10 0 319 KB
KEPERAWATAN GADAR MUSKULOSKELETAL ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN YANG TERPASANG FIKSASI
Oleh : KELOMPOK 10
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLTEKKES KEMENKES KALTIM SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN TAHUN 2023
KEPERAWATAN GADAR MUSKULOSKELETAL ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN YANG TERPASANG FIKSASI
Oleh : Esa Rahmah Bonitasari
P07220219089
Simanullang, Yuliana Dortauli
P07220219119
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLTEKKES KEMENKES KALTIM SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN TAHUN 2023
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan Pasien Yang Terpasang Fiksasi”. Adapun maksud dan tujuan dari makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas kelompok pada mata kuliah Keperawatan Gadar Muskuloskeletal. Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak menemui berbagai kendala dan hambatan, namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat diatasi dan pada akhirnya makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu. Makalah ini penulis akui masih banyak menyimpan kekurangan karena pengalaman yang belum sepenuhnya mendukung. Oleh karena itu, penulis harapkan kepada para pembaca untuk dapat memberikan masukan yang bersifat membangun untuk perbaikan makalah penulis.
Samarinda, Januari 2023
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 3 DAFTAR ISI...................................................................................................................... 4 BAB I .................................................................................................................................. 5 A.
Latar Belakang ........................................................................................................ 5
B.
Rumusan Masalah ................................................................................................... 6
C.
Tujuan ..................................................................................................................... 6
D.
Manfaat ................................................................................................................... 6
BAB II ................................................................................................................................ 7 A.
Definisi .................................................................................................................... 7
B.
Anatomi Fisiologi ................................................................................................... 8
C.
Etiologi .................................................................................................................... 9
D.
Patofisiologi ............................................................................................................ 9
E.
Klasifikasi ............................................................................................................. 12
F.
Pemeriksaan Penunjang ........................................................................................ 13
BAB III............................................................................................................................. 15 A.
Pengkajian ............................................................................................................. 15
B.
Diagnosa Keperawatan ......................................................................................... 15
C.
Perencanaan Keperawatan .................................................................................... 17
D.
Implementasi Keperawatan ................................................................................... 25
E.
Evaluasi Keperawatan ........................................................................................... 25
BAB IV ............................................................................................................................. 26 A.
Kesimpulan ........................................................................................................... 26
B.
Saran ..................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 27
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Fraktur merupakan bentuk gangguan dalam kontinuitas tulang yang disebabkan karena trauma langsung maupun tidak langsung. (Smeltzer & Bare 2010), Fraktur merupakan rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. (Linda Juall C, 2012), Fraktur merupakan istilah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total atau sebagian (Novita, 2012). Fraktur dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti nyeri akut, hambatan mobilitas, kerusakan integritas kulit, dan resiko syok hipovolemik akibat kehilangan volume darah akibat trauma. Penanganan terhadap fraktur dapat dengan pembedahan, meliputi imobilisasi, reduksi dan rehabilitas. Reduksi adalah prosedur yang sering untuk fraktur, salah satu cara dengan pemasangan fiksasi internal dan fiksasi eksternal melalui proses operasi (Smeltzer & Bare, 2002). Bidai eksternal atau OREF (Open Reduction External Fixation) mempertahankan kesegarisan dan panjang fraktur sehingga memungkinkan pasien tetap aktif. Beberapa pin dipasang diatas dan dibawah tempat fraktur dan disatukan secara eksternal untuk menstabilkan fraktur (Stanley Hoppenfeld ,2012). ORIF (Open Reduction Internal Fixation) merupakan suatu tindakan pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah atau fraktur sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya. Internal fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat, sekrup, paku maupun suatu intramedulary untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah yaitu “Bagaimana asuhan keperawatan pasien yang terpasang fiksasi?” C. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk menjelaskan asuhan keperawatan pasien yang terpasang fiksasi. 2. Tujuan Khusus a. Mampu menjelaskan konsep dasar pasien yang terpasang fiksasi. b. Mampu menjelaskan konsep asuhan keperawatan pasien yang terpasang fiksasi. D. Manfaat Diharapkan makalah yang telah disusun oleh penulis mampu memberikan manfaat sebagai bahan masukan dan informasi bagi mahasiswa mengenai bagaimana asuhan keperawatan pasien yang terpasang fiksasi serta penerapan asuhan keperawatan mulai dari melakukan pengkajian, menentukan diagnosa dan intervensi keperawatan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Sistem muskulokeletal merupakan salah satu sistem tubuh yang sangat berperan terhadap fungsi pergerakan dan mobilitas seseorang. Masalah atau gangguan pada tulang akan dapat mempengaruhi sistem pergerakan seseorang. Salah satu masalah yang sering kita temukan di sekitar kita adalah fraktur atau patah tulang (Novita, 2012). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000). fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan oleh tekanan eksternal yang dating lebih besar (Fadila, 2012). Fraktur merupakan istilah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total atau Sebagian (Novita, 2012). Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan fraktur merupakan terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh tekanan eksternal yang lebih besar. Penanganan terhadap fraktur dapat dengan pembedahan, meliputi imobilisasi, reduksi dan rehabilitas. Reduksi adalah prosedur yang sering untuk fraktur, salah satu cara dengan pemasangan fiksasi internal dan fiksasi eksternal melalui proses operasi. Bidai eksternal atau OREF (Open Reduction External Fixation) mempertahankan kesegarisan dan panjang fraktur sehingga memungkinkan pasien tetap aktif. Beberapa pin dipasang diatas dan dibawah tempat fraktur dan disatukan secara eksternal untuk menstabilkan fraktur (Stanley Hoppenfeld, 2012). ORIF (Open Reduction Internal
Fixation)
merupakan suatu tindakan
pembedahan untuk
memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah atau fraktur sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya. Internal fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat, sekrup, paku maupun suatu intramedulary untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. B. Anatomi Fisiologi 1. Struktur tulang Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih mempunyai struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke dalam tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut kanal Haversian. Lapisan melingkar dari matriks disebut Lamellae, ruang sempit antara Lamelle, ruang sempit antara lamellae disebut lacunae (di dalamnya terdapat osteosit) dan kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan didalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut bone Spon yang didalamnya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone marrow ini terdiri atas dua macam yaitu Bone Marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan Bone Marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES). Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Oteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada dibawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan Osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-
elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen dan sampah metabolisme antara tulang dengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras. Sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200-400 ml/menit melalui proses vaskularisasi tulang (Evelyn C. Pearce, 2010). 2. Fungsi Tulang (Evelyn C. Pearce 2010) : a. Memberikan kekuatan tulang pada kerangka tubuh. b. Tempat melekatnya otot. c. Melindungi organ penting d. Tempat pembuatan sel darah. e. Tempat penyimpanan garam mineral. C. Etiologi 1. Kekerasan langsung Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring (Evelyn C. Pearce, 2010). 2. Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. (Evelyn C. Pearce, 2010). 3. Kekerasan akibat tarikan otot Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. (Evelyn C. Pearce, 2010). D. Patofisiologi Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. tapi apabila tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadinya fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, Marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang langsung berdekatan kebagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltarasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Evelyn C. Pearce, 2010). 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur a. Faktor ekstrinsik Adanya tekanan dari luar yang beraksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur. b. Faktor Instrinsik Beberapa
sifat
yang
terpenting
darai
tulang
yang
menenntukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas,kelelahan,dan kepadatan atau kekerasan tulang (Fadila, 2012). 2. Komplikasi fraktur a. Komplikasi awal 1) Kerusakan arteri Pecahnya arteri kerena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan. 2) Kompartement syndrome Kompartement syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh
darah pada jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau pendarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan hambatan yang terlalu kuat. 3) Fat Embolism Syndrome Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi yang serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan Bone marrow kuning masuk kedalam aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen daladm darah rendah yang di tandai dengan gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi, takipnea, dan demam (Fadila, 2012). 4) Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma tulang infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat (Fadila, 2012). 5) Avaskuler Nekrosis Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusuk atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya volkman’s ischmia. 6) Shock Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenisasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur. b. Komplikasi dalam waktu lama (Fadila, 2012). 1) Delayed Union Delayed Union Delayed Union Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang
untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang. 2) Nonunion Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang. 3) Malunion Malunion merupakan penyembuhan tulang yang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Molunion dilakukan dnegan pembedahan dan reimobilitas yang baik (Black, J.M, et. al, 1993). E. Klasifikasi Penampilan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu : (Fadila, 2012). 1. Berdasarkan sifat fraktur a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara hubungan fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit. 2. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur a. Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penumpang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto rontgen. b. Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampung tulang seperti : 1) Hair line fraktur (patah tulang tidak rambut)
2) Buckle atau Torus fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang. 3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma. a. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung. b. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga. c. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi. d. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain. e. Fraktur Avulsi : fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang. 4. Berdasarkan jumlah garis patah. a. Fraktur komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu saling berhubung. b. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak terhubung. c. Fraktur Multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama. 5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang. a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh. b. Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen. c. Fraktur kelelahan : fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang d. Fraktur patologis : fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang F. Pemeriksaan Penunjang 1. X-ray : menentukan lokasi atau luasnya fraktur
2. Scan tulang : memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak. 3. Arteriogram : dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler. 4. Hitung darah lengkap : hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada pendarahan, peningkatan lekosit sebagai respon terhadap peradangan. 5. Kreatinin : trauma otot meningkat beban kreatinin untuk klirens ginjal. 6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi atau cedera hati. G. Penatalaksanaan Prinsip penanganan fraktur meliputi : 1. Reduksi Reduksi berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tetutup, mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubung) dengan manipulasi dan traksi manual. Alat yang digunakan biasanya traksi, bidai, dan alat yang lainnya. Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku (Fadila, 2012). 2. Imobilisasi Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksternal dan internal mempertahankan dan mengembalikan fungsi status neurovaskuler selalu dipantau meliputi peredaran darah, nyeri , perabaan, gerakan. Perkiraan waktu imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan tulang yang mengalami fraktur adalah sekitar 3 bulan (Fadila, 2012).
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan sistem atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi (Fadila, 2012). A. Pengkajian 1. Pengkajian primer a. Circulation Tekanan darah dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardia, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut. b. Airway Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk. c. Breathing Kelemahan menelan/batuk/melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan/atau tak teratur, suara napas terdengar ronchi/aspirasi. 2. Pengkajian sekunder a. Aktivitas/istirahat 1) Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena 2) Keterbatasan mobilitas b. Sirkulasi 1) Hipertensi (kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas) 2) Hipotensi (respon terhadap kehilangan darah) c. Tachikardia 1) Penurunan nadi pada bagian distal yang cedera 2) Capillary refill melambat
3) Pucat pada bagian yang terkena 4) Masa hematoma pada sisi cedera d. Neurosensori 1) Kesemutan 2) Deformitas, krepitasi, pemendekan 3) Kelemahan e. Kenyamanan 1) Nyeri tiba-tiba saat cedera 2) Spasme/kram otot f. Keamanan 1) Laserasi kulit 2) Perdarahan 3) Perubahan warna 4) Pembengkakan lokal (Musliha, 2010). B. Diagnosa Keperawatan Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik actual maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengeidentifikasi data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung jawabnya. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah sebagai berikut : 1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi. 2. Ketidakefektifan
perfusi
jaringan
perifer
berhubungan
dengan
penurunan suplai darah ke jaringan 3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskular, nyeri, terapi restriktif (imobilitas) 4. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma, imunitas tubuh primer menurun, prosedur invasif (pemasangan traksi) 5. Resiko syok (hipovolemik) berhubungan dengan kehilangan volume darah akibat trauma (fraktur).
C. Perencanaan Keperawatan No.
1.
Diagnosa
Tujuan dan
Keperawatan
Kriteria Hasil
Intervensi Keperawatan
Nyeri akut
Setelah dilakukan
Manajemen Nyeri (I.08238)
berhubungan
intervensi
Observasi :
dengan agen
keperawatan, maka
1.1 Identifikasi lokasi,
injuri fisik,
tingkat nyeri
karakteristik, durasi,
spasme otot,
menurun, dengan
frekuensi, kualitas,
gerakan
kriteria hasil :
intensitas nyeri
fragmen tulang,
1. Keluhan nyeri
edema, cedera
menurun
jaringan lunak,
2. Meringis
pemasangan traksi (D.0077)
menurun 3. Sikap protektif menurun 4. Gelisah menurun 5. Kesulitan tidur menurun 6. Frekuensi nadi membaik
1.2 Identifikasi skala nyeri 1.3 Idenfitikasi respon nyeri non verbal 1.4 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri 1.5 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri 1.6 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri 1.7 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup 1.8 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan 1.9 Monitor efek samping penggunaan analgetik Terapeutik : 1.10
Berikan Teknik
nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (mis:
TENS, hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, Teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain) 1.11
Kontrol lingkungan
yang memperberat rasa nyeri (mis: suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan) 1.12
Fasilitasi istirahat dan
tidur 1.13
Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri Edukasi : 1.14
Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu nyeri 1.15
Jelaskan strategi
meredakan nyeri 1.16
Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri 1.17
Anjurkan menggunakan
analgesik secara tepat 1.18
Ajarkan teknik
farmakologis untuk mengurangi nyeri Kolaborasi :
1.19
Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu 2.
Ketidakefektifan Setelah dilakukan
Perawatan Sirkulasi (I.02079)
perfusi jaringan
intervensi
Observasi :
perifer
keperawatan, maka
1.1 Periksa sirkulasi perifer
berhubungan
perfusi perifer
(mis: nadi perifer, edema,
dengan
meningkat, dengan
pengisian kapiler, warna,
penurunan
kriteria hasil :
suhu, ankle-brachial index)
suplai darah ke
1. Pengisian
jaringan (D.0009)
kapiler membaik
1.2 Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi (mis:
2. Akral membaik
diabetes, perokok, orang
3. Warna kulit
tua, hipertensi, dan kadar
pucat menurun
kolesterol tinggi)
4. Turgor kulit
1.3 Monitor panas, kemerahan,
membaik
nyeri, atau bengkak pada ekstremitas Terapeutik : 1.4 Hindari pemasangan infus, atau pengambilan darah di area keterbatasan perfusi 1.5 Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas dengan keterbatasan perfusi 1.6 Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet pada area yang cidera 1.7 Lakukan pencegahan infeksi 1.8 Lakukan perawatan kaki dan kuku 1.9 Lakukan hidrasi Edukasi :
1.10
Anjurkan berhenti
merokok 1.11
Anjurkan berolahraga
rutin 1.12
Anjurkan mengecek air
mandi untuk menghindari kulit terbakar 1.13
Anjurkan menggunakan
obat penurun tekanan darah, antikoagulan, dan penurun kolesterol, jika perlu 1.14
Anjurkan minum obat
pengontrol tekanan darah secara teratur 1.15
Anjurkan menghindari
penggunaan obat penyekat beta 1.16
Anjurkan melakukan
perawatan kulit yang tepat (mis: melembabkan kulit kering pada kaki) 1.17
Anjurkan program
rehabilitasi vascular 1.18
Ajarkan program diet
untuk memperbaiki sirkulasi (mis: rendah lemak jenuh, minyak ikan omega 3) 1.19
Informasikan tanda dan
gejala darurat yang harus dilaporkan (mis: rasa sakit yang tidak hilang saat
istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya rasa). 3.
Gangguan
Setelah dilakukan
Dukungan Mobilisasi (I.05173)
mobilitas fisik
intervensi
Observasi :
berhubungan
keperawatan, maka
3.1 Identifikasi adanya nyeri
dengan
mobilitas fisik
kerusakan
meningkat, dengan
rangka
kriteria hasil :
melakukan pergerakan
neuromuskular,
1. Pergerakan
3.3 Monitor frekuensi jantung
atau keluhan fisik lainnya 3.2 Identifikasi toleransi fisik
nyeri, terapi
ekstremitas
dan tekanan darah sebelum
restriktif
meningkat
memulai mobilisasi
2. Kekuatan otot
3.4 Monitor kondisi umum
meningkat
selama melakukan
(imobilitas) (D.0054)
3. Rentang gerak
mobilisasi
(ROM)
Terapeutik :
meningkat
3.5 Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis: pagar tempat tidur) 3.6 Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu 3.7 Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan Edukasi 3.8 Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi 3.9 Anjurkan melakukan mobilisasi dini 3.10
Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus dilakukan (mis: duduk di
tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi) 4.
Resiko infeksi
Setelah dilakukan
Pencegahan Infeksi (I.14539)
berhubungan
intervensi
Observasi :
dengan trauma,
keperawatan, maka
4.1 Monitor tanda dan gejala
imunitas tubuh
tingkat infeksi
infeksi lokal dan sistemik
primer menurun, menurun, dengan
Terapeutik :
prosedur invasif
kriteria hasil :
4.2 Batasi jumlah pengunjung
(pemasangan
1. Demam
4.3 Berikan perawatan kulit
traksi) (D.0142)
menurun 2. Kemerahan menurun
pada area edema 4.4 Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
3. Nyeri menurun
pasien dan lingkungan
4. Bengkak
pasien
menurun 5. Kadar sel darah putih membaik
4.5 Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi Edukasi : 4.6 Jelaskan tanda dan gejala infeksi 4.7 Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar 4.8 Ajarkan etika batuk 4.9 Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi 4.10
Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi 4.11
Anjurkan meningkatkan
asupan cairan Kolaborasi :
4.12
Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu 5.
Resiko syok
Setelah dilakukan
Pemantauan Cairan (I.03121)
(hipovolemik)
intervensi
Observasi :
berhubungan
keperawatan, maka
5.1 Monitor frekuensi dan
dengan
tingkat syok
kehilangan
menurun, dengan
5.2 Monitor frekuensi napas
volume darah
kriteria hasil :
5.3 Monitor tekanan darah
akibat trauma
1. Tekanan arteri
5.4 Monitor berat badan
(fraktur)
rata-rata
(D.0039).
membaik 2. Tekanan darah sistolik membaik 3. Tekanan darah diastolik membaik
kekuatan nadi
5.5 Monitor waktu pengisian kapiler 5.6 Monitor elastisitas atau turgor kulit 5.7 Monitor jumlah, warna, dan berat jenis urin 5.8 Monitor kadar albumin dan protein total
4. Tekanan dari
5.9 Monitor hasil pemeriksaan
membaik
serum (mis: osmolaritas
5. Pengisian kapiler membaik 6. Frekuensi nadi membaik 7. Frekuensi napas membaik
serum, hematokrit, natrium, kalium, dan BUN) 5.10
Monitor intake dan
output cairan 5.11
Identifikasi tanda-tanda
hypovolemia (mis: frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering, volume urin
menurun, hematokrit meningkat, hasil, lemah, konsentrasi urin meningkat, berat badan menurun dalam waktu singkat) 5.12
Identifikasi tanda-tanda
hypervolemia (mis: dispnea, edema perifer, edema anasarca, JVP meningkat, CVP meningkat, refleks hepatojugular positif, berat badan menurun dalam waktu singkat) 5.13
Identifikasi faktor risiko
ketidakseimbagnan cairan (mis: prosedur pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis, obstruksi intestinal, peradangan pancreas, penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi intestinal) Terapeutik : 5.14
Atur interval waktu
pemantauan sesuai dengan kondisi pasien 5.15
Dokumentasikan hasil
pemantauan Edukasi : 5.16
Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
5.17
Dokumentasikan hasil
pemantauan
D. Implementasi Keperawatan Terdapat 5 tahapan pada implementasi menurut Potter dan Perry (2011), diantaranya : mengkaji ulang klien, menelaah dan memodifikasi rencana asuhan keperawatan yang sudah ada, mengidentifikasi bantuan, mengimplementasikan intervensi keperawatan dan mendokumentasikan intervensi. E. Evaluasi Keperawatan Untuk evaluasi dibagi menjadi dua macam, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif ialah evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan, yang berorientasi pada etiologi dan dilakukan secara terus menerus sampai tujuan yang telah dilakukan tercapai. Sedangkan, evaluasi sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan keperawatan secara menyeluruh, yang berorientasi pada masalah keperawatan, menjelaskan keberhasilan atau ketidakberhasilan proses keperawatan dan rekapitulasi serta kesimpulan status kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu yang ditetapkan (Nursalam, 2012). Untuk
memudahkan
perawat
mengevaluasi
atau
mematau
perkembangan klien, digunakan komponen SOAP. Pengertian SOAP adalah sebagai berikut : 1. S : Data Subjektif Perkembangan keadaan yang didasarkan pada apa yang dirasakan, dikeluhkan, dan dikemukakan klien. 2. O : Data Objektif Perkembangan objektif yang bisa diamati dan diukur oleh perawat atau tim kesehatan lainnya. 3. A : Analisis Penilaian dari kedua jenis data (baik subjektif maupun objektif), apakah berkembang ke arah perbaikan atau kemunduran.
4. P : Perencanaan Rencana penanganan klien yang didasarkan pada hasil analisis diatas yang berisi melanjutkan perencanaan sebelumnya apabila keadaan atau masalah belum teratasi.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Penanganan terhadap fraktur dapat dengan pembedahan, meliputi imobilisasi, reduksi dan rehabilitas. Reduksi adalah prosedur yang sering untuk fraktur, salah satu cara dengan pemasangan fiksasi internal dan fiksasi eksternal melalui proses operasi (Smeltzer & Bare, 2002). Bidai eksternal atau OREF (Open Reduction External Fixation) mempertahankan kesegarisan dan panjang fraktur sehingga memungkinkan pasien tetap aktif. Beberapa pin dipasang diatas dan dibawah tempat fraktur dan disatukan secara eksternal untuk menstabilkan fraktur (Stanley Hoppenfeld ,2012). ORIF (Open Reduction Internal Fixation) merupakan suatu tindakan pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah atau fraktur sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya. Internal fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat, sekrup, paku maupun suatu intramedulary untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. B. Saran Mungkin akan lebih baik lagi jika adanya saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak demi penyempurnaan makalah ini,
namun sebagai manusia biasa hanya bisa berharap semoga bisa bermanfaat dan mudah-mudahan memenuhi fungsi sebagaimana mestinya. DAFTAR PUSTAKA
Ajar, K. M. (2019). Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Hasanuddin.
Andri, J., Febriawati, H., Padila, P., J, H., & Susmita, R. (2020). Nyeri pada Pasien Post Op Fraktur Ekstremitas Bawah dengan Pelaksanaan Mobilisasi dan Ambulasi Dini. Journal of Telenursing (JOTING), 2(1), 61–70. https://doi.org/10.31539/joting.v2i1.1129
B.Rahmanto. (2014). Konsep Dasar. Konsep Dasar Drama. Universitas Terbuka, Jakarta, Pp. 1-48. ISBN 9796898519, 20, 20. http://repository.ut.ac.id/id/eprint/4779
Di, K., & Moewardi, R. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Chronic Kidney Disease Dengan Pemenuhan Kebutuhan Rasa Aman Dan Nyaman : Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kusuma Husada.
Dwi Chrisna Susanti, Suryani, R. (2020). PENGARUH MOBILISASI DINI TERHADAP SKALA NYERI PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR DIRUANG KENANGA RSUD KALIJAGA DEMAK. 5(1), 15–23.
Fitrianda, M. I. (2013). Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember.
Fitrianda, M. I. (2018). Asuhan Keperawatan Post Operasi Fraktur Cruris. Asuhan Keperawatan Post Operasi.
Freye, K., Lammers, W., Bartelt, D., & Pohlenz, O. (2019). Fraktur. Radiologisches Wörterbuch, 126–127. https://doi.org/10.1515/9783110860481111
Ihtisan, A. H. (2017). Upaya Peningkatan Mobilitas Fisik pada Pasien Post ORIF Fraktur Femur Sinistra.
J.Andri, H. Febriawati, P. P. et al. (2020). Nyeri pada Pasien Post Op Fraktur Ekstremitas Bawa dengan Pelaksanaan Mobilisasi dan Ambulasi Dini. Journal of Telenursing (JOTING), 2(1), 61–70.
Juli Andri, Panzilion, T. S. (2013). Hubungan Antara Nyeri Fraktur Dengan Kualitas Tidur Pasien Yang di Rawat Inap. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Lela, A., & Reza, R. (2017). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Derajat Nyeri. Pengaruh Tehnik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Nyeri Pasien Fraktur, 9(2013), 8–19.
Martono. (2017). ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. M DENGAN POST OREF FRAKTUR CRURIS SINISTRA Hari Ke 2 di RUANG DAHLIA RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA. 22–40.
Nurul Akidah Lukman. (2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemenuhan Kebutuhan Istirahat Tidur Klien Post Operasi Di Ruang Perawatan Bedah Rsud Labuang Baji Makassar. In Uin Alauddin Makasar. http://repositori.uin-alauddin.ac.id/1178/1/rezki.pdf?cv=1
Pertiwi, E. D. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Post Operasi Fraktur Cruris Dengan Masalah Keperawatan Nyeri Akut. Reduction, O., & Fixation, I. (2013). BAB I. 1–3.
Safitri, R. (2019). Implementasi Keperawatan Sebagai Wujud Dari Perencanaan Keperawatan Guna Meningkatkan Status Kesehatan Klien. https://doi.org/10.31219/osf.io/8ucph
Saputro, W. (2018). Upaya Penurunan Nyeri pada Pasien Post Operasi Open Fraktur Cruris di Rsop Dr. R. Soeharso Surakarta.
Suryani, M., & Soesanto, E. (2020). Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Fraktur Tertutup Dengan Pemberian Terapi Kompres Dingin. Ners Muda, 1(3), 172. https://doi.org/10.26714/nm.v1i3.6304
Suwahyu, R., Sahputra, R. E., & Fatmadona, R. (2021). PENURUNAN NYERI PADA PASIEN PASCA OPERASI. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal, 11(1), 193–206.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2017). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tjahya, A. (2017). Penilaian nyeri. Academia, 133–163. http://www.academia.edu/download/49499859/pemeriksaan-dan-penilaiannyeri.pdf
Wikeu Nopiati, Diyah Setyorini, S. P. (2013). Gambaran Implementasi Perawat Dalam Melakukan Mobilisasi Dini Pada Pasien Post Operasi ORIF Fraktur Ekstremitas Bawah di Ruang Orthopedi RSUD Dr. Slamet Garut. 1–19.