Kelompok 4 Akk-Health Policy Triangle [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas Kelompok Mata Kuliah



: Analisis Kebijakan Kesehatan



Dosen



: Prof. Dr. Amran Razak, S.E., M.Sc



HEALTH POLICY TRIANGLE AKSESIBILITAS LAYANAN KESEHATAN PADA KOMUNITAS MULTI ETNIS



Disusun Oleh: KELOMPOK 4 IRMAWATY HAERUDDIN NUR QALBI TALIB AMALIA CHAIRUNNISA FRANSISKA DWI HAPSARI MUH. RUDINI



K012202058 K012202051 K012201017 K012202064 K012201025



PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2021



SEGITIGA KEBIJAKAN KESEHATAN Segitiga kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan yang sudah sangat disederhanakan untuk suatu tatanan hubungan yang kompleks, dan segitiga ini menunjukkan kesan bahwa ke-empat faktor dapat dipertimbangkan secara terpisah. Namun tidak demikian pada kenyataannya, para pelaku dapat dipengaruhi (sebagai seorang individu atau seorang anggota suatu kelompok atau organisasi) dalam konteks dimana mereka tinggal dan bekerja; konteks dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti: ketidak-stabilan atau ideologi, dalam hal sejarah dan budaya; serta proses penyusunan kebijakan – bagaimana isu dapat menjadi suatu agenda kebijakan, dan bagaimana isu tersebut dapat berharga – dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan mereka dalam strutur kekuatan, norma dan harapan mereka sendiri. Dan isi dari kebijakan menunjukan sebagian atau seluruh bagian ini. Jadi, segitiga tersebut tidak hanya membantu dalam berpikir sistematis tentang pelaku-pelaku yang berbeda yang mungkin mempengaruhi kebijakan, tetapi juga berfungsi seperti peta yang menunjukkan jalan-jalan utama sekaligus bukit, sungai, hutan, jalan setapak dan pemukiman.







  



Actor (pelaku): istilah sementara yang digunakan untuk merujuk ke individu, organisasi atau bahkan negara, beserta tindakan mereka yang mempengaruhi kebijakan. Content (isi): subtansi dari suatu kebijakan yang memperinci bagian-bagian dalam kebijakan. Context (konteks): faktor-faktor sistematis – politik, ekonomi, sosial atau budaya, baik nasional maupun internasional – yang dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan Policy process (proses kebijakan): cara mengawali kebijakan, mengembang atau menyusun kebijakan, bernegosiasi, mengkomunikasikan , melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan.



ANALISIS SEGITIGA KEBIJAKAN AKSESBILITAS LAYANAN KESEHATAN PADA KOMUNITAS MULTI ETNIS MENUJU UNIVERSAL HEALTH COVERAGE (UHC) 1. Aktor Kebijakan Aksesibilitas Layanan Kesehatan Pada Komunitas Multi Etnis Menuju Universal Health Coverage Pelaku yang berperan dalam Kebijakan Aksesibilitas Layanan Kesehatan Pada Komunitas Multi Etnis Menuju Universal Health Coverage : 1. Pemerintah Pusat Pemerintah dalam menjalankan tugasnya, memiliki 4 (empat) fungsi utama yang harus dijalankan yakni: fungsi pelayanan masyarakat (public service function), fungsi pembangunan (development function), fungsi pemberdayaan (protection function dan (4) fungsi pengaturan. Pelayanan publik adalah salah satu hak yang harus diwujudkan pemerintah termasuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Kesehatan adalah hak dan investasi setiap warga negara berhak atas kesehatannya termasuk masyarakat miskin. Untuk itu diperlukan suatu sistem yang mengatur pelaksanaannya bagi upaya pemenuhan hak warga negara untuk tetap hidup sehat. Program BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. BPJS Pusat dan Cabang BPJS



(Badan



Penyelenggara



hukum yang dibentuk



untuk



Jaminan



Sosial)



menyelenggarakan



merupakan



program



jaminan



badan sosial.



Pengelolaan dana amanat oleh BPJS adalah nirlaba yang tujuan utamanya untuk memenuhi kepentingan peserta. Tujuan ini menjamin peserta memperoleh manfaat pemeliharan dan perlindungan dalam memenui kebutuhan kesehatan. 3. DPRD DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Memiliki akses untuk membuat program mencapai layanan kesehatan yang optimal bersama dengan pimpinan daerah.



4. Pemerintah Daerah Kota Samarinda Desentralisasi pemerintahan yang sudah dilaksanakan mulai tahun 2001 memberikan hak otonomi daerah tak terkecuali Pemeritah Daerah Kota Samarinda. Otonomi daerah ini memberikan kewenangan terhadap pemerintah daerah kota Samarinda untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat.



5. Penyedia Layanan Kesehatan Berdasarkan pasal 56 UU No. 23 tahun 1992, penyedia jasa pelayanan kesehatan yaitu balai pengobatan, pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, praktek dokter gigi, praktek dokter spesialis, praktek bidan, toko obat dan lain sebagainnya. Penyedia layanan kesehatan memberikan jasa pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk memelihara, memperbaiki, memulihkan kesehatan fisik dan jiwa seseorang. 2. Konten Kebijakan Aksesibilitas Layanan Kesehatan Pada Komunitas Multi Etnis Menuju Universal Health Coverage Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan komunitas yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Iuran penduduk yang tidak mampu dan fakir miskin dibayarkan oleh pemerintah. Pengelolaan JKN dilaksanakan oleh Badan Peneyelenggara Jaminal sosial (BPJS) Kesehatan berdasarkan Undang Undang Nomor 24 tahun 2011 bertujuan untuk mewujudkan terlaksananya pemberian jaminan, terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarnya. Ada 3 kartu jaminan kesehatan yang beredar dalam komunitas yaitu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas); Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Jamkesmas kemudian diintegrasikan kedalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang Kesehatan menggunakan dana APBN. Penduduk yang belum tercakup dalam Jamkesmas/BPJS Kesehatan, dimasukkan dalam Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi / Kabupaten/Kota. Selanjutnya, penduduk yang belum tercakup dalam Jamkesmas/BPJS Kesehatan dan Jamkesda diberikan Kartu



Indonesia Sehat (KIS). Ketiga jaminan kesehatan tersebut ditujukan bagi komunitas tidak mampu dan fakir miskin. Dalam BPJS Kesehatan kelompok komunitas tidak mampu dan fakir miskin dikenal sebagai kelompok Penerima Batuan Iuran (PBI) dimana dapat menggunakan fasilitas puskesmas dan rumah sakit kelas III. Penduduk yang mampu kepesertaannya masuk pada Non PBI sebagai peserta Mandiri dengan membayar iuran bulan sesuai kelas perawatan yang diinginkannya. 3. Konteks Kebijakan Aksesibilitas Layanan Kesehatan Pada Komunitas Multi Etnis Menuju Universal Health Coverage Dalam konteks implementasi kebijakan, keberhasilan sebuah kebijakan menurut Marille S Grindle (1980) dibagi menjadi dua bagian yaitu isi kebijakan dan lingkungan kebijakan. Dalam buku Dimensi Aksebilitas Layanan Kesehatan Komunitas Multi Etnis, kontesnya ialah faktor-faktor sistematis politik, ekonomi, sosial atau budaya, baik nasional maupun internasional yang dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Cakupan pelayanan kesehatan dalam skema JKN cukup luas, penyakit berat yang dulu tidak ditanggung oleh skema jaminan kesehatan masyarakat dan jaminan kesehatan daerah, saat ini sudah dicover oleh BPJS Kesehatan, satu kemajuan



yang



patut



diapresiasi.



Penyakit-penyakit



yang



perawatan



dan



penyembuhannya membutuhkan biaya tinggi seperti serangan jantung, stroke, kanker, cuci darah, dan lain-lain ditanggung penuh. Pun, penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan seumur hidup, seperti diabetes mellitus, hipertensi, jantung, asma, penyakit paru kronis, epilepsi, skizofrenia, sirosis hepatitis, stroke, lupus dan lain sebagainya. Kondisi sosial-ekonomi juga dapat bertindak sebagai penghalang bagi kesehatan iklan perawatan dan kesehatan. Mungkin ada gangguan komunikasi karena perbedaanstatus sosial antara pengguna dan penyedia layanan. Masalah-masalah ini memang kurang memiliki pengaruh pada persepsi pengguna terhadap penggunaan layanan yang disediakan. Adanya perbedaan status sosial antara pengguna dan penyedia layanan memungkinkan terjadinya gangguan komunikasi. Masalah ini tidak mendukung persepsi pengguna tentang penggunaan layanan yang disediakan. Kekerabatan atau ikatan persaudaraan jelas dapat memberikan bantuan secara laangsung maupun tidak langsung. Meski terkadang dukungan keluarga bisa dilihat tidak hanya secara konstruktif ketika tanggung jawab kolektif keluarga menjadi



prioritas bagi individu membutuhkan. Kekerabatan wujud dari ‘saudara seperantauan’ bagi komunitas etnis pendatang, membuka kedermawaan komunitas yang lebih kayauntukmenolong. Hal ini mudah terlihat pada organisasi sekampung misalnya Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) dimana wilayah Kalimantan Timur merupakan salah satu wilayah teraktif di Indonesia. Demikian halnya, dengan kerukunan keluarga Jawa sebagai komunitas perantau terbesar di KotaSamarinda. 4. Proses Kebijakan Aksesibilitas Layanan Kesehatan Pada Komunitas Multi Etnis Menuju Universal Health Coverage Upaya pencapaian universal coverage dilakukan dengan prioritas perluasan penduduk yang dijamin dengan layanan terbatas atau dengan porsi biaya layanan yang dijamin terbatas. Konsentrasi pertama adalah bagaimana agar semua penduduk terjamin sehingga setiap penduduk yang sakit tidak menjadi miskin karena beban biaya yang tinggi. Kedua, memperluas layanan kesehatan yang dijamin agar setiap orang dapat memenuhi kebutuhan medis (berarti semakin komprehensif paket manfaatnya) (Kementerian Kesehatan,2013). Berbagai strategi dan upaya yang akan dilakukan salah satunya melalui dukungan dan peran Pemerintah Daerah. Saat ini dukungan tersebut sudah terasa disejumlah daerah khususnya dalam upaya memperluas cakupan kepesertaan dengan memastikan bahwa seluruh penduduk di wilayah daerah tersebut telah menjadi peserta JKN-KIS atau dengan kata lain tercapainya Universal Health Coverage (UHC). Di tahun 2017, 95% atau 489 Kabupaten/Kota dari 514 Kabupaten/Kota sudah terintegrasi dalam Program JKN-KIS melalui program JKN-KIS. Tercatat 3 Provinsi (Aceh, DKI Jakarta, Gorontalo), 67 Kabupaten, dan 24 Kota sudah lebih dulu UHC di Tahun 2018, dan yang berkomitmen akan menyusul UHC lebihawal yaitu 3 Provinsi (Jambi, Jawa Barat dan Jawa Tengah) serta 59 Kabupaten dan 15 Kota. Desentralisasi pemerintahan sejak tahun 2001 semakin meningkatkan heterogenitas system kesehatan dan kesenjangan ekuitas yang makin buruk. Selain itu, beberapa kabupaten/kota di Indonesia cakupan kepesertaan JKN belum mencapai 100 persen. System Universal Health Coverage (UHC) difokuskan mengakomodasi keragaman dengan fitur implementasi yang fleksibel dan adaotif. Cakupan UHC seyogianya memastikan bahwa masyarakat memiliki akses ke pelayanan kesehatan



tanpa mengalami kesulitan keuangan dan mengurangi disparitas akses layanan kesehatan. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dalam proses penerapannya, ketersediaan dan keterjangkauan layanan kesehatan bagi komunitas multi etnis baik terhadap suku pendatang maupun suku asli sangat berkaitan dengan masalah waktu, jarak tempuh serta alat trasnportasi yang digunakan yang mana hal tersebut dapat berdampak pada ekonomi karena ada biaya transportasi yang dibutuhkan dalam mengkases pelayanan kesehatan. Selain itu, tingkat penerimaan pelayanan kesehatan oleh komunitas multi etnis sudah cukup terbuka (terlihat dari kunjungan ke fasikitas kesehatan yang relatif meningkat). Namun, masih ditemukan diskriminasi yang dirasakan oleh pasien karena menerima perlakukan yang berbeda saat menerima pelayanan kesehatan. Ketersediaan dan keterjangkauan layanan kesehatan bagi komunitas multietnis, baik suku pendatang (suku Jawa dan suku Bugis) maupun suku asli (suku Banjar dan suku Dayak) di Kota Samarinda berkaitan dengan masalah waktu, tempuh jarak tempuh dan transportasi yang digunakan, berdampak dibeban ekonomi (economic burden) berupa biaya transpor yang harus dikeluarkan agar mereka dapat mengakses pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya (Puskesmas dan Rumah Sakit). Tingkat penerimaan pelayanan kesehatan oleh komunitas multi etnis (suku Banjar, suku Jawa, suku Bugis dan suku Dayak) di Kota Samarinda sudah ‘terbuka’ dalam menerima pelayanan kesehatan modern, terlihat dari kunjungan ke fasilitas kesehatan yang terus meningkat. Meskipun tidak ditemukan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan untuk kelompok rentan, tetapi diskriminasi justru dirasakan oleh pasien dan keluarganya karena menerima perlakuan berbeda saat menerima layanan kesehatan. Status kepesertaan dalam Jaminan Kesehatan Nasional/Kartu Indonesia Sehat (JKN/KIS) yang belum mencakup seluruh penduduk (Universal Health Coverage), menjadi hambatan terhadap pemerataan dan keadilan dalam mengakses (ekuitas) layanan kesehatan bagi komunitas multi etnis di kota Samarinda.