KMB GBS Caa 14102021 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH LAPORAN PENDAHULUAN GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROME) Untuk Memenuhi Tugas Mata Perkuliahan Keperawatan Medikal Bedah III



Disusun Oleh : Chusniah Alda Amriilah



20191420146001



Prodi S1 Keperawatan



Dosen Pembimbing : Ns. SHELFI D.R PUTRI S., M.Kep



S1 KEPERAWATAN STIKES BAHRUL ULUM TAMBAK-BERAS JOMBANG 2020-2021



i



Kata Pengantar Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar tanpa kesulitan yang berarti makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin sesuai dengan referensi yang kami dapatkan sehingga dapat membantu kita semua agar dapat memahami isi materi dari makalah ini dengan sebaik-baiknya. Dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tatabahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah yang kami buat ini.



Jombang, Oktober 2021



ii



Daftar Isi Cover........................................................................................................................i Kata Pengggantar..................................................................................................ii Daftar Isi ...............................................................................................................iii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...........................................................................................4 1.2 Rumusan Masalah......................................................................................4 1.3 Tujuan Masalah..........................................................................................5 BAB 2 LAPORAN PENDAHULUAN 2.1 Definisi.......................................................................................................6 2.2 Etiologi.......................................................................................................6 2.3 Manifestasi Klinis......................................................................................7 2.4 Patofisiologi...............................................................................................8 2.5 WOC........................................................................................................10 2.6 Penatalaksanaan.......................................................................................12 2.7 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................12 2.8 Komplikasi...............................................................................................13 2.9 Asuhan Keperawatan...............................................................................14 2.9.1 Pengkajian......................................................................................14 2.9.2 Diagnosa.........................................................................................23 2.9.3 Intervensi........................................................................................23 2.9.4 Implementasi..................................................................................24 2.9.5 Evaluasi..........................................................................................25 BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan..............................................................................................26 3.2 Saran.........................................................................................................2 6



iii



DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27



iv



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO), untuk kasus Guillain Barre Syndrome (GBS) kebanyakan orang pulih sepenuhnya bahkan untuk kasus yang paling parah dari sindrom Guillain-Barré itu sendiri, meskipun ada beberapa yang terus mengalami kelemahan. Bahkan, 3% -5% pasien Guillain Barré Syndrome meninggal karena komplikasi. Komplikasi tersebut termasuk kelumpuhan otot yang mengontrol pernapasan, infeksi darah, pembekuan paru, atau serangan jantung (World Health Organization, 2016). Di Indonesia sendiri, angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.000-40.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang tidak nampak. Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Data RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada akhir tahun 2010-2011 tercatat 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai varian jumlahnya per bulan. Pada Tahun 2012 berbagai kasus di RSCM mengalami kenaikan sekitar 10% (Mikail, 2012). Guillain-Barré syndrome (GBS) adalah penyakit sistem saraf yang dimediasi oleh respon imun, beronset akut atau subakut, dan biasanya ditandai dengan kelemahan progresif dari ekstremitas, parestesia ekstremitas, dan arefleksia relatif atau komplit. GBS dikenal sebagai penyakit autoimun yang dipicu oleh infeksi bakteri atau infeksi virus antesenden, yang paling sering yaitu infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi saluran pencernaan. Campylobacter jejuni sebagai bakteri yang paling berasosiasi dengan GBS, ditemukan pada 25 – 50% pasien dewasa dengan frekuensi tinggi di negara-negara Asia. Meskipun jarang terjadi, tetapi ada laporan yang menyatakan bahwa vaksinasi dan operasi dapat memicu GBS. Pada tahun 1976 ketika vaksinasi untuk virus influenza A H1N1, terdapat 1 dari 100.000 orang yang mengalami GBS. Kemudian pada tahun 2009 terdapat 1-6 kasus per 1.000.000 orang yang diberikan vaksin.



5



1.2 Rumusan Masalah Bagaimana konsep asuhan keperawatan pasien GBS. 1.3 Tujuan Masalah Untuk mengetahui bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien GBS.



6



BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Definisi Sindrom



Guillain-Barré



(SGB)



merupakan



sekumpulan



sindrom



yang



termanifestasikan sebagai inflamasi akut poliradikuloneuropati sebagai hasil dari kelemahan dan penurunan refleks dengan berbagai variasi klinis yang ditemukan (Andary, 2017). Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang penyebabnya tidak diketahui secara pasti ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput myelin dan saraf perifer kranial (Smeltzer, 2002). Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga merupakan salah satu polineuropati karena hingga sekarang belum dapat diapstikan penyebabnya. Namun kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan mulai dari bawah ke atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan atau gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawalai dari bagian atas tubuh ke bawah sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all, dalam Ikatan Fisioterapi Indonesia, 2007). 2.2 Etiologi Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process. Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan namun terdapat gangguan di medula spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002). Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain (Japardi, 2002) :



7



1. Infeksi virus atau bakteri GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang berhubungan dengan GBS : INFEKSI AKUT



YANG



BERHUBUNGAN



DENGAN GBS



INFEKSI



DEFINITE



PROBABLE



POSSIBLE



VIRUS



CMV



HIV



Influenza



EBV



Varicella-zoster



Measles



Vaccinia/smallpox



Mumps Rubella Hepatitis Coxsackie Echo



BAKTERI



Campylobacter



Typhoid



Borralia B



Jejeni



Paratyphoid



Mycoplasma



Brucellosis



Pneumonia



Chlamydia Legionella listeria



2. Vaksinasi 3. Pembedahan, anestesi 4. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis, dan penyakit Addison 5. Kehamilan atau dalam masa nifas 6. Gangguan endokrin 2.3 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis yang jelas seperti: gejala pasti SGB yaitu kelemahan progresif pada kaki dan tangan (dimulai dari kaki terlebih dahulu) dan hilangnya refleks pada pada tungkai yang lemah. Gejala tambahan lainnya: fase progresif yang dimulai dari beberapa 8



hari hingga beberapa minggu (biasanya 2 minggu), kesimetrisan yang relatif antara bagian tubuh kiri atau kanan, kelemahan pada saraf kranial terutama kelemahan saraf fasialis bilateral, disfungsi autonomis, dan kadang disertai nyeri (Willison, Jacobs, & Doorn, 2015). 2.4 Patofisiologis GBS merupakan suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama lain yaitu, polineurutis akut, paralisis asenden Landry, dan polineuropati inflamasi akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara primer dengan berbagai gangguan fungi sensorik. GBS adalah gangguan neuron motorik bagian bawah dalam saraf primer, final common pathway, untuk gerakan motorik juga terlibat. Usaha untuk memisahkan agen penyebab infeksi tidak berhasil dan penyebabnya tidak diketahui. Namun telah diketaui bahwa GBS bukan penyakit herediter atau menular. Walaupun mungkin tidak terdapat peristirwa pencetus, anamnesis pasien yang lengkap sering kali memperlihatkan suatu penyakit virus biasa yang terjadi 1 hingga 3 minggu sebelum awitan kelemahan motorik. Jenis penyakit lain yang mendahului sidrom tersebut adalah infeksi pernapasan ringan atau infeksi GI. Pembedahan, imunisasi, penyakit Hodgkin, atau limfoma lain, dan lupus eritomatosus. Keadaan yang paling sering dilaporkan adalah infeksi Campylobacter jejuni yang secara khas memyebabkan penyakit GI swasirna yang ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan demam. Akibat tersering dari kejadian ini dalam petologi adalah bahwa kejadian pencetus (virus atau proses inflamasi) merubah dalam sistem saraf sehingga sistem imun mengenali sistem tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T yang tersensitisasi dan amkrofag akan menyerang mielin. Selain itu limfosit mengiduksi limfosit B untuk menghasilkan antibody yang menyerang bagian tertentu daris selubung mielin, menyebabkan kerusakan mielin (NINDS,2000). Akibatnya adalah cedera demielinasi ringan hingga berat yang mengganggu konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang. (sebaliknya, demielinasi pasda MS hanya terbatas pada sistem saraf pusat). Perubahan patologi mengikuti pola yang tepat : infiltrasi limfosit terjadi dalam ruang perivaskular yang berdekatan dengan saraf tersebut dan menjadi fokus degenerasi mielin. Demielinsi akson saraf perifer menyebabkan timbulnya gejala positif dan negatif. Gejala positif adalah nyeri dan perestesia yang berasal dari aktivitas impuls abnormal dalam serat sensoris atau “cross-talk” listrik antara akson abnormal yang rusak. Gejala 9



negatif adalah kelemahan atau paralisis otot, hilangnya refleks tendon, dan menurunnya sensasi. Dua gejala negatif pertama tersebut disebabkan oleh kerusakan akson motorik; yagn terakhir disebabkan oleh kerusakan serabut sensorik. Pada GBS, gejala sensorik cenderung ringan dan dapat terdiri dari rasa nyeri, geli, mati rasa, serta kelainan sensasi getar dan posisi. Namun, polineuropati merupakan motorik dominan dan temuan klienis dapat bervarisasi mulai dari kelemahan otot hingga paralisis otot pernapasan yang membutuhkan penanganan ventilator. Kelemahan otot rangka sering kali sangat akut sehingga tidak terjadi atrofi otot, namun tonus otot hilang dan mudah terdeteksi arefleksia. Kepekaan biasnya dirangsang dengan tekanan yang kuat dan pemerasan pada otot. Lengan dapat menjdi kurus atau otot lengan kurang lemah dibandingkan dengan otot tungkai. Gejala autonom termasuk hipotensi postural, takikardi sinus, dan tidak kemampuan untuk berkeringat. Bila saraf kranial terlibat, paralisis akan menyerang otot wajah, okular, dan otot orofaringeal biasanya setelah keterlibatan lengan. Gejala saraf kranial adalah palsi wajah dan kesulitan bicara, gangguan visual dan kesulitan menelan. Istilah palsi bulbar kadang-kadang digunakan secara khusus untuk peralisis rahang, faring, otot lidah dan gangguan penglihatan yang disebabkan oleh kerusakan saraf kranial III,IV,,VI,VII,IX, dan XI, yang berasal dari medula oblongata dan biasa disebut bulb. Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindrom ini adalah melalui mekanisme imun. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindrom ini adalah: 1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated



immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi, 2. Adanya auto-antibody terhadap sistem saraf tepi, 3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh



darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Proses demielinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.



10



2.5 WOC Infeksi virus/bakteri, Vaksinasi, Pembedahan/anastasi, Penyakit Sistematik, Gangguan endokrin , Hamil/ dalam masa nifas



Proses autoimun Infiltrasi sel limfosit dari pem. Darah kecil Menghancurkan mielin yang mengelilingi akson Cidera dimelinasi Konduksi salsatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls syaraf Gangguan Fungsi Syaraf Perifer dan Kranial



Mk.Ancietas



Prognosis penyakit yang kurang baik



Diplopia Gg. Penglihatan Mk. Resiko jatuh atau cidera



Disfungsi otonom



Gg. Syaraf perifer dan Neuromuscular



Gangguan fungsi syaraf kranial N = III, IV,VI



GBS (Guillain Bare Syndrome)



N = VII, IX, XI Gg. Refleksi gag/ menelan



Intake nutrisi kurang



Kesemutan, kelemahan otot kaki, dpt menyebar ke ekskremitas atas, batang tubuh dan otot wajah



Paralise lengkap, otot pernafasan ( isufisiensi pernapasan) Penurunan kemampuan batuk



Kelemahan fisik umum, paralisis otot wajah



Kurang beraksinya syaraf simpati dan parasimpatis perubahan sensori Hipo/Hiper tensi Taki/Bradi Kardi



Kerusakan rangsang berkemih Mk. Retensi Urine Kerusakan rangsang defekasi



Sekresi mucus masuk lebih kebawah jalan napas



11



Mk. Gg. Nutrisi kurang dari kebutuhan



Penurunan tonus otot sel. Tubuh, perubahan estetika wajah Hambatan mobilitas fisik, defisit perawatan diri







Mk. Ketidakefektifan bersihan jalan napas Mk. Ketidakefektifa n pola napas



Resiko tinggi infeksi saluran napas bawah dan parenkim Pneumonia



Hipoksemia Asidosis Respiratorik



Gagal Napas Koma Kematian



12



Mk. Gangguan eliminasi fekal(konstipasi/diare



2.5 Pemeriksaan Penunjang Menurut (Pranata,2020) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Pemeriksaan cairan cerebrospinal Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g / dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. 2. Pemeriksaan EMG Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam  penghantaran impuls , gelombang F yang memanjang dan latensi distal yang memanjang. .Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik. 3. Pemeriksaan MRI Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira kira pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS. 2.6 Penatalaksanaan 1) Penatalaksanaan medis : 1.



GBS dianggap sebagai kondisi kedarurtan medis; pasien di tangani di dalam unit perawatan intensif.



2.



Masalah pernafasan mungkin memerlukan terapi pernapasan atau ventilasi mekanis.



3.



Intubasi elektif dapat diimplementasikan sebelum awitan keletihan otot pernapasan yang ekstrem.



4.



Agens antikoagulan dan stocking antiembolisme atau sepatu kompresi berurut dapat digunakan untuk mencegah thrombosis dan emboli pulmonal.



5.



Plasmaferesis (pertukaran plasma) atau immunoglobulin intravena (IVIG) dapat digunakan untuk secara langsung mempengaruhi kadar antibodi myelin saraf perifer.



6.



Pemantauan EKG secara kontinu; pantau dan tangani disritmia jantung dan komplikasi labil lain akibat disfungsi autonom. Takikardia dan hipertensi ditangani 13



dengan obat kerja singkat, seperti agens penyekat alfa-adrenergik. Hipotensi di tangani dengan meningkatkan jumlah cairan intravena yang diberikan. (Brunner & Suddarth, 2011) 2) Penatalaksanaan nonmedis : Dengan cara melakukan latihan pasif yaitu dengan menerapkan Range Of Motion. (jurnal “Inside Guillain-Barré Syndrome: An occupational therapist's perspective” 2011) 2.7 Komplikasi Komplikasi GBS yang signifikan adalah kegagalan ventilasi, pneumonia aspirasi, sepsis, kontraktur sendi, dan trombosis vena dalam. Namun secara garis besar oleh Wang dkk, 2015. mengelompokkan komplikasi GBS menjadi 2 yaitu; 1. Komplikasi jangka pendek: a. kardiovaskuler b. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) c. Ensefalopati d. Komplikasi respiratori e. Penyakit ginjal f. Rhabdomiolisis g. Konstipasi 2. Komplikasi jangka panjang: a. gangguan psikologis seperti kecemasan, b. susah tidur c. rasa nyeri



14



2.9 Konsep Asuhan Keperawatan Guilline Barrie Syndrome 2.9.1Pengkajian 1. Data Klinis Terdiri dari inisial pasien, nomor rekam medis, usia, jenis kelamin, diagnosa medis, hari rawatan, dll. 2. Keluhan Utama Kaji alasan klien dibawa ke rumah sakit, biasanya terjadi kelemahan anggota gerak, kehilangan kemampuan berbicara, pusing, kejang, dll. 3. Riwayat Kesehatan a. Riwayat kesehatan sekarang Kondisi klien saat pengkajian, berupa data subjektif dan data objektif. Klien dengan SGB mengalami kelemahan anggota gerak yang biasanya diawali dengan rasa kebas dan kesemutan. b. Riwayat kesehatan dahulu Kaji apakah sebelumnya klien pernah mengalami demam atau proses pembedahan sebelumnya, karena SGB berkaitan dengan infeksi atau virus. c. Riwayat kesehatan keluarga Kaji apakah ada keluarga klien yang memiliki riwayat penyakit yang sama. 4. Pengkajian Fungsional Gordon 1) Pola Persepsi dan penanganan kesehatan Terjadi penurunan kemampuan sensori dan persepsi sehingga mudah terjadi injury dan terjadi disorientasi serta kesulitan dalam pengambilan keputusan. 2) Pola Nutrisi dan metabolisme Klien mengalami disfagia atau kesulitan dalam menelan, berkurangnya sensori di pipi, tenggorokan, dan lidah. 3) Pola Eliminasi Setelah timbul gejala stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urin sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan mengontrol keluaran urin akrena gangguan kontrol motorik. 4) Pola aktivitas dan olahraga



15



Klien mengalami gangguan dalam beraktivitas karena hemiplegia atau hemiparise dan penurunan tonus otot. 5) Pola istirahat atau tidur Klien bisa mengalami gangguan tidur karena ketidaknyamanan pada anggota tubuh dan juga mudah lelah karena kemampuan motorik yang berkurang. 6) Pola kognitif atau persepsi Klien mengalami gangguan kognitif dan persepsi seperti afasia (berkurangnya kemampuan berkomunikasi), disfungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan visual-spasial dan kehilangan sensori. 7) Pola peran hubungan Kaji dukungan yang didapatkan klien dan bagaimana pengaruh penyakit terhadap peran dan hubungan nya dengan orang terdekat 8) Pola seksualitas dan reproduksi klien dapat mengalami gangguan reproduksi dan seksualitas karena adanya penurunan fungsi motorik dan sensorik 9) Pola kognitif toleransi stress Karena mengalami kelemahan pada anggota gerak, maka akan berdampak pada kemampuan klien bertoleransi terhadap stress. 10) Pola keyakinan dan nilai Kaji pengaruh agama terhadap kemampuan klien beradaptasi dengan penyakit. 5. Pemeriksaan Fisik 1) Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan neurologik terdiri dari penilaian hal-hal berikut ini : a) Tingkat kesadaran Tingkat kesadaran dibagi menjadi dua macam yaitu : 1. Kesadaran kuantitatif (GCS / Glasgow Coma Scale) Penilaian skor skala koma Glasgow : Tabel. Skala koma Glasgow.



Buka mata (E)



Respon



motorik



Respon verbal (V)



(M) 1. Tidak ada respons 1. Tidak ada gerakan 2. Respons dengan 2. Ekstensi abnormal



1. Tidak ada suara 2. Mengerang



rangsangan nyeri 3. Buka mata dengan 3. Fleksi abnormal



3. Bicara kacau



16



perintah 4. Buka mata spontan



4. Menghindari nyeri



4. Disorientasi tempat dan



5. Melokalisir nyeri



waktu 5. Orientasi



baik



dan



sesuai 5. Mengikuti perintah Penilaian skor skala koma Glasgow : a. Koma (GCS = 3-8) b. Konfusi, lateragi atau stupor (GCS = 9-14) c. Sadar penuh, atentif dan orientatif (GCS = 15) 2. Kesadaran kualitatif Beberapa tingkatan dalam penilaian kesadaran kualitatif adalah sebagai berikut (sheey’s dkk, 2003) : 1) Kompos mentis : klien dalam keadaam kesadaran pennuh, mampu merespons semua rangsang dengan baik 2) Latergi : klien mampu merespons tetapi lambat, klien tampak mengantuk dan tidur jika tidak ada rangsangan 3) Apatis : klien tidak bangun dengan ransangan minimal, perlu ransangan yang agak keras untuk tetap terjaga. Tidak mampu mengikuti perintah pemeriksa. 4) Sopor : hanya merespons jika diberi ransangan kuat 5) Sopor koma : hanya merespons refleks cahaya, tidak berespons secara fisik, atau berespons secara fisik hanya untuk tujuan tertentu saja. 6) Koma : tidak merespons ransangan apapun. Jika koma masih belum terlalu dalam mungkin bisa menerima ransang nyeri yang hebat. Jika dalam konsisi koma yang dalam, klien tidak mampu merangsang respons apapun (Masjoer, dkk., 2010) b) Nervus kranial Berikut adalah pemeriksaan 12 saraf kranial menurut Rathe, dkk (2000) : No. Saraf Kranial



Fungsi



Pemeriksaan



1.



Mengenali bau-bau an



Minta klien menutup



Olfaktori



mata, letakkan bau-



: Saraf sensori



bauan



17



yag



dikenali



klien di depan hidung lalu



minta



klien



memberi



tahu



bau



tersebut



(misal



:



minyak kayu putih) 2.



Optik : Saraf sensori



Bekerja



pada



indra Sama



penglihatan, pandang,



seperti



lapang pemeriksaan



fisik



kemampuan mata dan snallen chart



melihat,



reaksi



terhadap



cahaya,



kemampuan



pupil dan



akomodasi



mata 3.



Okulomotor : saraf motorik



Penggerak kelopak mata, Pemeriksaan rangsang ukuran



pupil,



reaktivitas



dan cahaya, reflek pupil terhadap dan



cahaya



pemeriksaan



gerakan



bola



mata



pada delapan arah 4.



Troklear : motorik



5.



Trigeminal : motorik dan sensorik



Kemampuan bola mata Minta klien menoleh bergerak ke arah bawah ke arah bawah dan dan lateral



lateral



Proses mengunyah dan merasakan refleks kornea



makanan,



a. Minta klien untuk membuka



mulut



sementara pemeriksa mencoba menutup, dan minta klien menggerakkan rahang ke kiri dan kanan,



kemudia



perintahkan untuk menutup gigi. b. Minta



kilen



menutup mata, sap 18



daerah pada wajah dan minta klien menyebutkan daerah mana yang di



usap,



kornea



usap dengan



kapas halus, jika masih ada respons klie aka menutup 6.



Abdusen : motorik



7.



Fasial ; motorik dan sensorik



mata. Menggerakkan bola mata Minta



klien



ke arah lateral



bola



menggerakkan



mata ke arah lateral Memberi ekspresi wajah, perasa,



refleks



a. Minta



klien



kornea,



tersenyum,



penutupan kelopak mata



menaikkan



dan biir



serta



alis, tetap



berusaha menutup mata



dan



bibir



sementara pemeriksa mencoba membukanya b. Minta merasakan



kilen gula



dan garam yang diletakkan



di



lidah. Normalnya



8.



Vestibulokoklear : saraf sensoris



Pendengaran keseimbangan tubuh



dan



pasien



akan



merasakan



rasa



yag berbeda Memeriksa ketajaman pendengaran



19



seperti



pada



pengkajian telinga, gangguan pendengaran dapat menyebabkan gangguan keseimbangan 9.



Glossofaringeal : sensori dan motorik



Proses



menelan



dan



Sentuh



ujung



muntah, merasakan rasa



tenggorakan



pada lidah



dengan lidah



spatel dan



lihat



refleks muntah 10.



Vagus : motorik dan sensorik



Proses menelan (motorik),



Diperiksa



bicara



bersamaan dengan



(fonasi),



dan



refleks muntah



saraf IX dan kaji kejelasan



klie



dalam berbicara 11.



Spinal aksesoris motorik



Gerakan bahu dan rotasi kepala



a. Minta klien untuk menoleh ke arah kiri



dan



kanan,



menganggukkan dan mendongakkan kepala b. Minta menaikkan



klien bahu



sementara pemeriksa memberi tahanan 12.



Hipoglosus : saraf motorik



Menggerakkan membantu



pada bahu lidah, Minta klien



untuk



proses mengeluarkan



lidah,



artikulasi saat berbicara 20



mendorong pipi kiri



dankanan lidah.



dengan Serta



artikulasi



kaji dalam



berbicara



c) Fungsi motorik a.



Masa otot bisa dengan inspeksi.



b. Kekuatan otot, dengan menyuruh pasien bergerak secara aktif melawan tahanan, bandingkan dengan sisi yang lain. Sekala yang lazim digunakan yaitu 1) 0: tidak ada kontraksi 2) 1: hanya ada sedikit kontraksi 3) 2: gerakan yang dibatasi oleh gravitasi 4) 3: gerakan melawan gravitasi 5) 4: gerakan melawan gravitasi dengan sedikit tahanan 6) 5: gerakan melawan gravitasi dengan tahanan penuh (normal). c.



Tonus otot dengan membandingkan gerakan pasif pada otot itu bandingkan dengan sisi yang lain, lesi neuron motorik atas terjadi peningkatan tonus tetapi sebaliknya lesi pada neuron motorik bawah menyebabkan penurunan tonus otot.



d.



Reflek Ada dua jenis reflek yang di periksa yaitu reflek renggang, atau tendo profunda, dan reflek superfisial.  Reflek renggang diantaranya yaitu reflek biseps, brakioradialis, triseps, patela dan achiles bisa dinilai berdasarkan sekala 0-4+  yaitu 0: tak ada respon, 1+: berkurang, 2+: normal, 3+: meningkat, 4+: hiperaktif. Jika reflek hiperaktif merupakan ciri penyakit traktus ekstrapiramidalis, kelainan elektrolit, hipertiroidisme dan kelainan metabolik, sedangkan jika reflek berkurangnya reflek merupakan ciri kelainan sel kornu anterior dan miopati. Reflek superfisial yang abnormal / reflek patologis yaitu reflek babinski, reflek chaddock, reflek openheim. Reflek babinski untuk menguji radiks saraf pada lumbal lima sampai sacrum dua, dengan menggores bagian telapak kaki bagian lateral dari tumit  ke arah pangkal jari-jari kaki melengkung ke medial, maka akan terjadi dorsifleksi ibu jari kakai dengan penyebaran jari-jari lainya. 21



Reflek chaddock akan terjadi dorsofleksi ketika sisi lateral kaki di gores. Reflek openheim dengan penekanan tulang kering yang akan menyebabkan dorsofeksi ibu jari kaki (Hendri Budi, 2010). d) Fungsi sensorik a.       Sentuhan ringan b.      Sensasi nyeri c.       Sensasi getar d.      Propriosepsis (sensasi posisi) e.       Lokalisasi taktil. Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi terdapat ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-pasial ( mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area pasial ) sering terlihat pada pasien dengan hemiplegi kiri. Pasien tidak mampu memakai pakaian



tanpa bantuan karena ketidakmampuan mencocokan



pakaian kebagian tubuh. Kerusakan yang terjadi pada pasien stroke berupa kerusakan sentuhan ringan atau berat, dengan kehilangan kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh serta kesulitan dalam menginter pretasikan stimuli visual taktil dan audiotorius (Smeltzer & Bare, 2010). e) Fungsi serebelar a.       Tes jari ke hidung jika terjadi gangguan di serebelum maka akan melewati sasaran secara terus menerus dan kadang di sertai tremor. b.      Tes tumit kelutut, pasien di suruh menggeserkan tumit suatu ekstremitas bawah menuruni tulang kering ekstremitas bawah lainya dengan dimulai dari lutut, dalam keadaan penyakit serebelum tumitnya bergoyang-goyang dari sisi ke sisi. c.       Gerakan yang berganti-ganti dengan cepat. d.      Tes Romberg dengan cara menyuruh pasien berdiri di depan pemeriksa, dengan kaki di rapatkan sehingga kedua tumit dan jari-jari kaki saling bersentuhan tes ini positif jika pasien mulai bergoyang-goyang dan harus memindahkan kakinya untuk keseimbangan. e.       Gaya berjalan. Hemiplegi cenderung menyeret kakinya. Ataksia serebelum berjalan dengan langkah kaki berdasar lebar, kedua kakinya sangat jauh terpisah ketika berjalan. Foot drop dengan gaya berjalan seperti menampar 22



yang khas. Ataksia sensoris yaitu berjalan dengan langkah-langkah yang tinggi. 6. Pengkajian fisik head to toe a. Tanda- tanda vital b. Pemeriksaan fisik head to toe -



Kepala : inspeksi kulit kepala untuk kebersihan kepala. Lalu inspeksi bentuk kepala apakah ada deformitas atau benjolan



-



Mata : perhatikan conjunctiva dan sklera



-



Wajah : perhatikan kesimetrisan wajah, biasanya pasien dengan stroke akan mengalami kelemahan pada wajah



-



Mulut : perhatikan kesimetrisan bibir dan kemampuan pasien berbicara dan menelan



-



Leher : perhatikan apakah ada pembengkakan



-



Thoraks Paru-paru : o Inspeksi = dada simetris kira=kanan , penggunaan otot bantu pernafasan o Palpasi = fremitus o Perkusi = sonor o Auskultasi



:



dapat



terjadi



rhonkie



karena



kesulitan



kien



mengeluarkan sekret. Jantung : lakukan pemeriksaan IPPA, biasanya tidak ada kelainan -



Abdomen : bisa ditemukan kembung dan penurunan peristaltik usus karena bed rest yang lama



-



Ekstremitas : klien bisa mengalami hemiplegia dan hemiparise. Kaji kekuatan otot dan reflex.



2.9.2 No.



Diagnosa Keperawatan



Diagnosa Keperawatan



1. 2.



Gangguan eliminasi urin b.d kerusakan rangsang defekasi D.0040 Hal. 96 Pola napas tidak efektif b.d Insufisiensi pernapasan D.0005 Hal. 26



3.



Ancietas b.d prognosis penyakit yang kurang baik D.0080 Hal. 180



23



Sumber : Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) 2.9.3 Intervensi



No.



Diagnosa Keperawatan



Tujuan dan Kriteria Hasil



(SDKI) Gangguan eliminasi urin b.d Kerusakan rangsang defekasi D.0040 Hal. 96



(SLKI) Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x 24 jam di harapkan Eliminasi fekal L.04033 Hal. 24 Kriteria hasil :



Intervensi (SIKI)



1.



1. Kontrol pengeluaran feses = 5 Keterangan : 1. Menurun = 1 2. Cukup menurun = 2



Menejemen eliminasi fekal 1.04150 Hal. 143 Observasi 1. Monitor pristaltik usus secara teratur Terapiutik 1. Anjurkan waktu yang konsisten untuk BAB 2. Berikan privasi, kenyamanan dan posisi yang meningkatkan proses defekasi



3. Sedang = 3 4. Cukup meningkat = 4 5. Meningkat = 5



1. Keluhan defekasi lama dan sulit = 5 2. Mengejan saat defekasi = 5 3. Distensi abdomen = 5 4. Terasa massa pada rektal = 5 5. Urgency =5



3. Gunakan enema rendah, jika perlu 4. Anjurkan dilatasi rectal digital, jika perlu 5. Ubah program eliminasi fekal, jika perlu Edukasi 1. Ajarkan konsumsi makanan tertentu, sesuai program dan konsultasi 2. Anjurkan asupan cairan yang adekuat sesuai kebutuhan 3. Anjurkan olahraga sesuai toleransi



6. Nyeri abdomen =5 Kolaborasi 7. Keram abdomen =5 1. Kolaborasi pemberian obat



24



supositoria, jika perlu Keterangan :



2.



Pola napas tidak efektif b.d Insufisiensi pernapasan D.0005 Hal. 26



1. 2.



meningkat = 1 Cukup meningkat = 2



3.



Sedang = 3



4.



Cukup menurun = 4



5. Menurun = 5 Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x24 jam diharaapkan Pola napas L.01004 Hal. 95 kriteria hasil : 1. 2. 3. 4.



Ventilasi semenit = 5 Kapasitas vital = 5 Tekanan ekspirasi =5 Tekanan inspirasi = 5



Keterangan : 1 Menurun = 1 2 Cukup menurun = 2



Menejemen Jalan Napas 1.01011 Hal. 186 Observasi : 1. Monitor kemampuan napas 2. Monitor adanya retensi sputum Monitor input dan output cairan Teraupetik : 1. Atur posisi semi fowler 2. Pertahankan kepatenan jalan napas 3. Berikan oksigen Edukasi :



3 Sedang = 3 4 Cukup meningkat = 4 5 Meningkat = 5 1. Dispnea = 5 2. Penggunaan oto bantu napas = 5 3. Pemanjangan fase ekspirasi = 5 Keterangan : 1. meningkat = 1 2. Cukup meningkat = 2 3. Sedang = 3 4. Cukup menurun = 4 5. Menurun = 5



25



1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif 2. Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik 3. Anjurkan mengulangi Tarik napas dalam hingga 3 kali Kolaborasi : Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspetoran, jika perlu



3.



Ancietas b.d prognosis penyakit yang kurang baik D.0080 Hal. 180



Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x24 jam diharapkan Tingkat ancietas L.09093 Hal. 132 kriteria hasil :



Reduksi Ancietas 1.09314 Hal. 387 Observasi :



1. Verbalisasi kebingungan =5 2. Verbalisasi hawatir akibat kondisi yang dihadapi = 5 3. Perilaku gelisah = 5 4.



5. Konsentrasi = 5 6. Pola tidur =5 7. Perasaan keberdayaan = 5 8. Kontak mata = 5 Keterangan : 1. Menurun = 1 2. Cukup menurun = 2 3. Sedang = 3 4. Cukup meningkat = 4 5. Meningkat = 5



1. Identifikasi saat tingkat ancietas berubah 2. Identifikasi kemampuan mengambil keputusan 3. Monitor tanda-tanda ancietas Teraupetik : 1. Ciptakan suasana terapiutik untuk menumbuhkan kepercayaan pasien 2. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika perlu Edukasi : 1. Jelaskan prosedur dan sensasi yang mungkin di alami 2. Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan dan prognosis 3. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu 4. Latih teknik relaksasi Kolaborasi : 9. Kolaborasi pemberian obat antlansietas, jika perlu



Sumber : Tim Pokja SDKI, SLKI, SIKI DPP PPNI (2018) 2.1.4 Implementasi Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah



ditetapkan,



mengobservasi



kegiatannya



respon



klien



meliputi selama



(Purnomo,2016).



26



pengumpulan



dan



sesudah



data



berkelanjutan,



pelaksanaan



tindakan



2.1.5 Evaluasi Evaluasi merupakan penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan klien (hasil yang dimati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Purnomo, 2016).



27



BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga merupakan salah satu polineuropati karena hingga sekarang belum dapat diapstikan penyebabnya. Namun kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan mulai dari bawah ke atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan atau gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawalai dari bagian atas tubuh ke bawah sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all, dalam Ikatan Fisioterapi Indonesia, 2007). 3.2 Saran Semoga dengan apa yang materi kami berikan akan menambah pengetahuan kita dan semoga sangat bermanfaat bagi kita.



28



DAFTAR PUSTAKA Israr, Yayan Akhyar, Juraita, dan Rahmat B.S. 2009. Sindroma Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Unversitas Riau Pekanbaru. Japardi, Iskandar. 2002. Sindrom Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara. Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC. Theresia.2017.LAPORAN KASUS PENANGANAN SINDROM GUILLAIN-BARRE DENGAN TERAPI PLASMAFERESIS Nursing Current Vol. 5 No. 2, Juli 2017 – Desember 2017. Clinical Educator Faculty of Nursing Universitas Pelita Harapan; Tanggerang. Muflihah.dwi.rochmat.dwi.safitri.izzah.cahya.2016.Guillaine Barre Syndrom.Politeknik kesehatan kemetrian malang;Malang Yuwita. 2014.Laporan Pendahuluan Guillain Barre Syndrome(GBS). Kementrian Pendidikan Nasional Universitas Brawijaya; Malang



29