Kesusastraan Bugis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KESUSASTRAAN BUGIS



Oleh: Andi Ilmi Asrianti Asdar 155114001 Sastra Indonesia



JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2020



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam karena atas izin dan kehendakNya jualah makalah sederhana ini dapat kami rampungkan tepat pada waktunya. Dalam penulisan makalah ini penulis menemui berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan penulis mengenai hal yang berkenan dengan penulisan makalah ini. penulis menyadari akan kemampuan penulis yang masih amatir. Dalam makalah ini penulis sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi penulis yakin makalah ini masih banyak kekurangan disana-sini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan juga kritik membangun agar lebih maju di masa yang akan datang. Harapan penulis, makalah ini dapat menjadi track record dan menjadi referensi bagi penulis dalam mengarungi masa depan. penulis juga berharap agar makalah ini dapat berguna bagi orang lain yang membacanya.



                                           



                                              



Makassar, 26 Februari 2020



 Penulis



BAB II PEMBAHASAN Dilihat dari tradisi perkembangannya, sastra bugis kuno menempuh dua cara yaitu, tradisi lisan dan tulisan. Sastra bugis kuno dalam tradisi tulis sebagian naskahnya masih dapat dibaca hinggasaat ini. Karya tersebut terekam dalam bentuk naskah tulisan tangan (manaskrip) misalnya di daun lontar, kertas, atau bambu. Pada dasarnya, masa pertumbuhan sastra bugis dibagi tiga periode yaitu: Periode awal, yang ditandai dengan munculnya karya sastra bugis yang kemudian disebut karya sastra galigomattulada. Misalnya memperkirakan antara abad ke-7 hingga ke-10 sezaman dengan kerajaan Hindu Budha di Nusantara seperti Sriwijaya dan Syailendra. Fachruddin Ambo Enne memperkirakan sekitar abad ke-14 atau masa perkembangan sastra galigo sezaman dengan kerajaan majapahit dan malaka seperti yang disebut dalam naskah galigo Periode kuno, para pakar menyebutnya zaman tamanurung atau periode lontarak yaitu sebuah zaman yang ditandai dengan munculnya sebuah bentuk pustaka bugis yang berbeda dengan pustaka galigo (sastra). Dalam periode ini muncul atau berkembang dua bentuk pustaka bugis ada yang tergolong karya sastra dan ada yang bukan, yang tergolong karya sastra disebut tolak dan yang bukan disebut lontarak. Masa pertumbuhan kedua bentuk pustaka ini diperlukan abad ke-15 sampai abad ke-20. Ketika periode lontarak berkembang beberapa lama, muncul pula bentuk pustaka bugis yang lain dari kedua bentuk karya sastra yang  berkembang sebelumnya (galigo dan tolok) namun dalam waktu yang bersamaan antara tolok dan lontarak hidup dan berkembang berdampingan dengan bentuk sastra baru tersebut. Selain sastra tolok muncul pula sastra lain seperti pau-pau danjuga prosa yang merupakan hikayat, pustaka lontarak yang berbau Islam juga berkembang pada periode ini. Periode awal diwakili oleh sastra galigo (mitos) periode berikutnya sastra pau-pau (legenda) kemudian disusul dengan periode tolok dan terakhir elong. Dilihat dari tradisi berkembangnya,sastra bugis kuno menempuh dua cara,yaitu tradisi lisan (oral Tradision) dan tradisi tulis (literary tradition),dan keduanya ada yang berkembang seiring dalam waktu yang bersamaan.Terkadang sebuah karya sastra terdapat dalam dua tradisi,yaitu lisan dan menulis.Khusus dalam sastra bugis kuno dalam tradisi tulis sebagian naskahnya masih dapat dibaca hingga saat ini . Karya sastra tersebut terekam dalam bentuk naskah tulisan tangan yang menggunakan bahan dari berbagai jenis,misalnya daun lontar,kertas,atau bahan dari bambu. Mengenai kepustakaan bugis kuno ini,dapat dinyatakan bahwa secara garis besar dapat digolongkan kedalam dua macam yaitu,pustaka yang tergolong karya sastra dan pustaka yang bukan karya sastra.Pustaka yang tergolong karya sastra terbagi kedalam dua bentuk yaitu puisi



dan prosa.Karya sastra yang tergolong Puisi (disebut surek) terbagi lagi kedalam empat kelompok atau empat jenis,yaitu: galigo,pau-pau,tolok,dan elong.Keempat jenis puisi Bugis (surek) ini,jika dilihat bentuknya , maka dapat digolongkan lagi kedalam dua jenis,yaitu: galigo,pau-pau,dan tolok berupa puisi naratif yang ceritanya pada umumnya panjang(puluhan atau ratusan halaman),sedangkan elong hanya berupa pernyataan yang mungkin satu atau beberapa bait saja sudah dapat mengemukakan maknanya secara lengkap. 1.Sastra Galigo (mitos) Masa perkembangan sastra galigo diperkirakan oleh beberapa pakar secara berbeda.Misalnya Mattulada memperkirakan antara abad ke-7 hingga abad ke-10 se-zaman dengan perkembangan kerajaan hindu di nusantara,berbeda halnya dengan pendapat Fachruddin Ambo Enre yang memperkirakan sekitar abad ke-14 atau sezaman dengan perkembangan kerajaan malaka dan kerajaan majapahit sebagaimana dalam naskah galigo. Perkiraan lain mengemukakan bahwa galigo dikarang sebelum agama islam menjadi anutan banyak di Sulawesi selatan.Dalam hal ini sebelum tahun 1600,karena tidak ditemukannya pengaruh atau ajaran islam didalamnya.Sedangkan Millis memperkirakan waktu penulisan galigo yakni awal abad ke14,dengan mengambil dasar beberapa kronik yang menyinggung cerita galigo sebagai dasar pemikiran.Salah satu contoh sastra galigo terdapat dalam cerita Meong Palo Bolonge.Kisah meong palo bolonge menceritakan tentang Sangiaseri tidak lagi dihargai oleh masyarakat luwu,ia tidak lagi ditempatkan disinggasana mulianya,penduduk tidak lagi mematuhi petuah,pantangan,dan larangannya.Ia dimakan tikus pada malam hari dan dipatok ayam pada siang hari serta Meong Palo Bolonge yang selalu setia mengawalnya justru disiksa oleh manusia.Dalam kondisi yang menyedihkan itu,Ratu Padi(Sangiaseri),dan meong palo bolong serta pengawal-pengawalnya sepakat untuk meninggalkan tempat itu dan pergi mengembara.Dalam pengembaraannya yang berlangsung lama Ratu Padi akhirnya sampai di Barru.Perjalanannya dari enrekang hingga lisu digambarkan penuh rintangan dan tantangan akibat perlakuan orang yang tidak senonoh.Akan tetapi ketika sampai di barru Ratu Padi beserta rombongannya mendapatkan perlakuan yang beda,Masyarakat barru menyambut Ratu Padi dengan baik,dijamu,di istirahatkan di rakeang.Mereka dilayani dengan penuh keramatamahan penduduk sehingga Ratu Padi beserta rombongannya betah berada di barru.Tak lama kemudian Ratu Padi sangat letih dan sedih mengingat perlakuan yang tidak baik yang diterimanya dari masyarakat selama pengembaraannya,maka Ratu Padi memutuskan untuk meninggalkan bumi dan naik kelangit menemui orang tuanya yang bertahta di “Boting Langi”(kerajaan langit).Setelah sampai di langit Ratu Padi beserta rombongannya tidak diperkenankan untuk tinggal di langit sebab keberadaan Ratu Padi sudah ditakdirkan untuk mamberi kehidupan kepada manusia di bumi.Atas keputusan itu,Ratu Padi beserta rombongannya akhirnya kembali ke bumi dan daerah Barru yang mereka pilih sebagai tempat menetap mereka.Setelah Tujuh hari Tujuh malam Sangiaseri tiba di Barru(tiba dari langit) barulah ia member petunjukpetunjuk,petuah,nasehat,serta pandangan khususnya yang berkaitan dengan bidang pertanian serta norma-norma hidup masyarakat Bugis,diyakini oleh masyarakat bahwa dengan patuh



terhadap segala amanah dari Angiaseri tentunya akan mendatangkan kemaslahatan hidup sebab dengan demikian ia akan tinggal menetap di Barru. 2.Sastra Pau-Pau(legenda) Pada masa antara galigo dan tolok, lahir beberapa bentuk sastra bugis lainnya,yaitu : pau-pau (cerita rakyat legenda),dan pau-pau rikodong (dongeng singkat),sastra inii merupakan saduran dari sastra melayu kuno atau sastra parsi. Dalam kesusastraan bugis kuno,ada cerita rakyat yang dalam tulisan ini digolongkan sebagai pau-pau belum pernah diteliti secara mendalam,sebagai contoh salah satu jenis naskah yang isinya tergolong pau-pau yang berjudul “La Padomo Ennaja”.Jenis karya sastra ini cukup unik,kekhasannya terletak diantara dua jenis sastra bugis yang disebutkan terdahulu,yaitu galigo dan tolok. Masa pertumbuhan karya sastra ini pun diduga berada antara masa galigo dan masa tolok.Dilihat dari segi tema,tokoh,dan latar cerita hampir atau bahkan boleh dikatakan sama dengan sastra galigo,yaitu tema umumnya menyangkut perjuangan; perang,pengembaraan,ratapan,,cinta, kasih,atau perkawinan.Dari segi tokoh ,juga mirip karena pelaku-pelakunya dapat menjangkau tiga dunia,seperti naik ke langit,turun ke dunia bawah(peretiwi),atau menyeberang kea lam akhirat.Dan dari segi latar cerita,juga berkisar pada tiga ruang ,yakni bumi,langit,dan dunia bawah.Salah satu contoh sastra pau-pau adalah LaDadok Lele Angkurue.Kisah Ladadok Lele Angkurue bercerita tentang seseorang yang jatuh cinta kepada seorang gadis dan ingin menikahinya akan tetapi gadis tersebut menyampaikan syarat yang sangat berat yakni jika ingin menikahinya harus menyediakan mahar yang berupa Padi dan Istana Manurung yang berasal dari langit.Syarat yang diajukan tersebut sangat berat untuk dipenuhi olrh manusia sehingga Ladadok menjadi sedih dan mengurung diri,melihat tuannya yang bersedih maka ayam Ia Pute Innokkinnong(milik Ladadok) meminta izin untuk menghadap kepada Dewata Patotoe agar persyaratan yang diminta oleh We Anek(sang gadis) dapat dipenuhi dengan bantuan Dewata Patotoe.Setelah menghadap Dewata Patotoe permintaan Ladadok dipenuhi dan akhirnya Ladadok dapat menikahi We Anek.namun baru saja sudah menikah We Anek marah kepada Ladadok,kemudian We anek ditanyai apa sebabnya We Anek marah,kemudian We Anek mengatakan bahwa dahulu Ladadok pernah mengambil perhiasannya ketika masih muda agar dapat diizinkan untuk naik keperahu Ladadok,We Anek menginginkan perhiasannya kembali,namun perhiasan itu telah lama hilang ketika suatu saat ladadok pergi berlayar ia tekena badai sehingga semua perhiasan itu hilang di laut.Akan tetapi We Anek masih menginginkan perhiasannya maka bersedilah kembali Ladadok,melihat tuannya bersedih maka ayam La Pute turun kebawah dan menghadap Dewata Peretiwi.Setelah menghadap Dewata Peretiwi maka permintaan Ladadok agar emas We Anek dikembalikan dikabulkan sehingga We Anek merasa senang dan rumah tangga Ladadok pun diliputi kebahagiaan hingga We Anek mengandung,mengetahui istrinya mengandung Ladadok memesan pada pedagang jawa sebuah keris dan tombak siapa tahu anaknya kelak laki-laki,namun setelah melahirkan We Anek ternyata melahirkan anak perempuan dan We Anek menyuruh Ladadok untuk pergi ke tanah



jawa agar pesanan kris dan tombak diganti menjadi kain lembut untuk wanita.Dengan demikian berangkatlah Ladadok ke tanah jawa,disana ia bertemu pedagang jawa dan mengganti pesanannya dengan kain lembut untuk wanita sebab anaknya perempuan.Sebelum pulang Burung Jawa datang menghadap pada Ladadok dan mengatakan akan terbang ke negeri Bugis makka Ladadok pun menyampaikan salam untuk istri dan juga anaknya dan menyuruh Burung Jawa untuk menyampaikan kepada istrinya bahwa ia terlibat hubungan mesra dengan wanita bangsawan jawa.Mendengar berita tersebut We Anek merasa sedih dan tak lama kemudian We Anek meninggal disusul oleh putrid bangsawannya.Setelah sampai di negeri Bugis dan mendengar bahwa istri dan juga putrinya telah meninggal akibat dilanda kerinduan kepadanya maka Ladadok pun mengatakan akan menyusul istri dan juga anaknya dan mengatakan kalau mereka belum menyebrang ke alam akhirat maka ia akan mengembalikannya ke bumi.Setelah itu meninggal pula Ladadok.Setelah meninggal Ladadok bertemu istri dan juga anaknya disebuah titian menuju kealam akhirat.Setellah bertemu istri dan juga anaknya Ladadok menyampaikann maksud untuk membawa mereka kembali ke bumi dan usul tersebut di setujui oleh We Anek,maka berangkatlah mereka ke langit menemui Dewata Patotoe agar mereka dapat kembali lagi ke bumi.Setelah kembali ke bumi,ibunda We Anek jatuh sakit dan meninggal dan menyerahkan tahtanya kepada We Anek,setelah masa berkabung ,We Anek sekeluarga kembali berbahagia dan menjadi Ratu di kerajaan Annung. 3.Sastra Toloki (kisah kepahlawanan) Setelah periode sastra galigo berhenti ,muncul kemudian bentuk sastra bugis yang berbeda dengannya.Perbedaan tersebut tidak hanya dari segi tema,latar,dan konvensinya saja,melainkan juga dari segi tokoh serta cerita yang diceritakannya.Periode kedua ini ,para pakar menyebutnya zaman Tomanurung atau periode lontarak,yaitu sebuah zaman yang ditandai dengan munculnya sebuah bentuk pustaka Bugis yang berbeda dengan pustaka (sastra) galigo.Dalam periode ini muncul atau berkembang dua bentuk pustaka bugis, ada yang tergolong karya sastra dan ada yang bukan karya sastra . Yang tergolong karya sastra diisebut Tolok,dan yang bukan karya sastra diisebut lontarak.Masa pertumbuhan kedua bentuk pustaka ini diperkirakan abad ke-15 hingga abad ke-20.Salah satu contoh dari sastra Toloki adalah cerita Tolokna Daeng Palie.Cerita Tolokna Daeng Paile menceritakan tentang perjuangan Daeng Paile beserta para sahabatnya dalam melawan belanda untuk merebut serta menguasai Labbakeng. 4.Sastra Elong Dalam pengertian secara harafiah,elong berarti nyanyian dalam bahasa bugis.Elong dalam masyarakat bugis betul-betul dinyanyikan atau dilagukan secara lisan.Fungsi elong sebagai hiburan sangat menonjol karena setiap jenisnya mamiliki tujuan yang berbeda menurut temanya.Dengan demikian, elong selalu dapat dinyanyikan dalam berbagai macam suasana kejiwaan masyarakat bugis. Dengan tidak meremehkan fungsi hiburannya,elong sebenarnya mamiliki fungsi yang lebih besar lagi, yakni mengandung ajaran-ajaran moral secara universal



yang jika dimaklumi akan dapat berguna sebagai pedoman hidup bagi siapa saja.Selain dari segi isi ,elong juga disusun dengan mengikuti konvensi yang mapan(konvensi sastra bugis klasik),baik dilihat dari segi bentuk maupun jika dipandang dari segi bahasanya (bahasa bugis, khas sastra bugis) Fungsi dan peranan elong ugi dalam masyarakat tidak dapat diabaikan karena ia merupakan puisi yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan yang diteruskan dari generasi ke generasi sesuai dengan penilaian dan kebutuhannya. 5.Pau-Pau Rikodong Bugis Pau-pau rikodong (cerita yang dianggap) adalah satu jenis tradisi lisan Bugis yang berupa cerita rakyat, ada empat kelompok pau-pau rikodong, yaitu: Pau-Pau rikodong na dewata (cerita tentang dewa-dewa) Pau-pau rikodong na to waranie (cerita tentang kepahlawanan sage) Pau-pau rikodong na dokkoloe (cerita binatang atau fable) Attorioloang (cerita sejarah atau legenda) 6.Papangajak Papangajak adalah kumpulan pedoman hidup atau nasehat yang diberikan oleh orang tua kepada anak keturunanya.Sebuah papangajak yang terkenal dikalangan orang bugis adalah Budhiistihara yang merupakan salinan hikayat orang melayu,yang asalnya dari keputakaan orang Arab.Himpunan amanat-amanat orang tua atau nenek moyang disebut paseng. 7.Ulu Ulu adalah manuskrip-manuskrip mengenai perjanjian antar Negara.Ulu ini adalah nama lain dari kontrak-kontrak atau trakat antar kerajaan yang diberi nama khusus sesuai dengan peristiwa yang melatarinya.Salah satu contoh ulu adalah Lamumpaturue ri Timurung yang merupakan ulu yang berisi perjanjian antara bone,wajo dan soppeng dalam menghadapi kemungkinan agresi Kerajaan Gowa. 8.Along Pugi Puisi rakyat bugis disebut along ‘pantun’ oleh masyarakat pendukungnya.Syair atau pantun bugis yang disebut along pugi adalah salah satu karya seni orang Bugis dahulu kala dan kini mulai terkikis sedikit demi sedikit.Elong Pugi berupa syair-syair berbahasa Bugis oleh melodi nyanyian yang menggambarkan selama pikiran falsafah hidup,watak,pesan,petuah,ajaran moral suku bangsa Bugis,bahkan gambaran suku Bugis dapat terlihat dari along pugi yang popular pada masanya.



Berdasarkan gaya bahasa yang digunakan,Along Pugi dapat dibagi menjadi dua kelompok,yaitu: a) Along Malliung b) Along Bawang Berdasarkan usia pelaku dan pendengarnya,elong pugi di bagi menjadi tiga golongan,yaitu : Along Ana-ana(pantun anak-anak) Along Mario (pantun gembira) Along Masse (pantun duka cita) Along Tomalolo (pantun remaja) Along Mamparore/Mappadicawa (pantun jenaka) Along Kallolo (pantun anak muda) Along Mappangaja (pantun nasihat) Along Topanrita (pantun ulama atau dukun) Along Panganderreng (pantun adat) 9.Mantra Mantra biasanya digunakan oleh orang Bugis untuk merias pengantin agar terlihat lebih cantik dan biasanya disebut cenning rara. Dilihat dari tradisi perkembangannya, sastra bugis kuno menempuh dua cara, yaitu tradisi lisan (oral tradition) dan tradisi tulis (literary tradition) dan keduanya ada yang berkembang seiring dalam waktu yang bersamaan. Terkadang sebuah karya sastra terdapat dalam dua tradisi, yaitu lisan dan tertulis. Ada diantaranya yang memiliki pertalian yang cukup erat antara kedua tradisi tersebut sehingga tidak susah melacak hubungannya, namun tidak jarang pula kedua tradisi yang ada tidak memiliki hubungan sama sekali, seperti penemuan Fachruddin Ambo Enre (1983) terhadap sastra galigo episode ritumpanna welenrenge (ditebangnya pohon welenreng). Khusus sastra bugis kuno dalam tradisi tulis sebagian naskahnya masih dapat dibaca hingga saat ini. Karya sastra tersebut terekam dalam bentuk naskah tulisan tangan yang menggunakan bahan dari berbagai jenis, misalnya, daun lontar, kertas, atau dari bambu. Karya sastra bugis kuno berkembang melalui proses penurunan dari lisan ke tulisan, atau dari lisan atau ke tulisan kemudian dilisankan lagi. Pustaka bugis kuno dalam bentuk naskah ini kenyataannya telah mengalami penciutan dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan untuk sastra tulis yang menggunakan daun lontar, bambu, atau kertas sebagai bahan atau alas untuk menampung tulisan sudah banyak lapuk akibat di makan usia; dan lebih diperparah lagi oleh cara penyimpanan yang



tidak layak. Sebagiannya hilang karena kecerobohan pemiliknya dan atau karena dimakan rayap, tertimoa banjir, hangus terbakar api, dan sebagainya. Pada dasarnya, masa pertumbuhan dan perkembangan sastra bugis kuno itu oleh beberapa pakar dibagi menjadi tiga periode yaitu : pertama, periode awal yang ditandai dengan munculnya karya sastra bugis yang kemudian disebut sastra galigo. Masa perkembangannya diperkirakan oleh beberapa pakar secara berbeda. Mattulada, misalnya memperkirakan antara abad ke-7 hingga abad ke-10 sezaman dengan perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu di nusantara, seperti Sriwijaya, dan Syailendra. Berbeda halnya dengan pendapat Fachruddin Ambo Enre yang memperkirakan sekitar abad ke-14 atau masa perkembangan sastra galigo diduga sezaman dengan kerajaan Malaka dan kerajaan Majapahit sebagaimana yang disebutkan dalam naskah galigo. Perkiraan lain dikemukakan oleh Kern, bahwa galigo dikarang sebelum agama islam menjadi panutan banyak rakyatdi Sulawesi Selatan. Dalam hal ini, sebelum tahun 1600, karena tidak ditemukan adanya pengaruh atau ajaran islam didalamnya. Sedangkan Mills memperkirakan waktu penulisan galigo yakni awal abad ke-14, dengan mengambil dasar pada beberapa kronik yang menyinggung cerita galigo sebagai dasar pemikiran (Koolhof, 1994: 1; Mattulada, 1995: 402; Enre, 1993:31).



BAB III PENUTUP



KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa kesusastraan sangat berpenaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat baik dikalangan muda maupun dewasa dar tahun sebelum masehi hingga saat ini serta menjadi pusat peradaban dunia.



SARAN Sebagai bangsa Indonesia dan sebagai mahasiswa Indonesia perlu kita menyadari bahwa penggunaan bahasa harus sesuai dengan kaidah bahasa yang baik dan benar, karena itu mencerminkan kita sebagai mahasiswa yaitu agen of chage dan sebagai bangsa Indonesia yang mematuhi aturan.



DAFTAR PUSTAKA Dunia pelajar. 2011. Sejarah perkembangan dan jenis-jenis sastra bugis sastra mandar. http://www.duniapelajar.com/2011/07/19/. Diakses pada 25/2/2020 Tenriawali. 2012. Kesusastraan bugis. http://tenriawali.blogspot.co.id/2012/03/. Diakses pada 25/2/2020 Triwahyunsari. 2013. Kesusastraan bugis. http://triwahyunisari.blogspot.co.id/2013/08/. Diakses pada 25/2/2020