KLP 9 - Konflik Dalam Organisasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PERILAKU ORGANISASI KONFLIK DALAM ORGANISASI



Disusun Oleh : Kelompok 9 1. NELY ANGGARAINI



(A1C017110)



2. INDAH AYU LESTARI



(A1C017067)



3. LALE WITNING PURI



(A1C017083)



4. LALU M. ARI SAGITA



(A1C017085)



Kelas



:



Akuntansi B 2017



S1 AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MATARAM 2020



KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji dan syukur kami haturkan ke hadirat Allah Swt. Atas limpahan rahmat dan kekuatan-Nya sehingga alhamdulillah kami dapat menyelesaikan penulisan maupun penyusunan dari makalah “Konflik Dalam Organisasi” ini dengan baik dan tepat waktu. Dalam makalah ini kami berusaha untuk merincikan tentang konsep dari konflik dalam organisasi. Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak guna menambah ilmu pengetahuan dan wawasan tentang konflik dalam organisasi. Tak lupa kami menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berjasa dalam proses penulisan maupun penyusunan makalah ini. Akhir kata kami pun menyadari bahwa makalah ini masih mempunyai banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini sebagai evaluasi dan pembelajaran bagi kami. Selamat membaca dan semoga bermanfaat! Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.



Mataram, 28 April 2020 Penyusun



ii



DAFTAR ISI Halaman Judul (Cover).................................................................................. i Kata Pengantar............................................................................................... ii Daftar Isi........................................................................................................ iii BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1 B. Rumusan Masalah....................................................................... 2 C. Tujuan dan Manfaat penulisan.................................................... 2 BAB II : PEMBAHASAN A. Definisi Konflik dan Hakikat Konflik....................................... 3 B. Transisi dalam Pandangan Tentang Konflik.............................. 4 C. Konflik Fungsional dan Konflik Disfungsional......................... 6 D. Proses Konflik............................................................................ 6 E. Hubungan Konflik dengan Prestasi Kerja.................................. 11 BAB III: PENUTUP A. Kesimpulan................................................................................. 14 B. Saran........................................................................................... 14 Daftar Pustaka................................................................................................ 15



iii



BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Organisasi dengan segala macam bentuk dan jenisnya dalam mewujudkan tujuan bersama melalui seluruh elemen yang ada pasti pernah mengalami situasi yang tidak bisa memuaskan keinginan semua orang yang terlibat dalam usaha mencapai tujuan tersebut. Hal ini sangat wajar karena di dalam organisasi terdiri dari berbagai macam latar belakang suku, agama, etnis, budaya, sosial, ekonomi, politik, dan bahkan negara yang berbeda-beda. Organisasi yang pada umumnya memiliki tingkat heterogenitas tinggi, sangat potensial terhadap munculnya konflik baik konflik individu maupun konflik organisasi. Dalam interaksi sosial antar individu atau antar kelompok atau kombinasi keduanya, sebenarnya konflik merupakan hal yang alamiah. Konflik juga terjadi seiring dengan zaman yang berubah dengan pesat. Semua bidang, seperti ilmu pengetahuan, tekhnologi dan seni, mengalami kemajuan (advancement) yang signifikan. Globalisasi pada era modern dan kemajuan tekhnologi informasi (informaticis technology) ternyata sangat berpengaruh bagi masyarakat, baik secara pribadi (personal) maupun dalam soal dinamika kelompok. Seiring dengan progresivitas tersebut, konflik pun juga tetap omnipresent. Artinya koflik ada dimana saja, kapan pun waktunya, dan siapa pun orangnya. Organisasi apapun yang kita terlibat didalamnya, pasti berhadapan dengan konflik. Semakin besar organisasi, maka semakin rumit pula keadaannya. Semua aspek akan mengalami kompleksitas, baik alur informasi, pengambilan keputusan, pendelegasian wewenang, sumber daya manusia dan sebagainya. Setiap manusia yang terlibat dalam organisasi, memiliki keunikan sendirisendiri, berbeda latar belakang, berbeda karakter, berbeda visi, berbeda tujuan hidup, berbeda motivasi kerja, dan lain-lain. Perbedaan inilah yang membawa organisasi kedalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, individu dan kelompok yang saling bergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain menuju pencapaian tujuan organisasi. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan oleh Gibson (1997: 437 dalam Candra), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling bergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerja sama satu sama lain dalam arti 1



yang sesungguhnya. Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut. Konflik mungkin tidak membawa “kematian” bagi organisasi, namun dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan apabila konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Sehingga keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi, agar kematian organisasi tidak terjadi. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas secara rinci mengenai bagaimana konflik dalam organisasi terjadi. B. RUMUSAN MASALAH Beberapa hal pokok yang dapat dirumuskan sebagai rumusan masalah dalam makalah in yaitu: 1. Apa itu konflik dalam organisasi dan bagaimana hakikat dari konflik tersebut? 2. Bagaimana transisi dalam pandangan tentang konflik? 3. Apa itu konflik fungsional dan konflik disfungsional? 4. Bagaimana proses terjadinya konflik dalam organisasi? 5. Bagaimana hubungan antara konflik dengan prestasi kerja? C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk memahami : 1. Definisi dari konflik dan hakikat dari konflik tersebut. 2. Transisi dalam pandangan tentang konflik. 3. Konflik fungsional dan konflik disgfungsional 4. Proses terjadinya konflik dalam organisasi. 5. Hubungan antara konflik dengan prestasi kerja. Adapun Manfaat penyusunan makalah ini, yaitu: 1. Manfaat bagi penulis Untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai konflik dalam organisasi. 2. Manfaat bagi pembaca Sebagai sarana menambah ilmu pengetahuan dan wawasan serta sarana referensi dalam sistematika penulisan makalah.



2



BAB II PEMBAHASAN A. DEFINISI KONFLIK DAN HAKIKAT KONFLIK 1. Definisi Konflik Konflik berasal dari bahasa latin “confligo” yang terdiri atas dua kata, yaitu ‘con’, yang berarti bersama-sama dan ‘fligo’, yang berarti pemogokan, penghancuran, atau peremukan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta, (1976:519 dalam Sunarta) kata konflik berarti pertentangan atau percekcokan. Rivai (2003:507 dalam Putri) mendefinisikan konflik merupakan ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota-anggota atau kelompok (dalam suatu organisasi/perusahaan) yang harus membagi sumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan atau karena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai atau persepsi. Menurut Webster, (1974:213) dalam Daniel Carolus Kambey dikatakan bahwa kata konflik diserap dari bahasa Inggris, Conflict yang berarti: pertarungan (a fight), perbuatan kekerasan (struggle), persengketaan (a controversy), perlawanan yang aktif (active opposition hostility). Sedangkan menurut Stephens P Robbins (2006:545 dalam Putri), konflik adalah proses yang bermula ketika satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian pihak pertama. Terdapat banyak defenisi tentang konflik yang diberikan oleh para ahli yang mana hal tersebut bergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi para ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi. Akan tetapi, diantara maknamakna yang berbeda itu tampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik dilatar belakangi oleh adanya ketidak cocokan atau perbedaan dalam hal nilai, tujuan status, dan budaya. Berdasarkan beberapa pendapat ahli maka dapat kita simpulkan bahwa konflik adalah ketidaksamaan pendapat dari individu atau kelompok dan terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerjasama antara satu dengan yang lain. Konflik adalah segala macam interaksi pertentangan atau antogonistik antara dua atau lebih pihak. (Sukanto,1996:231 dalam Sunarta). Dengan kata lain konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain pada level yang berbeda-beda karena beberapa alasan/penyebab utama, yaitu tujuan yang ingin dicapai, dan alokasi sumbersumber yang dibagikan. Disamping itu, sikap antagonistis dan kontroversi yang ditunjukkan oleh seseorang dalam situasi dan peristiwa tertentu juga menjadi pemicu munculnya konflik dalam suatu organisasi. 3



2. Hakikat Konflik Keberadaan konflik dalam suatu organisasi tidak dapat dihindarkan. Konflik sering muncul dan terjadi pada setiap organisasi. Ada beberapa pandangan pula para pakar mengenai konflik. Mitchell, B., Setiawan, B. dan Rahmi, D. H. (dalam Wahyudi, 2006) menjelaskan



bahwa



konflik



atau



pertentangan



pada



kondisi



tertentu



mampu



mengidentifikasi sebuah proses pengelolaan lingkungan dan sumber daya yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan, bahkan dapat menjelaskan kesalahpahaman. Dalam kehidupan yang dinamis antar individu dan antarkomunitas, baik dalam organisasi maupun di masyarakat yang majemuk, konflik selalu terjadi manakala kepentingan yang saling berbenturan. Dengan demikian, suatu organisasi yang sedang mengalami konflik dalam aktivitasnya menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut: a. Terdapat perbedaan pendapat atau pertentangan antar individu atau kelompok. b. Terdapat perselisihan dalam mencapai tujuan yang disebabkan adanya perbedaan persepsi dalam menafsirkan program organisasi. c. Terdapat pertentangan norma dan nilai-nilai individu maupun kelompok. d. Adanya sikap dan perilaku saling meniadakan, menghalangi pihak lain mendapat kemenangan dalam memperebutkan sumber daya organisasi yang terbatas. e. Adanya perdebatan dan pertentangan sebagai akibat munculnya kreativitas, inisiatif atau gagasan-gagasan dalam mencapai tujuan organisasi. B. TRANSISI DALAM PANDANGAN TENTANG KONFLIK Perbedaan di antara masing-masing individu dapat menyebabkan terjadinya konflik. Perbedaan pendidikan, pemikiran, persepsi, kepentingan, dan setiap detik dalam kehidupan dapat memunculkan banyak konflik. Pandangan terhadap konflik ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu menghindari konflik, menghadapi konflik, dan membuat konflik. Ada pertentangan pendapat mengenai perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam organisasi yang disebut oleh Robbin sebagai the conflict paradoks, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi dua bagian yaitu: a) Pandangan tradisional (the traditional view) Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, dan keterbukaan di antara orang-orang, dan 4



kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan. b) Pandangan hubungan manusia (the human relation view) Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar dan terjadi dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus menjadi suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus menjadi motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan dalam tubuh kelompok atau organisasi. Selanjutnya Robbins (2001) mengemukakan bahwa pandangan terhadap konflik mengalami perubahan sehingga terbagi dalam tiga pandangan sebagai berikut: 1) Pandangan tradisional (traditional view) Pandangan ini menganggap bahwa semua konflik adalah buruk, merugikan, dan harus dihindari. Oleh karena itu, untuk memperkuat konotasi negatif, konflik disinonimkan dengan kekerasan, destruktif, dan tidak masuk akal. Pandangan ini konsisten dengan sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa 1930-an dan 1940-an. Aliran ini juga memandang konflik sebagai sesuatu yang buruk, tidak menguntungkan dan selalu merugikan organisasi. 2) Pandangan hubungan manusia (human relations view) Pandangan ini menyatakan bahwa konflik merupakan suatu hal yang wajar dan di alami oleh setiap organisasi. Konflik tidak dapat dihindari atau pun disingkirkan sehingga kelompok ini menerima keberadaan konflik sejauh konflik tersebut dapat membawa manfaat kerja. Konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. Pandangan ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-an. 3) Pandangan interaksionis (interactionist view) Dalam pandangan ini pimpinan justru mendorong terjadinya konflik karena adanya anggapan bahwa kelompok yang tampaknya kooperatif, tenang, dan damai cenderung memiliki sifat apatis, statis, dan minim daya tangkap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Oleh karena itu, sumbangan utama dari pendekatan interaksionis adalah mendorong pemimpin kelompok untuk mempertahankan suatu tingkat minimum berkelanjutan dari konflik. Pandangan ini menyatakan bahwa konflik bukan sekedar sesuatu kekuatan positif dalam suatu kelompok, melainkan juga mutlak perlu untuk suatu kelompok agar dapat berkinerja positif sehingga kelompok dapat tetap bersemangat (viable) kritis-diri (self-critical), dan kreatif. 5



C. KONFLIK FUNGSIONAL DAN KONLIK DISFUNGSIONAL Secara teoretik Robbins membagi konflik menjadi dua tipe bagian yaitu : 1. Konflik Fungsional Konflik fungsional adalah konflik yang bersifat konstruktif dan membantu dalam meningkatkan kinerja organisasi. Konflik ini mendorong orang untuk bekerja lebih keras, bekerja sama dan lebih kreatif. Konflik fungsional merupakan konfrontasi antar kelompok yang dapat meningkatkan dan menguntungkan kinerja organisasi. Konflik fungsional dapat meningkatkan kesadaran organisasi akan masalah-masalah yang harus diatasi, mendorong pencarian solusi-solusi secara lebih luas dan lebih produktif, dan lazimnya memfasilitasi perubahan yang positif, adaptif dan inovatif. 2. Konflik Disfungsional Konflik disfungsional adalah konflik yang bersifat destruktif dan dapat menurunkan kinerja organisasi. Misalnya: dua orang karyawan tidak bisa bekerjasama karena permusuhan pribadi, atau anggota komite yang tidak dapat menyetujui tujuan yang ditetapkan organisasi. Terlalu banyak maupun terlalu sedikit konflik akan bersifat disfungsional sedangkan konflik pada tingkat moderat akan bersifat fungsional. Konflik disfungsional ini merupakan setiap konfrontasi atau interaksi antar kelompok yang membahayakan organisasi atau menghambat organisasi dalam mencapai tujuantujuannya. D. PROSES KONFLIK Konflik tidak terjadi secara mendadak tanpa sebab dan proses, akan tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu. Robbins menjelaskan proses konflik (conflict process) dapat dipahami sebagai sebuah proses yang terjadi melalui lima tahapan yaitu tahap potensi pertentangan/ketidakselarasan/oposisi atau ketidakcocokan potensial, tahap kognisi dan personalisasi, tahap maksud, tahap perilaku dan tahap hasil/akibat.



6



Gambar 1. Proses Konflik 1. Tahap I: Oposisi atau Ketidakcocokan Potensial Langkah pertama dalam proses komunikasi adalah adanya kondisi yang menciptakan kesempatan untuk munculnya konflik itu. Kondisi itu tidak perlu langsung mengarah ke konflik, kondisi yang juga dapat dipandang sebagai kasus atau sumber konflik telah dimampatkan ke dalam tiga kategori umum: komunikasi, struktur dan variabel pribadi. Menurut Robbins dalam Candra (2010: 329), konflik muncul karena ada kondisi yang meletarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri atas tiga kategori, yaitu komunikasi, struktur dan variable pribadi. a. Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. b. Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam arti mencakup ukuran (kelompok), derajat speialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, system imbalan, dan derajat kebergantungan antara kelompok. c. Variable pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memilki keunikan (idiosyncrasis) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan 7



menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya: individu yang sangat otoriter, dogmatic, dan menganggap rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. 2. Tahap II: Kognisi dan Personalisasi Jika kondisi-kondisi yang disebut dalam Tahap I mempengaruhi secara negatif sesuatu yang diperhatikan oleh satu pihak, maka potensi untuk oposisi atau ketidakcocokan menjadi teraktualkan dalam tahap kedua. Kondisi anteseden hanya dapat mendorong ke konflik bila satu pihak atau lebih dipengaruhi oleh dan sadar akan adanya, konflik itu. Tahap II penting karena di situlah persoalan konflik cenderung didefinisikan. 3. Tahap III: Maksud Maksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Dapat diidentifikasikan lima maksud penanganan konflik: bersaing (tegas dan tidak kooperatif), berkolaborasi (tegas dan kooperatif), menghindari (tidak tegas dan tidak kooperatif), mengakomodasi (kooperatif dan tidak tegas) dan berkompromi (tengah-tengah dalam hal ketegasan dan kekooperatifan). 4. Tahap IV: Perilaku Perilaku konflik ini biasanya secara terang-terangan berupaya untuk melaksanakan maksud-maksud setiap pihak. Tetapi perilaku-perilaku ini mempunyai suatu kualitas rangsangan yang terpisah dari maksud. Sebagai hasil perhitungan atau tindakan yang tidak terampil, kadangkala perilaku terang-terangan menyimpang dari maksud-maksud yang orsinil. 5. Tahap V: Hasil Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan konsekuensi. Hasil ini dapat fungsional, dalam arti konflik itu menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok. Selain menurut Robbins, teradapat pula penjelasan dari beberapa ahli lainnya tentang model proses konflik yaitu Hendricks, W. (1992 dalam Syairal) mengidentifikasi proses terjadinya konflik terdiri dari tiga tahap yang meliputi: 1) Peristiwa sehari-hari; ditandai adanya individu merasa tidak puas dan jengkel terhadap lingkungan kerja. Perasaantidak puas kadang-kadang berlalu begitu saja dan muncul kembali saat individu merasakan adanya gangguan. 2) Adanya tantangan; apabila terjadi masalah, individu saling mempertahankan pendapat dan menyalahkan pihak lain. Tiap anggota menganggap perbuatan yang dilakukan sesuai dengan standar dan aturan organisasi. Kepentingan individu maupun kelompok lebih menonjol daripada kepentingan organisasi. 8



3) Timbulnya pertentangan; dimana masing-masing individu atau kelompok bertujuan untuk menang dan mengalahkan kelompok lain. Selanjutnya Louis R. Pondy juga telah mengembangkan suatu model yang dapat dipergunakan untuk menganalisis konflik yang terjadi dalam organisasi. Pondy mengidentifikasi sumber-sumber konflik dan kemudian menganalisis salah satu jenis tahapan dari suatu episode. Model tersebut menyediakan beberapa petuntuk tentang bagaimana mengendalikan dan mengelola konflik di dalam organisasi. Menurut model Pondy tentang konflik bahwa konflik yang terjadi dalam organisasi meliputi lima tahapan, yaitu yang bersifat laten, konflik yang dipersepsikan, konflik dirasakan, dan konflik yang dimanifestasikan, dan buntut. 1. Konflik Yang Bersifat Laten Konflik yang terjadi tidak seketika, tetapi potensi untuk munculnya konflik dalam organisasi tetap ada yaitu bersifat laten, oleh karena operasi organisasi itu sendiri. Menurut model ini, bahwa konflik yang terjadi dalam organisasi karena adanya deferensi secara vertikal dan horizontal, yang mengarah kepada pembentukan sub unit yang berbeda dengan tujuan yang berbeda dan bahkan seringkali dengan persepsi yang berbeda tentang cara terbaik untuk mencapai tujuan. Dalam perusahaan misalnya, manajer dari berbagai departemen fungsional maupun divisi sependapat tentang tujuan utama dari perusahaan adalah mengoptimalkan kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai (value) dalam jangka panjang. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang cara untuk mencapai tujuan tersebut. 2. Konflik yang dipersepsikan (perceived conflict) Tahap kedua dari konflik terjadi ketika suatu kelompok atau sub unit menganggap atau mempunyai persepsi bahwa tujuannya mulai dihalangi oleh tindakan dari kelompok yang lain. Dalam tahap ini masing-masing sub unit atau kelompok mulai menentukan mengapa konflik itu muncul dan menganalisis kejadian-kejadian yang menyebabkannya. Masingmasing kelompok mencari asal mula timbulnya konflik dan membuat suatu skenario yang menerangkan masalah-masalah yang dialami dengan sub unit yang lain. Bagian pabrik misalnya, segera menyadari bahwa penyebab masalah yang dihadapinya dalam produksi adalah karena cacatnya bahan-bahan yang dipakai. Setelah bagian produksi mengadakan penelitian, mereka menemukan bagian material selalu membeli bahan baku dari pemasok yang menawarkan harga yang terendah dan tidak mencoba mengembangkan suatu kerjasama jangka panjang yang dapat meningkatkan kualitas dan reliabilitas dari bahan baku tesebut. Praktik bagian material melakukan pengurangan biaya bahan baku dalam rangka 9



memperbaiki fungsinya, tetapi meningkatkan biaya manufaktur atau biaya pabrik meningkat karena banyaknya bahan baku yang tidak dapat dipakai dan merusak tujuan bagian pabrik. Tidak mengherankan bagian pabrik menganggap, bahwa bagian material menghalangi tujuannya. Umumnya yang terjadi pada kondisi seperti itu adalah tingkat konflik meningkat karena sub unit atau kelompok berjuang atau bertengkar atas penyebab dari permasalahan. Untuk merubah praktik pembelian yang dilakukan oleh bagian pembelian, maka bagian pabrik menyampaikan keluhan kepada top manajer tentang pratek pembelian yang dilakukan bagian material. Bagian material membantah tuduhan bagiannya telah membeli bahan baku yang berharga yang kualitasnya rendah. Sebaliknya bagian material mengkaitkan permasalahan produksi tersebut sebagai kegiatan dari bagian pabrik untuk memberikan pelatihan yang memadai terhadap para karyawannya untuk mengoperasikan teknologi terbaru dan melempar tanggung jawab atas permasalahan tersebut kepangkuan bagian pabrik. Sekalipun kedua bagian tersebut mempunyai andil atas rendahnya kualitas produksi, mereka mengkaitkan rendahnya produksi dengan cara yang berbeda. 3. Tahap Ketiga: Konflik yang dirasakan (Felt Conflict) Pada tahap ini, sub unit atau kelompok yang sedang mengalami konflik dengan cepat mengembangkan kekuatan emosional kearah satu sama lainnya. Khususnya, subunit memiliki hubungan dekat dan mengembangkan pertentangan secara mental dan menyalahkan subunit kelompok yang lain. Selagi konflik meningkat,kerjasama antara subunit atau kelompok menurun dan demikian halnya efektivitas organisasi juga menurun. Tentunya sulit mengembangan produk baru dengan cepat jika bagian penanggungjawab dan pengembangan, bagian material, dan bagian produksi berselisih paham tentang kualitas dan spesifikasi dari produk akhir. Selagi sub unit atau kelompok yang sedang menghadapi konflik bertengkar dan berargumentasi sesuai pandangan masing-masing, maka konflik yang terjadi akan terus menerus. Sekalipun permasalahan awalnya relatif kecil, tetapi jika melakukan upaya untuk meredakannya, maka masalah kecil dapat berkembang menjadi konflik yang besar sehingga menjadi lebih sulit untuk mengelolanya. Jika konflik tidak segera diatasi maka akan cepat naik ketahapan berikutnya. 4. Tahap Keempat: Konflik yang dimanifestasikan Tahap keempat dari konflik model pondy terjadi jika suatu subu nit kembali mencoba untuk menghalangi tujuan dari sub unit yang lainnya. Wujud dari konflik pada tahap keempat ini bisa bermacam-macam. Agensi secara terbuka antar kelompok yang mengalami konflik adalah yang paling sering terjadi. Pergolakan yang terjadi pada para 10



pucuk pimpinan sering terjadi karena seseorang berupaya mempromosikan dirinya sendiri dengan mengorbankan orang lain dalam organisasi tersebut. 5. Tahap Kelima: Ekor Konflik Cepat atau lambat, konflik yang terjadi dalam organisasi akan teratasi dengan beberapa cara, seringkali melalui keputusan yang diambil oleh manajer senior/manajer puncak. Demikian pula jika sumber dari konflik tidak segera diatasi maka cepat atau lambat perselisihan dan permasalahan yang menyebabkan konflik akan muncul kembali dalam kontek yang berbeda. Setiap tahapan dari konflik meninggalkan suatu buntut konflik yang berpengaruh terhadap cara masing-masing kelompok bereaksi terhadap konflik yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang. Jika konflik dapat dipecahkan sebelum mencapai tahap konflik-manifestasi, maka buntut konflik akan meningkatkan hubungan kerja yang baik di masa yang akan datang. Jika konflik yang terjadi tidak teratasi sampai akhir dari tahap konflik-manifestasi,ekor konflik akan mengakibatkan hubungan kerja yang tidak baik diwaktu yang akan datang, dan budaya organisasi akan diracuni oleh hubungan tidak bersahabat yang bersifat permanen. E. HUBUNGAN KONFLIK DENGAN PRESTASI KERJA Bagi organisasi, pencapaian atas semua usaha dan upaya atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh karyawan adalah prestasi kerja. Menurut Hasibuan (2001:94), prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta waktu. Banyak orang secara otomatis menganggap bahwa konflik selalu berkaitan dengan rendahnya prestasi kelompok maupun organisasi. Namun asumsi seperti itu seringkali tidak benar. Konflik dapat bersifat konstruktif atau destruktif bagi kelompok/sub unit dan organisasi. Terdapat tiga situasi yang menggambarkan hubungan antara konflik dengan prestasi kerja yaitu: 1. Jika konflik rendah maka prestasi kerja juga rendah (cenderung stagnan) 2. Jika konflik optimal maka prestasi kerja akan meningkat optimal (baik) 3. Jika konflik tinggi maka prestasi kerja akan rendah.



11



Gambar 2. Hubungan konflik dengan prestasi kerja organisasi Seperti terlihat pada gambar bahwa konflik dapat terlalu tinggi yang terjadi pada Situasi III atau terlalu rendah seperti yang terjadi pada situasi I. Pada kedua ekstrim tersebut konflik berdampak disfungsional yaitu penurunan prestasi organisasi. Ketika tingkat konflik yang terjadi terlalu rendah, maka prestasi rendah karena kurangnya dorongan dan rangsangan. Orang merasakan lingkungannya terlalu menyenangkan dan nyaman, dan responnya apatis dan terjadi adanya stagnasi. Jika mereka tidak dihadapkan pada tantangan mereka tidak akan mencari cara-cara dan ide-ide baru, dan organisasi lambat beradaptasi dengan perubahan dari faktor lingkungan ekstern. Di sisi lain ketika tingkat kònflik yang terjadi sangat tinggi, prestasi kerja juga rendah karena kurangnya koordinasi dan kerjasama. Organisasi dalam keadaan kacau balau, di mana masing-masing orang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mempertahankan/membela dirinya dan menyerang kelompok lain daripada melakukan tugas-tugas yang produktif. Sedangkan konflik yang optimal terjadi pada situasi II, di mana tingkat konflik yang terjadi cukup untuk mencegah adanya stagnasi, mendorong adanya kreativitas, menimbulkan dorongan untuk melakukan perubahan, dan mencari cara terbaik untuk memecahkan masalah. Penjelasan atas hubungan antara konflik dengan prestasi kerja yang tergambar dalam gambar diatas menurut J. Hall dan M. S William yaitu dimana situasi I dicirikan oleh adaptasi yang lamban terhadap perubahan lingkungan, sedikitnya perubahan, sedikit gagasan, apatis dan stagnan. Tingkat konflik adalah rendah dan tingkat prestasi kerja organisasi juga rendah. Kemudia situasi II dicirikan oleh gerakan positif ke arah tujuan, inovasi dan perubahan, mencari pemecahan masalah, kreativitas dan adaptasi yang cepat terhadap perubahan lainnya. Tingkat konflik adalah optimal dan tingkat prestasi organisasi 12



juga tinggi. Dan situasi III dicirikan oleh adanya gangguan kegiatan, kesulitan koordinasi dan kekacauan. Tingkat konflik adalah tinggi dan tingkat prestasi kerja organisasi yang rendah. Jadi hubungan antara konflik organisasi dan prestasi kerja (performance) dapat digambarkan bila tingkat konflik terlalu rendah prestasi organisasional akan cenderung mengalami stagnasi. Organisasi terlalu lambat menyesuaikan diri dengan berkembangnya permintaan atau perubahan lingkungan, dan kelangsungan hidupnya dapat terancam. Bila tingkat konflik terlalu tinggi, juga tidak baik karena dapat memicu kekacau-balauan dan perpecahan sehingga membahayakan kelangsungan hidup organisasi. Oleh Karena itu, Manajer perlu berusaha untuk mencapai tingkat optimal, yaitu tingkat fungsional konflik tertinggi dengan prestasi organisasi yang dapat mencapai titik maksimum.



Gambar 3. Konflik dan Prestasi Organisasional dibedakan karena mereka mengembangkan berbagai tujuan, tugas dan personalia yang tidak sama.



13



BAB 3 PENUTUP A. KESIMPULAN 



Konflik adalah ketidaksamaan / pertentangan pendapat dari individu atau kelompok dan terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerjasama antara satu dengan yang lain untuk pencapaian tujuan bersama dalam organisasi. Konflik atau pertentangan pada kondisi tertentu mampu mengidentifikasi sebuah proses pengelolaan lingkungan dan sumber daya yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan, bahkan dapat menjelaskan kesalahpahaman.







Pandangan terhadap konflik dalam organisasi yang menurut Robbin sebagai the conflict paradoks, yaitu pandangan tradisonal bahwa konflik dianggap sebagai hal yang negatif karena dapat menurunkan



kinerja kelompok, pandangan hubungan



manusia bahwa konflik dianggap sebagai hal yang dapat dihindari dan sesuatu yang wajar sehingga harus dimanfaatkan untuk peningkatan kinerja kelompok. Dan pandangan baru yaitu pandangan interaksionis yang memandang konflik sebagai suatu yang mutlak untuk pencapaian peningkatan kinerja organisasi. 



Konflik fungsional adalah konflik yang bersifat konstruktif dan membantu dalam meningkatkan kinerja organisasi sedangkan Konflik disfungsional adalah konflik yang bersifat destruktif dan dapat menurunkan kinerja organisasi.







Proses konflik (conflict process) menurut Robbins melalui lima tahapan yaitu tahap potensi pertentangan/ketidakselarasan/oposisi atau ketidakcocokan potensial, tahap kognisi dan personalisasi, tahap maksud, tahap perilaku dan tahap hasil/akibat.







Hubungan antara konflik dengan prestasi kerja yiatu Jika konflik rendah maka prestasi kerja juga rendah (cenderung stagnan), Jika konflik optimal maka prestasi kerja akan meningkat optimal (baik), dan Jika konflik tinggi maka prestasi kerja akan rendah.



B. SARAN Adapun saran yang dapat kami berikan berdasarkan kesimpulan diatas yaitu: Konflik dalam organisasi tidak selamanya bersifat merugikan bagi organisasi namun juga dapat bersifat menguntungkan bagi organisasi. Oleh sebab itu, setiap organisasi hendaknya dapat mencapai tingkat konflik seoptimal mungkin, tidak terlalu rendah atau terlalu tinggi sehingga dapat meningkatkan prestasi kinerjanya. 14



DAFTAR PUSTAKA Wijaya, Candra. 2017. Perilaku Organiasi (ebook). Medan: Lembaga Peduli Pengembangan



Pendidikan



Indonesia



(LPPI)



https://www.google.repository.uinsu.ac.id. Perilaku_Keorganisasianhubungan_konflik_dengan_prestasi_kerja.pdf https://www.ocw.usu.ac.id. Tumengkol, Selvie M. 2016. Dinamika Konflik Dalam Organisasi. Fakultas Ilmu Sosial



Politik



Universitas



Sam



Ratulangi.



Jurnal



LPPM



Bidang



EkoSosBudKum Vol.3 No.1 Tahun 2016 Edisi Mei. https://www.google. ejournal.unsrat.ac.id Putri, Dewi Karina dan Kasmiruddin. Pengaruh Tingkat Konflik Tehadap Prestasi Kerja Perawat Rumah Sakit. Program Studi Administrasi Bisnis Kampus Bina Widya Pekanbaru. https://www. media.neliti.com. Dalimunthe, Syairal Fahmy. Manajemen Konflik Dalam Organisasi. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan. https://www. media.neliti.com. Sumarta.Konflik dalam Organisasi Merugikan Sekaligus Menguntungkan).FISE Universitas Negeri Yogyakarta. http://staff.uny.ac.id/ http://staffnew.uny.ac.id/ pendidikan/Bab 11 Manajemen Konflik.pdf. http://repository.ut.ac.id/4217/2/IPEM4309-M1.pdf



15