Kel 4 Konsep Gadar Gbs [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ASKEP GADAR NEUROSENSORI GUILLAIN BARRE SYNDROME



Disusun Oleh: Kelompok 4 1. Agus Imam Kusairi 2. Dyan Nitarahayu 3. Fajrin Juniarto 4. Tata Maulita



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBIK INDONESIA POLTEKKES KEMENKES KALIMANTAN TIMUR PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN TAHUN AJARAN 2018/2019



1



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat serta hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Neurosensori yang membahas mengenai Guillain Barre Syndrome. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Asuhan Keperawatan Gadar Neurosensori atas bimbingan selama perkuliahan, dan seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini. Makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan untuk perbaikan baik dari segi materi maupun teknik penulisan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam bidang keperawatan khususnya bagi proses pembelajaran Riset Keperawatan.



Samarinda, 17 Januari 2019



Penyusun



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...............................................................................................i DAFTAR ISI...........................................................................................................ii



BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4 A. Latar Belakang.................................................................................................4 B. Rumusan Masalah............................................................................................5 C. Tujuan..............................................................................................................5 1. Tujuan Umum...........................................................................................5 2. Tujuan Khusus..........................................................................................5 D. Manfaat............................................................................................................5 1. Bagi Mahasiswa........................................................................................5 2. Bagi Institusi Pendidikan..........................................................................5 3. Bagi Institusi Rumah Sakit.......................................................................6 4. Bagi Penulis..............................................................................................6



BAB II TELAAH PUSTAKA.................................................................................7 A. Pengertian Guillain Barre Syndrome...............................................................7 B. Etiologi.............................................................................................................8 C. Manifestasi Klinis............................................................................................8 D. Klasifikasi......................................................................................................13 E. Web of Caution (WOC).................................................................................14 F.



Variasi GBS....................................................................................................17



G. Data Laboratorium.........................................................................................18 H. Pengobatan.....................................................................................................19 I.



Penanganan....................................................................................................20



J.



Pengkajian Primer dan Sekunder...................................................................21 1. Pengkajian Primer...................................................................................21 2. Pengkajian Sekunder...............................................................................22



ii



K. Diagnosa dan Rencana Intervensi Keperawatan Kegawatdaruratan Mandiri dan Kolaborasi...............................................................................................27



BAB III PENUTUP..............................................................................................37 A. Kesimpulan....................................................................................................37 B. Saran..............................................................................................................37



DAFTAR PUSTAKA



iii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf (Rahayu, 2013). Angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.00040.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang tidak tampak. Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Data RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada akhir tahun 2010-2011 tercatat 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai varian jumlahnya per bulan. Pada Tahun 2012 berbagai kasus di RSCM mengalami kenaikan sekitar 10% (Rahayu, 2013). Penyakit GBS juga berkaitan dengan kelemahan bulbar, kegagalan pernapasan dan disfungsi saraf otonom. Prognosis untuk pemulihan pada pasien GBS dapat digolongkan cukup baik dengan gejala sisa minor, bagaimanapun tingkat kematian pada penyakit ini berkisar antara 2-12%, dan kegagalan napas merupakan komplikasi yang paling mengancam nyawa dari penyakit GBS. Diperkirakan sepertiga dari pasien GBS dirawat di ruang intensive care unit (ICU), dan banyak diantaranya yang membutuhkan ventilasi mekanik. Pada fase kritis ini pasien berisiko akan komplikasi sistemik dengan potensi morbiditas yang banyak dan mortalitas yang tinggi. Oleh karenanya, sangat penting untuk mengetahui konsep penyakit GBS dan manajemen penanganannya untuk mencegah komplikasi yang dapat terjadi dan mencegah kematian. (Hu et al., 2012) B. Rumusan Masalah



4



Dari uraian latar belakang dapat diambil rumusan masalah yaitu “Bagaimanakah konsep penyakit dan asuhan keperawatan gawat darurat pada kasus Guillain Barre syndrome?”



C. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan gawat darurat pada kasus Guillain Barre syndrome 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui bagaimanakah konsep penyakit Guillain Barre Syndrome. b. Untuk mengetahui bagaimanakah konsep penelitian keperawatan dengan aplikasi filsafat epistemologi. c. Untuk mengetahui bagaimanakah konsep penelitian keperawatan dengan aplikasi filsafat aksiologi. d. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud struktur disiplin ilmu keperawatan. D. Manfaat 1. Bagi Mahasiswa Sebagai bahan perbandingan antara tinjauan teori dengan studi kasus yang ditemui dilapangan. 2. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan laporan ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan penerapan asuhan keperawatan yang telah dipelajari di lembaga pendidikan khususnya kegawatdaruratan neurosensori.



3. Bagi Institusi Rumah Sakit



5



Sebagai



bahan



dan



informasi



bagi



para



perawat



dalam



melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan kegawatdaruratan neurosensori. 4. Bagi Penulis Sebagai bahan masukan dan informasi dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan kegawatdaruratan neurosensori.



6



BAB II TELAAH PUSTAKA E. Pengertian Guillain Barre Syndrome Sindrom



Guillain



Barre



(GBS)



atau



dikenali



sebagai



acute



inflammatory demyelinating polyradiculopathy (AIDP), merupakan jenis neuropati akut yang paling umum dan dapat terjadi pada semua golongan usia. Kasus terbanyak disebabkan oleh serangan autoimun pada mielin sarafsaraf motor yang kebanyakan dipicu oleh infeksi. Penyebab infeksi terbanyak yang telah diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni, Cytomegalovirus, Eipstein-Barr virus, Mycoplasma pneumonia, dan Haemophilus influenza. Penyebab lain GBS yang jarang adalah vaksinasi. Kirakira dari satu pertiga kasus tidak dapat ditemukan pemicu dari sistem autoimun (Nandar, 2013). Sindroma Guillain-Barre (GBS) mempunyai karakteristik yaitu disfungsi saraf kranial dan perifer dengan onset akut. Infeksi virus pada saluran pernafasan ataupun pencernaan, imunisasi, atau tindakan bedah biasanya seringkali terjadi 5 hari sampai 4 minggu sebelum terjadinya gejala neurologis. Gejala dan tanda-tanda terjadinya sindroma Guillain-Barre termasuk kelemahan secara simetris yang cepat dan progresif, hilangnya refleks tendon, diplegia wajah, parese otot orofaring dan otot pernafasan, dan terganggunya sensasi pada tangan dan kaki. Terjadi perburukan kondisi dalam beberapa hari hingga 3 minggu, diikuti periode stabil dan perbaikan secara bertahap menjadi kembali normal atau mendekati fungsi normal. Plasmapharesis atau IVIG yang dilakukan lebih awal akan mempercepat penyembuhan dan memperkecil angka kejadian kecacatan neurologis jangka panjang (Nandar, 2013). Di Amerika Utara dan Eropa, angka polineuropati inflamasi demyelinasi akut terhitung sebanyak lebih dari 90% adalah GBS. Termasuk GBS adalah neuropati axon motoris akut (AMAN), neuropati axon motoris dan sensoris akut (AMSAN), sindroma Miller-Fisher, dan neuropati autonom dan sensoris akut (Nandar, 2013).



7



F. Etiologi Penyebab GBS masih belum diketahui secara lengkap. Ada bukti bahwa dipengaruhi oleh sistem imun. Terdapat patologi imun dan pasien akan membaik dengan terapi modulasi imun. Sebuah penyakit dengan gambaran klinis serupa (serupa dalam patologi, elektrofisiologi dan gangguan CSF) dapat diinduksi pada hewan coba dengan imunisasi saraf tepi utuh, mielin saraf tepi, atau pada beberapa spesies oleh protein dasar mielin saraf tepi P2 atau galaktoserebrosid. Sebuah langkah penting pada penyakit autoimun adalah terganggunya self-tolerance dan ada bukti bahwa hal ini terjadi karena mimikri molekular pada 2 bentuk GBS, AMAN dan sindroma MillerFisher, dengan reaksi silang epitope antara Campylobacter jejuni dan saraf tepi. Saat GBS didahului oleh infeksi virus, tidak ada bukti langsung infeksi virus pada saraf tepi maupun radix saraf (Nandar, 2013). Organisme penyebab GBS



• Epstein-Barr virus • Mycoplasma pneumonia • Campylobacter jejuni • Cytomegalovirus • HIV • Rabies vaccine • Influenza vaccines



Vaksinasi yang



• Oral polio vaccine • Smallpox vaccine



berpotensi menimbulkan



• Diphtheria and tetanus vaccines



GBS



• Measles and mumps vaccines • Hepatitis vaccines



G. Manifestasi Klinis Gejala-gejala neurologik diawali dengan parestesia (kesemutan dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ektremitas atas, batang tubuh atau otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang menunjukkan adanya paralisis pada okular, wajah dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran bicara, mengunyah, dan menelan. Disfungsi autonom yang sering terjadi dan memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan parasimpatis, dengan manifestasi gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah,



8



dan gangguan vasomotor lainnya. Keadaan ini juga dapat menyebabkan nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki. Seringkali pasien menunjukkan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak adanya reflex tendon (Smeltzer & Bare, 2004). Kebanyakan pasien mencapai puncak kecacatan dalam 10-14 hari. Nervus sensori juga dapat dipengaruhi tapi lebih sedikit daripada nervus motorik (Copstead & Banasik, 2005). Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu: 1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis: a. Terjadinya kelemahan yang progresif b. Hiporefleksi 2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis GBS: a. Ciri-ciri klinis: 1) Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu. 2) Relatif simetris 3) Gejala gangguan sensibilitas ringan 4) Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain 5) Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan. 6) Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dangejala vasomotor. 7) Tidak ada demam saat onset gejala neurologis b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa: 1) Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial 2) Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3 3) Varian: a) Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala b) Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3



9



c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa: Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal. Sedangkan menurut Rachel (2010), gambaran klini dari pasien dengan Guillain Barre Syndrome adalah: 1. Kelemahan a. Gambaran klinis klasik kelemahan adalah asenden dan simetris. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terlibat sebelum anggota badan atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal dari yang lebih distal. Batang tubuh, kelenjar, dan otot pernafasan dapat dipengaruhi juga. b. Kelemahan berkembang akut selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan bisa berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia yang komplit dengan kegagalan ventilasi. Puncak defisit dicapai oleh 4 minggu setelah pengembangan awal gejala. Pemulihan biasanya dimulai 2-4 minggu setelah kemajuan berhenti. 2. Perubahan Sensori a. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensori sering didahului oleh kelemahan. Kemudian naik dan menjalar kearah distal b. Gejala sensori biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, temuan kehilangan sensori cenderung minim dan variabel. c. Pada studi konduksi saraf (NCS), 58-76% pasien menunjukkan kelainan sensorik 3. Keterlibatan saraf kranial a. Keterlibatan saraf kranial diamati pada 45-75% pasien dengan GBS. b. c. d. e. f.



keluhan umum mungkin termasuk yang berikut: Kelumpuhan pada wajah Diplopias Dysarthria Disfagia Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah batang



tubuh dan anggota badan yang terpengaruh. 4. Nyeri



10



a. 89% pasien melaporkan nyeri yang disebabkan GBS di beberapa waktu selama penyakit mereka. Pada awal presentasi, hampir 50% dari pasien digambarkan sebagai rasa sakit parah dan menyedihkan. b. Mekanisme nyeri tidak pasti dan mungkin produk dari beberapa faktor. Nyeri dapat hasil dari cedera saraf langsung atau dari kelumpuhan dan immobilisasi berkepanjangan. c. Kebanyakan pasien mengeluh sakit punggung dan kaki, seringkali digambarkan sebagai sakit atau berdenyut. Mekanisme nyeri dianggap akibat akar saraf meradang. Gejala dysesthetic diamati pada sekitar 50% pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai sensasi terbakar atau kesemutan dan seringkali lebih umum di ekstremitas bawah daripada ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas di 5-10% pasien. sindrom nyeri lainnya di GBS meliputi: 1) Keluhan Myalgic, dengan kram dan tenderness otot lokal 2) Nyeri visceral 3) Rasa sakit yang terkait dengan kondisi tidak bergerak (misalnya, palsies tekanan saraf, ulkus dekubitus) 4) Intensitas nyeri pada masuk berkorelasi buruk dengan cacat neurologis tentang pendaftaran masuk dan dengan hasil akhir. 5. Perubahan Otonom a. Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan GBS. b. Perubahan otonom dapat mencakup hal berikut: 1) Tachycardia 2) Bradikardi 3) Muka kemerahan 4) Hipertensi paroksismal 5) Hipotensi ortostatik 6) Anhidrosis dan / atau diaforesis 7) Retensi urin dan ileus paralitik juga dapat diamati. Usus dan disfungsi kandung kemih jarang menyajikan sebagai gejala awal atau berlangsung selama jangka waktu yang signifikan. 8) Dysautonomia lebih sering pada pasien dengan kelemahan yang parah dan gagal pernafasan. 9) Perubahan otonom jarang bertahan pada pasien dengan GBS. 6. Efek pada respiratori



11



a. 40% pasien memiliki kelemahan pernapasan atau orofaringeal. b. Keluhan khas meliputi: 1) Dyspnea 2) Sesak napas 3) Kesulitan menelan 4) Cadel pidato c. kegagalan ventilasi dengan dukungan pernafasan yang dibutuhkan terjadi pada hingga sepertiga pasien dalam beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.



Gambar 2.2



H. Klasifikasi Terdapat tiga tahap pada keadaan akut GBS adalah: 1.



The initial period (1-3 minggu, dimulai pada onset pertama dari gejala yang nyata dan berakhir ketika tidak terjadi keadaan yang memburuk. Tanda dan gejala yang timbul antara lain kelemahan otot, penurunan tendon, dan gangguan pernafasan.



2.



The plateu period (beberapa hari sampai 2 minggu). Tanda dan gejala yang timbul antara lain nyeri, disphasia, dan diplopia.



3.



The recovery period (4-6 bulan). Tanda dan gejala yang timbul antara lain disritmia jantung. Klien yang mengalami injury pada akson memerlukan rehabilitasi yang



intensif mungkin lebih dari 2 tahun. Jika penyembuhan tidak terjadi dengan



12



baik maka disebut sebagai GBS kronik dengan tanda dan gejala seperti: kelumpuhan total, gagal nafas, dan infeksi pernafasan.



13



I. Web of Caution (WOC) WOC GUILLAIN BARRE SYNDROME Infeksi, virus, vaksin, keganasan, pembedahan Mengganggu kerja sitem imun Limfosit T dan Limfosit B Produksi antibody terbentuk dan mengaktifasi sistem complemen dan polimononuklear Melawan komponen selubung myelin (proses demeilinisasi) selubung myelin terlepas Konduksi saltatori tidak terjadi Transmisi impuls tidak ada



B1



B3



B2



14



B5



B6



Disfungsi saraf otonom gg. saraf perifer dan neuromuskular



Kurang berfungsinya sistem saraf simpatis dan parasimpatis



Paralisis otot napas Insufisien pernapasan



Gangguan frekuensi jantung, ritma, perubahan tekanan darah, gangguan vasomotor Penurunan Curah Jantung



Penuruanan curah jantung



Gg. ventilasi Akumulasi sekret



Paralisis okuler Ketajaman penglihatan terganggu Perubahan Persepsi Sensori



Ekspansi paru tidak adekuat B3



Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif



Saraf III, IV dan VI



B4



Sesak Pola Napas Tidak Efektif



Aliran darah ke otak menurun O2 ke otak menurun



Aliran darah ke jaringan menurun Jaringan kurang O2



Aliran darah ke ginjal \menurun



Saraf V, VII Paralisis otot wajah, sulit mengunyah



Intake nutrisi tidak adekuat Risiko Hipovolemi a



Saraf IX, X



Gangguan fungsi saraf perifer dan neuromuscular



Paralisis otot orofaring, kesulitan bicara, mengunyah, dan menelan



Gangguan Komunikasi Verbal



Parestesia dan kelemahan otot kaki yang dapat berkembang ke atas, batang tubuh dan otot wajah Perubahan tonus otot Gangguan mobilitas fisik



Filtrasi glomerulus menurun 15



Gangguan pemenuhan ADL



Tracheostomy



ETT Oliguria



Ventilator



Gangguan Perfusi Jaringan Serebral



Gangguan Perfusi Jaringan Perifer



Gangguan Eliminasi Urin



16



J. Variasi GBS AMAN adalah variasi GBS. Terdapat degenerasi akson motoris dengan sedikit atau banyak tidak ada inflamasi. Terlepas dari keikutsertaan akson, proses penyembuhan mirip dengan bentuk demielinasi. AMAN dapat mengikuti infeksi C. jejuni atau injeksi gangliosida parenteral (Nandar, 2013). Sindroma Miller-Fisher memiliki ciri-ciri ataksia cara jalan dan parese otot mata. Abnormalitas pupil kadang terjadi. Dikatakan sebagai varian GBS, karena seringkali didahului oleh infeksi saluran nafas, memburuk dalam beberapa minggu, lalu membaik, dan protein CSF meningkat. Tidak ada kelemahan anggota gerak dan konduksi saraf secara umum normal, walaupun refleks H dapat terpengaruh. Pada beberapa kasus, MRI menunjukkan lesi hiperinten pada batang otak. Variasi GBS lainnya adalah AMSAN, neuropati atau neuronopati sensoris akut, dan neuropati atau pandysautonomia autonom akut (Nandar, 2013). Tabel 1. Tipe-tipe dari GBS Tipe Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropa thy (AIDP) Acute motor axonal neuropathy (AMAN)/ acute motor and sensory neuropathy (AMSAN)



Miller Fisher syndrome Chronic idiopathic demyelinating



Deskripsi The most common form of GBS, accounting for 90% of cases in North America and Europe. The main features include ascending motor and sensory neuron loss. Account for approximately 3–5% of cases within the developed world but are more common in China, Japan and Mexico, accounting for 30– 47% of cases in Asia and Central and South America. Occur following infection with Campylobacte jejuni. These forms of GBS have a more rapid onset and severity, frequently leading to neuromuscular respiratory failure and ventilator dependence and cranial nerve involvement. Accounts for approximately 5% of all cases of GBS. Annual incidence is much lower than other forms of GBS at 0.1 per 100 000. Main symptoms are oculomotor dysfunction, ataxia and absent reflexes. Many patients develop facial and bulbar palsies and a few will require mechanical ventilation. chronic relapsing remitting form of GBS that presents with chronic progressive or relapsing weakness, sensory



17



polyradiculoneuropa thy (CIDP)



loss and paraesthesia, absent reflexes and/or cranial nerve dysfunction. Prevalence is around 3–4 per 100 000. Neuromuscular respiratory failure and cranial nerve dysfunction can occur, although are less common than in AIDP.



K. Data Laboratorium Menurut (Rahayu, 2013), diagnosa GBS ditegakkan berdasarkan riwayat dan hasil tes kesehatan baik secara fisik maupun laboratorium. Berdasarkan riwayat penyakit didapatkan data tentang obat-obatan yang biasa diminum, apakah ada riwayat konsumsi alkohol, infeksi-infeksi yang pernah diderita sebelumnya, riwayat vaksinasi dan pembedahan yang dilakukan pada orang tersebut sebelumnya, maka dokter akan menyimpulkan apakah pasien menderita penyakit GBS. Tidak lupa juga riwayat penyakit yang pernah diderita pasien maupun keluarga pasien misalnya diabetes mellitus, diet yang dilakukan, semuanya akan diteliti dengan seksama hingga dokter bisa menarik kesimpulan apakah orang terkena GBS atau penyakit lainnya. Pasien yang diduga mengidap GBS diharuskan melakukan tes: 1.



Darah lengkap, berupa pemeriksaan kimia darah secara komplit



2.



Lumbal puncti, berfungsi untuk mengambil cairan otak



3.



EMG (electromyogram), untuk merekam kontraksi otot.



4.



Pemeriksaan kecepatan hantar syaraf. Kandungan protein CSF meningkat pada kebanyakan pasien dengan



GBS, namun dapat menunjukkan nilai normal pada beberapa hari awal setelah onset. Jumlah sel CSF biasanya normal, namun pada beberapa pasien dengan selain GBS tipikal memiliki 10 hingga 100 sel mononuklear/ul pada CSF. Mononukleosis infeksiosa, infeksi CMV, hepatitis viral, infeksi HIV, atau penyakit yang disebabkan oleh virus yang mendahului penyakit ini dapat didokumentasikan menggunakan studi serologis. Meningkatnya titer antibodi IgG atau IgA menjadi GM-1 atau GD- 1a dapat ditemukan pada bentuk aksonal GBS. Antibodi anti-GQ-1b berhubungan erat dengan sindroma Miller-Fisher (Nandar, 2013).



18



L. Pengobatan Plasmapharesis lebih awal dan terapi IVIG terbukti berguna pada pasien GBS. Pemberian glukokortikoid tidak memendekkan perjalanan penyakit ataupun memperngaruhi prognosis. Bantuan nafas mekanik kadang dibutuhkan dan pencegahan terhadap aspirasi makanan atau isi lambung harus dilakukan jika otot orofaring terganggu. Paparan pada keratitis harus dicegah pada pasien dengan diplegia wajah. Perawatan kegawatdaruratan pada GBS termasuk monitoring respirasi dan kardiovaskular secara ketat. Bisa didapatkan indikasi untuk dilakukan intubasi (Nandar, 2013). Gangguan autonom yang labil dapat menimbulkan komplikasi pada penggunaan obat-obat vasoaktif dan sedatif. Pada kasus yang berat, kelemahan otot dapat menimbulkan kegagalan nafas. Sebuah penelitian epidemiologis pada tahun 2008 melaporkan bahwa terdapat 2-12% mortalitas walaupun sudah dilakukan managemen pada ICU (Nandar, 2013). Plasma exchange dan imunoglobulin intravena bisa menjadi terapi yang efektif, namun pasien bisa membutuhkan intubasi dan perawatan intensif yang lebih lama. Setelah keluar rumah sakit, terapi selama rawat jalan dan terapi lewat aktivitas sehari-hari dapat memberikan perbaikan pada pasien GBS untuk meningkatkan status fungsional mereka (Nandar, 2013). Sekitar setengah dari semua pasien penderita GBS mengalami neuropati residual jangka panjang yang mempengaruhi serabut syaraf bermyelin baik dengan ukuran besar maupun sedang. Secara keseluruhan, pasien yang menderita GBS cenderung berkurang kualitas hidup maupun fungsi fisiknya. Pada kasus yang sangat langka, pasien dapat mengalami rekurensi GBS (Nandar, 2013). Diantara penderita GBS yang bertahan hidup, Khan et al di dalam (Nandar, 2013) menemukan bahwa faktor-faktor berikut berhubungan dengan tingkat fungsi dan kondisi yang lebih buruk: 1.



Jenis kelamin perempuan



2.



Usia yang tua (57 tahun atau lebih)



3.



Masuk rumah sakit lebih dari 11 hari



19



4.



Perawatan di Intensive care unit



5.



Keluar rumah sakit untuk rehabilitasi Outcome tidak menunjukkan hubungan dengan derajat keparahan



penyakit saat onset. Tabel 4. Komplikasi dan efek akut dari GBS Tanda Neuromuscular respiratory failure Facial weakness and bulbar palsy Autonomic dysfunction, including cardiac arrhythmias, labile blood pressure and postural hypotension, paralytic ileus and urinary retention Syndrome of inappropriate ADH secretion



Tindakan Approximately 25% of patients will develop neuromuscular respiratory failure requiring ventilation These symptoms lead to dysphagia and are predictive of the need for ventilation Autonomic dysfunction, often due to involvement of the vagus nerve, affects 15% of patients with AIDP. These symptoms are associated with significant mortality Requires careful monitoring of electrolytes



M. Penanganan Perawatan sebelum masuk rumah sakit pada pasien dengan sindroma Guillain-Barre (GBS) membutuhkan perhatian yang ketat pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi (ABCs). Indikasi pemberian oksigen dan bantuan pernafasan dapat ditemukan, bersamaan dengan pemasangan infus untuk administrasi intravena. Petugas medis kegawatdaruratan harus memonitor aritmia jantung dan mentransport pasien dengan secepat mungkin. Pada departemen kegawatdaruratan (ED), ABCs, IV, oksigen, dan bantuan pernafasan dapat tetap terindikasi untuk dilanjutkan. Intubasi harus dilakukan pada pasien yang mengalami kegagalan nafas derajat berapapun. Indikator klinis untuk intubasi pada ED termasuk hipoksia, fungsi respirasi yang menurun dengan cepat, batuk yang lemah, dan curiga adanya aspirasi. Pada umumnya, intubasi terindikasi pada saat Forced vital capacity (FVC) kurang dari 15 ml/kg. Indikasi dilakukannya intubasi adalah cardiac arrest, kehilangan kesadaran, ketidakseimbangan hemodinamik dengan sistolik < 70 mmhg, paO2 < 45 mmhg walaupun sudah diberi oksigen.



20



Pasien harus dimonitor secara ketat untuk mengetahui perubahan tekanan darah, denyut jantung, dan aritmia. Terapi jarang dibutuhkan untuk takikardia. Atropine direkomendasikan untuk bradikardi simptomatik. Karena adanya labilitas dari disautonomia, hipertensi paling baik diterapi dengan agen yang bekerja jangka pendek, seperti beta-blocker jangka pendek atau nitroprusside. Hipotensi dari diautonomia biasanya merupakan respon yang timbul pada cairan intravena dan pemposisian supinasi. Pacing secara temporer dapat dibutuhkan pada pasien heart block derajat dua dan tiga. Konsultasikan dengan spesialis neurologi jika ada ketidakpastian dan ketidakyakinan dalam diagnosis. Konsultasikan pada tim ICU untuk evaluasi butuh tidaknya untuk dimasukkan ke ICU. Keputusan untuk melakukan intubasi pada pasien GBS ditentukan berdasarkan kasus. Seperti kelainan neuromuskular lain dengan potensi kelemahan diafragmatika, tanda-tanda kolaps respiratori termasuk takipnea, penggunaan otot-otot tambahan inspirasi, negative inspiratory force (NIF) kurang dari 20 atau forced vital capacity (FVC) kurang dari 15cc/kg merupakan indikator untuk melakukan intubasi dan pemberian ventilasi artifisial. Namun demikian, parameter tersebut tidak dapat digunakan sekiranya adanya kelemahan fasial dan ketidakmampuan untuk melakukan pengiraan pada instrumen yang digunakan untuk mengukur. Sekresi tidak dapat dikeluarkan dan resiko aspirasi merupakan indikasi lain untuk intubasi, kelemahan pada tungkai biasanya merupakan petanda awal bahwa adanya keterlibatan komponen respiratori. N. Pengkajian Primer dan Sekunder 1. Pengkajian Primer a.



Airway -



Adanya tanda-tanda perdarahan jalan napas



-



Keberadaan rangsangan obstruksi jalan napas



-



Risiko kerusakan hipoksia pada otak ginjal dan jantung



-



Spasme laring (sekret atau darah dijalan napas)



21



b.



c.



Breathing -



Kesulitan bernapas



-



Suara napas berkurang



-



Menurunnya kapasitas vital paru



-



Terdengar suara sonor



Circulation -



Kulit dan jari terlihat pucat



-



Terjadi hipoksia



-



Gangguan kesadaran



-



Denyut jantung lemah



-



Diastolik rendah



2. Pengkajian Sekunder a.



Keluhan Utama Keluhan



utama



sering



menjadi



alasan



klien



meminta



pertolongan kesehatan berhubungan dengan kelemahan otot, baik kelemahan fisik secara umum maupun lokal seperti melemahnya otot pernapasan b.



Riwayat Penyakit Sekarang Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh atau bertambah buruk. Keluhan tersebut diantaranya gejala-gejala neurologis diawali dengan perestasia (kesemutan/kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang pada ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Kelemahan dapat diikuti dengan paralisis lengkap. Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien sindrom guillain bare dan merupakan komplikasi yang paling berat dari sindrom ini adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat muncul pada penyakit sindrom guillain bare ini yang lebih mengarah



22



pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas hampir sama seperti keluhan klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskuler seperti terjadinya disaritmia jantung yang diakibatkan oleh gangguan sistem saraf otonom pada klien dengan sindrom guillain bare. c.



Riwayat Penyakit Dahulu Pengkajian



penyakit



yang



pernah



dialami



klien



yang



memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal dan tindakan bedah syaraf. Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat kortikosteroid, antibiotik, dan menilai reaksinya



(resistensi



pemakaian



antibiotik)



dapat



menambah



komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat dahulu dapat mendukung pengkajian riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya. d.



Pengkajian Psikospiritual Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan seharihari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan dan kecacatan, cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stress, seperti kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku stress.



e.



Pemeriksaan Fisik



23



Klien dengan Sindrom Guillain-Bare biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubunga dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan serta akumulasi sekret akibat insufisiensi pernapasan. Tekanan darah didapatkan ortotastik hipotensi atau tekanan darah meningkat berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis. Pemeriksaan fisik meliputi 1) B1 (Breathing) Hasil inspeksi akan didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas meningkat dan yang paling sering didapatkan pada klien sindrom guillain bare adalah menurunnya frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan Sindrom Guillain-Bare berhubungan dengan akumulasi sekret dari nfeksi saluran pernapasan. 2) B2 (Blood) Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien Sindrom Guillain-Bare menunjukkan bradikardi akibat penurunan perfusi perifer. Tekanan darah didapatkan hipotensi tau hipertensi akibat penurunan reaksi saraf simpatis dan parasmpatis. 3) B3 (Brain) Pengkajian Brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan sistem lainnya. Pemeriksaan brain meliputi: a) Pengkajian tingkat kesadaran Klien dengan Sindrom Guillain-Bare biasanya kesadaran klien komposmentis. Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan



24



b) Pengkajian fungsi serebral Pengkajian fungsi serebral merupakan pengkajian yang menyangkut status mental yaitu observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Klien dengan Sindrom Guillain-Bare untuk tahap yang lebih lanjutnya disertai penurunan kesadaran biasanya status mental klien mengalami perubahan. c) Pengkajian saraf kranial Pengkajian saraf kranial meliputi pengkajian saraf kranial IXII, yaitu: - Saraf I, biasanya pada klien Sindrom Guillain-Bare tidak ada kelainan dari fungsi penciuman. - Saraf II, tes ketajaman dan penglihatan pada kondisi normal. - Saraf III, IV, dan VI, penurunan membuka dan menutup kelopak mata disebut paralisis okuler. - Saraf V, klien dengan Sindrom Guillain-Bare didapatkan paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah. - Saraf VII, persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis unilateral. - Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduksi dan tuli persepsi. - Saraf IX, X, paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah, dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik sehingga menggangu pemenuhan nutrisi via oral. - Saraf XI, tidak ada atrofi otot stemkleidomantoideus dan trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik. - Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, indra pengecapan normal. d) Pengkajian sistem motorik



25



Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada



Sindrom



Guillain-Bare



tahap



lanjut



mengalami



perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik. e) Pengkajian refleks Pemeriksaan refleks propunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respn normal. f) Pengkajian sistem sensorik Parestesia (kesemutan/kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu. 4) B4 (Bladder) Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume pengeluaran urin, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. 5) B5 (Bowel) Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.



6) B6 (Bone) Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.



26



O. Diagnosa dan Rencana Intervensi Keperawatan Kegawatdaruratan Mandiri dan Kolaborasi Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Pola Nafas Tidak Efektif



Kode



Tujuan (NOC)



SDKI D.0005



Intervensi (NIC)



NOC:



NIC:



a. Respiratory



a.



status : Ventilation Definisi : inspirasi



status



tidak memberika



patency



ventilasi adekuat



untuk



b. Respiratory



dan/atau ekspirasi yang



:



Posisikan pasien memaksimalkan



Airway



ventilasi b.



c. Vital sign Status



Pasang mayo bila perlu



c.



Lakukan



Gejala dan tanda



Setelah dilakukan



fisioterapi



mayor :



tindakan keperawatan



jika perlu



Subjektif :



selama ………..pasien



Dispnea



menunjukkan



dengan



Objektif :



keefektifan pola nafas,



atau suction



1. Penggunaan otot



dibuktikan dengan



bantu pernafasan



d.



e.



kriteria hasil:



2. Fase ekspirasi memanjang



1.



3. Pola nafas



pernafasan



abnormal (mis. Takipnea,



Frekuensi



bradipnea,



Irama pernafasan



Keluarkan sekret batuk



Auskultasi suara nafas,



catat



adanya



suara



tambahan f.



1 2 3 4 5 2.



dada



Berikan bronkodilator



g.



Berikan



1 2 3 4 5



pelembab



udara



Kedalaman



Kassa



basah



kusmaul, cheyen-



inspirasi



NaCl Lembab



stokes)



1 2 3 4 5



hiperventilasi,



3.



4. Gejala dan tanda



h.



Atur intake untuk



Suara auskultasi



cairan



pernafasan



mengoptimalkan



27



minor : Subjektif :



1 2 3 4 5 5.



Kepatenan jalan



Ortopnea



nafas



Objektif :



1 2 3 4 5



keseimbangan. i.



dan status O2 j.



1. Pernafasan pursedlip 2. Pernafasan cuping hidung 3. Diameter horak



4. Ventilasi sentiment menurun 5. Kapasitas vital



Kriteria penilaian NOC : 1.



Deviasi Berat



2.



Deviasi Yang



trakea k. l.



Observasi adanya



Cukup Besar



tanda



3.



Deviasi Sedang



hipoventilasi



4.



Deviasi Ringan



tanda



5.



Tidak Ada



kecemasan



Deviasi



pasien



m. Monitor



adanya terhadap



oksigenasi n.



menurun 7. Tekanan inspirasi



Pertahankan jalan nafas yang paten



menurun 6. Tekanan ekspirasi



Bersihkan mulut, hidung dan secret



anterior-posterior meningkat



Monitor respirasi



Monitor



vital



sign o.



Informasikan



meningkat



pada pasien dan



8. Ekskursi dada



keluarga tentang



berubah



tehnik



relaksasi



untuk memperbaiki pola nafas. p.



Ajarkan bagaimana batuk efektif



q.



Monitor



pola



nafas



28



Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif



D.0005



NOC:



NIC:



a. Respiratory



1. Buka jalan nafas



status : Ventilation Definisi :



b. Respiratory



ketidakmampuan



status



membersihkan sekret



patency



atau obstruksi jalan



:



dengan teknik jaw trust atau chin lift



Airway 2. Posisikan pasien



c. Vital sign Status



nafas untuk



untuk memaksimalkan ventilasi



mempertahankan jalan



Setelah dilakukan



nafas tetap paten.



tindakan keperawatan



3. Pasang OPA atau NPA



selama ………..pasien 4. Lakukan fisioterapi Gejala dan tanda



menunjukkan



mayor :



keefektifan pola nafas, 5. Lakukan



Subjektif :



dibuktikan dengan



penyedotan melalui



-



kriteria hasil:



endotrakea atau



Objektif :



1. Frekuensi



nasotrakea



1. Batuk efektif atau tidak mampu batuk 2. Sputum berlebih/obstruksi



pernafasan 1 2 3 4 5 2. Irama pernafasan 1 2 3 4 5



di jalan nafas



3. Kedalaman



3. Mengi, wheezing,



inspirasi



dan/ atau ronchi kering



1 2 3 4 5 4. Suara auskultasi



dada jika perlu



6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan 8. Berikan bronkodilator



Gejala dan tanda



pernafasan



minor :



1 2 3 4 5



dan status O2



5. Kepatenan jalan



10. Observasi adanya



Subjektif :



9. Monitor respirasi



1. Dipsnea



nafas



tanda tanda



2. Sulit bicara



1 2 3 4 5



hipoventilasi



3. Ortopnea Objektif :



Kriteria penilaian



29



1. Gelisah



NOC :



2. Sianosis



6.



Deviasi Berat



3. Bunyi nafas



7.



Deviasi Yang



menurun



Cukup Besar



4. Frekuensi nafas berubah



8.



Deviasi Sedang



9.



Deviasi Ringan



5. Pola nafas berubah



10. Tidak Ada



Penurunan curah



Deviasi NOC:



NIC:



a. Status pernafasan :



1. Auskultasi suara



jantung Definisi : ketidakkuatan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan



D.0009



ventilasi b. Perfusi jaringan : kardiak c. Tanda-tnda vital



metabolism tubuh Gejala dan tanda mayor :



nafas 2. Catat adanya penurunan curah jantung 3. Berikan oksigen



Setelah dilakukan tindakan keperawatan



sesuai kebutuhan 4. Berikan cairan



selama ………..pasien



melalui IV atau



Subjektif :



menunjukkan



oral



1. Perubahan irama



peningkatan curah



jantung (palpitasi) 2. Perubahan preload (lelah) 3. Perubahan afterload (dipsnea) 4. Perubahan



jantung, dibuktikan dengan kriteria hasil: 6. Frekuensi pernafasan 1 2 3 4 5



kontraktilitas



7. Irama pernafasan



(Paroxysmal



1 2 3 4 5



Nocturnal Dypsnea (PND), Ortopnea, 5. Batuk



5. Monitor status sirkulasi 6. Monitor tanda dan gajala penurunan curah jantung 7. Monitor hasil laboratorium



8. Tekanan darah sistol



30



1 2 3 4 5 Objektif : 1. Perubahan irama jantung (bradikardi/takikard i) (gambar EKG



9. Tekanan darah diastol 1 2 3 4 5 10. Denyut jantung



aritmia atau



apikal



gangguan



1 2 3 4 5



konduksi) 2. Perubahan preload (edema, distensi vena jugularis, CPV meningkat) 3. Perubahan afterload



Kriteria penilaian NOC : 1. Deviasi Berat 2. Deviasi Yang Cukup Besar



(tekanan darah



3. Deviasi Sedang



meningkat/menurun



4. Deviasi Ringan



, nadi perifer teraba



5. Tidak Ada Deviasi



lemah, CRT >3 detik, warna kulit pucat atau sianosis) 4. Perubahan kontraktilitas (terdengar suara S3 dan/S4, Ejaction Fraction (EF) menurun)



Gejala dan tanda



31



minor : Subjektif : 1. Perubahan preload (-) 2. Perubahan afterload(-) 3. Perubahan kontraktilitas (-) 4. Perilaku/emosional (cemas, gelisah) Objektif : 1. Perubahan preload (murmur jantung, berat badan bertambah, pulmonary artery wedge pressure (PAWP) menurun) 2. Perubahan afterload (pulmonary vascular resistance (PVR), systemic vascular resistance (SVR), Hepatomegali) 3. Perubahan kontraktilitas



32



4. Cardiac index (CI) 5. Left Ventricular Stroke Work Index (LVSWI) menurun 6. Stroke Volume Index (SVI) menurun 7. Perilaku/emosional Nyeri Akut Definisi : Pengalaman



sensorik



atau emosional yang berkaitan



dengan



kerusakan



jaringan



aktual atau fungsional, dengan



onset



mendadak atau lambat



D.0007



NOC : Pain control (1605) Setelah dilakukan



berat



berlangsung



selama ………..pasien menunjukkan nyeri berkurang , dibuktikan dengan kriteria Hasil : 1.



Mengenali kapan



2.



nyeri terjadi 1 2 3 4 5 Menggambarkan



3.



faktor penyebab 1 2 3 4 5 Menggunakan



yang kurang



dari 3 bulan Gejala



dan



Pain management (1400)



tindakan keperawatan



dan berintensitas ringan hingga



NIC :



tanda



tindakan



1. Kaji nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3. Kaji tipe dan



mayor :



pengurang nyeri



sumber nyeri untuk



Subjektif :



tanpa analgesic 1 2 3 4 5 Menggunakan



menentukan



Mengeluh nyeri Objektif : 1. Tampak meringis 2. Bersikap protektif



4.



analgesic yang direkomendasikan 1 2 3 4 5



( mis. Waspada, posisi menghindari



Kriteria penilaian NOC



intervensi 4. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam, relaksasi, distraksi, kompres



33



nyeri) 3. Gelisah 4. Frekuensi nadi meningkat 5. Sulit tidur Gejala dan tanda



1.



Tidak pernah



hangat/ dingin



menunjukan Jarang



5. Berikan analgetik



2. 3.



menunjukan Kadang-kadang



4.



menunjukan Sering



5.



menunjukan Secara konsistn



minor : Subjektif : (tidak tersedia)



menunjukan



Objekif : 1.



6. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan antisipasi



ekanan darah



ketidaknyamanan



meningkat



dari prosedur



P



7. Monitor vital sign



ola nafas berubah 3.



nyeri



berkurang dan T



2.



untuk mengurangi



N



sebelum dan



afsu makan berubah 4. P



sesudah pemberian analgesik pertama



roses berfikir



kali



terjangkau 5.



M enarik diri



6.



B erfokus pada diri sendiri



7. iaphoresis Risiko Hipovolemia



D D.0034



NOC:



NIC :



Definisi :



a. Fluid balance



Berisiko mengalami



b. Hydration



catatan



penurunan volume



c. Nutritional Status



dan output yang



cairan intravaskuler,



: Food and Fluid



interstistial, dan/ atau



Intake



1. Pertahankan intake



akurat 2. Monitor status



34



intraseluler.



hidrasi Setelah dilakukan



(kelembaban



Faktor Risiko :



tindakan keperawatan



membran



1. Kehilangan cairan



selama ………..pasien



mukosa, nadi



menunjukkan tidak



adekuat, tekanan



mengalami penurunan



darah ortostatik),



cairan, dibuktikan



jika diperlukan



secara aktif 2. Gangguan absorbs cairan 3. Usia lanjut



dengan kriteria Hasil :



4. Kelebihan berat



1. Turgor kulit



badan 5. Status hipermetabolik 6. Kegagalan mekanisme regulasi 7. Evaporasi 8. Kekurangan intake cairan 9. Efek agen farmakologis



1 2 3 4 5 2. Membran mukosa



3. Monitor hasil lab yang



sesuai



dengan



retensi



cairan (BUN ,



lembab



Hmt



1 2 3 4 5



osmolalitas urin,



3. Intake cairan



,



albumin,



1 2 3 4 5



protein )



4. Output cairan



4. Monitor



1 2 3 4 5 5. Fungsi kognisi 1 2 3 4 5 6. Perfusi jaringan 1 2 3 4 5



sign



total vital



setiap



menit – 1 jam 5. Kolaborasi pemberian cairan IV 6. Monitor



Kriteria



penilaian



NOC :



15



status



nutrisi 7. Berikan



1. Sangat Terganggu



oral



2. Banyak Terganggu



8. Berikan



cairan



3. Cukup Terganggu



penggantian



4. Sikit Terganggu



nasogatrik sesuai



5. Tidak Terganggu



output



(50







100cc/jam) 9. Dorong keluarga



35



untuk membantu pasien makan 10. Kolaborasi dokter jika tanda cairan



berlebih



muncul meburuk 11. Atur kemungkinan tranfusi 12. Persiapan untuk tranfusi 13. Pasang



kateter



jika perlu 14. Monitor



intake



dan urin output setiap 8 jam



36



BAB IV PENUTUP P.



Kesimpulan Salah satu kegawatdaruratan neurosensori adalah penyakit Guillainbarre syndrome (GBS) yaitu sebuah kelainan pada sistem imun yang ditunjukkan oleh onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit yang termasuk demielinasi dan degenerasi selaput myelim dari saraf perifer dan kranial. Otot ekstermitas bawah biasanya terkena pertama kali dengan paralisis yang berkembang ke atas tubuh. Kegawatan yang dapat terjadi yaitu gangguan pernapasan dan kardiovaskuler serta dalam waktu lama dapat mengganggu fungsi ginjal dan organ-organ tubuh lainnya. Perawat perlu memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas kepada klein yang mengalami kegawatdaruratan neurologi sehingga masalah kesehatan klien dapat teratasi dengan baik dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan status kesehatan klien.



Q. Saran 1.



Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan institusi dapat memberikan tambahan literatur tentang asuhan keperawatan kegawatdaruratan neurosensori dengan Guillain Barre Syndrom, baik dari konsep maupun asuhan keperawatan yang harus diberikan, sehingga dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa dan update



ilmu pengetahuan. 2. Bagi Tenaga Kesehatan Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk mendapatkan hasil maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi. 3. Bagi Mahasiswa Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan kegawatdaruratan neurosensori dengan Guillain Barre Syndrom sehingga dapat menerapkannya pada praktik klinik keperawatan di kemudian hari.



37



DAFTAR PUSTAKA Carpenito, L. J. (2010). Buku saku diagnosis keperawatan edisi 13. Jakarta: EGC. Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2012). Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC. Hu, M., Chen, C., Lin, K., Wang, H., Hsia, S., Chou, M., … Wu, C. (2012). Risk Factors of Respiratory Failure in Children with ´ Syndrome. Pediatrics and Neonatology, 53(5), 295–299. https://doi.org/10.1016/j.pedneo.2012.07.003 Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahren. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Edisi 9. Jakarta: EGC, 2011. Nandar, S. (2013). Sindroma Guillain-Barre dalam Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II Neurologi. Malang: PT Danar Wijaya. Muttaqin, A. (2008). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Rahayu, T. (2013). Mengenal Guillain Barre Syndrome (GBS). Retrieved from https://journal.uny.ac.id/index.php/wuny/article/download/3525/pdf



38