Konstruksi Dan Reproduksi Sosial Atas Bencana Alam PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sekolah Pascasarjana (Graduate School) Universitas Gadjah Mada merupakan lembaga pendidikan tingkat Pascasarjana yang menyelenggarakan kegiatan tridarma pergun.ian tinggi dalam Kajian Antarbidang (Interdisciplinary Studies). Proses belajar mengajar mencakup Program Non-gelar/Short Courses, Program S2/Magister, dan Program S3. Research menjadi kunci dalam proses belajar mengajar untuk memberi kontribusi yang lebih besar bagi perkembangan keilmuan dan kemaslahtan publik. Visi-misi Universitas Gadjah Mada menjadi landasan dalam penyelenggaraan Sekolah Pascasarjana, khususnya dengan mengembangkan program sejalan dengan pilihan nilai kerakyatan yang dianut yang mengejawantah dalam orientasi program pada pemecahan masalah bangsa pada berbagai tataran dengan standar mutu internasional. Kerjasama nasional dan internasional dalam bentuk pengembangan kurikulum, double degree,exchange student/lecturer, collaborative research, dan workshop telah dilakukan dalam rangka penjaminan mutu dan menjadikan Sekolah Pascasarjana sebagai jembatan bagi mahasiswa dalam komunikasi nasional dan internasional.



~-5 KONSTRUKSI DAN REPRODUKSI



SOSIALATAS BENCANAALAM



Prof. Dr. Irwan Abdullah



Program/minat Studi yang diselenggarakan mencakup bidang Administrasi Publik, Agama dan Lintas Budaya, Bioteknologi, Budaya dan Media, Hukum Kesehatan, Intormasi dan Perpustakaan, Kawasan, Kebijakan, Kependudukan, Ketahanan Nasional, Lingkungan, Pariwisata, Timur Tengah, Manajemen Risiko Bencana, Pengolahan Lingkungan, Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Pengkajian Amerika, Perdamaian dan Resolusi kontlik, Rekayasa Biomedis, dan Seni Pertujukkan dan Seni Rupa. Working Papers in Interdisciplinary Studies merupakan salah satu bentuk publikasi Sekolah Pascasarjana dalam Kajian Antarbidang yang bertujuan untuk penyebarluasan hasil-hasil kajian secara up to date kepada masyarakat. Publikasi mencakup bidang Agro, Humaniora, Kesehatan, MIPA, sosial, dan teknik. Bahan Working Papers berasal dari tesis, disertasi, dan laporan penelitian yang dihasilkan di lingkungan Universitas Gadjah Mada. Penyebarluasan ini bertujuan untuk membangun diskusi akademik secara lebih meluas dan terbuka bagi stat pengajar, peneliti, aktivis, dan praktisi.



~ WORKING PAPERS IN INTERDISOPUNARYSTUDIES NO. 01



SEKOLAH PASCASARJANA UGM



YOGYAKARTA



January



2008



1



DAFTAR lSI



Konstruksi dan Reproduksi Sosial atas Bencana Alam



Penulis : Prof. Dr. IrwanAbdullah Editor: IbnuMujib,M.A. Desain Cover : Pudji Widodo, M.Kom. Tata Letak : Trijasa



PENDAHULUAN



1



FAKTA DAN PENDEKATAN BENCANA ALAM. BENCANA ALAM SEBAGAI BENCANA STRUK1URAL



6



KONSTRUKSI SOSIAL BENCANA ALAM PENUTUP: PROSES, KONTEKS, DAN RANAH BENCANA DAFfAR PUSTAKA BIODATA PENULIS



Penerbit : Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Alamat : J1. Teknika Utara, Pogung,Yogyakarta 55281 Telepon (0274) 520318, 564239, 544975, Fax (0274) 564239, 547861 Email: ppsugm®idola.net.id Website : http://pasca.ugm.ac.id Cetakan : I, Januari 2008 ISBN : 978-979-25-0111-7 L·



Copy right: Penerbit .Sekolah Pascasarjana UGM. . Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak



karya tulis ini dalam benhik dan dengan cara apa pun



tanpa izin tertulis dati Penerbit.



iii



13 19 31 .34 40



~



KONSTRUKSI DAN REPRODUKSI SOSIAL ATAS BENCANA ALAM



PENDAHULUAN Masalah bencana alam saya pilih sebagai topik pembi­ caraan hari ini selain atas dasar pertimbangan emosional, juga pertimbangan akademik. Sebagai orang yang dilahirkan di Tanah Rencong, saya telah menjadi bagian dari cerita dan duka yang ditinggalkan oleh gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang telah merenggut hampir setengah juta jiwa, meninggalkan ribuan janda, hampir satu juta anak yatim, dan kerugian harta benda yang mencapai 40 triliun rupiah. Saya terlibat atau dilibatkan dalam serangkaian proses pemulihan pasca-tsunami, sebagian atas dasar asal usul kelahiran saya. Masih sangat jelas dalam ingatan saya, anak-anak yang luka kehilangan orang tua, mereka terlunta-lunta selama berbulan-bulan. Wajah-wajah orang yang tinggal di barak pengungsian selama hampir 2 tahun. Masih tergambar dengan jelas wajah seorang ibu yang datang setiap hari ke bekas rumahnya yang disapu air dan duduk di atas fondasi yang tersisa dengan tatapan kosong, menitikkan air mata, sambil mengenang suami,



anak~



saudara, serta orangtuanya yang hilang. Atau seorang kakek yang terus duduk memandang laut di gubuk mtingil yang dibangunnya sambi! berharap jenazah istri, anak,



Konstruksi dan Reproduksi Sosial atas Bencana Alam



Interdisciplinary Papers 01 (2008)



2



pada tanggal 29 Desember 1820. Secara ringkas dapat diceritakan sebagai berikut.



dan cucunya dikembalikan oleh ombak yang datang menepi. Saya tidak bisa memisahkan diri dari perjalanan keluarga dan orang Aceh dengan narasi yang penuh dengan mitos penciptaan dunia, yang berbicara tentang dosa, pembalasan Tuhan, dan berbagai hal yang sarat dengan simbol, telah menjadi bagian dari pengalaman diri saya sendiri. Hal ini mengingatkan saya pada Susan Hoffman, seorang antropolog, yang kehilangan rumah, arsip, dan seluruh harta benda dalam bencana badai api di Oaxland, Berkeley pada tanggal 20 Oktober 1991.



~ i~i15el!tu_ae~at1-mampY:"m~gub;h \~.dan sikap .ten~g.bm'~gi!.bJirai1a.iitnuDiiii~ affiiXa a~ng~.sqngOCiiiiiiii:ing dumadi umat manuiia o~'92;:2002~~H2ID!DlN~0N.:



Secara akademik, kajian tentang bencana masih sangat langka dan miskin. Selalu saja sebuah bencana dianggap sebagai pengalaman baru, sebagai sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga ditanggapi sebagai sesuatu yang belum menjadi pengetahuan dan peng­ alaman kolektif sehingga belum mengalami integrasi dahun kehidupan dan kebijakan sosial. Padahal, banyak contoh menunjukkan bahwa bencana itu bukan barang baru, karena ia telah menjadi bagian dari "pengalaman dekat" bagi banyak orang di banyak tempat, dalam periode waktu yang berlainan. Seorang Letnan Belanda bernama Heintzen, misalnya, pernah menyaksikan langsung ben­ cana besar yang terjadi di Bulukumba, Sulawesi Selatan,



3



l I



Di suatu pagi yang cerah pada tanggal29 Desember 1820, terjadi gempa yang sangat kuat. Beberapa menit kemudian, terdengar angin yang bergemuruh dan dalam waktu bersamaan terlihat pula dinding air setinggi 60 sampai 80 kaki mendekat dengan cepat ke darat. Letnan Heintzen segera bersembunyi di dalam bunker (bastion). Sewaktu ia naik ke atas untuk melihat keadaan, dia diterjang air dan tercampak beberapa puluh meter. Sang letnan berenang di celah-celah papan dan akhimya dapat menyelamatkan diri. Dia melihat atap barak tentara hanyut dibawa air dan rumah-rumah di sekitamya hancur dan penghuni terkurung dan tertimpa reruntuhan rumah. Banyak yang berenang menyelamatkan diri dengan memegang kayu-kayu terapung. Sang Letnan melihat banyak mayat dan sebagian luka terjepit atau dihantam benda-benda keras. Ada satu keluarga perajin perak menin~galsemua karena sebuah kapal menimpa rumahnya. Seorang ibu yang memeluk anaknya dengan wajah tanpa harapan, akhimya dia pun tenggelam kehabisan tenaga. Seorang dokter, Hennan namanya, bersama istri dan seorang anak perempuan kecil bisa selamat karena tersangkut di pohon. Seorang ibu sudah hampir meninggal di atas atap rurnah yang hancur, kemudian diselamatkan dan ditampung dalam rurnah Residen. Sayangnya, dia meninggal juga dua hari kemudian. Satu serdadu yang dirantai di penjara, tidak sempat dibebaskan dan akhimya meninggal. K~pung Nipa­ nipa dan Terang-terang hilang seluruhnya dan ombak masuk hingga 400-500 langkah. Perahu terdampar di sawah-sawah. Kehancuran terjadi meluas, rurnah, benteng, dan berbagai bangunan punah. Di mana-mana berserakan kayu, bambu, dan mayat. Diperkirakan hingga 500 orang meninggal di daerah itu (Van Eijsinga, 1830).



4



Interdisciplinary Papers 01 (2008)



Konstruksi dan Reproduksi Sosial atas Bencana Alam



Cerita itu memperlihatkan kemiripan dengan apa yang terjadi di Aceh sekitar 184 tahun kemudian (26 Desember 2004). Dati suara yang bergemuruh, air yang tegak seperti dinding, orang-orang yangtersangkut di pohon, yang selamat dengan memegang kayu yang terapung, kapal yang menimpa rumah, hingga rumah dan bangunan yang hancur, dan mayat-mayat yang bergelim­ pangan. Pemandangan seperti ini, sangat mirip dengan apa yang juga dilaporkan oleh saksi mata dalam peristiwa Aceh. Kasus Bulukumba tampaknya tidak bisa berbuat banyak untuk kesiapan Orang Aceh menghadapi tsunami. Tidak juga membuat kita siap untuk menghadapi bencana Bantul (27 Mei 2006), atau bencana-bencana lain yang terus mengancam, padahal bencana itu, seperti kata Jan Smit, "they are part of nature, have happened in the past and



will happen again..." (Smit, 2003: 97). Contoh populer mungkin adalah letusan Tambora (1815) dan Krakatau (1883) yang sebagian kita masih mengingat atau mengetahuinya karena keduanya telah menyebabkan Indonesia masuk dalam peta dunia daerah bencana yang terpenting. Debu tebal ~: !'afi\~ pada 'enggaeS-A.'I'ro181}, misalnya, telah menyebabkan kegagalan panen dan kehilangan satu musim panas di Eropa dan Amerika Utara pada tahun 1816 (De Jong Boers, 1995: 51; Diamond, 2006: 12). Jika kita mengikis lebih jauh ke belakang, maka kita akan mendapatkan suatullilai ~toris_p.mtingJ;entmg-p..osiiiIiidoq~ia seoagaij!ae]ah W'anbencany Satu catatan menunjukkan bahwa 75.000 tahun silam pemah terjadi erupsi Danau Toba yang hingga



i



5



6



Interdisciplinary Papers 01 (2008) "The holistic perspective is uniquely capable of capturing the multidimensionality of disasters and in doing so can enlarge anthropological theory as well as contribute to disaster mitigation and reconstruction" (Oliver-Smith, 2002: 46-47).



Konstruksi dan Reproduksi Sosial atas Bencana Alam



7



paran, badai, banjir, tsunami, tanah longsor, erosi, gempa, ledakan nuklir, wabah penyakit, kerusakan fisik, kehi­ langan harta, cacat, kerusakan mental maupun kerusakan pada struktur dan sistemsosial. Hewitt, misalnya, mengklasifikasikan ini denganr~~(atmosfir, hidrologi, geologi, dan biologi)[bencana ,!eki\Q~(barang yang berbahaya, proses destruktif, mekanis, dan produktif),



dcuf&iiCana S6SjJU (perang, terorisme, konflik



sipil, dan penggunaan barang, proses, dan teknologi yang berbahaya) (Oliver-Smith, 2002: 25). Dalam tulisan ini saya ingin membatasi diskusi lebih kepada kategori yang pertama dan sedikit terkait dengan yang kedua, karena pembicaraan tentang lingkungan



(s~bagai bencana



alam)



tidak dapat dipisahkan begitu saja dari teknologi. Dalam banyak studi ditunjukkan bahwa penggunaan teknologi dapat mendorong munculnya risiko dan bahaya bagi alam itu sendiri (Palsson, 2004; Tierney, 2006; Yarnal, 1994). Bencana juga dapat ditemukan pada dampak yang ditimbulkan, yakni kematian, rusak mental, cacat, kehi­ langan harta benda, ati:mpun dalam bentuk kerusakan struktur sosial dan proses sosial, seperti sistem produksi,



FAKTA DAN PENDEKATAN BENCANAALAM .Bencana yang terjadi di berbagai daerah, dati daratan Cina (1333), Jepang (1891, 1923), Filipina (1645, 1867, 1877,1879, 1892), Indonesia (1815, 1883, 1963, 1994, 2004, 2006), hingga ke Afrika (1973-1985), Amerika Tengah (1970-an), dan Amerika Serikat (1906, 1991, 1992, 2005), pada dasarnya dapat berupa perang, kekeringan, kela­



pembagian kerja, norma dan peran-peran sosial, politik nasional dan internasional,. juga dalam bentuk harapan, motivasi dan pandangan (Blaikie, 2002: 298). Akibat bencana dalam berbagai aspek tersebut telah menjadi dasar dati studi dalam berbagai disiplin ilmu. Studi atas bencana dalam ilmu sosial yang dimulai pada tahun 1950-an itu, diawali dari perdebatan panjang tentang hubungan natur-kultur yang pola interaksi keduanya telah



8



Interdisciplinary Papers 01 (2008)



Konstruksi dan Reproduksi Sosial atas Bencana Alam



9



melahirkan banyak pemahaman baru tentang ketergan­ tungan dan independensi manusia terhadap alam, de­ mikian pula sebaliknya. Pandangan awal melihat bahwa



diperhitungkan, tidak direneanakan karena itu masya­ rakat tidak sadar dan tidak siap menghadapi beneana (Hewitt, 1983: 10) sehingga kebijakan-kebijakan yang



alam merupakan sesuatu yang terpisah dengan manusia yang memiliki kekuatan-kekuatan yang tak terbantahkan, sehingga lingkungan alam telah mendefinisikan identitas manusia termasuk memasukkan manusia dalam kategori "the other", akibat perbedaan lingkungan yang bersifat deterministik bagi adaptasi manusia. Dalam pandangan awal ini beneana dilihat sebagai fenomena yang seeara utama dihubungkan dengan alam dan dilepaskan dari pengalaman manusia sehari-hari dan aktivitas manusia yang biasa (Hewitt, 1983: 6; Anderskov, 2004: 10) karena beneana eenderung dianggap sebagai kejadian yang luar biasa. Salah satu pandangan menga­ takan hahwa alam (dengan segala ketidakteraturannya) merupakan faktor yang mendefinisikan keteraturan sosial. Pada saat terjadi angin ribut di Inggris pada tahun 1987 konsepsi natur sebagai faktor pengendali mendapatkan penegasan:



diambil pun bersifat proteksi fisik atas bahaya fisik dan peramalan dan monitoring proses geofisika (Blaikie, 2003: 299).



"Alam telah menggila destruktif, tidak bertanggungjawab, menghancurkan dirinya sendiri dan menyeret segala sesuatu bersamanya, itulah yang terjadi. Kiarilat terjadi pada saat ini, sekarang dan tidak ada yang bisa menghentikan, kaca-kaca pecah, benda-benda berjatuhan dan segala keributan tidak bisa ditoleransi, segala hal yang hidup berhenti pada saat itu terjadi" (Homan, 2003: 150).



Fokus pada kekuatan alam dan supranatural ini me­ negaskan suatu kondisi abnormal, tidak diharapkan, tidak



Pada masa itu manusia dan alam eenderung dilihat beroposisi. Baru pada abad ke-17 dan ke-18 interaksi keduanya mendapatkan tempat dan dilihat sebagai kekuatan yang saling menentukan yang bahkan, menurut Murphy, 'Eili~take.mUq@1JdiJU\a~.. 4riCii;jtilite oj,



fiumiTJuliiting, tlOmeStiCiiting;: remolimg, reconstrUcting, arYl



-;-1IT17eSfinrmrt~n"-(01fv.er:Smitli"7' 20017 32)~ K.!ji~ij ~



- '



~



'kemudianI;enemukan suatu varian yang memperlihatkan bahwa {!!!m::...~~_adan!a~ksp~~~usl ~apliIigkimganaan-.J>jhJ':-alcih~ansumberd~ya .... -._. ~am;-teriaa~ben~ana ]iigaaunediasi oIeh­ --.... .. "':.1_ .. ......_ _ __



---_



~g@\o~~prod~~



~







"Ecological crises and disaster... are produced by the dialectical interaction of social and natural features. Socially constructed production systems that impoverish the essential and absolute level ofresources sustaining and environment will create environmental crises and perhaps disasters, impacting a human population" (Oliver-Smith, 2002: 34).



Dalam melihat hubungan keduanya ini-yang semula lebih dititikberatkan pada penyebab adanya beneana yang diakIbatkan oleh kejadian mendadak dan tiba-tiba di satu sisi, dan oleh ulah manusia di lain sisi-muneul perde­ batan tentang respons yang bersifat behavioristik yang



10



Interdisciplinary Papers 01 (2008)



mencoba memetakan pola-pola respons masyarakat terhadap bencana, terutama untuk keluar dari pendekatan teknokratik yang mengesampingkan manusia.



Konstruksi dan Reproduksi Sosial atas Bencana Alam



11



mengalami kegagalan dalam adaptasi di daerah tujuan (Laksono, 1985). Respons kebudayaan terkait dengan konstruksi makna



Pendekatan yang melihat berbagai bentuk respons terhadap bencana menitikberatkan perhatian pada



manusia. Hal ini seringkali membawa manusia berha­



respons individual dan institusional, respons kebudayaan



dapan dengan pertanyaan eksistensialis yang rumit. Dalam



yang mempertanyakan eksistensi manusia, respons politik dan kekuasaan, dan respons yang bersifat ekonomi.



kasus tsunami di Aceh, seperti juga yang terjadi di Berkeley atau banyak tempat lain, bencana telah diartikan dengan



Respons individual dan kelembagaan tampak pada analisis



banyak cara. Sebagian penduduk mengartikan tsunami sebagai "Tuhan Suruh Vmat Nabi Agar Manusia Insaf".l



tingkah laku individu dan kelompok pada setiap tahap dari dan setelah bencana terjadi. Kajian-kajian tentang



dan pandangan budaya atas bencana yang dihadapi



Pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan Tuhan, ke­



respons individu dan kelompok ini, misalnya, mencakup



sakralan, dan hakekat hubungan manusia dengan ke­



bagaimana bentuk respons individu dan organisasi, . khususnya penyesuaian institusi agama, teknologi,



ilahian menghantuai korban suatu bencana (Oliver-Smith, 1996: 308). Tidak jarang, bencana kemudian membuat terjadinya pergeseran dalam keyakinan, simbol-simbol,



ekonomi, politik, dan dalam pola-pola kooperasi dan konflik yang muncul akibat bencana (Oliver-Smith, 1996: 306). Kemampuan respons semacam itu berbeda berdasarkan kelas, gender, etnis, dan usia (Maskrey, 1989; Rossi, 1993). Dalam berbagai studi juga tampak bahwa tingkat integrasi masyarakat telah menjadi dasar bagi kemampuan pemulihan dan pembangunan kembali komunitas yang sekaligus memperlihatkan bahwa pengetahuan lokal yang baik tentang lingkungan sosial dan fisik menentukan kemampuan masyarakat dalam mengurangi kerugian jangka pendek dan jangka panjang (Oliver-Smith, 1996: 306). Sebaliknya, pengabaian terhadap pengetahuan lokal, seperti tampak dari kasus masyarakat petemak di lereng Merapi, telah menyebabkan tercabutnya penduduk dari daerah asal dan bahkan



dan ritual, seperti ditunjukkan oleh Olivers-Smith dalam kasus Peru (Oliver-Smith, 1977). ~diunggapjjuga



~-., ~baga.i.penegascm··tel"hadapicehadiPan~f)eWrrta'iiTiiloor.



,---.,...



-



Dengan mengutip khotbah Pastur, seorang ibu menga­ takan bahwa: "Manusia bisa pergi ke bulan, melakukan hal-hal yang mengagumkan dengan teknologi dan berpikir bahwa mereka bisa memiliki segala hal yang ada di dunia ini, tapi lagi-Iagi Tuhan akan mengirim bencana hanya untuk membuktikan hanya Tuhanlah yang berkuasa" (Homan, 2003: 149).



Pengertian ini tertulis pada kotak sumbangan di depan kapal PLT Terapung yang terdampar di Punge Blang Cut, Banda Aceh. Data ini diperoleh dari catatan perjalanan Prof. Dr. Sjafri Sairin, MA 1



Konstruksi dan Reproduksi Sosial atas Bencana Alam



Interdisciplinary Papers 01 (2008)



12



Konstruksi makna tentang bencana di sini sarat dengan kepentingan karena suara dari berbagai pihak ikut terlibat dalam menentukan bentuk wacana sehingga makna itu sendirimenjadi arena pertandingan yang penting. Heddy Shri Ahimsa-Putra sudah menunjukkan bahwa pemaknaan dalam kasus merapi telah menjadi ajang wacana yang melibatkan multiaktor (Ahimsa-Putra, 1994). Hal ini sejalan dengan pendapat Clancey yang mengatakan: "Natural disasters, by contast, are moment in which the voices of experts mix with-and often have no privilege over-the voices of politicians, journalists, religiousfigures, and all manner ofsurvivors. Everything i~ 'out of order'-nature and society both-and this makes things as messyfor the chronicler ofthe event asfur those who lived the experience" (Clancey, 2006: 914).



Respons politik dan kekuasaan membicarakan bagaimana suatu bencana membentuk, memelihara, menstabilkan, atau merusak organisasi dan hubungan politik. Bencana dalam hal ini sekaligus sebagai kesempatan dan penyebab bagi sosialisasi dan mobilisasi politik lokal maupun penyebab alterasi dalam hubungannya dengan negara (Oliver-Smith, 1996: 309).JIi9ji!j dengan demikian dapat menjadi konteks bagi ~.,!J9.~,'akti~~; ~lfda-ba-nr:=pOlHik! Ci!.D pj!fiJ;e@ijan ~---



..6iU1~~~"~g



d~t, men~bah~tu'"



-=-­



~



a.'UCUNI~I.1



Respons ekonomi terkait dengan anggapan bahwa setiap bencana selalu menyebabkan kehancuran pada lingkungan fisik dan sumber-sumber material suatu



I



13



masyarakat, serta menciptakan kebutuhan material yang



mendesak. Bahkan, setiap bencana melibatkan pembica­



raan tentang asumsi dan tingkah laku manusia, seperti



altruisme, pilihan rasional, pemilikan prihadi, kompetisi,



resiprositas, serta kepentingan-kepentingan ekonomi dan



sosial (Oliver-Smith, 1996: 311). Dalam studi semacam ini



juga disebutkan bahwa distribusi barang pada tahap



pemulihan dapat terhambat oleh berbagai struktur akses



dan bahkan agama dapat berperan dalam menentukan



proses distribusi (Torry, 1979). Tidak jarang suatu bencana



dapat menciptakan "economic boom" karena bantuan dan



proyek yang dikerjakan menciptakan lapangan pekerjaan



dan pendapatan baru bagi penduduk (Dudasik, 1982;



. Button, 1995; Palinkas, 1993; Oliver-Smith, 1996). Walau­ pun demikian, perlu juga dilihat bahwa kesempatan kerja mengikuti pola segmentasi .pasar tenaga kerja yang sebelumnya telah berlaku di daerah tersebut.



BENCANA ALAM SEBAGAI BENCANA STRUK­ TURAL Pergeseran pendekatan dalam menjelaskan bencana terjadi sejalan dengan dijadikannya masyarakat sebagai tumpuan analisis yang lebih sistematis, pada saat bencana dilihat dalam hubungannya dengan "sejarah dan evolusi umat manusia". Pendekatan yang menitikberatkan bencana sebagai bentuk dati "perubahan sosial" mencob~ mengkaji bencana sebagai faktor penting dalam perubahan sosial budaya karena setiap bencana membutuhkan suatu penyesuaian dan perumusan baru atas fungsi-fungsi yang rusak. Antropologi dalam halini memberikan perhatian



14



Konstruksi dan Reproduksi Sosial atas Bencana Alam



Interdisciplinary Papers 01 (2008)



lebih besar pada implikasi jangka panjang dari perubahan­ perubahan yang diakibatkan oleh bencana (Oliver-Smith, 1996; Hoffman, 2002). Perubahan-perubahan yang diperlihatkan di sini dapat merupakan percepatan dari suatu arah perubahan yang sebelumnya terjadi, dapat pula merupakan faktor bagilahirnya agenda perubahan baru. Sebaliknya~ berbagai studi juga memperlihatkan bahwa berbagai akibat negatif dapat terjadi, khususnya pada saat banyak agen terlibat dalam proses rekonstruksi yang menyebabkan sesuatu yang sangat asing dan baru muncul dalam suatu masyarakat secara tiba-tiba yang kemudian menyebabkan stres dan merusak tatanan sosial. Chairtakis dan Rossi telah menunjukkan bahwa berbagai bantuan dalam proses rekonstruksi dapat saja lebih merusak daripada bencana itu sendiri (Oliver-Smith, 1996: 314). Suatu masyarakat dapat saja berusaha mempertahan­ kan pola kehidupan yang sebelumnya mereka jalani, dan ingin mengembalikannya setelah bencana. Sebaliknya, masyarakat yang lain dapat saja melihat adanya peluang­ peluang baru setelah terjadinya bencana (Oliver-Smith, 1996; Clancey, 2006; Schencking, 2006). Dalam suatu kasus gempa masyarakat mendapatkan banyak sekali kebebasan (Oliver-Smith, 1977), yang dapat mendorong. lahirnya suatu sistem sosial atau sikap baru (Borland, 2006). Kecenderungan penelitian behavioristik yang melihat respons ini terperangkap pada bentuk-bentuk respons emergensi, bukan pada faktor-faktor prakondisi struktural dati vulnerability yang mengalami pergeseran dari kajian terdahulu yang melihat bencana dalamhubungannya



.



15



dengan kemampuan adaptasi manusia yang efektif terhadaplingkungan yang memungkinkan manusia menjaga stabilitas jangka panjang dalam kondisi yang sulit (Torry, 1979; Oliver-Smith, 1996). Pendekatan semacam ini juga belum mampu menjelaskan suatu proses struktural yang tidak bisa dipisahkan pada saat bencana juga menjadi fenomena global, bukan lagi lokal (lllOllZ, 2003; Kasperson dan Kasperson, 2001; Oliver-Smith, 2002). Pertimbangan-pertimbangan tersebut telah memper­ kuat pandangan yan~~~~at bahw:e;~ BJiLhlilWi..jjiaQ!laC§!m alam im seI!.a~ iffii



~nc~~iSiiibei~ kitIm£."8itptF~etim'"P}!Pgan



!1iDii~1l\ilsyarakAtJPandangan yang muncul pada tahun 1980-an ini didasarkan pada kerangka berpikir marksisme struktural dan ekonomi politik. Pandangan ekonomi politik ini melihat bahwa suatu fenomena alam seperti badai, gempa, banjir, tidak harus menjadi bencana. Peringatan, proteksi, pengetahuan, keahlian, akses, baik terhadap sumber-sumber material dan pengetahuan, jaringan, dan sumber-sumber bantuan dapat memitigasi dampak kejadian alam dan meningkatkan kemampuan manusia untuk memulihkan efek yang ditimbulkan Q3laikie, 2003: 299). Pandangan ini m e . ~ ~ lCmwanan"'bencanaTmalfi':lti!i!·.Y@!1g~.niS-,~ ---....,....'!';:::::. ..... " .. .-. - 7~·~.....;;;;.- _ _.:..



i""an2'-rena;hr4~a.n-po.tefl.si



.,



1



.•



.



-~



16



Konstruksi dan Reproduksi Sosial atas Bencana Alam



bJi..gdisciplinary Papers 01 (2008) 'isaster less as the result ofgeophysical extremes such as storm, earthquakes, droughts, etc and more asfunctions ofan ongoing social order, ofthis order's structure ofhuman-environment relations, and ofthe largerframework ofhistorical and structural processes, such as colonialism and undetdevelopment, that have shapedll.",."



'hq,fi':B1!:t@s&tJ..9-94JJ.4)



~



sesungguhnya menjadi sumber informasi bantuan dan penyelamatan (Tierney, 2006: 113).



I



f



Di sini perhatian diberikan pada proses-proses struk­



tural yang mendistribusikanl mengatur sumber-sumber material, kekayaan, kekuasaan, dalam suatu masyarakat yang dinilai sebagai prakondisi suatu bencana. Proses struktural yang baik akan memungkinkan masyarakat menghindari, menghadapi secara sukses dan pulih dari



.~



I.



kejadianl tekanan alam (Blaikie, 2003: 300). Ditunjukkan oleh para peneliti bahwa mode-mode subsistensi, orga­ nisasi sosial, kepadatan penduduk merefleksikan suatu proses adaptasi rasional terhadap lingkungan marginal. Tekanan-tekanan ekonomi yang menyebabkan kelangkaan lahan dan kelebihan penduduk dapat menjadi suatu dasar bagi terjadinya kerentanan penduduk dan lahan dalam menghadapi siklus kekerin~an (Oliver-Smith, 1996: 315). Dalam masyarakat maju pun kerentanan ini tetap menjadi masalah. Dalam kasus Katrina di Amerika Serikat tampak sekali perbedaan akibat beneana dan kemampuan mengatasi beneana. Kelompok atas lebih dapat meng­ hindari beneana dengan fasilitas pribadi dan mudah pulih dengan tinggal di rumah kedua. Sebaliknya, kelas bawah tergantung pada fasilitas umum yang terlambat dan tidak :memadai, juga harus tinggal di tempat pengungsian. Kelas hawah juga kurang mampu mengakses media massa yang



17



...



Suatu beneana, yang sangat ditentukan oleh pola interaksi manusia dengan alam, sesungguhnya telah melahirkan kompleksitas baru di mana sifat-sifat dari hubungan manusia dengan lingkungan masih menjadi bahan perdebatan (seperti juga debat materialis dan kul­ turalis yang terns berlangsung). Kompleksitas terjadi pada saat hubungan manusia-lingkungan mendapatkan kerangka global dengan prinsip ekonomi dan pasar yang lebih ekspansif, seperti panjang lebar dibahas oleh Holling: "Through this globalization process problems have become basically nonlinear in causation and discontinuous in both space and time, rendering them inherently unpredictable and substantially less amenable to traditional methods of observation of change and adaptation. Human-induced changes have moved societies and natural systems into essentially unknown terrain, with evolutionary implication for element ofboth. As' has been argued, societies and nature have always been in aprocess ofcoevolution in local, relatively discrete contexts. Now people, economies, and nature are in aprocess of coevolution on a global scale, each influencing the oth~rs in unfamiliar ways and at scales that challenge our traditional understanding of structure and organization, with serious implications for the adaptive capacities oj people and societies" (Oliver-Smith, 2002: 45).



Konstruksi dan Reproduksi Sosial atas Bencana Alam



Interdisciplinary Papers 01 (2008)



18



.19



Inca yang memiliki kekuatan menahan gempa kemudian



danl'ad·a~tingkat-k-eteI'gantungan·manusia~pada-ancaman­



berubah ke arsitektur modern. Jalan-jalan yang sempit



riiicaiDln1)ahava alam;



dalam pemukiman yang padat, dinding yang lepas, atap berat, dianggap merupakan kombinasi yang berbahaya yang kemudian menghancurkan 80 persen struktur di atas area seluas 83 ribu hektar dan menelan 70 ribu jiwa dan melahirkan 500.000 pengungsi (Oliver-Smith, 1999: 18).



.



E~JDC&ai dati pendekatan ~ ~ bahwa bencana dapat dihindari dan kejadian alam tiaak harus berubah menjadi bencana kalau dampaknya bisa



dialasi dengan



baik&-~usia lidak dilihal sebagai



korban yang tidak tfttolong tetapi sebagai aktor yang mampu dengan tingkatannya masing-masing memecah­ kan dan menghadapi kejadian alam atau bahkan meng­ hindarinya. Di sini sumber-sumber yang d~enduduk



berperan penting dalam



pemUlih~iSbkeadilan



bencana, walaupun bencana tetaplah merupakan pen­ deritaan umum dengan tingkatkeparahannya masing­ masing (Hoffman, 1999; 2002). Perempuan, orang tua, dan anak-anak, atau kelompok yang berstatus sosial rendah, minoritas, kelompok ·dengan. akses yang terbatas, kelom­ yang paling buruk (Blaikie, 2003: 300). Memang, seperti dikatakan Oli~er-S,_bahwa~



'----meIahirkan sbatu-b~al-iuner~antuD~ tinsdcat'. integrasi manusia



~ perlu men~apatkanpenegas~ah~ad.&-cmt ilmu sosial, t!§caI).a=b~~uatu_~ris!iw.a~ang---tibl­ ~-tak t-ereJ:akkiil";=tetapi men.Jaai-baglin y"ang ' dati kelUClupan rufiif1ian-n~tBencana se- . sungguhnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem masyarakat yang tanda-tandanya sudah dikenali dan dapat diprediksi, meskipun dapat saja terjadi "unexamined normality" atas ketidakmampuan manusia dan sistem di dalam mengantisipasi suatu bencana. Suatu bencana, karenanya, tidak harus mengganggu stabilitas, menyebabkan ketidakpastian, kekacauan, atau runtuhnya sistem sosial budaya, merusak kemampuan adaptasi masyarakat, serta membahayakan sistem pandangan dunia. Sebaliknya, dalam suatubencana, atas kemampuan dan kesiapan yang dimiliki suatu masyarakat:



_. __



menjadi penting. Kelompok kaya ~ang menderita separah yang dialami oleh kelompok miskin dalam setiap



pok yang tidak memiliki kapital sosial, mengalami nasib



KONSTRUKSI SOSIAL BENCANA ALAM Dari ketiga kecenderungan teoretis yang barn saja kita bicarakan-pendekl1tan teknokratik yang mengesam­ pingkan manusia, pendekatan behavioristik yang menitik­ beratkan perhatian pada bentuk respons terhadap ben­ cana, dan pendekatan ekonomi politik yang menekankan proses struktural sebagai prakondisi suatu bencana­ dapat ditarik sejumlah isu krusial bagi pemahaman tentang status, penyebab, proses, akibat, pemaknaan, dan respons terhadap bencana tersebut.



;J



.



~,



Interdisciplinary Papers 01 (2008)



20



"... people attempt to prepare, construct, recover, reconstruct, how they adjust to the actual or potential calamity either recants or reinvents their cultural system. Disaster exposes the way in which people construct or frame' their peril (including the denial ofit), the way they perceived their environment and their subsistence, and the way they invent explanation, constitute their morality, and project their continuity and promise into the future" (Oliver-Smith dan Hoffman, 2002: 6).



Optimisme semaeam ini dapat dieapai jika beneana telah menjadi pengetahuan kolektif yang mekanisme respons terhadap beneana itu telah diintegrasikan dengan baik melalui proses sosialisasi dan didukung oleh infrastruktur kelembagaan yang memadai. Suatu beneana memang dicirikan oleh keragaman eksternal di satu sisi dan kompleksitas internal di sisi lain. Keragaman eksternal menyangkut spektrum yang luas dati fenomena objektif dillam ranah natural dan teknologis yang menyulut suatu beneana. eiri-eiri kejadiannya dapat meliputi proses yang lambat seperti kekeringan atau keraeunan yang menyebabkan kematian perlahan-Iahan hingga ke proses yang eepat seperti gempa atau keeela­ kaan nuklir yang menyebabkan kehancuran·dan kematian seketika. Kompleksitas internal mengacu pada proses dan kejadian yang menjadikan beneana sebagai proses total, meneakup dimensi sosial, lingkungan, kultural, politik, ekonomi~ fisik, dan teknologi. Hubungan antata satu dengan yang lain menunjukkan konsistensi dan inkonsis­ tensi, koherensi dan kontradiksi, kooperasi dan konflik, hegemoni dan resistensi. Hal ini memperlihatkan bagai­ mana berlangsungnya sistem fisik, biologi, dan sosial dalam



Konstruksi dan Reproduksi Sosiat atas Bencana Alam



21



interaksinya dengan penduduk, kelompok, institusi, dan



dalam hubungannya dengan konstruksi sosial budaya atas



beneana itu (Oliver..Smith, 1999: 19-21). Di sinilah beneana



kemudian lahir dati suatu proses sejarah dan atas hasil



dati hubungan struktural yang sistematis.



Praktek penebangan