Komunikator Politik (Brian Mcnair) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Komunikator Politik



Pendahuluan Komunikator



dalam komunikasi politik



sangat penting, karena efektif tidaknya suatu



komunikasi politik juga dipengaruhi oleh siapa yang berbicara atau siapa yang menyampaikan isu atau konten komunikasi politik. Selain itu komunikator politik mempunyai kedudukan sebagai sumber informasi. Pada semua kegiatan komunikasi apapun, faktor komunikator merupakan suatu unsur yang penting sekali peranannya. Sekalipun nantinya keberhasilan komunikasi yang dimaksud secara menyeluruh bukan hanya ditentukan oleh komunikator, namun mengingat fungsinya sebagai pemrakarsa dalam aktifitas komunikasi, maka betapa menentukannya peran tersebut. Menurut Changara (2011) komunikator politik adalah seseorang atau kelompok yang dapat memberi informasi tentang hal-hal yang mengandung makna atau bobot politik, misalnya Presiden, Menteri, anggota DPR, MPR, KPU, Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD, Politisi, Fungsionaris Partai Politik, Fungsionaris Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan kelompok-kelompok penekan dalam masyarakat yang bisa memengaruhi jalannya pemerintahan Dalam politik praktis, seorang komunikator memiliki kesempatan untuk mempengaruhi opini publik. Bahkan dalam skala luas, komunikator politik akan dapat memeranguhi kehidupan sosial masyarakat sebab konstalasi politik juga sangat ditentukan oleh sejauh mana para komunikator politik mampu melontarkan gagasan-gagasannya. Sebab, biasanya komunikator politik biasanya terdiri dari orang-orang yang memiliki kapasitas di bidangnya sehingga apa yang dikatakannya dapat menjadi referensi banyak orang.



Macam-macam Komunikator Politik Dalam buku Mcnair (2003) yang berjudul “ An Introduction to Political Communication “ yang termasuk dalam komunikator politik adalah : 1. Organisasi Politik Menurut Mcnair (2003) pengertian komunikator politik dalam Organiasi Politik adalah orang-orang yang bercita-cita, melalui sarana organisasi dan kelembagaan



untuk mempengaruhi pengambilan keputusan. Mereka berusaha untuk memperoleh kekuatan politik dalam pemerintahan secara konstitusional, untuk melakukan kebijakan-kebijakan mereka. Jika bertentangan, tujuan mereka adalah menghalangi pemegang kekuasaan yang ada dan menggantinya dengan alternatif. Yang termasuk dalam organisasi politik adalah partai-partai politik. Partai-partai politik menurut Mcnair (2003) adalah kumpulan individu yang kurang lebih berpikiran sama, yang berkumpul dalam struktur organisasi dan ideologis yang disepakati untuk mengejar tujuan bersama. Partai politik sendiri di Indonesia merupakan organisasi yang sifatnya nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik, masyarakat dan negara. 2. Organisasi Publik Jika partai politik berada di jantung konstitusional dari proses politik demokrasi, namun mereka bukan satu-satunya komunikator politik. Adapula organisasi non partai yang mempunyai tujuan politik. Brian Mcnair (2003) membagi para komunikator politik non-partai menjadi tiga kategori: a. Yang pertama adalah kelompok/organisasi yang mempunyai kepentingan yang sama. Misalnya serikat pekerja, kelompok konsumen dan lain-lain dapat didefinisikan sebagai organisasi publik. Mereka disatukan bukan karena ideologi akan tetapi oleh beberapa ciri umum situasi anggota mereka yang membuatnya menguntungkan untuk digabungkan, seperti masalah pekerjaan (serikat pekerja) atau kelemahan individu warga negara dihadapan perusahaan besar (kelompok konsumen). Dalam organisasi seperti ini, individu berkumpul tidak hanya membantu satu sama lain dalam penyelesaian masalah praktis yang terkait dengan situasi bersama mereka, tetapi untuk mengkampanyekan perubahan. Organisasi ini mempunyai status kelembagaan dan legitimasi publik tercermin pada akses mereka ke pembuat kebijakan dan media dan juga pendanaan resmi. b. Yang kedua adalah kelompok penekan. Kelompok penekan ini bisa disebut sebagai kelompok isu tunggal, kelompok ini sangat berbeda dengan kelompok sebelumnya. Kelompok ini biasanya kurang terlembaga dan lebih terbuka dalam tujuan mereka, memperhatikan isu-isu seperti konservasi lingkungan alam, dan kekejaman terhadap



hewan yang dipelihara untuk konsumsi makanan manusia atau untuk digunakan dalam pengujian obat-obatan dan kosmetik. c. Yang ketiga adalah organisasi teroris. Organisasi teroris digolongkan oleh McNair sebagai kelompok yang menggunakan taktik teror untuk mencapai tujuan politik mereka. Taktik teror ini seperti pengeboman kota, pembajakan pesawat, pembunuhan, dan penculikan. Organisasi teroris menggunakan aksi-aksi tersebut untuk mencapai tujuan mereka di luar proses konstitusi yang berlaku di Negara tersebut, sebab mereka menganggap konstitusi tersebut tidak absah, dan menggunakan kekerasan sebagai sarana ‘persuasif’. Mereka melakukan aksi di luar konstitusi karena merasa tersisihkan dari wacana politik di dalam Negara tersebut. Sehingga proses marjinalisasi yang dilakukan oleh sebuah Negara memicu beberapa anggota kelompok untuk membentuk organisasi teror. Organisasi teroris ini secara aktif menarik perhatian media, dan berupaya agar ‘publik sasarannya mengetahui akan keberadaan dan tujuan organisasi tersebut. Menurut Scmid dan de Graaf, organisasi teroris yang aktif menarik perhatian media dikarenakan media barat memberikan akses pemberitaan untuk peristiwa-peristiwa yang abnormal, tidak lazim, berbahaya, baru, dan diwarnai kekerasan, maka kelompok-kelompok yang tidak memiliki akses ke media pemberitaan memanfaatkan karakteristik sistem nilai berita ini demi mendapatkan akses. 3. Media Dalam sistem politik demokrasi, media berfungsi baik sebagai penyampai komunikasi politik yang berasal dari luar organisasi media itu sendiri, maupun sebagai pengirim pesan politik yang dikonstruksi oleh jurnalis. Peran media dalam kedua hal tersebut sangatlah penting. Para aktor politik harus menggunakan media agar pesan mereka dapat dikomunikasikan kepada khalayak yang diinginkan. Program politik, pernyataan kebijakan, seruan pemilu, kampanye kelompok penekan, dan aksi terorisme memiliki keberadaan politik - dan berpotensi untuk efektivitas komunikatif - hanya sejauh mereka dilaporkan dan diterima sebagai pesan oleh khalayak media. Media tentu saja tidak sekadar memberitakan, secara netral dan tidak memihak, apa yang terjadi di arena politik di sekitar mereka. Terlepas dari protes yang bertentangan oleh beberapa jurnalis, ada lebih dari cukup analisis media dalam literatur studi komunikasi untuk menunjukkan bahwa laporan mereka tentang peristiwa politik (seperti kategori 'realitas' lainnya) sarat dengan penilaian nilai, subjektivitas dan bias.



Media tidak hanya memberikan pengetahuan kognitif, menginformasikan kepada kita tentang apa yang terjadi, tetapi juga mengatur dan menyusun realitas politik, membagi peristiwa yang lebih besar atau lebih kecil signifikansinya sesuai dengan ada atau tidaknya peristiwa tersebut dalam agenda media. Kaid dkk dalam Mcnair (2003) menyarankan bahwa kita dapat melihat 'realitas' politik yang terdiri dari tiga kategori (1991): a. Pertama, kita dapat berbicara tentang realitas politik obyektif, yang terdiri dari peristiwa politik sebagaimana yang sebenarnya terjadi b. Kemudian ada realitas subyektif - 'realitas' peristiwa politik seperti yang dipersepsi oleh aktor dan warga negara. c. Ketiga, dan kritis untuk pembentukan kategori kedua dari persepsi subjektif, dibangun realitas, yang berarti peristiwa yang diliput oleh media. Media mempunyai peran sentral dalam proses politik, Media menyampaikan dan menafsirkan kejadian-kejadian obyektif di bidang politik, dan memfasilitasi persepsi subjektif media di ruang publik yang lebih luas. Karena alasan ini, 'bias' media menjadi kunci politik penting. Fakta bahwa media populer, dan surat kabar khususnya, memang memiliki kesetiaan politik, lebih penting untuk memahami fungsi demokrasi bahwa dalam masyarakat kapitalis seperti Inggris. Surat kabar di Inggris dan sebagian besar masyarakat kapitalis lainnya relatif terbuka tentang partai politik mana yang mereka dukung (meskipun beberapa berusaha mempertahankan penampilan netral). Penyiar umumnya lebih pendiam, meskipun, dalam banyak debat politik, seperti yang telah menduduki media Inggris seputar masalah seperti hubungan industrial dan masa . Meskipun cakupan dan arah bias media akan berbeda-beda dalam demokrasi modern, fakta bahwa bias media memberikan hak kepada kita untuk memandang organisasi media sebagai aktor penting dalam proses politik. Antara pengiriman pesan politik dan penerimaannya oleh audiens, sesuatu terjadi padanya. Ia diubah dengan berbagai cara, baik disadari maupun sebagai konsekuensi dari proses produksi media, sehingga maknanya dan dampaknya terhadap khalayak bisa berubah. Media berperan penting dalam proses politik, sebagai penyampai pesan dari warga negara kepada pemimpin politik mereka. Dalam liputan mereka tentang jajak



pendapat, misalnya, media mungkin mengklaim mewakili 'opini publik', yang mengambil status sebagai sesuatu yang nyata untuk memahami atau mengevaluasi situasi politik, seringkali dalam istilah kritis atau teguran kepada para politisi. Dengan cara ini, pandangan warga negara dikomunikasikan ke atas, seringkali dengan efek yang dapat diamati pada perilaku partai. 4. Panggung internasional Kemajuan abad ke-20 telah menyaksikan arena politik menjadi lebih internasional, karena media telah memperluas jangkauannya, secara geografis dan temporer. Pada abad kedua puluh satu, khalayak media menjadi sasaran komunikasi politik tidak hanya dari sumber dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Pemerintah asing, organisasi bisnis, dan kelompok teroris seperti al-Quaida, semuanya menggunakan sistem informasi global untuk memajukan tujuan politik mereka. Bentuk tradisional diplomasi internasional antarpribadi tetap ada, tetapi perang modern, perjuangan pembebasan, dan sengketa teritorial masih terjadi. semakin diperjuangkan di media, dengan opini publik global sebagai hadiahnya (karena protagonis - pemerintah dan badan internasional seperti Perserikatan BangsaBangsa - dianggap responsif terhadap opini publik). Seperti yang diakui Walter Lippmann di awal 1920-an, 'pemerintah saat ini bertindak berdasarkan prinsip bahwa tidak cukup untuk mengatur warganya sendiri dengan baik dan untuk meyakinkan rakyat bahwa mereka bertindak dengan sepenuh hati atas nama mereka. Mereka memahami bahwa opini publik di seluruh dunia penting untuk kesejahteraan mereka. Upaya untuk memengaruhi opini dan kebijakan publik internasional jelas merupakan komunikasi politik. Contoh menonjol dari upaya tersebut, termasuk perang Falklands, Teluk dan Yugoslavia, dan perang yang lebih luas. kampanye propaganda yang mengiringi tujuh puluh tahun konflik Timur-Barat, Perang Dingin. Pembahasan juga mempertimbangkan dimensi komunikasi politik dari peristiwa 11 September 2001 dan sesudahnya.



Referensi Changara,Hafid, (2011). Komunikasi Politik, Konsep, Teori, dan Strategi, Jakarta : Rajawali Pers. Mcnair, Brian, (2003). An Introduction Political Communication, USA and Canada: Routledge