Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN Oleh: Muh. Rifaul Imani 17103070044 Sejarah terhadap perlindungan hak asasi manusia sudah dimulai sejak adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948. Di sana memang tidak terlalu terdapat elaborasi tentang hak-hak manusia dalam perspektif gender. Selanjutnya yang juga menjadi penting adalah memahami HAM atas diri perempuan yang berdampak pada peningkatan harapan dan kebutuhan atas HAM itu sendiri. Hak asasi manusia mempunyai ciri seperti yang DUHAM nyatakan, berbagai hak yang tidak boleh dicabut/ dibatalkan dan tidak boleh dilanggar. Indonesia telah melaksanakan berbagai konvensi PBB dalam berbagai kebijakan publik yang berisikan perjuangan kesetaraan gender. Kebijakan publik berupa Undang-Undang dan peraturan sebagai berikut: (a) Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala bentuk diskriminasi terhadap wanita (Convention on the Elimination of All Formes of Discrimination Against Women). (b) Undang-Undang Republik Indonesia No 34 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 48 Undang-Undang HAM dikatakan Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Pasal 60 ayat (1) menyatakan setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.1 Pendidikan merupakan alat yang sangat penting untuk mencapai kesetaraan gender hubungan antara laki-laki dengan perempuan, masih banyak dijumpai kebijakan-kebijakan pembangunan yang bias gender dan terkesan mengabaikan peran perempuan. Itu terlihat dalam kehidupan masyarakat masih terdapat banyak nilai-nilai dan praktek budaya yang menghambat keadilan serta kesetaraan gender. Dalam UU Cedaw hasil ratifikasi masalah pendidikan dibahas di article 11 dalam UndangUndang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1984 yang menyatakan bahwa: 1



Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)



Negara-negara Pihak wajib untuk mengambil semua upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam rangka untuk memastikan hak yang sama dengan laki-laki dalam bidang pendidikan, dan terutama untuk menjamin atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan: a. Kondisi yang sama untuk pengarahan karir dan kejuruan, untuk akses pada pembelajaran dan untuk memperoleh diploma dari lembaga-lembaga pendidikan pada semua kategori baik di wilayah pedesaan maupun di wilayah perkotaan; persamaan ini harus dijamin dalam pendidikan pra-sekolah, umum, teknik, profesi dan pendidikan teknik yang lebih tinggi, demikian pula dalam semua jenis pelatihan kejuruan; b. Akses untuk mata pelajaran yang sama, ujian yang sama, staf pengajar dengan kualifikasi standar yang sama, serta kualitas tempat dan perlengkapan sekolah yang sama; c. Penghapusan setiap konsep yang stereotip tentang peranan laki-laki dan perempuan di semua tingkat dan semua bentuk pendidikan, dengan menganjurkan pendidikan campuran (perempuan dan laki-laki) dan bentuk pendidikan lain yang dapat membantu pencapaian tujuan ini, dan terutama dengan merevisi buku-buku pelajaran dan program-program sekolah serta menyesuaikan metode-metode pengajaran. d. Kesempatan yang sama untuk mendapatkan manfaat dari beasiswa dan bantuan belajar lainnya. e. Kesempatan yang sama untuk memiliki akses atas program pendidikan lanjutan, termasuk program orang dewasa dan pemberantasan buta huruf yang fungsional, khususnya yang bertujuan untuk mengurangi, pada saat sedini mungkin, setiap perbedaan yang ada dalam pendidikan antara laki-laki dan perempuan. f. Untuk mengurangi tingkat putus sekolah bagi perempuan dan menyelenggarakan program-program bagi remaja putri dan perempuan yang meninggalkan sekolah sebelum tamat. g. Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi secara aktif dalam pendidikan olahraga dan jasmani



h. Akses terhadap informasi pendidikan tertentu untuk membantu memastikan kesehatan dan kehidupan keluarga yang baik, termasuk informasi serta nasehat bagi keluarga berencana. Dalam Women's Studies Encyclopedia, sebagaimana yang dikutip oleh Nasaruddin Umar gender didefinisikan sebagai konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.2 Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan. Konsep gender sendiri harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat dalam hal ini perempuan masih dibawah kekuasaan laki-laki. Hal ini disebabkan karena peranan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat mensubordinasikan perempuan dibawah kekuasaannya. Melihat kedudukan dan peranan strategis dari seorang ibu dalam proses pendidikan, sudah sewajarnyalah apabila peranan peempuan dalam proses pendidikan dalam hidup bermasyarakat mendapatkan tempat yang sewajarnya. Dimana kesetaraan gender merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Kebebasan yang berkeadilan menuntut kesetaraan antara lakilaki dan perempuan. Kebebasaan yang demikian ialah kebebasan yang berkeadilan, artinya terdapat pembagian kekuasaan yang adil (fair) antara laki-laki dengan perempuan antara lain karena perbedaan biologis antara keduanya. Tujuan dari pendidikan berperspektif gender diantaranya adalah: 1. Mempunyai akses yang sama dalam pendidikan, misalnya anak pria dan wanita mendapat hak yang sama untuk dapat mengikuti pendidikan sampai kejenjang pendidikan formal tetentu, tentu tidaklah adil, jika dalam era global sekarang ini menomorduakan pendidikan bagi wanita apalagi kalau anak wanita mempunyai kemampuan. Pemikiran yang memandang bahwa wanita merupakan tenaga kerja di Helen Tierney (ed.), Women's Studies Encyclopedia, vol. 1, New York: Green Wood Press, h. 153 dalam Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif alQur'an, Paramadina, Jakarta: 2001, hal. 33-34 2



sektor domestik (pekerjaan urusan rumah tangga) sehingga tidak perlu diberikan pendidikan formal yang lebih tinggi merupakan pemikiran yang keliru. 2. Kewajiban yang sama, umpanya seorang laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kewajiban untuk mencari ilmu. Sejalan dengan hadist nabi “menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan.” 3. Persamaan kedudukan dan peranan contohnya baik pria dan wanita sama-sama kedudukan sebagai subjek atau pelaku pembangunan. Kedudukan pria dan wanita sama-sama berkedudukan sebagai subjek pembangunan mempunyai peranan yang sama dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan menikmati hasil pembangunan. Akhirnya berkaitan dengan persamaan kesempatan. Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan gender dalam pembangunan Nasional.



Instruksi



presiden



bertujuan



melaksanakan



pengarustamaan



gender



guna



terselenggarannya perencanaan, penyusunan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing. Pengarustamaan gender dilaksanakan antara lain melalui analisis gender dan upaya komunikasi, infomasi, informasi dan edukasi dan lembaga pemerintah ditingkat pusat dan daerah. Pada tahun 2013, kajian Satu Dekade Pengarusutamaan Gender bidang Pendidikan terdapat rekomendasi dalam mengembangkan pengarusutamaan gender, yaitu3 1. Peraturan Kemdikbud dan Kemenag yang mewajibkan semua Direktorat Genderal untuk mengarusutamakan kesetaraan gender dalam pendidikan di semua jenjang pendidikan. 2. Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mewajibkan semua pemerintah daerah dan DPRD untuk mengarusutamakan kesetaraan gender dalam pendidikan di semua jenjang pendidikan. 3. Peraturan Menteri Agama yang mewajibkan semua Kantor Wilayah dan Kantor Kemenag Kab/Kota untuk mengarusutamakan kesetaraan gender dalam pendidikan di semua jenjang pendidikan.



BAPPENAS, Kaji Ulang Satu Dekade Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan di Indonesia (Jakarta: BAPPENAS, 2013), 3. 3



Untuk memberikan keadilan gender dalam hal pendidikan, ACDP (2013) memberikan referensi sebagai berikut.4 Pertama, Pendekatan Pembelajaran yang Responsif Gender. Pendekatan mengajar dan metode yang digunakan dalam mengajar, menilai, dan berinteraksi dengan murid bisa menjadikan murid laki-laki sebagai favorit ketimbang murid perempuan. Hal ini berhubungan dengan kebiasaan di Indonesia di mana murid perempuan sering tidak didorong untuk berbicara di depan umum untuk menyatakan opini mereka atau mempertanyakan otoritas yang sebagian besar di bawah kendali laki-laki. Kedua, Kesetaraan gender dalam kurikulum, Kurikulum memiliki peran pokok dalam menjamin bahwa anak laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang setara dalam mencapai keberhasilan dan memasuki jenjang sekolah yang lebih tinggi. Namun demikian, bias gender dalam kurikulum dan materi belajar mengajar masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang dan berpendapatan menengah. Menambahkan praktik yang baik dalam pengarusutamaan kesetaraan gender ke dalam kurikulum dan materi pengajaran termasuk revisi berkala dari materi-materi ini untuk menyertakan pendekatan yang sensitif gender dan perspektif gender. Pembentukan lembaga formal yang bertugas untuk menghilangkan stereotip gender dalam buku pelajaran dan materi pembelajaran lainnya. Ketiga, tentang kesetaran gender dalam pengembangan guru. Praktik yang baik dalam pengembangan guru untuk mendukung kesetaraan gender berarti melengkapi pemahaman guru terkait kesetaraan gender di kelas, di lingkungan sekolah dan sekitarnya, dan dalam masyarakat umumnya. Untuk mencapai hal ini, guru perlu memiliki kemampuan untuk mempromosikan pemahaman ini di kelas dan mengembangkan strategi dan solusi praktis dalam mengatasi berbagai tantangan pembelajaran yang dihadapi murid laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, perlu diperjuangkan kesetaraan gender dalam pendidikan dengan memasukkan materi-materi gender dalam kurikulum dengan melakukan upaya pengintegrasian materi-materi gender dalam kurikulum yang berkesinambungan. Upaya pengintegrasian tersebut dapat ditempuh dengan beberapa langkah : a. Contribution approach. Upaya tersebut dilakukan dengan memasukkan masalahmasalah gender dalam kurikulum melalui sistem dan kebijakan public. Education Sector Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) Indonesia, Policy Brief, “Kesetaraan Gender dalam Pendidikan di Indonesia”, September 2013. 4



b. Additive approach. Upaya tersebut dilakukan dengan melakukan adaptasi terhadap ide atau gagasan baru tentang gender tanpa mengubah struktur kurikulum yang telah ada. c. Transformational approach. Upaya tersebut dilakukan dengan mengubah seluruh tujuan, struktur dan perspektif yang ada dengan isu-isu gender. d. Social action approach. Upaya tersebut dilakukan dengan memberikan pemahaman dan ruang diskusi gender di kelas agar peserta didik mampu melihat isu-isu gender dengan bijak dan dapat mengambil keputusan dengan tepat dalam menyikapi isu tersebut. Patut dicatat bahwa dalam mengembangkan integrasi kurikulum perspektif gender sepatutnya memuat nilai-nilai : persamaan hak, perbedaan fisik, kerjasama, partispasi, keadilan, kesetaraan, kemajemukan dan prinsip demokrasi antara laki-laki dan perempuan. Untuk mewujudkan kurikulum yang dimaksud perlu diambil langkah-langkah kongkrit yaitu : merumuskan visi, misi, tujuan, dan pengembangan diri yang mencerminkan kurikulum berbasis kesetaraan gender, mengkaji standar kompetensi, kompetensi dasar pada standar isi yang dapat diintegrasikan oleh nilai-nilai kesetaraan gender tiap-tiap mata pelajaran dan mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dalam indikator atau kegiatan pembelajaran pada silabus dan rencana pembelajaran.