Konflik Sosial.1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DAFTAR ISI



Table of Contents KATA PENGANTAR................................................................................................................i DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................2 1.1.



Latar Belakang.......................................................................................................2



1.2.



Rumusan Masalah.................................................................................................2



1.3.



Tujuan Penulisan....................................................................................................2



BAB II LANDASAN TEORI.....................................................................................................2 2.1.



Definisi Masalah Sosial dan Budaya.......................................................................2



2.2.



Identifikasi Masalah Sosial dan Budaya.................................................................2



2.3.



Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Masalah Sosial dan Budaya...........................2



2.4.



Masalah-Masalah Sosial di Indonesia....................................................................2



2.5.



Konflik Sosial..........................................................................................................2



2.6.



Penanggulangan dan penanganan konflik sosial...................................................2



BAB III URAIAN MASALAH.................................................................................................2 BAB IV PEMBAHASAN.........................................................................................................2 4.1.



Identifikasi Masalah Sosial.....................................................................................2



4.2.



Identifikasi Konflik Sosial dan Budaya....................................................................2



4.3.



Penanggulangan dan Pananganan Konflik.............................................................2



BAB V PENUTUP.................................................................................................................2 5.1.



Kesimpulan............................................................................................................2



5.2.



Saran Teoritis dan Praktis.......................................................................................2



DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................2



BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah sosial merupakan masalah yang ada pada individu maupun masayarakat. Pada umumnya masalah sosial ditafsirkan sebagai sebuah kondisi yang tidak diinginkan oleh sebagian masayarakat. Hal ini disebabkan karena gejala tersebut merupakan kondisi yang tidakk sesuai dengan harapan atau tidak sesuai dengan nilai, norma dan standar sosial yang berlaku. Lebih dari itu, suatu kondisi juga dianggap sebagai masalah sosial karena menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian fisik maupun non fisik (“Hakikat masalah sosial budaya,” 1987). Konflik sosial, bahkan mengarah dan berubah menjadi tindak kekerasan, sudah selang lama kita saksikan, mungkin kita alami sendiri. Perkelahian antarpelajar, baku hantam antarwarga kelompok-kelompok kepentingan, baku serang antarwarga RT dan antarwarga desa, sudah bukan barang baru dalam masyarakat kita. Konflik-konflik itu, pada umumnya bersifat spontan, dipicu oleh dorongan-dorongan sesaat, dilandasi sebabmusabab yang kurang rasional bahkan sering hanya karena alasan-alasan ‘sepele’. Hanya korban yang ditimbulkan tidak sepele, tidak tanggungtanggung, bahkan ada yang sampai mati (Hamijoyo, 2001). Sebab-sebab yang melandasi konflik dan tindak kekerasan yang siapa tahu mungkin menjadi salah satu ciri masyarakat kita. Ditekankan pada istilah ‘masyarakat’, karena sebagai individu mungkin saja seseorang itu baik, damai, toleran, dsb. Namun, karena ada faktor-faktor kekuatan sosial (social force), maka sifat-sifat pribadi itu bisa cepat berubah, mengikuti arus massa atau kelompok situasional yang belum tentu berakal sehat, damai, atau toleran. Faktor kekuatan sosial ini bisa saja tumbuh dari landasan-landasan sikap iri, ketidakpuasan atau kekecewaan politik, ekonomi, kultur, bahkan terselip warna-warna etnik, religius, rasial, dan



sebagainya. Perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam kelompok, atau antarkelompok dalam masyarakat, yang kemudian berkembang menjadi konflik sosial, bahkan konflik sosial dengan tindak kekerasan (violent social conflict) (Yohanes & Hokky, 2008). Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang dulu dikenal dengan nusantara dihuni oleh ratusan kelompok etnik yang tumbuh dan berkembang dalam suasana penuh konflik sosial berdarah sejak Indonesia merdeka. Bahkan beberapa sejarawan dan pengamat sosial-humaniora menyebut bahwa konflik SARA dibangsa Melayu telah terjadi sebelum era pra kolonial. Konflik SARA menjadi bagian dari kehidupan masyarakat multi etnis, multi religius, dan multi kultur seperti Indonesia (Muthalib dkk dalam Qodir, 2008: 131). Di awal masa kemerdekaan konflik sosial berdarah di Indonesia lebih bersumber pada konflik politik dan ideologi. Kemudian di akhir abad kedua puluh berganti wajah menjadi konflik identitas agama dan identitas etnik. Perbedaan agama atau etnik bukan lagi menjadi sumber kekuatan bangsa, namun saat ini telah menjadi sumber bencana (Batang, Akbar, & Primatexco, 2013). Seringkali keragaman etnik, menjadi salah satu alasan yang cukup dominan dalam memicu terjadinya konflik. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Fearon (2003) dan Horowitz (1985) menunjukkan bagaimana negara-negara yang memiliki tingkat keragaman etnik yang menvisualisasikan keragaman etnik yang direpresentasikan dengan besaran indeks fraksionalisasi dengan frekuensi terjadinya insiden kekerasan sosial di beberapa wilayah di Indonesia (Yohanes & Hokky, 2008). Fakta lain yang cukup menarik adalah uniknya properti keragaman etnik di Indonesia, bukan hanya beragam dalam aspek etnik atau kultural semata melainkan juga agama, dan bahasa, sebagian besar wilayah di Indonesia memiliki keragaman etnik yang cukup tinggi, kecuali untuk provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Bali (Yohanes & Hokky, 2008).



Pengkajian konflik sosial tidak hanya terkait dengan faktor-faktor yang berpengaruh dan struktur konflik sosial, melainkan juga dampak yang diakibatkan olehnya. Pengungsian dan kekurangan tempat tinggal, kerugian ekonomi, rendahnya kelayakan hidup dan sumber daya, merupakan beberapa dampak yang umumnya ditemukan pasca terjadinya konflik sosial di beberapa wilayah di Indonesia. Pasca konflik ditandai dengan adanya kerapuhan (vulnerability) aspek sosial, kemanusiaan dan juga ekonomi di wilayah tersebut (Yohanes & Hokky, 2008).



1.2.



Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud masalah sosial dan budaya? 2. Apakah yang dimaksud dengan konfik sosia? 3. Apakah yang melatarbelakangi timbulnya konflik antara Suku Bungku dengan Suku Bahodopi? 4. Apakah aspek-aspek sosial yang mendasari timbulnya konflik antara Suku Bungku dengan Suku Bahodopi? 5. Apakah aspek-aspek budaya yang mendasari timbulnya konflik antara Suku Bungku dengan Suku Bahodopi? 6. Bagaimanakah strategi pemecahan masalah konflik antara Suku Bungku dengan Suku Bahodopi?



1.3. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan masalah sosial budaya? 2. Untuk mengetahui apakah yang d dimaksud dengan konfik sosial antarsuku?



3. Menentukan latar belakang timbulnya konflik antara Suku Bungku dengan Suku Bahodopi. 4. Menentukan aspek-aspek sosial yang mendasari timbulnya konflik antara Suku Bungku dengan Suku Bahodopi. 5. Menentukan aspek-aspek budaya yang mendasari timbulnya konflik antara Suku Bungku dengan Suku Bahodopi. 6. Menentukan strategi pemecahan masalah konflik antara Suku Bungku dengan Suku Bahodopi.



BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Definisi Masalah Sosial dan Budaya A. Defrinisi Masalah Sosial dan Budaya Masalah sosial merupakan masalah yang ada pada individu maupun masayarakat. Pada umumnya masalah sosial ditafsirkan sebagai sebuah kondisi yang tidak diinginkan oleh sebagian masayarakat. Hal ini disebabkan karena gejala tersebut merupakan kondisi yang tidakk sesuai dengan harapan atau tidak sesuai dengan nilai, norma dan standar sosial yang berlaku. Lebih dari itu, suatu kondisi juga dianggap sebagai masalah sosial karena menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian fisik maupun non fisik. Untuk menghindari adanya berbagai bias tersebut serta menuju pada definisi masalah sosial yang objektif dan bersifat universal dicoba untuk merumuskan definisi masalah sosial. Paririllo (1987:14) menyatakan bahwa pengertian masalah sosial mengandung empat komponen, dengan demikian suatu situasi atau kondisi sosial dapat disebut sebagai masalah sosial apabila terlihat indikasi keberadaan empat unsur tadi. Keempat komponen tersebut adalah : 1. Kondisi tersebut merupakan masalah yang bertahan untuk suatu periode waktu tertentu. Kondisi yang bertahan dianggap sebagai masalah sosial, tapi dalam waktu singkat kemudian hilang dengan sendirinya tidak termasuk masalah sosial. 2. Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau non fisik, baik pada individu maupun masyarakat. 3. Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari salah satu atau beberapa sendi kehidupan. 4. Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan masalah. Sementara itu, Raab dan Selznick (1964:2) masalah sosial adalah masalah yang terjadi dalam antar hubungan di antara masyarakat. Contoh,



masalah kekeringan pada dasarnya bukan masalah sosial, kondisi ini dapat menjadi masalah sosial apabila kemudian dapat mempengaruhi proses relasi sosial. Suatu masalah yang dihadapi seorang warga masyarakat sebagai individu tidak otomatis merupkan masalah sosial. Masalah individu tersebut dapat dianggap sebagai masalah sosial kalau kemudian berkembang menjadi isu sosial. Keterkaitan dengan proses relasi sosial seringkali juga menyangkut aturan dalam hubungan bersama baik formal maupun informal. Masalah sosial terjadi apabila: 1. Banyak terjadi hubungan antar warga masayarakat yang menghambat pencapaian tujuan penting dari sebahagian besar warga masayarakat. 2. Organisai sosial menghadapi ancaman serius karena ketidakmampuan mangatur hubungan antarwarga. Disamping itu Weinberg mendifinisikan masalah sosial sebagai situasi yang dinyatakan sebagai sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai oleh warga masyaarakat yang cukup signifikan, dimana mereka sepakat dibutuhkan tindakan untuk mengubah siatuasi tersebut. Dari definisi tersebut dapat diidentifikasi tiga unsur penting yaitu: 1. Suatu situasi yang dinyatakan bermasalah 2. Warga masyarakat yang signifikan 3. Kebutuhan akan tindakan pemecahan masalah. Dari berbagai definisi yang sudah disampaikan tersebut, kunci pemahaman masalah sosial adalah terletak pada kondisi yang tidak diharapkan, dan oleh sebab itu diperlukan upaya untuk melakukan perubahan. Oleh sebab itu arti penting dari studi masalah sosial adalah apabila dapat memberikan referensi bagi perumusan tindakan perubahan, sehingga dampaknya betul-betul menghasilkan kondisi kehidupan yang lebih diharapkan, yang pada umumnya disebut sebagai kondisi yang lebih sejahtera.



(“Hakikat masalah sosial budaya,” 1987) B. Ukuran dan Batasan Masalah Sosial Masalah sosial adalah sebuah gejala atau fenomena yang muncul dalam realiitas kehidupan masayarakat. Dalam kehidupan keseharian fenomena tersebut hadir bersamaan dengan fenomena sosial yang lain, oleh sebab itu untuk dapat memahami masalah sosial, dan membedakannya dengan fenomena lain dibutuhkan ukuran dan batasan masalah sosial. (“Hakikat masalah sosial budaya,” 1987). 2.2. Identifikasi Masalah Sosial dan Budaya Mengidentifakasi masalah sosial budaya dapat berfungsi mengubah masalah sosial budaya yang bersifat laten menjadi manifest. Tidak jarang suatu bentuk masalah sosial sudah cukup lama menggejala dalam masyarakat, akan tetapi kurang disadari karena bersifat laten. Oleh karena sifatnya yang laten tersebut, upaya penanganan tidak segera dilakukan dan baru disadari setelah masalah tadi berkembang semakin memburuk dengan berbagai komplikasinya.



Sudah barang tentu



dalam



kondisi



tersebut



upaya



penanganannya menjadi lebih sulit dan komplek. Masalah sosial terdapat sepanjang perubahan dalam kehidupan msyarakat. Dalam perkembangan masyarakat, perwujudannya dapat merupakan masalah lama yang mengalami perkembangan baik secara kuantitatif maupun kuliatatif, akan tetapi dapat pula merupakan msalah baru yang muncul karena perkembangan dan perubahan kehidupan sosial, ekonomi dan cultural. Masalah sosial budaya dianggap sebagai kondisi yang tidak diinginkan oleh karena dapat membawa kerugian. Baik secara fisik pada individu, kelompok maupun masyarakat secara keseluruhan, atau dapat juga merupakan kondisi yang dianggap betentangan dengan nilai, nprma atau standar sosial yang disepakati. Fenomena masalah sosial budaya ini hadir dalam kehidupan



masyarakat, oleh sebab itu dibutuhkan kepekaan dalam mengenali dan memisahkannya dengan fenomena lain. Kriteria awal untuk melakukan identifikasi guna mengetahui apakah dalam suatu masyarakat terkandung fenomenan masalah sosial budaya atau tidak. Dari bebarapa kriteria dibedakan menjadi dua yaitu ukuran objektif dan subyektif Raab and Selznick, (1964, 5). Ukuran objektif merupakan instrument untuk mengetahui keberadaan masalah sosial dalam msayarakat dengan menggunakan parameter yang dianggap baku dengan memanfaatkan data yang ada teremasuk angka statistik. Namun tidak semua data statistik dapat digunakan, melainkan angka-angka yang terkait dengan gejala masalah sosial seperti angka kriminalitas, angka perceraian, angka pengangguran, dan angka kemiskinan. Ukuran subyektif merupakan instrument identifikasi masalah sosial berdasarkan interpretasi masyarakat. Pada umumnya interpretasi tersebut menggunakan referensi nilai, norma, dan standar sosial yang berlaku. Oleh sabab itu ukuran ini menjadi bersifat relatif, karena setiap masyarakat dapat memiliki nilai, norma dan standar sosial yang berbeda. Dapat saja terjadi suatu gejala atau kondisi yang dalam masyarakat tertentu tidak dianggap melanggar nilai dan norma dengan demikian tidak diklasifikasikan sebagai masalah sosial, akan tetapi tempat lain gejala tersebut dianggap sabagai masalah sosial budaya oleh karena telah dianggap melanggar nilai dan norma. Dalam masayarakat yang sama, sangat dimungkinkan suatu gejala pada masa lampau diklasifikasikan sebagai masalah sosial tetapi pada saat sekarang tidak lagi. Hal itu disebabkan karena msyarakat yang bersangkutan telah terjadi pergeseran nilai. Dari beberapa penjelasan tadi, maka dapat dikatakan bahwa dalam penggunanan ukuran sukjektif, masalah sosial budaya dilihat sebagai konstruksi sosial (Spicker.1995 :37) (“Hakikat masalah sosial budaya,” 1987).



2.3. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Masalah Sosial dan Budaya Sebab terjadinya yaitu timbul dari kekurangan-kekurangan dalm diri manusia atau kelompok sosial yang sumbernya pada faktor : 1. Ekonomi 2. Biologis 3. Biopsikologis 4. Kebudayaan Setiap masyarakat memiliki norma yang tidak lepas dari kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, kesehatan mental, serta penyesuaian individu dan kelompok sosial. Penyimpangan-penyimpangan terhadap norma tersebut merupakan gejala abnormal yang tentunya merupakan masalah sosial. Sesuai dengan sumber-sumber tersebut makan masalah sosial dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori diatas yaitu : 1.



Faktor ekonomi ini



: Faktor-faktor dari problem



dapat



dicontohkan



misalnya : Kemiskinan, Pengangguran, dan lainlain. 2. Faktor psikologis



: Faktor-faktor dari problem ini dapat dicontohkan misalnya : Penyakit syaraf, Bunuh diri, dan lainlain.



3. Faktor biologis



: Faktor-faktor dari problem ini dapat dicontohkan misalnya : Penyakit.



4. Faktor kebudayaan



: Faktor-faktor dari problem ini dapat dicontohkan misalnya : kejahatan, konflik rasial, dan lain-lain.



2.4. Masalah-Masalah Sosial di Indonesia Masalah-masalah sosial dalam lingkup nasional adalah masalah-masalah yang dialami oleh masyarakat dalam suatu wilayah tertentu namun akibatnya akan dirasakan oleh seluruh bangsa dalam suatu wilayah negara. Masalahmasalah sosial ini dapat berupa: 1. Kemiskinan Kemiskinan bisa menjadi masalah dalam lingkup lokal, namun bisa juga menjadi masalah dalam lingkup nasional. Ketika kemiskinan itu dialami oleh sekelompok orang dalam suatu wilayah tertentu, dan berdampak luas sampai pada negara, maka kemiskinan tersebut bisa dikategorikan dalam lingkup nasional. Misalnya, terjadi bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, gunung meletus, banjir, banjir lumpur panas di Sidoarjo, dan sebagainya. Bencana-bencana alam yang hebat tersebut dapat meluluhlantakkan suatu daerah, sehingga masyarakat yang tinggal di daerah tersebut akan kehilangan keluarganya, harta bendanya, rumahnya, dan juga mata pencahariannya. Keadaan seperti inilah yang akhirnya akan menimbulkan kemiskinan dalam lingkup nasional karena bukan hanya menjadi beban bagi seseorang, tapi juga menjadi beban atau masalah bagi suatu negara. 2. Pengangguran Pengangguran juga bisa dikategorikan dalam masalah lokal maupun masalah nasional, tergantung dari mana kita memandangnya. Ketika pengangguran itu dialami oleh seseorang dan hanya berdampak pada suatu wilayah tertentu, maka pengangguran ini hanya bersifat lokal. Namun apabila pengangguran ini terjadi pada sekelompok orang dan akan berdampak pada wilayah negara, maka pengangguran ini bisa disebut sebagai pengangguran yang sifatnya nasional. Misalnya pengangguran ini terjadi karena sekelompok orang atau masyarakat yang kehilangan mata



pencahariannya atau pekerjaannya karena bencana alam atau karena diberhentikan dari pekerjaannya 3. Masalah Kependudukan Masalah kependudukan merupakan masalah yang akan mendasari masalah-masalah sosial yang lain. Artinya masalah kependudukan ini akan mendorong timbulnya masalah-masalah sosial yang lain. Misalnya, pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, distribusi penduduk yang tidak merata, kepadatan penduduk, tingkat urbanisasi yang masih cukup tinggi. Masalah-masalah penduduk tersebut pasti akan diikuti oleh masalahmasalah yang lain. Sebagai contoh, pertumbuhan penduduk yang sangat pesat akan diikuti oleh pertumbuhan kebutuhan hidup. Apabila kebutuhankebutuhan hidup itu tidak terpenuhi, akan mengakibatkan terjadinya berbagai ketimpangan, baik di bidang ekonomi, ekologi atau lingkungan, pendidikan, dan sebagainya. Distribusi penduduk yang tidak merata juga akan menyebabkan terkonsentrasinya penduduk di suatu daerah, sehingga menimbulkan kepadatan penduduk di suatu daerah, sementara ada daerah-daerah lain yang jarang sekali penduduknya. Hal ini tentu saja akan menimbulkan masalah atau ketimpangan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun pertahanan dan keamanan. Masalah urbanisasi juga akan berdampak pada masalah-masalah sosial, seperti masalah ekonomi, sosial, ekologi atau lingkungan karena penduduk yang menumpuk di daerah perkotaan tersebut akan menimbulkan pencemaran sehingga lingkungan menjadi kumuh. 4. Masalah Lingkungan Masalah lingkungan ini terjadi karena ulah manusia yang dengan sengaja merusak lingkungan hidupnya yang seharusnya digunakan sebagai penopang kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Misalnya, membuang limbah baik itu limbah industri maupun limbah domestik atau limbah



rumah tangga tidak pada tempatnya. Hal ini tentu saja akan menimbulkan pencemaran baik pencemaran darat, air, maupun udara, sehingga akan mengganggu kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Penebangan hutan secara liar, akan mengakibatkan banjir dan tanah longsor yang akhirnya manusialah yang akan menanggung akibatnya. Eksploitasi kekayaan alam secara tidak bertanggung jawab juga akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Selain itu masalah lingkungan juga bisa terjadi karena faktor alam, di luar kekuasaan manusia sehingga manusia tidak akan mampu untuk mencegahnya. Misalnya terjadinya bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, tsunami, angin puting beliung, tanah longsor, dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masalah lingkungan itu terjadi karena adanya ketimpangan antara manusia (penduduk) dengan daya dukung alam atau lingkungan sebagai penopang kelangsungan hidup manusia itu sendiri. 5. Konflik Sosial Konflik sosial terjadi karena adanya pertentangan, percekcokan, perselisihan, ketegangan antar anggota masyarakat secara menyeluruh. Pertentangan tersebut muncul karena adanya perbedaan-perbedaan baik secara individual maupun kelompok, misalnya perbedaan pendapat, pandangan, penafsiran, pemahaman, kepentingan, dan sebagainya. Secara lebih luas pertentangan juga bisa diakibatkan karena adanya perbedaan agama, suku bangsa, bahasa, budaya, dan profesi Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk atau beraneka ragam dalam aspek-aspek kehidupannya, apabila keanekaragaman tersebut tidak dikelola dengan baik maka timbulnya adalah konflik yang akhirnya akan menjurus ke perpecahan atau disintegrasi. Namun apabila keanekaragaman tersebut bisa dikelola dengan baik, maka yang berbeda-beda atau beraneka ragam itu akan menjadi kekayaan bagi suatu bangsa, sehingga akan menimbulkan persatuan atau integrasi bangsa.



(Mujinem, n.d.) 2.5. Konflik Sosial A. Definisi Konflik Sosial Marx, Dahrendorf, Simmel, dan Coser mengatakan bahwa secara sederhana, konflik adalah pertentangan antara satu individu dengan individu lain, atau antara satu kelompok dengan kelompok lain. Sebetulnya, konflik dapat dilihat dari dua segi. Dari segi positif, konflik dapat mendinamisasikan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Konflik dapat memacu bagi terjadinya kompetisi yang sehat, orang berupaya untuk menjadi lebih baik dari yang lainnya. Konflik bisa menjadi tahap awal perubahan sosial. Dari segi negatif, konflik merupakan salah satu masalah yang perlu diatasi. Konflik yang sengit dapat memicu perselisihan dan permusuhan yang tajam, yang mengganggu suasana antarkelompok dalam masyarakat (Johnson, 1986). Oleh karena konflik di masyarakat merupakan sesuatu yang tak bisa dielakkan, maka yang perlu diketahui adalah apakah konflik itu ada atau tidak ada, tapi bagaimana intensitas dan tingkat kekerasannya, dan dalam bentuk apa konflik itu, apakah menyangkut masalah fundamental atau isuisu sekunder, bertentangan tajam atau sekadar perbedaan pandangan. Intensitas konflik menunjuk pada tingkat pengeluaran energi dan keterlibatan dari pihakpihak (kelompok-kelompok) yang berkonflik, sedangkan kekerasan konflik menyangkut alat atau sarana yang digunakan dalam situasi konflik, mulai dari negosiasi hingga saling menyerang secara fisik. Konflik antarkelompok yang menyangkut masalah prinsip dasar (fundamental) akan menimbulkan pertentangan antarkelompok yang lebih serius dibandingkan bila masalahnya sekadar bersifat sekunder atau dinilai tak penting (Johnson, 1990). (Sumartias & Rahmat, 2013) B. Bentuk-Bentuk Konflik Sosial



Lewis A.Coser (dalam Ahmadi, 2009: 293) membedakan konflik atas dua bentuk, yakni konflik realistis dan konflik non realistis. a) Konflik yang realistis berasal dari kekecewaan indvidu atau kelompok atas tuntutan-tuntutan maupun perkiraan kentungan yang terjadi dalam hubungan sosial. b) Konflik non-realistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuantujuan saingan yang antagonistis (bertentangan, berlawanan), tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketengangan, paling tidak dari salah satu pihak. Dalam masyarakat tradisional pembalasan dendam, lewat ilmu ghaib merupakan bentuk konflik non-realistis. Lebih lanjut Coser menyatakan bahwa dalam satu situasi bisa terdapat elemen konflik realistis dengan non-realistis. Pemogokan melawan majikan, misalnya dapat betupa sikap atau sifat permusuhan dan perlawanan yang timbul tidak hanya sebagai akibat dari ketegangan hubungan antara buruh dan majikan. Sifak dan sikap bisa jadi juga timbul karena ketidakmampuan menghilangkan rasa permusuhan terhadap figusfigur yang berkuasa. Misalnya figure ayah yang sangat otoriter. Dengan demikian energi-energi agresif mungkin terakumulasi dalam proses-proses interaksi lain sebelum ketegangan dalam situasi konflik di redakan. Berdasarkan kedua bentuk konflik diatas, Coser juga membagi konflik menjadi konflik in-group dan konflik out-group. Konflik in-group adalah konflik yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat sendiri. Contoh konflik yang terjadi antara anggota dalam satu geng. Sementara konflik out-group adalah konflik yang terjadi antara suatu kelompok atau masyarakat dengan kelompok atau masayrakat lain. Contoh, konflik yang terjadi antara satu geng dengan geng lainnya. Ahli lain yakni Ralf Dahrendorf (dalam Ahmadi, 2009: 294) membedakan konflik atas empat macam, yakni sebagai berikut:



1) Konflik-konflik antara atau dalam peranan sosial. Misalnya antara peranan-peranan dalam kelurga atau profesi seperti peranan seorang suami dan istri dalam mendapatkan penghasilan. 2) Konflik-konflik antara kelompok-kelompok sosial. 3) Konflik-konflik antara kelompok-kelompok yang teroganisasi dan tidak terorganisasi. 4) Konflik-konflik antara satuan nasional, seperti antara partai politik, antara Negara-negara atau organisasi-organisasi Internasional. Sementara Soerjono Soekanto (dalam Ahmadi, 2009: 294) menyebutkan tiga bentuk khusus konflik atau pertentangan yang terjadi dalam masyarakat. Ketiga bentuk konflik atau pertentangan itu adalah sebagai berikut: a) Konflik atau pertentangan pribadi. Konflik ini terjadi antara dua atau lebih individu karena perbedaan pandangan dan sebagainya. b) Konflik atau pertentangan rasial. Konflik ini umumnya timbul akibat perbedaanperbedaan ras, seperti perbedaan ciri fisik, kepentingan dan kebudayaan. Konflik ini biasanya terjadi dalam masyarakat dimana dalam satu ras menjadi kelompok mayoritas. Contoh, konflik antara orang kulit hitam dan kulit putih di Afrika Selatan beberapa waktu lalu. c) Konflik atau pertentangan antara kelaskelas sosial, konflik ini umumnya disebabkan karena perbedaan kepentingan. Contoh, konflik akibat perbedaan kepentingan antara buruh dan majikan. Menurut Ahmadi (2009: 295) dilihat dari segi bentuknya, konflik sosial mempunyai beberapa bentuk, antara lain sebagai berikut: 1) Konflik pribadi, yaitu pertentangan yang terjadi secara perseorangan seperti pertentangan antara dua orang teman, suami istri, pedangan, dan pembeli, atasan dan bawahan dan sebagainya.



2) Konflik kelompok, yaitu pertentangan yang terjadi secara kelompok seperti pertentangan antara dua kelompok pelajar yang berbeda sekolah, antara kedua keseblasan sepak bola dan lain-lain. 3) Konflik antar kelas sosial yaitu pertentangan yang terjadi antara kelas sosial yang berbeda, seperti antara kelas orang kaya dengan kelas orang miskin dan lain-lain. 4) Konflik rasial adalah pertentangan yang terjadi antar ras, seperti pertentangan antara ras kulit hitam dan kulit putih. 5) Konflik politik, yaitu pertentangan yang terjadi dalam masyarakat karena perbedaan paham dan aliran politik yang dianut seperti pertentangan antara masyarakat penjajah dan yang dijajah, antara golongan politik dan sebagainya. 6) Konflik budaya, yaitu pertentangan yang terjadi didalam masyarakat akibat perbedaan budaya seperti pertentang antara budaya timur dan budaya barat. (Mustamin, 2015) C. Sifat-Sifat Konflik Sosial pabila berbicara tentang evolusi pemikiran tentang konflik, dapat diidentifikasi tiga macam fase dalam perkembangan pemikiran tentang konflik sosial. Menurut Winardi (2003:259) yaitu: a) Fase Klasik (the classical phase); Fase klasik atau fase tradisional memandang konflik pada suatu daerah sebagai hal yang bersifat disfungsional sebagai suatu ketidaksempurnaan. b) Fase Hubungan Antar Manusia (the human reletionns phase);



Fase hubungan antar manusia yang berkaitan dengan pemikiran tentang konflik mengakui eksistensi konflik. Akan tetapi, konflik cenderung dianggap sebagai hal yang tidak bisa dihindarkan dan sebagai sesuatu hal yang perlu diatasi. Kausa-kausa konflik dihubungkan dengan idiosinkrasi para pengacau, para primadona dan sebagainya (Keelly, 1969: 499). Fase hubungan antar manusia sebagai gangguan yang mengacaukan keseimbangan sosial. c) Fase Kontemporer (the contemporary phase); Pandangan yang bersifat lebih kontemporer menyatakan, bahwa konflik bukannya baik atau buruk bagi organisasiorganisasi. Konflik sesungguhnya merupakan sifat kehidupan yang tidak dapat dihindari pada



organisasi-organisasi



atau



kelompok-kelompok



dalam



masyarakat. Ia merupakan sebuah fakta kehidupan yang perlu dipahami dan bukan untuk ditentang. Selanjutnya Wehr dan Bartos (dalam Susan, 2012:56) membagi konflik menjadi dua fase, yaitu fase solidaritas konflik (Conflict Solidarity) dan fase-fase sumber konflik (Conflict Resource). a.



Solidaritas Konflik (Conflict Solidarity) Solidaritas konflik adalah terciptanya konflik, menuju terciptanya kopleksitas, melalui keterlibatan individu-individu yang lain. Proses ini melalui tiga proses, yaitu terdapat interaksi individu-individu anggota secara intensif, ada rasa suka terhadap anggota lain, dan jika terdapat kesamaan (kemiripan) kepercayaan (keyakinan), nilai-nilai dan norma. Ketiga proses ini akan teraktualisasi, dipicu, oleh adanya fakta kajian (hostility). Ada dua bentuk kajian, yaitu fustrasi dan keluhan (grievance). Solidaritas konflik dicirikan oleh beroperasinya ideologi dalam suatu kelompok, memberikan doktrin dan semangat perlawanan. Selanjutnya terdapat pengorganisasian anggota dan struktur sehingga dapat di rumuskan strategi konflik. Kemudian yang



terakhir adalah mobilisasi massa dengan mengefektifkan seluruh sumber dayanya untuk memenangkan konflik. b.



Fase-Fase Sumber Konflik (Conflict Resource) Fase selanjutnya adalah sumber konflik, yaitu proses kelompokkelompok berkonflik memanfaatkan instrumen untuk menghadapi konflik.



(Mustamin, 2015) D. Jenis dan Tipe-Tipe Konflik Sosial Novrin Susan (2010:99) membagi jenis konflik menjadi konflik vertikal “konflik atas”. Yang dimaksud adalah konflik elite dan massa (rakyat). Kedua konflik horizontal, yakni konflik yang terjadi di kalangan massa (rakyat) itu sendiri. Menurut Fisher (2001:237) tipe-tipe konflik terdiri dari tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka dan konflik dipermukaan: a) Tanpa konflik merupakan kondisi konflik yang menggabarkan setuasi yang relatif stabil dan damai. Tipe ini bukan berarti tidak ada konflik dalam masyarakat tetapi ada beberapa kemungkinan atas situasi ini. Pertama, masyarakat mampu menciptakan struktur sosial yang mencegah kearah konflik kekerasan. Kedua, sifaf budaya yang memungkinkan anggota masayarakat menjauhi permusuhan dan kekerasan. b) Konflik Laten adalah suatu keadaan yang di dalamnya menunjukan terdapat banyak persoalan, sifatnya tersembunyi dan dan perlu di angkat ke permukaan agar bisa di tangani. c) Konflik Terbuka adalah situasi ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan



berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. d) Konflik di permukaan adalah konflik yang memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalapahaman mengenai sasaran, yang dapat di atasi dengan meningkatkan komunikasi (dialog terbuka). 5. (Mustamin, 2015) E. Faktor Penyebab Terjadinya Konflik Sosial Menurut Abu Ahmadin (2009: 291) Secara umum faktor-faktor penyebab terjadinya konflik sosial adalah sebagai berikut: a) Perbedaan antar anggota masyarakat, baik secara fisik maupun mental, atau perbedaan kemampuan, pendirian dan perasaan, sehingga menimbulkan pertikaian atau bentrok antar mereka. b) Perbedaan pola kebudayaan: seperti perbedaan adat-istiadat, suku bangsa, agama, bahasa, paham politik, pandangan hidup, sehingga mendorong timbulnya persaingan dan pertentangan bahkan bentrok di antara anggota masyarakat tersebut. c) Perbedaan status sosial: seperti kesenjangan antara si kaya dan si miskin, generasi tua dan generasi muda dan sejenisnya. d) Perbedaan kepentingan antar-anggota masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok, sepeti perbedaan kepentingan politik, ekonomi, sosial, agama dan sejenisnya. e) Terjadinya perubahan sosial, antara lain berupa perubahan sistim nilai, akibat masuknya nilai baru yang mengubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, juga menjadi faktor penyebab terjadinya konflik sosial.



f)



Interdependensi Suatu keadaan dimana seorang individu dan kelompok yang mengembangkan keinginanannya untuk mencapai tujuan hidup. Namun kepentingan-kepentingan hidup-hidup masih mengharapkan bantua orang lain. Kondisi sosial yang mungkin saja tidak mendukung kebutuhan itu seketika akan menimbulkan konflik. Walau pun konflik yang terjadi masih dalam sub yang kecil.



g) Perbedaan-perbedaan pada tujuan-tujuan dan prioritas Perbedaanperbedaan dalam cara pandang kehidupan akan berpengaruh terhadap tujuan dan perebedaan prioritas individu dan kelompok. Hal tersebut membuat individu dan kelompok masing-masing mengejar tujuan yang berbeda. Yang sering kali tidak bersifak konsisten atau tidak sesuai. h) Persaingan untuk mencapai sumber daya Tidak akan timbul konflik jika tidak ada masalah kelangkaan sumber daya yang perlu di bagibagi. Apabila sumbersumber daya langkah, seperti terlihat biasannya dalam praktek kenyataan, harus diambil keputusan tentang pilihan alokasi sumber daya. i)



Komunikasi Komunikasi menjadi bagian dari faktor penyebab terjadinya konflik sosial. Ketidak sesuaian antara keinginan seorang individu dengan apa yang dikomunukasikan oleh individu yang lain menjadi sebab akan timbulnya konflik diantara mereka, hal ini bisa terjadi diantara individu dan individu maupun kelompok dengan kelompok serta kelompok dan individu.



(Mustamin, 2015) F. Penyebab Konflik Dan Dampaknya Dalam Masyarakat 1.



Penyebab konflik Banyak faktor yang telah menyebabkan terjadinya konflik. Menurut morton deutsch (1973), konflik timbul karena pola



hubungan saling ketergantungan yang negative antara pihak yang berkonflik. 2.



Sebab-sebab terjadinya konflik a.



Perbedaan Antar perorangan Perbedaan ini dapat berupa perbedaan perasaan, pendirian, atau pendapat. Hal ini mengingat bahwa manusia adalah individu yang unik atau istimewa, karena tidak pernah ada kesamaan yang baku antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik sosial, sebab dalam menjalani sebuah pola interaksi sosial, tidak mungkin seseorang akan selalu sejalan dengan individu yang lain. Misalnya dalam suatu diskusi kelas, kamu bersama kelompokmu kebetulan sebagai penyaji makalah. Pada satu kesempatan, ada temanmu yang mencoba untuk mengacaukan jalannya diskusi dengan menanyakan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu dibahas dalam diskusi tersebut.



b. Perbedaan Kebudayaan Perbedaan kebudayaan memengaruhi pola pemikiran dan tingkah laku perseorangan dalam kelompok kebudayaan yang bersangkutan.



Selain



perbedaan



dalam



tataran



individual,



kebudayaan dalam masing-masing kelompok juga tidak sama. Setiap individu dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam lingkungan kelompok masyarakat yang samapun tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan kebudayaan, karena kebudayaan lingkungan keluarga yang membesarkannya



tidak



sama.



Yang



jelas,



dalam



tataran



kebudayaan ini akan terjadi perbedaan nilai dan norma yang ada dalam lingkungan masyarakat. Ukuran yang dipakai oleh satu



kelompok atau masyarakat tidak akan sama dengan yang dipakai oleh kelompok atau masyarakat lain. Apabila tidak terdapat rasa saling pengertian dan menghormati perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan faktor ini akan menimbulkan terjadinya konflik sosial. Contohnya seseorang yang dibesarkan pada lingkungan kebudayaan yang bersifat individualis dihadapkan pada pergaulan kelompok yang bersifat sosial. Dia akan mengalami kesulitan apabila suatu saat ia ditunjuk selaku pembuat kebijakan kelompok. Ada kecenderungan dia akan melakukan pemaksaan kehendak sehingga kebijakan yang diambil hanya menguntungkan satu pihak saja. Kebijakan semacam ini akan di tentang oleh kelompok besar dan yang pasti kebijakan tersebut tidak akan diterima sebagai kesepakatan



bersama.



Padahal



dalam



kelompok



harus



mengedepankan kepentingan bersama. Di sinilah letak timbulnya pertentangan yang disebabkan perbedaan kebudayaan. c. Bentrokan Kepentingan Bentrokan kepentingan dapat terjadi di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya. Hal ini karena setiap individu memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam melihat atau mengerjakan sesuatu. Demikian pula halnya dengan suatu kelompok tentu juga akan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang tidak sama dengan kelompok lain. Misalnya kebijakan mengirimkan pemenang Putri Indonesia untuk mengikuti kontes „Ratu Sejagat‟ atau „Miss Universe‟. Dalam hal ini pemerintah menyetujui pengiriman tersebut, karena dipandang sebagai kepentingan untuk promosi kepariwisataan dan kebudayaan. Di sisi lain kaum agamis menolak pengiriman itu karena dipandang bertentangan dengan norma atau adat ketimuran (bangsa



Indonesia). Bangsa Indonesia yang selama ini dianggap sebagai suatu bangsa yang menjunjung tinggi budaya timur yang santun, justru merelakan wakilnya untuk mengikuti kontes yang ternyata di dalamnya ada salah satu persyaratan yang mengharuskan untuk berfoto menggunakan swim suit (pakaian untuk berenang). d. Perubahan Sosial yang Terlalu Cepat di dalam Masyarakat Perubahan



tersebut



dapat



menyebabkan



terjadinya



disorganisasi dan perbedaan pendirian mengenai reorganisasi dari sistem nilai yang baru. Perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan mendadak akan membuat keguncangan proses-proses sosial di dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada. Sebenarnya perubahan adalah sesuatu yang wajar terjadi, namun jika terjadinya secara cepat akan menyebabkan gejolak sosial, karena adanya ketidaksiapan dan keterkejutan masyarakat, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya konflik sosial. Contohnya kenaikan BBM, termasuk perubahan yang begitu cepat. Masyarakat banyak yang kurang siap dan kemudian menimbulkan aksi penolakan terhadap perubahan tersebut. (Mustamin, 2015) 2.6. Penanggulangan dan penanganan konflik sosial Pendekatan



penanggulangan



dan



penanganan



konflik



oleh



pemimpin dikategorikan dalam dua dimensi ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan menggunakan kedua macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan penyelesaian konflik ialah :



1.



Kompetisi Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose orientation.



2.



Akomodasi Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.



3.



Sharing Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lain menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.



4.



Kolaborasi Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan problem (problem-solving approach) yang memerlukan integrasi dari kedua pihak.



5.



Penghindaran Menyangkut ketidakpedulian dari kedua kelompok. Keadaaan ini menggambarkan penarikan kepentingan atau



mengacuhkan kepentingan kelompok lain. Sedangkan dalam wikipedia dijelaskan Cara-cara Pemecahan konflik seperti : 1) Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang lukaluka,



mengubur



yang



tewas,



atau



mengadakan



perundingan



perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lainlain. 2) Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan



informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan. 3) Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda. 4) Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya panitia tetap penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain. 5) Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh : adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin. 6) Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan. Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah : 1.



Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan ucapan antara lain : kami mengalah, kami keluar, dan sebagainya.



2.



Subjugation atau domination, yaitu orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar untuk dapat memaksa orang atau pihak lain menaatinya. Sudah barang tentu cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.



3.



Majority rule, yaitu suara terbanyak yang ditentukan melalui voting untuk mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi.



4.



Minority consent, yaitu kemenangan kelompok mayoritas yang diterima dengan senang hati oleh kelompok minoritas. Kelompok minoritas sama sekali tidak merasa dikalahkan dan sepakat untuk melakukan kerja sama dengan kelompok mayoritas.



5.



Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.



6.



Integrasi, yaitu mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua pihak.



(Mustamin, 2015)



BAB III URAIAN MASALAH



Konflik Antar Suku Pecah di Morowali Ribuan Warga Bahodopi Mengungsi SULTRAKINI.COM: Konflik antar suku terjadi di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Sabtu (27 Oktober 2018). Masyarakat saling menyerang menggunakan berbagai jenis senjata tajam, seperti parang, batu, dan tongkat. Sebuah media online lokal menyiarkan akibat konflik itu sedikitnya tiga orang dilarikan ke rumah sakit. Selain itu, ribuan warga dilaporkan telah mengungsi dari rumah tinggalnya. “Ribuan warga Bohodopi yang memilih mengungsi meninggalkan wilayah ini karena daerah ini dianggap mencekam untuk sementara waktu,” demikian Radarinvestigasi.com, Sabtu malam. Penelusuran SultraKini.com, Minggu (28 Oktober 2018) dinihari menemukan video konflik Bohodopi tersebut beredar melalui jejaring sosial. Dalam video berdurasi 4,26 menit terlihat konsentrasi massa dari dua arah. Aparat kepolisian dan TNI berupaya menenangkan massa. Pada video lain dengan durasi 31 detik, tampak warga sudah saling serang. Di antara mereka memegang parang panjang sambil memungut batu lalu melemparkan ke arah lawan. Terdengar sejumlah bunyi tembakan. Namun tidak menyurutkan nyali warga untuk saling serang. Informasi dihimpun menyebutkan, pemicu konflik berawal dari perkelahian pengunjung salah satu kafe remang-remang, tiga hari sebelumnya. Saat itu datang camat setempat. Namun kedatangannya bukannya mendinginkan suasana, melainkan menambah panas situasi akibat mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan salah satu kelompok suku di sana.



Pertikaian di kafe itu sempat didamaikan. Sang camat juga telah meminta maaf. Persoalan dianggap selesai pada malam hari itu.Tetapi rupanya sekelompok warga pendukung camat tidak terima jika camat mereka harus meminta maaf pada suku yang diduga telah dihina sebelumnya. Paginya, mereka mendatangi sekretariat paguyuban suku yang diduga telah dihina oleh camat itu. Juga mendatangi salah satu rumah makan khas milik suku pendatang tersebut. Di sana mereka mangejar setiap orang yang ada di sekretariat maupun rumah makan dengan menggunakan parang, balok, maupun batu. Saksi mata, Rustam (38), kepada media menjelaskan, berselang setengah jam setelah pengejaran di sekretariat paguyuban, kembali terjadi aksi balasan yang dipimpin langsung oleh ketua kerukunan. Akibatnya, terjadilah kerusuhan yang mencekam itu. Sejauh ini belum ada keterangaan resmi dari aparat keamanan setempat mengenai situasi dan kondisi terakhir di Bahodopi. Bahodopi adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Morowali yang dimekarkan tahun 2010 dari kecamatan induk Bungku Selatan. (Shen, 2018) Hasil wawancara kami dengan narasumber bernama Deyra (23 tahun) anggota Kepolisian Polda Sulawesi Tengah, kami mendapatkan informasi bahwa konflik antarsuku terjadi antara Suku Bungku (Penduduk asli Bahodopi) dengan Suku Toraja. Konflik berawal dari pertengkeran pengunjung sebuah caffe yang kemudian didatangi oleh Bapak Camat yang tidak menyelesaikan masalah malah menyinggung masyarakat Suku Toraja. Kemudian dilakukan Mediasi Dipolsek Mahodopi dan dibuat kesepakatan bahwa Bapak Camat harus meminta maaf kepada Perwakilan Suku Toraja yang hadir dan Bapak Camat menyanggupi meminta maaf. Kemudian Suku Bungku tidak terima dan merusak rumah Ketua Kerukunan Toraja dan kemudian memicu Konflik yang lebih besar antarsuku. Kemudian Polisi dan TNI mencoba menghentikan konflik namun membutuhkan



waktu yang tidak sebentar. Lalu datang Forkompinda Kabupaten Worowali dan juga Bapak Camat Bahodopi lalu dilakukan pertemuan dengan kedua suku tersebut. Hasilnya adalah warga meminta dibangun pos polisi diantara kedua dukuh tempat masing-masing suku tersebut.



BAB IV PEMBAHASAN



4.1.



Identifikasi Masalah Sosial Sebelum kita membahas tentang konflik sosial antara Suku Bungku dengan Suku Toraja, terlebih dulu kita identifikasi apakah masalah tersebut merupakan masalah sosial atau tidak. Paririllo (1987:14) menyatakan bahwa pengertian masalah sosial mengandung empat komponen, dengan demikian suatu situasi atau kondisi sosial dapat disebut sebagai masalah sosial apabila terlihat indikasi keberadaan empat unsur tadi. Keempat komponen tersebut adalah : 1. Kondisi tersebut merupakan masalah yang bertahan untuk suatu periode waktu tertentu. Kondisi yang bertahan dianggap sebagai masalah sosial, tapi dalam waktu singkat kemudian hilang dengan sendirinya tidak termasuk masalah sosial. Konflik sosial antara Suku Bungku dan Suku Toraja di Bahodopi telah bertahan selama tiga hari tanpa penyelesaian sehingga menyebabkan terjadinya kontak fisik pada hari ketiga setelah masalah tersebut muncul. 2. Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau non fisik, baik pada individu maupun masyarakat. Konflik antara Suku Bungku dengan Suku Toraja mengakibatkan kerugian fisik yang mana tiga orang dari Suku Bungku harus dilarikan ke klinik karena mengalami luka berat dan rusaknya rumah ketua kerukunan toraja (KKT) yang dihancurkan oleh Suku Bungku. Dan kerugian non fisik yang mana ribuan warga mengungsi sehingga menyebabkan



kegiatan



masyarakat



tidak



berjalan



sebagaimana



mestinya. 3. Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari salah satu atau beberapa sendi kehidupan.



Konflik antara Suku Bungku dan Suku Toraja jelas melanggar nilai-nilai standar kehidupan bermasyarakat seperti musyawarah untuk menyelesaikan persoalan kelompok dan juga melanggar norma hukum yang berlaku karena baik Suku Bunggu maupun Suku Toraja telah melakukan tindak kekerasan terhadap masing-masing anggota suku dan tidak mengindahkan aparat yang berwajib (polisi) yang menghimbau agar tidak terjadi kerusuhan yang menimbulkan korban. 4. Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan masalah. Konflik antara Suku Bungku dengan Suku Toraja membutuhkan pemecahan masalah dari Pihak ke 3 yang lebih bijaksana, dalam hal ini pihak



ke



3



yang



meredam



dan



memberikan



waktu



untuk



bermusyawarah damai antara Suku Bungku dan Suku Toraja adalah Pihak Forkompinda Kabupaten Morowali. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konflik antara Suku Bungku dengan Suku Toraja adalah permasalahan sosial. Faktor penyebab terjadinya permasalahan sosial antara Suku Bungku dengan Suku Toraja adalah Faktor Kebudayaan yang mana masalah tersebut terjadi karena perbedaan kebudayaan yang kemudian masuk ke dalam bentuk masalah sosial budaya yaitu konflik sosial dan budaya. 4.2.



Identifikasi Konflik Sosial dan Budaya Dalam Bab II telah diterangkan bahwa Marx, Dahrendorf, Simmel, dan Coser mengatakan bahwa secara sederhana, konflik adalah pertentangan antara satu individu dengan individu lain, atau antara satu kelompok dengan kelompok lain. Permasalah di Desa Bahodopi awalnya merupakan pertentangan antar individu di salah satu caffe remang-remang, namun karena pak Camat Bahodopi yang datang untuk menyelesaikan perkara tersebut malah dianggap menyinggung Suku Toraja, maka terjadilah konflik antara Bapak Camat Bahodopi dengan Kelompok Suku Toraja yang kemudian diselesaikan oleh Kapolsek Bahodopi di Kantor



Polsek yang kemudian terbuat kesepakatan bahwa Bapak Camat Bahodopi harus meminta maaf kepada Kelompok Suku Toraja. Paginya, mereka mendatangi sekretariat paguyuban Suku Toraja diduga telah dihina oleh camat itu. Juga mendatangi salah satu rumah makan khas milik Toraja. Di sana mereka mangejar setiap orang yang ada di sekretariat maupun rumah makan dengan menggunakan parang, balok, maupun batu. Saksi mata, Rustam (38), kepada media menjelaskan, berselang setengah jam setelah pengejaran di sekretariat paguyuban, kembali terjadi aksi balasan yang dipimpin langsung oleh ketua kerukunan. Akibatnya, terjadilah kerusuhan yang mencekam itu. Dari uraian diatas maka permasalahan sosial yang terjadi di Bahodopi merupakan sebuah konflik soial dan itu telah sesuai dengan pengertian dari konflik menurut Marx, Dahrendorf, Simmel, dan Coser. A. Bentuk Konflik Soial dan Budaya yang Terjadi Antara Suku Bungku dengan Suku Toraja Dari Uraian bentuk-bentuk konflik sosial menurut Ahmadi (2009: 295) Konflik sosial di Desa Bahodopi memiliki bentuk antara lain sebagai berikut: 1.



Konflik pribadi, penyebab konflik sosial antara Suku Bungku dengan Suku Toraja pada awalnya dimulai dari pertentangan antar individu di salah satu caffe remang-remang.



2.



Konflik kelompok, konflik antara Suku Bungku dengan Suku Toraja berkembang menjadi konflik kelompok setelah kejadian Pak Camat menyinggung Suku Toraja pada saat di Caffe remang sehingga membuat ketua Kerukunan Toraja tidak terima dan di mediasi di Polsek hingga tejadi konflik sosial antara Kelompok Suku Bungku



dengan Kelompok Suku Toraja berupa upaya saling serang untuk melindungi kehormatan suku. 3.



Konflik budaya, konflik antara Suku Bungku dengan Suku Toraja terjadi untuk mempertahankan kehormatan masing-masing suku yang pastinya mempunyai adat dan kebudayaan yang berbeda.



B. Sifat-Sifat Konflik Sosial yang Terjadi Antara Suku Bungku dengan Suku Toraja Didalam Bab II dijelaskan Wehr dan Bartos (dalam Susan, 2012:56) membagi konflik menjadi dua fase, yaitu fase solidaritas konflik (Conflict Solidarity) dan fase-fase sumber konflik (Conflict Resource). Beikut adalah fase Konflik Sosial antara Suku Bungku dan Suku Toraja adalah : 1.



Solidaritas Konflik (Conflict Solidarity) Solidaritas konflik adalah terciptanya konflik, menuju terciptanya kopleksitas, melalui keterlibatan individu-individu yang lain. Hal Proses ini melalui tiga proses, yaitu terdapat interaksi individuindividu anggota secara intensif, ada rasa suka terhadap anggota lain, dan jika terdapat kesamaan (kemiripan) kepercayaan (keyakinan), nilai-nilai dan norma, antaranggota Suku Bungku pasti memiliki kesamaan hal-hal tersebut. Begitupun dengan Suku Toraja, mereka pasti memiliki ) kepercayaan (keyakinan), nilai-nilai dan norma yang sama antara anggota kelompok suku satu dengan anggota lain karena merasa hal tersebut merupakan suatu kemiripan. Ketiga proses ini akan teraktualisasi, dipicu, oleh adanya fakta kajian (hostility). Ada dua bentuk kajian, yaitu fustrasi dan keluhan (grievance). Solidaritas konflik dicirikan oleh beroperasinya ideologi dalam suatu kelompok, memberikan doktrin dan semangat perlawanan. Selanjutnya terdapat pengorganisasian anggota dan struktur sehingga dapat di rumuskan strategi konflik, hal ini terjadi saat Suku Bunggu bersama-sama datang



keesokan harinya ke rumah ketua kerukunan Toraja dan melakukan pengerusakan atas bangunan rumah tersebut. Jika hal tersebut ditelaah lebih jauh pastilah telah terjadi pengorganisasian anggota kelompok Suku Bungku sehinga bisa melakukan hal-hal yang mereka inginkan. Kemudian



yang



terakhir



adalah



mobilisasi



massa



dengan



mengefektifkan seluruh sumber dayanya untuk memenangkan konflik. Karena perencanaan yang terstruktur tersebut maka terjadilah mobilisasi massa kelompok Suku Bungku dan kelompok Suku Toraja yang akhirnya terjadi bentrok dan menimbulkan dampak baik dampak fisik maupun dampak non-fisik. b.



Fase-Fase Sumber Konflik (Conflict Resource) Fase selanjutnya adalah sumber konflik, yaitu proses kelompokkelompok berkonflik memanfaatkan instrumen untuk menghadapi konflik. Fase ini terjadi ketika telah dilakukan mediasi antara Suku Bungku dengan Suku Toraja yang dilakukan dan dihadiri langsung oleh Forkompinda Kabupaten Morowali.



C. Jenis dan Tipe-Tipe Konflik Bila dikaji dari penjelasan Fisher (2001:237) tipe-tipe konflik terdiri dari tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka dan konflik dipermukaan, dan yang menjadi jenis dan tipe konflik antara Suku Bungku dengan Suku Toraja adalah Konflik di permukaan, yaitu konflik yang memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalapahaman



mengenai



sasaran,



yang



dapat



di



atasi



dengan



meningkatkan komunikasi (dialog terbuka). Yang mana menurut kami konflik antara Suku Bungku dan Suku Toraja sebenarnya hanya karena kesalahpahaman dari perkataan Pak Camat kepada seseorang dari Suku Toraja yang pada saat itu mabuk dan berselisih paham dengan salah satu warga. Suku Toraja merasa tidak terima dan merasa dihina oleh Bapak Camat Desa Bahodopi dan ketidakterimaan Suku Bungku apabila Bapak



Camat meminta maaf kepada Suku Toraja dan kemudian pecahlah konflik sosial antar suku terjadi. D. Faktor Penyebab Terjadinya Konflik Sosial Menurut Abu Ahmadin (2009: 291) didalam Bab II dijelaskan secara umum faktor-faktor penyebab terjadinya konflik sosial adalah sebagai berikut dan yang memenuhi kriteria konflik sosial antara Suku Bungku dan Suku Toraja adalah sebagai berikut: 1.



Perbedaan antar anggota masyarakat: perbedaan perasaan Kelompok Suku Bungku dan Suku Toraja terlihat dari Suku Toraja menginginkan Bapak Camat Bahodopi meminta maaf dan Bapak Camat telah melakukannya di Polsek, namun pihak Suku Bungku merasa dan tidak terima Bapak Camat meminta maaf terhadap Suku Toraja sehingga Suku Bungku mengamuk dan merusak rumah ketua kerukunan toraja dan akhirnya menyebabkan bentrok antarsuku tersebut.



2.



Perbedaan pola kebudayaan: perbedaan adat-istiadat dan pandangan hidup membuat Bapak Camat salah berucap dan menyinggung hati Suku Toraja yang tinggal di Desa Bahodopi pertentangan antarsuku tersebut.



3.



Perbedaan status sosial: pada awalnya konflik antara Suku Bungku dan Suku Toraja diawali dengan tersinggungnya salah seorang dari Suku Toraja saat di club malam oleh kata-kata Bapak Camat yang status sosialnya lebih tinggi.



4.



Komunikasi : inti dari permasalahan antara Suku Bungku dengan Suku Toraja dikeranekan komunikasi yang kurang baik Bapak Camat terhadap seseorang di Club malam tersebut dan mengakibatkan bentrok.



E. Penyebab Konflik Dan Dampaknya Dalam Masyarakat



e. Perbedaan Antar perorangan Perbedaan ini dapat berupa perbedaan perasaan, pendirian, atau pendapat. Perbedaan pendapat antara salah seorang warga Suku Toraja dengan Bapak Camat tersebut terjadi tiga hari sebelum konflik terjadi kemudian berkembang menjadi perbedaan pendapat antarsuku, yang mana Suku Toraja merasa Bapak Camat harus meminta maaf kemudian kepada Suku Toraja kemudian Bapak Camat meminta maaf kepada perwakilan Suku Toraja di Polsek Bahodopi. Namun, Suku Bungku berpendapat bahwa Bapak Camat tidak harus meminta maaf dan memulai konflik dengan merusak rumah ketua kerukunan Toraja. f. Perbedaan Kebudayaan Perbedaan kebudayaan memengaruhi pola pemikiran dan tingkah laku perseorangan dalam kelompok kebudayaan yang bersangkutan. Selain perbedaan dalam tataran individual, kebudayaan dalam masing-masing kelompok juga tidak sama. Karena perbedaan kebudayaan antara Bapak Camat yang dari Suku Bungku dan orang yang ditegurnya dari Suku Toraja, terjadilah ketersinggungan dari Suku Toraja an menjadi awal mula konflik. 4.3.



Penanggulangan dan Pananganan Konflik Ada 5 macam pendekatan penyelesaian konflik, dan yang kelompok kami paling tepat untuk penyelesaian konflik antara Suku Bungku dan Suku Toraja adalah Kolaborasi yaitu Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan problem (problem-solving approach) yang memerlukan integrasi dari kedua pihak. Yang mana pihak ke 3 yaitu forkompinda Kabupaten Morowali mengikuti kemauan kedua belah pihak yaitu membangun pos keamanan diantara dua dukuh yaitu Dukuh tempat bermukim Suku Toraja dan Dukuh tempat bermukim Suku Bungku.



Sedangkan dalam wikipedia dijelaskan cara-cara pemecahan konflik sosial dan yang paling cocok untuk memecahkan konflik antara Suku Bungku dan Suku Toraja adalah Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Dalam hal ini Forkompinda Kabupaten Worowali telah melakukan mediasi antara Suku Bungku dan Suku Toraja setelah anggota kepolisian dan TNI berhasil memisahkan konflik tersebutdan hasil dari mediasi tersebut yang paling menonjol adalah membangun pos keamanan diantara dua dukuh yaitu Dukuh tempat bermukim Suku Toraja dan Dukuh tempat bermukim Suku Bungku dan mendatangkan Bapak Camat untuk mendamaikan warga karena Beliaulah yang menjadi penyebab konflik antara Suku Bungku dengan Suku Toraja. Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Jalan tengah ini biasanya ditawarkan oleh pihak ketiga yang mana pihak ketiga haruslah netral dan tidak berat sebelah. Langkah pemerintah Kabupaten Morowali dengan membawa unsur Forkompinda adalah langkah yang tepat karena Forkompinda bersifat netral dan tidak akan berat sebelah. Cara ini telah dilakukan oleh pemerintah setempat dan berhasil menyelesaikan konflik tersebut.



BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Konflik antara Suku Bungku dan Suku Toraja merupakan Masalah Sosial dan Budaya. Faktor penyebab terjadinya permasalahan sosial antara Suku Bungku dengan Suku Toraja adalah Faktor Kebudayaan yang mana masalah



tersebut terjadi karena perbedaan kebudayaan yang kemudian masuk ke dalam bentuk masalah sosial budaya yaitu konflik sosial dan budaya. permasalahan sosial yang terjadi di Bahodopi merupakan sebuah konflik soial dan itu telah sesuai dengan pengertian dari konflik menurut Marx, Dahrendorf, Simmel, dan Coser, konflik adalah pertentangan antara satu individu dengan individu lain, atau antara satu kelompok dengan kelompok lain. Konflik sosial di Desa Bahodopi memiliki bentuk Konflik pribadi, Konflik kelompok, dan Konflik budaya. Sedangkan fase



Konflik Sosial



antara Suku Bungku dan Suku Toraja adalah Solidaritas Konflik (Conflict Solidarity) dan Fase-Fase Sumber Konflik (Conflict Resource). Bila dikaji dari penjelasan Fisher (2001:237) tipe-tipe konflik terdiri dari tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka dan konflik dipermukaan, dan yang menjadi jenis dan tipe konflik antara Suku Bungku dengan Suku Toraja adalah Konflik di permukaan, yaitu konflik yang memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalapahaman mengenai sasaran, yang dapat di atasi dengan meningkatkan komunikasi (dialog terbuka). Faktor penyebab terjadinya konflik sosial antara Suku Bungku dan Suku Toraja yaitu Perbedaan antar anggota masyarakat, Perbedaan pola kebudayaan, Perbedaan status social dan Komunikasi, sedangkan penyebab konflik Suku Bungku dan Suku Toraja adalah perbedaan antar perorangan dan perbedaan kebudayaan. Ada 5 macam pendekatan penyelesaian konflik, dan yang kelompok kami paling tepat untuk penyelesaian konflik antara Suku Bungku dan Suku Toraja adalah Kolaborasi yaitu Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak.



Sedangkan dalam wikipedia dijelaskan cara-cara pemecahan konflik sosial dan yang paling cocok untuk memecahkan konflik antara Suku Bungku dan Suku Toraja adalah Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Jalan tengah ini biasanya ditawarkan oleh pihak ketiga yang mana pihak ketiga haruslah netral dan tidak berat sebelah.



5.2. Saran A. Teoritis Saran dari penulis bahwasannya masalah sosial berawal dari masalah antarindividu yang kemudian berkembang menjadi masalah antarkelompok dan menimbulkan masalah yang lebih meluas bahkan menimbulkan konflik dan kadang menimbulakan korban luka-luka bahkan mati serta menimbulkan kerugian material lainnya. Untuk itu marilah berbenah diri dan jangan mudah tersinggung dan menyerukan suara provokasi karena dapat menimbulkan permasalahan dan konflik yang lebih luas. Untuk unsur-unsur pemerintah agar lebih bijak dan netral serta tidak mementingkan kepentingan sukunya masing-masing. Makalah ini dibuat untuk pembaca yang ingin mengetahui tentang masalah sosial dan budaya, penyebab dan cara menanggulangi serta menangninya sehingga dapat membantu dalam pencegahan maupun penanganan terhadap masalah sosial budaya. Oleh karena itu, penyusun menyarankan



agar



dapat



sekiranya



membaca



makalah



ini



dan



memahaminya seta dapat membantu apabila terjadi permasalahan sosial budaya.



B. Saran Praktis Menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan materi di dalamnya dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang dapat di pertanggungjawabkan.



DAFTAR PUSTAKA



Batang, I. D. I., Akbar, M. R., & Primatexco, P. T. (2013). Journal of Social and Industrial Psychology ENGAGEMENT EMPLOYEE. Journal of Social and Industrial Psychology, 2(1), 10–18. Hakikat masalah sosial budaya. (1987). http://sosiologi.fis.unp.ac.id. Retrieved from http://sosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/MASALAH



SOSIAL BUDAYA.pdf Hamijoyo, S. S. (2001). Konflik Sosial dengan Tindak Kekerasan dan Peranan Komunikasi. Mediator: Jurnal Komunikasi, 2(1), 21–29. https://doi.org/10.1109/CCDC.2010.5498391 Mujinem, H. (n.d.). masalah-masalah sosial, 1–45. https://doi.org/10.1109/ICIET.2010.5625672 Mustamin. (2015). STUDI KONFLIK SOSIAL DI DESA BUGIS DAN PARANGINA KECAMATAN SAPE KABUPATEN, 2(23–6), 185–205. Retrieved from ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIME/article/download/109/106%0A Shen, K. (2018). Konflik Antar Suku Pecah di Morowali. Retrieved December 1, 2018, from https://sultrakini.com/berita/123932 Sumartias, S., & Rahmat, A. (2013). Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Konflik Sosial. Jurnal Penelitian Komunikasi, 16(022), 13–20. Retrieved from jurnal.unpad.ac.id › Beranda › Arsip Yohanes, S., & Hokky, S. (2008). SOLUSI UNTUK INDONESIA. Tangerang Banten: PT Kandel.