Konsep Agama Menurut Mircea Eliade [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama : Rolansius Lantur NIM : 200202032 Mata Kuliah: Filsafat Agama Konsep Agama Menurut Mircea Eliade I.



Pengantar Ada banyak pendekatan yang digunakan dalam studi agama seperti pendekatan etnologis, historis, sosiologis, psiokologis dan ilmu-ilmu lainnya. Salah satunya adalah pendekatan fenomenologis. Pelopor dari pendekatan ini adalah Mircea Eliade. Pendekatan fenomenologi ini melihat agama dari aspek substansinya yang sangat asasi, yakni sesuatu Yang Sakral. 1 Eliade berangkat dari pengalaman religius—sense of the sacred—dan menolak analisis reduksionis terhadap pengalaman keagamaan. Dalam hal ini, Eliade melihat bahwa pemahaman atas yang sakral (the sacred) telah hilang dalam dunia modern dan sekadar menjadi way of life atau perspektif tentang suatu realitas.2 Padahal masyarakat arkais3 memiliki cara pandang berbeda, yang lebih kaya dan lebih utuh tentang pengalaman Yang Sakral daripada dunia modern sekarang ini. Dengan demikian, sebenarnya terjadi desakralisasi dalam pengalaman keagamaan di dunia modern. Untuk itu, Eliade berupaya untuk memberi tempat yang sentral pada pengalaman beragama secara utuh dan menolak adanya pereduksian terhadap agama dari sudut psikologi, sosiologi dan ekonomi. Eliade mencoba menilik agama dari sudut pandang pemeluknya. Bagi Eliade, ada satu elemen mendasar dalam agama yang tidak bisa direduksi, yakni “Yang Sakral” (The Sacred). “Yang Sakral” atau “Yang Kudus atau Suci” inilah yang menjadi inti dari agama. Karena itu, dalam tulisan ini, akan diuraikan tokoh Mircea Eliade, titik tolak teori agama yang digagasnya, konsep-konsep agama yang dihasilkan dan tanggapan berupa apresiasi dan kritik.



II.



Sekilas tentang Mircea Eliade4 Mircea Eliade lahir di Bucharest pada tanggal 9 Maret 1907. Dia adalah anak dari seorang pegawai kemiliteran Rumania. Di masa kecilnya, Eliade suka menyendiri, menyenangi sains, sejarah dan menulis. Sewaktu mempelajari pikiran-pikiran mistik Platonis dari tokohtokoh Renaisans Italia, Elide menemukan pemikiran Hindu yang menitikberatkan pada kesatuan spiritual dengan Roh Agung (supreme Soul). Ia kemudian berangkat ke India untuk melanjutkan studinya di bawah bimbingan Surendranath Dasgupta. Di penghujung tahun 1928, Eliade diterima di Universitas Calcutta dan berkesempatan mendalami ajaran Yoga dari seorang guru di Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005), hlm. 14. Peter Connoly Ed., Aneka Pendekatan Studi Agama, diterj. oleh Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2002), hlm. 122. 3 Eliade lebih menyukai istilah arkais atau preliterate daripada sebutan primitif. Sebab istilah arkais lebih tepat untuk menggambarkan suatu masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tradisional, pra-modern, eksotis, ahistoris dan prahistoris. Selain itu, Istilah arkais tidak mengandung arti suatu pemikiran yang tidak logis, kebodohan primordial atau taraf mental yang rendah. Lih. Wahyuni, Agama dan Pembentukan Struktur Sosial: Pertautan Agama, Budaya, dan Tradisi Sosial, (Jakarta: Kencana, 2018), hlm. 24 4 Bagian ini disarikan dari Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Berpengaruh, diterj. oleh I. R.Muzir & M Syukuri, (Yogyakarta: IRCi Sod, 2008), hlm. 43. 1 2



1



Himalaya. Pengalaman di India ini memberikan kesan yang sangat mendalam baginya, terutama karena ketiga hal berikut: pertama, bahwa jalan hidup bisa berubah disebabkan oleh pengalaman sakramental. Kedua, simbol adalah kunci utama memasuki kehidupan spiritual. Ketiga, semua pengalaman spiritual tersebut hanya bisa dipelajari di India karena terdapat warisan agama yang sangat kaya dan teramat kuat. Bagi Eliade, hanya di India ditemukan perasaan religius tentang kosmos. Setelah tiga tahun di India (1928-1931), Eliade kembali ke Rumania melanjutkan tugas militernya. Pada tahun 1936, dia mempublikasikan disertasi doktoralnya dengan judul: Yoga: An Essay on the Origins of Indian Mystical Theology. Setelah mendapat gelar doktor, Eliade mengajar di Universitas Bucharest. Usai perang dunia II, Eliade menetap di Paris dan mengajar di Ecoles des Houtes Etudes. Di tempat inilah, Eliade menghasilkan dua buku penting, yakni Pattern In Comparative Religion (1949) yang menjelaskan fungsi simbol dan agama, dan kedua, adalah The Myth of Eternal Return (1949) yang menerangkan konsep historis, sakralitas waktu dan perbedaan antara agama kuno dengan pemikiran modern. Ada beberapa tokoh yang turut mempengaruhi karya dan pemikirannya antara lain Sigmund Freud dan Jung yang mendukung idea atau gagasan Eliade tentang agama-agama tradisional dan peninggalannya. Eliade memanfaatkan analisis psiklogis Jung dalam karyanya sebagai sebagai dasar untuk menetapkan klasifikasi seperti ide tentang arketipe (simbol-simbol religius yang mendasar) dan juga hierophany (manifestasi dari yang sakral).5 Pada tahun 1950, Eliade menerima gelar professor di Universitas Chicago. Dia terus melakukan riset sampai kemudian wafat pada tanggal 22 April 1986. III.



Titik Tolak Pemikiran tentang Agama Ada dua pijakan dasar untuk memahami bangunan teori Eliade. Pijakan tersebut ada dalam bentuk dua aksioma berikut: pertama, posisinya yang sangat berseberangan dengan kaum reduksionis. Eliade sangat yakin bahwa agama itu otonom atau independen. Esensi agama tidak bisa direduksi ke dalam fenomena-fenomena seperti psikologi, sosiologi, ekonomi, bahasa, seni atau bisang-bidang lainnya. Sebab ada hal yang khas dalam agama itu sendiri, yakni dimensi sakralitasnya. Agama memiliki suatu elemen unik dan tidak dapat diabaikan—yaitu elemen the sacred.6 Justru Eliade meletakkan agama sebagai pusat atau sentral yang mempengauhi aspekaspek lain dalam kehidupan manusia. Kedua, karena posisi atau keberadaannya yang unik dan independen, maka agama tidak bisa dijelaskan dari sudut pandang historis, psikologi ataupun sosial. Agama itu mesti dipahami secara fenomenologis. Artinya studi komparasi tentang bentuk sesuatu atau penampakan sesuatu yang dimunculkan kepada kita. Itulah sebabnya, Eliade tidak menyelidiki apa yang dimaksudkan dengan Yang Sakral (the sacred—ontology), tetapi berusaha mengalami dan memahami Yang Sakral (the sacred) itu dalam kehidupan masyarakat arkais. Bagi Eliade, setiap pola fenomenafenomena beragam dari setiap agama bisa ditarik keluar dari tempat dan waktu, sehingga bisa 5 6



Peter Connoly Ed., Aneka Pendekatan Studi Agama, hlm. 355. Peter Connoly Ed., Aneka Pendekatan Studi Agama, hlm. 355.



2



dibandingkan dengan agama lain. Tempat dan waktu bisa saja berbeda, tetapi konsep di dalamnya selalu sama. IV.



Gagasan Pokok tentang Agama Ada banyak gagasan atau konsep tentang agama dari Eliade. Akan tetapi, penulis membatasi pokok pembahasan ini dalam dua bagian berikut, yakni pertama adalah tentang Yang Sakral dan profan, dan kedua ialah tentang simbol dan mitos. Kedua tema ini sebenarnya dibahas secara khusus dalam buku The Sacred and the Profane (1987), The Pattern in Comparative Religion (1949). 4.1 Dikotomi antara Yang Profan dan Yang Sakral Mengikuti Durkheim, Mircea Eliade membuat pembedaan antara yang profan dan Yang Sakral. Akan tetapi, dikotomi yang dibuat oleh Durkheim berbeda, di mana menempatkan masalah sosial sebagai sakral dan masalah individu sebagai masalah profan. Bagi Eliade, yang profan adalah hal-hal yang berkaitan kehidupan sehari-hari, sementara Yang Sakral itu berkaitan dengan wilayah supranatural. Yang profan itu mudah hilang dan terlupakan, sementara Yang Sakral itu abadi, substantif. Yang profan itu penuh dengan chaos, sementara Yang Sakral itu teratur, sempurna dan indah sehingga menjadi tempat berdiamnya roh para leluhur, para ksatria, dan dewa-dewi.7 Istilah Yang Sakral merupakan istilah yang tepat untuk menggambarkan agama daripada istilah Tuhan dalam bentuk personal. Ide Yang Sakral itu lebih luas dari konsep Tuhan yang personal. Eliade lebih menggunakan istilah Yang Sakral (the sacred) sebagai bentuk sinonim dari yang Transenden.8 Yang Sakral bisa berarti kekuatan dewa-dewi, arwah para leluhur, jiwa-jiwa abadi atau suatu kekuatan yang disebut oleh Hindu dengan “Brahman”, roh suci yang mengatasi seluruh alam raya. Hal tersebut tidak berarti bahwa Yang Sakral itu hanya menunjukkan bentuk kepercayaan masyarakat kuno atau arkais, tetapi juga semua agama memilikinya termasuk misteri inkarnasi.9 Bagi Eliade, Yang Sakral inilah yang menjadi pusat dari semua agama. Yang Sakral itu merupakan unsur khas yang menciptakan pengalaman religius dalam diri seseorang. Karena itu, tugas agama adalah membawa manusia untuk merasakan Yang Sakral; membawa seseorang keluar dari alam dan situasi sejarahnya untuk masuk ke dalam suatu realitas yang berbeda, dunia yang sama sekali lain, sesuatu yang transenden dan suci.10 Pengalaman akan Yang sakral itu perlu dibedakan dari pemahaman modern akan mimpimimpi atau imanjinasi belaka yang bekerja di alam bawah sadar, pengalaman mengejutkan pada umumnya. Untuk memahami Yang Sakral ini, perlu diuraikan juga pandangan dari Rudolf Otto, pembimbing dari Eliade. Salah satu konsep dari Rudolf Otto adalah The Idea of Holy (Das Heillegge). Otto melukiskan pengalaman Yang Suci atau Yang Sakral itu sebagai pengalaman yang dramatis, terpukau pada satu realitas yang sama sekali berbeda, misterius, dan Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 43. Peter Connoly Ed., Aneka Pendekatan Studi Agama, hlm. 355. 9 Wahyuni, Agama dan Pembentukan Struktur Sosial, hlm. 24 10 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 248. 7 8



3



mengagumkan, dahsyat, dan teramat indah.11 Menurut Rudolf Otto, salah satu unsur pokok dalam pengalaman religius adalah perasaan numinous (Lat. numen, Ing. God) yang non rasional terhadap objek (mysterium tremendous).12 Dalam bahasa Latin, Otto menyebutnya dengan mysterium, yang dialami sebagai tremenduum et fascinans—nama lain dari numinous (spirit atau realitas ilahi) sehingga menimbulkan rasa kagum atau takut, tetapi juga tertarik dan terpikat, karena Yang Sakral itu menarik dan mempesona. Pengalaman ini dikategorikan sebagai sui generis, artinya perasaan dan kebenaran agama hanya bisa dibenarkan dan dirasakan oleh agama (penganut agama) itu sendiri.13 Dalam hal ini, Eliade sangat terpengaruh oleh konsep tentang Yang Suci dari Otto. Hanya saja Eliade memberikan alternatif terjemahan terhadap Heillege (Jerman) menjadi The Sacred, sementara Otto menerjemahkannya dengan The Holly.14 Akan tetapi, Eliade juga sebenarnya ingin menguraikan lebih jauh konsep ini melalui dialektika antara Yang Sakral dan yang profan. Eliade menemukan bahwa setiap kebudayaan memiliki “sense of the sacred” dalam ritus dan simbol-simbol.15 Dalam perjumpaan dengan Yang Sakral seseorang akan merasa tersentuh dengan sesuatu yang supranatural. Bagi masyarakat arkais atau pun orang–orang di masa pramodern, Yang Sakral itu sama dengan satu kekuatan yang dahsyat. Kekuatan Yang Sakral itu mencakup keseluruhan realitas sehingga itulah yang membuat manusia memiliki hasrat untuk bersatu dengan “Yang Ada” (Being) demi meraih kekuatannya. Eliade memberikan contoh masyakarat tradisional yang memusatkan seluruh kehidupan mereka pada Yang Sakral dan bahkan mempunyai sistem Yang Sakral. Bagi masyarakat arkais atau tradisional, ide tentang Yang Sakral ini bersifat absolut dan amat penting bagi kelangsungan eksistensi alam dan akan selalu mempengaruhi kehidupan mereka. Dalam menentukan waktu dan tempat menetap, masyarakat arkais akan menyerahkannya kepada Yang Sakral. Masyarakat arkais mempunyai aturan dalam setiap aspek kehidupan dan semuanya berpegang teguh pada prinsip “jalan Tuhan adalah jalan terbaik”. Otoritas Yang Sakral mengatur seluruh kehidupan mereka. Sebagai contoh, untuk mendirikan satu perkampungan atau pemukiman, mereka harus menemukan “hierophany” (berasal dari bah. Yunani hieros dan phaineien yang berarti penampakan Yang Sakral). Dengan demikian, hierophany berarti “Yang Sakral menunjukkan (memanifestasi atau menyingkapkan) dirinya kepada kita”. Sebagaimana ditulisnya dalam The Sacred and the Profane demikian: “Seseorang akan menjadi sadar akan Yang Sakral karena Yang Sakral itu memanifestasikan dirinya, menunjukkan dirinya, sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda dari yang profan. Untuk menunjukkan tindakan manisfestasi Yang Sakral, kami telah mengusulkan istilah hierophany. Ini adalah istilah yang cocok karena tidak



Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 248. Peter Connoly Ed., Aneka Pendekatan Studi Agama, hlm. 355. 13 Wahyuni, Agama dan Pembentukan Struktur Sosialhlm. 24 14 Bryan S. Rennie, Reconstructing Eliade: Making Sense of Religion, (USA: SUNY Press, 1996), hlm. 27. 15 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama : Sebuah Pengantar , (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 22. 11 12



4



menyiratkan sesuatu berlebihan, tidak lebih dari apa yang dimaksudkan dalam istilah tersebut, yakni sesuatu Yang Sakral itu menunjukkan dirinya kepada kita.”16 Bagi Eliade, setiap sejarah agama mulai dari tradisional sampai yang berkembang sekarang merupakan hierophany (penampakan yang kudus, sakral).17 Titik pusat Yang Sakral itu kemudian ditancapkan sebuah pancang, tiang atau benda lainnya yang menandai tiga bagian alam semesta: Surga, bumi dan lapisan bawah bumi. Tanda ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat perkampungan, tetapi juga sebagai axis mundi (pusat dunia), tempat kehidupan berputar. Axis mundi ini mirip dengan tangga Yakub sebagaimana dikisahkan dalam Kitab Suci, yang menjadi penghubung antara langit dan bumi, tempat bertemunya dua hal yang berlawanan, yakni Yang Sakral and profan. Seluruh kehidupan terarah kepada titik sakral ini yang dilambangkan dengan simbol vertikal penghubung langit dan bumi. Perkampungan, kuil atau perumahan masyarakat arkais merupakan sebuah imago mundi, yaitu cerminan seluruh dunia. Segala Sesuatu bukan saja berada di dalam Yang Sakral tetapi juga harus terintegrasi atau menjadi bagian dari Yang Sakral. IV.2



Mitos dan Simbol Karena hakikat antara yang profan dan Yang Sakral itu berbeda, maka diperlukanlah simbol dan mitos-mitos. Sebab ruang Yang Sakral itu terungkap melalui mitos dan simbol. Simbol berfungsi untuk menghubungkan antara yang sakral dan profan. Sementara itu, mitos menjadi simbol yang berwujud narasi dengan menceritakan tentang Yang Sakral, bagaimana kehidupan ilahi yang bersifat supranatual ini bisa menjadi sangat dekat dengan kehidupan alamiah manusia. Menghidupi mitos berarti menghidupkan kembali pengalaman religius yang sejati, sebagaimana dinarasikan dalam kisah-kisah tentang Yang Sakral.18 Akan tetapi, manusia menciptakan beragam simbol dan mitos-mitos selama berabadabad. Karena itu, menurut Eliade, perlu mempelajari pola dan sistem-sistem umum dari simbol dan mitos-mitos tersebut. Simbol atau mitos yang dipelajari bisa memberikan gambaran tentang sebagian besar simbol dan mitos lainnya. Sebab simbol-simbol itu menggunakan prinsip kemiripan atau analogi. Hal tersebut bisa ditemukan atau dipelajari dalam kebudayaan arkais, yakni kepercayaan terhadap dewa-dewa langit yang menyiratkan sebuah makna transenden, tak terbatas, berkuasa penuh dan abadi atau juga dewi bumi yang memberikan kehidupan, kesuburan, hasil tanah. Demikian juga dengan simbol-simbol lainnya seperti air (membersihkan dosa), batu (kuat dan tidak berubah atau bergerak), tumbuh-tumbuhan dan pertanian (sumber-sumber kehidupan), adalah realitas yang penuh kekuatan. Simbol atau pun mitos seringkali diasosiasikan dengan pola-pola berdasarkan makna tersebut.



Eliade, Mircea, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion, (New York: Brace & World Inc., 1959). hlm. 11. Sebagaimana dikutip oleh Douglas Allen, Myth and Religion in Mircea Eliade, (New York: Routledge, 2002), hlm 74. 17  Wahyuni, Agama dan Pembentukan Struktur Sosial, hlm. 24. 18 Mariasusai Dhavamony, Phenomenology of Religion, (Roma: Gregorian University Press, 1973), hlm. 144. 16



5



Simbol atau mitos tersebut juga digambarkan dalam bentuk yang luas, jauh dan sulit dijangkau tetapi juga dalam bentuk konkret dan rasional seperti dewa hujan atau badai. Simbolsimbol yang konkret ini berperan penting untuk menjembatani jarak dengan Yang Sakral itu. Simbol-simbol inilah yang mendekatkan manusia dengan realitas Yang Sakral. Melalui simbol inilah diberikan petunjuk mengenai realitas supranatural.19 Meskipun demikian, mitos dan simbol tidak bersifat statis, tetapi berkembang dan selalu berubah-ubah sehingga muncul keanekaragaman bentuk simbol dan mitos dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, terlepas dari ruang-waktu dan budaya tertentu, terdapat tipe atau pola simbol yang sama, tema-tema yang sama dalam mitos serta logika universal dalam simbol dan mitos tersebut. Ada beberapa pola yang sama dalam struktur simbol. Pertama, mitos-mitos selalu berkaitan satu sama lain dan tidak bisa berdiri sendiri. Suatu simbol atau mitos selalu menjadi bagian dari sistem simbol yang lebih besar. Alam pikiran masyarakat arkais dipenuhi dengan asosiasi hubungan sehingga cakupan sakralitasnya semakin luas. Satu simbol selalu berkaitan dengan simbol atau mitos-mitos lainnya agar membentuk suatu framework bahwa dunia ini adalah sesuatu yang telah sempurna dan sistem yang di dalamnya saling terkait. 20 Di samping itu, ada hierarki atau tingkatan dalam simbol. Acuannya adalah dari segi skala atau ukuran. Simbol yang lebih besar, lebih kompleks dan universal adalah yang paling baik karena bisa mencakup seluruh hal Yang Sakral. 21 Dalam hal ini, Eliade memberi contoh Teofani dalam diri Kristus lebih besar cakupan, lebih superiror, lebih kaya (intelektaul dan emosi), dibandingkan teofani-teofani yang lain seperti teofani-batu atau dewa Pan (Yunani). Kedua, menurut Eliade, hal-hal yang bersifat biasa dalam kehidupan dan dikategorikan sebagai profan dapat ditransformasikan menjadi Yang Sakral. Dunia dengan segala kompleksitas di dalamnya selalu membuka diri untuk menerima kehadiran aspek natural yang disebut oleh Eliade sebagai “Modalitas Yang Sakral”. Sehingga sebuah benda, seekor binatang, nyala api, sebuah batu atau binatang, goa, sungai, sekuntum bunga atau bahkan seorang manusia bisa menjadi tanda sakral jika manusia menemukannya dan menyakininya. Seluruh objek simbolik itu bisa dikatakan memiliki struktur ganda: di satu sisi tetap menjadi dirinya sendiri, di sisi lain berubah menjadi sesuatu yang baru, sesuatu yang beda dengan sebelumnya. 22 Eliade meyebut proses mengalirnya yang supranatural ke dalam natural dengan “dialektika Yang Sakral”. Dialektika Yang Sakral itu memang sulit dipahami oleh rasio manusia. Akan tetapi, bagi Eliade, integrasi antara dua hal yang kontradiktif itu bisa terjadi dalam pengalaman religius. V.



Tanggapan: Apresiasi dan Kritik Satu hal yang perlu diapresiasi dari Eliade adalah kebaruan pendekatan yang berlawanan dengan kaum reduksionis yang telah mendominasi dalam studi agama. Artinya Eliade meletakkan perilaku keagamaan sebagai sesuatu yang independen dan otonom dibandingkan para penganut paham funsional—reduksionisme. Di samping itu, Eliade melakukan pendekatan Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 248. Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 303. 21 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 305. 22 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 292. 19 20



6



berdasarkan data-data yang berasal dari hampir seluruh agama-agama dunia dan mencoba menyimpulkan semuanya dalam suatu sistem berpikir yang komprehensif. Dalam hal ini, Eliade berhasil melakukan studi agama secara fenomenologis dan historis. Di samping itu, ada kekurangan dalam bangunan teorinya. Pertama, komparasi agama Eliade belum komprehensif sehingga klaim ahli perbandingan agama global runtuh. Dalam kenyataannya, ada beberapa agama yang tidak dibahas antara lain, agama-agama China dan Islam. Di samping itu, studi komparasi ini tidak memberi perhatian pada penelitian antropologis terutama atas data-data historis dan justru menggunakan paradigma psikologi spesifik. 23 Kedua, metode yang digunakan Eliade untuk mempelajari pola-pola simbol dan mitos tidak bisa digeneralisasi. Sebab ada beberapa simbol dan mitos masyarakat yang tidak bisa digolongkan ke dalam rumusan Eliade.24 Lebih daripada itu, ada sebuah kerancuan dalam teori agama Eliade sebagaimana diutarakan oleh Edmund Leach. Di satu sisi, Eliade tidak menganggap penting isi simbol atau karakter aktual simbol. Yang penting adalah struktur, bentuk atau framework dari simbol-simbol. Akan tetapi, di sisi lain, Eliade justru membuat hierarki simbol, menganggap lebih superior satu simbol dari yang lainnya. Kerancuan berikut ditemukan dalam konsep tentang Yang Sakral. Yang Sakral itu bisa berubah-ubah dan tidak berbentuk dan hal ini bertolak belakang dengan fungsinya sebagai Yang Sakral, yakni menjadi titik pusat hidup masyarakat arkais. Kalau demikian yang terjadi, maka tidak ada perbedaan yang mencolok antara yang profan dan Yang Sakral.25 VI.



Penutup Metode pendekatan studi agama yang digunakan oleh Eliade adalah historis fenomenologis. Metode Pendekatan ilmiah ini membuka horizon baru dalam filsafat agama. Dari studi agama yang dilakukannya, Eliade menemukan bahwa manusia dari kodratnya itu bersifat religious (homo religiosus)—manusia selalu berada dalam relasi dengan dunia metafisis (dunia di balik hal-hal yang kelihatan). Metode pendekatan ini tentu berseberangan dengan kaum reduksionis. Hal ini dilakukan oleh Eliade supaya agama menjadi otonom, tidak direduksi berdasarkan sudut pandang psikologi (Freud), ekonomi (Marx), dan sosial (Durkheim). Sekurang-kurangnya ada dua tema pokok dari studi agama Mircea Eliade. Pertama, adalah dikotomi antara yang profan dengan Yang Sakral dan kedua, ialah tentang simbol dan mitos. Bagi Eliade, perlu pembedaan antara Yang Sakral dan yang profan. Yang Sakral itu identik dengan keabadian, kesempurnaan, keteratuan, realitas supranatural, keindahan, sementara yang profane sebaliknya identik dengan chaos, berubah-ubah, dan tidak abadi. Yang Sakral itu menjadi pusat agama. Dalam perjumpaan dengan Yang Sakral, seseorang akan merasa tersentuh dengan realitas supranatural. Persis itu yang dialami oleh masyakarat tradisional yang memusatkan seluruh kehidupan mereka pada Yang Sakral dan bahkan mempunyai sistem Yang Sakral. Yang Sakral amat penting bagi kelangsungan eksistensi alam dan juga selalu mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian, seluruh kehidupan masyarakat arkais Peter Connoly Ed., Aneka Pendekatan Studi Agama, hlm. 122. Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 239. 25 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 239. 23 24



7



terarah kepada titik sakral ini yang dilambangkan dengan simbol. Simbol-simbol inilah yang mendekatkan manusia dengan realitas Yang Sakral. Meskipun simbol dan mitos-mitos ini berbeda-beda dan sangat beragam tetapi sebenarnya memiliki pola-pola dan juga selalu berkaitan satu sama lain. Simbol dan mitos ini memiliki struktur ganda: di satu sisi tetap menjadi dirinya sendiri, di sisi lain berubah atau ditransformasi menjadi sesuatu yang baru, sesuatu yang beda dengan sebelumnya. Itulah yang sebutkan oleh Eliade sebagai “Dialektika Yang Sakral”. Meskipun demikian, konsep agama yang digagas oleh Eliade menuai kritik. Kritik tersebut antara lain terkait dengan studi komparasi agama yang belum komprehensif dan juga pola-pola simbol yang tidak bisa digeneralisasi begitu saja. Di samping itu juga, ada kerancuan dalam teori yang dibangun oleh Eliade, yang mana di satu sisi, tidak menganggap penting karakter aktual simbol-simbol, tetapi di sisi lain, justru membuat hierarki terhadap simbol-simbol tersebut. Meskipun demikian, Eliade tetap diapresiasi atas kebaruan pendekatan studi agama dan membuka horizon baru dalam memahami agama. Daftar Pustaka Allen, Douglas. Myth and Religion in Mircea Eliade. New York: Routledge, 2002. Connoly, Peter, Ed. Aneka Pendekatan Studi Agama, diterjemahkan oleh Imam Khoiri. Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2002. Dhavamony, Mariasusai. Phenomenology of Religion. Roma: Gregorian University Press, 1973. Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Berpengaruh. diterjemahkan oleh I. R.Muzir & M Syukuri. Yogyakarta: IRCi Sod, 2008. Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan, 2003 Rennie, Bryan S. Reconstructing Eliade: Making Sense of Religion. USA: SUNY Press, 1996. Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif, 2005. Wahyuni. Agama dan Pembentukan Struktur Sosial: Pertautan Agama, Budaya, dan Tradisi Sosial. Jakarta: Kencana, 2018.



8