Kelompok 4 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ISLAM, PERSOALAN HIDUP DAN KERJA



Dosen Pembimbing Rohmat Suprapto, S.Ag, MSI Anggota Kelompok 4 : 1.



Dyah Retno Kusumawardani



(A2A020030)



2.



Nur Syafitri Salma Nisa



(A2A020031)



3.



Poppy Nuri Sita



(A2A020032)



4.



Milatul Aulia



(A2A020033)



5.



Shelly Fitrian Aliffah



(A2A020034)



6.



Sherly Kurnia Sari



(A2A020035)



7.



Heny Chorneilia Agustin



(A2A020036)



PROGAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG TAHUN AJARAN 2020/2021



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakekat hidup dan kerja, Allah mengilhamkan, berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs



dapat menangkap ma’na baik dan



buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Meskipun nafs berpotensi positif



dan negative, namun



diperoleh pula isyarat bahwa pada hakekatnya potensi positif manusia lebih kuat dari pada potensi negetifnya. Hanya saja daya Tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Untuk itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafsnya. Firman Allah dalam surat al-Syams ayay 910. Rahmat Allah Terhadap orang yang rajin bekerja, Dalam pandangan Islam bekerja merukapan bagian dari ibadah, maka aplikasi dan implementasinya perlu diikat dan dilandasi oleh akhlak/etika, yang senantiasa disebut etika profesi. Etika/akhlaq yang mencerminkan sifat terpuji, yaitu Shiddiq, istiqamah, futhanah, amanah dan tablig. Akhlak dalam bekerja, Seorang muslim dalam bekerja selalu berhati-hati dan terbuka pikirannya kepada keindahan ciptaan Allah. Dia menyadari bahwa Allah lah yang mengontrol segala urusan dunia dan kehidupan manusia. Dia mengenal tanda-tanda kekuasaan-Nya, senantiasa berzikir dan tawakal kepada-Nya. Keharusan profesionalisme dalam bekerja, Profesonal



berarti



berkualitas, bermutu dan ahli dalam satu bidang pekerjan yang menjadi profesinya. Suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang yang memang ahlinya, tentu akan mendapatkan hasil yang bermutu dan baik. Sebaliknya suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang yang bukan profesinya, akan mendapatkan hasil yang tidak bermutu dan bahkan akan berantakan.



Etika kerja islami menurut PHIWM ada Bekerja Islami Etika Kepada Allah SWT, Bekerja Islami Etika Kepada Manusia, Bekerja Islami Etika Kepada Pribadi yaitu Salah satu sifat yang melekat dan tidak terpisahkan dari makhluk yang bernama manusia adalah sifat insaniyah atau sosial. Karakter/sifat sosial inilah yang menjadikan manusia harus simpati, empati dan bermanfaat untuk manusia yang lain, termasuk dalam bekerja (ikhtiar). Oleh sebab itu Rasululullah SAW menganjurkan kita untuk bertindak yang indah dalam mencari rezeki, bertindak dengan Ihsan, tidak mengambil hak orang lain, dan merugikan orang lain. B. Rumusan Masalah 1.



Bagaimana hakekat hidup dan kerja ?



2.



Bagaimana rahmat Allah terhadap orang yang rajin berkerja ?



3.



Apa akhlak dalam bekerja ?



4.



Bagaimana keharusan profesionalisme dalam bekerja ?



5.



Apa etika kerja islami menurut PHIWM ?



C. Tujuan Penulisan 1.



Untuk mengetahui hakekat hidup dan kerja,



2.



Untuk mengetahui rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja,



3.



Untuk mengetahui akhlak dalam bekerja,



4.



Untuk mengetahui keharusan profesionalisme dalam bekerja,



5.



Untuk mengetahui etika kerja islami menurut PHIWM.



BAB II PEMBAHASAN A. Hakekat Hidup dan Kerja Nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan. Allah SWT. Katakana dalam surat al-Syamsayat 7-8. “Demi Nafs serta penyempurnaan ciptaanNya, Allah mengilhamkan kepadanya kejahatan dan ketaqwaan” Allah mengilhamkan, berarti memberipotensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap ma’na baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Meskipun nafs berpotensi positif dan negative, namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakekatnya potensi positif manusia lebih kuat dari pada potensi negetifnya. Hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Untuk itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafsnya. Firman Allah dalamsurat al-Syamsayay 9-10. ”Sungguh beruntunglah orang-orang yang menyucikannya dan merugilah orang-orang yang Mengotorinya” Kecendrungan nafs lebih kuat untuk kebaikan dipahami dari isyarat ayat, misalnya terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 286 “Allah tidak membebani seseorang, tertapi sesuai dengan kesanggupannya.



Nafs



memperoleh ganjaran dari apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa yang diusahakannya” Selain nafs, dalam diri manusia juga terdapat qalb yang sering diterjemahkan hati. Seperti dikemukakan di atas, bahwa nafs ada dalam diri manusia, qalb pun demikian, hanya saja qalb yang merupakan wadah dipahami dalam arti alat, sebagaimana firman Allah dalam surat alA’rafayat 179 “Mereka mempunyai qalb, tetapi tidak digunakan untuk memahami”. Selain kata qalb, dalam al-qur’an juga terdapat kata fu’ad, seperti dalam firman-Nya dalam surat al-Nahl “Allah mengeluarkan kamu dari



perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu maka Dia membirimu (alat) pendengaran, (alat) penglihatan serta hati, agar kamu bersyukur (mempergunakannya memperoleh pengetahuan)”. Kemudian manusia juga memiliki ruh, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Isra’ ayat 85 “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah Ruh adalah urusan Tuhanku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit”. Ada yang berpendapat, bahwa ruh itu sama dengan nyawa, tetapi apa bedanya manusia dengan orang utan, monyet dan binatang yang lain?. Dalam surat al-mu’minun dijelaskan bawa dengan ditiupkan nyaruh, maka menjadilah makhluk ini khalqakhar (makhluk yang unik) yang berbeda dengan makhluk lain. Karena manusia memiliki ruh lahia mudah menerima wahyu dari Allah SWT. Mempelajari wahyu dikatakan santapan rohani, bukan santapan nyawa. Manusia berpotensi mendapatkan hidayah Karena mempunyairoh. Selain memiliki nafs, qalb, dan ruh manusia juga memiliki ‘aql. Kata ‘aql dalam al-qur’an menggunakan bentuk kata kerja masa kini dan lampau. Dari segi bahasa, kata ini dapat diartikan tali pengikat, penghalang. ‘Aql merupakan sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau berbuat dosa. Allah berfirman dalam surat al-An’am ayat 151 “ …” dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang Nampak atau tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali demi kebenaran, itulah wasiat Allah kepadamu agar kamu ber’aqal (dapat memahaminya)” Menurut Hamka, dalam bukunya Falsafah Hidup, Islam sangat memuliakan ‘aql, maka dari itu Islam adalah agama yang menjunjung tinggi “aql. Orang yang dapat menempatkan dirinya merasa terikat pada aturan-aturan Allah dalam firman-firman-Nya, maka itulah sebenarnya orang-orang yang ber’aqal. Seorang muslim dalam aktifitas kehidupnya dapat menggunakan ‘aqalnya jauh dari perbuatan keji, ruhnya banyak berisikan wahyu Allah, hatinya jadi tentram sehingga dirinya terkendali



kejalan yang diredhai Allah, terhindar dari langkah-langkah syetan yang buruk. Demikianlah hakekat hidup manusia dengan berbagai potensi yang terdapat dalam dirinya untuk melaksanakan pekerjaan. B. Rahmat Allah Terhadap Orang yang Rajin Bekerja. Umar bin Khattab khalifah kedua setelah Abu Bakar Siddiq berkata “Aku benci orang berpangku tangan, tanpa ada aktifitas kerja, baik kerja untuk dunia atau untuk kepentingan di akherat kelak” Dalam hal ini khalifah Umar sangat menghargai dan menyenangi orang yang rajin bekerja dan beraktifitas. Sebagai muslim yang ta’at, Umar selalu mendorong umat Islam untuk memiliki semangat bekerja dan beramal, serta menjauhkan diri dari sifat malas. Rasulullah bersabda : “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir, hilangnya kesadaran, terlilit utang dan dikendalikan orang lain. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dan dari fitnah (ketika hidup dan mati)”. (H.R Bukhari dan Muslim). Orang muslim yang akan berhasil dalam hidupnya adalah kemampuannya kemalasan/tidak



meninggalkan produktif



dan



bermanfa’at. Sabda Rasulullah



perbuatan digantinya



yang dengan



melahirkan amalam



yang



saw. Dari Abu Hurairah “Sebaik-baik



Islamnya seseorang adalah meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfa’at”. (HR. Tarmizi) Bekerja bagi seorang muslim adalah dalam rangka mendapatkan rezki yang halal dan memberikan manfa’at yang sebesar-besarnya bagi masyarakat sebagai ibadahnya kepada Allah swt. Firman-Nya : “Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (al-Jmu’ah: 10). Dalam pandangan Islam bekerja merupakan bagian dari ibadah, maka aplikasi dan implementasinya perlu diikat dan dilandasi oleh akhlak/etika, yang senantiasa disebut etika profesi. Etika/akhlaq yang mencerminkan sifat terpuji, yaitu Shiddiq, istiqamah, futhanah, amanah



dan tablig. Dari uraian diatas, dapat difahami, bahwa seorang muslim yang akan mendapat kasih saying dari Allah swt. Adalah apabila orang itu jauh dari sifat malas, senang melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfa’at, rajin bekerja, tidak menyia-nyiakan waktu, menyadari bahwa semua aktifitas yang dilakukan adalah dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. C. Akhlak Dalam Bekerja. Seorang muslim dalam bekerja selalu berhati-hati dan terbuka pikirannya kepada keindahan ciptaan Allah. Dia menyadari bahwa Allah lah yang mengontrol segala urusan dunia dan kehidupan manusia. Dia mengenal tanda-tanda kekuasaan-Nya, senantiasa berzikir dan tawakal kepada-Nya. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertawakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk ataud alam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata) Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sis-sia, maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari api neraka” (Ali Imran ayat 190-191). Dalam bekerja dia tulus dan patuh kepada Allah dalam keadaan bagaimanapun, tidak boleh melampaui batas, selalu ta’at mengikuti bimbingan Allah meskipun tidak sesuai dengan keinginannya. Dia bertanggungjawab menjalankan kewajiban pekerjaan yang telah ditetapkan untuknya. Bila ia mendapatkan kendala, segera mencari penyebabnya dan siap memikul semua konsekwensinya. Dia memahami sabda Rasul Saw. “Betapa indahnya urusan orang Islam. Seluruh urusan (kerjanya) adalah baik bagi dirinya. Jika ia mengalami kemudahan, ia bersyukur, dan yang demikian itu baik bagi dirinya, jika ia mengalami kesulitan, ia menghadapinya dengan sabar dan tabah, dan itupun juga dirinya”. (HR. Bukhari).



Akhlak seorang muslim dalam bekerja menemukan kemudahan selalu bersyukur, ketika menghadapi kesulitan dia tabah dan sabar. Mudah dan sulit baginya sama, karena semua itu adalah untuk menguji kekuatan imannya. Pada sa’atnya ia mendapatkan kesalahan dalam bekerja, menyimpang dar iketentuan Allah dan Rasul-Nya, ia segera bertobat, segera ingatakan Tuhannya, menghentikan segala kesalahannya dan memohon ampun atas kekeliruannya. “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila dalam dirinya timbul perasaan was-was dari setan, mereka segera ingat kepada Allah. Maka waktu itu juga mereka meliha tkesalahan-kesalahannya”. (al-A’raf :201). Demikianlah akhlak seorang muslim dalam bekerja. D. Keharusan profesionalisme dalam bekerja Profesonal berarti berkualitas, bermutu dan ahli dalam satu bidang pekerjan yang menjadi profesinya. Suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang yang memangahlinya, tentu akan mendapatkan hasil yang bermutu dan baik. Sebaliknya suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang yang bukan profesinya, akan mendapatkan hasil yang tidak bermutu dan bahkan akan berantakan. Sabda Rasul Saw.



“Bila



menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran”. Menurut sabda Rasul ini, seseorang dalam bekerja, apapun pekerjaannya, kalau ingin mengharapkan hasil yang berkualitas dan baik, maka



dia harus profeisinal/ahli



dalam



pekerjaan



yang menjadi



tanggungjawabnya itu. Ahli dalam bekerja, berarti menguasai ilmu pengetahuan yang berhubungan lansung dengan pekerjannya. Seorang pekerja yang bekerja dalam dunia pertanian, tentu dia harus berilmu tentang tanaman, pemupukan, pengiran dan lain-lain. Dia harus mengerti, memahami dan menghayati



secara



mendalam



segala



yang



menjadi



tugas



dan



kewajibannya dalam pertanian. Sifat kreatifitas dan kemampuan melakukan berbagai macam inovasi yang bermanfa’a ttentang pertanian



akan muncul dalam dirinya. Tentunya kreatif dan inovatif hanya mungkin akan dimiliki mana kala seseorang selalu berusaha untuk



menambah



berbagai ilmu pengetahuan, peraturan, dan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan apapun bentuk pekerjanya. Sebagai seorang guru (pengejar) dituntut harus ahli dalam ilmu keguruan, jangan setengah-setengah, tapi belajar, terus belajar tentang profesi keguruan sampai akhir hayatnya. Firmam Allah dalam al-Baqarah : 208 ”Hai orang yang beriman, masuklah kamu kedalam kedamaian /Islam secara menyeluruh, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan, karena setan itu adalah musuhmu yang nyata” Tersirat dalam ayat ini, bahwa aktifitas apapun yang dilakukan menuntut pelakunya untuk berilmu secara mendalam dan menyeluruh (kaffah) seuai dengan profesinya. Orang beriman diminta untuk memasukkan totalitas dirinya kedalam wadah islam secara menyeluruh, sehingga semua kegiatannya berada dalam wadah islam/kedamaian. Ia damai dengan dirinya, keluarganya, seluruh manusia, binatang, tumbuh tumbuhan dan alam raya semuanya. Wadah islam secara menyeluruh yang dimaksud juga penguasaan ilmu islam secara menyeluruh sehingga mampu melaksanakan aktifitas islam dengan berkualitas dan bermutu. E. Etika Kerja Islami Menurut PHIWM 1.



Bekerja Islami Etika Kepada Allah SWT. Tujuan utama dari bekerja (ikhtiar) adalah mencari ridha Allah swt, karena dengan ridho dari Allah SWT, ikhtiar yang kita lakukan akan terasa mudah dan menuai barakah. Oleh sebab itu, mendahulukan pahala Allah sebelum keuntungan duniawi dengan balutanraja’(harapan) dan syukur adalah kunci ridha Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT : ُ‫ق َوا ْعبُدُوهُ َوا ْش ُكرُوا لَه‬ َ ‫فَا ْبتَ ُغوا ِعن َد هَّللا ِ ال ِّر ْز‬



" Maka carilah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya." (QS.al-Ankabuut :17) 2.



Bekerja Islami Etika Kepada Manusia Salah satu sifat yang melekat dan tidak terpisahkan dari makhluk yang bernama manusia adalah sifat insaniyah atau sosial. Karakter/sifat social inilah yang menjadikan manusia harus simpati, empati dan bermanfaat untuk manusia yang lain, termasuk dalam bekerja (ikhtiar). Oleh sebab itu Rasululullah SAW menganjurkan kita untuk bertindak yang indah dalam mencari rezeki, bertindak dengan Ihsan, tidak mengambil hak orang lain, dan merugikan orang lain. Allah SWT berfirman : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagian mudari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.al-Qashash :77) Mengenai bekerja dengan Ihsan Rasulullah SAW bersada : َّ )‫إن هللاً ي ُِحبُّ ِمنَ ْالعا َ ِم ِل إ َذا َع ِم َل َأ ْن يُحْ ِسنَ (رواه البيهقي‬ Sesungguhnya Allah SWT mencintai orang yang bekerja dengan Ihsan (HR al-Baihaqy.) Ayat al-Qur’an dan Hadis di atas memberikan informasi kepada kita tentang pentingnya bekerja dengan Ihsan (baik), bermanfaat dan tidak merugikan orang lain.



3.



Bekerja Islami Etika Kepada Pribadi Kehalalan zat rizki yang kita makan serta keshahihan rizki yang peroleh adalah kunci utama keberkahan dari pekerjaan yang kita lakukan. Efek dari halal dan baiknya rizki yang kita dapatkan



akan berdampak pada pribadi kita dan keluarga kita, jangan sampai kita member makan diri sendiri dan keluarga tercampur dengan yang haram dan syubhat. Rasulullah SAW bersabda : “Dari Abu Abdullah an-Nu’man bin Basyir berkata, dia mendengar Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang siapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barang siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat,



maka



ia



bias



haram."(HR.Bukhari& Muslim)



terjatuh



pada



perkara



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kerja (’amal) menurut konsep Islam adalah segala yang dilakukan oleh manusia yang meliputi kerja untuk dunia dan kerja untuk akhirat. Islam mewajibkan kerja kepada seluruh umat-Nya tanpa melihat darajat, keturunan, warna kulit dan sebagainya karena manusia adalah sama di sisi Allah, yang membedakan antara satu dengan lainya adalah taqwanya. Islam tidak menyukai kepada penganggur, pengemis dan pribadi yang menggantungkan kebutuhan diri dan keluarganya pada orang lain. Bekerja dengan azam mengabdikan diri kepada Allah dengan menyadari dan menghayati bahwa manusia adalah hamba Allah, maka sudah seharusnya setiap muslim mengabdikan dirinya kepada Allah dengan mengikuti perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Bekerja hanya pada lapangan pekerjaan yang halal saja dan tidak bertentangan dengan ketentuan syariah. Bekerja secara perfect (amanah dan ikhlas). Bekerja dengan amanah berarti bekerja dengan penuh tanggung jawab terhadap apa yang menjadi tugasnya. Bekerja dengan ikhlas berarti bekerja dengan penuh kerelaan dan dengan kesucian hati untuk mencari keridhoan Allah. Dan Istifragh ma fi al-wus’i (bekerja dengan tekun dan baik). Ketekunan adalah suatu sifat yang amat diperlukan oleh seseorang pekerja, mereka akan dapat meningkatkan kemampuannya jika tekun dalam menjalankan tugasnya. Pemerintah ”berdasarkan mashlahah al-mursalah” boleh memaksa warga untuk bekerja atau bekerja pada lapangan tertentu, seperti wajib bakti pada masyarakat bagi para dokter yang baru saja menyelesaikan pendidikannya. Bekerja dengan semangat kerjasama dan musyawarah. Sikap saling membantu antara satu sama lain akan menimbulkan



suasana



bekerja



yang



aman,



gembira



serta



akan



meningkatkan hasil dan mutu kerja. Selain itu hendaklah diwujudkan satu budaya musyawarah, bertukar pikiran, mengkaji masalah yang ada dan



juga untuk menghadapi masalah yang mungkin timbul. Musyawarah seperti ini akan meningkatkan rasa persaudaraan dan dengan sendirinya pula meningkatkan rasa tanggungjawab bersama. B. Saran Demikian makalah yangk kami buat, semoga pembahasan makalah ini dapat membantu dan bermanfaat untuk pembaca. Dan kami berharap adanya kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan tugas selanjutnya. Sekian dan terimakasih.



DAFTAR PUSTAKA M. Dawan Raharjo, Etika Ekonomi dan Manajemen, PT. Nara Wacana, Yogyakarta, 1990, hlm.50 Ali – Sumanto Alkindi, Bekerja Sebagai Ibadah: Konsep Memberantas Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan Umat, CV. Aneka, Solo, 1997 KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2002, hlm. 2 – 26 Prof. Dr. Muhammad Mutawalli asy – Sya’rawi, Jiwa dan Semangat Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1992, hlm. 36 – 38 Drs. M. Thalib, Pedoman Wiraswasta dan Manajemen Islami, CV. Pustaka Mantiq, Solo, 1992, hlm. 18 – 20 Dr. H. Buchari Aima, Ajaran Islam Dalam Bisnis, CV. Alfabeta, Bandung, 1994, hlm. 12 Al – Sumanto Alkindhi, Ibid, hlm. 43 0 47 Ibid, hlm.80 – 110 Efendi, Rustam. 2008. Produksi Dalam Islam. Yogyakarta: Magistra Insania Press Hasan, M. Tholchan. 2000. Dinamika Kehidupan Religius. Jakarta: Listafariska Putra. https://suaramuhammadiyah.id/2018/06/21/3-etika-bekerja-islami/