16 0 92 KB
KONFLIK SUKU DAYAK VS ETNIS MADURA konflik yang ada di sampit Terjadi dua kali kerusuhan berskala besar antara suku Dayak dan Madura, yaitu peristiwa sampit (2001), dan Senggau Ledo (1996). Kedua kerusuhan ini merembet ke hampir semua wilayah Kalimantan dan berakhir dengan pengusiran dan pengungsian ribuan warga Madura, dengan jumlah korban hingga mencapai 500-an orang. Perang antar suku ini menjadi masalah sosial yang me-nasional. Ada empat hal yang menjadi penyebab terjadinya perang suku antara suku Dayak dan suku Madura : 1.
Perbedaan antara dayak-madura Perbedaan
budaya
jelas
menjadi
alasan
mendasar ketika perang antar suku terjadi. Masalahnya sangat sederhana, tetapi ketika sudah berkaitan dengan kebudayaan, maka hal tersebut
juga
kebiasaan.Misalnya
berkaitan
dengan
permasalahan
senjata
tajam. Bagi suku dayak, senjata tajam sangat dilarang keras dibawa ketempat umum. Orang yang membawa senjata tajam kerumah orang lain, walaupun bermaksud bertamu, dianggap sebagai ancaman atau ajakan berduel. Lain halnya dengan budaya suku madura yang biasa menyelipkan senjata tajam kemana-mana dan dianggap biasa ditanah kelahirannya. Bagi suku dayak, senjata tajam bukan untuk menciderai orang. Bila hal ini terjadi, pelakunya harus dikenai hukuman adat pati nyawa (bila korban cidera) dan hukum adat pemampul darah (bila korban tewas). Namun, bila dilakukan berulang kali, masalahnya berubah menjadi masalah adat karena dianggap sebagai pelecehan terhadap adat sehingga simbol adat “mangkok merah” (Dayak Kenayan) atau “Bungai jarau” (Dayak Iban) akan segera berlaku. Dan itulah yang terjadi dicerita perang antar suku DayakMadura. 2.
Perilaku yang tidak menyenangkan
Bagi suku Dayak, mencuri barang orang lain dalam jumlah besar adalah tabu karena menurut mereka barang dan pemiliknya telah menyatu; ibarat jiwa dan badan. Bila dilanggar, pemilik barang akan sakit. Bahkan, bisa meninggal. Sementara orang madura sering kali terlibat pencurian dengan korbannya dari suku dayak. Pencurian yang dilakukan inilah yang menjadi pemicu pecahnya perang antara suku dayak dan madura. 3.
Pinjam meminjam tanah
Adat suku dayak membolehkan pinjam meminjam tanah tanpa pamrih. Hanya dengan kepercayaan lisan, orang madura diperbolehkan menggarap tanah orang dayak. Namun,
persoalan timbul saat tanah tersebut diminta kembali. Seringkali orang madura menolak mengembalikan
tanah
pinjaman
tersebut
dengan
alasan
merekalah
yang
telah
menggarap selama ini.Dalam hukum adat Dayak, hal ini disebut balang semaya (ingkar janji) yang harus dibalas dengan kekerasan. Perang antar suku Dayak dan Madura pun tidak dapat dihindarkan lagi. 4.
Ikrar perdamaian yang dilanggar
Dalam tradisi masyarakat Dayak, ikrar perdamaian harus bersifat abadi. Pelanggaran akan dianggap sebagai pelecehan adat sekaligus pernyataan permusuhan. sementara orang Madura telah beberapa kali melanggar ikrar perdamaian. Dan lagi-lagi hal tersebutlah yang memicu perang antar suku tersebut. Pihak yang terlibat dalam konflik ini.
Aparat keamanan.
Suku dayak asli.
Warga migran Madura.
Pemerintah.
Cara penyelesaian : 1.
Menerjunkan satuan pengamanan dari POLRI
dan TNI ke lokasi kerusuhan.
Misalnya:
Dengan memberikan seruan kepada semua pihak pertikaian. Mengadakan evakuasi para korban dan warga Madura kewilayah tetangga. Melaksanakan patroli dan menempatkan pasukan pada tempat yang rawan pertikaian.
2.
Melakukan tindakan persuasif dan preventif terhadap kelompok yang bertikai untuk
mengantisipasi
berkembangnya
kerusuhan
yang
meluas.
Seperti
mengeluarkan
himbauan yang disampaikan media massa dan elektronik serta mobil keliling secara kontinyu. 3.
Meyakinkan Gubernur,para Bupati dan Camat di Kalimantan Tengah agar tidak
mengambil jalan pintas memulangkan suku Madura kepulau Madura. Karena warga Madura tinggal didaerah Kalimantan Tengah sudah sejak tahun 1930 apabila Pemerintah memulangkan suku Madura ke pulau Madura akan mengakibatkan kecemburuan social. Konflik sampit ini selesai karena adanya kerendahan hati dari tokoh-tokoh Madura untuk memulai perdamaian dan terjadilah perjanjian perdamaian antara kedua suku apabila disalah satu pihak ada yang melanggar akan dikenakan sanksi hukum.
Untuk mengenang peristiwa tersebut sebagai bentuk perdamaian dibuatlah Tugu Perdamaian sebagai tanda perdamaian antara kedua suku. Tugu tersebut ditempatkan di bundaran Jl. Jend Sudirman Sampit-Pangkalan bun km 3.