Kel. 3 Sejarah Dan Perkembangan APS [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Alternatif Penyelesaian Sengketa



Erik Sabti Rahmawati, M.A.



Nama Penyusun : Muhammad Zulfa F (18210109) Rukhila Maria Ulfa (18210156)



HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2021



BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkembangan sesuatu pada zaman sekarang takkan lepas dari sejarah, baik bidang hukum ataupun yang lainnya, hal ini mengingatkan kita betapa besarnya fungsi sejarah dalam kehidupan kita, termasuk sejarah mengenai penyelesaian sengketa, sangat menarik jika kita telaah mengenai sejarah dari alternatif penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa sendiri adalah suatu kegiatan untuk menyatukan persepsi para pihak yang bersengketa ataupun mendamaikan keduanya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Kita ketahui bersama bahwa sengketa atau konflik didalam kehidupan kita pastilah terjadi, hal ini adalah suatu kodrat  manusia, hal ini dikarenakan setiap manusia memiliki karakteristik atau pemikiran yang berbeda, dan berangkat dari itu pasti akan timbul konflik antara sesamanya. Hal ini yang menjadi landasan adanya alternatif penyelesaian sengketa yang saat ini berkembang di masyarakat. Seiring berkembangnya Alternatif penyelesaian sengketa ini, banyak tidak mengetahui bagaimana sejarah dari alternatif penyelesaian sengketa sendiri, baik itu sejarah penyelesaian sengketa dalam islam yakni pada masa rasulullah serta pada masa khulafaurrasyidin dan sejarah alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia sendiri. Berdasarkan latarbelakang ini kami para penulis ingin membahas mengenai sejarah alternatif penyelesaian sengketa, agar kita tidak lupa bagaimana sejarah dar alternatif penyelesaian sengketa itu sendiri. 2. Rumusan Masalah a. Bagaimana sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada masa Rasulullah ? b. Bagaimana sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada masa khuafaurrasyidin? c. Bagaimana sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia? d. Apa saja lembaga-lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia? Sejarah dan Perkembangan APS



1



3. Tujuan a. Mengetahui sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada masa Rasulullah. b. Mengetahui sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada masa khuafaurrasyidin. c. Mengetahui sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia d. Mengetahui lembaga-lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia.



Sejarah dan Perkembangan APS



2



BAB II PEMBAHASAN A. Penyelesaian Sengketa pada Masa Rasulullah Tahkim atau mediasi yakni berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada orang



yang



mereka



sepakati



dan



setujui



serta



rela



menerima



keputusanya untuk menyelesaikan persengketaan mereka, berlindungnya orang yang bersengketa pada orang yang mereka tunjuk (sebagai penengah) untuk memutuskan atau menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara mereka. Sedangkan pengertian Tahkim dalam terminologi fiqih ialah adanya dua orang atau  lebih  yang  meminta kepada orang lain agar diputuskan perselisihan yang terjadi diantara mereka dengan hukum Syar’i. yang sekarang kita sebut dengan istilah mediasi. Lembaga tahkim telah dikenal sejak jauh sebelum masa Islam. Orang-orang Nasrani apabila mengalami perselisihan di antara mereka mengajukan perselisihan tersebut kepada Paus untuk diselesaikan secara damai. Lembaga tahkim juga dilakukan oleh orang-orang arab sebelum datangnya agama Islam. Pertikaian yang terjadi di antara mereka biasanya diselesaikan menggunakan lembaga tahkim. Pada umumnya apabila terjadi perselisihan antar anggota suku, maka kepala suku yang bersangkutan yang mereka pilih dan mereka angkat sebagai hakamnya. Namun, jika perselisihan terjadi antar suku  maka  kepala  suku  lain  yang  tidak  terlibat  dalam perselisihan yang mereka minta untuk menjadi hakam. Nabi  Muhammad dalam perjalanan sejarahnya cukup banyak menyelesaikan konflik yang terjadi dikalangan sahabat dan masyarakat ketika itu. Prinsip resolusi konflik yang dimiliki oleh Al-Qur’an diwujudkan oleh nabi Muhammad dalam berbagai bentuk berupa fasilitasi, negosiasi, adjudikasi, rekonsliasi,mediasi, arbitrase dan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan (ligitasi). Prinsip resolusi konflik dan penyelesaian sengketa ditemukan dalam sejumlah ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi. Dalam surat Al-anbiya’ ayat 70 Allah menegaskan yang artinya: “Tidak kami utus engkau wahai Muhammad kecuali untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.” Sejarah dan Perkembangan APS



3



Ayat ini mengungkapkan bahwa kehadiran nabi Muhammad melalui risalah Islam bertujuan menciptaan damai, menyelesaikan konflik/ sengketa dan menjadikan manusia  sebagai makhluk yang senantiasa membangun dan menciptakan damai (peace maker).  Oleh karena tu dalam menyebarkan ajaran Islam yang damai, AlQur’an menggunakan pendekatan hikmah (bijaksana), mau’izah hasanah (persuasive), dan argumentasi yang santun (An-nahl: 125). Ketiga penndekatan ini sesuai dengan esensi ajaran agama yang menekankan penyerahan diri secara tulus dan tanpa paksaan. Muslim adalah orang yang tulus dan selalu menciptakan damai dalam kehidupannya.1 Proses penyelesaian sengketa atau konflik yang pernah dilakukan oleh Rasulullah baik setelah maupun sebelum Nabi Muhammad menjadi rasul dapat ditemukan dalam peristiwa peletakan kembali Hajar aswad dan perjanjian Hudaibiah. 1. Peristiwa peletakan kembali Hajar Aswad Penyelesaian sengketa dalam peletakan kembali Hajar aswad melahirkan winwin solution antar suku dan tidak ada suku yang merasa menang atau kalah. Nilai lain yang dapat dipetik dalam peristiwa peletakan kebali hajar aswad adalah nilai persamaan dan penghormatan kemanusiaan seluruh kelompok. Selain itu nilai positif lain ialah bentuk komitmen proaktif dan kreatif dalam berpikir dari para pihak yang difasilitasi oleh Nabi Muhammad. Para pihak bertikai harus menunjukkan keinginan untuk menyelesaikan sengketa dengan bersedia mendengar pandangan-pandangan kelompok lain. 2. Perjanjian Hudaibiah Dalam perjanjian Hudaibiah ada beberapa poin penting yang berhasil dilakukan oleh rasul diantaranya adalah: a. Rasul berhasil mengajak kaum Quraisy kemeja perundingan dan menghasilkan kesepakatan. Ini merupakan kemenangan yang luar biasa bagi kaum muslimin mengingat bahwa orang Mekkah yang selama ini menghina dan menyakiti kaum muslimin mulai duduk dengan Nabi dalam satu meja perundingan.



1



Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), 1750.



Sejarah dan Perkembangan APS



4



b. Adapun nilai yang dapat dipetik dari perjanjian Hudaibiah berdasarkan prinsip mediasi antara lain sikap negosiasi, sikap kompromi take and give,  memposisikan sama para pihak dan menghargai kesepakatan. Pada masa Rasulullah juga juga sudah penyelesaian perselisihan atau sengketa seperti itu. Ada beberapa peristiwa di masa Rasulullah dan para sahabat yang diselesaikan melalui lembaga tahkim. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain yaitu: 1. Peristiwa tahkim pada waktu pelaksanaan renovasi Ka’bah. Ketika itu terjadi perselisihan antara masyarakat Arab untuk meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempat semula. Mereka semua merasa dirinya berhak dan merupakan kehormatan bagi mereka untuk mengangkat Hajar Aswad tersebut. Pada mulanya mereka sepakat bahwa siapa yang paling cepat bangun pada keesokan harinya, maka dialah yang berhak mengangkat Hajar Aswad dan meletakkan kembali ke tempat semula. Ternyata mereka serentak bangun pagi itu, sehingga tdak ada seorang pun diantara mereka yang lebih berhak atas yang lainnya. Lalu mereka meminta kepada Nabi Muhammad SAW, yang pada waktu itu belum diangkat menjadi rasul, untuk memutuskan persoalan mereka. Dengan bijaksana Nabi Muhammad SAW membentangkan selendanganya dan meletakkan Hajar Aswad di atasnya, lalu meminta wakil dari masing- masing suku untuk mengankat pinggir selendang tersebut. Kebijakan Nabi Muhammad SAW tersebut disambut dan diterima baik oleh masing-masing pihak yang ikut berselisih pendapat pada waktu itu. 2. Perselisihan yang terjadi di antara Alqamah dan Amr bin Tufail yang memperebutkan posisi jabatan sebagai kepala suku lain untuk diangkat sebagai hakam. Peristiwa ini terjadi pada tahun 620.2 B. Penyelesaian Sengketa pada Masa Khulafa ar-Rasyidin Setelah wafatnya Rasulullah, maka umat Islam dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin. Adapun khalifah yang pertama adalah Abu Bakar. Abu Bakar seorang pendukung dan teman setia Muhammad paling awal, yang percaya kepadanya dan memimpin shalat jamaah selama sakit terakhir yang diderita Nabi, ditunjuk sebagai penerus Muhammad (8 Juni 632) melalui pemilihan yang melibatkan para pemimpin masyarakat Islam yang berkumpul di Madinah. Ia melaksanakan semua tugas dan



2



Salabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: pustaka Al husna, 1983) hal: 226



Sejarah dan Perkembangan APS



5



meneladani keistimewaan Nabi, kecuali hal-hal yang terkait dengan kenabiannya, karena kenabian berakhir seiring dengan wafatnya Muhammad. Umar (634-644), kandidat khalifah setelah Abu Bakar, ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai penerusnya. Umar dinobatkan sebagai khalifah pertama yang sekaligus memangku jabatan panglima tertinggi pasukan Islam, dengan gelar khusus amir almu’minin (panglima orang-orang beriman). Menjelang wafatnya, Umar diriwayatkan membentuk sebuah dewan formatur yang beranggotakan enam orang; Ali ibn Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubayr ibn al-Awwam, Thalhah ibn Abdullah, Sa‟d ibn Waqqash dan Abdur Rahman ibn Awf, dengan ketentuan bahwa anaknya tidak boleh dipilih sebagai penggantinya. Pembentukan dewan yang disebut sebagai al-Syura yang meliputi para sahabat tertua dan terkemuka ini memperlihatkan bahwa gagasan Arab kuno tentang kepala suku telah mengalahkan gagasan tentang kerajaan turun menurun. Utsman (644) adalah khalifah ketiga yang mengungguli Ali. Utsman mewakili aristokrat Umayyah, berbeda dengan pendahulunya yang mewakili kalangan Muhajirin. Tidak seorang pun dari ketiga khalifah ini yang mendirikan sebuah dinasti seperti yang terjadi pada masyarakat jahiliyah sebelumnya. Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Pembaiatan khalifah Ali bin Abi Thalib melalui pemilihan dan pertemuan terbuka. Namun suasana saat itu kacau, karena hanya ada beberapa tokoh senior masyarakat Islam yang tinggal di Madinah. Sehingga keabsahan pengangkatan Ali bin Abi Thalib ditolak oleh sebagian masyarakat, termasuk Mu‟awiyah bin Abi Sufyan 3. Pada masa Ali, ekspansi tidak memungkinkan karena lebih banyak diliputi pertikaian internal. Ali tidak memperhitungkan Muawiyah, gubernur Suriah dan kerabat Utsman. Oleh sebab itu Muawiyah bangkit dan menuntut kematian Utsman kepada Ali. Mu‟awiyah tidak mau menghormati Ali dan dengan taktik dan kecerdikannya ia mempemainkan emosi umat Islam dengan mempertontonkan baju Utsman yang terkena bercak darah dan potongan jari Istrinya, Na‟ilah yang putus karena melindungi suaminya di masjid Damaskus.4 Kericuhan politik inilah yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya beberapa peperangan. Perang pertama yang terjadi pada kekhalifahan Ali adalah perang Jamal. Perang ini terjadi antara kubu Ali dengan 3



Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta : Diva Press, 2015), hlm. 234 Abul A‟la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam. Cet 2. (Bandung : Mizan, 1988), hlm. 170 4



Sejarah dan Perkembangan APS



6



kubu yang ingin menuntut balas atas pembunuhan Utsman dan peperangan tersebut dimenangkan oleh Ali. Peperangan yang kedua yaitu perang Shiffin. Perang Shiffin adalah perang antara Ali dan Mu‟awiyah. Hubungan yang menegang antara keduanya lah yang menyebabkan perang ini tak terelakkan. Kebijakan Ali terhadap pembunuh Utsman menurut Muawiyah diulur-ulur, sehingga membuat Mu‟awiyah beranggapan bahwa Ali memiliki kaitan dengan para pembunuh tersebut.Di bawah pimpinan Malik alAsytar, pasukan Ali hampir menang ketika Amr ibn Ash yang cerdik dan licin, pemimpin pasukan Mu‟awiyah, melancarkan siasat. Salinan Alquran yang dilekatkan di ujung tombak tiba-tiba terlihat diacung-acungkan. Sebuah tanda yang diartikan sebagai seruan untuk mengakhiri bentrokan senjata dan mengikuti keputusan Alquran. Peperangan akhirnya terhenti karena desakan para pengikutnya. Ali yang baik hati itu menerima usulan Mu‟awiyah untuk melakukan arbitrase (tahkīm) dalam persoalan mereka dan menyelamatkan jiwa umat Islam. Arbitrase (tahkīm) merupakan suatu penyelesaian sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih atau mereka tunjuk tersebut5. Adapun prinsip-prinsip yang dipegang oleh arbitrase adalah efisien, accessibilitas, proteksi hak para pihak, final and binding, fair and just. Berdasarkan pertimbangannya khalifah mengangkat wakilnya Abu Musa al-Asy‟ari, orang yang terkenal shaleh tetapi tidak begitu loyal kepada Ali. Untuk menandinginya Muawiyah memilih Amr ibn Ash yang dikenal sebagai politisi ulung bangsa Arab. Keduanya memegang dokumen tertulis yang memberikan otoritas penuh untuk mengambil keputusan. Lalu dengan 400 orang saksi dari keda pihak, maka arbitor mengadakan rapat umum pada bulan januari 659 di Adhruh, jalan utama antara Madinah dan Damaskus. Tibalah saat keputusan arbitrase di umumkan. Maka sebelumnya kedua belah pihak bersepakat untuk menghentikan perang dan mengadakan pemilihan imam yang baru atas pilihan kaum muslimin. Dengan dalih menghormati yang tua, maka Amr ibn Ash mempersilahkan kepada Musa al-Asy‟ari untuk membacakan keputusan sebagai hakim dari pihak Ali. Ia membacakan putusannya dengan menurunkan Ali dari jabatan kepemimpinannya. Setelah itu bagian Amr ibn Ash untuk membacakan 5



R. Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perikatan , Arbitrase dan peradilan, (Bandung : Alumni, 1980), hlm. 1



Sejarah dan Perkembangan APS



7



putusannya. Putusan tersebut mengagetkan pihak lainnya karena dalam putusannya ia memecat Ali dan tetap mempertahankan Mu‟awiyah sebagai pemimpin. Karena prinsip dari arbitrase adalah final dan mengikat, maka dengan begitu, pihak Ali dikalahkan oleh pihak Mu‟awiyah. Selain menderita kekalahan atas tahkīm, Ali juga menderita kerugian dengan keluarnya pendukung yang tidak menyetujui diadakannya tahkīm, kelompok ini yang kemudian disebut dengan kelompok Khawarij. Tradisi tahkīm (arbitrase) telah dilakukan pada masa perselisihan antara Ali dan Mu‟awiyah, walaupun terjadi kecurangan dalam peristwa tersebut. Masingmasing pihak menunjuk seorang hakim yang dipercaya untuk menyelesaikan sengketa dan mendapatkan putusan seadil-adilnya. Dimana Ali mewakilkan kepada Abu Musa al-Asyari sedangkan dari pihak Mu‟awiyah terpilihlah Amr ibn Ash. Syarat arbiter pada masa Islam klasik yang terjadi pada peristiwa tahkīm, berbeda dengan syarat arbiter pada masa sekarang. Arbiter pada saat tahkīm terjadi merupakan orang-orang yang dipercaya mampu untuk memberikan keputusan yang adil. Sedangkan arbiter pada masa sekarang secara spesifik dapat diangkat sebagai arbiter apabila memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:6 (1). Cakap melakukan tindakan hukum. (2). Berumur paling rendah 35 tahun. (3). Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pohak yang bersengketa. (4). Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase. (5). Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidangnya paling sedikit 15 tahun. C. Sejarah dan Perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia Perkembangan sejarah pemberlakuan pranata arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dapat dilihat dalam uraian berikut: 1) Zaman Hindia Belanda Pada zaman ini, Indonesia dikelompokkan dalam tiga golongan, antara lain : a) Golongan eropa dan mereka yang disamakan berlaku hukum Negara Belanda (Hukum Barat) dengan badan peradilan Raad van Justitie dan Residentiegerecht dengan hukum acara yang dipakai bersumber kepada hukum yang termuat dalam Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering (B.Rv atau Rv). 6



UU No. 30 Tahun 1999



Sejarah dan Perkembangan APS



8



b) Golongan bumi putra dan mereka yang disamakan berlaku hukum adatnya masing-masing. Namun bagi mereka dapat diberlakukan hukum barat jika ada kepentingan umum dan kepentingan sosial yang dibutuhkan. Badan peradilan yang digunakan adalah Landraad dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, distrik, dan sebagainya. Dengan hukum acara yang dipakai bersumber pada Herziene Inlandsch Reglement (HIR) bagi yang tinggal di Pulau Jawa dan sekitarnya. Dan bersumber pada Rechtsrgelement Buitengewesten ( Rbg ). c) Golongan Cina dan Timur asing lainnya sejak tahun 1925 diberlakukan dengan hukum Barat dengan beberapa pengecualian. Selain peradilan sebagai pranata penyelesaian sengketa pada masa itu dikenal pula adanya arbitrase dengan adanya ketentuan pasal 377 HIR atau pasal 705 Rbg seperti yang sudah penulis paparkan diatas. Dari pasal tersebut, menunjukkan bahwa pada zaman Hindia Belanda Arbitrase sudah diatur dalam tata hukum Indonesia di masa itu. Sejak tahun 1849 (berlakunya KUHAP) yang pada pasal 615 dan 651 Rv yang isinya tentang pengertian, ruang lingkup, kewenangan dn fungsi arbitrase. Dari ketentuan tersebut setiap orang yang bersengketa pada waktu itu punya hak untuk menyerahkan penyelesaian sengketanya kepada seseorang atau beberapa orang wasit (arbiter), selanjutnya arbiter yang dipercaya tadi memeriksa dan memutus sengketa yang diserahkan kepadanya menurut asas-asas dan ketentuan sesuai yang diinginkan para pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut. Ada tiga arbitrase yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda, yaitu: a. Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia. b. Badan arbitrase tentang kebakaran. c. Badan arbitrase asuransi kecelakaan. 2) Zaman Pemerintahan Jepang Pada zaman ini, peradilan Raad van Justitie dan Residentiegerecht dihapuskan. Jepang membentuk satu macam yang berlaku bagi semua orang yang diberi nama Tihoo Hooin. Badan peradilan ini merupakan peradilan kelanjutan dari Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu pada HIR dan RBg. Mengenai arbitrase pemerintah Jepang masih memberlakukan aturan arbitrase Belanda dengan didasarkan pada peraturan Pemerintah Balatentara Jepang, isinya : “Semua badan pemerintah dan Sejarah dan Perkembangan APS



9



kekuasaan hukum dari pemerintah dahulu tetap diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang”. 3) Indonesia Merdeka Untuk



mencegah



kevakuman



hukum



setelah



Indonesia



merdeka



diberlakukanlah pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, isinya : “Segala badan Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Dengan demikian maka aturan arbitrase zaman Belanda masih dinyatakan berlaku. Beberapa serangkaian peraturan perundangan yang menjadi dasar yuridis arbitrase di Indonesia adalah: a. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, pada penjelasan pasal 3. b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada pasal 1338 ayat (1). c. Pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg. d. Pasal 615-651 Rv. e. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS.7 D. Badan Arbidrase di Indonesia 1. Badan Arbitrase Nasional Pada tanggal 3 Desember 1977, atas prakarsa Prof. R. Subekti, SH (Mantan Ketua Mahkamah Agung), Harjono Tjitrosubono, SH (Ketua Ikatan Advokat Indonesia), dan A.J. Abubakar, SH didirikanlah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga penyelesaian sengketa komersial yang bersifat otonom dan independen. BANI merupakan lembaga perdilan yang mempunyai status yang bebas, otonom, dan juga independen. Tujuan dibentuknya lembaga ini adalah untuk memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketasengketa perdata yang timbul



mengenai



soal-soal



perdagangan,



industri,



dan



keuangan.8



BANI



berkedudukan di Jakarta dan memiliki kantor perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia antara lain: Surabaya, Denpasar, Bandung, Medan, Pontianak, Palembang, dan Batam.



7



Yusna Zaidah, Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan dan Arbitrase Sayri’ah di Indonesia ( Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), hal. 39-47. 8 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2013) , hal. 96-98.



Sejarah dan Perkembangan APS



10



2. Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Berdasarkan dukungan Bapepam-LK dan beberapa perusahaan seperti PT Bursa Efek Jakarta (BEI), PT Bursa Efek Surabaya (BES), PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) serta 17 asosiasi di lingkungan pasar modal Indonesia membuat kesepakatan bersama untuk mendirikan sebuah lembaga Arbitrase yang kemudian diberi nama Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI). Tujuan didirikannya lembaga ini tidak terlepas dari keinginan pelaku pasar modal Indonesia untuk mempunyai sebuah lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan khusu di bidang pasar modal yang ditangani oleh orang-orang yang memahami pasar modal, dengan proses cepat dan murah, keputusan yang final dan mengikat, serta memenuhi rasa keadilan. BAPMI menawarkan tiga jenis penyelesian sengketa yang dapat dipilih oleh para pihak, yaitu: Pendapat Mengikat, Mediasi, dan Arbitrase. 3. Badan Arbitrase Komoditi Berjangka Indonesia Pada tanggal 7 November 2008, PT Bursa Berjangka Jakarta (BBI), PT Kliring Berjangka Indonesia/ persero (KBI), Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI) dan Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI), dengan difasilitasi dan didukung penuh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI), menandatangani akta pendirian Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) yang bertempat di Auditorium Utama Departemen Perdagangan dengan disaksikan oleh Menteri Perdagangan. Tujuan dibentuknya lembaga ini yaitu sebagai salah satu bentuk perlindungan hukum kepada masyarakat dan pelaku pasar perdagangan berjangka komoditi melalui penyediaan sarana penyelesaian sengketa yang adil, lebih sederhana dan lebih cepat daripada pengadilan. BAKTI merupakan badan independen dan mandiri yang memfasilitasi penyelesaian sengketa perdata di bidang Perdagangan Komoditi Berjangka. 4. Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) Lembaga ini diresmikan pada tanggal 21 Oktober 1993 dengan namanya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Peresmian ini ditandai dengan penandatanganan akta notars Yudo Paripurno, SH oleh Dewan Pimpinan MUI Pusat yang diwakili KH Hasan Basri dan HS Prodjokusumo (Ketua dan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan MUI). Sebagai saksi ikut menandatangani akta notaris antara lain : Sejarah dan Perkembangan APS



11



HM Sedjono (Ketua MUI) dan H. Zainulbahar Noor, SE (Direktur utama Bank Muamalat Indonesia). Pada tanggal 24 Desember 2003, atas keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-09/MUI/XII/2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dirubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).9 Tujuan dibentuknya lembaga ini yaitu untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa perdata dengan prinsip yang mengutamakan



usaha perdamaian,



menyelesaikan sengketa bisnis yang operasionalnya menggunakan syariat Islam sebagai dasarnya, serta memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, industry, jasa, dan lain-lain. 5. Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Keakayaan Intelektual Pada tanggl 19 April 2012, dibentuk suatu Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI) yang berkedudukan di Jakarta. Lembaga ini memberikan jasa penyelesaian sengketa yang bersifat adjudikatif, yakni arbitrase dan yang non-adjudikatif termasuk mediasi, negosiasi, dan konsiliasi untuk sengketa yang timbul dari transaksi-transaksi komersial atau hubungan yang melibatkan bidang HKI. BAM HKI merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang sifatnya membantu penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Bidang-bidang yang dapat ditangani oleh BAM HKI antara lain Paten, Merek, Indikasi Goegrafis, Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, Varietas Tanaman, serta bidang lainnya yang terkait dengan HKI. Dengan adanya beberapa badan arbitrase di Indonesia diatas, para pelaku bisnis dapat memilih sesuai yang dikehendaki dengan mencantumkan pilihan penyelesaian sengketa arbitrase dalam klausul pada perjanjian yang mereka buat. Apabila para pihak memilih menyelesaikan sengketanya melalui jalur non litigasi.



BAB III KESIMPULAN 9



Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika. 2012), hal.403-404.



Sejarah dan Perkembangan APS



12



Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Nabi  Muhammad dalam perjalanan sejarahnya cukup banyak menyelesaikan konflik yang terjadi dikalangan sahabat dan masyarakat ketika itu. Prinsip resolusi konflik yang dimiliki oleh Al-Qur’an diwujudkan oleh nabi Muhammad dalam berbagai bentuk berupa fasilitasi, negosiasi, adjudikasi, rekonsliasi, mediasi, arbitrase dan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan (ligitasi). Prinsip resolusi konflik dan penyelesaian sengketa ditemukan dalam sejumlah ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi, dan pada masa khulafaurrasyidin juga telah ada alternatif penyelsaian sengketa. Di Indonesia sendiri alternatif penyelesaian sengketa bukan merupakan suatu fenomena asing, karena konsensus dan kompromi yang menjadi inti dari penyelesaian sengketa alternatif. Adapun macam-macam dari lembaga penyelesaian sengketa yang dijelaskan disini ada lima macam yakni; Badan Arbitrase Nasional, Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, Badan Arbitrase Komoditi Berjangka Indonesia, Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Keakayaan Intelektual.



DAFTAR PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan APS



13



Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta , PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003 Salabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta, pustaka Al husna, 1983 Aizid, Rizem, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, Yogyakarta, Diva Press, 2015 Al-Maududi, Abul A‟la, Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, Bandung, Mizan, 1988 R.Subekti,



Kumpulan



Karangan



Hukum



Perikatan



,



Arbitrase



dan



peradilan,,Bandung, Alumni, 1980 Zaidah, Yusna, Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan dan Arbitrase Sayri’ah di Indonesia, Yogyakarta, Aswaja Pressindo, 2015 Hendra Winarta, Frans, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta, PT Sinar Grafika, 2013 Usman, Rachmadi, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika. 2012



Sejarah dan Perkembangan APS



14