah lebih baik apabila mereka dapat menyelesaikan permasalahannya secara kekeluargaan dan bijaksanaakan tetapi akan berbeda apabila cara penyelesaiannya dengan menggunakan suatu kekerasan seperti kekerasan fisik (memukul), mengeluarkan kata makian ataupun berteriak. Terlebih lagi kebanyakan kasus mengenai kekerasan dalam rumah tangga lebih banyak terjadi pada perempuan.Sering sekali perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga sehingga mereka membutuhkan suatu perlindungan hukum. Akan tetapi tindakan kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum



terutama di negara Indonesia. Tindakan suatu kekerasan terutama



kekerasan dalam rumah melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia serta kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah suatu perbuatan yang dilakukan suami terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya suatu kesengsaraan atau penderitaan dan menyakiti secara fisik, seksual, psikologis, ekonomi dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kebebasanyang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Persoalan KDRT merupakan fenomena gunung es yang hanya kelihatan puncaknya



sedikit



tetapi



sebenarnya



tidak



menunjukkan



fakta



yang



valid.Persoalan KDRT banyak terjadi pada keluarga.Akan tetapi sebagian besar keluarga korban tidak mempunyai informasi yang jelas mengenai apakah persoalan keluarga mereka layak untuk dibawa ke pengadilan.Karena masyarakat menganggap bahwa persoalan mengenai KDRT adalah persoalan yang bersifat



KDRT | Women’s Empowerment in Midwifery. 1



sangat pribadi dan hanya diselesaikan dalam lingkup rumah tangga saja.Persoalan mengenai KDRT juga merupakan suatu aib bagi keluarga tersebut. Campur tangan terhadap kepentingan masing-masing rumah tangga merupakan perbuatan yang tidak pantas, sehingga timbul sikap pembiaran (permissiveness) berlangsungnya kekerasan di dalam rumah tangga. Menurut Komisi Perempuan (2005) sebanyak 80,44% dari perempuan mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suami dan mantan suaminya, 4,74% perempuan yang mengalami kekerasan adalah anak-anak berusia 18 tahun kebawah. Dari latar belakang ini, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai kekerasan dalam rumah tangga. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga? 2. Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga? 3. Apa saja faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga? 4. Apa saja cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian dari Kekerasan dalam Rumah Tangga 2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga 3. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga 4. Untuk mengetahui cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,



KDRT | Women’s Empowerment in Midwifery. 2



yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau pe-rampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Dari pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu perbuatan berupa kekerasan dalam hal kekerasan fisik, psikologis/emosional, ekonomi/penelantaran rumah tangga maupun kekerasan seksual dimana korban adalah orang yang mendapat kekerasan atau ancama dalam lingkup rumah tangga (suami, istri, anak ataupun orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga). 2.2 Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-undang No. 23 tahun 2004 pada bab III mengenai larangan kekerasan dalam rumah tangga terbagi menjadi empat macam, yaitu: kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga. a.



Kekerasan fisik Kekerasan fisik adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakir, jatuh sakit maupun luka berat. Contohnya adalah tamparan, menendang, pukulan, menjambak, meludah, menusuk, mendorong, memukul dengan



b.



senjata. Kekerasan psikis Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.



Contohnya adalah makian berupa kata-kata yang menghina korban. c. Kekerasan ekonomi/ penelantaran rumah tangga Seperti membuat ketergantungan secara ekonomi, melakukan kontrol terhadap penghasilan, pembelanjaan dengan cara melarang/ membatasi untuk bekerja didalam maupun diluar rumah sehingga korban kekerasan d.



berada dibawah kendali orang tersebut. Kekerasan Seksual Kekerasan seksual adalah suatu tindakan yang bersifat memaksa hubungan



seks,



mendesak



hubungan



seks



setelah



melakukan



KDRT | Women’s Empowerment in Midwifery. 3



penganiayaan, menganiaya saat berhubungan seks, memaksa menjadi pelacur, menggunakan binatang untuk hubungan seks dan sebagainya.



2.3 Faktor-faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga Strauss A. Murray dalam bukunya yang berjudul The Vioelence Home mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kekerasan dalam rumah tanggaantara lain pembelaan atas kekuasaan laki-laki, diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi, beban pengasuhan anak, wanita sebagai anak-anak dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki. Faktor-faktor tersebut akan dijelaskan sebagai berikut : a. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki Dalam buku Pemberdayaan Wanita dalam Bidang Kesehatan, laki-laki cenderung menggunakan kekerasan dalam memenuhi apa yang diinginkan karena hal tersebut dianggap sebagai hak laki-laki, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita, sedangkan wanita sendiri juga dianggap tidak mempunyai hak untuk membela. b. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi Laki-laki cenderung membatasi ruang lingkup wanita dalam hal mencari nafkah. Hal ini dimungkinkan karena laki-laki memiliki tanggunga jawab sebagai



pencari



kemampuan



yang



penghasilan tidak



terlebih



sebanding



wanita



dianggap



memiliki



dengan



laki-laik



sehingga



mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami. Wanita hanya diperbolehkan mengurus rumah saja dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. c. Beban pengasuhan anak Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga. Hal tersebut juga dipegaruhi suami lebih memiliki waktu di luar rumah untuk bekerja dibandingkan mengasuh anak di rumah. d. Wanita sebagai anak-anak KDRT | Women’s Empowerment in Midwifery. 4



Laki-laki cenderung memiliki konsep bahwa mereka memiliki hak terhadap istri sehingga laki-laki harus dapat mengendalikan kehidupan. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib. e. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga. Alasan lain yakni jika laki-laki diberi sanksi yang berat maka sang istri akan mengalami kesulitan dalam pemenuhan nafkah. Di sisi lain juga terdapat UU tentang penghapusan kekerasan dalan rumah tangga yang perlu ditegakkan guna membela hak wanita dalam rumah tangga. Menurut Novita Diniyanti dan I Gede Sidemen (2011) faktor penyebab dari adanya kekerasan dalam rumah tangga adalah faktor usia yaitu antara 2834 tahun yang paling banyak mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini disebabkan karena usia tersebut masih labil dalam membina keutuhan rumahtangganya,



seperti



adanya



kebosanan



dengan



permasalahan-



permasalahan baru yang semakin bertambah, dan adanya tuntutan terhadap suami dalam pemenuhan kebutuhan yang semakin bertambah. Hal tersebut seringkali menimbulkan kemarahan yang mengakibatkan seorang suami melakukan kekerasan dalam rumah tangganya. Usia seseorang juga dapat menunjukkan terhadap pola pikir yang dimilikinya, karena semakin bertambahnya usia seseorang maka semakin dewasa pula dalam menghadapi setiap permasalahan yang dihadapinya



2.4 Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga Dalam jurnal Indonesia Silfia Hanani dengan judul Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Upaya Penanggulangannya Melalui Pendekatan Institusi Lokal dan Formal, penanggulangan KDRT dapat dilakukan melalui penguatan peranan institusi lokal, dan penguatan peranan institusi formal. KDRT | Women’s Empowerment in Midwifery. 5



a. Penguatan Institusi Lokal Selama ini, minimnya jumlah institusi yang menangani masalah KDRT ternyata telah mempengaruhi banyaknya kasus KDRT tidak tertanggulangi sehingga jumlah kasus tersebut selalu mengalami peningkatan. Pemerintah sendiri baru mempunyai 237 unit Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di 33 Kepolisian Daerah (Polda) seluruh Indonesia untuk menangani kasus KDRT ini. Jumlah pelayanan tersebut jelas masih sangat sedikit jika dibandingkan denganjumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 224 juta jiwa. Sementara kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk melaporkan kasus tersebut tentu tidak mendukung efektifnya kinerja unit pelayanan yang ada di kopolisian tersebut. Oleh sebab itu, perlu adanya lembaga-lembaga atau institusi lain yang dapat menanggulangi masalah ini. Keberadaan institusi lokal sangat diperlukan. Institusi lokal ini akan dapat menyentuh secara lansung masyarakat paling bawah, karena tingginya kasus KDRT di Indonesia tidak terlepas dari minimnya lembaga yang menanggulangi masalah KDRT. Selain itu, lembaga yang ada sangat bersifat formal dan korban pun harus melaporkan permasalahannya secara formal, sedangkan kesadaran masyarakat untuk melaporkan secara formal ini masih rendah.Sehubungan dengan itu, pada era otonomi daerah sekarang sedang terjadi penguatan insitusi lokal, maka institusi lokal tersebut mempunyai peranan penting dalam menanggulangi persoalan kasus KDRT. Dari pernyataan tersebut lembaga-lembaga intitusi yang telah berdiri masih dinilai kurang mampu menangani kasus KDRT yang terjadi. Peran dari institusi ini tidak hanya menerima laporan dan menangani kasus KDRT yang ada, namun juga harus dituntut untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melapor adanya tindak kekerasan. Jika terjadi kekerasan pada anak, lembaga tersebut juga harus bertindak secara aktif. Institusi diharuskan untuk melakukan pendekatan kepada setiap keluarga. Di sisi lain upaya-upaya pencegahan juga perlu ditingkatkan guna mengurangi angka kejadian KDRT yang terjadi.



KDRT | Women’s Empowerment in Midwifery. 6



b. Penguatan Institusi-Institusi Formal Pendekatan gender merupakan pendekatan yang sering dipakai dalam menyelesaikan kasus KDRT. Salah satu keuntungan melihat kasus KDRT dengan pendekatan gender ini adalah memberikan ketegasan penyelesaian kasus KDRT melalui jalur hukum. Perspektif ini pula yang dipakai oleh Undang-Undang No 23 tahun 2004, di mana penyelesaian kasus KDRT harus dilakukan dengan penyentuhan hukum dan penyelesaian lembagalembaga yang bertanggungjawab. Oleh sebab itu diperlukan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di Kepolisian.Artinya, dengan adanya undang-undang KDRT telah lahir satu institusi khusus di kepolisian.Hal ini dianggap sebagai salah satu upaya dalam



menyelesaikan



kasus



KDRT



melalui



penyelesaian



hukum.Penyelesaian kasus KDRT melalui jalur hukum ini sebagai upaya untuk menegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Namun,



pada



faktanya



meskipun



kini



undang-undang



telah



diberlakukan angka kejadian KDRT masih tinggi dan terus meningkat. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan kekerasan dianggap sebagai salah satu penyebab mengapa kejadian KDRT masih terjadi. Sekalipun para pelaku telah diberi sanksi, namun sanksi yang diberikan dianggap kurang berat sehingga para pelaku memiliki atau berpotensi untuk melakukan kekerasan lagi. Untuk itu sanksi sosial juga perlu diberikan kepada para pelaku agar pelaku jera dengan apa yang telah dilakukan. 



Perlindungan bagi korban KDRT Dalam UU No. 23 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada bab IV tentang perlindungan pasal 16 disampaikan, bahwa : 1) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. 2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.



KDRT | Women’s Empowerment in Midwifery. 7



3) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Pada pasal 17 juga dijelaskan bahwa dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban



yang selanjutnya akan dijelaskan tentang setiap



pelayanan pada pasal berikutnya. Dari undang-undang yang telah disebutkan tentang perlindungan bagi korban, hal tersebut dinilai cukup untuk menegakkan hak dari korban. Korban kekerasan pastinya memiliki trauma tersendiri akibat kekerasan yang telah diterimanya. Untuk itu selain dari pihak kepolisian yang telah memberikan perlindungan kepada korban, pihak lain seperti yang telah disebutkan pada pasal 17 juga turut memberikan pendampingan dan memberikan penyembuhan trauma fisik maupun trauma psikis yang dialami korban. Peran pendamping hukum dalam membantu korban memperoleh keadilan seperti LBH APIK yang mana memiliki perspektif perempuan yang kuat merupakan kekuatan LBH APIK yang tidak dimiliki oleh pengacara atau LBH lain. Meskipun pendamping hukum LBH APIK ini tidak melabel korban dari tampilannya saja tetapi dari sudut pandang korban, pelayanan yang mereka berikan belum sepenuhnya membantu korban untuk mencapai keadilan. Tetapi para korban juga merasa terbantu karena setidaknya ada yang menemani selama proses hukum (Lianawati, 2009:93-103). 



Pengertian KDRT dalam UU Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan



dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang



Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,



KDRT | Women’s Empowerment in Midwifery. 8



dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. UU PKDRT ini lahir melalui perjuangan panjang selama lebih kurang tujuh tahun yang dilakukan para aktivis gerakan perempuan dari berbagi elemen. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahawa kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya dalam definsi kekerasan fisik saja namun juga meliputi kekerasan seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga. Korban kekerasan yang paling banyak terjadi adalah perempuan, namun tidak menutup kemungkinan pria dan anak juga ikut menjadi salah satu korban kekerasan. Dengan adanya definisi tersebut diharapkan pihak yang



berwenang



bersama



dengan



lembaga



perlindungan



terus



meningkatkan perannya dalam upaya pencegahan dan penanggulagan kasus KDRT di Indonesia. 



Penegakkan hukum UU KDRT ditinjau dalam perspektif sosiologi hukum Dalam jurnal Indonesia penulis Zulfatun Ni’mah, dalam rangka melihat penegakan hukum KDRT di Indonesia, tulisan ini memilih komponen yang ditentukan oleh Soerjono Soekanto sebagai alat analisis, yaitu kaidah hukum,



fasilitas



penegakan



hukum,



aparat



hukum,



kesadaran



masyarakatdan budaya hukum. a. Kaidah hukum Secara sosiologis, kaidah yang terdapat dalam UU KDRT dapat diterima oleh sebagian masyarakat sebagai gagasan cemerlang yang dimaksudkan untuk menyelesaikan kebuntuan konflik rumah tangga di muka hukum. Namun demikian, tidak semua masyarakat merasa terwakili aspirasinya sehingga ikut menyambut baik berlakunya UU PKDRT ini. Tidak diterimanya kaidah-kaidah hukum dalam UU KDRT secara penuh oleh masyarakat mau tidak mau mempengaruhi upaya penegakan hukum KDRT. Pengaruh ini antara lain sikap untuk menerima kekerasan yang dialami sebagai cobaan atau ujian dari Tuhan yang



KDRT | Women’s Empowerment in Midwifery. 9



harus dihadapi dengan sabar. Kesabaran yang dimaksud antara lain tidak mengadukan pelaku KDRT kepada siapapun, apalagi polisi, berdoa agar pelaku berubah dengan kesadarannya sendiri, dan juga menasehati pelaku, pada situasi ini, kaidah hukum dalam UU PKDRT tidak difungsikan untuk mendapatkan perlindungan yang maksimal. Untuk itu perlu adanya penyuluhan mengenai kaidah hukum dari institusi formal maupun non formal, sehingga pengetahuan masyarakat mengenai kekerasan dapat ditingkatkan. b. Aparat hukum Pengalaman penegakkan hukum dalam kasus-kasus KDRT sejauh ini menunjukkan bahwa aparat belum menerapkan perilaku dan pelayanan yang berstandar. Ada sebagian aparat yang mau dan mampu melayani pengaduan korban KDRT dengan baik, berempati pada korban sebagai orangyang terampas hak hukumnya dan secara profesional menjalankan prosedur perlindungan yang telah ditetapkan. Akan tetapi, masih banyak ditemukan aparat hukum yang masih menggunakan paradigma lama, yakni menolak mengurusi kasus KDRT, menganggap sepele KDRT. Ada juga aparat yang menganjurkan agar korban berdamai saja dengan pelaku, memaafkan perbuatan pelaku disertai nasehat bahwa tidak baik memenjarakan pelaku yang masih keluarga sendiri, dampaknya buruk secara sosial, dan bila pelaku adalah penanggung nafkah korban maka korban akan rugi sendiri. Tidak ditindaklanjutinya perkara KDRT oleh aparat hukum dapat pula dimaknai sebagai upaya mendamaikan korban dengan pelaku. Sikap ini dipilih dengan pertimbangan bahwa apabila pelaku dipenjara maka akan terjadi goncengan dalam keluarga, apalagi jika pelaku adalah orang yang menjadi tulang punggung keluarga. Pilihan sikap ini menunjukkan bahwa polisi dalam menegakkan hukum KDRT tidak semata-mata pada kaidah hukum yang sudah jadi, melainkan juga mempertimbangkan aspek-aspek yang lain.



KDRT | Women’s Empowerment in Midwifery. 10



Jika aparat hukum cenderung bersikap seperti tersebut maka sangat disayangkan dikarenakan penyelesaian masalah mengenai ekonomi dapat dilakukan dengan salah satu cara yakni tidak membuat istri menjadi ketergantungan. Tokoh masyarakat juga ikut berperan aktif dalam upaya tersebut dengan membuka lapangan kerja baru berbasis gotong royong masyarakat bersama dengan bidan. c. Fasilitas Hukum Fasilitas yang disediakan



sejauh ini dapat dikatakan belum



memadai. Rasio antara jumlah penduduk, luas wilayah dan fasilitas yang disediakan belum seimbang, sehingga masih banyak warga masyarakat terutama yang terpinggirkan yang tidak mengetahui apa itu KDRT, bagaimana hukum



mengaturnya, bagimana menghindarinya



serta bagaiman prosedur meminta perlindungan jika menyebabkan tidak terungkapnya dan tindak KDRT yang sebenarnya serta korban belum bisa dilindungi secara keseluruhan. Problem lain dari sistem hukum yang ada adalah kuatnya paradigma provistik dalam proses penanganan KDRT. Hal ini sangat terasa dalam prosedur hukum acara. Realitas yang bisa ditampilkan sebagai contoh dalam hal ini adalah ditempuhnya prosedur konfrontasi antara pelaku dan korban dalam persidangan. Dalam kasus di mana KDRT timbul karena relasi kuasa yang timpang dan pelaku lebih kuat dari korban maka konfrontasi pelaku dan korba sesungguhnya tidak selalu mampu mengungkap kebenaran, tetapi justru menyudutkan korban yang lemah menjadi semakin lemah di muka hukum. Dapat dikatakan bahwa hakim kurang bisa melakukan terobosan prosedur untuk melindungi korban dan berusahan mengungkapkan kebenaran tanpa harus menyiksa korban dalam persidangan. Berubahnya paradigma hukum yang memandang KDRT tidak lagi sebagai urusan privat rumah tangga belum diikuti oleh semangat perubahan sistem peradilan untuk membela korban.



KDRT | Women’s Empowerment in Midwifery. 11



d. Kesadaran hukum Sejauh ini, kesadaran masyarakat Indonesia akan hukum KDRT menunjukkan tingkat yang beragam, baik ketika berkedudukan sebagai korban, pelaku maupun saksi. Keragaman ini menunjuk pada aspek kualitas maupun kuantitas. Dapat dicontohkan misalnya, penelitian Puspita Sari tentang kesadaran hukum istri yang menjadi korban KDRT di pesisir pantai Probolinggo menunjukkan bahwa dari 100 istri yang menjadi subjek penelitian mengaku semuanya mengalami tindak kekerasan oleh suaminya. Akan tetapi tidak satupun di antara mereka yang berupaya melakukan tindakan hukum untuk melindungi dirinya. Dari aspek hak maupun kewajiban dapat dikatakan bahwa tingkat kesadaran hukum dikalangan masyarakat ini sangat rendah. Tingkat kesadaran yang lebih tinggi dapat dilihat pada laporan Komisi Nasional Perempuan. Bahwa satu tahun sejak diberlakukannya UU PKDRT, Komnas Perempuan mencatat peningkatan kasus KDRT yang didata oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama mengalami peningkatan paling tinggi dibandingkan jumlah KDRT dari lembagalembaga lain. Oleh karena itu, lembaga-lembaga tersebut berperan aktif dalam memberikan penyuluhan tentang kekerasan dalam rumah tangga.



BAB III PEMBAHASAN Dari berbagai macam tinjauan teori dan hasil penelitian baik secara nasional maupun internasional yang telah disampaikan, pada kenyataannya masih terdapat kesenjangan yang terjadi di masyarakat.Menurut Azriana sebagai Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dalam catatan tahunan Komnas Perempuan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2015 jumlahnya meningkat 9% dari jumlah tahun 2014 sebesar 321.752 sebagian kasus atau perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama dan angka tersebut merupakan kasus yang dilaporkan perempuan sedangkan yang tidak dilaporkan KDRT | Women’s Empowerment in Midwifery. 12



diduga lebih tinggi. Angka kejadian kekerasan dalam rumah tangga tergolong masih tinggi meskipun telah dilakukan upaya penanggulangan mengenai kasus KDRT seperti adanya perlindungan hukum dan organisasi khusus wanita. Menurut kelompok salah satu faktor penyebab angka kejadian KDRT masih tinggi di Indonesia adalah adanya kekuasaan yang dimiliki seorang laki-laki dan rasa memiliki istri seutuhnya sehingga istri harus melakukan apa saja yang suami inginkan dan bila istri tidak melakukan atau menentang maka suami akan melakukan tindak kekerasan. Selain faktor tersebut kurangnya pengetahuan perempuan tentang apa itu yang dimaksud dengan kekerasan, apa saja yang termasuk dalam tindakan kekerasan dan kekerasan yang mereka alami dapat dilaporkan ke penegak hukum dan dapat diproses di pengadilan. Korban kekerasan juga menganggap kekerasan dalam rumah tangga hanya dalam bentuk kekerasan secara fisik saja.Melainkan kekerasan yang berupa seksual, psikologis/ emosional dan ekonomi juga merupakan kekerasan dalam rumah tangga.Sehingga jika penegak hukum kurang sepenuhnya memfasilitasi para korban kekerasan makaakan adanya kurangnya sanksi sosial pelaku tindak kekerasan dimata masyarakat karena masyarakat menganggap hal tersebut bukan suatu masalah yang serius karena penegak hukum juga kurang menanggapi kasus tersebut. Tetapi di era globalisasi ini, banyak organisasi ataupun perlindungan hukum seperti adanya UU di Indonesia yang berpusat dibidang kekerasan dalam rumah tangga yang siap memfasilitasi para korban kekerasan.Akan tetapi kebanyakan masyarakat tidak melaporkan jika salah satu keluarganya mengalami kekerasan karena kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai aib di keluarga tersebut. Sehingga masyarakat lebih memilih menyelesaikan masalah tersebut dengan cara kekeluargaan dan damai. Alasan lain yang ditemukan yakni korban kekerasan tidak mengetahui tentang kekerasan dan menganggap kekerasan adalah hal yang wajar. Pada tinjauan teori dan penelitian oleh para ahli yang telah disampaikan kebanyakan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah seorang wanita/ istri dan pelaku kekerasan adalah seorang pria/ suami.Tetapi kekerasan dalam rumah tangga juga dapat dilakukan oleh seorang wanita/ istri terhadap suami atau anaknya. Hal ini dapat terjadi karena disebabkan emansipasi wanita yang sangat



KDRT | Women’s Empowerment in Midwifery. 13



kuat sehingga dalam persamaan gender wanita tidak mau ketinggalan atau tidak unggul di bawah kaum pria. Sama halnya dengan di daerah Bontang, Kalimantan Timur dimana mereka tidak hanya mendapat laporan dari istri saja melainkan juga sering mendapatkan laporan KDRT yang dilakukan oleh istri kepada suaminya, perlu diketahui bahwa P2TP2A bukan hanya menampung laporan perempuan saja tetapi juga laki-laki yang menjadi korban KDRT. Hal tersebut sangatlah penting untuk segera ditangani agar kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dapat dihindari. Bidan ikut serta dalam mengatasi hal tersebut dengan upaya pemberdayaan wanita. Menurut kelompok hal-hal yang dapat dilakukan antara lain : a. Bersama dengan lembaga pelindungan, tokoh masyarakat dan kader, bidan dapat memberikan edukasi mengenai kekerasan dalam rumah tangga melalui berbagai macam kegiatan seperti pengajian dan PKK, sehingga para ibu dan istri lebih paham mengenai hal tersebut. b. Lebih mengenali tanda-tanda kekerasan yang dialami korban sewaktu memeriksakan diri. Kebanyakan para pelaku melakukan kekerasan fisik pada korban di daerah tubuh yang tertutup sehingga tak terlihat oleh orang lain dan para korban cenderung tertutup serta takut untuk menceritakan apa yang telah terjadi sehingga bidan dituntut untuk lebih memahani dan menciptakan kepercayaan satu sama lain namun tanpa adanya paksaan. c. Menciptakan lapangan kerja bagi ibu rumah tangga atau memberikan keterampilan kepada istri/ibu rumah tangga agar mereka tidak bergantung kepada suami. d. Memberikan edukasi dan konseling kepada pasangan pra nikah tentang kekerasan dikarenakan kekerasan dapat terjadi kepada siapa saja dalam rumah tangga yang akan dijalani. e. Mengikutsertakan para suami/ laki-laki di lingkungan masayarakat untuk melakukan poskamling tentang adanya kecurigaan kekerasan di sekitar tempat tinggalnya selain melakukan poskamling keamanan. Hal tersebut dapat dilakukan untuk mempersempit kesempatan pelaku untuk melakukan kekerasan.



KDRT | Women’s Empowerment in Midwifery. 14