Kekerasan Dan Budaya Kasih [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kekerasan dan Budaya Kasih



disusun oleh: - Meileginta Kaban



(20)



- Nando Sang Putra



(21)



- Natasya Agustina



(22)



- Nathania Niken Silvano



(23)



- Nicholas Ferdinand



(24)



- Reca Relevani



(27)



SMA XAVERIUS 1 PALEMBANG 2013



BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Di dunia ini ada kasih dan kekerasan. Keduanya saling bertentangan satu sama lain. Di mana ada kasih, di sana tidak ada kekerasan, dan sebaliknya. Tuhan berpesan kepada manusia untuk saling mengasihi, baik mengasihi Tuhan maupun mengasihi sesama manusia. Tuhan tidak menginginkan manusia menggunakan kekerasan, karena Ia adalah pribadi yang lemah lembut dan tidak menyukai kekerasan. Tuhan menginginkan manusia hidup damai dalam kasih, ironisnya manusia yang hidup dalam kekerasan dan pertikaian jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan manusia yang hidup dalam kasih dan damai sejahtera. Mereka seolah tidak pernah mengenal kasih dan hanya mengenal kekerasan dan konflik. Dewasa ini, lebih banyak manusia yang lebih mudah memusuhi dan melakukan kekerasan terhadap orang lain dibandingkan dengan manusia yang mengasihi sesama dengan tulus. Kasih perlahan mulai hilang dari hati manusia, digantikan oleh rasa benci, dendam, iri hati, egois yang membuahkan kekerasan. Akibatnya wajah bangsa Indonesia yang semula ramah dan penuh kelemah lembutan tercoreng dengan berbagai macam tindakan yang bertentangan dengan kasih. 1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. Mengapa kekerasan semakin banyak terjadi dan budaya kasih semakin dilupakan? 1.2.2. Bagaimana cara mengurangi tingkat kekerasan dan cara menanamkan budaya kasih di Indonesia? 1.3. Tujuan 1.3.1. Mengetahui alasan semakin maraknya kekerasan tetapi budaya kasih semakin ditinggalkan. 1.3.2. Mengetahui cara mengurangi tingkat kekerasan dan cara menanamkan budaya kasih di Indonesia. 1



BAB II Kekerasan di Indonesia



2.1. Definisi Kekerasan Kekerasan berasal dari kata latin violentus , berasal dari kata vi atau vis yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Kekerasan juga diartikan sebagai tindakan yang menyalah gunakan kewenangan. Kekerasan terjadi dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik ekonomi dan budaya. Bentuk kekerasan banyak ragamnya, meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikologis, dan kekerasan seksual.



2.2. Macam-macam Kekerasan 2.1.1. Kekerasan fisik yaitu kekerasan nyata yang dapat dilihat, dirasakan oleh tubuh. Wujud kekerasan fisik berupa penghilangan kesehatan atau kemampuan normal tubuh, sampai pada penghilangan nyawa seseorang. Contoh penganiayaan, pemukulan, pembunuhan, dan lain-lain.



Contoh kasus: Tiga orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ditembak mati oleh Polis Diraja Malaysia. Ketiga TKI asal Pancor Kopong, Pringgasela Selatan, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) masing-masing bernama Herman (34), Abdul Kadir Jaelani (25), dan Mad Nur (28) ditembak di bagian kepala dan diberondong tembakan peluru mematikan ke arah sekujur tubuh mereka. Bukan itu saja, beberapa organ tubuh mendiang 3 TKI tersebut juga hilang. Ada dugaan kuat bahwa beberapa organ tubuh mereka dipereteli untuk dijual kepada sindikat gelap yang bergerak dibidang perdagangan organ tubuh manusia (Watz, http://www.citizenjurnalism.com/hot-topics/3-tki-dibunuhpolisi-malaysia-dan-organ-tubuhnya-dipereteli/, diunduh pada 1 Februari 2013).



2



2.1.2. Kekerasan psikologis yaitu kekerasan yang memiliki sasaran pada rohani atau jiwa sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan normal jiwa. Contoh kebohongan, ancaman, dan tekanan.



2.1.3 Kekerasan struktural yaitu kekerasan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan menggunakan sistem, hukum, ekonomi, atau tata kebiasaan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, kekerasan ini sulit untuk dikenali. Kekerasan struktural yang terjadi menimbulkan ketimpanganketimpangan pada sumber daya, pendidikan, pendapatan, kepandaian, keadilan, serta wewenang untuk mengambil keputusan. Situasi ini dapat memengaruhi fisik dan jiwa seseorang. Misalnya, terjangkitnya penyakit kulit di suatu daerah akibat limbah pabrik di sekitarnya atau hilangnya rumah oleh warga Sidoarjo karena lumpur panas Lapindo Brantas. Secara umum korban kekerasan struktural tidak menyadarinya karena sistem yang menjadikan mereka terbiasa dengan keadaan tersebut. 2.3. Tanggapan Agama Mengenai Kekerasan Menurut agama Islam: Al Qur’an yang merupakan pedoman umat Islam telah menjelaskan bahwa tindak kekerasan berupa” pembunuhan” seseorang tanpa sebab syar’i, sama artinya membunuh manusia seluruhnya. Aturan seperti itu ada di dalam QS. Al Maidah ayat 32, ”Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum), bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka



seakan-akan



dia



telah



memelihara



kehidupan



semua



manusia.



Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah



itu



melampaui



batas



di



bumi.”



(Kazunqalam,



http://kanzunqalam.wordpress.com/2010/07/02/islam-cinta-damai/, diunduh pada 1 Februari 2013)



3



Menurut agama Buddha: Sang Buddha mengajarkan bila pihak lain melakukan kejahatan kepada kita, maka tidak pada tempatnya kita balas melakukan kejahatan kepadanya. Bila kita membalas, maka pihak “sana” akan membalas kembali dan berkembanglah kejahatan itu makin luas. Membalas kejahatan juga akan berakibat dikenai kejahatan, jadi bila kita tidak membalas kejahatan yang dia lakukan, dia pasti akan menerima kejahatan sesuai dengan Hukum Karma yang berlaku bagi semua orang. Masalah orang itu mengerti, mengakui apa tidak dia tetap “kena” Hukum Karma. “Kebencian tidak akan berakhir bila dibalas dengan kebencian, tetapi kebencian akan berakhir kalau dibalas dengan welah asih” (Majjima Nikaya 128) (http://www.becsurabaya.org/artikel/artikel-buddhis/114-agama-buddha-dantindakan-tanpa-kekerasan.html, diunduh pada 1 Februari 2013). Menurut agama Kristen: Pada hakikatnya adalah pandangan yang berpendapat bahwa berdasarkan prinsip iman Kristen, tidak ada satu pun penggunaan kekerasan yang dapat dibenarkan, sekalipun dengan alasan kemanusiaan. Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil... Kamu telah mendengar fiman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Mat 5:38-41, 43- 44). Menurut agama Katolik: Kontipendium Ajaran Sosial Gereja melarang kekerasan atas nama agama dengan menyatakan : Tindak kekerasan tidak pernah menjadi tanggapan yang benar. Dengan keyakinan akan imannya di dalam Kristus dan dengan kesadaran akan misinya, Gereja mewartakan “bahwa tindak kekerasan adalah kejahatan, tindak kekerasan tidak dapat diterima sebagai suatu jalan keluar atas masalah,



4



tindak kekerasan tidak layak bagi manusia. Tindak kekerasan adalah sebuah dusta, karena ia bertentangan dengan kebenaran iman kita, kebenaran tentang kemanusiaan kita. Tindak kekerasan justru merusakkan apa yang diklaim dibelanya: martabat, kehidupan, kebebasan manusia. 2.4. Menghapus Kekerasan Tindak dan perilaku kekerasan seolah sudah menjadi budaya atau kebiasaan dalam masyarakat. Indonesia tidak pernah berhenti mengalami konflik dan kekerasan sejak era kerajaan hingga masa kini. Akar konflik bisa berpangkal pada perselisihan pribadi di antara dua orang yang berasal dari golongan etnik berbeda. Etnik setempat merasa cemburu secara sosial ekonomi terhadap etnik pendatang yang secara sosial ekonomi lebih baik. Bisa juga karena faktor sosial budaya, politis, ideologis, dan kecemburuan ekonomi. Kekerasan merupakan noda demokrasi. YB Mangunwijaya mengungkapkan, kekerasan sebenarnya merupakan sebentuk kebodohan. Pada dasarnya, manusia dengan demikian juga masyarakat dan bangsa yang cerdas dengan sendirinya tidak suka kekerasan. Kekerasan merupakan insting hewani, utamanya binatang buas, bukan sifat dasar manusia, masyarakat, bangsa yang bermartabat. Sudah seharusnya perasaan aman dan bebas dari rasa takut terhadap segala bentuk kekerasan ditegakkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita. Pemerintah, aparat keamanan, dan semua elemen masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab untuk saling memberikan jaminan rasa aman sehingga kita terbebas dari rasa takut terhadap segala bentuk kekerasan. Begitu banyak kerugian yang diderita akibat kekerasan, bukan hanya kerugian material dan nonmaterial, melainkan juga kerugian psikologis berupa ketakutan dan trauma yang sulit hilang serta mengganggu roda pembangunan bangsa. Karena itu, pemerintah dan masyarakat harus menghapus budaya kekerasan, yang dimulai dari kehidupan diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Rumusnya sangatlah sederhana, yaitu menempatkan manusia Indonesia dari mana pun latar belakangnya untuk dapat berperan dalam kehidupan. Dihargai dan dihormati segala kelebihan dan kekurangannya secara adil dan beradab dalam semua dimensi kehidupan.



5



BAB III Budaya Kasih



3.1. Definisi Budaya Kasih Budaya dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Sedangkan budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dan kasih merupakan rasa sayang (suka). Jadi bila disimpulkan, budaya kasih merupakan cara hidup yang saling menyayangi, menghargai, dan menghormati dalam kelompok masyarakat.



3.2. Tanggapan Agama Mengenai Budaya Kasih Menurut Agama Katolik: Cinta kasih adalah suatu sikap dimana kita bisa menyayangi dengan sabar, baik hati, tidak iri hati. Kasih tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak berlaku kasar dan tidak mencari keuntungan sendiri (1 Korintus 13:4). Sehingga dapat dimengerti bahwa cinta kasih tidak hanya di antara pria dan wanita. Melainkan saat engkau dapat mencintai orang lain, dalam keadaan apapun, sampai kapanpun, tanpa memandang gender, kedudukan, status, dan latar belakang. Menurut Agama Kristen: Umat Kristen mempunyai satu hukum kehidupan yakni hidup dalam cinta kasih seperti Kristus. Cinta kasih menjadi dasar dan ukuran dari segala perbuatan untuk menghadirkan kebaikan Allah dan cinta-Nya kepada sesama. Cinta kasih kristiani tidak tertutup dalam dirinya sendiri, melainkan terbuka untuk semua tanpa membeda-bedakan suku, daerah, warna kulit dan status sosial. Kasih kristiani mau berjumpa dengan siapa saja, bahkan dengan Tuhan sendiri. Cinta kasihlah yang memberikan kita kegembiraan dalam berbagai kegiatan pewartaan ataupun pelayanan. Cinta kasih juga memberi kita keberanian untuk mengampuni, menerima orang lain apa adanya mereka. Cinta kasih memelihara semuanya.



6



Menurut Agama Islam: Kasih adalah merupakan sifat Asmaul Husna (nama-nama Allah yang terindah). Sifat Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang). Sebagai umat Islam kitapun di tuntut untuk saling berkasih sayang. Tidak hanya kepada Allah sebagai Pencipta kita, akan tetapi kepada manusia, hewan, dan tumbuhan. Dalam hadist lainpun dijelaskan bahwa; “Tidak akan masuk syurga seseorang, kecuali orang yang penyayang” (HR. Baihaqi melalui Anas r.a.). Menurut Agama Buddha: Empat Sifat Mulia Sang Buddha mengajarkan adanya empat sifat baik yang wajib dikembangkan, disebut Brahma Vihara, yaitu: 1. Metta, yaitu sifat cinta kasih kepada semua makhluk, maksudnya mengharapkan kesejahtreraan dan kebahagiaan semua makhluk tanpa membedakan. Sifat ini adalah cinta secara universal atau tanpa didasari nafsu, 2. Karuna , yaitu kasih sayang atau belas kasihan yang timbul bila menyaksikan penderitaan makhluk lain. Perkembangannya akan dipunyai hasrat untuk membantu meringankan penderitaannya, 3. Mudita, yaitu sifat simpatik, sifat ikut bergembira menyaksikan kegembiraan pihak lain. Sifat ini kebalikan rasa iri hati, 4. Upekkha, yaitu keseimbangan batin. Sifat batin yang seimbang dalam segala keadaan olehkarena menyadari bahwa setiap makhluk memetik hasil dari perbuatannya sendiri. Manfaat dari mengembangkan empat sifat luhur demikian adalah bahwa seseorang akan terhindar dari usaha pihak lain yang akan melakukan perbuatan tercela terhadap kita, termasuk kekerasan.



7



3.3. Cara Mengembangkan Budaya Kasih 3.3.1. Dialog dan komunikasi dengan kelompok lain. Hal ini dimaksudkan agar kelompok-kelompok yang bersangkutan saling memahami dan tidak terjadi kesalahpahaman. Dengan diadakannya komunikasi yang jujur dan tulus, segala prasangka buruk dapat diatasi. 3.3.2. Kerja sama atau membentuk jaringan lintas batas untuk memperjuangkan kepentingan umum yang merupakan pilihan bersama. 3.3.3. Menceritakan kembali kekerasan yang pernah dialami Hal ini dilakukan untuk mencegah terberntuknya emosi terpendam bagi penderita kekerasan yang dapat menimbulkan niat untuk balas dendam. 3.3.4. Mengakui kesalahan dan minta maaf serta penyesalan dari pihak yang melakukan kesalahan Dengan cara ini semua beban masa lalu yang membebani seseorang dapat dibebaskan karena semua beban telah diungkapkan. 3.3.4. Mengampuni pelaku kesalahan atau kekerasan 3.3.5. Rekonsiliasi (Pemulihan)



8



BAB IV Kesimpulan & Saran



4.1. Kesimpulan Kekerasan semakin marak terjadi dikarenakan rakyat Indonesia semakin serakah dan sulit menerima perubahan. Budaya kasih semakin ditinggalkan karena manusia lebih menggunakan emosi saat menghadapi suatu permasalahan. Kekerasan dapat dikurangi dengan cara menempatkan manusia Indonesia dari mana pun latar belakangnya untuk dapat berperan dalam kehidupan. Dihargai dan dihormati segala kelebihan dan kekurangannya secara adil dan beradab dalam semua dimensi kehidupan. Sedangkan untuk meningkatkan budaya kasih dapat dilakukan dengan cara dialog dan komunikasi dengan kelompok lain, kerja sama atau membentuk jaringan lintas batas untuk memperjuangkan kepentingan umum yang merupakan pilihan bersama, menceritakan kembali kekerasan yang pernah dialami, mengakui kesalahan dan minta maaf serta penyesalan dari pihak yang melakukan kesalahan, mengampuni pelaku kesalahan atau kekerasan, rekonsiliasi (pemulihan) 4.2. Saran Hindarilah melakukan kekerasan, dan janganlah membalas dendam terhadap orang lain yang melakukan kekerasan. Wujudkanlah dunia tanpa kekerasan dan kembangkanlah budaya kasih. Mulai dari hal kecil seperti tidak membedabedakan latar belakang dan jenis kelamin.



9