Kelas B - Planktonologi - Zooplankton [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Makalah Jenis Zooplanton (Copepoda/Oithona Sp) Makalah Ini Kami Buat Untuk Memenuhi Tugas Dari Mata Kuliah Planktonologi Dosen Pengampuh : Dr. Ir. Yuniarti Koniyo, Mp.



Disusun Oleh Kelompok 2 (Kelas B):



Dwiki Fahrul S. Daud (1111419033)



Dela Puspita Buhang (1111419023)



Indrawan Abbas (1111419035)



Winarsi Maspeke (1111419034)



Alun Sinto (1111419032)



Relita (1111419022)



Moh. Rivai Putra Nagaring (1111419036)



Tantriyamita Aliu (1111419029)



Irwanto Karikan (1111419025)



Siti Amelia Gumohung(1111419024)



Bandung Arisandi (1111419037)



Sri Nolvingki Panju (1111419038)



Haris Liputo (1111419030) Muh. Ilham Bumulo (1111419040) Vicy Villerg R. Gultom (1111419031)



BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2020



KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti. Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Planktonologi diprogram studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, di Universitas Negeri Gorontalo. Selanjutnya, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ir. Yuniarti Koniyo, Mp. selaku dosen pembimbing mata kuliah Planktonologi. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini dan berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Gorontalo, 8 Oktober 2020



Penulis



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Identifikasi Masalah C. Pembatasan Masalah D. Perumusan Masalah E. Tujuan BAB II PEMBAHASAN A. Biologi Oithona sp. B. Ekologi Oithona sp. C. Manfaat Oithona sp. D. Teknik Budidaya Oithona sp. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA



i ii 1 1 3 4 4 4 5 5 10 12 13 18 18 18



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zooplankton adalah rantai terbesar dan paling penting dalam tramnsportasi energi di dalam lingkungan laut mulai dari organisme autotrof seperti diatom dan flagellata fotosintesis sampai ke predator seperti anjing laut, tua, hiu, dan paus. Distribusinya yang sangat luar dari 0 meter sampai dasar lautan yang terdalam, tanpa memperdulikan faktor cahaya, suhu, arus, dan ketersediaan makanan. Hidup juga diperairan tawar, sungai-sungai, kolam, dan di lumut-lumut. Dalam hal ketersediaan makanan si kecil ini mampu mengonsumsi ampas dan sisa kotoran dari makhluk lain, karena bersifat detritus. Sifat inilah yang menjadikan copepoda seperti dua sisi mata uang yaitu sebagai sumber nutrisi yang kaya asam lemak esensial karena memangsa lebih banyak diatom.(Jiang et al., 2004;Nybakken, 1997) dan juga sebagai penghambat perkembangan amoniak (Kiorboe,2000). Copepoda merupakan zooplankton yang selalu bermigrasi, baik secara vertikal maupun horizontal (Nugraha et al.,2007). Copepoda merupakan kelompok terbesar crustacea (Leviton, 2001), sehingga dalam jumlah dan biomassa mereka melebihi suatu kelompok zooplankton. Sub class copepod terdiri atas 10 ordo (Platycopoda, Calanoida, Misophrioida, Harpacticoida, Gelyeiloida, Mormonillioda, Monstrilloida, Cyclopoida, Poecilotomatoida, Siphonostomaloida) (Mauchline,1998). Dua ordo pelagik yang terpenting adalah Calanoida dan Cyclopoida dengan jumalh sekitar 2.200 spesies termasuk di dalamnya spesies air tawar dan air asin dan 25% lainnya hidup di air tawar (Huy & Boxshall, 1991). Copepoda mempunyai kemapuan untuk merespons pertukaran dan kepadatan jumlah makanan (fitoplanton dan diatom) di lingkungan perairan (Williamson, 1981). Ordo yang umu dibudidayakan untuk pakan larva ikan budidaya adalah colonoida, harpacticoida, dan cyclopoida.



Calanoida mempunyai banyak spesies dan mudah diidentifikasi serta mudah diisolasi dari alam. Pakan meningkatkan



alami



merupakan



pertumbuhan



pakan



larva



yang ikan



digunakan serta



untuk



menentukan



perkembangannya, karena pakan alami memiliki lemak esensial yang tidak dimiliki oleh pakan buatan. Janis pakan alami yang banyak digunakan dalam pembenihan ikan adalah zooplanton (Soelistyowati, 1978). Di alam zooplanton merupakan biota yang memiliki peranan penting dalam rantai makanan di lautan yaitu sebagai konsumen primer dan juga merupakan pakan alami bagi ikan pada fase larva (Basmi, 2002). Saat ini beberapa spesies zooplanton sudah dibudidayakan sebagai pakan larva ikan diantaranya adalah Oithona sp, dan Artemia. Oithana sp merupakan salah satu jenis zooplankton dari kelas Crustcea atau udang-udangan yang memiliki kandungan protein kalsium yang lebih tinggi dibandingkan dnegan Artemia. (Kusmiyati, dkk, 2002). Zooplankton adalah organisme hewan yang hidup melayanglayang dalam air, seluruh pergerakan hidupnya tergantung oleh arus dan merupakan salah satu tiang penopang kehidupan dalam bioekosistem laut karena plankton tersebut menduduki tingkat dasar dari rantai makanan perairan (Rumengan, 2006). Sebagian besar zooplankton merupakan herbivora, yaitu pemakan produsen (fitoplankton) dan sebagai makanan bagi ikan. Kondisinya menjadikan zooplankton sebagai agen transfer energi dan indikator keberadaan fitoplankton yang sekaligus merupakan indikator kesuburan. Meskipun demikian, tidak semua jenis dari zooplankton tersebut dapat memakan fitoplankton sehingga tidak semua jenis zooplankton dapat dijadikan sebagai indikator perairan. Kehadiran zooplankton dalam suatu perairan merupakan pengontrol bagi produksi primer fitoplankton. Perubahan lingkungan dan ketersediaan makanan pada suatu perairan akan mempengaruhi kelimpahan zooplankton. Zooplankton seperti halnya organisme lain hanya dapat hidup dan berkembang dengan baik pada kondisi perairan yang sesuai seperti perairan laut, sungai dan waduk. Apabila kondisi lingkungan sesuai



dengan kebutuhan zooplankton maka akan terjadi proses pemangsaan fitoplankton oleh zooplankton. Menurut Thoha (2004), jika kondisi lingkungan dan ketersediaan fitoplankton tidak sesuai dengan kebutuhan zooplankton maka zooplankton tidak dapat bertahan hidup dan akan mencari kondisi lingkungan yang sesuaicamera digital, gelas obyek. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air permukaan perairan Pulau Bunaken dan lugol. Larva ikan laut saat di alam mengkonsumsi nauplii copepoda sebagai pakan alami utama (Ma et al., 2013 dalam Syarifah, et al. 2015). Sebanyak



637 spesies copepoda teridentifikasi dari perairan teluk



Thailand, Malaysia-Indonesia-Filipina dan 12 diantaranya merupakan Oithona sp. (Syarifah, et al. 2015). Kelangsungan hidup dan pertumbuhan biota perairan ditentukan oleh keberadaan copepoda. Copepoda yang tergolong ke dalam zooplankton adalah nama umum yang diberikan untuk hewan dari kelas copepoda, di bawah kelas krustasea (crustacea), filum Arthropoda. Seperti umumnya krustasea, copepoda mempunyai kulit atau kerangka luar (eksoskeleton) yang keras dari bahan kitin (chitin) (Nugraha dan Hismayasari, 2011 dalam Raza´i, et al., 2018). Kelimpahan copepoda di lautan dapat dijadikan indikator kesuburan dari laut tersebut karena copepoda cenderung hidup pada perairan dengan makrofit yang lebih bersih dengan salinitas tinggi sampai tawar. Dengan begitu, pentingnya peranan copepoda di perairan, yang merupakan penghubung antara produsen primer dengan konsumen yang lebih tinggi dalam rantai makanan di laut. Mulyadi dan Murniati (2017) dalam Raza´i, et al. (2018) menyatakan copepoda berperan penting dalam kehidupan akuatik karena berfungsi sebagai konsumen primer dan penghubung antara fitoplankton dan tingkat trofik yang lebih tinggi. Copepoda merupakan sumber pakan utama bagi semua spesies ikan pelagis. B. Identifikasi Masalah



Copepoda mulai dikembangkan beberapa tahun terakhir karena sudah diketahui zat penting yang ada didalamnya. Pengembangan copepoda dilakukan seiring diperlukannya organisme ini untuk mencukupi nutrisi larva ikan serta udang. Selain itu pengembangan copepoda juga menjadi alternatif pengganti nutrisi ikan yang sebelumnya berupa Artemia salina dan Rotifera karena harga Artemia salina yang relatif mahal dan gizinya lebih tinggi copepoda (Aliah et al., 2010). Pengembangan copepoda menemui masalah seperti tingkat kehidupan serta kepadatannya yang tergolong rendah. Penelitian sebelumnya melakukan pengembangan copepoda dengan jenis nutrisi yang diberikan berbeda tanpa melakukan modifikasi lingkungannya. Lingkungan menjadi faktor penting dalam mendukung kehidupan copepoda. Salah satu parameter lingkungan yang sangat penting adalah salinitas. Salinitas menjadi parameter yang mampu mendukung kelangsungan hidup dan perkembangan copepoda. Hal ini sessuai dengan Beyrent-Dur et al., (2011) yang menjelaskan bahwa nilai salinitas merupakan salah satu faktor yang menentukan tingginya kelangsungan hidup copepoda. Maka dari itu perlunya mengetahui nilai salinitas yang mampu mendukung kelangsungan hidup copepoda secara optimal. C. Pembatasan Masalah 1. Mengetahui klasifikasi serta morfologi copepoda Oithona sp. 2. Memberikan pemahaman mengenai copepoda Oithona sp. 3. Mengetahui manfaat dari copepoda Oithona sp. 4. Mengetahui teknik budidaya copepoda Oithona sp. D. Perumusan Masalah 1. Bagaimana klasifikasi serta morfologi copepoda Oithona sp.? 2. Bagaimana ekologi dari copepoda Oithona sp.? 3. Apa saja manfaat dari copepoda Oithona sp.? 4. Bagaimana teknik budidaya copepoda Oithona sp.? E. Tujuan Tujuan pembuatan makalah ini agar dapat memberikan manfaat bagi para pembaca/mahasiswa dalam mengembangkan pengetahuan dan



wawasan mengenai plankton beserta spesiesnya untuk dijadikan sebagai pakan alami yang kami ambil yakni Copepoda Oithona sp.



BAB II PEMBAHASAN A. Biologi Oithona sp. Copepoda pada dasarnya adalah udang berukuran mikroskopik yang menjadi rantai pakan alami yang penting di perairan bebas (marine food web) (Rhodes, 2000) mulai dari perairan pantai hingga perairan dalam, dari daerah tropis hingga perairan dingin di kutub. Di samping untuk kepentingan akuakultur, penelitian pada copepoda juga sangat bermanfaat untuk memahami pola siklus karbon dan material fluxes pada semua bentuk perairan, yang dapat bermanfaat sebagai indikator-indikator penting dari terjadinya perubahan massa air hingga perubahan iklim (Razouls et al., 2005; 2009). Copepoda termasuk kelompok udang “entomostracan” ditandai dengan ukuran yang kecil, memiliki tubuh yang terdiri atas kepala (head), dada (thorax), dan perut (abdomen); kepala dan dada menyatu secara halus membentuk tubuh bagian depan (formamain); dan memiliki mata yang sederhana di tengah (median or nauplius eye). Copepoda merupakan salah satu jenis zooplankton yang banyak terdapat di perairan laut maupun air tawar dan populasi copepoda biasanya terdiri atas 50%—80% dari jumlah total zooplankton yang memangsa lebih banyak diatom dibandingkan zooplankton jenis lain sehingga merupakan salah satu komponen penting dalam rantai makanan (Nybakken, 1992). Dalam siklus rantai makanan, mereka terletak antara produsen primer seperti diatom dan ikan kecil seperti teri dan tembang (Romimohtarto & Juwana, 2001). Copepoda dapat di golongkan dalam empat ordo yaitu Calanoida, Cyclopoida, Harpacticoida, dan Monstrillidae (Yamaji, 1986). Di antara keempat ordo copepoda, Calanoida termasuk spesies yang berperan penting dalam rantai makanan di laut karena



jumlahnya



berlimpah,



kosmopolit,



distribusi



merata



sehingga



menjadikannya sebagai salah satu rantai makanan utama bagi binatang laut. Calanoida terdiri atas 43 famili dengan sekitar 2.000 spesies (Boltovskoy et al., 1999). Di perairan laut, Calanoida sangat penting mulai bagi protozoa yang berukuran sangat kecil sampai ikan besar dan bahkan bagi beberapa jenis ikan paus. Pada banyak jenis ikan komersial dan non komersial dan juga krustasea menjadikan copepoda sebagai sumber makanan alami utama selama tahap larva (Bradford-Grieve, 2002). Oithona sp. merupakan copepoda yang mendiami hampir di seluruh perairan Indonesia, karenanya Oithona sp. sangat mudah diisolasi dan di koleksi. Saat ini Oithona sp. termasuk jenis copepoda yang digunakan sebagai pakan hidup penyelang, walaupun keberadaannya sering digantikan oleh pakan buatan impor yang harganya cukup mahal karena kegiatan kultur massalnya sering gagal yang dilakukan. Karakterisasi biologi reproduksi Oithona sp. yang terdapat di perairan Indonesia belum banyak dilaporkan, padahal data ini sangat penting untuk keberhasilan melakukan kultur massalnya. Oithona sp. merupakan zooplankton yang diklasifikasikan ke dalam: Phylum: Arthropoda, Kelas: Crustacea, Sub Kelas: Copepoda, Ordo: Eucopepoda, Sub Ordo: Cyclopoida, Famili: Cyclopoidae, Genus: Oithona (Pratt dalam Anonim, 2004 dalam Aliah, et al., 2010). Tubuh Oithona sp. tersusun atas dua bagian besar yaitu metasoma dan urosoma (Gambar1). Bagian metasoma merupakan bagian anterior yang terdiri dari kepala, dada, dan anggota badan. Pada bagian ini terletak bagian-bagian penting tubuh seperti antena, bagian mulut, dan kaki renang.



Bagian



urosoma merupakan bagian posterior tubuh yang terdiri dari segmen genital, segmen abdominal dan cabang ekor (Ratu S. A. dkk., 2010).



Larva Oithona sp. yang baru menetas disebut nauplii yang berukuran sangat kecil dan memiliki tiga anggota badan yaitu antena pertama, antena kedua dan mandibula (Gambar 2 A). Individu Oithona sp. menjadi individu dewasa setelah melalui 6 tahapan nauplii dan 5 tahapan copepodit. Pertumbuhan dan perkembangan Oithona sp. dari telur sampai dewasa memerlukan waktu antara 7-14 hari. Stadia



nauplii



Oithona sp. berlangsung dari hari pertama sampai hari ke lima. Pada hari ke lima dapat dijumpai pula Oithona sp. yang telah memasuki stadia copepodit (Gambar 2 B) (Ratu S. A. dkk., 2010).



Jenis kelamin Oithona sudah dapat diidentifikasi pada hari ke tujuh atau delapan, yaitu pada saat memasuki tahap copepodit V. Pada saat itu individu jantan dan betina sudah mengalami penyempurnaan segmen genitalnya.



Pada individu jantan muncul pseudocella yaitu duri pada



ujung antena dan dua persendian pada ruas-ruas antenanya, sedangkan hal tersebut tidak terdapat pada individu betina. Individu jantan memiliki segmen genital berbentuk ramping dan pada kedua sisi dari ujung segmen



genitalnya berduri, sedangkan individu betina memiliki segmen genital berbentuk oval/lonjong tanpa duri. Individu jantan memiliki ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan dengan individu betinanya (Tabel 1) (Ratu S. A. dkk., 2010).



Oithona sp. berkembang biak secara seksual yaitu keturunan atau individu baru dihasilkan melalui proses perkawinan antara individu jantan dan



betina.



Belum



teramati



adanya



perkembang



biakan



secara



parthenogenesis. Oithona sp. dewasa siap untuk berkembang biak pada saat mencapai stadia copepodit dewasa yaitu mulai hari ke-6 atau ke-7. Kopulasi dilakukan untuk menyalurkan spermatophora ke dalam lubang reseptakel betina. Setelah kopulasi berakhir, sperma akan membuahi telur yang telah berada dalam saluran telur individu betinanya. Telur yang telah dibuahi akan keluar secara berangsur-angsur dari saluran telur memenuhi seluruh kantung telur. Individu betina Oithona sp. memiliki sepasang kantung telur masing-masing disebelah kiri dan kanan tubuhnya (Gambar 3), setiap kantung telur berisi 6-15 butir telur dengan rata-rata 10,70-11,10 butir (Ratu S. A. dkk., 2010).



Telur Oithona sp. berbentuk oval, diameter terpanjangnya berukuran 96,93 ± 5,35 µm dan diameter terpendeknya berukuran 88,22 ± 6,42 µm. Telur Oithona sp. akan menetas setelah 24-36 jam, kemudian menjadi nauplii (Ratu S. A. dkk., 2010). Pengamatan terhadap 38 ekor individu betina Oithona sp. menunjukkan bahwa



satu ekor induk betina Oithona sp. dapat



menghasilkan 8 sampai 22 ekor nauplii dengan rata-rata 14,39 ± 3,62 ekor. Pengamatan juga dilakukan terhadap sintasan (SR) anakannya sampai hari ke sembilan. Sintasan (SR) nauplii sampai mencapai stadia copepodit dewasa (hari ke sembilan) pada 18 individu betina berkisar antara 54,55 % sampai dengan 100% dengan rata-rata 92,83 ± 11,51 % (Tabel 2). Pada hari ke sembilan juga diamati ratio jantan dan betinanya. Dari 18 individu yang diamati, dua individu mempunyai anakan dengan jumlah individu jantan lebih banyak daripada jumlah individu betinanya, sedangkan 17 individu lainnya memilik anakan dengan jumlah individu betina yang lebih banyak dari individu jantannya (Tabel 2) (Ratu S. A. dkk., 2010).



Panjang dan lebar tubuh Oithona sp. sejak satu hari setelah menetas sampai hari ke sebelas diamati untuk mengetahui pertumbuhan hariannya (Gambar 4). Pada hari pertama setelah menetas panjang dan lebar rata-rata tubuh Oithona sp. masing-masing adalah 132,41 ± 1,46 µm dan 96,10 ± 4,00 µm. Pada hari ke enam Oithona sp. sudah mencapai fase copepodit dewasa dengan panjang, panjang total (termasuk antenna), dan lebar rata-rata berturut-turut adalah 310,54 ± 57,72 µm, 422,78 ± 47,05 µm dan 161,60 ± 16,44 µm. Pada hari ke sebelas panjang, panjang total (termasuk antenna), dan lebar rata-rata tubuh Oithona sp. dewasa mencapai 466,06 ± 42,66 µm, 804,96 ± 78,37 µm dan 253,92 ± 18,77 µm (Ratu S. A. dkk., 2010).



B. Ekologi Oithona sp. Menurut



Arinardi



(1997)



kelimpahan



zooplankton



sangat



tergantung pada kelimpahan fitoplankton, karena fitoplankton adalah makanan bagi zooplankton, dengan demikian kelimpahan zooplankton akan tinggi di perairan yang tinggi kandungan fitoplanktonnya. Selain dipengaruhi ketersediaan makanan (fitoplakton), kelimpahan zooplankton sangat erat kaitannya dengan perubahan lingkungan perairan baik fisik, kimia dan biologis (Wibowo et al., 2004; Aji et al., 2014; Agusta, 2014; Raza’i, 2017). Zooplankton hanya dapat hidup dan berkembang dengan baik pada kondisi perairan yang sesuai. Apabila kondisi lingkungan sesuai, maka zooplankton akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Begitu pula sebaliknya, jika kondisi lingkungan dan ketersediaan fitoplankton tidak sesuai dengan kebutuhan zooplankton, maka zooplankton tidak dapat bertahan hidup dan akan mencari kondisi lingkungan yang sesuai. Kondisi lingkungan yang sesuai bagi zooplankton dapat ditemukan pada perairan yang tidak mendapat tekanan ekologis dari daratan ataupun dari perairan itu sendiri. Kondisi perairan seperti itu sangat dipengaruhi oleh berbagai aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, baik kegiatan yang dilakukan di daratan maupun kegiatan pada perairan bersangkutan. Oithona sp. merupakan zooplankton yang sering ditemukan didaerah tropis dalam perairan tawar maupun perairan laut. Bagian tubuh Oithona sp. terdiri dari dua bagian yaitu urosoma dan metasoma. Oithona sp. dapat dijumpai pada daerah dengan iklim tropis. Hidup bebas pada perairan tawar, payau dan asin. Organisme ini juga ditemukan pada daerah



pasang surut serta sedimen dasar perairan. Mikroorganisme ini mempunyai peluang untuk dimurnikan dan kemudian dikembangkan sebagai sumber nutrisi larva ikan. Oithona sp. bisa ditemukan hampir di seluruh ekosistem aquatik Indonesia. Copepoda sangat mudah dijumpai pada ekosistem perairan yang keberadaanya dipengaruhi perubahan musim dan lingkungan (Nybakken, 1992). Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Oithona sp. Adalah Salinitas, salinitas merupakan kandungan ion-ion mineral didalam perairan (Wetzel, 1983). Andrews et al., (2003) menjelaskan bahwa salinitas mengalami kenaikan dan penurunan seiring adanya penguapan dan



hujan.



Salinitas



yang



tidak



optimal



akan



mempengaruhi



perkembangan organisme. Odum (1993) menjelaskan bahwa salinitas yang terlalu



tinggi



dapat



menimbulkan



kematian



bagi



zooplankton.



Perkembangan zooplankton dalam air laut akan optimal jika salinitasnya 28- 34 ppt (Santhanam dan Perumal, 2011). Copepoda mampu mentolerir lingkungan dengan salinitas 15-70 ppt (Nugraha dan Hismayasari, 2011). Kualitas air merupakan unsur yang sangat penting dalam mendukung kelangsungan hidup organisme. Apabila salah satu parameter air tidak sesuai dengan kebutuhan organisme maka pertumbuhannya tidak akan optimal. Salinitas merupakan salah satu unsur parameter air yang sangat penting untuk kehidupan organisme laut khususnya copepoda. Salinitas berperan dalam osmoregulasi biota air laut. Namun belum diketahui salinitas yang mampu mendukung pertumbuhan copepoda secara optimal. C. Manfaat Oithona sp. Pemanfaatan



copepoda



sebagai



pakan



alami



memberikan



keuntungan bagi biota laut yang dibudidayakan karena ukuran yang sesuai dan nutrisi yang baik (Zuinuri et al.,2003). Endrawati et al., (2000) mendapatkan bahwa keanekaragaman jenis copepoda yang tinggi memberikan alternatif bagi biota laut untuk mengonsumsi sesuai dengan kebutuhan dan proses metabolisme tubuh. Keuntungan copepoda sebagai pakan alami juga disebabkan oleh kemudahan kultivasinya secara massal dan siklus hidupnya yang relatif pendek (5-12 hari) (Bamstedt et al.,2000).



Thariq et al. (2000) menjelaskan bahwa keberhasilan kultivasi copepoda akan bergantung kepada siklus hidupnya dan jenis pakan yang sesuai. Ditambahkan oleh Anindiastuti et al. (2002) bahwa kultivais massal copepoda sangat dipengaruhi oleh strategi pemberian jenis pakan yang sesuai dengan siklus hidupnya. Oleh karena itu Nielsen (2000) menjelaskan bahwa pengetahuan tentang tingkah laku pemangsaan, kebiasaan makan, periode makan, dan jenis-jenis fitoplankton yang sesuai dengan siklus biologi copepoda sangat dibutuhkan utnuk menunjang kultivasi biota tersebut. Sebagai pakan hidup, copepoda dapat merupakan pakan penyelang antara rotifera dan Artemia atau sebagai subtitusi atau komplemen dari Artemia, tetapi sampai saat ini keberadaannya belum dimnafaatkan secara optimal. Padahal kandungan protein copepoda (Oithona sp) ini tidak kalah dengan Artemia, bahkan memiliki kandungan kalsium yang lebih tinggi dari Artemia (Kusmiyati dkk., 2002). Toledo et al. (1999) dalam Ratu S. A. dkk. (2010) melaporkan walaupun kandungan EPA (Eicosapentaenoic Acid) (asam lemak esensial) pada copepoda dan rotifera hampir sama yaitu masing-masing 9,25% area dan 8,26% area, tetapi kandungan DHA (Docosahexaenoic Acid) nya jauh lebih besar dari rotifera, yaitu masingmasing 24,41% area dan 0,17% area, sehingga nilai DHA/EPA pada copepoda lebih tinggi dari rotifera. Tingginya nilai DHA/EPA akan menghasilkan



perbaikan



pertumbuhan,



kelangsungan



hidup



dan



mengurangi terjadinya abnormalitas pada larva. Copepoda juga diketahui mengandung zat immunostimulan,



attractants serta beberapa enzim



pencernaan penting. D. Teknik Budidaya Oithona sp. Pakan meningkatkan



alami



merupakan



pertumbuhan



pakan



larva



yang ikan



digunakan serta



untuk



menentukan



perkembangannya, karena pakan alami memiliki lemak esensial yang tidak dimiliki oleh pakan buatan. Jenis pakan alami yang banyak digunakan dalam pembenihan ikan adalah zooplankton (Soelistyowati, 1978 dalam Agung Munandar, dkk., 2016). Di alam zooplankton merupakan biota yang



memiliki peranan penting dalam rantai makanan di lautan yaitu sebagai konsumen primer dan juga merupakan pakan alami bagi ikan pada fase larva (Basmi, 2002 dalam Agung Munandar, dkk., 2016). Saat ini beberapa spesies zooplankton sudah dibudidayakan sebagai pakan larva ikan diantaranya adalah Oithona sp. dan Artemia.



Harga Artemia sebagai



pakan alami larva ikan dan udang relatif mahal, sehingga Oithona sp. menjadi pakan alami alternatif karena harganya relatif murah. Oithona sp. merupakan salah satu jenis zooplankton dari kelas Crustacea atau udangudangan yang memiliki kandungan protein dan kalsium yang lebih tinggi dibandingkan dengan Artemia (Kusmiyati dkk., 2002 dalam Agung Munandar, dkk., 2016). Oithona sp. merupakan copepoda yang sangat mudah untuk diisolasi dan dikoleksi namun masih sering mengalami kegagalan dalam kultur masalnya dan belum banyak dimanfaatkan untuk pakan udang dan ikan. Salah satunya karena masih kurang optimal media kultur yang digunakan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkayaan media kultur guna meningkatkan produksi Oithona sp. baik kualitas dan kuantitasnya (Chilmawati dan Suminto, 2017). Pengkayaan merupakan salah satu input dalam sistem budidaya pakan alami yang harus diperhatikan susunannya. Bila susunan tidak tepat, akan menyebabkan kekurangan nutrisi atau bahkan malah kelebihan zatzat yang justru berbahaya (Chilmawati dan Suminto, 2017). Pemberian pakan organik yang difermentasi selain fitoplankton dapat digunakan untuk meningkatkan nilai nutrisi pakan pada media kultur Oithona sp. (Chilmawati dan Suminto, 2017). Menurut Fitria (2011) dalam Chilmawati dan Suminto, 2017, bahwa dalam fermentasi terjadi proses yang dapat menghilangkan bau, meningkatkan daya cerna, dan menghilangkan daya racun yang terdapat pada bahan baku mentahnya. Penggunaan sel fitoplankton untuk kultur masal Oithona sp. dengan menggunakan yaitu C. calcitrans (Chilmawati and Suminto, 2016 dalam Chilmawati dan Suminto, 2017), yang merupakan jenis fitoplankton yang banyak digunakan dalam pembenihan organisme laut di hampir semua hatchery sebagai pakan yang langsung diberikan pada benih ikan atau udang



maupun sebagai tidak langsung dengan diberikan ke zooplankton terlebih dahulu yang selanjutnya zooplankton diberikan sebagai pakan pada benih ikan atau udang (Chilmawati dan Suminto, 2010 dalam Chilmawati dan Suminto, 2017). Perlu ada pengganti Artemia impor mengingat permintaan Artemia impor dari seluruh penjuru dunia akan meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi budidaya perikanan laut terutama udang, sedangkan stok Artemia di alam terbatas. Perlu ada pemanfaatan sumber daya pakan alami dari perairan Indonesia sebagai pakan alami pengganti Artemia impor yang secara jelas harganya tidaklah murah. Di negara lain seperti Jepang, Korea, India, dan Norwegia sudah mulai mengkaji pengembangan budidaya copepoda skala massal untuk menggantikan posisi Artemia impor sekaligus rotifer. Beberapa kajian menyatakan bahwa copepoda dapat digunakan sebagai pengganti Artemia impor dalam pembenihan kultivan laut. Copepoda memenuhi kualifikasi sebagai pakan alami yang baik dan memiliki keunggulan dibanding Artemia impor dalam kandungan nutrisinya. Kandungan EPA, DHA dan omega 3 copepoda memiliki angka lebih tinggi dibandingkan Artemia (Olivotto et al., 2010 dalam Lestari, et al., 2018). Kandungan



nutrisi



tersebut



penting



dalam



mendukung



pertumbuhan larva kultivan laut termasuk udang dan meningkatkan kualitas serta kuantitas benih termasuk menjaga daya tahan stres, sehingga bisa memenuhi permintaan benih untuk pembesaran. Kajian untuk kultur massal berbagai jenis copepoda seperti Acartia tonsa, Trigriopus sp., dan Oithona sp. sudah banyak dilakukan.



Penelitian Oithona sp. sebagai



pakan alami dibandingkan dengan Artemia dan rotifer atau dengan copepoda jenis lain pada larva ikan laut juga sudah dilakukan. Beberapa diantaranya menunjukkan peningkatan pada masing-masing kandungan eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) kerapu bebek (Cromileptes altivelis) (Aliah et al., 2010 dalam Lestari, et al., 2018).



Dalam proses budidaya, dilakukan upaya untuk meningkatkan pertumbuhan Oithona sp. agar kepadatan populasi juga meningkat. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Oithona sp. adalah ketersediaan pakannya antara lain mikroalga (Anindiastuti dkk, 2002 dalam Agung Munandar, 2016). Pakan yang dibutuhkan Oithona sp. harus mempunyai nilai gizi yang tinggi sehingga kualitas Oithona sp. yang dihasilkan pun bergizi tinggi (Agung Munandar, 2016). Mikroalga yang saat ini digunakan sebagai pakan alami Oithona sp. diataranya Nannochloropsis sp. dan Isochrysis sp., kedua mikroalga ini memiliki kandungan nutrisi yang di butuhkan bagi zooplankton. Nannochloropsis sp. memiliki nutrisi protein 52,11%, karbohidrat 16,00%, lemak 27,65%, dan vitamin C 0,85% (Fulks dan Main, 1991 dalam Agung Munandar, 2016). Sedangkan kandungan nutrisi Isochrysis sp. adalah protein 31%, karbohidrat 10%, lemak 18%, dan mineral 12% (Nancy dan John 1990 dalam Agung Munandar, 2016). Oithona sp. dikultur dalam wadah berupa tabung kaca atau toples bervolume 3 liter, yang telah diisi dengan air laut sebanyak 1 liter dengan salinitas 25 ppt. Dalam kultur Oithona sp., bibit yang digunakan adalah induk Oithona sp. Pemilihan induk Oithona sp. dilakukan dengan cara menyaring hewan uji menggunakan plankton net 300 µm, lalu dipilih langsung dengan menggunakan cawan perti dan pipet tetes Induk Oithona sp. yang telah dipilih tersebut dimasukkan kedalam wadah kultur dengan kepadatan 100 ind/L. Pemeliharaan Oithona sp. dilakukan selama 14 hari. Pada awal pemeliharaan, Oithona sp. diberi makan pakan alami, pakan fermentasi dan pakan kombinasi sebanyak 1 ml per 100 individu sebanyak satu kali dalam sehari (Arumwulan, 2007). Kultur Oithona sp. dilakukan pada toples yang bervolume 3 liter dengan diisi media uji 2 liter. Indukan Oithona sp. didapatkan dari kultur stok murni yang telah dilakukan sebelumnya. Kemudian hewan uji berupa Oithona sp. dewasa dimasukkan pada toples yang sudah terisi dengan air dengan kepadatan 1 ind/ml dan diberikan aerasi yang sama pada setiap toples sebagai sumber oksigen (Afifah et al., 2015). Selanjutnya pemberian



pakan berupa ragi diberikan dengan tujuan meminimalisir perubahan salinitas. Ragi digunakan sebagai pakan karena penerapannya yang relatif mudah, ketersediaan dipasar relatif stabil dan dapat disimpan dalam rentang waktu relatif lama (Dhert, 1996). Pemberian pakan dilakukan setiap hari setelah menghitung kepadatan setiap toples. Lee et al., (2006) menjelaskan bahwa kebutuhan pakan Oithona sp. dalam jumlah kering yaitu sebesar 0.01mg/individu. Pemeliharaan hewan uji dilakukan selama 14 hari hal ini sesuai dengan Aliah et al. (2010) bahwa umur Oithona sp. dari telur sampai dewasa hanya memerlukan waktu selama 14-15 hari. Selama proses pemeliharaan semua kondisi dibuat homogen baik dari suhu air, pH, besarnya aerasi, jumlah pakan dan DO. Dengan kondisi lingkungan yang dibuat sama maka yang mempengaruhi kepadatan Oithona sp. Monokultur Oithona sp. Dapat dilakukan di laboratorium dalam wadah berukuran 1 L, 50-70% nya diisi dengan air laut steril, diaerasi dan diberi penerangan lampu TL. Bibit Oithona sp. ditebar dalam media dengan kepadatan 50-100 ekor induk betina per Liter media. Untuk makanan Oithona sp. ditambahkan fitoplankton Chaetoceros sp. dengan dosis 5-8 x 104 sel/mL. Untuk menumbuhkan fitoplankton dalam media kultur tersebut ditambahkan kotoran ayam hasil fermentasi sebanyak 1 mL/L dan vit B12, 2 tetes/L/hari. Oithona sp. dipanen pada hari ke 10 sampai ke 14. Kepadatannya masih rendah, berkisar antara 1960 ekor sampai 3440 ekor/L. Saat panen, struktur populasi Oithona sp. terdiri dari : 71,24-88,46% copepodit, 3,85-6,54% nauplii, dan 7,69-22,22% induk. Kultur Oithona sp. skala



massal dilakukan dalam wadah fiberglass



berukuran 2 ton. Pengamatan terhadap kepadatan Oithona sp. dalam kultur massal dilakukan pada 3 buah bak kapasitas 2 ton di ruang terbuka. Bibit Oithona sp. ditebar dengan kepadatan 1000 ekor/L. Fitoplankton Chaetoceros sp. ditebar 10.000 sel/ml dan pakan tambahan berupa cairan hasil fermentasi dedak, kotoran ayam, tepung beras, bakteri, molase dan air laut steril sebanyak ±1 liter. Penggantian air media setiap 3 hari sekali sekitar 30%. Pengukuran kualitas air dilakukan setiap 4 hari sekali.



Setelah 2 minngu, kepadatan Oithona sp. menjadi 5.987-6.980 ekor/ L, sehingga perlu dipindahkan ke dalam wadah yang lebih besar. Parameter kualitas air pada media kultur Oithona sp. yang diamati adalah nitrit (ppm), amoniak (ppm) , H2S (ppm), DO (ppm), salinitas (ppt) dan suhu (°C). Kandungan nitrit dan amoniak selama pemeliharaan Oithona sp. pada semua wadah ada kecenderungan meningkat, namun masih dalam batas yang normal untuk mendukung kehidupan organisme ikan laut. Kandungan H2S, DO, dan suhu relatif stabil. Salinitas pada saat penebaran adalah 26 ppt, sedangkan salinitas akhirnya mencapai 28 ppt. Khusus untuk pengamatan suhu dilakukan setiap hari. Kisaran suhu selama kultur Oithana sp. berlangsung adalah 28,5 – 30,5°C (suhu awal 29 °C).



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan materi di atas, dapat disimpulkan bahwa Oithona sp. merupakan copepoda yang mendiami hampir diseluruh perairan Indonesia, karenanya Oithona sp. sangat mudah diisolasi dan di koleksi. Oithona sp. merupakan zooplankton yang diklasifikasikan ke dalam: Phylum: Arthropoda, Kelas: Crustacea, Sub Kelas: Copepoda, Ordo: Eucopepoda, Sub Ordo: Cyclopoida, Famili: Cyclopoidae, Genus: Oithona (Pratt dalam



Anonim, 2004 dalam Aliah, et al., 2010). Tubuh Oithona sp. tersusun atas dua bagian besar yaitu metasoma dan urosoma. Larva Oithona sp. yang baru menetas disebut nauplii. Individu Oithona sp. menjadi individu dewasa setelah melalui 6 tahapan nauplii dan 5 tahapan copepodit. Pertumbuhan dan perkembangan Oithona sp. dari telur sampai dewasa memerlukan waktu antara 7-14 hari. Jenis kelamin Oithona sudah dapat diidentifikasi pada hari ke tujuh atau delapan. Oithona sp. berkembang biak secara seksual. Telur Oithona sp. berbentuk oval dan akan menetas setelah 24-36 jam, kemudian menjadi nauplii. Oithona sp. bisa ditemukan hampir di seluruh ekosistem aquatik Indonesia. Copepoda sangat mudah dijumpai pada ekosistem perairan yang keberadaanya dipengaruhi perubahan musim dan lingkungan. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Oithona sp. Adalah Salinitas. Oithona sp. memiliki manfaat untuk perbaikan pertumbuhan, kelangsungan hidup dan mengurangi terjadinya abnormalitas pada larva. Copepoda juga diketahui mengandung zat immunostimulan, attractants serta beberapa enzim pencernaan penting. Oithona sp. dikultur dalam wadah berupa tabung kaca atau toples bervolume 3 liter dan juga dapat dilakukan monokultur di laboratorium dalam wadah berukuran 1 L. B. Saran Oithona sp. memiliki manfaat yang cukup besar untuk mendukung usaha/kegiatan budidaya ikan maupun udang. Spesies ini memiliki nutrient yang sangat melimpah untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan ikan/udang. Namun, dalam pemanfaatannya masih kurang maksimal dikarenakan masih sulitnya untuk membudidayakan spesies ini. Sehingga saran kami agar dapat memanfaatkan serta membudidayakan zooplankton ini sebagai pakan secara maksimal.



DAFTAR PUSTAKA Aliah, Ratu Siti, dkk. 2010. Pemanfaatan Copepoda Oithona sp. Sebagai Pakan Hidup Larva Ikan Kerapu. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 12(1):45-52. Chilmawati, Diana dan Suminto. 2017. Performa Pertumbuhan Oithona sp. Pada Kultur Massal Dengan Pemberian Kombinasi Pakan Sel Fitoplankton dan Oorganik yang Difermentasi. Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan ke-VI Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – Pusat Kajian Mitigasi Bencana dan Rehabilitasi Pesisir, Undip.



Eldy, W. Febrya, dkk. 2014. Laju Pertumbuhan Oithona sp. dengan Menggunakan Pakan Fermentasi dan Kombinasi Pakan Alami pada Skala Laboratorium. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian. Lampung. Imanto, Philip Teguh dan Gede Suwarthama Sumiarsa. 2010. Keragaan Copepoda Cyclopoida: Apocyclops sp. pada Kondisi Kultur. Jurnal Riset Akuakultur, 5(3):363-372. Junaidi, Muhammad, dkk. 2018. Struktur Komunitas Zooplankton di Perairan Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal Biologi Tropis, 18(2):159-169. Kusmeri, Lusi dan Dewi Rosanti. 2015. Struktur Komunitas Zooplankton Di Danau Opi Jakabaring Palembang. Sainmatika, 12(1):7-17. Lestari, Indah, dkk. 2018. Penggunaan Copepoda, Oithona sp. Sebagai Subtitusi Artemia Sp., Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Larva Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei). Journal of Aquaculture Management and Technology, 7(1):90-98. Munandar, Agung, dkk. 2016. Laju Pertumbuhan Oithona sp. yang Diberi Pakan Alami Nannochloropsis sp., Isochrysis sp., dan Kombinasinya. Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati, 3(2):1-6. Novianto, Aris dan Makhfud Efendy. 2020. Analisis Kepadatan Copepoda (Oithona sp.) Berdasarkan Perbedaan Salinitas (Studi Khusus: Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta). Juvenil, 1(1):87-96. Nugraha, Media Fitri Isma dan Intanurfemi Bacandra Hismayasari. 2011. Copepoda: Sumbu Kelangsungan Biota Akuatik dan Kontribusinya Untuk Akuakultur. Media Akuakultur, 6(1):13-20. Raza’i, Tengku Said, dkk. 2018. Kelimpahan Kopepoda (Copepods) sebagai Stok Pakan Alami di Perairan Desa Pengudang, Bintan. Intek Akuakultur, 2(1):63-70. Ruga, Lisa, dkk. 2014. Identifikasi Zooplankton di Perairan Pulau Bunaken Manado. Jurnal MIPA UNSRAT Online, 3(2):84-86. Sumiarsa, Gede S. dan Media Fitri Isma Nugraha. 2009. Kelimpahan Copepoda (Ordo: Calanoida) Di Teluk Pegametan, Bali Utara. Jurnal Riset Akuakultur, 4(1):55-63.



Syarifah, Dian Hidayah,dkk. 2015. Produksi Nauplii dan Copepodit Oithona sp. yang Dikultur Dengan Perbedaan Diet Mikroalga (Chlorella vulgaris, Chaetoceros calcitrans, Dan Isochrysis galbana). Journal of Aquaculture Management and Technology, 4(3):69-74. Zainuri, Muhammad, dkk. 2008. Konsumsi Harian Copepoda Terhadap Pakan Chlorella sp. pada Volume Media Kultivasi yang Berbeda. Ilmu Kelautan, 13(3):121 – 126.