Suku Bugis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SUKU BUGIS 1. Bahasa: (Lontara Jawi: ‫)اورڠ بوݢيس‬



merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.[2] Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau. Disamping itu orang-orang Bugis juga banyak ditemukan di Malaysia dan Singapura yang telah beranak pinak dan keturunannya telah menjadi bagian dari negara tersebut. Karena jiwa perantau dari masyarakat Bugis, maka orang-orang Bugis sangat banyak yang pergi merantau ke mancanegara. Daeng Pamatte' lahir di Kampung Lakiung (Gowa). Beliau adalah salah seorang tokoh sejarah Kerajaan Gowa yang tidak dapat dilupakan karena karya besar yang ditinggalkannya. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, menyebut nama Daeng Pamatte', orang lantas mengingat karyanya yaitu huruf Lontara. Dia



dikenal sebagai pencipta huruf Lontara Makassar dan pengarang buku Lontara Bilang Gowa Tallo. Pada masa Kerajaan Gowa diperintah Raja Gowa ke IX Karaeng Tumapakrisi Kallonna, tersebutlah Daeng Pamatte' sebagai seorang pejabat yang dikenal karena kepandaiannya. Tidak heran apabila ia dipercaya oleh Baginda untuk memegang dua jabatan penting sekaligus dalam pemerintahan yaitu sebagai "sabannara" (syahbandar) merangkap "Tumailalang" (Menteri Urusan Istana Dalam dan Luar Negeri) yang bertanggung jawab mengurus kemakmuran dan pemerintahan Gowa. Lahirnya karya bersejarah yang dibuat "Daeng Pamatte" bermula karena ia diperintah oleh Karaeng Tumapakrisi Kallonna untuk mencipta huruf Makassar. Hal ini mungkin didasari kebutuhan dan kesadaran dari Baginda waktu itu, agar pemerintah kerajaan dapat berkomunikasi secara tulis-menulis, dan agar peristiwa-peristiwa kerajaan dapat dicatat secara tertulis. Maka Daeng Pamatte' pun melaksanakan dan berhasil memenuhinya. Dimana ia berhasil mengarang Aksara Lontara yang terdiri dari 18 huruf . Lontara ciptaan Daeng Pamatte ini dikenal dengan istilah Lontara Toa (het oude Makassarche letters chrif) atau Lontara Jangang-Jangang (burung) karena bentuknya seperti burung. Juga ada pendapat yang mengatakan dasar pembentukan aksara Lontara dipengaruhi oleh huruf Sangsekerta. Kemudian Lontara ciptaan Daeng Pamatte' ini, mengalami perkembangan dan perubahan secara terus menerus sampai pada abad ke XIX. Perubahan huruf tersebut baik dari segi bentuknya maupun jumlahnya yakni 18 menjadi 19 dengan ditambahkannya satu huruf yakni "ha" sebagai pengaruh masuknya Islam. (Monografi Kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan 1984 : 11).



2. Sistem pengetahuan. Demikian juga dengan sistem pengetahuan orang Bugis, yang memiliki system pengetahuan di antaranya: pengetahuan tentang alam, flora, fauna, pengetahua n tentangramuan obat, pengetahuan kedutan pada bagian badan, pengetahuan  tentangappesissikeng   



(sifat dan waktu) manusia, dan pengetahuan tentang hari baik dan buruk.Dari pengetahuan di atas, mempunyai perbedaan pengetahuan dari dimana orang Bugisitu berada, terutama pada alam flora dan fauna, sedangkan tentang pengetahuan ramuanobat yang berbeda adalah jenis tumbuh-tumbuhan dan namanya tumbuhan tersebut. Daridua macam sistem pengetahuan yang berbeda tiap pemukiman orang Bugis , nampak adanya pengaruh lingkungan alam terhadap pembentuk pengetahuan  mereka. Adapun pengetahuan tentang hari baik dan buruk, kedutan-kedutan pa da bagian badan dan pengetahuan  appesissikeng  terdapat kesamaan yang umum dimengerti.



3.Sistem kemasyarakatan. Sistem kemasyarakatan 1. Assialang maola Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun ibu. 2. assialanna memang ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu. 3. ripaddeppe’ abelae ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun ibu atau masih mempunyai hubungan keluarga Adapun perkawinan – perkawinan yang dilarang dan dianggap sumbang (salimara’): 1. perkawinan antara anak dengan ibu / ayah 2. perkawinan antara saudara sekandung 3. perkawinan antara menantu dan mertua 4. perkawinan antara paman / bibi dengan kemenakan 5. perkawinan antara kakek / nenek dengan cucu Tahap – tahap dalam perkawinan secara adat : 1. Lettu ( lamaran) ialah kunjungan keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan untuk



menyampaikan keinginan nya untuk melamar calon mempelai perempuan 2. Mappettuada. (kesepakatan pernikahan) Ialah kunjungan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan waktu pernikahan,jenis sunrang atau mas kawin,balanja atau belanja perkawinan penyelanggaran pesta dan sebagainya 3. Madduppa (Mengundang) Ialah kegiatan yang dilakukan setelah tercapainya kesepakayan antar kedua bilah pihak untuk memberi tahu kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan dilaksanakan. 4. Mappaccing (Pembersihan) Ialah ritual yang dilakukan masyarakat bugis (Biasanya hanya dilakukan oleh kaum bangsawan), Ritrual ini dilakukan padah malam sebelum akad nikah di mulai, dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang dihormati untuk melaksanakan ritual ini, cara pelaksanaan nya dengan menggunakan daun pacci (daun pacar), kemudian para undangan di persilahkan untuk memberi berkah dan doa restu kepada calon mempelai, konon bertujuan untuk membersihkan dosa calon mempelai, dilanjutkan dengan sungkeman kepada kedua orang tua calon       mempelai. pasangan pengantin Hari pernikahan dimulai dengan mappaenre balanja , ialah prosesi dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabat, priawanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam makanan, pakaian wanita, dan mas-kawin ke rumah mempelai wanita. Sampai di rumah mempelai wanita langsung diadakan upacara pernikahan,dilanjutkan dengan akad nikah. Pada pesta itu biasa para tamu memberikan kado tau paksolo’. setelah akad nikah dan pesta pernikahan di rumah mempelai wanita selesai dilalanjutkan dengan acara “mapparola” yaitu mengantar mempelai wanita ke rumah mempelai lakilaki. Beberapa hari setelah pernikahan para pengantin baru mendatangi keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai wanita untuk bersilaturahmi dengan memberikan sesuatu yang biasanya sarung mappaenre botting sebagai simbol perkenalan terhadap keluarga baru. Setelah itu, baru kedua mempelai menempati rumah mereka sendiri yang disebut nalaoanni alena.



Sistem Kemasyarakatan menurut Friedericy, dulu ada tiga lapisan pokok, yaitu: 1. Anakarung : lapisan kaum kerabat raja-raja. 2. To-maradeka Tu-mara-deka : lapisan orang merdeka yang merupakan sebagian besar dari rakyat Sulawesi Selatan. 3. Ata : lapisan orang budak, yaitu orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar hutang, atau orang yang melanggar pantangan adat. Susunan Lapisan Gelar-gelar yang terdapat pada Suku Bugis: 1. Datu Datu adalah Gelara yang di berikan kepada bangsawan bugis yang memegang pemerintahan daerah, yang sekarang setingkat dengan (Bupati). 2. Arung Arung adalah Gelar yang diberikan kepada bangsawan bugis yang memegang pemerintahan wilayah yang sekarang setingkat dengan (Camat). 3. Andi Andi adala gelar yang diberikan kepada bangsawan bugis yang biasanya anak dari perkawinan antara keturunan arung dengan arung. 4. Puang Puang adalah Gelar yang diberikan kepada anak dari hasil perkawinan antara arung atau andi yang mempunyai istri          masyarakat biasa, begitupun sebaliknya. 5. Iye Iye adalah gelar yang diberikan kepada masyarakat biasa yang masih memiliki silsilah yang dekat dengan kerabat bangsawan. 6. Uwa Uwa adala kasta ter rendah dalam masyarakat bugis yaitu gelar yang diberikan kepada masyarakat biasa. ADAT ISTIADAT DAN PRILAKU HIDUP BERMASYARAKAT System norma dan aturan-aturan adatnya yang keramat dan sacral yang keselaruhnya disebut panngadderreng (panngadakkang). Sistem adat keramat dari orang bugis terdiri atas 5 unsur pokok, yaitu: 1. Ade’( ada’) Ade adalah bagian dari panggaderreng yang secara khusus terdiri dari: a. Ade’ akkalabinengeng atau norma mengenai hal-hal ihwal perkawinan serata hubungan kekerabatan dan berwujud sebagai kaidah-kaidah perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban warga



rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga dan sopan santun pergaulan antar kaum kerabat b. Ade’ tana atau norma mengenai hal ihwal bernegara dan memerintah Negara dan berwujud sebagai hukum Negara,hukum anatar Negara, serta etika dan pembinaan insan politik. Pengawasan dan pembinaan ade’ dalam masyarakat orang Bugis biasanya dilaksanakan oleh beberapa pejabat adat seperti : pakka tenniade’, puang ade’, pampawa ade’, dan parewa ade’. 2. Bicara Bicara adalah unsur yang mengenai semua aktivitas dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan keadilan, maka      kurang lebih sama dengan hukum acara,menentukan prosedurenya serta hak-hak dan kewajiban seorang yang mengajukan kasusnya di muka pengadilan atu mengajukan gugatan. 3. Rapang Contoh, perumpamaan, kias, atau analogi. Rapang menjaga kepastian dan konstinuitet dari suatau keputusan hukum  taktertulis dalam masa yang lampau sampai sekarang, dengan membuat analogi dari kasus dari masa lampau dengan yang sedang di garap sekarang. 4. Wari’ Melakukan klasifikasi dari segala benda, peritiwa, dan aktivitetnya dalam kehidupan masyarakat menurut   kategorinya. Misalnya untuk memelihara tata susunan dan tata penempatan hal-hal dan dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat; untuk emelihara jalur dan garis keturunan yang mewujudkan pelapisan social; untuk memlihara hubungan kekerabatan antara raja suatu Negara dengan raja dari Negara lain, sehingga dapat ditentukan mana yang muda dan mana yang tua dalam tata uacara kebesaran. 6. Sara’ Pranata dan hokum Islam dan yang melengkapkan keempat unsurnya menjadi lima. Dalam kasusastraan Pasengyang memuat amanat-amanat dari nenek moyang, ada contoh-contoh dari ungkapan-ungkapan yang diberikan kepada konsep siri’ seperti: 1. siri’ emmi rionrowang ri-lino artinya: hanya untuk siri’ sajalah kita tinggal di dunia. Arti siri sebagai hal yang memberi identitet social da martabat kepada seorang Bugis 2. mate ri siri’na artinya mati dalam siri’ atau mati untuk menegakkan martabat



dalam diri,yang dianggap suatu hal yang terpuji dan terhormat. 3. mate siri’ artinya mati siri’ atau orang yang sudah hilang martabat dirinya dalah seperti bangkai hidup. Kemudia akan melakukan jallo atau amuk sampai ia mati sendiri. Agama dari penduduk Sulawesi Selatan kira-kira 90% adalah Islam, sedang 10 % memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik biasanya pendatang dari Maluku, Minahasa, dan lain-lain.



4.Sistem peralatan hidup dan teknologi. Dengan terciptanya peralatan untuk hidup yang berbeda, maka secaraperlahan tapi pasti, tatanan kehidupan perorangan, dilanjutkan berkelompok,kemudian membentuk sebuah masyarakat, akan penataannya bertumpu pada sifat-sifat peralatan untuk hidup tersebut. Peralatan hidup ini dapat pula disebut sebagaihasil manusia dalam mencipta. Dengan bahasa umum, hasil ciptaan yang berupaperalatan fisik disebut teknologi dan proses penciptaannya dikatakan ilmupengetahuan dibidang teknik. Sejak dahulu, suku Bugis di Sulawesi Selatan terkenal sebagai pelautyang ulung. Mereka sangat piawai dalam mengarungi lautan dan samudera luashingga ke berbagai kawasan di Nusantara dengan menggunakan perahu Pinisi.



 Perahu Pinisi



Perahu Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat Bugisyang sudah terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di dalamnaskah Lontarak I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad ke-14M. Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat olehSawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat perahu tersebut diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangatkokoh dan tidak



mudah rapuh. Namun, sebelum pohon itu ditebang, terlebihdahulu dilaksanakan upacara khusus agar penunggunya bersedia pindah ke pohon lainnya. Sawerigading membuat perahu tersebut untuk berlayar menuju negeriTiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai. Singkat cerita, Sawerigading berhasil memperistri Puteri We Cudai.Setelah beberapa lama tinggal di Tiongkok, Sawerigading rindu kepada kampunghalamannya. Dengan menggunakan perahunya yang dulu, ia berlayar ke Luwu.Namun, ketika perahunya akan memasuki pantai Luwu, tiba-tiba gelombangbesar menghantam perahunya hingga pecah. Pecahan-pecahan perahunyaterdampar ke 3 (tiga) tempat di wilayah Kabupaten Bulukumba, yaitu diKelurahan Ara, Tana Beru, dan Lemo-lemo. Oleh masyarakat dari ketigakelurahan tersebut, bagian-bagian perahu itu kemudian dirakit kembali menjadisebuah perahu yang megah dan dinamakan Perahu Pinisi.Hingga saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai produsenPerahu Pinisi, dimana para pengrajinnya tetap mempertahankan tradisi dalampembuatan perahu tersebut, terutama di Keluharan Tana Beru.



 Sepeda Dan Bendi Sepeda ataupun Dokar, koleksi Perangkat pertanian Tadisional ini adalahbukti sejarah peradaban bahwa sejak jaman dahulu bangsa indonesia khususnyamasyarakat Sulawesi Selatan telah dikenali sebagai masyarakat yang bercocok tanam. Mereka menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian terutamatanaman padi sebagai bahan makanan pokok.



 Koleksi peralatan menempa besi dan hasilnya Jika anda ingin mengenali lebih jauh tentang sisi lain dari kehidupan masalampau masyarakat Sulawesi Selatan, maka anda dapat mengkajinya melaluikoleksi trdisional menempa besi, Hasil tempaan berupa berbagai jenis



senjatatajam, baik untuk penggunan sehari – hari maupun untuk perlengkapan upacaraadat.



 Koleksi Peralatan Tenun Tradisional Dari koleksi Peralatan Tenun Tradisional ini, dapat diketahui bahwabudaya menenun di Sulawesi Selatan diperkirakan berawal dari jaman prasejarah,yakni ditemukan berbagai jenis benda peninggalan kebudayaan dibeberapa daerahseperti leang –leang kabupaten maros yang diperkirakan sebagai pendukungpembuat pakaian dari kulit kayu dan serat – serat tumbuhantumbuhan. Ketikapengetahuan manusia pada zaman itu mulai Berkembang mereka menemukan carayang lebih baik yakni alat pemintal tenun dangan bahan baku benang kapas. Darisinilah mulai tercipta berbagai jenis corak kain saung dan pakaian tradisional.



5. Sistem mata



pencaharian.  Sistem Mata Pencaharian Masyarakat Suku Bugis, Karena letaknya yang berada di daerah dataran yang subur kebanyakan masyarakat bugis bermata pencaharian sebagai petani. Faktor ini sangat di dukung oleh kesuburan tanah yang sangat sehingga menjadikan wilayah suku bugis menjadi wilayah pertanian.mata pencaharian lainnya di suku bugis adalah nelayan, selain terletak di dataran yang subur suku bugis juga mempunyai wilayah di pesisir yang di anugrahi banyak sumber daya yang melimpah di lautan. Hal ini di manfaatkan masyarakat untuk mencari penghasilan di lautan.



Mata pencaharian terakhir yang banyak di geluti oleh masyarakat bugis adalah pedagang karena hasil dari para petani dan nelayan akan di distribusikan ke pedagang pedagang, lalu pedagang mengumpulkan jumlah yang lebih besar dan di distribusikan kembali ke masyarakat umum suku bugis. Dari semua mata pencaharian semua inilah masyarakat suku bugis mendapatkan perekonomian untuk mencukupi kehidupan sehari-harinya. Selain itu pada masa sekarang masyarakat suku bugis juga sudah banyak yang mengenyam dunia pendidikan dan masuk ke dunia birokrasi pemerintahan.jadi dari birokrasi yang telah dijalankan sebagian kecil masyarakat bugis mampu mendapatkan perekonomian yang baik. Tapi mata pencaharian yang sangat umum adalah petani, hal ini dikarenakan banyak kebutuhan kebutuhan masyarakat suku bugis sehari harinya dihasilkan oleh lading pertanian misalnya seperti beras, jagung, tembakau. Demikian juga halnya dalam budaya masyarakat tani Bugis. Sebelum mengenal agama Islam, mereka telah memiliki kepercayaan asli (ancestor belief) dan menyebut Tuhan dengan nama Dewata SeuwaE’, yang berarti Tuhan kita yang satu. Bahasa yang digunakan untuk menyebut nama Tuhan itu menunjukkan orang Bugis memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa secara monoteistis. Istilah Dewata SeuwaE dalam aksara lontara, dibaca dengan bermacam ungkapan, misalnya Dewata, Dewangta, dan Dewatangna yang merupakan cerminan dari sifat dan esensi Tuhan dalam pandangan teologi orang Bugis. De’watangna berarti tidak berwujud, sedangkan De’wangta atau De’batang berarti yang tidak bertubuh. Kepercayaan orang Bugis kepada Dewata SeuwaE hingga kini masih berbekas dalam bentuk tradisi dan upacara adat. Kedua kepercayaan asli tersebut mempunyai konsep tentang alam semesta yang diyakini masyarakat pendukungnya terdiri atas tiga dunia, yaitu dunia atas (boting langi), dunia tengah (lino atau ale kawa) yang dihuni manusia, tanaman dan ternak, serta dunia bawah (peretiwi). Setiap dunia mempunyai penghuninya masing – masing, satu dengan yang lain saling mempengaruhi dan pengaruh itu berakibat



pula terhadap kelangsungan kehidupan manusia. Dalam perspektif usaha/kerja, masyarakat Bugis umumnya juga memaknai hidup ini dengan kerja keras (reso’/jamang). Bahkan dalam adat istiadat orang Bugis, makna reso’/jamang merupakan bagian dari kehormatan (siri’). Dalam pandangan orang Bugis, sangat memalukan jika seorang yang sudah cukup umur namun tidak memiliki pekerjaan, bahkan menjadi beban bagi orang lain (masiri narekko tuo mappale). Sehingga tidak mengherankan jika dalam kebudayaan petani Bugis memegang teguh prinsip reso’ temmangingngi nalletei pammase dewata (usaha yang sungguh – sungguh diiringi ridha Yang Maha Kuasa), dan inilah yang menjadikan suku Bugis terkenal sebagai salah satu suku pekerja ulet disegala bidang, termasuk dalam bidang usahatani. Terlebih lagi Sulawesi Selatan pada umumnya adalah sentra tanaman pangan, dan sawah adalah salah satu tolok ukur wibawa suku Bugis. Budaya kerja masyarakat tani suku Bugis begitu melekat pada diri pribadi mereka, sehingga kemanapun merantau (sompe’), prinsip kerja keras menjadi bagian hidup mereka, dan ikut mewarnai hidupnya. Fakta menunjukkan, suku Bugis terkenal sebagai pelaut ulung dalam mengarungi lautan, pekerja ulet dalam bidang usahatani, dan pengusaha yang sabar dalam menjalankan usahanya. Salah satu corak budaya tani orang Bugis adalah mappataneng, tradisi berusahatani ala Bugis yang dilakukan suku Bugis di Kalimantan, khususnya Kabupaten Nunukan. Tradisi mappataneng di lakukan oleh masyarakat tani suku Bugis yaitu bertanam padi di sawah secara berkelompok. Sebelum acara mappattaneng dilaksanakan, tokoh adat atau orang yang dituakan/rohaniawan (panrita) akan mengundang petani setempat untuk tudang sipulung (bermusyawarah) menentukan waktu bertanam. Dalam acara ini biasanya unsur pemerintah ikut dilibatkan, yaitu PPL maupun aparat desa/kecamatan setempat. Setelah waktu tanam ditetapkan, maka acara mappataneng akan didahului dengan pembacaan do’a tolak bala (doa salama’) dengan maksud agar usahataninya terbebas dari segala bencana dan serangan hama – penyakit tanaman. Dalam pembacaan do’a tolak bala ini, disajikan berbagai hasil bumi



dari panen tahun lalu. Do’a biasanya dibaca di rumah petani yang bersangkutan, atau biasa juga dibawa ke sawah secara kolektif. Dalam kegiatan ini, benih padi yang akan ditanam diisi daun penno penno, diturutsertakan dalam acara pembacaan do’a tersebut. Daun penno – penno adalah jenis daun yang biasa tumbuh di sekitar rumah dan disertakan dalam upara tersebut dengan harapan hasil panen akan melimpah ruah (kata penno dalam bahasa Bugis artinya penuh). Setelah upacara doa salama’ di laksanakan, benih padi lalu disebar ke pesemaian. Selanjutnya teknik budidaya usahatani pada padi sawah tetap menggunakan petunjuk PPL setempat. Jika waktu panen telah tiba, maka dilakukan acara mappasangki. Seperti mappataneng, acara ini juga dilakukan secara bergotong – royong dengan melibatkan petani lainnya. Mereka dengan cara bergantian memanen padi di sawah. Hal yang menarik dalam kegiatan ini adalah terjadi interaksi dari dua pola budaya berbeda, dimana seringkali petani Bugis mengundang petani suku Tidung untuk ikut massangki di sawah. Petani yang ikut membantu tidak diberi upah, namun diberi bagian sedikit hasil panen agar mereka bersama – sama merasakan nikmatnya berre (beras) hasil panen ase (padi) baru. Jika seluruh padi telah dituai, maka mereka kembali melakukan acara syukuran (do’a salama) sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah melimpahkan rahmat dan kurunia sehingga hasil panen dapat dinikmati oleh para petani. Seiring perjalanan waktu, dan interaksi diantara berbagai budaya di Nunukan, serta terjadinya asimilasi diantara berbagai suku yang ada, acara mappataneng dan mappassangki tidak lagi dilaku kan secara menyeluruh oleh petani Bugis di Nunukan. Namun di beberapa tempat, seperti di Sebatik, masih dilakukan oleh beberapa petani Bugis sebagai warisan leluhur mereka dari Sulawesi Selatan.



6. Sistem Religi Banyak sekali sistem religi yang dianut oleh bangsa kita, mulai dari animisme, dinamisme hingga munculnya agama bumi dan agama langit, semua itu adalah kepercayaan yang dianut oleh masyarakat bangsa kita. Animisme percaya pada roh nenek moyang dan dinamisme percaya akan benda



yang memiliki kekuatan gaib merupakan bagian dari sistem religi yang ada dalam masyarakat kita.  Sistem To Lotang To Lotang adalah nama sebuah komunitas kecamatan bugis yang bermukim di amparita,kabupaten sidenreng rappang.nama terrsebut merupakan symbol dari sebuah kepercayaan yang mereka anut dan sekaligus menjadi nama masyarakat penganut ajaran agama tersebut. Kepercayaan yang didirikan oleh La Panaungi karena mendapat wahyu dari Sawerigading untuk melanjutkan ajarannya dan melakukan pemujaan terhadap dewata sawwae.kitab suci dari ajaran ini adalah La Galigo. Kitabb suci ini disimpan dan dilafalkan oleh pemimpin mereka yang disebut “uwak” dan kemudian akan diwariskan secara turun menurun kepada penerusnya secara lisan. Dalam masyarakat terdapat tujuh orang uwak yang salah satunya di angkat menjadi emimpin dan dinamakan “uwak battoa” atau disebut juga pemimpin besar. Sementara uwak lainnya memiliki garis tugas masing masing diantara mengurusi ddaerah persawahan, upacara adat, kehidupan social, penyelenggaraan upacara ritual dan lain sebagainya. Menurut pengakuan uwak languga setti sebagai salah satu tokoh masyarakat Lo Toang yang bertindak sebagai juru bicara, nama tersebut bukanlah nama kepercayaan kami ( lo lotang). Karena nama tersebut pada mulanya adalah nama raja yang pernah memimpin di sedenreng sejak 1609-1910 terhadap kelompok atau komunitas Lo Lotang. pada mulanya masyarakat To Lotang adalah masyarakat penggungsi dan dari daerah asalnya yang bernama Wani di Kerajaan (Kabupaten Wojo). Daerah di sebelah barat dan tempatnya sekarang. Ketika masa pengislaman kerajaan du sulsel yang dibawa oleh ulama dari melayu dan dibantu oleh kerajaan gowa pada mula abad 17 tahun 1610. nama Lo Lotang adalah panggilan raja jika ingin berkomunikasi kepada orang wani yang ada di Amparta. Nama Lo Lotang yang berarti orang selatan diberikan kepada komunitas tersebut karena masyarakat tersebut berada disebelah



selatan sungai sidenreng atau istana kerajaan sidenreng. Nama yang semula tidak dikenali oleh masyarakat mulai di kenal oleh masyarakat setempat.



7. Kesenian Alat musik Kacapi ( kecapi) Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai, diambil karena penemuannya dari tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun.



Sinrili alat musik yang mernyerupai biaola cuman kalau biola di mainkan dengan membaringkan di pundak sedang singrili di mainkan dalam keedaan pemain duduk dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya. Gendang Pa' Gendang Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar seperti rebana.



seruling Suling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu: • Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada.



Suling jenis ini telah punah. • Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan dimainkan bersama penyanyi • Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau acara penjemputan tamu. Seni Tari • Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan. • Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan   bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan. • Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang menenun benang menjadikain. Melambangkan kesabaran dan ketekunan perempuan-perempuan Bugis. • Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabai (waria), namun jenis tarian ini sulit sekali ditemukan bahkan dikategorikan telah punah. • Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa’, tari Pa’galung, dan tari Pabbatte (biasanya di gelar padasaat Pesta Panen).



8. Kesimpulan Makassar merupakan daerah di Indonesia yang mempunyai keragaman ras,budaya,bahasa,dan lain-lain.Adanya keragaman budaya yang ada di makassar di maksudkan bahwa setiap manusia memiliki perbedan-per bedaan yang ada karena individu memiliki ciri khas sendiri.Maka di Makassar terdapat keragaman warna dan kebudayaan.Adanya keragaman juga di pengaruhi oleh keadaan geografis suatu lingkungan Masyarakat.



TUGAS KLIPING D I S U S U N Oleh: Steve Patrick Yonardy 2019349 XI IPS 2