Kelompok 6 - Biological Plausibility [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH EPIDEMIOLOGI



KRITERIA BRADFORD HILL BIOLOGICAL PLAUSIBILITY



Kelompok 6 :



Andre Max Watulingas



212021110048



Gladys Maristela Rawung



212021110052



Siska Arisandi Manus



212021110066



Bill Trisha Sumampouw



212021110076



Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi 2021



KATA PENGANTAR



Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan, kekuatan dan berkat dalam kehidupan ini, sehingga tugas makalah ini dapat tersusun dan terselesaikan dengan baik. Tak lupa juga kami berterima kasih kepada Dosen Pengampu, Dr. dr. Billy J. Kepel. MmedS yang dengan ketulusan dan dengan keikhlasan hatinya senantiasa membimbing kami dalam mengikuti perkuliahan dan menyelesaikan tugas ini. Kami juga berterima kasih kepada semua pihak dan teman-teman yang membantu proses penyelesaian makalah ini. Makalah ini membahas tentang Kekuatan Asossiasi Menurut Kriteria Bradford Hill. Tujuan kami membuat makalah ini adalah agar pembaca dapat lebih memahami tentang Biological Plausibility Menurut Kriteria Bradford Hill. dalam pengertian yang luas, dan lebih banyak wawasan dalam materi perkuliahan tetang Epidemiologi. Semoga makalah ini dapat dipergunakan dengan baik. Jika ada kesalahan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon dimaklumi, dan kami pun mengharapkan kritik dan saran yang tentunya dapat menyempurnakan makalah ini.



Manado, 13 Agustus 2021



Kelompok 6



BAB I PENDAHULUAN



Latar Belakang Epidemiologi secara komprehensif merupakan ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan-determinan frekuensi penyakit dan status kesehatan pada populasi manusia. Definisi tersebut mengisyaratkan bahwa epidemiologi pada dasarnya adalah ilmu empirik kuantitatif, yang banyak melibatkan pengamatan dan pengukuran yang sistematik tentang frekuensi penyakit dan sejumlah faktor-faktor yang dipelajari berhubungan dengan penyakit. Kebutuhan akan analisis kuantitatif, mulai dari perhitungan yang paling sederhana hingga analisis yang paling canggih, menyebabkan epidemiologi berhubungan erat dengan sebuah ilmu yang disebut biostatik. Salah satu unsur pokok penting dalam epidemiologi adalah pengukuran kejadian penyakit. Pengukuran kejadian penyakit dapat dilakukan dari hasil penemuan masalah kesehatan yang ada di masyarakat. Secara umum, tujuan mengukuran kejadian penyakit digunakan untuk menilai keadaan kesehatan, mengetahui potensi-potenti untuk menanggulangi masalah kesehatan, dan mendeteksi kelompok mana yang berisiko terkena penyakit. Sebagaimana sering kita baca dan lakukan sendiri bahwa uji statistik seringkali menjadi senjata kita untuk menyatakan bahwa suatu hipotesis diterima atau ditolak. Banyak dari kita melakukan penelitian, skripsi, thesis atau disertasi dengan uji hubungan atau lebih lanjut pengaruh. Kedua uji yang dimaksudkan sebenarnya merupakan usaha kita untuk menjelaskan suatu fenomena antar variabel yang kita tengarahi memiliki hubungan kausalitas; variable A akan menyebabkan terjadinya variable B. Namun, untuk mengetes apakah suatu hubungan sebab akibat atau kausalitas itu nyata atau tidak perlu diperhatikan beberapa aspek apakah terpenuhi, karena statistik sekali lagi hanyalah angka yang memberi makna adalah peneliti dan pembacanya. Salah satu kriteria kausalitas yang hingga kini masih sering digunakan sebagai rujukan adalah 9 kriteria yang disampaikan oleh Sir Austin Bradford Hill. Salah satu kriteria Bradford Hill adalah Biological Plausibility atau Kemasukakalan Biologis yang akan dibahas dalam makalah ini.



BAB II TUNJAUAN PUSTAKA



1.



Pengertian Biological Plausibility atau kemasukakalan biologis adalah hubungan antara penyebab yang diduga dengan hasil, konsisten dengan pengetahuan biologis dan medis yang ada. Keyakinan hubungan kausal makin kuat apabila dapat dijelaskan secara masuk akal dalam kerangka mekanisme biologis.



2. Contoh Kasus 1. Dalam sebuah penelitian diamati gambaran histopatologi aorta tikus wistar yang terpapar asap rokok untuk melihat apakah ada sel busa di pembuluh darah pada tunika intima. Pada perlakuan kontrol negatif yang tidak terpapar asap rokok dan hanya diberikan makanan pellet biasa menunjukkan gambaran aorta normal (gambar 1A). Hasil yang didapatkan pada kelompok paparan asap rokok hari ke 20, secara mikroskopik menunjukkan adanya sel busa pada tunika intima sampai tunika media (gambar 1B). Pada penelitian ini sudah ter- lihat bagaimana pengaruh dari asap rokok terhadap pembuluh darah yaitu sudah terbentuknya sel busa sebagai lesi awal dari aterosklerosis. Pada kelompok paparan asap rokok selama 30 hari didapatkan hasil lebih buruk dibandingkan dengan paparan asap rokok pada kelompok yang diberikan selama 20 hari. Secara mikroskopik menunjukkan adanya sel busa pada tunika intima sampai tunika media dan sudah mulai menonjol ke lumen (gambar 1C). Merokok merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya aterosklerosis. Ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa kejadian aterosklerosis berhubungan dengan dalamnya mengisap rokok, jumlah rokok yang diisap setiap hari, umur seseorang pada waktu mulai merokok, dan lamanya kebiasaan ini dilakukan. Asap rokok dapat menimbulkan radikal bebas di dalam tubuh yang dapat mencetuskan terjadinya aterosklerosis pada pembuluh darah sehingga dapat mengakibatkan penyumbatan. Penelitian juga membuktikan bahwa rokok dapat menekan high-density lipoprotein (HDL) dan meningkatkan kadar kolestrol low density lipoprotein (LDL). Meningkatnya kadar LDL dan menurunya HDL mempunyai peranan yang sangat dominan dalam proses aterosklerosis. LDL merupakan salah satu jenis lipoprotein yang tidak baik bagi tubuh. LDL membawa kolestrol yang merupakan lipoprotein yang potensial sehingga



menyebabkan kerusakan pem- buluh darah. LDL yang mengalir didalam darah dapat masuk ke dalam dinding pembuluh darah yang akan memulai proses aterosklerosis. Ketika berada di dalam ruang subendothelial di dinding pembuluh darah, LDL mengalami oksidasi, kemudian diikuti oleh perlekatan monosit darah dan leukosit lainya ke endotel, diikuti oleh migrasi ke dalam intima dan monosit berubah menjadi makrofag dan makrofag memakan LDL dan membentuk sel busa, terjadi perlekatan trombosit, dan migrasi sel otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima, proliferasi sel otot polos di tunika intima, sehingga terjadi akumulasi kolagen dan proteoglikan sehingga meningkatkan timbunan lemak di dalam sel (makrofag dan sel otot polos) dan luar sel.



Proses aterosklerosis ditandai dengan melemahnya dinding pembuluh darah, respon peradangan, terbentuknya plak yaitu sel busa dan terbentuk gumpalan darah.(lihat gambar 13). Sel busa merupakan lapisan yang mengandung makrofag yang bermuatan lipid dan sel otot polos yang sitoplasmanya membesar oleh lipid. Sel busa ini merupakan satu konmponen pembentuk zona lipid selain lipid ekstra- seluler dan debris. Zona lipid ditambah dengan cap fibrosa dibawah endotel yang terdiri atas kolagen padat dan sel-sel otot polos serta makrofag yang tersebar, dan zona basal yang terdiri atas sel-sel otot polos yang berpoliferasi dan jaringan penyambung, membentuk plak ateromatosa fibrosa dimana plak ini merupakan lesi dasar aterosklerosis. Bercak perlemakan atau fatty streak, terdiri atas sel busa penuh lemak, adalah lesi yang tidak meninggi secara bermakna sehingga tidak menye- babkan gangguan aliran darah. Kelainan ini berawal dari titik kuning datar (fatty dors) yang garis tengahnya kurang dari 1 mm yang kemudian menyatu membentuk goresan/bercak memanjang atau lebih. Hubungan antara bercak perlemakan dan plak aterosklerosis tidak jelas. Walaupun



bercak-bercak ini dapat berkembang menjadi plak, tetapi tidak semua bercak perlemakan dapat menjadi lesi aterosklerosis. Hubungan gambaran histopatologi aorta tikus wistar yang terpapar asap rokok dengan Kriteria Bradford-Hill poin 6 (Biological Plausibility) yaitu rokok mengandung nikotin, karbon monoksida, tar, benzena, serta bahan-bahan lainnya yang bersifat toksik. Di dalam rokok juga terdapat zat-zat radikal bebas, diantaranya seperti peroksinitrit, hidrogen peroksida, dan superoksida. Seluruh kandungan berbahaya ini dapat menjadi pencetus terjadinya penyempitan pembuluh darah. Radikal bebas merupakan molekul yang mengandung elektron tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Elektron tidak berpasangan ini menjadikannya sangat reaktif. Radikal bebas dapat menyerang molekul penting seperti DNA, protein dan lipid, serta dapat memperbanyak diri dan menghasilkan kerusakan yang signifikan.



3. Contoh Kasus 2. Masalah gizi di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu masalah gizi makro dan gizi mikro. Salah satu contoh dari masalah gizi mikro adalah gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI). GAKI merupakan serangkaian gejala yang timbul karena tubuh kekurangan iodium secara terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga berpengaruh terhadap tumbuh kembang manusia. GAKI termasuk masalah kesehatan masyarakat yang serius, mengingat dampaknya yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia, sehingga membutuhkan perhatian dan penanganan yang adekuat, salah satunya dengan cara fortifikasi garam dengan Kalium Iodat (KOI3). Iodisasi garam beriodium sangat penting untuk dilakukan, sebagaimana seperti yang dijelaskan dalam Keputusan Presiden No 69 Tahun 1994 tentang pengadaan garam iodium yang berisi tentang penanggulangan berbagai gangguan akibat kekurangan iodium melalui kegiatan iodisasi garam. Garam yang dapat diperdagangkan bagi keperluan konsumsi manusia atau ternak, pengasinan ikan, atau bahan penolong industri pangan, adalah garam beriodium yang telah memenuhi Standar Industri Indonesia (SII) dan Standar Nasional Indonesia (SNI). GAKI dapat dicegah dengan cara penggunaan rutin garam beriodium. Kriteria ICCIDD/ UNICEF/ WHO untuk eliminasi GAKI dari suatu negara adalah jika minimal 90% rumah tangga mengonsumsi garam mengandung 3 cukup iodium. Pencapaian ini disebut sebagai telah tercapainya Garam Beriodium untuk Semua atau Universal Salt



Iodization (USI). Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan secara nasional penggunaan garam beriodium rumah tangga dengan kandungan cukup iodium sebesar 77,1%, kurang iodium sebesar 14,8%, dan tidak beriodium sebesar 8,1%. Secara nasional angka ini masih belum mencapai target Universal Salt Iodization (USI) yaitu minimal 90% rumah tangga yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium. Rendahnya tingkat penggunaan garam beriodium di tingkat rumah tangga merupakan salah satu masalah perilaku kesehatan. Berdasarkan teori Lawrence Green (dinyatakan bahwa faktor-faktor penyebab perilaku dibedakan menjadi tiga faktor yaitu faktor predisposisi (Predisposing Factors), faktor 6 pemungkin (Enabling Factors), dan faktor penguat (Reinforcing Factors). Faktor predisposisi meliputi pendidikan, pengetahuan, pekerjaan keluarga, dan status sosial-ekonomi. Faktor selanjutnya adalah faktor pemungkin yang meliputi aksesbilitas terhadap sumber daya. Sedangkan yang terakhir adalah faktor penguat, merupakan faktor yang menentukan suatu tindakan kesehatan mendapat dukungan atau tidak dari lingkungan sekitar (keluarga, tetangga, tenaga kesehatan, dan tokoh desa). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan garam beriodium tingkat rumah tangga di Desa Tluwuk Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang berkontribusi besar memiliki hubungan dengan penggunaan garam beriodium tingkat rumah tangga di Desa Tluwuk Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati. Hasil penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan penggunaan garam beriodium tingkat rumah tangga, dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan tabel 1, hasil penelitian mengenai hubungan tingkat pendidikan dengan penggunaan garam dapat dilihat bahwa ibu rumah tangga yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi sebanyak 20 orang (25 %) yaitu terdiri dari ibu rumah tangga dengan penggunaan garam yang mengandung kadar yodium cukup yaitu lebih dari 30 ppm sebanyak 9 orang (42,9%) dan ibu rumah tangga dengan penggunaan garam yang mengandung kadar yodium tidak cukup yaitu kurang dari 30 ppm sebanyak 11 orang (18,6%). Sedangkan ibu rumah tangga yang memiliki tingkat pendidikan rendah sebanyak 60 orang (75%), yaitu terdiri dari ibu rumah tangga dengan penggunaan garam yang mengandung kadar yodium cukup sebanyak 12 orang (57,1%), dan ibu rumah tangga dengan penggunaan garam yang mengandung kadar yodium tidak cukup sebanyak 48 orang (81,4%).



Hasil penelitian mengenai pengetahuan ibu tentang garam beriodium menunjukkan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan kurang dengan penggunaan garam beriodium tingkat rumah tangga tidak cukup iodium sebanyak 38 orang (64,4%),dan ibu yang memiliki pengetahuan baik dengan penggunaan garam beriodium tingkat rumah tangga tidak cukup iodium sebanyak 21 orang (35,6%). Sedangkan ibu yang memiliki pengetahuan kurang dengan penggunaan garam beriodium tingkat rumah tangga cukup iodium sebanyak 2 orang (9,5%),dan ibu yang memiliki pengetahuan baik dengan penggunaan garam beriodium tingkat rumah tangga cukup iodium sebanyak 19 orang (90,5%). Hasil yang diperoleh telah menggambarkan bahwa rata-rata responden sudah memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang garam beriodium. Berdasarkan tabel 1, hasil penelitian mengenai penyuluhan tenaga kesehatan menunjukkan bahwa ibu yang tidak mendapatkan penyuluhan tenaga kesehatan dengan penggunaan garam beriodium tingkat rumah tangga tidak cukup iodium sebanyak 36 responden (61%) dan ibu yang mendapatkan penyuluhan tenaga kesehatan dengan penggunaan garam beriodium tingkat rumah tangga tidak cukup iodium sebanyak 23 responden (39%). Sedangkan ibu yang tidak mendapatkan penyuluhan tenaga kesehatan dengan penggunaan garam beriodium tingkat rumah tangga



cukup iodium sebanyak 9 responden (42,9%) dan ibu yang mendapatkan penyuluhan tenaga kesehatan dengan penggunaan garam beriodium tingkat rumah tangga cukup iodium sebanyak 12 responden (57,1%). Berdasarkan tabel 1, hasil analisis menggunakan uji chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penyuluhan tenaga kesehatan dengan penggunaan garam beriodium tingkat rumah tangga. Pemberian penyuluhan kesehatan tentang garam beriodium pada umumnya akan menambah pengetahuan seseorang sehingga seseorang tersebut akan memiliki perilaku yang baik dalam memilih dan menggunakan garam beriodium dalam kehidupan sehari-hari.



BAB III PENUTUP



Kesimpulan Ukuran dalam epidemiologi digunakan untuk mempermudah petugas kesehatan dalam mengolah data-data. Hasil dari pengolahan data-data dapat membantu dalam mengidentifikasi



wabah,



menghitung



kebutuhan



pelayanan



kesehatan,



masalah



keterjangkauan, perubahan diagnosis, dan mengamati perubahan dalam pengobatan. Penelitian tentang Gambaran Histologi Aorta Tikus Wistar yang terpapar Asap rokok dapat menjelaskan hubungan sebab akibat kemasukakalan biologis atau Biological Plausibility paparan asap rokok dengan terjadinya aterosklerosis karena dapat dikelaskan secara medis dan biologis. Penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan penggunaan garam beriodium tingkat rumah tangga yaitu pengetahuan ibu tentang garam beriodium, sikap ibu terhadap garam beriodium, dukungan (keluarga/ tetangga/ tenaga kesehatan/ tokoh desa), dan jarak tempuh pembelian garam beriodium. Adapun faktor yang tidak berhubungan dengan penggunaan garam beriodium tingkat rumah tangga yaitu pendidikan ibu, pekerjaan keluarga, pendapatan keluarga per kapita, dan penyuluhan tenaga kesehatan.



Refrensi Nazlyza dkk. 2013. Gambaran Histologi Aorta Tikus Wistar yang terpapar Asap rokok. Jurnal E-Biomedik, 1(2), 1019-1023. Sutiah dkk. 2017. Faktor yang berhubungan dengan penggunaan garam beriodium tingkat rumah tangga. JHE 2 (2), ISSN 2527-4252.