Kepemimpinan Bugis PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEPEMIMPINAN BUGIS Oleh



Mashadi Said



Setiap kelompok masyarakat memerlukan seorang pemimpin. Pemimpin menjalankan kepemimpinannya berdasarkan amanah yang diberikan kepadanya, dengan suatu sistem yang disebut sistem kepemimpinan. Sistem kepemimpinan yang mengatur tata kehidupan masyarakat memberi pengaruh yang kuat dalam hal pembentukan pribadi dan perilaku anggota masyarakatnya. Sebaliknya, watak dan pola tingkah laku anggotanya mewarnai kehidupan masyarakat secara umum yang selanjutnya membentuk kepribadian umum. Dalam sejarah umat manusia, ada pemimpin negara yang dianggap oleh masyarakatnya sebagai “dewa”, dan diterima kekuasaannya sebagai suatu karunia yang tak boleh diragukan kebenarannya. Ucapannya dianggap sebagai titah dewa yang tak terbantahkan. Siapa saja yang berani membantahnya akan kualat dan harus bersedia menjalani sanksi yang ditetapkan olehnya seperti undang-undang khusus yang dibuat untuk menjerat oknum yang mencoba memberikan kritik atas kebijakannya. Posisi rakyat adalah sebagai objek dan harus bersedia menerima kehendak pemimpinnya serta melaksanakan dengan penuh keikhlasan tanpa terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Ada pula pemimpin yang diangkat oleh masyarakat karena dianggap sebagai orang yang terbaik di kalangan mereka, karena rakyat yakin bahwa sang pemimpin mampu melaksanakan amanah yang dipercayakan rakyat kepadanya. Masyarakat berhak menuntut pertanggungjawaban pemimpinnya. Pemimpin tidak boleh menetapkan kebijakan secara sepihak atau tanpa persetujuan rakyat dan hasil kesepakatan itu harus dijunjung tinggi, baik oleh pemimpin maupun rakyat. Setiap pelanggar, baik dari kalangan pejabat maupun rakyat biasa, harus bersedia menjalani hukuman sesuai dengan peraturan yang disepakati secara bersama-sama. Artinya, hukum adalah galanya. Tidak ada seorang pun yang menduduki kedudukan istimewa di mata hukum dalam negara itu.



1



Kepemimpinan Periode Galigo Sebelum kepemimpinan Lontara’, terdapat model kepemimpinan masyarakat Bugis yang dikenal dengan kepemimpinan periode Galigo. Pada periode itu, raja dianggap sebagai wakil dewa di langit. Mereka dipuja dan amat ditaati oleh rakyatnya. Rakyat percaya bahwa raja mempunyai kelebihan dan kesaktian yang tidak dimiliki oleh rakyat biasa. Rakyat menempati kedudukan sebagai objek dan keistimewaan hanya dimiliki oleh raja. Rakyat sama sekali tidak mempunyai kekuatan kecuali mengabdikan diri sepenuhnya pada raja. Sebagai lambang kesaktian para raja, kepemimpinan itu dipelihara secara turun-temurun dan merupakan warisan dewa dari langit yang telah dipersembahkan kepada raja. Selain keturunan dewa ini, tidak ada hak dan kesempatan bagi orang untuk menduduki posisi itu (Mattulada, 1975: 357-388). Raja dianggap oleh masyarakatnya memiliki kesaktian, karamah, dan amat disegani serta ditakuti rakyatnya. Raja mempunyai pengaruh yang amat besar sehingga rakyat harus tunduk dan patuh kepada perintah rajanya. Siapa saja yang berani menantang atau tidak menaati perintah raja, harus bersedia menanggung risiko sesuai dengan keinginan raja atau sang penguasa.



Kepemimpinan Era Lontara’ Menurut Mattulada (1975: 357-388), kecenderungan untuk menjadikan pola kepemimpinan Galigo masih sering menampakkan pengaruhnya pada generasi sesudahnya. Namun, pola itu lambat laun ditinggalkan dengan tampilnya peran orang biasa dalam tampuk kekuasaan sebagai pemimpin rakyat yang dikenal sebagai pemimpin anang1. Kelompok anang masing-masing mempunyai pemimpin tetap, yang diteruskan secara patrilineal dari keluarga tertua dalam anang. Menurut Abdullah (1985: 69), kehadiran Tomanurung2 dalam kehidupan masyarakat Bugis merupakan awal terbentuknya organisasi sosial atau kemasyarakatan, institusi sosial, dan awal sistem politik atau sistem kekuasaan yang menempatkan manusia (masyarakat) Pimpinan anang adalah suatu keadaan peralihan, kemudian melahirkan Tomanurung (sebutan bagi manusia istimewa yang berasal dari dunia atas dan turun ke bumi manusia Bugis untuk menyelamatkan negara yang mengalami masa chaos) dalam priode Lontara’ 2 Tomanurung berasal dari dua kata yaitu ‘to’ artinya ‘orang’, ‘Manusia’ dan ‘manurung’ artinya ‘turun’ atau ‘menjelma jadi’, ‘tomanurung’ adalah manusia yang menjelma di kalangan masyarakat yang dimuliakan karena keluhuran budi pekertinya, sehingga diangkat menjadi pemimpin. 1



2



pada posisi yang mulia. Tomanurung inilah yang merupakan cikal bakal pemerintahan periode Lontara’. Dalam periode Lontara’, babakan baru telah terbuka dalam kehidupan politik masyarakat Bugis, terutama dalam memandang pemimpinnya dalam mengendalikan negeri. Pada periode ini, terdapat kecenderungan bahwa orang Bugis amat menjunjung tinggi kedudukan manusia sebagai ’tau’. Oleh karena itu, tampak dalam Lontara’ Latoa dan Lontara’ lainnya bahwa pembinaan watak manusia dalam membangun Panggadĕrĕng (tata aturan dan hukum) mendapat tempat yang amat penting. Manusia menjadi pusat penentu atas kehidupan kebudayaannya. Manusia menempati tempat tertinggi dalam menentukan nasibnya. Untuk memahami konsep kepemimpinan Lontara’, perlu diperhatikan hal yang menyangkut syarat pemimpin, kewajiban pemimpin, kedudukan rakyat dalam negara, struktur politik kepemimpinan Lontara’, dan hubungan antara pemimpin dan rakyat.



Syarat Pemimpin



Bagi masyarakat Bugis, seorang dapat diangkat menjadi pemimpin negeri bila memenuhi syarat pribadi yang menurut mereka pribadi adiluhung. Pribadi adiluhung adalah pribadi yang dijiwai oleh prinsip siri’-pĕsse. Pribadi siri’-pĕsse seorang pemimpin meliputi sifat jujur, takwa, solider, gigih memperjuangkan kesejahteraan dan kedamaian rakyat, berani, teguh dalam pendirian, mampu mempersatukan rakyatnya, berwibawa, adil, terbuka pada nasihat dan keritikan. Sifat adiluhung pemimpin Bugis tergambar dalam masa pemerintahan Arung Matoa Wajo La Palewo Tu Palippu (1474-1482). Syarat seorang yang menjadi pemimpin (raja) bagi masyarakat Bugis adalah sebagai berikut.



1. Jujur terhadap Dewata Seuwae dan sesamanya manusia. 2. Takut kepada Dewata Seuwae dan menghormati rakyatnya dan orang asing serta tidak membeda-bedakan rakyatnya. 3. Mampu memperjuangkan kebaikan negerinya agar berkembang biak rakyatnya, dan mampu menjamin tidak terjadinya perselisihan antara pejabat kerajaan dan rakyat. 4. Mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya.



3



5. Berani dan tegas, tidak gentar hatinya mendapat berita buruk (kritikan) dan berita baik (tidak mudah terbuai oleh sanjungan). 6. Mampu mempersatukan rakyatnya beserta para pejabat kerajaan. 7. Berwibawa terhadap para pejabat dan pembantu-pembantunya. 8. Jujur dalam segala keputusannya. (Abidin, 1983: 163)



Di kerajaan Pammana, datu (raja) harus memiliki syarat sebagaimana ucapan We Tĕnri Lallo sewaktu dia ditawari jabatan untuk menjadi raja pada abad XV, sebagai berikut.



... Adapun orang yang patut memimpin agar tanaman padi tak hampa, menyelimuti agar tak dingin (mengayomi) ialah orang yang mendapat pertolongan dari Dewata, yang memiliki empat macam kemampuan dalam kehidupannya. Pertama, kemampuan harta benda. Kedua, cakap dan terampil dan perkataannya pantas. Ketiga, kemampuan jasmani untuk memerintah. Keempat, hemat cermat; bermurah hati pada rakyatnya dan suka menolong sesamanya manusia. (Abidin, 1983: 164) Dari kutipan Lontara’ di atas, terlihat bahwa tradisi Lontara’ menyangkut masalah peran atau fungsi raja sebagai pemimpin puncak dalam negeri, menekankan masalah moral para pemimpin dan tanggung jawabnya terhadap rakyat yang dipimpin dan bukanlah berdasar atas kekuasaan belaka. Nasib rakyat yang sewaktu-waktu terancam oleh perlakuan tidak adil dari pihak penguasa, telah menjadi sasaran utama untuk diperhatikan. Rakyat mendapat perlindungan yang tegas untuk dilindungi haknya, diperbaiki kehidupannya dan diberi kebebasan untuk menikmati hidupnya dalam negeri. Kesetiaan atau dukungan rakyat kepada raja bukan berarti bahwa raja sebagai penguasa yang tertinggi dapat menjadikan rakyatnya sebagai objek semata, tanpa berusaha untuk memberi imbalan kebahagiaan hidup bagi mereka. Kesetiaan rakyat yang diberikan kepada raja dimaksudkan agar mereka disayangi oleh raja dan memimpin mereka menuju jalan kebahagiaan dan kedamaian hidup. Dalam falsafah sulapa’ ĕppa, dikemukakan oleh seorang raja yang bernama Arung Matoa Matinrowa Rikannana (memerintah pada akhir abad XVI atau permulaan abad XVII) bahwa individu yang cocok menjadi pemimpin haruslah memiliki empat sifat, karena hanya pemimpin yang memiliki sifat inilah yang akan memperbaiki negeri, yaitu sebagai berikut.



1. Jujur, yaitu jika bersalah atau dipersalahkan, dia meminta maaf.



4



2. Berpengetahuan, yaitu mampu melihat kemungkinan akibat yang akan terjadi dari suatu kebijakan dan menjadikan kejadian yang telah lampau sebagai soko guru yang baik. 3. Memiliki keberanian moral, yaitu tidak terkejut apabila mendengar berita buruk atau baik, dan mampu menyatakan “ya” atau “tidak”. 4. Pemurah, yaitu memberikan minuman siang dan malam. Artinya, mampu menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyanya. Pemimpin demikian disebut “Mattuppu batu” (pemimpin yang mampu memakmurkan rakyatnya). Hanya apabila tidak tertidur matanya, siang dan malam memikirkan rakyatnya, barulah ia disebut pemimpin. (Abidin, 1969: 25) Dalam kepemimpinan Lontara’, dipesankan pula untuk mempelajari sifat negatif dan positif yaitu unsur api, air, angin, dan tanah. Adapun sifat api adalah besar tindakannya, tidak memikirkan akibat perbuatannya, tidak mau mengalah, hanya dirinyalah sendiri yang dianggap benar, tetapi memiliki sifat berani. Air memiliki kegigihan tetapi tidak jujur. Sifat angin, selalu berlaku kasar dan tidak memiliki ketulusan atau kejujuran. Tanah memiliki kejujuran, pemurah dan berpengetahuan. Singkatnya, seorang pemimpin dalam era Lontara’ harus memiliki sifat jujur, cendikia, berani, mengayomi, dan terbuka. Kemaslahatan negeri merupakan sentral perhatian kepemimpinan Lontara’. Sejak dulu telah menjadi peringatan bahwa rusaknya suatu negeri karena adanya sifat buruk yang dimiliki seorang pemimpin. Sifat buruk yang menyebabkan suatu negeri menjadi rusak adalah Sang Pemimpin tidak mau mendengar nasihat, para cendekiawan tidak berpungsi lagi sebagai cerdik pandai, para pejabat dan hakim ’makan sogok’3, keadaan negeri tidak dapat dikendalikan dengan baik oleh pemimpin, dan bila pemimpin tidak peduli pada kebutuhan rakyatnya. Hal inilah yang ditegaskan I Mangada’cina Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang sebagai berikut. ”Ada lima sebab yang menyebabkan negeri itu rusak, yaitu: 1. Kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati. 2. Kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu negara besar. 3. Kalau para hakim dan para pejabat kerajaan makan sogok. 4. Kalau terlampau banyak malapetaka besar dalam suatu negeri.



3



Makan sogok bisa juga berarti korupsi dalam arti luas (pada saat itu istilah korupsi belum dikenal)



5



5. Kalau raja tidak menyayangi rakyatnya.” (Abidin, 1983: 166)



Dari uraian tersebut, Mattulada menyimpulkan bahwa bagi masyarakat Bugis, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki EMPAT sifat yang tak terpisahkan, yaitu: Maccai na malĕmpu’ Waraniwi na magĕttĕng (Cendekia lagi Jujur, Berani lagi Teguh dalam Pendirian)



Kewajiban Pemimpin



Ketika La Palewo Topalippu diangkat menjadi Arung Matoa Wajo (Raja), terjadi dialog antara dia dan rakyat yang dipimpinnya. Dalam dialog itu, Arung Matoa menyatakan kewajibannya dengan tegas sebagai berikut.



Engkau kuselimuti supaya tidak kedinginan (Pemimpin menyayomi supaya rakyat terhindar dari bahaya dan berbagai kesulitan); Engkau kujaga bagaikan mengusir burung pipit supaya tanaman padi tidak hampa (Pemimpin menjaga jiwa rakyat dan harta benda); Saya mengobat/memaafkan kesalahanmu (Pemimpin mendengarkan semua keluh kesah rakyatnya). Saya membela kebenaranmu. (Lontara Sukku’na Wajo) (Pemimpin, memperjuangkan hak rakyat)



Kewajiban pemimpin Bugis terhadap rakyatnya juga dapat dilihat pada lambang Kabupaten Soppeng saat ini yang memuat ungkapan:



Dongirikĕng tĕmmatippa’, salipurikĕng tĕmmadinging, wessekĕng tĕmmakapa 6



yang berarti: 1.



Pemimpin



menjaga agar burung pipit tidak memakan padi rakyat. Artinya,



pemimpin menjamin agar harta benda rakyat tidak dicuri atau dirampas oleh orang jahat. 2.



Pemimpin menyelimuti kami agar tidak dingin. Artinya, pemimpin menjamin ketersediaan pakaian, perumahan, dan kesehatan rakyat.



3.



Ikatan padi yang tidak hampa. Artinya, pemimpin mengusahakan agar rakyatnya tidak kehabisan makanan dan selalu dapat memperoleh panen yang cukup.



Kutipan di atas, menunjukkan bahwa kedudukan rakyat dalam struktur sosial masyarakat Bugis telah mendapat posisi yang terhormat dan pemimpin selalu melindungi dan mengayomi rakyatnya. Kondisi sosial yang menempatkan manusia pada kedudukan yang tidak terbelenggu oleh tradisi dan tidak dijadikan sebagai objek politik oleh penguasa, telah memberikan manfaat besar bagi kehidupan manusia, baik yang menyangkut kedamaian hidup yang selalu didambakan oleh setiap manusia di muka bumi ini, maupun menyangkut masalah kebebasan, pengembangan potensi manusia itu sendiri. Oleh karena itu, manusia Bugis — yang sejak awal terbentuknya masyarakat dan negara mereka— dapat mengembangkan potensi yang terdapat di dalam dirinya dengan bebas. Kondisi sosial yang menguntungkan ini, menjadikan manusia Bugis dapat stabil dalam memelihara hak, harga diri, dan martabatnya. Dengan demikian, mereka juga dapat memelihara adat dalam lingkungan keluarganya dan dalam kehidupan masyarakat. Suatu sistem sosial yang menempatkan masyarakat sebagai objek, akan menjadikan manusia yang hidup di dalamnya memiliki jiwa dan semangat yang pasrah kepada keadaan, mengakibatkan hilangnya inisiatif untuk mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan. Artinya, partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan, terkebiri oleh keadaan yang mengekangnya. Akibatnya, manusia dalam posisi yang tak berdaya itu menempatkan manusia pada posisi yang terbelenggu atau keadaan yang nyaris tidak mempunyai kesempatan untuk mengenal potensinya. Jika manusia itu tidak lagi mengenal potensi dirinya, tidak memahami peran dan arti kehadirannya di masyarakat, maka, sedikit sekali kemungkinan bagi manusia itu untuk memperjuangkan harga diri dan martabatnya. Mereka hanya bersikap pasrah pada keinginan politik atau keinginan moral sang penguasa. Keinginan penguasa tidak dapat disanggah. Nalar masyarakat tidak lagi berjalan. Segala sesuatunya diserahkan secara penuh kepada penguasa. 7



Dalam sistem sosial manusia Bugis, menurut Lontara’, adĕ’ yang mengikat kehidupan atau sistem sosialnya itu menempatkan manusia pada kedudukan yang tinggi dan menjadi pusat perhatian bagi kelompok penguasa untuk dilindungi. Hak manusia Bugis dilindungi oleh adĕ’ yang mengikatnya dan tidak mengecualikan kelompok yang berkuasa. Adĕ yang melingkari kehidupan sosial masyarakat Bugis telah mengikat pemimpin dan masyarakat untuk memelihara harga diri dan martabat, sehingga, seseorang yang tidak dapat menjaga harga dirinya di masyarakat akan tersingkir dari lingkaran kehidupan adĕ’ tersebut. Lontara’ yang merupakan sumber sejarah terpenting bagi manusia Bugis, telah menempatkan posisi manusia sebagai subjek yang mempunyai peran aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam konteks kehidupan bernegara. Dari teks Lontara’ yang ribuan jumlahnya itu, tidak satu pun isinya mengecilkan peran manusia ’lapisan bawah’, atau mengelu-elukan ’lapisan atas’ secara berlebihan. Uraian tentang kelompok penguasa digambarkan secara wajar dan dapat diterima oleh akal sehat manusia (Abdullah, 1985: 94).



Kedudukan Rakyat dalam Negara



Kedudukan rakyat yang merupakan faktor penentu dalam kehidupan bernegara sebagaimana digambarkan dalam ungkapan Bugis sebagai berikut. Rusa’ taro arung, tĕnrusa’ taro adĕ’ Rusa’ taro adĕ’, tĕnrusa’ taro anang Rusa’ taro anang, tĕnrusa’ taro to maega (Mattulada, 1975: 349; Abdullah, 1985: 94)



Artinya: Batal ketetapan Raja, tidak batal ketetapan adĕ’ Batal ketetapan Adat, tidak batal ketetapan Kaum Batal ketetapan Kaum, tidak batal ketetapan Rakyat



Dalam ungkapan itu, jelas tergambar bahwa kedudukan rakyat amat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat berarti segalanya bagi negara itu. Raja atau penguasa hanyalah merupakan segelintir manusia yang diberi kepercayaan untuk mengurus



8



administrasi, keamanaan, dan pelaksanaan pemerintahan negara. Inilah yang disebut dengan pemerintahan ’dari bawah’ (buttom-up) yang dalam ungkapan Lontara’ disebut: ’Mangngĕllĕ pasang massolompawo’ (Bagaikan air pasang yang tak terbendung).



Ungkapan itu mengisyaratkan bahwa bagi masyarakat Bugis, kepemimpinan adalah kepemimpinan ’rakyat’. Selanjutnya, bagaimana Lontara’ menempatkan posisi rakyat pada kedudukan yang strategis dalam negara untuk diperhatikan hidup dan kehidupannya, berikut kutipan Lontara’ Latoa.



Inilah yang menerangkan mengapa dilarang pampawa adĕ’ (pemangku kekuasaan), mendirikan rumah di luar tembok istana, karena dia dibutuhkan siang dan malam untuk menghadap raja guna memberi pertimbangan tentang hal ikhwal negara. Pabbicara (perdana menteri) tidak boleh berhenti berpikir untuk mencari cara yang dapat membawa kebaikan bagi rakyat banyak agar rakyak patuh melaksanakan perintah raja, karena rakyat itu jugalah sesungguhnya adalah negara. Adapun negara tidak berubah. Misalnya, apabila negara berperang, maka berkatalah orang: hancurkan negara itu; mereka tidak berkata hancurkan manusia, padahal manusialah yang bunuhmembunuh. Tiga macam yang menyebabkan kerusakan rakyat, yaitu pertama, apabila rakyat mati. Kedua, apabila hartanya dirampas. Ketiga, apabila rakyat lari ke negeri lain. Barulah menjadi raja selayaknya, apabila dia mempunyai rakyat yang banyak dan perintahnya ditaati. Apabila demikian keadaannya, sempurnalah kekuasaan raja itu, besarlah harapan rakyat kepada raja. Apabila ada orang yang ingin berbuat sewenang-wenang kepada mereka, maka raja dan perdana menteri dituntut berusaha semaksimalnya untuk memelihara rakyatnya, karena bila tidak, rakyat akan berceraiberai. Bila rakyat bercerai-berai, susahlah untuk menyatukannya kembali. (Lontara’ LaToa)



Dari kutipan tersebut, tampak bahwa ada tiga hal penting yang dapat dicermati, yaitu: (1) kelompok pejabat dan pemerintah mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap rakyatnya, (2) negara bukanlah berarti penguasa, tetapi negara adalah rakyat, dan (3) raja atau pemimpin adalah pengayom bagi rakyatnya. 9



Struktur Politik



Dalam struktur politik di Wajo, raja didampingi oleh tiga pejabat tinggi negara yang dikenal dengan nama Paddanrĕng (pendamping). Ketiga pejabat tinggi itu adalah Paddanrĕng Bettĕng Pola, Paddanrĕng Tĕllu Tĕnrĕng, dan Paddanrĕng Tua. Selain ketiga pejabat itu, terdapat lagi tiga pejabat negara yang disebut Bate Loppo yang merupakan wakil tiga kaum, dan masing-masing mempunyai kekuasaan di kawasannya. Masing-masing disebut Bate Loppo Pola, Bate Loppo Tĕllu Tĕnrĕng dan Bate Loppo Tua. Ketiga Paddanrĕng dan ketiga Bate Loppo merupakan sebuah Dewan yang disebut Arung Ennĕngngĕ (Dewan Pertuanan yang Enam). Selain itu, terdapat lagi sebuah lembaga yang disebut Arung Mabbicara beranggotakan 30 orang, masing-masing sepuluh orang dari mereka itu berasal dari anang (kelompok masyarakat). Mereka menjadi pendamping Paddanrĕng. Lembaga Arung Mabbicara ini dapat disebut Dewan Perwakilan (Parlemen) Kerajaan. Tugas utama Dewan Perwakilan kerajaan memiliki tugas: (1) Maddĕttĕ’ bicara: menetapkan Hukum dan UndangUndang, dan (2) Mappano pate’ bicara: mengesahkan, mengusulkan dan menyampaikan hal ihwal tentang penyelenggaraan peraturan, undang-undang untuk dilaksanakan oleh raja. Di samping itu, masih ada lagi sebuah lembaga yang disebut Suro terdiri atas tiga orang yang bertugas menyampaikan hasil permufakatan dan perintah kepada rakyat, dan masih terdapat lagi sebuah kelompok yang disebut Arung Patappuloe (pertuanan empat puluh) yang termasuk di dalamnya Arung Matoa (Patunru, 1983: 13-21).



Hubungan Pemimpin dengan Rakyat



Jalinan hubungan antara pemimpin dan rakyat digambarkan dalam LSW sebagai berikut.



Janganlah engkau hai para Arung beritikad jahat terhadap rakyatmu. Akan padam api tungkumu (padam kemuliaanmu), dan kalian penduduk janganlah beritikad buruk terhadap rajamu, akan padam api di perapianmu (engkau akan ditimpa bencana). (Lontara’ Sukkuna Wajo: 337) 10



Dalam Lontara’ Latoa ditegaskan bahwa apabila suatu ketika ada manusia, keluarga, kelompok sosial dalam masyarakat yang diperlakukan dengan tidak adil oleh raja, manusia itu dapat melakukan tindakan protes terhadap penguasa yang telah merugikannya. Kalau usaha masyarakat tidak berhasil, biasanya ditandai dengan panen padi yang gagal. Semua orang di negeri itu mulai dari penguasa atau raja sampai masyarakat biasa harus mengintrospeksi dirinya, karena di antara mereka pasti ada yang telah berbuat kesalahan. Tersebut dalam sejarah bahwa pada waktu La Manussa Toakkarangĕng menjadi Datu Soppeng di Tanah Soppeng (Kabupaten Soppeng saat ini) terjadi kegagalan panen dan orang Soppeng hampir kelaparan karena kemarau panjang. Diselidikinya sebab bencana itu, tetapi tak ada juga pejabat kerajaan yang melakukan perbuatan sewenang-wenang. Setelah lama berpikir, diingatnya bahwa raja sendiri pernah memungut barang di sawah orang lain dan menyimpannya sendiri. Itulah sebab kemarau panjang itu, pikirnya. Lalu, raja mengadili dirinya sendiri, karena tidak ada orang yang berani melakukannya, serta menjatuhkan denda pada dirinya. Dia menyembelih kerbau kemudian dagingnya dibagikannya kepada orang banyak. Di hadapan orang banyak, dia menyatakan dirinya telah bersalah karena memungut barang orang lain (Abidin, 1983: 164). Di Sidenreng Rappang, La Pagala Nene’ Mallomo pada abad XVI sebagai murid La Taddamparĕ yang baik, menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri, yang terbukti menggunakan luku orang lain tanpa seizin pemiliknya. Ketika ditanya, apa sebab memidana mati putranya, dan apakah ia menilai sama jiwa putranya dengan hanya sebuah luku, beliau menjawab: “Adĕ’ e tĕmmakiana’ tĕmmakiĕppo” (Abidin, 1983: 124). Artinya, “Hukum tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu”. Adat menjamin hak dan protes rakyat dengan lima cara sebagai berikut.



1. Mannganro ri adĕ’, memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti kemarau panjang karena dimungkinkan sebagai akibat kesalahan pemerintah. 2. Mapputane’,



menyampaikan



keberatan



atau



protes



atas



perintah



yang



memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, orang yang bersangkutan langsung menghadap raja. 3. Mallimpo-adĕ’, protes yang mendesak adat karena perbuatan sewenang-wenang raja, dan karena usaha



mapputane’ gagal. Orang banyak, tetapi tanpa 11



perlengkapan senjata, mengadakan pertemuan dengan para pejabat negara dan tidak meninggalkan tempat itu kecuali permasalahannya selesai. 4. Mabbarata, protes keras rakyat atau kaum terhadap raja, karena secara prinsipil masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan panggadĕrĕng hukum dan peraturan yang berlaku oleh raja, keluarga raja,



atau pejabat kerajaan.



Masyarakat atau kaum berkumpul di balai pertemuan (baruga) dan mendesak agar masalahnya segera ditangani. Kalau tidak, rakyat atau kaum bisa mengamuk yang bisa berakibat sangat fatal pada keadaan negara. 5. Mallĕkkĕ’ dapurĕng, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan karena rakyat telah bosan melihat kesewenang-wenangan raja di dalam negerinya dan protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: “Kamilah yang memecat raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari kekuasaannya”. (Mattulada, 1985: 417-419)



Hak koreksi rakyat terhadap perbuatan sewenang-wenang pemimpin atau pejabat negara, merupakan bukti bahwa kehidupan bernegara manusia Bugis menekankan unsur “demokrasi”. Negara menjamin hak setiap warga negaranya untuk melakukan koreksi atau protes terhadap keadaan yang menyimpang dari peraturan guna mendapatkan keadilan dari pemimpin mereka. Jaminan atau kepastian hukum yang terdapat dalam sistem sosial masyarakat Bugis, mempunyai kedudukan yang amat esensial karena berpengaruh langsung terhadap sistem kepemimpinan dari pihak penguasa. Penguasa bersikap waspada dalam mengeluarkan pernyataan atau melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan atau mengeluarkan suatu pernyataan yang mengada-ada demi kepentingan kelompok elite. Kebijakan yang menyimpang dari adat, dapat menimbulkan keadaan fatal bagi penguasa. Inilah yang merupakan batas kekuasaan, batas suatu kebijakan, dan batas suatu ambisi, agar kelompok penguasa dapat mengendalikan tugas dan tanggung jawabnya, sekaligus merupakan kontrol sosial yang ampuh bagi penguasa yang mencoba berbuat sewenangwenang.



Penutup Teori kontrak sosial yang diproklamasikan oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dalam bukunya Du Contract Social, sesungguhnya telah ada cikal bakalnya dalam sistem



12



kepemimpinan Bugis kira-kira 300 tahun sebelum teori itu diperkenalkan oleh cendekiawan Eropa, yang sedang berusaha menemukan suatu sistem yang paling tepat untuk masyarakatnya



pada abad XVIII. Unsur yang menjadi penekanan



Rousseau di dalam



teorinya itu, seperti unsur kebebasan, batas kekuasaan pemimpin, hak rakyat, peran wakil rakyat, serta sanksi terhadap pemerintah yang melanggar, menginjak-injak, atau mengingkari peraturan yang telah disepakati bersama, telah tercipta dalam dunia realitas masyarakat Bugis dan menjadi prinsip hidup masyarakat bugis sejak abad XV (Abdullah, 1985: 86).



Daftar Pustaka Abdullah, H. 1985. Manusia Bugis-Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press.



Abdullah, M. S. 1985. Birokrasi dan Pembangunan Nasional. Studi tentang Peran Birokrasi Lokal dalam Implementasi Program-Program Pembangunan di Sulawesi Selatan. Disertasi Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang: tidak dipublikasikan. Abidin, A. Z. 1969. Filsafat Hidup Sulapa Ĕppa Orang-Orang Bugis-Makassar. Bingkisan No. 12. Th. III Agustus 1969. Abidin, A. Z. 1983. Benih-Benih Pancasila yang Terpendam di Dalam Lontara Bugis: Suatu Percobaan Menggali Unsur-Unsur Pancasila dari Teks-Teks Kuno. Jurnal Lontara. Universitas Hasanuddin, Nomor 19 Tahun ke XXIII: 69--82. Abidin, A. Z. 1985. Wajo Pada Abad XV--XVI; Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara. Bandung: Penerbit Alumni.



Patunru, D. A.R. 1983. Sejarah Wajo. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.



13